PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera kepala merupakan istilah luas yang menggambarkan sejumlah cedera
yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak, otak, dan jaringan di bawahnya serta
pembuluh di kepala (Haryono & Utami, 2019). Penyebab dari cedera kepala adalah
adanya trauma pada kepala, trauma yang dapat menyebabkan cedera kepala antara
lain kejadian jatuh yang tidak disengaja, kecelakaan kendaraan bermotor, benturan
benda tajam dan tumpul, benturan dari objek yang bergerak, serta benturan kepala
pada benda yang tidak bergerak (Manurung, 2018). Cedera kepala memiliki tanda dan
gejala sebagai berikut, yaitu konfulsi, kejang, serta adanya tanda kemungkinan fraktur
kranium (tanda battel, mata rabun, hemotmpanum, otore, atau rinore cairan
serebrospinal) (Manurung, 2018).
Cedera kepala mampu meningkatkan angka kematian dan juga mampu
menurunkan angka harapan hidup. Hal tersebut dikarenakan cedera kepala bisa
menyebabkan kejadian kejang, gangguan tidur, gangguan psikoatrik, penyakit
neurodegenerratif, inkontinensia blader dan bowel, disfungsi seksual dan disregulasi
sistemik metabolik secara menetap meskipun sudah beberapa bulan bahkan tahun
setelah mengalami cedera kepala. Selain itu, komplikasi dari cedera kepala juga
mampu menyebabkan gangguan dan juga kerusakan struktur pada otak seperti
kerusakan parenkim otak, kerusakan pembuluh darah otak, edema otak, perdarahan di
otak, penurunan sirkulasi jaringan di otak akibat penurunan O2 ke otak sehingga
terjadi penurunan GCS yang mana kondisi tersebut harus segera mendapatkan
penanganan yang cepat dan tepat (Fahmi, 2019).
Tindakan operasi akan dilakukan apabila pasien cedera kepala mengalami
kondisi seperti adanya benda asing, patah tulang tengkorak, memar otak (konstusio
serebri), penggumpalan darah di dalam otak, dan perdarahan otak. Keluhan utama dari
post operasi biasanya adalah nyeri. Proses penyebab nyeri terjadi sebagai akibat dari
beberapa proses yaitu nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi
sentral, eksitabilitasektopik, reorganisasi Univerasitas Ngudi Waluyo struktural, dan
penurunan inhibisi. Nyeri diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, salah satunya
adalah berdasarkan timbulnya nyeri (Bahrudin, 2018).
Penelitian Peterson et al., (2019) menunjukan bahwa terdapat sekitar
288.000 pasien cedera kepala yang mengalami rawat inap dan sekitar 23.000
diantaranya merupakan anak-anak. Pasien cedera kepala yang meninggal dunia
terdapat sekitar 56.800 orang yang 2.529 didalamnya merupakan anak-anak.
Riskesdas (2018) menunjukan prevalensi kejadian cedera kepala di Indonesia
berada pada angka 11,9%. Cedera pada bagian kepala menempati posisi ketiga
setelah cedera pada anggota gerak bawah dan bagian anggota gerak atas dengan
prevalensi masing-masing 67,9% dan 32,7% (Kementrian Kesehatan RI, 2018).
1.2 Tujuan
1) Mengetahui definisi cidera kepala
2) Mengetahui etiologi cidera kepala
3) Mengetahui manifestasi cidera kepala
4) Mengetahui klasifikasi cidera kepala
5) Mengetahui patofisiologi cidera kepala
6) Mengetahui pemeriksaan penunjang cidera kepala
7) Mengetahui penatalaksanaan cidera kepala
8) Mengetahui pathway cidera kepala
9) Mengetahui asuhan keperawatan cidera kepala
BAB II
PEMBAHASAN
Cedera primer dapat disebabkan oleh cedera tembus (open head) atau
cedera yang tidak menentu (close-head). Cedera tembus (open)
melibatkan luka terbuka kepala karena benda asing (misal peluru). Hal ini
biasanya ditandai dengan kerusakan fokal yang terjadi di sepanjang rute
yang telah dilalui benda tersebut di otak yang mencakup tengkorak
retak/perforasi, robeknya meninges dan kerusakan jaringan otak (Amila,
2020).
Cedera nonpenetrasi (closed-head) ditandai dengan kerusakan otak
akibat dampak tidak langsung tanpa masuknya benda asing ke otak.
Tengkorak itu mungkin tidak rusak, tapi tidak ada penetrasi meninges
(Amila, 2020).
Cedera yang tidak menentu terdiri dari dua jenis (Amila, 2020):
a. Cedera akselerasi disebabkan oleh pergerakan otak di dalam kepala
yang tidak terkendali (misalnya cedera pukulan).Jika kekuatan yang
memengaruhi kepala cukup kuat, hal itu dapat menyebabkan kontusi
pada tempat benturan dan sisi berlawanan tengkorak, menyebabkan
kontusi tambahan (cedera coup-contrecoup).
b. Cedera nonakselerasi disebabkan oleh cedera pada kepala yang
tertahan dan oleh karena itu, tidak ada akselerasi atau perlambatan
otak yang terjadi di dalam tengkorak. Ini biasanya mengakibatkan
deformasi (patah tulang) tengkorak, menyebabkan kerusakan lokal
terpusat pada meninges dan otak.
2. Cedera Sekunder
Mengacu pada konsekuensi patofisiologis yang berkembang dari
cedera primer dan mencakup banyak kaskade neurobiologis kompleks
yang diubah atau dimulai pada tingkat sel setelah cedera primer dan
termasuk berikut ini (Amila, 2020):
a. Iskemia (aliran darah tidak mencukupi):
b. Hipoksia (kekurangan oksigen di otak);
c. Hipotensi/hipertensi (tekanan darah rendah/tinggi);
d. Edema serebral (pembengkakan otak);
e. Tekanan intrakranial meningkat (tekanan meningkat di dalam
tengkorak), yang dapat menyebabkan herniasi (bagian otak tergusur);
f. Hiperkapnia (kadar karbon dioksida yang berlebihan dalam darah);
g. Meningitis (infeksi pada lapisan meningeal) dan abses otak;
h. Perubahan biokimia (perubahan neurotrasmiter, sodium, potassium
dan lain-lain);
i. Epilepsy
2. Pemeriksaan laboratorium
a. AGD: PO2, PH, HCO2: untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin aliran darah
serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi yang dapat
meningkatkan TIK.
b. Elektrolit serum: cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi
natrium, retensi Na berakhir beberapa hari, diikuti dengan dieresis Na,
peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit.
c. Hematologi: leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum.
d. CSS: menenetukan kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid (warna,
komposisi, tekanan).
e. Pemeriksaan toksilogi: mendeteksi obat yang mengakibatkan penurunan
kesadaran.
f. Kadar antikonvulsan darah: untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang.
4.2 Pengkajian
Pengkajian Primer
1) Airway : RR 26x/menit; SaO2:94%; pasien
terpasang ventilator; terdengar suara ronchi pada pasien; nadi 60x/menit; TD:
100/60mmHg; terpasang NGT
2) Breathing : RR 26x/menit; SaO2=94%; Terpasang
Ventilator
3) Circulation : Tekanan darah 100/60mmHg, dengan Nadi :
60x/ menit
Pengkajian Sekunder
1) B1 (Breath) : Pasien terpasang ventilator; RR : 26x/menit;
SaO2 : 94%, terdapat suara ronchi, terpasang NGT
2) B2 (Blood) : TD : 100/60mmHg; nadi : 60x/ menit
3) B3 (Brain) : GCS 2-X-2, dengan total 4 = Semi koma
4) B4 (Bladder) : Pasien terpasang kateter urine dengan jumlah
pengeluaran 1000ml/hari, berwarna kuning, keruh, berbau khas
5) B5 (Bowel) : BAB 2x, jumlah sedikit, berwarna coklat,
berbau khas
6) B6 (Bone) : Tidak dapat dikaji
Pengkajian Psikologis : Tidak dapat dikaji
Pengkajian Sosial : Tidak dapat dikaji
Pengkajian Spiritual : Tidak dapat dikaji
Pengkajian Budaya : Tidak dapat dikaji
9. Pemeriksaan Penunjang :
a. Pemeriksaan Laboratorium
- Leukosit 15.54 (3.70-10.1), neutrophil 89% (39.3-73.7).
b. Pemeriksaan Rontgen
- Tidak dapat dikaji
c. Diagnosa Medis:
- Cedera Kepala Berat
10. Terapi Medikasi pada Pasien : Infus RD5 1500cc/24 jam, Injeksi Ceftriaxine
1 x 2 gr, Injeksi Phenitoin 3 x 10 mg, Manitol 4 x 10 cc, Cimetidin 3 x 1 amp, Injeksi
Citicolin 2 x 50 mg, Injeksi Na Phenitoin 3 x 1, Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp, Shiringe
Pump Miloz 1 mg/j, Shiringe Pump SM 40% 1 gr/j.
DS:
-
DS:
-
No Diagnosis Implementasi
5 Risiko Syok - Monitor TTV: tekanan darah, ortostatik, status mental dan
(00205) urine output.
- Monitor hemodinamik
- Monitor status cairan meliputi intake dan output
- Berikan medikasi vasoaktif
6 Risiko - Monitor kulit apakah terdapat kemerahan
kerusakan - Hindari kerutan pada tempat tidur
integritas kulit - Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) tiap dua jam sekali
(00047)
4.6.2 Evaluasi
No Diagnosis Evaluasi
1 Risiko S: -
ketidakefektifa
n perfusi O: Tidak terlihat adanya peningkatan nilai GCS pada pasien
jaringan serta tidak ada edem.
serebral
(00201) A: Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
P: Intervensi dihentikan
2 Ketidakefektif S: -
an perfusi
jaringan O: Tidak terlihat adanya edem, CRT > 2 detik, akral teraba
perifer b/d hangat
Diabetes
mellitus A: Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer teratasi
(00204)
P: Intervensi dihentikan
3 Ketidakefektik S: -
an bersihan
jalan napas O: Tidak terdengar suara ronkhi
(00031)
A: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi
P: dihentikan
4 ketidakefektifa S: -
n pola napas
(00032) O: Frekuensi pernapasan kembali normal
5 Risiko Syok S: -
(00205)
O: Kondisi hemodinamik pasien mulai stabil
P: dihentikan
6 Risiko S: -
kerusakan
integritas kulit O: Pasien dimobilisasi setiap dua jam sekali, sehingga tidak
(00047) terlihat tanda kemerahan dan infeksi pada kulit.
P: dihentikan
7 Risiko S: -
Konstipasi
(00015) O: Frekuensi BAB pada pasien kembali norma;
P: dihentikan