LUKA BAKAR
Pembimbing
Zaqyyah H, Ns., M. Kep
DI SUSUN OLEH
KELOMPOK 2
2. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi
cedera (Mansjoer, 2000: 3)
a. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter
1) Trauma Tumpul
Contohnya : Trauma akibat kecepatan tinggi (tabrakan mobil) dan kecepatan
rendah (terjatuh, dipukul).
2) Trauma Tembus
Contohnya : luka tembus peluru, dan cedera tembus lainnya
Menurut Doenges (2000: 270) klasifikasi cedera kepala dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Trauma otak primer terjadi karena benturan langsung atau tak langsung
(akselerasi/deselerasi otak).
b. Trauma otak sekunder merupakan akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang
meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipotensi sistemik.
b. Hematoma Subdural
Pada umumnya hematoma subdural berasal dari vena. Hematoma ini timbul akibat
ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hematoma subdural dibagi lagi
menjadi tipe akut, subakut dan kronik yang memiliki gejala dan prognosis yang
berbeda-beda.
4. Patofisiologi
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya trauma kepala yang terjadi. Ada 2 mekanisme cedera yang bisa terjadi, yaitu
cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi). Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi ketika benda yang bergerak membentur kepala yang diam. Sedangkan,
cedera perlambatan (deselerasi) terjadi ketika kepala membentur objek yang relatif tidak
bergerak, misalnya tanah (Gallo, 1996:226).
Kombinasi mekanisme ini mengakibatkan terjadinya cedera pada jaringan otak dan
menimbulkan kerusakan pada sawar darah otak (Blood Brain Barrier). Cedera jaringan
tersebut mengakibatkan degranulasi sel-sel mast yang terdapat dalam jaringan otak.
Degranulasi ini memacu pelepasan histamin yang menimbulkan efek vaskuler berupa
peningkatan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler (Price, 2005:62).
Peningkatan TIK yang terjadi mempengaruhi kecepatan aliran darah ke otak dan
penekanan pada pusat pernafasan medulla oblongata dan pons. Penurunan kecepatan
aliran darah ke otak (Cerebral Blood Flow) mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke
otak, sehingga memunculkan masalah perfusi jaringan serebral tidak efektif (Nanda,
2005:233). Sedangkan, penekanan pada medulla oblongata dan pons menyebabkan
terjadinya gangguan pada fungsi pernafasan (Guyton, 2007:539). Gangguan ini
menimbulkan masalah keperawatan berupa pola nafas tidak efektif (Nanda, 2005:27).
Kombinasi antara gangguan suplai O2 ke otak dan gangguan pada fungsi pernafasan
akibat penekanan fungsi pernafasan membutuhkan tindakan pemasangan intubasi ETT
dan mayo yang bertujuan untuk mempertahankan kepatenan jalan nafas dan membantu
pemenuhan kebutuhan oksigen secara adekuat. Keadaan ini dapat mengurangi respon
batuk pada pasien, dan membuat sekret menumpuk pada saluran pernafasan.
Penumpukan sekret ini menimbulkan masalah keperawatan berupa bersihan jalan nafas
tidak efektif (Nanda, 2005:4).
Selain itu, trauma kepala juga mengakibatkan terjadinya destruksi vaskuler. Destruksi ini
mengakibatkan hilangnya/ berkurangnya cairan dalam intravaskuler. Keadaan ini
menimbulkan masalah keperawatan berupa kekurangan volume cairan tubuh (Nanda,
2005:89). Selain itu, trauma kepala juga menimbulkan lesi pada daerah kepala. Lesi ini
dapat menjadi pintu masuk bagi agen infeksius untuk menyerang pertahanan tubuh.
Keadaan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa risiko infeksi (Nanda, 2005:121).
5. Manifestasi Klinik
Gangguan tanda vital, apatis, letargi, berkurangnya perhatian, menurunnya kemampuan
untuk mempergunakan percakapan kognitif yang tinggi, hemiparesis, kelainan pupil,
pusing menetap, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan bicara, hipoksia, hipotensi
sistemik, hilangnya autoregulasi aliran darah, inflamsi, edema, peningkatan tekanan
intrakranial yang terjadi dalam waktu singkat (Price. 2003:1177 ).
Menurut Doengoes (2000: 270-272) tanda dan gejala dari cedera kepala yaitu:
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise), keterbatasan yang ditimbulkan oleh
kondisinya.
Tanda : Ataksia, masalah berjalan, kelumpuhan, gerakan involunter. Kelemahan
secara umum, keterbatasan dalam rentang gerak, hipotonia.
b. Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis, beberapa penyakit
jantung kongenital (abses otak).
Tanda : Tekanan darah meningkat, nadi menurun dan tekanan nadi berat
(berhubungan dengan peningkatan TIK dan pengaruh pada pusat
vasomotor). Takikardi, disritmia (pada fase akut).
c. Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, kesulitan menelan (pada periode akut).
Tanda : Anoreksia, muntah, turgor kulit jelek, membran mukosa kering.
d. Higiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri (pada periode
akut).
e. Neurosensori
Tanda : Status mental/tingkat kesadaran, letargi sampai kebingungan yang berat
sehingga menjadi koma, delusi dan halusinasi/psikosis organik
(ensefalitis).
Gejala : Sakit kepala (mungkin merupakan gejala pertama dan biasanya berat),
parestesia, terasa kaku pada semua pernafasan yang terkena, kehilangan
sensasi (kerusakan pada saraf kranial), gangguan dalam penglihatan seperti
diplopia (fase awal dari beberapa infeksi).
f. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala (berdenyut dengan hebat, frontal) mungkin akan diperburuk
oleh ketegangan leher/punggung kaku, nyeri pada gerakan okular,
fotosensitivitas, sakit tenggorok nyeri.
Tanda : Tampak terus terjaga, perilaku distraksi/ gelisah, menangis/ mengaduh/
mengeluh.
g. Pernafasan
Gejala : Adanya riwayat infeksi sinus atau paru (abses otak).
Tanda : Peningkatan kerja pernapasan (episode awal), perubahan mental (letargi
sampai koma) dan gelisah.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. MRI : sama dengan CT scan dengan/tanpa menggunakan kontras.
b. Angiografi serebral menunujukan kelainan serkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c. EEG untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
d. Sinar X mendeteksi adanya perubahaan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur
dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen tulang.
e. Pungsi lumba, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarakhnoid.
f. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah arteri atau oksigenasi yang
akan dapat meningkatkan TIK.
g. Kimia/Elaktrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
meningkatkan TIK/perubahan mental.
h. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran. (Doenges, 2000:272)
7. Penatalaksanaan
a. Pasien harus diberikan 100% oksigen, dan monitoring jantung serta 2 IV line harus
diberikan bagi pasien dengan TBI (trauma brain injury) berat, intubasi endotracheal
(melalui intubasi cepat) untuk mengamankan jalan napas dan mencegah hipoksemia.
Jika dilaksanakan dengan tepat, intubasi cepat akan mencegah peningkatan TIK dan
mengurangi terjadinya komplikasi. Saat melakukan intubasi cepat, sangat penting
untuk mengimobilisasi tulang leher dengan adekuat dan menggunakan sedasi kuat
atau agen induksi.
b. Karena hipotensi dapat mengakibatkan menurunnya perfusi serebral, sangatlah
penting untuk dilakukan pengontrolan tekanan darah. Pemberian resusitasi cairan
dengan cairan kristaloid. CT scan juga dilakukan dengan berkonsultasi dengan bagian
medis neurologi untuk menentukan dilakukannya suatu operasi. Semua pasien dengan
indikasi trauma intrakranial, posisi tempat tidur harus ditinggikan sebesar 30°.(Jhon:
2004;778)
8. Komplikasi
Komplikasi cedera kepala berat menurut Mansjoer (2000:7) sebagai berikut:
a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan
terjadi pada 2-6 pasien dengan cedera kepala tertutup.
b. Fistel karotis kavernosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis dan bruit
orbital, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormon antideuretik.
d. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan
predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukan resiko meningkat untuk
kejang lanjut dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.
9. Prognosis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien
dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang
besar. Skor pasien 3-4 memungkinkan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif,
sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal hanya 5-10%.
Sindrom pasca konkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan,
pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang
banyak berkembang pada pasien cedera kepala.
b. Pengkajian Dasar
1) Identitas pasien
a) Tgl/jam
b) Ruangan
c) No RM
d) Diagnosa medik
e) Nama pasien
f) Umur
g) Jenis kelamin
h) Status perkawinan
i) Sumber informasi
j) Agama
k) Pendidikan
l) Pekerjaan
m) Suku/bangsa
n) Alamat
2) Riwayat sakit dan kesehatan
a) Keluhan utama saat MRS
b) Keluhan utama saat pengkajian
c) Riwayat penyakit saat ini
d) Riwayat alergi
e) Riwayat pengobatan
f) Riwayat penyakit sebelumnya
g) Riwayat penyakit keluarga
2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan pembentukan lendir/sekret
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuscular karena
penurunan aliran darah otak dan penekanan pusat pernafasan di medulla oblongata
dan pons
c. Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan kerusakan transportasi
oksigen melewati membran kapiler atau alveolar karena peningkatan TIK
d. Risiko Kekurangan volume cairan berhubungan dengan dengan kehilangan volume
cairan tubuh secara aktif
e. PK: Shock hipovolemi
f. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial
g. Mual berhubungan dengan depresi sistem saraf pusat/ trauma kepala
h. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular
i. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan fungsi motoris otot-
otot bicara
j. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kesalahan interpretasi sekunder
tehadap cedera serebrovaskular
k. Risiko infeksi brehubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap
trauma
l. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral sekunder akibat
hipoksia
3. Intervensi
RENCANA KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA
TUJUAN &
. KEPERAWATAN INTERVENSI RASIONAL
KRITERIA HASIL
1 Bersihan jalan nafas tidak Setelah diberikan asuhan Mandiri : Mandiri :
efektif berhubungan dengan keperawatan selama 3 X 15 menit 1. Kaji kepatenan jalan nafas 1. Obstruksi dapat disebabkan oleh akumulasi
pembentukan lendir/sekret diharapkan pasien dapat sekret, perlengketan mukosa, perdarahan,
mempertahankan kepatenan jalan spasme bronkus, dan/atau masalah dengan
nafas dengan kriteria hasil : posisi trakeostomi/selang endotrakeal
Tidak terdapat suara nafas
tambahan (rales, ronchi, 2. Evaluasi gerakan dada dan 2. Gerakan dada simetris dengan bunyi nafas
wheezing, crakels, snoring) auskultasi untuk bunyi nafas melalui area paru menunjukkan letak
Frekuensi nafas dalam batas bilateral selang tepat/ tak menutup jalan nafas.
normal (RR 16-24x/menit) Obstruksi jalan nafas bawah (mis.
Irama nafas regular Pneumonia/atelektasis) menghasilkan
Tidak terdapat produksi perubahan pada bunyi nafas seperti ronchi,
sekret/sputum mengi
Ekspansi dada simetris,
tidak terdapat penggunaan otot 3. Awasi letak selang endotrakeal 3. Selang endotrakeal dapat masuk ke
bantu pernafasan, tidak ada bronkus kanan, sehingga menghambat
retraksi dada aliran udara ke paru kiri dan pasien
Tidak ada dispnea, berisiko untuk pneumothorak tegangan
orthopnea
4. Catat peningkatan dispnea, sekret 4. Pasien intubasi biasanya mengalami reflek
terlihat pada selang batuk tak efektif atau pasien dapat
endotrakeal/trakeostomi, suara nafas mengalami gangguan neuromuskuler atau
tambahan (rales, ronchi, wheezing, neurosensori
crakels, snoring)
5. Hisap sekret sesuai kebutuhan, 5. Penghisapan tidak harus rutin, dan lamanya
batasi penghisapan 15 detik atau harus dibatasi untuk menurunkan bahaya
kurang hipoksia.
Kolaborasi :
7. Memberikan obat sesuai indikasi :
Kolaborasi : Diuretik dapat digunakan pada fase akut
7. Berikan obat sesuai indikasi : untuk menurunkan TIK
Diuretik, mis. manitol, Menurunkan inflamasi
furosemid
Steroid, mis. deksametason, Obat pilihan untuk mengatasi dan
metil prednisolon, mencegah terjadinya aktivitas kejang
Antikonvulsan, mis. fenitoin Dapat diindikasikan untuk
menghilangkan nyeri dan dapat berakibat
Analgesik negatif pada TIK tetapi harus digunakan
dengan hati-hati untuk mencegah
gangguan pernapasan
Dapat digunakan untuk mengendalikan
kegelisahan, agitasi
Sedatif Menurunkan atau mengendalikan demam
dan meningkatakan metabolisme serebral
Antipiretik atau peningkatan kebutuhan terhadap
oksigen
5. Memperbaiki/menornalkan kapasitas
pembawa oksigen untuk memperbaiki
anemia, dan berguna untuk mengatasi
5. Berikan tranfusi darah sesuai perdarahan. Penggantian cairan/darah
indikasi tergantung pada derajat hipovolemia dan
lamanya perdarahan (akut atau kronis)
6. Peningkatan menunjukkan
hemokonsentrasi. Kehilangan kemampuan
ginjal untuk mengkonsentrasikan urine
dapat mengakibatkan penrunan elektrolit
6. Monitor hasil laboratorium serum.
(pemeriksaan hematokrit, Hb,
elektrolit serum, dan urine)
5 Risiko infeksi berhubungan Setelah diberikan asuhan Mandiri : Mandiri :
dengan port entry kuman keperawatan selama 3 X 24 jam 1. Berikan perawatan aseptik dan 1. Untuk menghindari terjadinya infeksi
(destruksi jaringan di daerah diharapkan tidak terjadi infeksi antiseptik, pertahankan tehnik cuci nosokomial dari petugas kesehatan kepada
frontal dan peningkatan dengan kriteria hasil : tangan yang baik pasien
paparan lingkungan) TTV normal (Tax 36,50 –
37,20C) 2. Observasi daerah kulit yang 2. Deteksi dini perkembangan infeksi
Hasil pemeriksaan mengalami kerusakan, catat memungkinkan untuk melakukan tindakan
laboratorium normal (Leukosit karakteristik dari drainase dan dengan segera dan pencegahan terhadap
5.000 – 10.000/ µl) adanya inflamasi komplikasi selanjutnya.
Tidak terjadi tanda – tanda
infeksi pada lesi/ luka (color, 3. Kaji tanda-tanda vital, terutama 3. Mengkaji keadaan umum pasien;
dolor, rubor, dan tumor) suhu peningkatan suhu merupakan salah satu
Tidak terdapat produksi indikator terjadinya infeksi
sekret/sputum
Mulut pasien tampak bersih 4. Menurunkan pemajanan terhadap
4. Batasi pengunjung yang dapat pembawa kuman penyebab infeksi
menularkan infeksi
5. Menghindari terjadinya infeksi yang
5. Lakukan perawatan luka pada lesi lebih luas
Kolaborasi
Kolaborasi 7. Terapi profilaktik dapat digunakan pada
7. Berikan antibiotik sesuai indikasi psien yang mengalami trauma
(perlukaan), kebocoran CSS, atau setelah
dilakukan pembedahan untuk menurunkan
risioko terjadinya infeksi nosokomial
Campbell, J.E. 2004. BTLS: Basic Trauma Life Support for EMT-B and the First Responden,
4th Ed. New Jersey: Pearson Education
Doenges, Marilynn E. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC
Gallo, Hudak. 1996. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC
Guyton. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika
Price. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit Volume 1 dan 2. Jakarta : EGC
Wikipedia, the Free Encyclopedia. 2009. Brain Injury. (Online).
(http://en.Wikipedia.org/wiki/braininjury, Diakses tanggal 26 Maret 2010).
Pembimbing Akademik,