Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN EPILEPTIKUS

Disusun untuk memenuhi tugas Departemen Keperawatan Pediatrik

Pembimbing Akademik: Ns. Nurona Azizah S.Kep., M.Biomed

Disusun Oleh:

Grace Firsty Putri Farica 200070302111032

Kelompok 3A

PROGRAM STUDI NERS JURUSAN KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2020
DEFINISI

Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih
rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang
yang berlangsung lebih dari 30 menit. Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius
karena terjadi terus menerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat,
kesulitan bernapas dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas sehingga apabila status
epileptikus tidak dapat ditangani segera, maka besar kemungkinan dapat terjadi kerusakan
jaringan otak yang permanen dan dapat menyebabkan kematian (Prasetyo, 2018).
Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefinisikan SE sebagai kejang yang terus-
menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa
pemulihan kesadaran di antaranya. Definisi ini telah diterima secara luas, walaupun beberapa
ahli mempertimbangkan bahwa durasi kejang lebih singkat dapat merupakan suatu SE. Untuk
alasan praktis, pasien dianggap sebagai SE jika kejang terus-menerus lebih dari 5 menit
(Rilianto, 2015).
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa status epileptikus ditegakkan
apabila kejang yang terjadi bersifat kontinyu, berulang dan disertai gangguan kesadaran
dengan durasi kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Status epileptikus adalah gawat
darurat medik yang memerlukan pendekatan terorganisasi dan terampil agar meminimalkan
mortalitas dan morbiditas yang menyertai.

ETIOLOGI

Etiologi epilepsi dibagi menjadi enam macam yaitu struktural, genetik, infeksi, metabolik,
imunitas dan yang terakhir adalah etiologi yang tidak diketahui. Setiap pasien epilepsi dapat
memiliki salah satu atau beberapa etiologi sekaligus sebagai penyebab terjadinya epilepsi. Ada
berbagai macam faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko terjadinya epilepsi, baik faktor
internal seperti neoplasma, riwayat genetik keluarga dengan epilepsi dan faktor eksternal
seperti stress dan kurang tidur.

Etiologi

Berikut etiologi yang menjadi penyebab terjadinya epilepsi dan penting untuk diketahui karena
berhubungan dengan pilihan terapi serta prognosis epilepsi.

1. Struktural
Etiologi struktural adalah abnormalitas struktur di otak yang diketahui melalui
pencitraan dan merupakan penyebab utama terjadinya epilepsi pada pasien. Kelainan
struktural ini terbagi menjadi dua yaitu kelainan struktural yang didapat seperti akibat
stroke, trauma dan infeksi, serta kelainan struktural genetik yang menyebabkan terjadinya
malformasi korteks. Kelainan struktural merupakan penyumbang 40% dari total epilepsi
resisten obat pada anak.

Contoh gambaran pencitraan berupa kelainan struktur yang berhubungan dengan


epilepsi antara lain sebagai berikut, mesial temporal lobe seizures yang berhubungan
dengan sclerosis hippocampus. Gelastic seizures dengan kelainan berupa hypothalamic
hamartoma, sindrom Rasmussen, dan hemiconvulsion‐hemiplegia‐epilepsy. Abnormalitas
struktural ini menjadi penting untuk diketahui karena dapat menjadi pintu masuk terapi
bedah bila obat antiepilepsi tidak memberikan hasil yang memuaskan.

2. Genetik

Etiologi genetik sebagai faktor predisposisi terjadinya epilepsi masih terus


berkembang. Masih banyak kelainan genetik yang tidak diketahui. Etiologi genetik dapat
diamati lebih jelas pada kasus dengan riwayat keluarga memiliki kelainan autosomal
dominan, contohnya syndrome of Benign Familial Neonatal Epilepsy yang diketahui terjadi
mutasi pada salah satu gen kanal potassium, KCNQ2 atau KCNQ3.

Epilepsi dapat terjadi akibat mutasi beberapa atau hanya satu gen saja. Mutasi genetik
dapat menyebabkan terjadinya epilepsi dengan gejala ringan hingga berat. Contoh mutasi
monogenik yang menyebabkan terjadinya epilepsi dapat diamati pada anak-anak dengan
ensefalopati epilepsi berat,  yaitu pada sindrom Dravet. Lebih dari 80% pasien memiliki
varian abnormal gen SCN1A. Mutasi gen SCN1A berhubungan dengan sindrom Dravet
dan Genetic Epilepsy with Febrile Seizures Plus (GEFS+).

Etiologi genetik sendiri tidak menjadi satu-satunya faktor penentu terjadinya epilepsi.
Seseorang bisa saja mewarisi mutasi genetik yang menjadi etiologi epilepsi, namun peran
dari faktor lingkungan seperti stress, kurang tidur dan penyakit tetap berperan memicu
terjadinya awitan kejang.

3. Infeksi
Infeksi merupakan etiologi tersering yang saat ini diketahui menjadi penyebab epilepsi.
Pada kasus kejang seperti ini, kejang merupakan salah satu gejala utama infeksi penyakit
tersebut dan memenuhi kriteria diagnosis epilepsi. Contohnya adalah infeksi
neurosistiserkosis, tuberkulosis, HIV, malaria serebral, subacute sclerosing
panencephalitis, cerebral toxoplasmosis, dan infeksi kongenital, contohnya Zika virus dan
cytomegalovirus.

4. Metabolik

Seperti pada skenario etiologi infeksi, pada etiologi metabolik, kejang epilepsi juga
merupakan salah satu gejala suatu penyakit metabolik yang terjadi pada seseorang.
Epilepsi metabolik dapat terjadi sebagai manifestasi dari abnormalitas biokimia atau defek
metabolik didalam tubuh. Contohnya adalah porfiria, uremia, aminoasidopati, atau kejang
terkait  pyridoxine.

5. Imunitas

Epilepsi yang terjadi akibat gangguan sistem imun terjadi akibat reaksi inflamasi yang
dimediasi oleh imunitas tubuh yang menyebabkan terjadinya inflamasi sistem saraf pusat.
Contoh kondisi ini adalah pada penyakit ensefalitis autoimun. Manifestasi klinis epilepsi
terkait imunitas antara lain kejang, gejala psikiatrik, gangguan gerak, amnesia,
kebingungan hingga kehilangan kesadaran.

6. Etiologi yang tidak diketahui

Penyebab suatu epilepsi yang tidak diketahui etiologinya saat ini terutama
berhubungan pada kasus diagnosis epilepsi dinegara berkembang dengan akses teknologi
yang terbatas, sehingga diagnosis hanya dapat ditegakkan sampai titik tertentu saja tanpa
mengetahui etiologi penyebabnya.[6]

Faktor Risiko

Faktor risiko epilepsi banyak dikaitkan dengan proses perkembangan janin dalam
kehamilan serta masalah pada saat persalinan dan post natal. Beberapa faktor risiko yang
berkaitan dengan epilepsi adalah:
1. Riwayat sakit berat saat kehamilan

2. Riwayat cedera otak traumatik

3. Kejang demam

4. Riwayat epilepsi pada keluarga

5. Skor APGARyang rendah saat lahir.

6. Stress

7. Gangguan elektrolit (contohnya hipoglikemia, hiponatremia, hipernatremia, hipokalsemia)

8. Efek toksik akut (antidepresan, simpatomimetik)

9. Withdrawal syndromes (ethanol, benzodiazepines)

10. Sepsis

11. Infeksi sistem saraf pusat

12. Stroke

13. Neoplasma

14. Penyakit inflamasi (lupus cerebritis, anti-NMDA receptor encephalitis)

(Ramanda, 2017)

EPIDEMIOLOGI

Insidens SE di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu setiap tahun, sekitar 27
per 100.000 untuk dewasa muda dan 86 per 100.000 untuk usia lanjut. Dua penelitian
restropektif di Jerman mendapatkan insidens 17,1 per 100.000 per tahun. Mortalitas SE
(kematian dalam 30 hari) pada penelitian Richmond berkisar 22%. Kematian pada anak hanya
3%, sedangkan pada dewasa 26%. Populasi yang lebih tua mempunyai mortalitas hingga 38%.
Mortalitas tergantung dari durasi kejang, usia onset kejang, dan etiologi. Pasien stroke dan
anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi. Sedangkan pasien dengan etiologi penghentian
alkohol atau kadar obat antiepilepsi dalam darah yang rendah, mempunyai mortalitas relatif
rendah. (Rilianto, 2015)

KLASIFIKASI

Status epileptikus diklasifikasikan berdasar klinis dan durasi. Secara klinis, status epileptikus
dapat dibagi menjadi fokal dan general. Sedangkan berdasar durasi kejang, status epileptikus
dapat dibedakan menjadi

1. Status Epileptikus yang Mengancam (impending) ==> 5-30 menit


2. Status Epileptikus Pasti (established) ==> lebih dari 30 menit
3. Status Epileptikus Refrakter ==> Bangkitan kejang tetap ada setelah mendapat dua atau
tiga jenis antikonvulsan awal dengan dosis adekuat

Sebanyak 69% Status Epileptikus pada dewasa dan 64% Status Epileptikus pada anak-anak
diawali dengan bangkitan fokal. Status Epileptikus general bukan merupakan presentasi klinis
yang utama ditemui. Namun, yang perlu diwaspadai, sering bangkitan fokal hanya akan
berlangsung singkay sebelum berkembang menjadi bangkitan general.

Kunci dari tatalaksana pasien status epileptikus adalah kewaspadaan terhadap bangkitan fokal.
Ketika bangkitan fokal sudah dapat dideteksi pada tahap awal kejang, besar kemungkinan
untuk mencegah bangkita general yang memiliki komplikasi yang lebih berat.

PATOFISIOLOGI

Kejang dipicu oleh perangsangan sebagian besar neuron secara berlebihan, spontan, dan
sinkron sehingga mengakibatkan aktivasi fungsi motorik (kejang), sensorik, otonom atau fungsi
kompleks (kognitif, emosional) secara lokal atau umum. Mekanisme terjadinya kejang ada
beberapa teori:
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada
hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi
pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.

b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia.

c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan


neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya
ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan kejang. (Silbernagl S, Lang
F. 2006)
MANIFESTASI KLINIS

Kebanyakan kejang demam berlangsung singkat, bilateral,serangan klonik atau tonik-


klonik. Umumnya kejang berhenti sendiri.Begitu kejang berhenti, anak tidak memberikan reaksi
apapun untuk sejenak tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar
kembali tanpa adanya kelainan saraf. Adapula kejang yang berlangsung lama dan mungkin
terjadi kerusakan sel saraf yang menetap (Lestari 2016).

Tanda dan gejala anak mengalami kejang demam antara lain:

a) Kenaikan suhu tubuh > 380C


b) Kehilangan kesadaran atau pingsan
c) Tubuh, Kaki, dan tangan menjadi kaku
d) Biasanya kepala anak terkulai kebelakang
e) Disusul dengan gerakan kejut / kejang
f) Gigi terkatup
g) Kadang disertai muntah
h) Nafas tak terkontrol atau berhenti beberapa saat.

KOMPLIKASI

Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus

Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu reaksi
inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan GABA, serta
perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem jaringan neuron,
keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat menyebabkan
komplikasi sistemik.Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE konvulsif dapat
menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal. Selain itu, keadaan
hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob dan memicu asidosis. Kejang juga
menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi jantung (hipertensi, hipotensi, gagal
jantung, atau aritmia). Metabolisme otak pun terpengaruh; mulanya terjadi hiperglikemia akibat
pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring
dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan bila tidak
terpenuhi akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi akibat proses
inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak.
Komplikasi sekunder

Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah depresi napas serta
hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan fenobarbital. Efek samping propofol yang
harus diwaspadai adalah propofol infusion syndrome yang ditandai dengan rabdomiolisis,
hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta asidosis metabolik. Pada sebagian
anak, asam valproat dapat memicu ensefalopati hepatik dan hiperamonia. Selain efek samping
akibat obat antikonvulsan, efek samping terkait perawatan intensif dan imobilisasi seperti emboli
paru, trombosis vena dalam, pneumonia, serta gangguan hemodinamik dan pernapasan harus
diperhatikan.
PENETALAKSANAAN MEDIS
Berikut ini adalah algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus berdasarkan Konsensus UKK Neurologi Ikatan Dokter
Anak

Indonesia:
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus dilakukan
seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis anti-
konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi.
Keterangan:
1) Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2
mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
2) Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan
yang sama
3) Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai
dosis yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya,
dan teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal
berdasarkan kelompok usia;
- 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
- 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
- 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
- 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
4) Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap
dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
5) Medazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun
disesuaikan dengan kondisi rumah sakit
6) Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan
tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan
dengan pemberian rumatan bila diperlukan.

PERIKSAAN PENUNJANG

Menurut Standar Pelayanan Medis Neurologi (2018) pemeriksaan diagnostik yang


dilakukan adalah:
1. Elektroensefalogram (EEG)
Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam mengklasifikasikan tipe epilepsi
seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama pemriksaan EEG rutin. Namun
kejang tetap dapat memberikan konfirmasi tentang kehadiran aktifitas listrik yang
abnormal, informasi tentang tipe gangguan kejang, dan lokasi spesifik kejang fokal.
Pada pemeriksaan EEG rutin, tidur dan bangun, hanya terdapat 50% dari seluruh
pasien epilepsi yang akan terdeteksi dengan hasil yang abnormal.
EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnose epilepsi secara
langsung. EEG hanya membantu dalam penegakan diagnosa dan membantu
pembedaan antara kejang umum dan kejang fokal. Tetapi yang harus diingat :
 10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal yang ringan dan
non spesifik seperti gelombang lambat di salah satu atau kedua lobus temporal-
menurut sumber lain terdapat 2% populasi yang tidak pernah mengeluh kejang
memberikan gambaran abnormal pada EEG
 30% pasien dengan epilepsi akan memiliki gambaran EEG yang normal pada
masa interval kejang-berkurang menjadi 20% jika EEG dimasukkan pada
periode tidur
Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif palsu maupun
negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasinya. Perekaman
EEG yang dilanjutkan pada pasien dengan aktifitas yang sangat berat dapat sangat
membantu dalam penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat sulit dengan
serangan yang sering, karena memperlihatkan gambaran selama serangan kejang
terjadi. Namun dengan metode ini pun masih terdapat kemungkinan negatif palsu,
dengan 10% kejang fokal yang timbul di dalam sebuah lipatan korteks serebri dan yang
gagal memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan EEG (Sisodiya dan Duncan,
2000).
2. Magnetic resonance imaging (MRI) dan Computed tomography (CT Scan)
Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan
degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak
yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun
kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau
perinatal dengan defisit neurologik yang jelas
3. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
- mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
- menilai fungsi hati dan ginjal
- menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya
infeksi).
4. Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak

PENCEGAHAN

Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk
pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan
obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan
terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan
pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program
yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu
tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi
akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita
dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau
hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada
otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin
selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini,
dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti
konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari
rencana pencegahan ini.

ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan epilepsi antara lain:
1. Anamnesa
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien dibawa ke rumah sakit adalah terjadinya
kejang berulang dan penurunan tingkat kesadaran.
2. Riwayat kesehatan
 Riwayat kesehatan sekarang : faktor riwayat penyakit saat ini sangat penting
diketahui karena untuk mengetahui pola dari kejang klien.
 Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai
serangan, stimulus yang menyebabkan respons kejang, dan seberapa auh aat
kejang dengan respons fisik dan psikologis dari klien.
 Tanyakan faktor-faktor yang memungkinkan predisposisi dari serangan epilepsi,
apakah sebelumnya klien pernah mengalami trauma kepala dan infeksi serta
kemana saja klien sudah meminta pertolongan setelah mengalami keluhan.
 Penting juga ditanyakan tentang pemakaian obat sebelunya seperti pemakaian
obat-obatan antikonvulsan, antipiretik dll., dan riwayat kesehatan masa lalu,
riwayat kesehatan keluarga.
3. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah diderita sebelumnya (apakah mengalami keadaan yang sama seperti
sekarang seperti mengalami kejang berulang).
4. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita kejang, penyakit saraf, dan penyakit lainnya.
5. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menulai respons
emosi
klien terhadap kondisi pascakejang.nsetelah mengalami kejang klioen sering mengalami
perubahan konsep diri yang maladaptif. Klien akan lebih banyak menarik diri, ketakutan
akan
serangan kejang berulang dan depresi akan prognosis dari kondisi yang akan datang.
a.  Aktivitas dan istirahat
Gejala yaitu keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas yang ditimbulkan
oleh
diri sendiri atau orang lain. Tanda yaitu perubahan tonus, kekuatan otot, gerakan
involunter,  kontraksi otot atau sekumpulan otot.
b. Sirkulasi.
Gejala yaitu iktal : hipertensi (tekanan darah tinggi), peningkatan nadi, sianosis, tanda-tanda
vital
normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan.
c. Integritas ego.
Gejala yaitu stressor eksternal atau internal yang berhubungan keadaan dan atau
penanganan
peka rangsang, perasaan tidak ada harapan dan tidak berdaya, perubahan dalam
berhubungan.Ditandai dengan pelebaran rentang respon emosional.
d. Eliminasi.
Gejala yaitu inkontinesia, ditandai dengan iktal : peningkatan tekanan kandung kemih, dan
tonus sfingter, postiktal : otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia baik urine
maupun fekal.
e. Makanan dan cairan.
Gejalanya yaitu sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang berhubungan
dengan aktivitas kejang. Ditandai dengan kerusakan jaringan lunak dan gigi (cedera selama
kejang).
f. Neurosensori
Gejalanya yaitu riwayat sakit kepala, kejang berulang, pingsan, pusing dan memliki riwayat
trauma kepala, anoksia, infeksi cerebral, adanya aura (rangsangan audiovisiual,auditorius,
area halusinogenik). Ditandai dengan kelemahan otot, paralisis, kejang umum, kejang
parsial (kompleks), kejang parsial (sederhana).
g. Nyeri dan kenyamanan
Gejalanya yaitu sakit kepala, nyeri otot, nyeri abnormal paroksismal selama fase iktal.
Ditandai dengan sikap atau tingkah laku yang hati-hati, distraksi, perubahan tonus otot.
h. Pernafasan.
Gejalanya yaitu fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan cepat dan dangkal,
peningkatan sekresi mucus, fase postiktal apnea.
i. Keamanan
Gejalanya yaitu riwayat terjatuh, fraktur, adanya alergi. Ditandai dengan trauma pada
jaringan
lunak, ekimosis, penurunan kesadaran, kekuatan tonus otot secara menyeluruh.
j. Interaksi sosial
Gejalanya yaitu terdapat masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga atau
lingkungan
sosialnya melakukan pembatasan, penghindaran terhadap kontak sosial.
k. Penyuluhan dan pembelajaran.
Gejalanya yaitu adanya riwayat epilepsi pada keluarga, penggunaan obat maupun
ketergantungan obat termasuk alkohol.
6. Pemeriksaan fisik
Pada pengkaian fisik secara umum sering didapatkan pada awal pascakejang klien
mengalami
konfusi dan sulit untuk bangun. Pada kondisi yang lebih berat sering dijumpai adanya
penuruna
kesadaran.
Pengkajian untuk peristiwa kejang perlu dikaji tentang: Bagaimana kejang sering terjadi
pada
klien, tipe pergerakan atau aktifitas, berapa lama kejang berlangsung, diskripsi aura yang
menimbulkan peristiwa, status poskial, lamanya waktu klien untuk kembali kejang, adanya
inkontinen selama kejang.
Selain itu juga dilakukan pemeriksaan 6B, yaitu:
a. B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas dan peningkatan frekuensi
pernapasan yang sering didapatkan pada klien epilepsi disertai adanya gangguan pada
sistem
pernapasan.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pad asitem kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien epilepsi tahap lanjut
apabila
klien sudah mengalami syok.
c. B3 (Brain)
Peningkatan B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkaian pada sistem lainnya.
Tingkat kesadaran: Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah
indikator
paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan.
Fungsi serebral, Status mental: observasi penampilan dan tingkah laku klien, nilai gaya
bicara
dan observasi ekspresi wajah, aktifitas motorik pada klien epilepsi tahap lanjut biasanya
mengalami perubahan status mental seperti adanya gangguan perilaku, alam perasaan, dan
persepsi.
d. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sitem kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume output urine, hal
ini
berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung keginjal.
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan
nutrisi pada klien epilepsi menurun karena anoreksia dan adanya kejang.
f. B6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya penurunan kekuatan otot dan
kelemahan
fisik secara umum sehingga mengganggu aktifitas perawatan diri.

Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan epilepsi
sesuai dengan SDKI adalah:
1. Nyeri akut b.d nyeri kepala sekunder respons pascakejang (Postikal).
2. Resiko cedera b.d kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara
penanganan saat kejang serta penurunan tingkat kesadaran.
3. Ansietas b.d kejang berulang, penyakit yang diderita.
4. Koping tidak efektif b.d depresi akibat epilepsi, stigma sosial yang berkaitan dengan
epilepsi, penyakit yang kronis.
5. Defisit pengetahuan b.d baru pertama didiagnosa, seringnya aktifitas kejang, status
perkembangan dan usia.
6. Defisit perawatan diri b.d kebingungan, malas bangun sekunder respons
pascakejang (postikal).
TINDAKAN KEPERAWATAN

SLKI

1. Nyeri akut b.d nyeri kepala sekunder respons pascakejang (Postikal).

 Tingkat Nyeri
-Meringis menurun
-Pola nafas membaik
-Frekuensi nadi membaik

2. Resiko cedera b.d kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan
saat kejang serta penurunan tingkat kesadaran.

 Tingkat Cidera
-Gangguan mobilitas menurun
-Ketegangan otot menurun
 Kontrol kejang
-Kemampuan mengidentifikasi faktor pemicu kejang
-Kemampuan mencegah faktor risiko/pemicu kejang
-Mendapatkan obat yang dibutuhkan menurun
-Melaporkan frekuensi kejanng menurun

3. Ansietas b.d kejang berulang, penyakit yang diderita.

 Tingkat Ansietas
-Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi menurun
-Perilaku gelisah menuurun
-Perilaku tegang menurun

SIKI

1. Nyeri akut b.d nyeri kepala sekunder respons pascakejang (Postikal).

 Manajemen Nyeri
Observasi
-Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
-Identifikasi skala nyeri
-Monitor efek samping penggunaan analgesik
Teraupetik
-Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
 Pemberian Analgesik
Observasi
-Monitor efektifitas analgesik
-Identifikasi riwayat alergi obat
Teraupetik
-Tetapkan target efektifitas analgesik untuk mengoptimalkan respon pasien
Kolaborasi
-Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik

2. Resiko cedera b.d kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan
saat kejang serta penurunan tingkat kesadaran.

 Manajemen kejang
Observasi
-Monitor kejadian kejang berulang
-Monitor karakteristik kejang
-Monitor status neurologis
Teraupetik
-Berikan alas empuk dibawah kepala
-Pertahankan kepatenan jalan nafas
-Catat durasi kejang
-Dokumentasikan periode terjadii kejang
-Jauhkan benda-benda berbahaya
-Berikan oksigen
Kolaborasi
-Kolaborasi pemberian antiikonvulsan

3. Ansietas b.d kejang berulang, penyakit yang diderita.

 Konseling
Obbservasi
-Identifiikasi kemampuan dan beri penguatan
Teraupetik
-Tetapkan tujuan dan lama konseling
Edukasi
-Anjurkan untuk menunda pengambilan keputusan dikala stress
DAFTAR PUSTAKA

Prasetyo, Bowo Hery & Prasetyo, Agung. 2018. Tatalaksana Epileptikus di Instalasi Gawat
Darurat. CDK-270/ vol. 45 no. 11. Jurnal Praktis

Rilianto, Beny. 2015. Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus. CDK-233/ vol. 42 no. 10.
Continuing Medical Education

Ramanda, Reren. 2017. Etiologi Epilepsi. IDI: Alomedika


https://www.alomedika.com/penyakit/neurologi/epilepsi/etiologi

Rilianto, B. (2015). Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus. Cer, 42(10), 750–754.

Utara, U. S. (2003). Universitas Sumatera Utara 4. 4–16.

Silbernagl, S. 2006. In: Silbernagl, S., Lang, F. editor. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta : EGC

Ismael, S., Pusponegoro, H. D., & Widodo, D. P. (2016). Rekomendasi Penatalaksanaan


Status Epileptikus. Jakarta: IDAI.

Goldstein JA, Chung MG. Status epilepticus and seizures. Dalam: Abend NS, Helfaer MA,
penyunting. Pediatric neurocritical care. New York: Demosmedical; 2013. h 117–
138.
Moe PG, Seay AR. Neurological and muscular diorders. Dalam: Hay WW, Hayward AR,
Levin MJ, Sondheimer JM, penyunting. Current pediatric: Diagnosis and treatment.
Edisi ke-18. International Edition: McGrawHill; 2008. h. 735
ACT Health. Buccal midazolam for prolonged convulsions: Summary for parents.
Hartmann H, Cross JH. Post-neonatal epileptic seizures. Dalam: Kennedy C, penyunting.
Principles and practice of child neurology in infancy. Mac Keith Press; 2012. h. 234-
Anderson M. Buccal midazolam for pediatric convulsive seizures: efficacy, safety, and
patient acceptability. Patient Preference and Adherence. 2013;7:27-34.
UKK Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan
Status Epileptikus. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Sisodiya, S.M., Duncan, J. 2000. Epilepsy: Epidemiology, Clinical Assessment, Investigation
and Natural Hisstory. Medicine International
Harsono (ED), 1996, Kapita Selekta Neurologi , Second Ed, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2019. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2019. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai