Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera kepala merupakan istilah luas yang menggambarkan sejumlah cedera
yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak, otak, dan jaringan di bawahnya serta
pembuluh di kepala (Haryono & Utami, 2019). Penyebab dari cedera kepala adalah
adanya trauma pada kepala, trauma yang dapat menyebabkan cedera kepala antara
lain kejadian jatuh yang tidak disengaja, kecelakaan kendaraan bermotor, benturan
benda tajam dan tumpul, benturan dari objek yang bergerak, serta benturan kepala
pada benda yang tidak bergerak (Manurung, 2018). Cedera kepala memiliki tanda dan
gejala sebagai berikut, yaitu konfulsi, kejang, serta adanya tanda kemungkinan fraktur
kranium (tanda battel, mata rabun, hemotmpanum, otore, atau rinore cairan
serebrospinal) (Manurung, 2018).
Cedera kepala mampu meningkatkan angka kematian dan juga mampu
menurunkan angka harapan hidup. Hal tersebut dikarenakan cedera kepala bisa
menyebabkan kejadian kejang, gangguan tidur, gangguan psikoatrik, penyakit
neurodegenerratif, inkontinensia blader dan bowel, disfungsi seksual dan disregulasi
sistemik metabolik secara menetap meskipun sudah beberapa bulan bahkan tahun
setelah mengalami cedera kepala. Selain itu, komplikasi dari cedera kepala juga
mampu menyebabkan gangguan dan juga kerusakan struktur pada otak seperti
kerusakan parenkim otak, kerusakan pembuluh darah otak, edema otak, perdarahan di
otak, penurunan sirkulasi jaringan di otak akibat penurunan O2 ke otak sehingga
terjadi penurunan GCS yang mana kondisi tersebut harus segera mendapatkan
penanganan yang cepat dan tepat (Fahmi, 2019).
Tindakan operasi akan dilakukan apabila pasien cedera kepala mengalami
kondisi seperti adanya benda asing, patah tulang tengkorak, memar otak (konstusio
serebri), penggumpalan darah di dalam otak, dan perdarahan otak. Keluhan utama dari
post operasi biasanya adalah nyeri. Proses penyebab nyeri terjadi sebagai akibat dari
beberapa proses yaitu nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi
sentral, eksitabilitasektopik, reorganisasi Univerasitas Ngudi Waluyo struktural, dan
penurunan inhibisi. Nyeri diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, salah satunya
adalah berdasarkan timbulnya nyeri (Bahrudin, 2018).
Penelitian Peterson et al., (2019) menunjukan bahwa terdapat sekitar
288.000 pasien cedera kepala yang mengalami rawat inap dan sekitar 23.000
diantaranya merupakan anak-anak. Pasien cedera kepala yang meninggal dunia
terdapat sekitar 56.800 orang yang 2.529 didalamnya merupakan anak-anak.
Riskesdas (2018) menunjukan prevalensi kejadian cedera kepala di Indonesia
berada pada angka 11,9%. Cedera pada bagian kepala menempati posisi ketiga
setelah cedera pada anggota gerak bawah dan bagian anggota gerak atas dengan
prevalensi masing-masing 67,9% dan 32,7% (Kementrian Kesehatan RI, 2018).

1.2 Tujuan
1) Mengetahui definisi cidera kepala
2) Mengetahui etiologi cidera kepala
3) Mengetahui manifestasi cidera kepala
4) Mengetahui klasifikasi cidera kepala
5) Mengetahui patofisiologi cidera kepala
6) Mengetahui pemeriksaan penunjang cidera kepala
7) Mengetahui penatalaksanaan cidera kepala
8) Mengetahui pathway cidera kepala
9) Mengetahui asuhan keperawatan cidera kepala
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Cidera Kepala


Cedera kepala yakni istilah luas yang menggambarkan sejumlah besar cedera
yang berlangsung pada kulit kepala, tengkorak, otak, dan jaringan dibawahnya serta
pembuluh darah di kepala baik berupa cedera terbuka maupun cedera tertutup
(Haryono & Utami dalam Agustia et al., 2021). Cedera kepala adalah suatu gangguan
traumatik yang melibatkan fungsi otak yang disertai atau tanpa perdarahan interstisial
dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Tarwoto dalam
Agustia et al., 2021). Cedera kepala dapat menimbulkan beberapa efek berdasarkan
beratnya cedera kepala. Pasien dengan cedera kepala juga akan mengalami perubahan
dalam kualitas hidup diantaranya, merubah daya konsentrasi, mempengaruhi
kecepatan berfikir, mempengaruhi ingatan, berpengaruh dalam pengambilan
keputusan, mengalami perubahan dalam diri menjadi lebih lambat, serta berdampak
pada kekuatan diri yang menurun (Siponkoski dalam Agustia et al., 2021).

2.2 Etiologi Cidera Kepala


Etiologi cedera kepala dapat terjadi akibat dari berbagai sumber, yaitu kekerasan
benda tumpul (kecelakaan, pembunuhan, dan bunuh diri); benda tajam (batang besi,
kayu runcing atau pecahan kaca); tembakan peluru; dan gerakan mendadak (Siahaya
et al., 2020). Pada penelitian Mukhlisin (2018) ditemukan bahwa sebagaian besar
etiologi cedera kepala ialah kecelakaan lalu lintas. Penyebab cedera kepala juga dapat
dibagi menjadi dua, yaitu penyebab cedera kepala primer dan penyebab cedera kepala
sekunder. Pada cedera kepala primer, penyebabnya adalah ruda paksa atau kerusakan
yang disebabkan trauma mekanis terhadap tulang kepala dan jaringan otak.
Sedangkan penyebab dari cedera kepala sekunder terdiri dari dua, yaitu intrakranial
dan ekstrakranial atau sistemik. Penyebab intrakranial misalnya epidural, subdural,
intraserebral hematoma, edema serebral, peningkatan ICP (Intracranial Pressure).
Penyebab sistemik seperti hipoksemi, hiperkapni, hipotensi, anemi, hipertensi,
hipoglikemi, hipertermi, sepsis (Safita et al., 2019).

2.3 Manifestasi Klinis Cidera Kepala


Manifestasi klinik yang terjadi dari cedera kepala antara lain penurunan
kesadaran, gangguan orientasi, pupil dilatasi, defisit neurologik, disfungsi sensori,
perubahan tanda-tanda vital pasien, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran,
nyeri kepala, vertigo, gangguan pada pergerakan, kejang dan lain-lain (Smeltzer &
Bare dalam Kristyaningsih & Rahmawati, 2022). Referensi lain menyebutkan bahwa
kerusakan yang terjadi akibat cedera kepala dapat menimbulkan berbagai komplikasi
seperti gangguan pembuluh darah, mempengaruhi tekanan intrakranial dan
cerebrospinal fluid (CSF). Beberapa dari keadaan tersebut dapat menimbulkan
manifestasi klinis, diantaranya (Khuldy, 2020):
1. Gangguan Kesadaran : Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan defisit
fungsi
2. Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK), setelah terjadi trauma kepala maka
jaringan otak yang rusak dapat menjadi edema atau terjadi penumpukan darah
yang cepat, maka dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial yang
membutuhkan penanganan segera
3. Tanda-tanda klinis terjadinya peningkatan tekanan intrakranial seperti
perlambatan nadi, edema papil, mual muntah Sakit kepala, hipertensi
Gejala klasik seperti, penurunan pendengaran dan penglihatan, disorientasi,
kejang,vertigo,gangguan pergerakan, disfungsi sensori, dan dapat terjadi post
traumatik amnesia

2.4 Klasifikasi Cidera Kepala


2.4.1 Berdasarkan Tingkat Keparahan Klinis
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu suatu skala untuk menilai
secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang
terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening),
reaksi berbicara (verbal respons) dan reaksi lengan serta tungkai (motor
respons). Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan
nilai GCS yaitu (Amila, 2020):
a. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS >13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT Scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama
dirawat di rumah sakit <48 jam.
b. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan
pada CT Scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial,
dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam.
c. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu >48 jam setelah trauma,
skor GCS <9 (George, 2009).

2.4.2 Berdasarkan Etiologi


a. Cedera kepala tumpul: Terjadi Ketika kekuatan mekanik eksternal
menyebabkan percepatan atau perlambatan yang berdampak pada otak.
Hal ini biasanya ditemukan dalam cedera akibat kendaraan bermotor,
jatuh, luka bakar atau alterasi fisik.
b. Cedera kepala penetrasi terjadi saat sebuah benda menembus tengkorak
dan melukai dura mater yang biasanya terlihat pada luka tembak dan
tusukan.
c. Cedera kepala ledak umumnya terjadi setelah pengeboman dan
peperangan karena kombinasi antara gaya kontak dan inersia, tekanan
berlebih dan gelombang akustik (Amila, 2020).

2.4.3 Berdasarkan Keterlibatan


Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan area yang terlibat, seperti
dalam diffuse atau fokal, walaupun 2 jenis ini sering disamakan (Amila, 2020):
a. Cedera kepala yang meliputi cedera aksonal difus (DAI). cedera otak
hipoksia, edema serebral difus atau cedera vaskular yang menyebar.
b. Cedera fokal meliputi lesi spesifik seperti kontusi, hematoma intrakranial,
infark, axonal tears, evakuasi saraf kranial dan fraktur tengkorak.
2.4.4 Berdasarkan Perkembangan Cedera
1. Cedera primer disebabkan oleh kekuatan mekanik langsung. apakah
tumpul, tembus, atau meledak dan termasuk berikut ini (Amila, 2020):
a. Fraktur tulang tengkorak
Kontusi (memar berdarah pada otak) yang dapat menyebabkan
perdarahan (pembekuan darah di lapisan meningeal atau struktur
kortikal/subkortikal akibat trauma).
b. Gegar otak (cedera kecepatan rendah yang mengakibatkan defisit
fungsional tanpa cedera patologis)
c. Laserasi (di jaringan otak atau pembuluh darah otak).
d. Cedera aksonal difus (gaya geser traumatis yang menyebabkan
robeknya serabut saraf di sepanjang gray matter).

Cedera primer dapat disebabkan oleh cedera tembus (open head) atau
cedera yang tidak menentu (close-head). Cedera tembus (open)
melibatkan luka terbuka kepala karena benda asing (misal peluru). Hal ini
biasanya ditandai dengan kerusakan fokal yang terjadi di sepanjang rute
yang telah dilalui benda tersebut di otak yang mencakup tengkorak
retak/perforasi, robeknya meninges dan kerusakan jaringan otak (Amila,
2020).
Cedera nonpenetrasi (closed-head) ditandai dengan kerusakan otak
akibat dampak tidak langsung tanpa masuknya benda asing ke otak.
Tengkorak itu mungkin tidak rusak, tapi tidak ada penetrasi meninges
(Amila, 2020).
Cedera yang tidak menentu terdiri dari dua jenis (Amila, 2020):
a. Cedera akselerasi disebabkan oleh pergerakan otak di dalam kepala
yang tidak terkendali (misalnya cedera pukulan).Jika kekuatan yang
memengaruhi kepala cukup kuat, hal itu dapat menyebabkan kontusi
pada tempat benturan dan sisi berlawanan tengkorak, menyebabkan
kontusi tambahan (cedera coup-contrecoup).
b. Cedera nonakselerasi disebabkan oleh cedera pada kepala yang
tertahan dan oleh karena itu, tidak ada akselerasi atau perlambatan
otak yang terjadi di dalam tengkorak. Ini biasanya mengakibatkan
deformasi (patah tulang) tengkorak, menyebabkan kerusakan lokal
terpusat pada meninges dan otak.
2. Cedera Sekunder
Mengacu pada konsekuensi patofisiologis yang berkembang dari
cedera primer dan mencakup banyak kaskade neurobiologis kompleks
yang diubah atau dimulai pada tingkat sel setelah cedera primer dan
termasuk berikut ini (Amila, 2020):
a. Iskemia (aliran darah tidak mencukupi):
b. Hipoksia (kekurangan oksigen di otak);
c. Hipotensi/hipertensi (tekanan darah rendah/tinggi);
d. Edema serebral (pembengkakan otak);
e. Tekanan intrakranial meningkat (tekanan meningkat di dalam
tengkorak), yang dapat menyebabkan herniasi (bagian otak tergusur);
f. Hiperkapnia (kadar karbon dioksida yang berlebihan dalam darah);
g. Meningitis (infeksi pada lapisan meningeal) dan abses otak;
h. Perubahan biokimia (perubahan neurotrasmiter, sodium, potassium
dan lain-lain);
i. Epilepsy

2.5 Patofisiologi Cidera Kepala


Proses patofisiologi cedera kepala dibedakan menjadi dua bagian yaitu (Afiani, 2015):
1. Primary Brain Injury
Primary Brain Injury merupakan kerusakan otak tahap pertama yang
diakibatkan oleh proses mekanik (Japardi, 2002). Proses patofisiologi Primary
Brain Injury dibedakan menjadi dua yakni: lesi focal dan diffuse. Lesi focal dapat
diakibatkan oleh adanya benturan pada kepala sehingga dapat menimbulkan
contusio dan hematom. Sedangkan lesi diffuse sering diakibatkan benturan akibat
kecelakaan lalu lintas (Mark et all, 2002). Tingkat keparahan lesi ditentukan oleh
lokasi dan kekuatan mekanik benturan (Mark et all, 2002) (Japardi, 2002), arah,
kondisi kepala, dan percepatan gerak kepala (Japardi, 2002). Beberapa tipe
primary brain injury antara lain: fraktur tengkorak, epidural hematom, subdural
hematom, intracerebral hematom, diffuse axonal injury.
2. Secondary Brain Injury
Secondary Brain Injury merupakan kerusakan neuron yang diakibatkan oleh
adanya respon sistemik fisiologis yang muncul akibat adanya cedera (Mark et all,
2002). Struktur anatomi dan fisiologi otak yang berubah dapat mengakibatkan
meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berlanjut, iskemia fokal/
global otak, kejang dan hipertermi (Japardi, 2002).
Dalam waktu 24 jam pertama setelah kejadian cedera, aliran darah otak
(cerebral blood flow) berkurang hingga lebih dari separuh aliran darah otak
normal (Mark et all, 2002). Sebagai akibatnya otak dapat mengalami iskemia dan
pada akhirnya dapat menimbulkan hipotensi. Survey yang dilakukan pada korban
meninggal akibat cedera kepala menunjukkan bahwa lebih dari 80% pasien
meninggal tersebut mengalami posttraumatic ischemic lession (Mark et all, 2002).

2.6 Pemeriksaan Penunjang Cidera Kepala


Pemeriksaan diagnostic dari cedera kepala (Mawarni, 2020):
1. Pemeriksaan diagnostic
a. Xray/CT Scan
1) Hematom serebral
2) Edema serebral
3) Perdarahan intrakranial
4) Fraktur tulang tengkorak
b. MRI: dengan atau tanpa menggunakan kontras
c. Angiografi cerebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
d. EEG: mermperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis

2. Pemeriksaan laboratorium
a. AGD: PO2, PH, HCO2: untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin aliran darah
serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi yang dapat
meningkatkan TIK.
b. Elektrolit serum: cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi
natrium, retensi Na berakhir beberapa hari, diikuti dengan dieresis Na,
peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit.
c. Hematologi: leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum.
d. CSS: menenetukan kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid (warna,
komposisi, tekanan).
e. Pemeriksaan toksilogi: mendeteksi obat yang mengakibatkan penurunan
kesadaran.
f. Kadar antikonvulsan darah: untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang.

2.7 Penatalaksanaan Cidera Kepala


Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala meliputi sebagai berikut (Manurung,
2018):
a. Keperawatan
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu. Makanan
atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus
dextrose 5%, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya
kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi
4. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring
b. Medis
1) Terapi obat-obatan
a) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma
b) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu mannitol 20 % atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %
c) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol
d) Pembedahan bila ada indikasi (hematom epidural besar, hematom sub
dural, cedera kepala terbuka, fraktur impresi >1 diplo)
e) Lakukan pemeriksaan angiografi serebral, lumbal fungsi, CT Scan dan MRI
Menurut Rendy & Margaret Clevo (2012) penatalaksanaan konservatif adalah sebagai
berikut.
a. Bedrest Total
b. Pemberian Obat-Obatan
1) Obat Anti Kejang Profilaksis anti kejang efektif diberikan pada 1 minggu
pertama pasca trauma. Alternatif obat yang efektif adalah phenytoin dan
levetiracetam. Pengobatan profilaksis anti kejang sebaiknya tidak rutin
dilakukan setelah 7 hari pasca trauma karena tidak menurunkan risiko
kejang fase lanjut pasca trauma. Pemberian profilaksis fenitoin efektif
untuk mencegah kejang fase dini pasca trauma.
2) Manitol dan Sodium Laktat Hipertonis Manitol membantu menurunkan
TIK pada pasien COB. Pemberian secara bolus dengan dosis
0,25–1gr/kgBB lebih dianjurkan dibandingkan pemberian secara terus
menerus
3) Antibiotika Profilaksispada Pemasangan Kateter Ventrikel Pemberian
antibiotik pada pemasangan dan penggantian kateter ventrikel setiap 5 hari
tidak mengurangi risiko infeksi. Penggunaan antibiotik lokal maupun
sistemik tidak menurunkan risiko infeksi pada pemasangan kateter
ventrikel.
4) Analgetik Ketorolac dan acetaminophen dapat digunakan pada pasien
trauma kepala. Ketorolac hanya boleh diberikan maksimal 5 hari. Obat-
obatan NSAID lainnya seperti ibuprofen dan naproxen bisa diberikan per-
oral. Ketoprofen supp dan acetaminophen supp bermanfaat
menguranginyeri pada COR.
5) Kortikosteroid Terapi dengan dan tanpa kortikosteroid pada pasien memar
otak secara statistic hasil terapi tidak berbeda bermakna
6) Sedatif/Tranquilizer Midazolam mengurangi CBF sehingga cenderung
aman dan efektif untuk anestesiadan sedasi pasien dengan peningkatan ICP.
Propofol memberikan hasil yang baik dalam fungsi sedasi serta
memudahkan dalam evaluasi fungsi neurologis secara awal.
Dexmedetomidine merupakan sedasi tanpa efek neurologis dan
memberikan efek proteksi pada otak (Wahyuhadi et al., 2014)
BAB III
PATHWAY
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Kasus Cidera Kepala
Laki-laki usia 40 tahun telah dirawat di ICU selama 4 hari, dengan diagnose
medis cedera kepala berat. Pasien dibawa ke RS oleh pihak kepolisian karena terlibat
dalam kecelakaan lalu lintas pada hari rabu, 15 Juli 2022 dengan kondisi tidak
sadarkan diri. Hasil pemeriksaan perawat IDG didapatkan data tekanan darah 98/60
mmHg, nadi 60x/menit, RR: 28x/menit, suhu 36,40C, saturasi O2 : 91%. Keluarga
mengatakan pasien memiliki riwayat DM 7 tahun yang lalu. Selama dirawat di ICU
pasien BAB 2x, jumlah sedikit, berwarna coklat, dan memiliki bauk has. Pasien
terpasang kateter 1000ml/hari, berwarna kuning keruh dan berbau khas. Hasil
pemeriksaan saat di ICU yaitu nadi 60 x/menit, RR 26x/menit, tekanan darah 100/60
mmHg, saturasi O2 94% dengan bantuan ventilator, GCS 2-X-2, terpasang NGT,
suara ronchi. Terdapat luka robek + 2 cm dan edema di ekstremitas kiri atas. Hasil
pemeriksaan lab didapatkan leukosit 15.54 (3.70-10.1), neutrophil 89% (39.3-73.7).

Terapi yang diberikan:


Infus RD5 1500cc/24 jam, Injeksi Ceftriaxine 1 x 2 gr, Injeksi Phenitoin 3 x 10 mg,
Manitol 4 x 10 cc, Cimetidin 3 x 1 amp, Injeksi Citicolin 2 x 50 mg, Injeksi Na
Phenitoin 3 x 1, Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp, Shiringe Pump Miloz 1 mg/j, Shiringe
Pump SM 40% 1 gr/j.

4.2 Pengkajian

Tanggal masuk pasien di RS : Rabu, 15 Juli 2022


Tanggal dan jam masuk pasien di ICU : Rabu, 15 Juli 2022
Tanggal dan jam pengkajian : Rabu, 15 Juli 2022
1. Identitas pasien
Nama : Tidak dapat dikaji
Umur : 40 tahun
Tanggal Lahir : Tidak dapat dikaji
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Tidak dapat dikaji
Pekerjaan : Tidak dapat dikaji
Alamat : Tidak dapat dikaji
Suku : Tidak dapat dikaji
Pendidikan : Tidak dapat dikaji
No. RM : Tidak dapat dikaji
Identitas Penanggung Jawab : Keluarga

2. Keluhan Utama : Tidak dapat dikaji


3. Alasan masuk RS : Kecelakaan lalu lintas dengan kondisi tidak
sadarkan diri
4. Riwayat Alergi : Tidak dapat dikaji
5. Riwayat Penyakit sekarang : Diabetes mellitus
6. Riwayat Penyakit dahulu : Diabetes mellitus
7. Riwayat Penyakit keluarga : Tidak dapat dikaji
8. Pemeriksaan Fisik

Pengkajian Primer
1) Airway : RR 26x/menit; SaO2:94%; pasien
terpasang ventilator; terdengar suara ronchi pada pasien; nadi 60x/menit; TD:
100/60mmHg; terpasang NGT
2) Breathing : RR 26x/menit; SaO2=94%; Terpasang
Ventilator
3) Circulation : Tekanan darah 100/60mmHg, dengan Nadi :
60x/ menit
Pengkajian Sekunder
1) B1 (Breath) : Pasien terpasang ventilator; RR : 26x/menit;
SaO2 : 94%, terdapat suara ronchi, terpasang NGT
2) B2 (Blood) : TD : 100/60mmHg; nadi : 60x/ menit
3) B3 (Brain) : GCS 2-X-2, dengan total 4 = Semi koma
4) B4 (Bladder) : Pasien terpasang kateter urine dengan jumlah
pengeluaran 1000ml/hari, berwarna kuning, keruh, berbau khas
5) B5 (Bowel) : BAB 2x, jumlah sedikit, berwarna coklat,
berbau khas
6) B6 (Bone) : Tidak dapat dikaji
Pengkajian Psikologis : Tidak dapat dikaji
Pengkajian Sosial : Tidak dapat dikaji
Pengkajian Spiritual : Tidak dapat dikaji
Pengkajian Budaya : Tidak dapat dikaji

9. Pemeriksaan Penunjang :
a. Pemeriksaan Laboratorium
- Leukosit 15.54 (3.70-10.1), neutrophil 89% (39.3-73.7).
b. Pemeriksaan Rontgen
- Tidak dapat dikaji
c. Diagnosa Medis:
- Cedera Kepala Berat

10. Terapi Medikasi pada Pasien : Infus RD5 1500cc/24 jam, Injeksi Ceftriaxine
1 x 2 gr, Injeksi Phenitoin 3 x 10 mg, Manitol 4 x 10 cc, Cimetidin 3 x 1 amp, Injeksi
Citicolin 2 x 50 mg, Injeksi Na Phenitoin 3 x 1, Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp, Shiringe
Pump Miloz 1 mg/j, Shiringe Pump SM 40% 1 gr/j.

4.3 Analisis Data

No Data Masalah Etiologi

1 DO: Risiko Kondisi terkait


● Tekanan darah 100/60 ketidakefektifan kerusakan otak,
mmHg perfusi jaringan neoplasma otak,
● pasien terpasang kateter serebral (00201)
1000 ml/hari berwarna
kuning keruh dan berbau
khas
● GCS 2-X-2
● penurunan kesadaran
● edema di ekstremitas kiri
atas
● terdapat luka robek +2 cm
DS:
● pasien mengatakan
memiliki riwayat DM 7
tahun yang lalu

2 DO: Ketidakefektifan kondisi terkait diabetes


● Tekanan darah 100/60 perfusi jaringan mellitus, trauma
mmHg, RR 26 x/menit, perifer b/d Diabetes
nadi 60 x/menit mellitus (00204)
● pasien terpasang kateter
1000 ml/hari berwarna
kuning keruh dan berbau
khas
● GCS 2-X-2
● penurunan kesadaran
● edema di ekstremitas kiri
atas
● terdapat luka robek +2 cm
DS:
● pasien mengatakan
memiliki riwayat DM 7
tahun yang lalu

3 DO: Ketidakefektikan kondisi terkait adanya


● Tekanan darah 100/60 bersihan jalan jalan nafas buatan,
mmHg, RR 26 x/menit, napas (00031) infeksi
nadi 60 x/menit
● saturasi Oksigen 94%
dengan bantuan ventilator
● terpasang NGT, terdengar
suara ronchi
● Penurunan kesadaran
dengan koma GCS 2-X-2
● didapatkan leukosit 15.54
(3.70-10.1), neutrophil
89% (39.3-73.7).

DS:
-

4 DO: ketidakefektifan Kondisi terkait gangguan


● Tekanan darah 100/60 pola napas (00032) neurologis
mmHg, RR 26 x/menit,
nadi 60 x/menit
● saturasi Oksigen 94%
dengan bantuan ventilator
● terpasang NGT, terdengar
suara ronchi
● Penurunan kesadaran
dengan koma GCS 2-X-2
● edema di ekstremitas kiri
atas
DS:
-

5 DO: Risiko Syok (00205) kondisi terkait sepsis,


● Tekanan darah 100/60 infeksi
mmHg, RR 26 x/menit,
nadi 60 x/menit
● Penurunan kesadaran
dengan koma GCS 2-X-2
● edema di ekstremitas kiri
atas
● terdapat luka robek +2 cm
● didapatkan leukosit 15.54
(3.70-10.1), neutrophil
89% (39.3-73.7).
● pasien terpasang kateter

DS:
-

6 DO: Risiko kerusakan Kondisi terkait gangguan


● Tekanan darah 100/60 integritas kulit metabolisme, trauma
mmHg, RR 26 x/menit, (00047) vaskular
nadi 60 x/menit
● Penurunan kesadaran
dengan koma GCS 2-X-2
● edema di ekstremitas kiri
atas
● terdapat luka robek +2 cm
● pasien terpasang kateter

DS:
-

7 DO: Risiko Konstipasi kondisi terkait gangguan


● Tekanan darah 100/60 (00015) neurokognitif, sediaan
mmHg, RR 26 x/menit, farmasi
nadi 60 x/menit
● Selama dirawat di ICU
Pasien BAB 2x jumlah
sedikit , berwarna coklat,
dan memiliki bau khas
DS:
-
-

4.4 Diagnosis Prioritas


4.5 Intervensi Keperawatan
4.6 Implementasi dan Evaluasi
4.6.1 Implementasi

No Diagnosis Implementasi

1 Risiko - Berikan sedasi, sesuai kebutuhan.


ketidakefektifa - Catat perubahan pasien dalam respon terhadap stimulus
n perfusi - Hindari fleksi leher
jaringan - Posisikan tinggi kepala tempat tidur 30 derajat atau lebih
serebral
(00201)

2 Ketidakefektif - Monitor tanda-tanda vital, seperti suhu, tekanan darah,


an perfusi nadi dan pernafasan.
jaringan - Monitor status pernafasan, ABC level, oksimetri denyut
perifer b/d nadi, kedalaman, pola, dan laju pernafasan.
Diabetes - Monitor ICP dan CPP
mellitus
(00204)

3 Ketidakefektif - Kaji dan dokumentasi keefektifan pemberian oksigen


an bersihan - Berikan oksigen yang telah di humidifikasi
jalan napas - Tentukan kebutuhan pengisapan oral dan trakeal
(00031) - Lakukan hiperventilasi sebelum suction
- Observasi status saturasi oksigen pasien, status
hemodinamik (MAP), dan irama jantung segera sebelum,
selama, dan setelah dilakukan suction.
- Catat tipe dan jumlah sekresi.

4 ketidakefektifa - Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi


n pola napas - Monitor respirasi dan status O2
(00032) - Atur peralatan oksigenasi
- Monitor aliran oksigen

5 Risiko Syok - Monitor TTV: tekanan darah, ortostatik, status mental dan
(00205) urine output.
- Monitor hemodinamik
- Monitor status cairan meliputi intake dan output
- Berikan medikasi vasoaktif
6 Risiko - Monitor kulit apakah terdapat kemerahan
kerusakan - Hindari kerutan pada tempat tidur
integritas kulit - Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) tiap dua jam sekali
(00047)

7 Risiko - Monitor bising usus


Konstipasi - Monitor feses: Frekuensi, konsistensi dan volume
(00015) - Dukung intake cairan
- Konsultasi dengan dokter tentang penurunan dan
peningkatan bising usus
- Berikan terapi huknah atau enema
- Kolaborasikan pemberian laksatif

4.6.2 Evaluasi

No Diagnosis Evaluasi

1 Risiko S: -
ketidakefektifa
n perfusi O: Tidak terlihat adanya peningkatan nilai GCS pada pasien
jaringan serta tidak ada edem.
serebral
(00201) A: Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

P: Intervensi dihentikan

2 Ketidakefektif S: -
an perfusi
jaringan O: Tidak terlihat adanya edem, CRT > 2 detik, akral teraba
perifer b/d hangat
Diabetes
mellitus A: Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer teratasi
(00204)
P: Intervensi dihentikan

3 Ketidakefektik S: -
an bersihan
jalan napas O: Tidak terdengar suara ronkhi
(00031)
A: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi

P: dihentikan

4 ketidakefektifa S: -
n pola napas
(00032) O: Frekuensi pernapasan kembali normal

A: Ketidakefektifan pola nafas teratasi


P: dihentikan

5 Risiko Syok S: -
(00205)
O: Kondisi hemodinamik pasien mulai stabil

A: Risiko syok teratasi

P: dihentikan

6 Risiko S: -
kerusakan
integritas kulit O: Pasien dimobilisasi setiap dua jam sekali, sehingga tidak
(00047) terlihat tanda kemerahan dan infeksi pada kulit.

A: Risiko kerusakan integritas kulit teratasi

P: dihentikan

7 Risiko S: -
Konstipasi
(00015) O: Frekuensi BAB pada pasien kembali norma;

A: Risiko konstipasi teratasi

P: dihentikan

Anda mungkin juga menyukai