Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN


ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
“CEDERA KEPALA”
Disusun untuk memenuhi tugas pada stase Keperawatan Medikal Bedah

Gusti Ayu Putu Parwati


NIM : 20089142205

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG
2021

1
1. Tinjauan Teori Kasus
a. Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Cedera
kepala paling sering dan penyakit neurologi, dan merupakan proporsi
epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Risiko utama pasien yang
mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau
pembengkakakn otak sebagai respons terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intra kranial (TIK). (Brunner & Suddart. 2001)
b. Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma
kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak
20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan
sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama
trauma kepala (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselar, deselerasi, akselerasi-
deselerasi, coup-counter coup, dan cedera rotasional.
1. Cedera Akselerasi, terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak
bergerak (misalnya, alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang
ditembakkan ke kepala)
2. Cedera Deselerasi, terjadi jika kepala yang bergerak membentuk objek diam,
seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca
depan mobil.
3. Cedera kepala akselerasi-deselerasi, sering terjadi dalam kasus kecelakaan
kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik.
4. Cedera Coup-counter coup, terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan
otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang
tengkorak yang berlawanaan serta area kepala yang pertama kali terbentur.
Sebagai contoh pasien dipukuli bagian belakang.
5. Cedera rotasional, terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar

2
dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya
neuron dalam substansi alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi
otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.

c. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang muncul angat tergantung dengan daerah otak yang
terkena
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan patologi :
1. Cedera kepala primer
Merupakan akibat cedera awal yang menyebabkan gangguan integritas fisik,
kimia, dan listrik dari sel di area tersebut yang menyebabkan kematian sel.
2. Cedera kepala sekunder
Cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut
yang terjadi setelah trauma sehingga meningkatkan TIK yang tak terkendali,
meliputi respon fisiologis, cedera otak, termasuk edema serebral, perubahan
biokimia, dan perubahan hemodinamik serebral, iskemia serebral, hipotensi
sistemik, dan infeksi lokal atau sistemik.

Klasifikasi menurut jenis cedera :


1. Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan
laserasi duameter. Trauma yang menembus tengkorak dan jaringan otak.
2. Cedera kepala tertutup, dapat disamakan pada pasien dengan gagar otak
ringan dengan cedera cerebral yang luas.

Klasifikasi berdasarkan keparahan cedera (GDS) :


1. Cedera kepala ringan : GCS 14-15, daapat terjadi kehilangan kesadaran
amnesia tetapi kurang ari 30 menit, tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada
kontusio serebral, hematome.
2. Cedera kepala sedang : GCS 9-13, kehilangan kesadaran dan asam anamnesa
lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam, dapat mengalami fraktur
tengkorak, diikuti contusia serebral, laserasi dan hematome intrakranial.

3
3. Cedera kepala berat : GCS 3-8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
anamnesa lebih dari 24 jam , juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau
hematome intrakranial.

Sementara menurut Price (2003;1174) cedera kepala diklasifikasikan sebagai


berikut:
1. Hematoma Epidural
Hematoma epidural paling sering terjadi di daerah parietotemporal
akibat robekan arterial mengineal media. Tanda dan gejala tampak
bervariasi, penderita hematoepidural yang khas memiliki riwayat cedera
kepala dengan periode tidak sadar dalam jangka waktu pendek, diikuti
periode lusid.

2. Hematoma Subdural
Pada umumnya hematoma subdural berasal dari vena. Hemotoma ini
timbul akibat rupture vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hematoma
subdural dibagi lagi menjadi tipe akut, subakut dan kronik yang memiliki
gejala dan prognosis yang berbeda-beda

Gambar 2: Gambar 3:
Hematoma epidural dalam fosa temporalis, Hematoma subdural
Sumber: Price,2006;1174 Sumber: Price,2006;1174

3. Hematoma subdural akut


Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting
dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera. Hematoma subdural akut terjadi
pada pasien yang meminum obat antikoagulan terus menerus yang tampaknya
mengalami trauma kepala minor dan sering kali berkaitan dengan cedera

4
deselerasi akibat kecelakaan bermotor. Defisit neurologik progresif
disebabkan oleh tekanan pada jaringan optak dan herniasi batang otak ke
dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan tekanan. Keadaan ini
cepat menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan
tekanan darah.

4. Hematona subdural subakut


Hematoma subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna
dalam jangka waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah
cedera. Hematoma ini disebabkan oleh pendarahan vena kedalam ruang
subdural. Riwayat klinis yang khas pada penderita hemotoma subdural
subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidakkesadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap.

5. Hematoma subdural kronik


Trauma otak yang menjadi penyebab dapat sangat sepele atau
terlupakan dan sering kali akibat cedera ringan. Tanda dan gejala dari
Hematoma subdural kronik biasanya tidak spesifik, tidak terlokalisasi dan
dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit lain.

Gambar 2 : Hematoma
Sumber:wikipedia,Mei 2009

5
d. Pemeriksaan Penunjang
I. CT scan (tanpa atau dengan kontras) : mengidentifikasi adanaya
hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler pergeseran jaringan otak.
II. MRI : sama dengan CT scan dengan/tanpa menggunakan kontras.
III. Angiografi serebral menunujukan kelainan serkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
IV. EEG untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
V. Sinar X mendeteksi adanya perubahaan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya
fragmen tulang.
VI. Pungsi lumba, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarakhnoid.
VII. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah arteri atau
oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.
VIII. Kimia/Elaktrolit darah : mengetahui ketidak seimbangan yang berperan
dalam meningkatkan TIK/perubahan mental.
IX. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung
jawab terhadap penurunan kesadaran.
X. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat
terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang. (Doenges, 2000 : 272)
e. Patofisiologi
Menurut Price (2006:1173-1174) Kerusakan otak yang dijumpai pada truma
kepala dapat terjadi melalui dua cara:
1) Efek segera dari trauma pada fungsi otak dan
2) Efek lanjutan dari respon sel-sel otak trauma.
Kerusakan neurologi segera disebabkan oleh suatu benda atau serpihan tulang
yang menembus dan merobek jaringan otak, oleh pengaruh kekuatan atau
energi yang diteruskan ke otak, dan oleh efek akselerasi-deselerasi pada otak,
yang terbatas dalam kompartemen yang kaku.
Derajat kerusakan yang disebabkan oleh hal-hal ini bergantung pada kekuatan
yang menimpa; makin besar kekuatan semakin parah kerusakan. Terdapat 2

6
macam kekuatan yang digunakan melaui 2 cara yang mengakibatkan 2 efek
berbeda.
Pertama, cedera setempat yang disebabkan oleh benda tajam berkekuatan
rendah dan sedikit tenaga. Kerusakan fungsi neurologi terjadi pada tempat
tertentu dan disebabkan oleh benda atau fragmen-fragmen tulang yang
menembus dura pada tempat serangan.
Kedua, cedera menyeluruh yang lebih lazim yang dijumpai pada trauma
tumpul kepala dan terjadi setelah kecelakaan mobil. Kerusakan terjadi sewaktu
energi atau kekuatan diterukan ke otak. Banyak energi yang diserap oleh
lapisan pelindung yaitu rambut, kulit kepala dan tengkorak; tetapi pada trauma
hebat penyerapan ini tidak cukup untuk melindungi otak. Sisa energi
diteruskan ke otak menyebabkan kerusakan dan gangguan di sepanjang jalan
yang di lewati karena sasaran kekuatan itu adalah jaringan lunak. Bila kepala
bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar ( seperti pada kecelakaan
mobil,), kerusakan tidak hanya terjadi akibat cedera setempat pada jaringan
saja tetapi juga akibat akselerasi-deselerasi. Kekuatan akselerasi dan deselarasi
menyebabkan pergerakan isi dalam tengkorak yang keras sehingga memaksa
otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan
dengan benturan. Ini juga disebut cedera contracoup. Terdapat beberapa bagian
dalam rongga tengkorak yang kasar, dan bila otak bergerak melewati daerah ini
(misalnya: Krista sfenodialis), bagian ini akan merobek dan mengoyak
jaringan. Kerusakan diperhebat bila trauma juga menyebabkan rotasi
tengkorak. Bagian otak yang paling besar kemungkinannya menderita cedera
terberat adalah bagian anterior lobus frontalis dan temporalis, bagian posterior
lobus oksipitalis dan bagian atas mesensefalon.
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan
iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya
merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa
jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan
ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan
berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini
adalah dilepaskannya secara berlebihan glutamine, kelainan aliran kalsium,

7
produksi laktat, efek kerusakan akibat radikal bebas dan perubahan pompa
natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan
dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit
pada suplai nutrient yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan
sangat rentan terhadap cedera metabolik apabila suplay dihentikan. Cedera
mengakibatkan hilangnya sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi
yang tersedia menyababkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.

f. Penatalaksanaan Kasus
a. Pasien harus diberikan 100% oksigen, dan monitoring jantung serta 2 IV
line harus diberikan bagi pasien dengan TBI (trauma brain injury) berat,
intubasi endotracheal (melalui intubasi cepat) untuk mengamankan jalan
napas dan mencegah hipoksemia. Jika dilaksanakan dengan tepat, intubasi
cepat akan mencegah peningkatan TIK dan mengurangi terjadinya
komplikasi. Saat melakukan intubasi cepat, sangat penting untuk
mengimobilisasi tulang leher dengan adekuat dan menggunakan sedasi
kuat atau agen induksi.
b. Karena hipotensi dapat mengakibatkan menurunnya perfusi serebral,
sangatlah penting untuk dilakukan pengontrolan tekanan darah.
Pemberian resusitasi cairan dengan cairan kristaloid. CT scan juga
dilakukan dengan berkonsultasi dengan bagian medis neurologi untuk
menentukan dilakukannya suatu operasi. Semua pasien dengan indikasi
trauma intrakranial, posisi tempat tidur harus ditinggikan sebesar 30°
(Jhon: 2004;778)
c. Penatalaksanaan cedera kepala menurut Plantz (1998;526)
d. Jika pasien dengan GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi. Dengan
diberikan tekanan PCO2 sebanyak 25-30 mmHg dapat mengakibatkan
vasokontriksi cerebral dan membantu menurunkan TIK. Namun bila
hiperventilasi ini diberikan secara berlebihan dapat mengakibatkan
penurunan perfusi cerebral

8
e. Penanganan kejang : kejang biasanya diberikan phenytoin dengan atau
tanpa benzoidiazepines.
f. Penanganan luka pada kulit kepala: berikan irigasi yang berlebih,
penekanan harus diberikan untuk mengontrol perdarahan dan luka ditutup
dengan jaritan.
g. Penanganan konservatif dilakukan dengan Bedrest total, pemberian obat-
obatan, serta observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran.
h. Komplikasi
Komplikasi cedera kepala berat menurut Mansjoer (2000:7) sebagai berikut:
a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya
leptomeningen dan terjadi pada 2-6 pasien dengan cedera kepala tertutup.
b. Fistel karotis kavernosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis dan
bruit orbital, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai
hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antideuretik.
d. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini
(minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak
merupakan predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukan resiko
meningkat untuk kejang lanjut dan pasien ini harus dipertahankan dengan
antikonvulsan.
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama
pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki
nilai prognostik yang besar. Skor pasien 3-4 memungkinkan meninggal 85%
atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau
lebih kemungkinan meninggal hanya 5-10%. Sindrom pasca konkusi
berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing,
ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang
banyak berkembang pada pasien cedera kepala.

i. WOC (Terlampir)

9
II. Tinjauan Askep
a. Fokus pengkajian
Proses pengkajian gawat darurat dibagi menjadi dua bagian yaitu : pengkajian
primer (primary assessment dan pengkajian sekunder (secondary assessment)
1. Primary Assessment
a. Data subjektif
1) Keluhan utama : nyeri kepala sampai penurunan kesadaran
2) Keluhan penyakit saat ini : Mekanisme terjadinya cedera
3) Riwayat penyakit terdahulu: adanya penyakit saraf atau riwayat
cedera sebelumnya, kebiasaan minum alcohol, konsumsi medikasi
anticoagulant atau agen antiplatelet, adanya alergi, dan status imunisasi.

b. Data objektif
1) Airway
Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas
berbunyi stridor, ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
2) Breathing
Auskultasi dada terdengar stridor/ ronki/ mengi.
RR > 24x/menit.
3) Circulation
Perubahan tekanan darah atau normal (hipotensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi
disritmia).
4) Disability
Lemah/letargi, lelah, kaku, hilang keseimbangan, perubahan kasadaran
bisa sampai koma.

2. Sekunder assessment
a. Eksposure (E)
1) Adanya jejas pada kepala.
2) Deformitas pada tulang tengkorak.

10
3) Terdapat hemotympanum, periorbital ecchymosis (“raccoon eyes”), dan
retroauricular ecchymosis (Battle sign). (John Ma, 2004: 776)
4) Adanya hemiparese : Five intervention/full set of vital sign (F)
5) Tanda vital (tekanan darah menurun, HR : > 100x/menit (takikardi), RR :
> 24x/menit)
3. Data fisik
a. BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia
breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinana
karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada
jalan napas.
b. BLOOD
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan
bradikardia, disritmia).
c. BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya

gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,

amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan

pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan

mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka

dapat terjadi :

1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,


konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori).
2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada

11
mata.
4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
ke salah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
d. BLADDER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia
urine, ketidakmampuan menahan miksi.

e. BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera.
Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
f. BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat
pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis
yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di
otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan
tonus otot.

Prioritas perawatan:
1. memaksimalkan perfusi/fungsi otak
2. mencegah komplikasi
3. pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal.
4. mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga
5. pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan,
dan rehabilitasi.

b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan berdasarkan prioritas:
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan edema
cerebral : respon local atau umum pada cedera

12
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan
napas
3. Ketidakefektifan Pola napas berhubungan dengan depresi sistem saraf pusat/
trauma kepala
4. PK: Shock hipovolemi
5. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial
6. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual/ muntah
7. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular
8. Kerusakan memori
9. Risiko perdarahan berhubungan dengan trauma, riwayat jatuh
10. Risiko infeksi brehubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder
terhadap trauma
11. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral sekunder
akibat hipoksia

13
h. Intervensi Keperawatan & Rasional
1) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penghentian
aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD
sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
Tujuan: Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi

motorik/sensorik.

Kriteria hasil: Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK

Intervensi Rasional
Tentukan faktor-faktor yg Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan
menyebabkan koma / dalam pemulihannya setelah serangan awal,
penurunan perfusi jaringan menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan
otak dan potensial intensif.
peningkatan TIK.

Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan


Pantau /catat status TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi,
neurologis secara teratur perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
dan bandingkan dengan
nilai standar GCS.
Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III)
Evaluasi keadaan pupil, berguna untuk menentukan apakah batang otak masih
ukuran, kesamaan antara baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan
kiri dan kanan, reaksi antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon
terhadap cahaya. terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang
terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan
okulomotor (III).

Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan


Pantau tanda-tanda vital: TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda
TD, nadi, frekuensi nafas, terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan
suhu. kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat
mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam
dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi
oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil)
yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.

Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh


Pantau intake dan output, yang terintegrasi dengan perfusi jaringan.
turgor kulit dan membran Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes
mukosa. insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada
masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah
yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap

14
tekanan serebral.

Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi


Turunkan stimulasi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk
eksternal dan berikan mempertahankan atau menurunkan TIK.
kenyamanan, seperti
lingkungan yang tenang.
Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak
Bantu pasien untuk dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
menghindari /membatasi
batuk, muntah, mengejan.
Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga
Tinggikan kepala pasien akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko
15-45 derajad sesuai terjadinya peningkatan TIK.
indikasi/yang dapat
ditoleransi.
Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan
Batasi pemberian cairan edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler
sesuai indikasi. TD dan TIK.

Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat


Berikan oksigen tambahan meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral
sesuai indikasi. yang meningkatkan TIK.

Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan


Kolaborasi pemberian obat air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,.
sesuai indikasi, misal: Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya
diuretik, steroid, menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan untuk
antikonvulsan, analgetik, mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang.
sedatif, antipiretik. Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif
digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi.
Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam
yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme
serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.

15
2) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan napas
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x 10 menit diharapkan
jalan napas pasien paten, dengan kriteria hasil:
- Tidak ada suara napas tambahan
- Tidak ada sianosis
- Tidak ada muntahan dan lidah jatuh ke belakang
Intervensi Rasional
Auskultasi suara napas, Pernapasan wheezing, ronchi dan mengi menunjukkan
perhatikan suara napas adanya obstruksi jalan napas
abnormal

Pantau tanda-tanda vital tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat
terutama frekuensi ditemukan pada penerimaan atau selama stress atau
pernapasan adanya proses infeksi akut.

Berikan posisi semi fowler Posisi membantu memeksimalkan ekspansi paru dan
jika tidak ada kontra menurunkan upaya pernapasan
indikasi

Lakukan suction bila Mengefektifkan memaksimalkan jalan napas pasien.


perlu.

Lakukan pemasangan Mengefektifkan/ memaksimalkan jalan napas pasien.


orofaringeal sesuai
indikasi.

3) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler


(cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi
trakeobronkhial.
Tujuan : mempertahankan pola pernapasan efektif.

Kriteria evaluasi : bebas sianosis, GDA dalam batas normal

Intervensi Rasional
Pantau frekuensi, irama, Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi
kedalaman pernapasan. pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan
Catat ketidakteraturan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat
pernapasan. menandakan perlunya ventilasi mekanis.

Pantau dan catat Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi


kompetensi reflek menelan penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan
dan kemampuan pasien refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan
untuk melindungi jalan napas buatan atau intubasi.
napas sendiri. Pasang jalan

16
napas sesuai indikasi.

Angkat kepala tempat Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan


tidur sesuai aturannya, menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang
posisi miirng sesuai menyumbat jalan napas.
indikasi.

Anjurkan pasien untuk Mencegah/menurunkan atelektasis.


melakukan napas dalam
yang efektif bila pasien
sadar.

Lakukan penghisapan Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau


dengan ekstra hati-hati, dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat
jangan lebih dari 10-15 membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan
detik. Catat karakter, pada trakhea yang lebih dalam harus dilakukan dengan
warna dan kekeruhan dari ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan
sekret. atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan
vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh
cukup besar pada perfusi jaringan.
Auskultasi suara napas, Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti
perhatikan daerah atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang
hipoventilasi dan adanya membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau
suara tambahan yang tidak menandakan terjadinya infeksi paru.
normal misal: ronkhi,
wheezing, krekel.

Pantau analisa gas darah, Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan


tekanan oksimetri asam basa dan kebutuhan akan terapi.

Lakukan ronsen thoraks Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-


ulang. tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau
bronkopneumoni.

Berikan oksigen. Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan


membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat
pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi
mekanik.

Lakukan fisioterapi dada Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien


jika ada indikasi. dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini
seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk
memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan
menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.

17
4) Resiko infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja
silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan
steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
Tujuan : Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.

Kriteria evaluasi :Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.

Intervensi Rasional
Berikan perawatan aseptik Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi
dan antiseptik, nosokomial.
pertahankan tehnik cuci
tangan yang baik.

Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan


Observasi daerah kulit
untuk melakukan tindakan dengan segera dan
yang mengalami
pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
kerusakan, daerah yang
terpasang alat invasi, catat
karakteristik dari drainase
dan adanya inflamasi.

Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang


Pantau suhu tubuh secara
selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan
teratur, catat adanya
segera.
demam, menggigil,
diaforesis dan perubahan
fungsi mental (penurunan
kesadaran).

Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang


Berikan antibiotik sesuai
mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah
indikasi
dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nosokomial.

5) NYERI AKUT BERHUBUNGAN DENGAN PENINGKATAN


TEKANAN INTRACRANIAL
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x 15 menit diharapkan
pasien melaporkan nyeri terkontrol, dengan kriteria hasil :

18
- Wajah pasien tidak tampak meringis
- TTV dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, RR :
16-24x/menit, Nadi : 60-100x/menit, S : 36,5-37,50C)
- Pasien melaporkan nyeri terkontrol/ hilang
Intervensi Rasional
Kaji keluhan nyeri, catat nyeri merupakan pengalaman subyektif dan
intensitasnya (dengan skala 0- harus dijelaskan oleh pasien.
10), karakteristiknya (missal :
berat, berdenyut, konstan),
lokasi, lamanya, faktor yang
memperburuk dan meredakan

Identifikasi karakteristik nyeri Merupakan suatu hal yang amat sangat


dan faktor yang berhubungan penting untuk memilih intervensi yang
cocok dan untuk mengevaluasi keefektifan
dari terapi yang diberikan.

Observasi adanya tanda-tanda merupakan indikator/ derajat nyeri yang


nyeri 6 verbal, seperti : tidak langsung yang dialami. Sakit kepala
ekspresi wajah, posisi tubuh, mungkin bersifat akut atau kronis, jadi
gelisah, menangis atau manifestasi visiologis bisa muncul atau
meringis, menarik diri, tidak.
diaporesis, perubahan
frekuensi jantung/pernafasan,
tekanan darah.

Kolaborasi pemberian obat penanganan pertama dari sakit kepala secara


sesuai dengan indikasi umum hanya kadang-kadang bermanfaat
analgetik seperti : pada sakit kepala karena gangguan vaskuler
asetaminoven, ponstan, dll.

6) Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan neuromuskular, penurunan


kekuatan otot, penurunan kesadaran, kerusakan persepsi/kognitif.
Tujuan : Mobilitas fisik kembali optimal.

19
Kriteria Hasil : Pasien mampu mempertahankan kemampuan dan meningkatkan
kekuatan dan fungsi umum, pergerakan normal, ROM meningkat, mampu melakukan
aktivitas sehari-hari, terbebas dari komplikasi akibat immobilisasi ( atrofi, kontraktur,
dekubitus )

INTERVENSI RASIONAL
Lakukan perubahan posisi tiap Perubahan posisi yang teratur meningkatkan
2 jam sirkulasi darah ke seluruh tubuh, melatih
neuromuskuler

Bantu pasien dalam Pasien memerlukan bantuan perawat dalam


pemenuhan ADL pemenuhan ADL

Bantu pasien dalam program Proses penyembuhan yang lambat


penggunaan alat bantu memerlukan penggunaan alat bantu yang
mobilisasi lama untuk aktivitas
Bantu dalam latihan ROM
Mempertahankan mobilisasi dan fungsi
sendi / posisi normal pada ekstremitas dan
menurunkan terjadinya vena stasis
Berikan perawatan kulit
Perawatan kulit yang tepat memperlancar
aliran darah terutama di daerah yang
tertekan
Kolaborasi fisioterapi
g.   Untuk melakukan latihan ROM aktif/pasif

20
III. Daftar Pustaka
Brunner & Suddart. 2003. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Jakarta : EGC
Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC
NANDA International. 2012. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-
2014. Jakarta : EGC
Nurarif, Amin Huda. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Mediaction
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.
Jakarta : EGC
Prince, Sylvia A. & Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta : EGC

21
22
23

Anda mungkin juga menyukai