Anda di halaman 1dari 27

BAB I

KONSEP DASAR MEDIS

A. Defenisis

Traumatic brain injury merupakan gangguan fungsi otak ataupun patologi

pada otak yang disebabkan oleh kekuatan (force) eksternal yang dapat terjadi

di mana saja termasuk lalu lintas, rumah, tempat kerja, selama berolahraga,

ataupun di medan perang (Manley dan Mass, 2018).

Traumatic Brain Injury (TBI) adalah cedera otak akut akibat energi

mekanik terhadap kepala dari kekuatan eksternal. Identifikasi klinis TBI

meliputi satu atau lebih kriteria berikut: bingung atau disorientasi, kehilangan

kesadaran, amnesia pasca trauma, atau abnormalitas neurologi lain (tanda

fokal neurologis,kejang, lesi intrakranial).

B. Klasifikasi

1. Klasifikasi berdasarkan GCS

Klasifikasi Derajat Keparahan TBI berdasarkan Glasgow Coma Scale

(GCS) Berdasarkan derajat keparahannya dapat dibagi menjadi :

Ringan dengan GCS 13-15, durasi amnesia pasca trauma <24 jam.

Sedang dengan GCS 9-12, durasi amnesia pasca trauma 1-6 hari, dan

Berat dengan GCS 3-8, durasi amnesia pasca trauma 7 hari atau lebih

(Young dan Mcnaught, 2017).

2. Klasifikasi pathoanatomic

Menunjukkan lokasi atau ciri-ciri anatomis yang mengalami

abnormalitas. Fungsi klasifikasi ini adalah untuk terapi yang tepat

sasaran. Kebanyakan pasien dengan trauma yang parah akan memiliki

lebih dari satu jenis perlukaan bila pasien diklasifikasikan

menggunakan metode ini. Penilaian dilakukan dimulai dari bagian luar


kepala hingga ke dalam untuk melihat tipe perlukaan yang terjadi

dimulai dari laserasi dan kontusio kulit kepala, fraktur tulang

tengkorak, perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan

subaraknoid, kontusio dan laserasi otak, perdarahan intraparenkimal,

perdarahan intraventrikular, dan kerusakan fokal maupun difus dari

akson. Masing-masing dari entitas tersebut dapat dideskripsikan lebih

jauh lagi meliputi seberapa luas kerusakan yang terjadi, lokasi, dan

distribusinya (Saatman, dkk, 2018)

3. Klasifikasi berdasarkan mekanisme fisik

Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan pada apakah kepala

menabrak secara langsung suatu objek (contact or “impact” loading)

ataupun otak yang bergerak di dalam tulang tengkorak (noncontact or

“inertial” loading) dan akhirnya menimbulkan cedera. Arah dan

kekerasan pada kedua tipe perlukaan tersebut dapat menentukan tipe

dan keparahan suatu trauma. Klasifikasi berdasarkan mekanisme fisik

ini memiliki manfaat yang besar dalam mencegah terjadinya cedera

kepala (Saatman, dkk, 2018)

C. Tipe - tipe Traumatic Brain Injury

1. Concussion. yaitu cedera minor terhadap otak, penurunan kesadaran


dengan durasi yang sangat singkat pasca trauma kepala.

2. Fraktur depressed tulang kepala, terjadi ketika bagian tulang kepala yang
patah atau retak menekan ke dalam jaringan otak.

3. Fraktur penetrating tulang kepala, terjadi apabila terdapat benda yang


menembus tulang kepala (contoh: peluru) menyebabkan cedera lokal dan

terpisah pada jaringan otak.


4. Contusion, memar pada otak akibat fraktur tulang kepala. Kontusio dapat
berupa regio jaringan otak yang mengalami pembengkakan dan

bercampur darah yang berasal dari pembuluh darah yang rusak. Hal ini

juga dapat disebabkan oleh guncangan pada otak ke depan dan belakang

(contrecoup injury) yang sering terjadi saat kecelakaan lalu lintas.

5. Diffuse axonal injury atau shearing, melibatkan kerusakan pada sel saraf
danhilangnya hubungan antar neuron. Sehingga mampu menyebabkan

kerusakan seluruh komunikasi antar neuron di otak.

6. Hematoma,kerusakan pembuluh darah pada kepala. Tipe-tipe hematoma


yaitu epidural hematoma (EDH), perdarahan di antara tulang kepala dan

dura. Subdural hematoma (SDH), perdarahan di antara dura dan membran

araknoid, dan Intracerebral hematoma (ICH), perdarahan di dalam otak

(Beeker dkk., 2017).

D. Patofisiologi
1. Cedera Otak Primer

Secara umum, cedera otak primer menunjuk kepada kejadian yang tak

terhindarkan dan disertai kerusakan parenkim yang terjadi sesaat setelah

terjadi trauma (Saatman, dkk, 2008 dan Werner dan Engelhard, 2007).

Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan seperti

akselerasi, rotasi, kompresi, dan distensi sebagai akibat dari proses

akselerasi dan deselerasi. Kekuatan-kekuatan ini menyebabkan tekanan

pada tulang tengkorak yang dapat mempengaruhi neuron, glia, dan

pembuluh darah dan selanjutnya menyebabkan kerusakan fokal,

multifokal maupun difus pada otak. Cedera otak dapat melibatkan

parenkim otak dan / atau pembuluh darah otak. Cedera pada parenkim

dapat berupa kontusio, laserasi, ataupun diffuse axonal injury (DAI),


sedangkan cedera pada pembuluh darah otak dapat berupa perdarahan

epidural, subdural, subaraknoid, dan intraserebral yang dapat dilihat

pada CT-scan (Indharty, 2012).

2. Cedera otak sekunder

Menunjuk kepada keadaan dimana kerusakan pada otak dapat

dihindari setelah setelah proses trauma. Beberapa contoh gangguan

sekunder ini adalah hipoksia, hipertensi, hiperkarbi, hiponatremi, dan

kejang (Saatman, dkk, 2008). Menurut Indharty (2012), cedera otak

sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer. Hal ini dapat

terjadi akibat adanya reaksi peradangan, biokimia, pengaruh

neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis, dan inokulasi

bakteri. Faktor intrakranial (lokal) yang mempengaruhi cedera otak

sekunder adalah adanya hematoma intrakranial, iskemik otak akibat

penurunan perfusi ke jaringan di otak, herniasi, penurunan tekanan

arterial otak, tekanan intrakranial yang meningkat, demam, vasospasm,

infeksi, dan kejang. Sebaliknya, faktor ekstrakranial (sistemik) yang

mempengaruhi cedera otak sekunder dikenal dengan istilah “nine

deadly H’s” meliputi hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia, hipokapnia,

hipertermi, hiperglikemi dan hipoglikemi, hiponatremi,

hipoproteinemia, serta hemostasis (Indharty, 2017).

E. Manifestasi klinik

Gejala akut pada cedera otak traumatik yang lebih berat bermacam-
macam namun pada umumnya cedera berat disertai penurunan kesadaran
bahkan hingga koma. Menurut American Congress of Rehabilitation
Medicine (ACRM), cedera otak traumatik ringan (mild traumatic brain
injury) adalah pasien dengan gangguan fungsi fisiologis otak yang
diakibatkan trauma dengan manifestasi minimal satu dari berikut ini :
a. Penurunan kesadaran kurang dari 30 menit
b. Hilang memori terhadap kejadian segera sebelum atau sesudah kejadian
(post traumatic amnesia) kurang dari 24 jam
c. Perubahan status mental saat kejadian (disorientasi atau kebingungan)
d. Defisit neurologis fokal transien atau non transien
e. Skor GCS 13-15 setelah 30 menit (Roozenbeek.2018).

Setelah mengalami cedera otak traumatik, 30-80% pasien mengalami


gejala setelah gegar otak (post concussive). Pada umumnya membaik dalam
beberapa jam hingga beberapa hari, sebagian lainnya dapat berminggu-
minggu. Manifestasi klinis pada cedera otak traumatik ringan (mild TBI)
terdiri dari kombinasi gejala fisik dan gejala neuropsikiatrik, antara lain:

a. Gejala fisik berupa nyeri kepala, pusing, mual, fatigue, gangguan tidur,
gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau kejang bila terjadi
kerusakan pada lobus temporal atau frontal, yang harus dibedakan dari
epilepsy
b. Gejala neuropsikiatrik yang terdiri dari gangguan kognitif, perilaku, dan
gangguan lainnya.
c. Gangguan kognitif, dapat berupa gangguan pemusatan perhatian,
gangguan memori dan gangguan fungsi eksekutif. Gangguan pemusatan
perhatian dapat berakibat pasien kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari.
Luasnya gangguan kognitif berkorelasi dengan keparahan cedera.
d. Gejala perilaku yaitu berhubungan dengan kepribadian pasien, antara lain
irritabilitas, gangguan mood, agresi, impulsif, perilaku egois.
e. Gejala lainnya yang berhubungan adalah depresi, gangguan cemas, dan
post traumatic stress disorder. (Lozano.2016)
F. Pemeriksaan penunjang

Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu

pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun

kolaborasi antara lain :

1. Pemeriksaan lab.darah

a. Pemeriksaan kadar elektrolit, pada pasien koma sering diitemui


hiponatremia akibat gangguan pengaturan hormon diuretik. Kadar

magnesium juga dapat menurun pada fase akut akibat proses

eksitotoksik

b. Pemeriksaan faktor koagulasi (aPTT, PT, tombosit), pasien orang tua


mungkin sedang dalam pengobatan dengan antikoagulan.

Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menilai risiko perdarahan

intrakrania

c. Kadar alkohol dalam darah, untuk menyingkirkan penyebab


penurunan kesadaran atau disorientasi

2. Pemeriksaan Radiologi

CT-Scan kepala berperan penting dalam pencitraan cedera kepala.

Namun pada pasien cedera otak traumatik ringan, kelainan pada CT-Scan

yang spesifik tidak sering ditemukan. Kelainan pada gambaran CT-Scan

lebih sering ditemukan pada cedera otak traumatik yang lebih berat. Oleh

karena itu perlu untuk mempertimbangkan indikasi dilakukannya CT-

Scan.

Indikasi harus CT-Scan segera menurut (Stippler 2016) :

a. Tanda-tanda fraktur pada tulang tengkorak (basis kranii, depresi, atau


fraktur terbuka)
b. Kelainan pada pemeriksaan neurologis
c. Serangan kejang
d. Muntah lebih dari 1 kali
e. Mekanisme trauma risiko tinggi (terlempar dari kendaraan, pejalan kaki
ditabrak oleh kendaraan)
f. Penurunan skor GCS atau skor GCS persisten kurang dari 15

Indikasi pertimbangan perlu dilakukan CT-Scan (Stippler 2015):

a. Usia lebih dari 60 tahun


b. Amnesia anterograd persisten
c. Amnesia retrograd lebih dari 30 menit
d. Koagulopati
e. Terjatuh lebih dari 1 meter
f. Hilang kesadaran lebih dari 30 menit
g. Faktor sosial (tidak dapat dianamnesis untuk riwayat yang jelas)
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1. Pengkajian Primer :
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret
akibat kelemahan reflek batuk. Jika ada obstruksi maka lakukan :
1) Chin lift / jaw trust
2) Suction / hisap
3) Guedel airway
4) Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral.
b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan
yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi,
whezing, sonor, stidor/ ngorok, ekspansi dinding dada.
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada tahap lanjut,
takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan
membran mukosa pucat, dingin, dan sianosis pada tahap lanjut.
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap
nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS.
Adapun cara yang cukup jelas dan cepat adalah
A : Awake
V (Verbal ) : Respon bicara
P (Pain : Respon nyeri
U (Unresponsive ) : Tidak ada respon
e. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera
yang mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang,
maka imobilisasi inline harus dikerjakan.
2. Pengkajian Sekunder Meliputi :
a. Identitas klien : nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal masuk rumha sakit dan askes.
b. Keluhan utama : nyeri kepala disertai penurunan kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang : demam, anoreksi dan malaise peninggian
tekanan intrakranial serta gejala nerologik fokal.
d. Riwayat penyakit dahulu : pernah, atau tidak menderita infeksi telinga
(otitis media, mastoiditis) atau infeksi paru – paru (bronkiektaksis, abses
paru, empiema), jantung (endokarditis), organ pelvis, gigi dan kulit).
e. Aktivitas / istirahat
Gejala : malaise
Tanda : Ataksia, masalah berjalan, kelumpuhan, gerakan involunter.
f. Sirkulasi
Gejala : adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis
Tanda : TD : meningkat
N : menurun (berhubungan dengan peningkatan TIK dan pengaruh pada
vasomotor).
g. Eliminasi
Gejala : -
Tanda : adanya inkonteninsia dan atau retensi.
h. Nutrisi
Gejala : kehilangan nafsu makan, disfagia (pada periode akut)
Tanda : anoreksia, muntah, turgor kulit jelek, membran mukosa kering.
i. Hygiene
Gejala : -
Tanda : ketergantungan terhadap semua kebutuhan, perawatan diri (pada
periode akut).
j. Neurosensori
Gejala : sakit kepala, parestesia, timbul kejang, gangguan penglihatan.
Tanda : penurunan status mental dan kesadaran. Kehilangan memori, sulit
dalam keputusan, afasia, mata : pupil unisokor (peningkatan TIK),
nistagmus, kejang umum lokal.
k. Nyeri / kenyamanan
Gejala : sakit kepala mungkin akan diperburuk oleh ketegangan, leher /
pungung kaku.
Tanda : tampak terus terjaga, menangis / mengeluh.
l. Pernapasan
Gejala : adanya riwayat infeksi sinus atau paru
Tanda : peningkatan kerja pernapasan (episode awal). Perubahan mental
(letargi sampai koma) dan gelisah
m. Keamanan
Gejala : adanya riwayat ISPA / infeksi lain meliputi : mastoiditis, telinga
tengah, sinus abses gigi, infeksi pelvis, abdomen ataukulit, fungsi lumbal,
pembedahan, fraktur pada tengkorak / cedera kepala.
2. Diagnosa Keperawatan
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) DPP PPNI 2017, yaitu:
1. Pola Napas Tidak Efektif
a. Definisi : Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi
adekuat
b. Kode : D.0005
c. Penyebab :
d. Penyebab :
1. Depresi pUsat pernapasan
2. Hambatan upaya napas (mis. nyeri saat bernapas, kelemahan otot
pernapasan)
3. Deformitas dinding dada.
4. Deformitas tulang dada.
5. Gangguan neuromuskular.
6 Gangguan neurologis (mis elektroensefalogram [EEG] positif, cedera
kepala ganguan kejang).
7. maturitas neurologis.
8. Penurunan energi.
9. Obesitas.
10. Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru.
11. Sindrom hipoventilasi.
12. Kerusakan inervasi diafragma (kerusakan saraf CS ke atas).
13. Cedera pada medula spinalis.
14. Efek agen farmakologis.
15. Kecemasan.
e. Gejala dan tanda mayor

1. Subjektif :
1. Dispnea
2. Objektif :
1. Penggunaan otot bantu pernapasan.
2. Fase ekspirasi memanjang.
3. Pola napas abnormal (mis. takipnea. bradipnea, hiperventilasi
kussmaul cheyne-stokes).

f. Gejala dan tanda minor

2. Subjektif : 1. Ortopnea
3. Objektif :
1. Pernapasan pursed-lip.
2. Pernapasan cuping hidung.
3. Diameter thoraks anterior—posterior  meningkat
4. Ventilasi semenit menurun
5. Kapasitas vital menurun
6. Tekanan ekspirasi menurun
7. Tekanan inspirasi menurun
8. Ekskursi dada berubah

2. Risiko perfusi serebral tidak efektif


a. Definisi : Berisiko mengalami penurunan sirkulasi darah ke otak
b. Kategori : Fisiologi
c. Subkategori : Sirkulasi
d. Kode : D.0017
e. Faktor Resiko
1) Cedera Kepala
2) Hipertensi
3) Aneurisma serebri
4) Hiperkolesteronemia
5) Tumor otak
f. Kondisi klinis terkait
1) Stroke
2) Cedera kepala
3) Hipertensi
4) Cedera kepala
5) Hiperkolesteronemia
3. Gangguan mobilitas fisik
a. Definisi : Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau
lebih ekstremitas secara mandiri
b. Kategori : Fisiologi
c. Subkategori : aktivitas & istirahat
d. Kode : D.0054
e. Penyebab
1) Kekakuan sendi
2) Penurunan kekuatan otot
3) Gangguan neuromaskuler
f. Gejala dan Tanda Mayor
1) Subjektif
a) Mengeluh sulit menggerakkn ekstremitas.
2) Objektif
a) Kekuatan otot menurun
b) Rentang Gerak menurun (ROM)
g. Gejala dan tanda Minor
1) Subjektif
a) Nyeri saat beregrak
b) Enggan melakukan pergrakan
c) Merasa cemas saat bergerak

2) Objektif
a) Sendi kaku
b) Gerakan tidak terkordinasi
c) Gerakan terbatas
d) Fisik lemah
h. Kondisi klinis terkait
1) Stroke
2) Cedera medulla spinalis
3) Trauma
4) Osteotrhitis
4. Hipertermia
a. Definisi : Suhu tubuh meningkat di atas rentang normal
tubuh
b. Kode : D.0130
c. Penyebab

1) Dehidrasi
2) Terpapar lingkungan panas
3) Proses penyakit (mis. infeksi, kanker)
4) Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkungan
5) Peningkatan laju metabolisme
6) Respon trauma
7) Aktivitas berlebihan
8) Penggunaan inkubator

Gejala dan tanda mayor


1) Subjektif:
a) Tidak tersedia
2) Objektif
a) Tidak mampu mandi/mengenakan pakaian/makan/ke toilet
b) Minat melakukan perawatan diri kurang
d. Gejala dan tanda minor
1) Subjektif: Tidak tersedia
2) Objektif Tidak tersedia

5. Risiko Infeksi
Kategori : Lingkungan
Subkategori : kemanan dan proteksi
Kode : D.0142
a. Definisi :
Beresiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik
b. Faktor Risiko
1. Penyakit kronis
2. Efek prosedur invasive
3. Malnutrisi
4. Peningkatan paparan organisme pathogen lingkungan
5. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer
1). Gangguan peristaltic
2.) kerusakan integritas kulit
3). Statis cairan tubuh
6. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh Sekunder
1). Penurunan hemoglobin
2). Imununosupres
3). Vaksinasi tidak adekuat
c. Kondis klinis terkait :
1) AIDS
2) Luka Bakar
3) Diabetes Militus
4) Tindakan Invasif
5) Kanker
6) Gagal Ginjal
7) Suhu tubuh diatas normal

6. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif


a. Definisi
Ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk
mempertahankan jalan napas tetap paten
b. Gejala dan tanda mayor
Objektif :
1) Batuk tidak efektif
2) Tidak mampu batuk
3) Sputum berlebih
4) Mengi, wheezing dan/atau ronkhi kering
5) Mekonlum di jalan napas (pada neonatus)
c. Gejala dan tanda minor
Subjektif :
1) Dispnea
2) Sulit bicara
3) Ortopnea
Objektif :
1) Gelisah
2) Sianosis
3) Bunyi napas menurun
4) Frekuensi napas berubah
5) Pola napas berubah
d. Kondisi klinis terkait
1) Gullian bare syndrome
2) Sklerosis multiple
3) Myasthenia gravis
4) Prosedur diagnostik Depresi sistem saraf pusat
5) Cedera kepala
6) Stroke
7) Kuadriplagia
8) Sindrom aspirasi meconium
7. Kekurangan volume cairan
Kode : D.0023 
a. Definisi :
Peningkatan volume cairan intravaskular, interstisial, dan / atau
intraselular

b. Penyebab
1) Kehilangan cairan aktif
2) Kegagalan mekanisme regulasi
3) Peningkatan permeabilitas kapiler
4) Kekurangan intake cairan
5) Evaporasi
c. Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif : (tidak tersedia)


Objektif :

1) Frekuensi nadi meningkat


2) Nadi teraba lemah
3) Tekanan darah menurun
4) Turgor kulit menyempit
5) Membran mukosa kering
6) Voluem urin menurun
7) Hemtokrit meningka

8. Gangguan Persepsi Sensori


Kode : D.0085
1) Definisi :
Perubahan presepsi stimulasi baik internal maupun eksternal yang
disertai dengan respon yang berkurang, berlebihan atau terdistrosi
2) Penyebab :
3) Gangguan penglihatan
4) Gangguan pendengaran
5) Gangguan penghiduan
6) Gangguan perabaan
7) Hipoksia serebral
8) Penyalahgunaan zat
9) Usia lanjut
10) Pemajanan toksin lingkungan

9. Resiko kerusakan integritas kulit / jaringan


Kode : D.0139
1) Definisi : Beresiko mengalami kerusakan kulit (dermis, dan/atau
epidermis) atau jaringan (membran mukosa, kornea, fasia, otot,
tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan/atau ligamen)
2) Faktor Risiko

a. Perubahan sirkulasi
b. Perubahan status nutrisi (kelebihan atau kekurangan)
c. Kekurangan/kelebihan volume cairan
d. Penurunan mobilitas
e. Bahan kimia initatif
f. Suhu lingkungan yang ekstrem
g. Faktor mekanis (mis. penekanan, gesekan) atau faktor elektris
(elektrodiatermi, energi listrik bertegangan tinggi)
h. Terapi radiasi
i. Kelembaban
j. Proses penuaan
k. Neuropati perifer
l. Perubahan hormonal
m. Penekanan pada tonjolan tulang
n. Kurang terpapar informasi tentang upaya mempertahankan/
melindungi integritas jaringan
10. Resiko Injury / cedera
Kode : D.0136
1) Definisi :
Berisiko mengalami bahaya atau kerusakan fisik yang
menyebabkan seseorang tidak lagi sepenuhnya sehat atau dalam
kondisi baik
2) Faktor Risiko
Eksternal

a. Terpapar patogen
b. Terpapar zat kimia toksik
c. Terpapar agen nosokomial
d. Ketidaknyamanan Transportasi

Internal

a. Ketidaknormalan profil darah


b. Perubahan orientasi afektif
c. Perubahan sensasi
d. Disfungsi autoimun
e. Disfungsi biokimia
f. Hipoksia jaringan
g. Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh
h. Malnutrisi
i. Perubahan fungsi psikomotor
j. Perubahan fungsi kognitif

3. Intervensi Keperawatan
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) DPP PPNI 2018, yaitu :
1. Penurunan Kapasitas Adaptif Intrakranial
a. Intervensi I : PEMANTAUAN RESPIRASI (I.01014)

1. Observasi
a) Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
b) Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik0
c) Monitor kemampuan batuk efektif
d) Monitor adanya produksi sputum
e) Monitor adanya sumbatan jalan napas
f) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
g) Auskultasi bunyi napas
h) Monitor saturasi oksigen
i) Monitor nilai AGD
j) Monitor hasil x-ray toraks
2. Terapeutik
a) Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
b) Dokumentasikan hasil pemantauan
3. Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
a. Intervensi II :  MENEJEMEN JALAN NAPAS (I. 01011)

1. Observasi
a) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
b) Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, weezing,
ronkhi kering)
c) Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
2. Terapeutik
a) Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
(jaw-thrust jika curiga trauma cervical)
b) Posisikan semi-Fowler atau Fowler
c) Berikan minum hangat
d) Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
e) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
f) Lakukan hiperoksigenasi sebelum
g) Penghisapan endotrakeal
h) Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsepMcGill
i) Berikan oksigen, jika perlu
3. Edukasi
a) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi.
b) Ajarkan teknik batuk efektif
4. Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
perlu.

2. Risiko perfusi serebral tidak efektif


a. Intervensi
Manajemen peningkatan tekanan intrakarnial
1) Observasi
a) Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. Tekanan darah
meningkat, tekanan nadi melebar, bradikardia, pola napas rguler,
kesadaran menurun)
Rasional : mengetahui status perubahan tekanan intrakranial
2) Terapeutik
a) Minimalkan stimulus dengan menyediakan kingkungan yang
tenang
Rasional: untuk menjaga kondisi lingkungan pasien agar tetap
tenang.
3) Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan, jika perlu
Rasional : Untuk memperbaiki sedari peningkatan intrakranial
3. Gangguan mobilitas fisik
a. Luaran keperawatan: Mobilitas fisik membaik
Kriteria Hasil:
1) Pergerakan Ektremitas meningkat
2) Kekuatan otot meningkat
3) Rentang gerak ROM membaik
4) Kelemahan fisik meningkat
b. Intervensi:
Dukungan mobilisasi
1) Observasi
a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
Rasional: mengetahui keluhan lain pasien dan rencana tidakan
berikutnya yang dapat dilakukan
b) Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
Rasional: mengetahui kondisi terkini pasien dan perubahan yang
dapat terjadi selama melakukan mobilisasi
2) Terapeutik
a) Fasilitas melakukan pergerakan
Rasional : meningkatkan status mobilitas fisik pasien
b) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan
Rasional : keluarga dapat secara mandiri membantu pasien
melakukan latihan pergerakan
3) Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
Rasional : memberikan informasi kepada pasien dan keluarga
terkait tindakan yang akan diberikan
b) Anjurkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (misalnya
duduk di tempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah dari
tempat tidur ke kursi roda)
Rasional : melatih kekuatan otot dan pergerakan pasien agar
tidak terjadi kekakuan otot maupun sendi.
4. Hipertermia
a. Intervensi:
MANAJEMEN HIPERTERMIA (I.15506)

1. Observasi
 Identifkasi penyebab hipertermi (mis. dehidrasi terpapar lingkungan
panas penggunaan incubator)
 Monitor suhu tubuh
 Monitor kadar elektrolit
 Monitor haluaran urine
2. Terapeutik
 Sediakan lingkungan yang dingin
 Longgarkan atau lepaskan pakaian
 Basahi dan kipasi permukaan tubuh
 Berikan cairan oral
 Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hiperhidrosis
(keringat berlebih)
 Lakukan pendinginan eksternal (mis. selimut hipotermia atau kompres
dingin pada dahi, leher, dada, abdomen,aksila)
 Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
 Batasi oksigen, jika perlu
3. Edukasi
 Anjurkan tirah baring
4. Kolaborasi
 Kolaborasi cairan dan elektrolit intravena, jika perlu

5. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif

a. Tujuan dan kriteria hasil


Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x24 jam pemenuhan kebutuhan
pasien tercukupi dengan kriteria hasil:

1) Batuk efektif meningkat


2) Produksi sputum menurun
3) Dispnea menurun
b. Intervensi dan rasional
Manajemen jalan napas

1) Observasi :
a) Monitor pola nafas
b) Monitor bunyi napas tambahan
2) Terapeutik :
a) Posisikan semi fowler atau fowler
b) Berikan minum hangat
c) Berikan oksigen, jika perlu
3) Edukasi :
a) Ajarkan teknik batuk efektif
4) Kolaborasi :
a) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
perlu
6. Resiko Infeksi
PENCEGAHAN INFEKSI (I.14539)

1. Observasi

 Identifikasi riwayat kesehatan dan riwayat alergi


 Identifikasi kontraindikasi pemberian imunisasi
 Identifikasi status imunisasi setiap kunjungan ke pelayanan
kesehatan

2. Terapeutik

 Berikan suntikan pada pada bayi dibagian paha anterolateral


 Dokumentasikan informasi vaksinasi
 Jadwalkan imunisasi pada interval waktu yang tepat

3. Edukasi

 Jelaskan tujuan, manfaat, resiko yang terjadi, jadwal dan efek


samping
 Informasikan imunisasi yang diwajibkan pemerintah
 Informasikan imunisasi yang melindungiterhadap penyakit namun
saat ini tidak diwajibkan pemerintah
 Informasikan vaksinasi untuk kejadian khusus
 Informasikan penundaan pemberian imunisasi tidak berarti
mengulang jadwal imunisasi kembali
 Informasikan penyedia layanan pekan imunisasi nasional yang
menyediakan vaksin gratis

7. Kekurangan volume cairan


MANAJEMEN HIPOVOLEMIA (I.03116)

1. Observasi
 Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. frekuensi nadi meningkat,
nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi
menyempit,turgor kulit menurun, membrane mukosa kering, volume
urine menurun, hematokrit meningkat, haus dan lemah)
 Monitor intake dan output cairan
2. Terapeutik
 Hitung kebutuhan cairan
 Berikan posisi modified trendelenburg
 Berikan asupan cairan oral
3. Edukasi
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
 Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan IV issotonis (mis. cairan NaCl, RL)
 Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis. glukosa 2,5%, NaCl
0,4%)
 Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis. albumin, plasmanate)
 Kolaborasi pemberian produk darah

8. Gangguan presepsi sensori


MINIMALISASI RANGSANGAN (I.08241)

1. Observasi
 Periksa status mental, status sensori, dan tingkat kenyamanan (mis.
nyeri, kelelahan)
2. Terapeutik
 Diskusikan tingkat toleransi terhadap beban sensori (mis. bising, terlalu
terang)
 Batasi stimulus lingkungan (mis. cahaya, suara, aktivitas)
 Jadwalkan aktivitas harian dan waktu istirahat
 Kombinasikan prosedur/tindakan dalam satu waktu, sesuai kebutuhan
3. Edukasi
 Ajarkan cara meminimalisasi stimulus (mis. mengatur pencahayaan
ruangan, mengurangi kebisingan, membatasi kunjungan)
4. Kolaborasi
 Kolaborasi dalam meminimalkan prosedur/tindakan
 Kolaborasi pemberian obat yang mempengaruhi persepsi stimulus
9. Resiko kerusakan integritas kulit / jaringan
PERAWATAN LUKA( I.14564 )
Observasi

 Monitor karakteristik luka (mis: drainase,warna,ukuran,bau


 Monitor tanda –tanda inveksi

1. Terapiutik
 lepaskan balutan dan plester secara perlahan
 Cukur rambut di sekitar daerah luka, jika perlu
 Bersihkan dengan cairan NACL atau pembersih non toksik,sesuai
kebutuhan
 Bersihkan jaringan nekrotik
 Berika salep yang sesuai di kulit /lesi, jika perlu
 Pasang balutan sesuai jenis luka
 Pertahan kan teknik seteril saaat perawatan luka
 Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
 Jadwalkan perubahan posisi setiap dua jam atau sesuai kondisi pasien
 Berika diet dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari dan protein1,25-1,5
g/kgBB/hari
 Berikan suplemen vitamin dan mineral (mis vitamin A,vitamin
C,Zinc,Asam amino),sesuai indikasi
 Berikan terapi TENS(Stimulasi syaraf transkutaneous), jika perlu
2. Edukasi
 Jelaskan tandan dan gejala infeksi
 Anjurkan mengonsumsi makan tinggi kalium dan protein
 Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
3. Kolaborasi
 Kolaborasi prosedur debridement(mis: enzimatik biologis
mekanis,autolotik), jika perlu
 Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu
10. Resiko Injury / cedera
MANAJEMEN KESEHATAN LINGKUNGAN
Observasi
a. Identifikasi kebutuhan keselamatan
b. Monitor perubahan status keselamatan lingkungan

Terapeutik

a. Hilangkan bahaya keselamatan, jika memungkinkan


b. Modifikassi lingkungan untuk meminimalkan risiko
c. Sediakan alat bantu keamanan lingkungan
DAFTAR PUSTAKA

Indharty, R.S., 2017. Peran ACTH4- 10PRO8-GLY9-PRO10 dan Inhibitor


HMG-CoA Reductase dalam Peningkatan BCL-2 dan BDNF terhadap Hasil
Akhir Klinis Penderita Kontusio Serebri. Universitas Sumatera Utara

Stippler M. Craniocerebral Trauma. In: Darrof RB, Jancovic J, Mazziota JC,


Pomeroy SL, editors. Bradley’s Neurology in Clinical Practices. 7th ed.
London: Elsevier; 2016. p. 867–80

Olson DA. Head Injury [Internet]. Medscape. 2016. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/1163653

Lozano D, Gonzales-Portillo GS, Acosta S, de la Pena I, Tajiri N, Kaneko Y, et al.


Neuroinflammatory responses to traumatic brain injury: etiology, clinical
consequences, and therapeutic opportunities. Neuropsychiatr Dis Treat [Internet].
2016 Jan 8;11:97–106. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4295534

Roozenbeek B, Maas AIR, Menon DK. Changing patterns in the epidemiology of


traumatic brain injury. Nat Rev Neurol [Internet]. 2018 Apr;9(4):231–6. Available
from: http://dx.doi.org/10.1038/nrneurol.2018.22

Tim pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia ,
Definisi dan Tindakan Keperawatan, edisi 1. Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Tim pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia ,
Definisi dan Indikator Diagnostik, edisi 1. Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Tim pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia ,
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, edisi 1. Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Young, A., & McNaught, C.-E. (2017). The physiolo-g y of wound healing.
Surgery, 29(10), 475–479. https://doi.org/10.1016/j.mpsur.2011.06.011

Anda mungkin juga menyukai