Anda di halaman 1dari 75

LAPORAN PENDAHULUAN

10 DIAGNOSA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Stage Keperawatan Jiwa

PEMBIMBING
M. Anwari, Ns., M.Kep
Abdul Habib, S.Kep., Ns.

Disusun Oleh:
Esti Meilinda, S.Kep. 1914901210109

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
TAHUN AJARAN 2020
DAFTAR ISI

A. Laporan Pendahuluan Psikososial


1. Ansietas
2. Gangguan Konsep Diri
3. Ketidakberdayaan dan Keputusasaan

B. Laporan Pendahuluan Jiwa


1. Defisit Perawatan Diri
2. Halusinasi
3. Harga Diri Rendah
4. Resiko Bunuh Diri
5. Resiko Perilaku Kekerasan
6. Waham
7. Isolasi Sosial
LAPORAN PENDAHULUAN
KECEMASAN (ANSIETAS)

1. Definisi
Kecemasan merupakan kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang
berkaitan dengan perasaanyang tidak pasti dan ketidakberdayaan.keadaan emosi yang
dialami tidak memiliki objek secara spesifik, kecemasan dialami secara subjektif dan
dikomunikasikan secara interpersonal dan berada dalam suatu rentang (Stuart, 2012).
Cemas (ansietas) adalah sebuah emosi dan pengalaman subjektif dari
seseorang. Pengertian lain cemas adalah suatu keadaan yang membuat seseorang
tidak nyaman dan terbagi dalam beberapa tingkatan. Jadi, cemas berkaitan dengan
perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. (Kusumawati, 2010)
Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005:28) mengatakan bahwa kecemasan
adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya
suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai.. Kecemasan
berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberi
sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau tidak dilakukan tindakan yang tepat
maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan.

2. Penyebab
a. Faktor Predisposisi (Pendukung)
Ketegangan dalam kehidupan dapat berupa hal-hal sebagai berikut:
1) Peristiwa traumatik, yang daapt memicu terjadinya kecemasan berkitan
dengan krisis yang dilami individu baik krisis yang dialami individu baik
krisis perkembangan maupun situasional
2) Konflik emosional, yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan baik.
Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan dapat
menimbulkan kecemasan pada individu.
3) Gangguan konsep diri, konsep diri terganggu akan menimbulkan
ketidakmampuan individu berpikir secara realitas sehingga akan menimbulkan
kecemasan.
4) Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk mengambil
keputusan yang berdampak terhadap ego.
5) Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman
terhadap integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu.
6) Pola mekanisme koping keluarga atau cara keluarga menangani stress akan
mempengaruhi individu dalam berespon terhadap konfllik yang dialami
karena pola mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam keluarga
7) Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respon
individu dalam berespon terhadap konflik dan mengatasi kecemasannya.
8) Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan yang
mengandung benzodiazepin, karena benzodiazepin dapat menekan
neurotransmitter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol
aktivitas neuron di otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.

b. Faktor Presipitasi
Stressor presipitas adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat
mencetuskan timbulnya kecemasan. Stressor presipitasi dikelompokkan menjadi
dua bagian, yaitu:
1) Ancaman terhadap integritas fisik
a) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis system imun,
regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (misalnya : hamil)
b) Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri,
polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya
tempat tinggal.
2) Ancaman terhadap harga diri
a) Sumber internal, kesulitan dalam hubungann interpersonal di rumah dan
tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai ancaman
terhadap integritas fisik jug dapat mengancam harga diri.
b) Sumber eksternal, kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan
status pekrjaan, tekanan kelompok, sosial budaya.

3. Jenis
a. Kecemasan ringan
Kecemasan ringan adalah perasaan bahwa ada sesuatu yang berbeda dan
membutuhkan perhatian khusus. Stimulasi sensori meningkat dan membantu
individu memfokuskan perhatian untuk belajar, menyelesaikan masalah, berpikir,
bertindak, merasakan, dan melindungi diri sediri.
b. Kecemasan sedang
Kecemasan sedang merupakan perasaan yang mengganggu bahwa sesuatu yang
benar-benar berbeda; individu menjadi gugup atau agitasi.
c. Kecemasan berat
Kecemasan berat yakni ada sesuatu yang berbeda dan ada ancaman,
memperlihatkan respon takut dan distress.
d. Panik
Individu kehilangan kendali dan detail perhatian hilang, karena kehilangan
kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun meskipun dengan perintah.
(Prabowo, 2014)

4. Rentang Respon
Menurut Videbeck (2008), respon-respon yang terjadi pada kecemasan adalah sebagai
berikut :
Kecemasan Ringan Kecemasan Sedang Kecemasan Berat Panik
Respon fisik
 Ketegangan otot ringan  Ketegangan otot  Ketegangan otot berat  Fight, fight, atau
 Sadar akan lingkungan sedang  Hiperventilasi freeze
 Rileks atau sedikit  Tanda-tanda vital  Kontak mata buruk  Ketegangan otot
gelisah meningkat  Pengeluaran keringat sangat berat
 Penuh perhatian  Pupil dilatasi, mulai meningkat  Agitasi motorik kasar
 Rajin berkeringat  Bicara cepat, nada  Pupil dilatasi
 Sering mondar- suara tinggi  Tanda-tanda vital
mandir, memukul  Tindakan tanpa tujuan meningkat kemudian
tangan dan serampangan menurun
 Suara berubah:  Rahang menegang,  Tidak dapat tidur
bergetar, nada suara mngertakan gigi  Hormon stress dan
tinggi  Mondar-mandir, neurotransmitter
 Kewaspadaan dan berteriak berkurang
ketegangan  Meremas tangan,  Wajah menyeringai,
meningkat gemetar mulut terganga
 Sering berkemih,
sakit kepala, pola
tidur berubah, nyeri
punggung
Respon kognitif
 Lapang persepsi luas  Lapang persepsi  Lapang persepsi  Persepsi sangat
 Terlihat tenang, menurun terbatas sempit
percaya diri  Tidak perhatian  Proses berpikir  Pikiran tidak logis,
 Perasaan gagal sedikit secara selektif terpecah-pecah terganggu
 Waspada dan  Fokus terhadap  Sulit berfikir  Kepribadian kacau
memperhatikan banyak stimulus meningkat  Penyelesaian masalah  Tidak dapat
hal  Rentang perhatian buruk menyelesaikan
 Mempertimbangkan menurun  Tidak mampu masalah
informasi  Penyelesaian mempertimbangkan  Fokus pada pikiran
 Tingkat pembelajaran masalah menurun informasi sendiri
optimal  Pembelajaran terjadi  Hanya memperhatikan  Tidak rasional
dengan ancaman  Sulit memahami
memfokuskan  Preokupasi dengan stimulus eksternal
pikiran sendiri  Halusinasi, waham,
 Egosentris ilusi mungkin terjadi

Respon emosional
 Perilaku otomatis  Tidak nyaman  Sangat cemas  Merasa terbebani
 Sedikit tidak sadar  Mudah tersinggung  Agitasi  Merasa tidak mampu,
 Sedikit tidak sadar  Kepercayaan diri  Takut bingung tidak berdaya
 Terstimulasi goyah  Merasa tidak adekuat  Lepas kendali

 Tenang  Tidak sabar  Menarik diri  Mengamuk, putus asa


 Gembira  Penyangkalan  Marah, sangat takut
 Ingin bebas  Mengharapkan hasil
yang buruk
 Kaget, takut, lelah

5. Pohon masalah

Kerusakan Interaksi Sosial


Effect

Gangguan Suasana perasaan :


Cemas

Koping individu inefektif


Cause
6. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan cemas
b. Gangguan alam perasaan: cemas berhubungan dengan koping individu inefektif
7. Rencana Asuhan Keperawatan
Tujuan Intervensi
Tujuan umum :
Cemas berkurang atau hilang
Tujuan khusus:
TUK 1 :
Pasien dapat menjalin dan membina hubungan saing 1. Jadilah pendengar yang hangat dan responsif
percaya 2. Beri waktu yang cukup pada pasien unuk
berespon
3. Beri dukungan pada pasien untuk
mengekspresikan perasaannya
4. Identifikasi pola perilaku pasien atau
pendekatan yang dapat menimbulkan perasaan
negatif
5. Bersama pasien mengenali perilaku dan respon
sehingga cepat belajar dan berkembang
TUK 2 :
Pasien dapat mengenali ansietasnya 1. Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan
menguraikan perasaannya
2. Hubungkan perilaku dan perasaannya
3. Validasi kesimpulan dan asumsi terhadapa
pasien
4. Gunakan pertanyaan terbuka untuk
mengalihkan dari topik yang mengancam ke hal
yang berkaitan dengan konflik
5. Gunakan konsultasi untuk membantu pasien
mengungkapkan perasaannya
TUK 3
Pasien dapat memperluas kesadarannya terhadap 1. Bantu pasien menjelaskan situasi dan interaksi
perkembangan asietaas yag dapat segera menimbulkan ansietas
2. Bersama pasien meninjau kembali penilaian
pasien terhadap stressor yang drasakan
mengacam dan menimbulkan konflik
3. Kaitkan pengalaman yang baru terjadi dengan
pengalaman masa lalu yang relevan
TUK 4
Pasien dapat menggunakan mekanisme koping yang 1. Gali cara pasien mengurangi ansietas di masa
adaptif lalu
2. Tunjukkan akibat mal adaptif dan destruktif dari
respon koping yang digunakan
3. Dorong pasien utnuk menggunakan respon
koping adaptfi yang dimilikinya
4. Bantu pasien untuk menyusun kembali tujuan
hidup, memodifikasi tujuan menggunakan
sumber dan koping yang baru
5. Latih pasien dengan menggunakan ansietas
sedang
6. Beri aktivitas fisik untuk menyalurkan
energinya
7. Libatkan pihak yang berkepentingan sebagai
sumber dan dukungan sosial dalam membantu
pasien menggunakan loping adaptif yang baru
TUK 5
Pasien dapat menggunakan teknik relaksasi 1. Ajarkan pasien teknik relaksasi untuk
meningkatkan kontrol dan rasa percaya diri
2. Dorong pasien untuk menggunakan relaksasi
dalam menurunkan tingkat ansietas

DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. 2005. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press


Gail Wiscart Stuart & Sandra J. Sundeen.2012.Keperawatan Jiwa edisi 3.Alih bahasa
Achir Yani S Hamid.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kusumawati, F. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Prabowo, E. (2014). Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI

I. PROSES TERJADINYA MASALAH


1.1 Pengertian
Halusinasi adalah persepsi klien yang salah terhadap lingkungan tanpa stimulus
yang nyata, memberi persepsi yang salah atau pendapat tentang sesuatu tanpa ada
objek atau rangsangan yang nyata dan hilangnya kemampuan manusia untuk
membedakan rangsangan internal pikiran dan rangsangan eksternal (Trimeilia,
2011).

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh
pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan, atau penghiduaan tanpa adanya stimulus yang nyata
(Keliat, 2014).

Halusinasi adalah gangguan persepsi tentang suatu objek atau gambaran dan
pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi
semua sistem penginderaan (Ermawati dkk, 2014).
1.2 Jenis-jenis Halusinasi
Menurut Trimeilia (2011) jenis-jenis halusinasi adalah sebagai berikut :
1.2.1 Halusinasi Pendengaran (Auditory)
Mendengar suara yang membicarakan, mengejek, mentertawakan,
mengancam, memerintahkan untuk melakukan sesuatu (kadang-kadang
hal yang berbahaya). Perilaku yang muncul adalah mengarahkan telinga
pada sumber suara, bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab,
menutup telinga, mulut komat-kamit, dan ada gerakan tangan.
1.2.2 Halusinasi Penglihatan (Visual)
Stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambar, orang atau
panorama yang luas dan kompleks, bisa yang menyenangkan
atau menakutkan. Perilaku yang muncul adalah tatapan mata pada tempat
tertentu, menunjuk ke arah tertentu, ketakutan pada objek yang dilihat.
1.2.3 Halusinasi Penciuman (Olfactory)
Tercium bau busuk, amis, dan bau yang menjijikan, seperti bau darah,
urine atau feses atau bau harum seperti parfum. Perilaku yang muncul
adalah ekspresi wajah seperti mencium dengan gerakan cuping hidung,
mengarahkan hidung pada tempat tertentu, menutup hidung.
1.2.4 Halusinasi Pengecapan (Gustatory)
Merasa mengecap sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan, seperti rasa
darah, urine atau feses. Perilaku yang muncul adalah seperti mengecap,
mulut seperti gerakan mengunyah sesuatu, sering meludah, muntah.
1.2.5 Halusinasi Perabaan (Taktil)
Mengalami rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat, seperti
merasakan sensasi listrik dari tanah, benda mati atau orang. Merasakan
ada yang menggerayangi tubuh seperti tangan, binatang kecil dan makhluk
halus. Perilaku yang muncul adalah mengusap, menggaruk-garuk atau
meraba-raba permukaan kulit, terlihat menggerakkan badan seperti
merasakan sesuatu rabaan.
1.2.6 Halusinasi Sinestetik
Merasakan fungsi tubuh, seperti darah mengalir melalui vena dan arteri,
makanan dicerna atau pembentukan urine, perasaan tubuhnya melayang di
atas permukaan bumi. Perilaku yang muncul adalah klien terlihat menatap
tubuhnya sendiri dan terlihat seperti merasakan sesuatu yang aneh tentang
tubuhnya.
1.3 Faktor Penyebab
1.3.1 Faktor Predisposisi
Menurut Yosef dalam Yusuf dkk (2015) faktor predisposisi klien dengan
halusinasi :
1.3.1.1 Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol
dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu
mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih
rentah terhadap stress.
1.3.1.2 Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungannya sejak bayi
akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungannya.
1.3.1.3 Faktor Biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya
stres yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia.
Akibat stres berkepanjangan jangan menyebabkan teraktivitasnya
neurotransmitter otak.
1.3.1.4 Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh
pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang
tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat
dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
1.3.1.5 Faktor genetik dan pola asuh
1.3.1.6 Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang
tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi
menunjukan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
1.3.2 Faktor Presipitasi
1.3.2.1 Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah, bingung, perilaku menarik diri,
kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak
dapat membedakan keadaan yang nyata dan tidak nyata.

Menurut Rawlins dan Heacock dalam Yusuf dkk (2015) mencoba


memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat
keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas
dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spritual. Sehingga halusinasi
dapat dilihat dari lima dimensi yaitu :
a. Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik
seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan,
demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan
untuk tidur dalam waktu yang sama.
b. Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak
dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi, isi
daari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan
menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah
tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu
terhadap kekuatan tersebut.
c. Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu
dengan halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, namun merupakan satu hal
yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat menagmabil
seluruh perhatian klien dan jarang akan mengontrol semua
perilaku klien.
d. Dimensi Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dari fase awal dan
comforting klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi
dialam nyata sangat membahayakan. Klien asik dengan
halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk
memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, contoh diri dan
harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi
halusinasi dijadikan ancaman, dirinya atau orang lain individu
cenderung keperawatan klien dengan mengupayakan suatu
proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal
yang memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri
sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan
halusinasi tidak berlangsung.
e. Dimensi Spiritual
Secara spritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan
hidup, rutinitas, tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan
jarang berupaya secara spritual untuk menyucikan diri, irama
sirkardiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan
bangun sangat siang. Saat terbangun terasa hampa dan tidak
jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi lemah
dalam upaya memjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan
orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.
1.4 Manifestasi Klinis/Tanda gejala

Tahap Ciri-ciri Perilaku yang dapat diobservasi

Comforting Klien yang berhalusinasi mengalami  Tersenyum lebar, menyeringai tetapi


emosi yang intense seperti cemas, tampak tidak tepat
Halusinasi kesepian, rasa bersalah, dan takut dan  Menggerakan bibir tanpa membuat
menyenangkan, mencoba untuk berfokus pada pikiran suara
Cemas ringan yang menyenangkan untuk  Pergerakan mata yang cepat
menghilangkan kecemasan. Seseorang  Respon verbal yang lambat seperti
mengenal bahwa pikiran dan asyik
pengalaman sensori berada dalam  Diam dan tampak asyik
kesadaran control jika kecemasan
tersebut bisa dikelola.

Comdemning Penngalaman sensori menjijikan dan  Ditandai dengan peningkatan kerja


menakutkan. Klien yang berhalusinasi system saraf autonomic yang
Halusinasi mulai merasa kehilangan control dan menunjukan kecemasan misalnya
menjijikan, Cemas mungkin berusaha menjauhkan diri, terdapat peningkatan nadi, pernafasan
sedang serta merasa malu dengan adanya dan tekanan darah.
pengalaman sensori tersebut dan  Rentang perhatian menjadi sempit
menarik diri dari orang lain.  Asyik dengan penngalaman sensori
dan mungkin kehilangan kemampuan
untuk membedakan halusinasi dengan
realitas.
Controlling Klien yang berhalusinasi menyerah  Arahan yang diberikan halusinasi tidak
untuk mencoba melawan pengalaman hanya dijadikan objek saja oleh klien
Pengalamansensori halusinasinya. Isi halusinasi bisa tetapi mungkin akan diikitu/dituruti
berkuasa, Cemas menjadi menarik/meimkat. Seseorang  Klien mengalami kesulitan
berat mungkin mengalami kesepian jika berhubungan dengan orang lain
pengalaman sensori berakhir.  Rentang perhatian hanya dalam
beberapa detik atau menit
 Tampak tanda kecemasan berat seperti
berkeringat, tremor, tidak mampu
mengikuti perintah.
Conquering Pengalaman sensori bisa mengancam  Perilaku klien tampak seperti dihantui
jika klien tidak mengikuti perintah terror dan panik
Melebur dalam dari halusinasi. Halusinasi mungkin  Potensi kuat untuk bunuh diri dan
pengaruh berakhir dalam waktu empat jam atau membunuh orang lain
halusinasi, Panic sehari bila tidak ada intervensi  Aktifitas fisik yang digambarkan klien
terapeutik menunjukan isi dari halusinasi
misalnya klien melakukan kekerasan,
agitasi, menarik diri atau katatonia
 Klien tidak dapat berespon pada arahan
kompleks
 Klien tidak dapat berespon pada lebih
dari satu orang
1.5 Masalah keperawatan
1.5.1 Gangguan persepsi sensori: Halusinasi
1.5.2 Isolasi sosial
1.5.3 Resiko perilaku kekerasan
1.6 Tahapan Halusinasi
Menurut Yusuf dkk (2015) dan Trimeilia (2011) tahapan halusinasi ada lima fase
yaitu :
1.6.1 Stage I (Sleep Disorder)
Fase awal seseorang sebelum muncul halusinasi.
Karakteristik :
Klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari lingkungan, takut
diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin terasa
sulit karena berbagai stressor terakumulasi, misalnya kekasih hamil,
terlibat narkoba, dikhianati kekasih, masalah di kampus, di drop out, dst.
Masalah terasa menekan karena terakumulasi sedangkan support sistem
kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur berlangung
terus-menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien menganggap lamunan-
lamunan awal tersebut sebagai pemecahan masalah.
1.6.2 Stage II (Comforting Moderate Level of Anxiety)
Halusinasi secara umum ia terima sebagai sesuatu yang alami.
Karakteristik :
Klien mengalami emosi yang berlanjut, seperti adanya perasaan cemas,
kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan mencoba untuk memusatkan
pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa pengalaman
pikiran dan sensorinya dapat ia kontrol bila kecemasannya diatur, dalam
tahapan ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan
halusinasinya. Perilaku yang muncul biasanya dalah menyeringai atau
tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan
suara, gerakan mata cepat, respon verbal lamban, diam dan dipenuhi oleh
sesuatu yang mengasyikkan.
1.6.3 Stage III (Condemning Severe Level of Anxiety)
Secara umum halusinasi sering mendatangi klien.
Karakteristik :
Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami bias.
Klien mulai merasa tidak mampu mengontrolnya dan mulai berupaya
untuk menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang dipersepsikan klien.
Klien mungkin merasa malu karena pengalaman sensorinya tersebut dan
menarik diri dari orang lain dengan intensitas watu yang lama. Perilaku
yang muncul adalah terjadinya peningkatan sistem syaraf otonom yang
menunjukkan ansietas atau kecemasan, seperti : pernafasan meningkat,
tekanan darah dan denyut nadi menurun, konsentrasi menurun.
1.6.4 Stage IV (Controling Severe Level of Anxiety)
Fungsi sensori menjadi tidak relevan dengan kenyataan.
Karakteristik :
Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang datang.
Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya berakhir. Dari sinilah
dimulai fase gangguan psikotik. Perilaku yang biasanya muncul yaitu
individu cenderung mengikuti petunjuk sesuai isi halusinasi, kesulitan
berhubungan dengan orang lain, rentang perhatian hanya beberapa
detik/menit.
1.6.5 Stage V (Concuering Panic Level of Anxiety)
Klien mengalami gangguan dalam menilai lingkungannya.
Karakteristik :
Pengalaman sensorinya terganggu. Klien mulai terasa terancam dengan
datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat menuruti ancaman
atau perintah yang ia dengar dari halusinasinya. Halusinasi dapat
berlangsung selama minimal empat jam atau seharian bila klien tidak
mendapatkan komunikasi terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat.
Perilaku yang muncul adalah perilaku menyerang, risiko bunuh diri atau
membunuh, dan kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi (amuk,
agitasi, menarik diri).

1.7 Rentang Respon


Respon Adaptif Respon Maladaptif

 Pikiran logis  Pikiran terkadang  Kelainan pikiran


 Persepsi akurat menyimpang  Halusinasi
 Emosi konsisten  Ilusi  Tidak mampu mengatur
 Perilaku sosial  Emosional emosi
 Hubungan sosial berlebihan/dengan  Ketidakteraturan
pengalaman kurang  Isolasi sosial
 Perilaku ganjil
 Menarik diri
(Ermawati dkk, 2014)
Keterangan :
1.7.1 Respon adaptif adalah respon yang yang dapat diterima oleh norma-norma
sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam
batas normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan
masalah tersebut.
1.7.1.1 Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
1.7.1.2 Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
1.7.1.3 Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul
dari pengalaman ahli.
1.7.1.4 Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam
batas kewajaran.
1.7.1.5 Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi denagn orang lain
dan lingkungan.
1.7.2 Respon psikosial meliputi
1.7.2.1 Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan
gangguan.
1.7.2.2 Ilusi adalah miss interpretasi atau penilaian yang salah tentang
penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena
rangsangan panca indera.
1.7.2.3 Emosi berlebihan atau berkurang.
1.7.2.4 Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi
batas kewajaran.
1.7.2.5 Menarik diri yaitu percobaan untuk menghindar interaksi dengan
orang lain.
1.7.3 Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah
yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan,
adapun respon maladaptif ini meliputi :
1.7.3.1 Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan kenyataan sosial.
1.7.3.2 Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan kenyataan sosial.
1.7.3.3 Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul
dari hati.
1.7.3.4 Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak
teratur.
1.7.3.5 Isolasi sosial adalah kondisi sendirian yang dialami oleh individu
dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu
kecelakaan yang negatif mengancam.

1.8 Mekanisme Koping


Menurut Dalami dkk (2014) mekanisme koping adalah perilaku yang mewakili
upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman yang menakutkan
berhubungan dengan respon neurobiologi maladaptif meliputi:
1.8.1 Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku
kembali seperti apa perilaku perkembangan anak atau berhubungan
dengan masalah proses informasi dan upaya untuk menanggulangi
ansietas.
1.8.2 Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi pada
orang lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai upaya
untuk menjelaskan kerancuan persepsi).
1.8.3 Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun
psikologis, reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindari sumber
stressor, misalnya menjauhi polusi, sumber infeksi, gas beracun dan lain-
lain. Sedangkan reaksi psikologis individu menunjukan perilaku apatis,
mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut dan
bermusuhan.
II. POHON MASALAH

Resiko tinggi mencederai diri, orang lain, dan lingkungan

Perubahan persepsi sensori : halusinasi

Isolasi sosial: menarik diri

Faktor predisposisi

Faktor presipitasi

III. PENGKAJIAN DAN MASALAH KEPERAWATAN


3.1 Pengkajian :
3.1.1 Data subjektif
3.1.1.1 Klien mengatakan mendengar sesuatu
3.1.1.2 Klien mengatakan melihat bayangan putih
3.1.1.3 Klien mengatakan dirinya seperti disengat listrik
3.1.1.4 Klien mencium bau-bauan yang tidak sedap, seperti feses
3.1.1.5 Klien mengatakan kepalanya melayang di udara
3.1.1.6 Klien mengatakan dirinya merasakan ada sesuatu yang berbeda
pada dirinya.
3.1.2 Objektif :
3.1.2.1 Klien terlihat bicara atau tertawa sendiri saat dikaji
3.1.2.2 Bersikap seperti mendengarkan sesuatu
3.1.2.3 Berhenti bicara di tengah-tengah kalimat untuk mendengarkan
sesuatu
3.1.2.4 Disorientasi
3.1.2.5 Konsentrasi rendah
3.1.2.6 Pikiran cepat berubah-ubah
3.1.2.7 Kekacauan alur pikiran
3.2 Masalah Keperawatan
Perubahan Sensori Persepsi: halusinasi
IV. INTERVENSI KEPERAWATAN
4.1 Rencana Tindakan Keperawatan
4.1.1 Tujuan tindakan untuk klien adalah sebagai berikut :
4.1.1.1 Klien dapat mengenal halusinasi yang dialaminya
4.1.1.2 Klien dapat mengontrol halusinasinya
4.1.1.3 Klien mengikuti program pengobatan secara optimal
4.1.2 Tindakan Keperawatan
4.1.2.1 Membantu klien mengenal halusinasi
Dalam membantu klien mengenal halusinasinya, perawat dapat
berdiskusi dengan klien tentang isi halusinasi (apa yang
didengar, dilihat atau dirasa), waktu terjadi halusinasi, frekuensi
terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan terjadinya
halusinasi, dan respon klien saat halusinasi itu muncul.
4.1.2.2 Melatih klien mengontrol halusinasi
a. Menghardik halusinasi
 Menjelaskan cara menghardik halusinasi
 Memperagakan cara menghardik
 Meminta klien memperagakan ulang
 Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku klien.
b. Bercakap-cakap dengan orang lain
Bercakap-cakap dengan orang lain dapat membantu
mengontrol halusinasi, ketika klien bercakap-cakap dengan
orang lain terjadi distraksi yaitu focus perhatian klien akan
beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan
orang lain. Anjurkan atau ingatkan kepada klien bahwa
ketika waktu-waktu yang diperkirakan sebagai waktu
halusinasi tersebut muncul maka kien diharapkan langsung
mencari teman untuk bercakap-cakap.
c. Melakukan aktivitas yang terjadwal
 Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk
mengatasi halusinasi
 Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan klien
 Melatih klien melakukan aktivitas
 Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan
aktivitas yang telah dilatih. Upayakan agar klien memiliki
aktivitas muali dari bangun pagi sampai dengan tidur
malam.
d. Minum obat secara teratur
Jelaskan kegunaan obat, akibat putus obat dan cara
mendapatkan obat/berobat
4.2 Strategi Pelaksanaan
SP PASIEN SP KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Identifikasi halusinasi: dengan 1. Diskusikan masalah yang dirasakan
mendiskusikan isi, frekuensi, waktu keluarga dalam merawat pasien
terjadi situasi pencetus, perasaan dan 2. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala serta
respon proses terjadinya halusinasi (gunakan
2. Jelaskan cara mengontrol halusinasi : booklet)
hardik, obat, bercakap-cakap, 3. Jelaskan cara merawat pasien dengan
melakukan kegiatan halusinasi
3. Latih cara mengontrol halusinasi 4. Latih cara merawat halusinasi: hardik
dengan menghardik 5. Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal
4. Masukan pada jadwal kegiatan untuk dan beri pujian
latihan menghardik
SP 2 SP 2
1. Evaluasi kegiatan menghardik: beri 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat
pujian melatih pasien menghardik beri pujian
2. Latih cara mengontrol halusinasi 2. Jelaskan 6 benar cara memberikan obat
dengan obat (jelaskan 6 benar obat, 3. Latih cara memberikan atau membembing
jenis, guna, dosis, frekuensi, kontinuitas minum obat
minum obat) 4. Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal
3. Jelaskan pentingnya pengguanaan obat dan beri pujian
pada gangguan jiwa
4. Jelaskan akibat jika obat tidak diminum
sesuai program
5. Jelaskan akibat putus obat
6. Jelaskan cara berobat
7. Masukan pada jadwal kegiatan untuk
latihan menghardik dan beri pujian
SP 3 SP 3
1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat
dan obat. Beri pujian atau melatih pasien dalam menghardik dan
2. Latih cara mengontrol halusinasi memberikan obat. Beri pujian
dengan bercakap-cakap ketika 2. Jelaskan cara bercakap-cakap dan
halusinasi muncul melakukan kegiatan untuk mengontrol
3. Masukan pada jadwal kegiatan untuk halusinasi
latihan menghardik, minum obat dan 3. Latih dan sediakan waktu untuk bercakap-
bercakap-cakap cakap dengan pasien terutama saat
halusinasi
4. Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal
dan berikan pujian

SP 4 SP 4
1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik, 1. Evaluasi kegiatan keluarga merawa/
penggunaan obat dan bercakap-cakap. melatih pasien mengahardik, memberikan
Beri pujian obat dan bercakap-cakap. Beri pujian
2. Latih cara mengontrol halusinasi 2. Jelaskan follow up ke RSJ / PKM, tanda
dengan menggunakan kegiatan harian kambuh, rujukan
(mulai 2 kegiatan) 3. Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal.
3. Masukan kedalam jadwal kegiatan Beri pujian
untuk latihan menghardik, minum obat,
bercakap-cakap dan kegiatan harian
SP 5-12 SP 5-12
1. Evaluasi kegiatan latiahn menghardik, 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat
minum obat, bercakap-cakap dan atau melatih pasien menghardik, minum
melakukan kegiatan harian. Beri pujian obat, bercakap-bercakap, kegiatan harian
2. Latih kegiatan harian dan foloow up. Beri pujian
3. Nilai kemampuan yang telah mandiri 2. Nilai kemampuan keluarga merawat pasien
4. Nilai apakah halusinasi terkontrol 3. Nilai kemampuan keluarga melakukan
kontrol ke RSJ/PKM
V. TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK
5.1 Sesi I: Mengenal Halusinasi
Tujuan
5.1.1 Klien mengenal isi halusinasi.
5.1.2 Klien mengenal waktu terjadinya halusinasi.
5.1.3 Klien mengenal frekuensi halusinasi.
5.1.4 Klien mengenal perasaan bila mengalami halusinasi
5.2 SESI II: MENGONTROL HALUSINASI: MENGHARDIK
Tujuan
5.2.1 Klien dapat menjelaskan cara yang selama ini dilakukan untuk mengatasi
halusnasi.
5.2.2 Klien dapat memahami dinamika halusinasi
5.2.3 Klien dapat memahami cara menghardik halusinasi.
5.2.4 Klien dapat memperagakan cara menghardik halusinasi
5.3 SESI III: MENYUSUN JADWAL KEGIATAN
Tujuan
5.3.1 Klien dapat memahami pentingnya melakukan aktifitas untuk mencegah
munculnya halusinasi
5.3.2 Klien dapat menyusun jadwal aktivitas dari pagi sampai tidur malam.
5.4 SESI IV: CARA MINUM OBAT YANG BENAR
Tujuan
5.4.1 Klien dapat mengetahui jenis-jenis obat yang harus diminumnya.
5.4.2 Klien mengetahui perlunya minum obat secara teratur.
5.4.3 Klien mengetahui 5 benar dalam minum obat.
5.4.4 Klien mengetahui efek terapi dan efek samping obat 5. Klien mengetahui
jika putus minum obat
5.5 SESI V: MENGONTROL HALUSNASI DENGAN BERCAKAP-CAKAP
Tujuan
5.5.1 klien memahami pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain.
5.5.2 Klien memahami tentang pentingnya brcakap-cakap dengan orang lain.
5.5.3 Klien menerapkan cara menghubungi orang lain ketika mulai mengalami
halusinasi
VI. DAFTAR PUSTAKA
Ernawati, dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Cetakan
Kedua. Jakarta Timur: CV. Trans Info Media
Keliat, Budi Ana. 2014. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC
Trimeilia. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Halusinasi. Jakarta Timur: CV. Trans
Info Media
Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI

I. PROSES TERJADINYA MASALAH


1.1 Pengertian
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang dapat
mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena
merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri
disebabkan karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu gagal
dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah
(Stuart, 2006).

Bunuh diri menurut Videbeck dalam Dewi (2020) merupakan tindakan yang
secara sadar dilakukan oleh seseorang untuk mengakhiri kehidupannnya.
Perilaku bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk
membunuh diri sendiri. Bunuh diri dapat melibatkan ambivalensi antara
keinginan untuk hidup dan keinginan untuk mati. Perilaku bunuh diri terdiri dari
tiga tingkatan yaitu berupa ide/isyarat bunuh diri, ancaman bunuh diri, dan
percobaan bunuh diri . Bunuh diri merupakan upaya yang dilakukan dengan
sadar untuk mengakhiri kehidupan secara sadar berupaya untuk mati (Muhith,
2015).

Bunuh diri adalah segala perbuatan seseorang dengan sengaja yang tahu akan
akibatnya yang dapat mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat
(Maramis dalam Yosep & Titin, 2014 ).

Wood, Bellis, Mathieson dan Foster dalam Dewi (2020) mengatakan bahwa
terdapat beberapa kelompok risiko tinggi klien bunuh diri, antara lain seseorang
dengan gangguan kepribadian, gangguan makan, depresi dan cemas, pengalaman
hidup yang penuh stress, kemiskinan, serta riwayat keluarga dengan bunuh diri.
1.2 Faktor penyebab
Menurut Damaiyanti (2012):
1.2.1 Faktor Predisposisi
1.2.1.1 Diagnosis Psikiatri
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan
cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga
gangguan jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk
melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan efektif,
penyalagunaan zat, dan skizofrenia.
1.2.1.2 Sifat kepribadian
Tiga tipe keperibadian yang erat hubungannya dengan besarnya
resiko bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
1.2.1.3 Lingkungan psikososial
Pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian
kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan dan
bahkan perceraian. Kekuatan dukungan sosial sangat penting
dalam menciptakan intervensi yang terapiutik, dengan terlebih
dahulu mengetahui penyebab masalah, respon seorang dalam
menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.
1.2.1.4 Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
faktor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
1.2.1.5 Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri
terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak
seperti serotonim, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat
tersebut dapat dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro
Encephalo Graph (EEG).
1.2.2 Faktor presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres yang berlebihan
yang dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian
hidup yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah
melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang melakukan
bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya
labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
1.2.3 Perilaku koping Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang
mengancam kehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering
kali orang ini secara sadar memilih untuk melakukan tindakan bunuh
diri. Perilaku bunuh diri berhubungan dengan banyak faktor, baik faktor
sosial maupun budaya. Seseorang yang aktif dalam kegiatan masyarakat
lebih mampu menoleransi stres dan menurunkan angka bunuh diri.
1.3 Tanda dan Gejala
Menurut Fitria (2009), tanda dan gejala dari resiko bunuh diri adalah :
1.3.1 Mempunyai ide untuk bunuh diri.
1.3.2 Mengungkapkan keinginan untuk mati.
1.3.3 Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
1.3.4 Inpulsif e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi
sangat patuh).
1.3.5 Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
1.3.6 Verbal terselubung ( berbicara tentang kematian, menayakan tentang
obat dosis mematikan).
1.3.7 Status emosional ( harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah
dan mengasingkan diri).
1.3.8 Kesehatan mental( secara klinis, klien terlihat sebagai orang depresi,
psikosis dan menyalagunakan narkoba).
1.3.9 Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronik atau
terminal).
1.3.10 Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalam karier).
1.3.11 Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun.
1.3.12 Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
1.3.13 Pekerjaan
1.3.14 Konflik interpersonal.
1.3.15 Latar belakang keluarga.
1.3.16 Orientasi seksual.
1.3.17 Sumber-sumber personal
1.4 Masalah Keperawatan
1.4.1 Resiko bunuh diri
1.4.2 Harga diri rendah
1.5 Rentang Respon
Skema, rentang respons protektif diri (Yusuf & Hanik, 2015)
Adaptif Maladaptif

Peningkatan Pertumbuhan Perilaku Pencederaan Bunuh diri


diri Peningkatan Destruktif diri diri
Berisiko Tak langsung

Keterangan
1.5.1 Peningkatan diri yaitu seorang individu yang mempunyai pengharapan,
yakin, dan kesadaran diri meningkat.
1.5.2 Pertumbuhan-peningkatan beresiko, yaitu merupakan posisi pada
rentang yang masih normal dialami individu yang mengalami
pengembangan perilaku.
1.5.3 Perilaku destruktif diri tak langsung, yaitu setiap aktivitas yang merusak
kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian,
seperti perilaku merusak, mengebut, berjudi, tindakan kriminal, terlibat
dalam rekreasi yang beresiko tinggi, penyalahgunaan zat, perilaku yang
menyimpang secara sosial, dan perilaku yang menimbulkan stres.
1.5.4 Pencederaan diri, yaitu suatu tindakan yang membahayakan diri sendiri
yang dilakukan dengan sengaja. Pencederaan dilakukan terhadap diri
sendiri, tanpa bantuan orang lain, dan cedera tersebut cukup parah untuk
melukai tubuh. Bentuk umum perilaku pencederaan diri termasuk
melukai dan membakar kulit, membenturkan kepala atau anggota tubuh,
melukai tubuhnya sedikit demi sedikit, dan menggigit jari.
1.5.5 Bunuh Diri, yaitu tindakan agresif yang langsug terhadap diri sendiri
untuk mengakhiri kehidupan
1.6 Mekanisme Koping
Mekanisme koping Seorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme
koping yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial,
rasionalization, regression dan megical thinking. Mekanisme pertahanan diri yang
ada seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping alternatif.
1.7 Proses Terjadinya Perilaku Bunuh diri
motivasi Niat Penjabaran Krisis bunuh Tindakan
gagasan diri bunuh diri

Hidup atau Konsep  Jeritan minta tolong


mati bunuh diri  Catatan bunuh diri

Gambar: Proses Terjadinya Perilaku Bunuh Diri (Sumber : Yusuf & Hanik, 2015)
II. POHON MASALAH

Bunuh Diri

Resiko tinggi Bunuh Diri

Perubahan Proses Pikir

Harga Diri Rendah Kronis Isolasi Sosial

III. PENGKAJIAN DAN MASALAH KEPERAWATAN


3.1 Pengkajian
3.1.1 Jenis kelamin: resiko meningkat pada pria.
3.1.2 Usia: lebih tua, masalah semakin banyak.
3.1.3 Status perkawinan: menikah dapat menurunkan resiko, hidup sendiri
merupakan masalah.
3.1.4 Riwayat keluarga: meningkat apabila ada keluarga dengan percobaan
bunuh diri / penyalahgunaan zat.
3.1.5 Pencetus ( peristiwa hidup yang baru terjadi): Kehilangan orang yang
dicintai, pengangguran, mendapat malu di lingkungan sosial.
3.1.6 Faktor kepribadian: lebih sering pada kepribadian introvert/menutup
diri.
3.1.7 Lain – lain: Penelitian membuktikan bahwa ras kulit putih lebih beresiko
mengalami perilaku bunuh diri.
Subjektif Objektif
memiliki riwayat penyakit mental mengalami depresi, cemas, dan perasaan
putus asa
menyatakan pikiran, harapan, dan respon kurang dan gelisah
perencanaan bunuh diri
menyatakan bahwa sering menunjukkan sikap agresif
mengalami kehilangan secara
bertubi-tubi dan bersamaan
menderita penyakit yang tidak koperatif dalam menjalani
prognosisnya kurang baik pengobatan
menyalahkan diri sendiri, perasaan berbicara lamban, keletihan, menarik
gagal dan tidak berharga diri dari lingkungan sosial
menyatakan perasaan tertekan penurunan berat badan

Dalam pengkajian risiko bunuh diri terdapat kriteria untuk menilai tingkat risiko
bunuh diri yang terjadi, yaitu SIRS (Suicidal Intention Rating Scale). ( Yusuf,
2015)

Skor Intensitas
0 Tidak ada ide bunuh diri yang lalu dan sekarang
1 Ada ide bunuh diri, tidak ada percobaan bunuh diri, tidak mengancam
bunuh diri
2 Memikirkan bunuh diri dengan aktif, tidak ada percobaan bunuh diri
3 Mengancam bunuh diri, misalnya, “Tinggalkan saya sendirian atau saya
bunun diri”
4 Aktif mencoba bunuh diri.
Tabel; Tabel Intensitas Bunuh Diri
Keterangan skor:
Skor 0 : Resiko Rendah
Skor 1-2 : Resiko
Sedang Skor 3-4 : Resiko Tinggi

3.2 Masalah Keperawatan


3.2.1 Resiko bunuh diri
3.2.2 Harga diri rendah kronis
IV. INTERVENSI KEPERAWATAN
4.1 Rencana Tindakan Keperawatan
4.1.1 Ancaman/percobaan bunuh diri dengan diagnosis: risiko bunuh diri
Tindakan keperawatan klien yang mengancam atau mencoba bunuh diri.
Tujuan:
4.1.1.1 Klien tetap aman dan selamat
Perawat dapat melakukan hal berikut untuk melindungi klien
yang mengancam atau mencoba bunuh diri.
a. Tetap menemani klien sampai dipindahkan ketempat yang
lebih aman
b. Menjauhkan semua benda yang berbahaya
c. Memastikan klien benar-benar telah meminum obat
d. Menjelaskan dengan lembut pada klien bahwa akan
melindungi klien sampai klien melupakan keinginan untuk
bunuh diri
4.1.2 Isyarat bunuh diri dengan diagnosis: harga diri rendah kronis
Tindakan keperawatan untuk klien yang menunjukkan isyarat bunuh diri
Tujuan:
4.1.2.1 Klien mendapat perlindungan dari lingkungannya
4.1.2.2 Klien dapat mengungkapkan perasaannya
4.1.2.3 Klien dapat meningkatkan harga dirinya
4.1.2.4 Klien dapat menggunakan cara penyelesaian yang baik
Perawat dapat melakukan hal berikut untuk melindungi klien:
a. Mendiskusikan cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan
meminta bantuan dari keluarga atau teman
b. Berikan pujian bila klien dapat mengungkapkan perasaan yang
positif
c. Meyakinkan klien bahwa dirinya berarti untuk orang lain
d. Mendiskusikan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh
klien
e. Merencanakan aktivitas yang dapat klien lakukan
4.2 Strategi Pelaksanaan
SP Untuk Pasien SP Untuk Keluarga
Pertemuan 1 Pertemuan 1
1. Identifikasi beratnya masalah resiko bunuh diri : isyarat,
ancaman, percobaan (jika percobaan segera rujuk) 1. Diskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
2. Identifikasi benda-benda berbahaya dan mengamankanya merawat pasien
(lingkungan aman untuk pasien) 2. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala serta proses
3. Latihan cara mengendalikan diri dari dorongan bunuh diri terjadinya resioko bunuh diri (gunakan booklet)
: buat daftar aspek positif diri sendiri, latihan afirmasi / 3. Jelaskan cara merawat pasien dengan resiko bunuh diri
berpikir aspek positif yang dimiliki 4. Latih cara memberikan pujian hal positif pasien, memberi
4. Masukan pada jadwal latihan berpikir positif 5 kali per dukungan pencapaian masa depan
hari 5. Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan berikan
pujian
Pertemuan 2 Pertemuan 2

1. Evaluasi kegiatan berpikir positif tentang diri sendiri. Beri 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam memberikan pujian dan
pujian. Kaji ulang resiko bunuh diri penghargaan atas keberhasilan dan aspek positif pasien.
2. Latih cara mengendalikan diri dari dorongan bunuh diri : Beri pujian
buat daftar aspek positif keluarga dan lingkungan, latih 2. Latih cara memberikan penghargaan pada pasien dan
afirmasi/ berpikir postif keluarga dan lingkungan menciptakan suasana positif dalam keluarga : tidak
3. Masukkan pada jadwal latihan berpikir positif keluarga membicarakan keburukan anggota keluarga
dan lingkungan 3. Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan memberikan
pujian
Pertemuan 3 Pertemuan 3

1. Evaluasi kegiatan berpikir positif diri sendiri, keluarga 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam memberikan pujian dan
dan lingkungna, beri pujian. Kaji resiko bunuh diri penghargaan kepada pasien serta menciptakan suasana
2. Diskusikan harapan dan masa depan positif dalam keluarga. Beri pujian
3. Diskusikan cara mencapai harapan dan masa depan 2. Bersama keluarga berdiskusi dengan pasien tentang
4. Latih cara-cara mencapai harapan dan masa depan secara harapan masa depan dan langkah-langkah mencapainya
bertahap (setahap demi setahap) 3. Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan memberikan
5. Masukan pada jadwal latihan berfikir positif diri sendiri, pujian
keluarga dan lingkungan, serta kegiatan yang dipilih
untuk persiapan masa depan
Pertemuan 4 Pertemuan 4

1. Evaluasi kegiatan berpikir positif diri sendiri, keluarga 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam memberikan pujian,
dan lingkungan, serta kegiatan yang dipilih. Beri pujian penghargaan, menciptakan suasana positif dan kegiatan
2. Latih tahap kedua latihan mencapai masa depan awal dalam mencapai harapan masa depan. Beri pujian
3. Masukkan pada jadwal latihan berpikir positif diri sendiri, 2. Bersama keluarga berdiskusi tentang langkah dan kegiatan
keluarga dan lingkungan serta kegiatan yang dipilih untuk untuk mencapai harapan masa depan
persiapan masa depan 3. Jelaskan follow up ke RSJ / PKM, tanda kambuh, rujukan
4. Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan memberikan
pujian
Pertemuan 5 sd 12 Pertemuan 5 sd 12

1. Evaluasi kegiatan latihan peningkatan positif diri, 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam memberikan pujian,
keluarga dan lingkungan, beri pujian penghargaan, menciptakan suasana positif dan
2. Evaluasi tahap kegiatan mencapai harapan dan masa membimbing langkah-langkah dalam mencapai harapan
depan masa depan. Beri pujian
3. Nilai apakah resiko bunuh diri teratasi 2. Nilai kemampuan keluarga merawat pasien
3. Nilai kemampuan keluarga melakukan kontrol ke RSJ /
PKM

V. TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK


1.1 Sesi 1: Stimulasi persepsi : Pencegahan Bunuh Diri Mencegah Keinginan untuk
Bunuh Diri
Tujuan :
1.1.1 Klien dapat mengendalikan saat ada keinginan atau dorongan untuk
bunuh diri
1.1.2 Klien dapat mengekspresikan perasaannya
1.2 Sesi 2: Stimulasi persepsi : Pencegahan Bunuh Diri Meningkatkan Harga Diri
Klien
Tujuan
1.2.1 Klien dapat mengidentifikasik pengalaman yang tidak menyenangkan.
1.2.2 Klien dapat mengidentifikasi hal positif pada dirinya
1.3 Sesi 3: Stimulasi persepsi : Pencegahan Bunuh Diri Menggunakan mekanisme
koping yang adaptif
Tujuan :
1.3.1 Klien dapat mengenali hal-hal yang ia sayangi
1.3.2 Klien dapat menggunakan mekanisme koping yang adaptif
1.3.3 Klien dapat merencanakan dan menetapkan masa depan yang realistis

VI. DAFTAR PUSTAKA


Damayanti, M dkk (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa, Bandung : Refika Aditama
Dewi Itsnaini Wahyu Puspita & Erna Erawati (2020). ASUHAN KEPERAWATAN
JIWA PADA KLIEN SKIZOFRENIA DENGAN RISIKO BUNUH
DIRI. Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 8 No 2, Hal 211 - 216, Mei
2020, p-ISSN2338-2090, e-ISSN 2655-8106. FIKKes Universitas
Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah
Fitria, N. (2009), Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa( Teori dan Aplikasi).
Yogyakarta: Andi
Stuart, G. . 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Yusuf, A., H., et al. (2015). BUKU AJAR KEPERAWATAN KESEHATAN
JIWA. Jakarta Selatan. Salemba Medika.
Yosep, Iyus., Sutini, Titin. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa (dan Advance
mental healyh nursing). Bandung: Refika Aditama.
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN (RPK)

I. PROSES TERJADINYA MASALAH


1.1 Pengertian
Resiko perilaku kekerasan adalah keadaan dimana seseorang pernah atau
mempunyai riwayat melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri
atau orang lain atau lingkungan baik secara fisik/emosional/seksual dan verbal
(Keliat, 2010)

Perilaku Kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini maka
perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diiarahkan pada diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk
yaitu saat sedang berlangsung kekerasaan atau riwayat perilaku kekerasan.

Perilaku kekerasan adalah nyata melakukan kekerasan ditujukan pada diri


sendiri/orang lain secara verbal maupun non verbal dan pada lingkungan.
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Marah tidak
memiliki tujuan khusus, tapi lebih merujuk pada suatu perangkat perasaan-
perasaan tertentu yang biasanya disebut dengan perasaan marah (Depkes RI,
2006, Berkowitz, 1993 dalam Dermawan dan Rusdi, 2013).

1.2 Faktor penyebab


Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi risiko perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut :
1.2.1 Faktor Predisposisi meliputi :
1.2.1.1 Psikologis menjadi salah satu faktor penyebab karena
kegagalan yang dialami dapat menimbulkan seseorang menjadi
frustasi yang kemudian dapat timbul agresif atau perilaku
kekerasan.
1.2.1.2 Perilaku juga mempengaruhi salah satunya adalah perilaku
kekerasan, kekerasan yang didapat pada saat setiap melakukan
sesuatu maka perilaku tersebut diterima sehingga secara tidak
langsung hal tersebut akan diadopsi dan dijadikan perilaku
yang wajar.
1.2.1.3 Sosial budaya dapat mempengaruhi karena budaya yang pasif-
agresif dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku
kekerasan akan menciptakan seolah-olah kekerasan adalah hal
yang wajar.
1.2.1.4 Bioneurologis beberapa pendapat bahwa kerusakan pada sistem
limbik, lobus frontal, lobus temporal, dan ketidakseimbangan
neurotransmitter ikut menyumbang terjadi perilaku kekerasan.
1.2.2 Faktor presipitasi yang meliputi :
1.2.2.1 Ekspresi diri dimana ingin menunjukan eksistensi diri atau
symbol solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak
bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
1.2.2.2 Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi
social ekonomi.
1.2.2.3 Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga
serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah
cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
1.2.2.4 Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
1.2.2.5 Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan
obat dan alkohlisme dan tidak mampu mengontrol emosinya
pada saat menghadapi rasa frustasi.
1.2.2.6 Kematiaan anggota keluaraga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan
tahap perkembangan keluarga.

1.3 Tanda dan gejala


Menurut (Damaiyanti 2014) tanda dan gejala yang ditemui pada klien melalui
observasi atau wawancara tentang perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
1.3.1 Muka merah dan tegang
1.3.2 Pandangan tajam
1.3.3 Mengatupkan rahang dengan kuat
1.3.4 Mengepalkan tangan
1.3.5 Jalan mondar-mandir
1.3.6 Bicara kasar
1.3.7 Suara tinggi, menjerit atau berteriak
1.3.8 Mengancam secara verbal atau fisik
1.3.9 Melempar atau memukul benda/orang lain
1.3.10 Merusak benda atau barang
1.3.11 Tidak memiliki kemampuan mencegah/ mengendalikan perilaku
kekerasan.
1.4 Masalah keperawatan
Masalah Keperawatan dikutip dari buku ajar asuhan keperawatan jiwa
(Herman, 2011), yaitu:
1.4.1 Perilaku kekerasan,
1.4.2 Resiko mencederai diri sendiri
1.4.3 orang lain dan lingkungan,
1.4.4 Perubahan presepsi sensori : Halusinasi,
1.4.5 Harga diri rendah kronis,
1.4.6 Isolasi sosial,
1.4.7 Berduka Dingfusional
1.5 Rentang respon
1.6 Respon marah berfluktuasi sepanjang respon adaptif dan maladaptif
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Pasif Perilaku Kekerasan

Dalam setiap orang terdapat kapasitas untuk berprilaku pasif, asertif, dan
agresif/ perilaku kekerasan (Stuart dan Laraia, 2005 dalam Dermawan dan
Rusdi 2013).
1.6.1 Perilaku asertif merupakan perilaku individu yang mampu menyatakan
atau mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa menyalahkan
atau menyakiti orang lain sehingga perilaku ini dapat menimbulkan
kelegaan pada individu.
1.6.2 Perilaku pasif merupakan perilaku individu yang tidak mampu untuk
mengungkapakn perasaan marah yang sedang dialami, dilakukan dengan
tujuan menghindari suatu ancaman nyata.
1.6.3 Agresif/perilaku kekerasan. Merupakan hasil dari kemarahan yang
sangat tinggi atau ketakutan (panik).
Stress, cemas, harga diri rendah dan rasa bersalah dapat menimbulkan
kemarahan yang dapat mengarah pada perilaku kekerasan. Respon rasa marah
bisa diekspresikan secara eksternal (perilaku kekerasan) maupun internal
(depresi dan penyakit fisik).

Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif, menggunakan kata-kata


yang dapat di mengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain, akan
memberikan perasaan lega, menurunkan ketegangan sehingga perasan marah
dapat teratasi. Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan
biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tidak
menyelesaikan masalah, bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang
berkepanjangan dan perilaku destruktif.

Perilaku yang tidak asertif seperti menekan rasa marah dilakukan individu
seperti pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari perasaan marahnya
sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulakn
rasa bermusuhan yang lama dan suatu saat akan menimbulkan perasaaan
destruktif yang ditunjukan kepada diri sendiri. (Dermawan dan Rusdi 2013).
1.7 Mekanisme koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat
membantu klien mengembangkan mekanisme koping yang umum digunakan
adalah mekanisme koping yang kontruktif dalam mengekpresikan
kemarahanya, mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme
pertahanan ego seperti displancement, sublimasi, proyeksi represif, denial dan
reaksi formasi Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
1.7.1 Menyerang atau Menghindar
Pada saat ini respon fisiologis timbul karena kegiatan system syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi epineprinyang menyebabkan tekanna
darah meningkat, peristaltic gaster menurun, pengeluarana urin dan
saliva meningkat, tangan mengepal, tubuh menjadi kaku dan disertai
reflek yang cepat.
1.7.2 Menyatakan secara asertif
Perilaku yang sering ditampilkan indivisu dalam mengekpresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku
asertif adalah cara terbaik, individu dapat mengekpresikan rasa
marahnya tanpa meyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis dan
dengan perilaku tersebut individu dapat mengembangkan diri.
1.7.3 Membrontak
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik
perilaku untuk menarik perhatian orang lain
1.7.4 Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditunjukkan kepada diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan
II. POHON MASALAH

Risiko Perilaku Kekerasan (pada diri sendiri, orang lain,


lingkungan, dan Asertif Pasif Perilaku kekerasan verbal)
Effect

Perilaku Kekerasan
Core

Harga Diri Rendah Kronis


Cause

(Sumber : Damaiyanti 2014)


III. PENGKAJIAN DAN MASALAH KEPERAWATAN
III.1 Pengkajian
III.1.1 Subjektif :
III.1.1.1 Klien mengancam
III.1.1.2 Klien mengumpat dengan kata-kata kasar
III.1.1.3 Klien mengatakan dendam dan jengkel
III.1.1.4 Klien mengatakan ingin berkelahi
III.1.1.5 Klien menyalahkan dan menuntut
III.1.1.6 Klien meremehkan
III.1.2 Objektif :
III.1.2.1 Mata melotot/pandangan tajam
III.1.2.2 Tangan mengepal
III.1.2.3 Rahang mengatup
III.1.2.4 Wajah memerah dan tegang
III.1.2.5 Postur tubuh kaku
III.1.2.6 Suara keras
III.2 Diagnosa keperawatan
Menurut (Yusuf, A. Fitryasari, Nihayati, 2015)
III.2.1 Resiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan perilaku kekerasan.
III.2.2 Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
IV. INTERVENSI KEPERAWATAN
IV.1 Rencana tindakan keperawatan
Rencana Tindakan keperawatan dikutip dalam buku ajar keperawatan kesehatan
jiwa teoritis dan aplikasi praktik klinik (Azizah, et al. 2016)
IV.1.1 Diagnosa : Resiko perilaku kekerasan Tujuan umum : klien tidak
mencederai diri. Tujuan khusus :
IV.1.1.1 TUK 1 : klien dapat membina hubungan saling percaya.
Kriteria hasil :
- Klien mau membalas salam.
- Klien mau menjabat tangan
- Klien mau tersenyum
- Klien mau kontak mata
- Klien mau mengetahui nama perawat
Intervensi :
 Beri salam/panggil nama
 Jelaskan maksud hubungan interaksi
 Jelaskan akan kontrak yang akan dibuat
 Beri rasa aman dan sikap empati
 Lakukan kontak singkat tapi sering
IV.1.1.2 TUK 2 : Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku
kekrasan
Kriteria hasil :
- Klien dapat mengungkapkan perasaannya
- Klien dapat mengungkapkan penyebab perasaan jengkel/kesal
(dari diri sendiri)
Intervensi :
 Berikan kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya
 Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab perasaan
perasaan jengkel/kesal
IV.1.1.3 TUK 3: Klien apat mengidentifikasi tanda dan gejala
perilaku kekerasan
Kriteria Hasil :
- Klien dapat mengungkapkan perasaan jengkel/kesal
- Klien dapat menyimpulkan tanda dan gejala jengkel/kesal
yang dialaminya
Intervensi :
 Anjurkan klien mengungkapkan apa yang dialami dan
dirasakan saat marah/jengkel.
 Observasi tanda dan gejala perilaku kekerasan pada klien.
 Simpulkan bersama klien tanda dan gejala jengkel/kesal yang
dialami

IV.1.1.4 TUK 4: Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan


yang biasa dilakukan
Kriteria hasil:
- Klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan
- Klien dapat mengetahui cara yang bisa dilakukan untuk
menyelesaikan masalah
Intervensi :
 Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan
yang biasa dilakukan klien (verbal, pada orang lain, pada
lingkungan dan pada diri sendiri)
 Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan
yang biasa dilakukan
 Bicarakan dengan klien, apakah dengan cara yang klien
lakukan masalahnya selesai
IV.1.1.5 TUK 5: Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku
kekerasan
Kriteria hasil:
- Klien dapat menjelaskan akibat cara yang digunakan klien
Intervensi :
 Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang digunakan
 Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang dilakukan
klien
 Tanyakan kepada klien apakah klien mau mempelajari cara
baru yang sehat
IV.1.1.6 TUK 6: Klien dapat mendemostrasikan cara fisik untuk
mencegah perilaku kekerasan
Kriteria hasil :
- Klien dapat menyebutkan contoh pencegahan perilaku
kekerasan secara fisik.
- Klien dapat mengidentifikasikan cara fisik untuk mencegah
perilaku kekerasan
- Klien mempunyai jdwal untuk melatih cara pencegahan fisik
yang telah dipelajari sebelumnya
- Klien mengevaluasi kemampuan dalam melakukan cara fisik
sesuai jadwal yang disusun
Intervensi :
 Diskusikan kegiatan fisik yang biasa dilakukan
 Beri contoh klien tentang cara menarik nafas dalam
 Ajurkan klien menggunakan cara yang telah dipelajarisaat
marah/jengkel
 Validasi kemampuan klien dalam melakasanakan latihan
 Berikan pujian atas keberhasilan klien
IV.1.1.7 TUK 7 : Klien dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk
mencegah perilaku kekerasan
Kriteria hasil : -
- Klien dapat menyebutkan cara bicara (verbal) yang baik
dalam mencegah perilaku kekerasan
- Klien mempunyai jadwal untuk melatih cara bicara yang baik
- Klien melakukan evaluasi terhadap kemampuan cara bicara
yang sesuai dengan jadwal yang telah disusun
Intevensi :
 Diskusikan cara bicara yang baik dengan klien
 Meminta klien mengikuti cara bicara yang baik
 Minta klien mengulang sendiri
 Beri pujian atas keberhasilan klien
 Susun jadwal kegiatan untuk melatih cara yang telah dipelajari
 Validasi kemampuan klien dalam melakukan latihan
 Berikan pujian atas keberhasilan klien
IV.1.1.8 TUK 8 : Klien dapat mendemostrasikan cara osial untuk
mencegah perilaku kekerasan
Kriteria hasil: -
- Klien dapat menyebutkan cara bicara (verbal) yang baik
dalam mencegah perilaku kekerasan
- Klien dapat mendemostrasikan cara verbal yang baik
- Klien mempunyai jadwal untuk melatih cara bicara yang baik
- Klien melakukan evaluasi terhadap kemampuan cara bicara
yang sesuai dengan jadwal yang disusun
Intervensi :
 Diskusikan dengan kegiatan ibadah yang pernah dilakukan b.
Minta klien mendemostrasikan kegiatan ibadah yang dipilih
 Validasi kemampuan klien dalam melakukan validasi
 Berikan pujian atas keberhasilan klien
IV.1.1.9 TUK 9 : Klien mendemostrasikan kepatuhan minum obat
untuk mencegah perilaku kekerasan
Kriteria hasil :
- Klien dapat menyebutkan jenis, dosis dan waktu minum obat
serta manfaat dari obat itu
- Klien mendemostrasikan kepatuhan minum obat sesuai jadwal
yang ditetapkan
- Klien mengevaluasi kemampuan dalam mematuhi minum obat
Intervensi
 Diskusikan dengan klien manfaat minum obat secara teratur
 Diskusikan tentang proses minum obat
 Klien mengevaluasi pelaksaan minum obat klien
 Validasi pelaksaan minum obat klien
 Beri pujian atas keberhasilan klien
IV.1.1.10 TUK 10 : Klien dapat mengikuti TAK : stimulasi presepsi
pencegahan perilaku kekerasan
Kriteria hasil :
- Klien dapat mengikuti TAK
- Klien mempunyai jadwal, klien melakukan evaluasi terhadap
pelaksaan TAK
Intervensi :
 Anjurkan klien untuk mengikuti TAK stimulasi presepsi
pencengahan perilaku kekerasan
 Diskusikan dengan klien tentang jadwal TAK
 Masukkan jadwal TAK dalam jadwal kegiatan harian
 Beri pujian atas kemampuan mengikuti TAK
 Beri pujian atas kemampuan mengikuti TAK
 Beri pujian atas kemampuan mengikuti TAK
IV.1.1.11 TUK 11 : 29 Klien mendapat dukungan keluarga dalam
melakukan cara pencengahan perilaku kekerasan
Kriteria hasil :
- Keluarga dapat mendemostrasikan cara merawat klien
Intervensi :
- Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien sesuai
yang telah dengan keluarga terhadap klien selama ini
- Jelaskan keuntungan peran serta keluarga dalam merawat
klien
- Jelaskan cara-cara merawat klien
IV.2 Strategi pelaksanaan tindakan

SP PASIEN SP KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala 1. Diskusikan masalah yang dirasakan dalam
perilaku kekerasan yang dilakukan dan akibat merawat pasien
perilaku kekerasan 2. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala dan
2. Jelaskan cara mengontrol perilaku kekerasan : proses terjadinya perilaku kekerasan
sisik, obat, verbal dan spiritual (gunakan booklet)
3. Latihan cara mengontrol perilaku kekerasan 3. Jelaskan cara merawat pasien perilaku
secara fisik: tarik nafas dalam dan meumukul kekerasan
kasur dan bantal 4. Latih satu cara merawat PK dengan
4. Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan melakukan kegiatan fisik: tarik nafas dalam
fisik dan pukul bantal/kasus
5. Anjurkan untuk membantu sesuai jadwal
kegiatan dan memebrikan pujian
SP 2 SP 2
1. Evaluasi kegiatan latiahn fisik, berikan pujian 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat
2. Latih cara mengontrol perilaku kekerasan atau melatih pasien cara fisik, beri pujian
dengan obat (6 benar, obat, guna, dosis, 2. Jelaskan 6 benar cara memberikan obat
frekuensi, cara, kontinuitas minum obat, 3. Latih cara memberikan atau membimbing
akibat jika tidak meminum obat sesuai minum obat
program, akibat putus obat). 4. Anjurkan membantu sesui jadwal kegiatan
3. Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan dan memberikan pujian
fisik dan minum obat
SP 3 SP 3
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik dan obat, serta 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat
beri pujian atau melatih pasien fisik 1 dan 2 dan
2. Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan memberikan obat, berikan pujian
secara verbal (3 cara, yaitu: mengungkapkan, 2. Latih keluarga cara membimbing: cara
meminta, menolak dengan benar) berbicara yang baik
3. Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan 3. Latih keluarga cara membimbing kegiatan
fisik, minum obat dan verbal spiritual
SP 4 SP 4
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik, obat dan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat
verbal, beri pujian atau melatih pasien fisik 1 dan 2 dan
2. Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan memberikan obat, berikan pujian dan
secara spiritual (2 kegiatan) kegiatan spiritual. Beri pujian
3. Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan 2. Jelaskan follow up ke RSJ/PKM, tanda
fisik, minum obat, verbal kambuh dan rujukan
3. Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal
dan berikan pujian

SP 5-12 SP 5-12
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik, obat dan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat
verbal, spiritual. Beri pujian atau melatih pasien fisik 1 dan 2 dan
2. Nilai kemampuan yang telah mandiri memberikan obat, berikan pujian kegiatan
3. Nilai apakah perilaku kekerasan terkontrol spiritual dan follow up. Beri pujian.
2. Nilai kemampuan keluarga merawat pasien
3. Nilai kemampuan keluarga melakukan
kontrol ke RSJ atau PKM

V. TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK


Sesi 1 : mengenal perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
Sesi 2 : mencegah perilaku kekerasan fisik
Sesi 3 : mencegah perilaku kekerasan sosial
Sesi 4 : mencegah perilaku kekerasan spiritual
Sesi 5 : mencegah perilaku kekerasan dengan patuh mengkonsumsi obat

VI. DAFTAR PUSTAKA


Ah.Yusuf, R. F. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Azizah Lilik, dkk. (2016). Buku Ajar Kesehatan Jiwa . Yogjakarta: Indomedia
Pustaka
Damaiyanti, Iskandar. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Cetakan kedua. Bandung :
PT. Refika Adimata
Dermawan dan Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa;Konsep Dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing
Keliat, B. A. & Akemat. (2012). Keperawatan kesehatan jiwa komunitas. Jakarta :
EGC.
Surya, A. H. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Arteam.
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM

I. PROSES TERJADINYA MASALAH


1.1 Pengertian
Waham adalah suatu kepercayaan yang terpaku dan tidak dapat dikoreksi atas
dasar fakta dan kenyataan. Tetapi harus dipertahankan, bersifat patologis dan
tidak terkait dengan kebudayaan setempat. Adanya waham menunjukkan suatu
gangguan jiwa yang berat, isi waham dapat menerangkan pemahaman terhadap
factor-faktor dinamis penyebab gangguan jiwa. Terbentuknya kepercayaan
yang bersifat waham adalah sebagai perlindungan diri terhadap rasa takut dan
untuk pemuasan kebutuhan (Iyus Yoseph, 2010).

Waham adalah keyakinan yang salah yang didasarkan oleh kesimpulan yang
salah tentang realita eksternal dan dipertahankan dengan kuat (Keliat, B. A.,
Hamid, A. Y. S., Putri, Y. S. E., Daulima, N. H. C., dkk, 2019).

Waham merupakan gangguan dimana penderitanya memiliki rasa realita yang


berkurang atau terdistorsi dan tidak dapat membedakan yang nyata dan yang
tidak nyata (Videbeck dalam Fallon Victoryna dkk, 2020). Menurut (Lilik M,
2011), Jenis-jenis waham terdiri dari :
1.1.1 Waham agama yaitu keyakinan klien yang bertema tentang agama atau
kepercayaan yang berlebihan.
1.1.2 Waham somatic yaitu keyakinan klien terhadap tubuhnya ada sesuatu
yang tidak beres seperti ususnya busuk.
1.1.3 Waham kebesaran yaitu keyakinan klien terhadap suatu kemampuan,
kekuatan, pendidikan, kekayaan atau kekuasaan secara luar biasa seperti
mengaku dirinya raja, superman.
1.1.4 Waham curiga yaitu keyakinan klien terhadap seseorang secara
berlebihan yang berusaha merugikan, menciderai, mengganggu,
mengancam, memata-matai dan membicarakan kejelekan dirinya.
1.1.5 Waham nihilistic yaitu keyakinan klien terhadap dirinya sudah
meninggal atau dunia sudah hancur dan sesuatunya tidak ada apa-apanya
lagi.
1.1.6 Waham dosa yaitu keyakinan klien terhadap dirinya selalu salah berbuat
dosa atau perbuatannya tidak dapat di amouni lagi .
1.2 Faktor Penyebab
1.2.1 Faktor predisposisi
1.2.1.1 Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan menganggu hubungan
interpersonal seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stress dan
ansietas yang berakhir dengan gangguan persepsi, klien
menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual
dan emosi tidak efektif.
1.2.1.2 Faktor social budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat
menyebabkan timbulnya waham.
1.2.1.3 Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan,
dapat menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran
terhadap kenyataan.
1.2.1.4 Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran
ventrikel di otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbic.
1.2.1.5 Faktor genetik
1.2.2 Faktor presipitasi
1.2.2.1 Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena aanya perpisahan dengan orang
yang berarti atau diasingkan dari kelompok.
1.2.2.2 Faktor biokimia
Dopamine, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga
dapat menjadi penyebab waham pada seseorang.
1.2.2.3 Faktor psikologis
Kecemasan yang memandang dan terbatasnya kemmpuan
untuk mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan
koping untuk menghindari kenyataan yang menyenangkan.
1.3 Tanda dan Gejala
Menurut Kusumawati, (2010) yaitu :
1.3.1 Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat)
Cara berfikir magis dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk, dan
pengorganisasian bicara (tangensial, neologisme, sirkumtansial).
1.3.2 Fungsi persepsi
Depersonalisasi dan halusinasi.
1.3.3 Fungsi emosi
Afek tumpul kurang respons emosional, afek datar, afek tidak sesuai,
reaksi berlebihan, ambivalen.
1.3.4 Fungsi motorik.
Imfulsif gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotipik gerakan
yang diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang
jelas, katatonia.
1.3.5 Fungsi sosial kesepian.
Isolasi sosial, menarik diri, dan harga diri rendah.
1.3.6 Dalam tatanan keperawatan jiwa respons neurobiologis yang sering
muncul adalah gangguan isi pikir: waham dan PSP: halusinasi.
Menurut Direja, (2011) Tanda dan gejala pada klien dengan Waham Adalah :
Terbiasa menolak makan, tidak ada perhatian pada perawatan diri, Ekspresi
wajah sedih dan ketakutan, gerakan tidak terkontrol, mudah tersinggung, isi
pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan dan bukan kenyataan, menghindar
dari orang lain, mendominasi pembicaraan, berbicara kasar, menjalankan
kegiatan keagamaan secara berlebihan.
1.4 Masalah Keperawatan
Masalah keperawatan yang sering muncul pada waham, yaitu (Nurarif &
Hardhi 2015):
1.4.1 Resiko membahayakan diri sendiri dan orang lain
1.4.2 Perubahan isi fikir : Waham
1.4.3 Isolasi sosial
1.4.4 Harga diri rendah

1.5 Rentang Respon


Adaptif Maladaptif

a. Pikiran logis a. Kadang-kadang proses a. Gangguan isi pikir


b. Persepsi akurat pikir tergnggu halusinasi
c. Emosi konsisten b. ILusi b. Perubahan proses
dengan pengalaman c. Emosi berlebihan emosi
d. Perilaku sesuai d. Perilaku yang tidak c. Perilaku tidak
e. Hubungan social biasa terorganisasi
e. Menarik diri
d. Isolasi social
Gambar: Fase terjadinya Waham (Iyus yosep, 2010)
1.6 Mekanisme Koping
Menurut Direja (2011), Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri
sendiri dari pengalaman berhubungan dengan respon neurobioligi :
1.6.1 Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas, hanya mempunyai sedikit energi yang
tertinggal untuk aktivitas hidup sehari-hari
1.6.2 Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.
1.6.3 Menarik diri

II.POHON MASALAH
Perilaku Kekerasan

Perubahan persepsi sensori: waham

Menarik diri

Harga Diri Rendah Kronis

Skema. 2 pohon masalah, (Fitria, 2009, dikutip Direja, 2011).

III. PENGKAJIAN DAN MASALAH KEPERAWATAN


3.1 Pengkajian
3.1.1 Kerusakan komunikasi : verbal
3.1.1.1 Data subjektif
Klien mengungkapkan sesuatu yang tidak realistik
3.1.1.2 Data objektif
Flight of ideas, kehilangan asosiasi, pengulangan kata-kata yang
didengar dan kontak mata kurang
3.1.2 Perubahan isi pikir : waham
3.1.2.1 Data subjektif :
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya ( tentang
agama, kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali
secara berlebihan tetapi tidak sesuai kenyataan.
Pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengkaji waham :
a. Apakah pasien memiliki pikiran/isi pikir yang berulang-
ulang diungkapkan dan menetap?
b. Apakah pasien takut terhadap objek atau situasi
tertentu, atau apakah pasien cemas secara berlebihan
tentang tubuh atau kesehatannya?
c. Apakah pasien pernah merasakan bahwa benda-benda
disekitarnya aneh dan tidak nyata?
d. Apakah pasien pernah merasakan bahwa ia berada
diluar tubuhnya?
e. Apakah pasien pernah merasa diawasi atau dibicarakan
oleh orang lain?
f. Apakah pasien berpikir bahwa pikiran atau tindakannya
dikontrol oleh orang lain atau kekuatan dari luar?
g. Apakah pasien menyatakan bahwa ia memiliki
kekuatan fisik atau kekuatan lainnya atau yakin bahwa
orang lain dapat membaca pikirannya?
3.1.2.2 Data objektif :
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan,
merusak (diri, orang lain, lingkungan), takut, kadang panik,
sangat waspada, tidak tepat menilai lingkungan / realitas,
ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung.
3.1.2.3 Data yang perlu dikaji
Masalah keperawatan yaitu perubahan isi fikir : Waham Data
yang perlu di kaji :
a. Subyektif :
1) Klien mengatakan bahwa dirinya adalah dirinya orang
yang paling hebat
2) Klien mengatakan bahwa ia memilki kebesaran atau
kekuasaan khusus
b. Obyektif :
1) Klien terlihat terus mengoceh tentang kemampuan yang
di milikinya
2) Pembicaraan klien cenderung berulang
3) Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan
3.2 Masalah Keperawatan
3.2.1 Perubahan isi fikir : Waham
IV. INTERVENSI KEPERAWATAN
4.1 Rencana Tindakan Keperwatan
4.1.1 Tujuan
4.1.1.1 Klien dapat berorientasi terhadap realitas secara bertahap
4.1.1.2 Klien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan
4.1.1.3 Klien menggunakan obat dengan prinsip enam benar
4.1.2 Tindakan
4.1.2.1 Bina hubungan saling percaya
Sebelum memulai pengkajian pada klien dengan waham, saudara
harus membina hubungan saling percaya terlebih dahulu agar
klien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi. Tindakan yang
harus saudara lakukan dalam rangka membina hubungan saling
percaya adalah sebagai berikut :
a. Mengucapkan salam terapeutik
b.  Berjabat tangan
c. Menjelaskan tujuan berinteraksi
d. Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali
bertemu klien.
4.1.2.2 Tindakan mendukung atau membantah waham klien
4.1.2.3 Yakinkan klien berada dalam keadaan aman
4.1.2.4 Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari
4.1.2.5 Diskusikan kebutuhan psikologis / emosional yang tidak
terpenuhi karena dapat menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan
marah
4.1.2.6 Jika klien terus-menerus membicarakan wahamnya, dengarkan
tanpa memberikan dukungan, atau menyangkal sampai klien
berhenti membicarakannya.
4.1.2.7 Berikan pujian bila penampilan dan orientasi klien sesuai dengan
realitas.
4.1.2.8 Diskusikan dengan klien kemampuan realistis yang dimilikinya
pada saat lalu dan saat ini.
4.1.2.9 Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sesuai kemampuan
yang dimilikinya.
4.1.2.10 Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak
terpenuhi sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan
marah.
4.1.2.11 Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan
emosional klien.
4.1.2.12 Berbicara dalam konteks realita.
4.1.2.13 Bila klien mampu memperlihatkan kemampuan positifnya,
berikan pujian yang sesuai.
4.1.2.14  Jelaskan pada klien tentang program pengobatannya (manfaa,
dosis, obat, jenis, dan efek samping obat yang diminum serta cara
meminum obat yang benar).
4.1.2.15 Diskusikan akibat yang terjadi bila klien berhenti meminum
obat tanpa konsultasi
4.2 Untuk Keluarga
4.2.1 Tujuan
4.2.1.1 Keluarga mampu mengidentifikasi waham klien
4.2.1.2 Keluarga mampu memfasilitasi klien untuk memenuhi kebutuhan
yang belum terpenuhi oleh wahamnya
4.2.1.3 Keluarga mampu mempertahankan program pengobatan klien
secara optimal
4.2.2 Tindakan keperawatan
4.2.3 Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami klien
4.2.4 Diskusikan dengan keluarga tentang cara merawat klien waham di
rumah, follow up, dan keteraturan pengobatan, serta lingkungan yang
tepat untuk klien.
4.2.5 Diskusikan dengan keluarga kondisi klien yang memerlukan bantuan

4.3 Strategi Pelaksanaan Tindakan


SP Pada Pasien SP Pada Keluarga
Sp 1 Sp 1
1. Mengidentifikasi tanda dan gejala waham 1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan
2. Bantu orientasi realita: panggil nama, keluarga dalam merawat pasien
orientasi waktu, orang dan tempat/ 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala
lingkungan. waham, dan jenis waham yang dialami pasien
3. Diskusikan kebutuhan yang tidak beserta proses terjadinya
terpenuhi. 3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien
4. Bantu klien memenuhi kebutuhan waham
realistis. 4. Latih cara mengetahui kebutuhan klien dan
5. Masukkan dalam jadwal kegiatan harian mengetahui kemampuan klien.
pemenuhan kebutuhan 5. Anjurkan membantu klien sesuai jadwal dan
memberi pujian.
SP 2 SP 2
1. Evaluasi kegiatan pemenuhan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
kebutuhan klien dan berikan pujian. membimbing klien, berikan pujian
2. Diskusikan kemampuan yang dimiliki. 2. Latih cara memenuhi kebutuhan klien
3. Latih kemampuan yang dipilih, berikan 3. Latih cara melatih kemampuan yang dimiliki
pujian klien
4. Masukkan pada jadwal kegiatan 4. Anjurkan membantu klien sesuai jadwal dan
pemenuhan dan kegiatan yang telah beri pujian
dilatih
SP 3 SP 3
1. Evaluasi kegiatan pemenuhan 1. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas
kebutuhan klien dan berikan pujian. di rumah termasuk minum obat
2. Jelaskan tentang 6 benar obat yang 2. Mendiskusikan sumber rujukan yang bisa
diminum dan tanyakan manfaatnya dijangkau keluarga
3. Masukkan pada jadwal kegiatan 3. Anjurkan membantu klien jadwal dan
pemenuhan dan kegiatan yang telah memberikan pujian
dilatih
SP SP
1. Evaluasi kegiatan pemenuhan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
kebutuhan klien, kegiatan 1,2 dan 3 dan membimbing klien melaksanan kegiatan yang
berikan pujian. telah dilatih dan minum obat, berikan pujian
2. Diskusikan kebutuhan lain dan cara 2. Jelaskan follow up ke RSJ/ PKM, tanda
memnuhinya kambuh dan rujukan
3. Diskusikan kemampuan yang dimiliki 3. Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan
dan memilih yang akan dilatih memberikan pujian
4. Masukkan pada jadwal kegiatan
pemenuhan dan kegiatan yang telah
dilatih dan minum obat
SP SP
1. Evaluasi kegiatan pemenuhan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
kebutuhan klien, kegiatan 1,2 dan 3 dan membimbing pasien memenuhi kebutuhan
berikan pujian. klien, membimbing klien melaksakan
2. Niali kemampuan yang telah mandri kegiatan yangtelah dilatih dan minum obat,
3. Nilai apakah frekuensi munculnya berikan pujian
waham berkurang. Apakah waham 2. Nilai kemmapuan keluarga merawat klien
terkontrol 3. Nialai kemampuan klien melakukan kontrol
ke RSJ/ PKM

V. TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK


Terapi aktivitas kelompok yang dapat dilakukan kepada orang waham adalah TAK
Orientasi Realita yang bertujuan untuk sebagai upaya mengorientasikan keadaan
nyata kepada klien, yaitu diri sendiri, orang lain, lingkungan/ tempat, dan waktu.
5.1 Sesi 1.: Pengenalan Orang
5.2 Sesi 2: Pengenalan Tempat
5.3 Sesi 3: pengenalan waktu

VI. DAFTAR PUSTAKA


Iyus Yosep, (2010), “ Keperawatan Jiwa ”, Edisi Tiga, Bandung, Refika Aditama
Keliat, B. A., Hamid, A. Y. S., Putri, Y. S. E., Daulima, N. H. C., dkk. (2019).
Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EG
Kusumawati F dan Hartono Y. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta :
Salemba Medika.
Lilik Ma’rifatul Azizah, (2011), “ Buku Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktik Klinik
“, Yogyakarta, Graha ilmu
Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC. Jogjakarta:
MediAction
S. N. Ade Herma Direja. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
MedikaC
Victoryna Fallon dkk, (2020). Penerapan Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Ners
Untuk Menurunkan Intensitas Waham Pasien Skizofrenia. Jurnal
Keperawatan Jiwa Volume 8 No 1, Hal 45 - 52, Februari 2020, e-ISSN
2655-8106 p-ISSN2338-2090. FIKKes Universitas Muhammadiyah
Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL

I. PROSES TERJADINYA MASALAH


1.1 Pengertian
Isolasi sosial merupakan upaya klien untuk menghindari interaksi dengan orang
lain, menghindari hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan
orang lain (Keliat, BA, 1998 dalam Trimelia, 2011).

Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat
adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif
dan mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (Depkes RI, 2000
dalam Trimelia, 2011).

Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan


atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya. Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Trimelia, 2011).

solasi sosial merupakan pertahanan diri seseorang terhadap orang lain maupun
lingkungan yang menyebabkan kecemasan pada diri sendiri dengan cara menarik
diri secara fisik maupun psikis. Isolasi sosial adalah gangguan dalam
berhubungan yang merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang
mengancam dirinya dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan
lingkungan. Isolasi sosial merupakan upaya mengindari komunikasi dengan
orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai
kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran dan kegagalan (Rusdi,2013).
1.2 Faktor penyebab
Menurut Dermawan dan Rusdi (2013) factor-faktor pasien dengan gangguan
isolasi sosial sebagai berikut:
1.2.1 Faktor Predisposisi Faktor predisposisi yang menjadi pendukung
terjadinya perilaku isolasi sosial:
1.2.1.1 Faktor perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari masa
bayi sampai dewasa tua akan menjadi pencetus seseorang sehingga
mempunyai masalah respon sosial menarik diri. Sistem keluarga
yang terganggu juga dapat mempengaruhi terjadinya menarik diri.
Organisasi anggota keluarga bekerja sama dengan tenaga
profesional untuk mengembangkan gambaran yang lebih tepat
tentang hungan antara kelainan jiwa dan stress keluarga,
pendekatan kolaboratif dapat mengurangi masalah respon sosial
menarik diri.
1.2.1.2 Faktor biologic
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial maladaprif.
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Kelainan struktur otak, seperti atropi, pembesaran ventrikel,
penurunan berat dan volume otak serta perubahan limbic diduga
dapat menyebabkan skizofrenia.
1.2.1.3 Faktor sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini
merupakan akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan
terhadap orang lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat
yang tidak produktif, seperti lansia, orang cacat dan penyakit
kronik. Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma, prilaku dan
sistem nilai yang berbeda dari yang dimiliki budaya mayoritas.
Harapan yang tidak realistis terhadap hubungan merupakan faktor
lain yang berkaitan dengan gangguan ini.
1.2.2 Faktor Presipitasi Faktor pencetus terdiri dari 4 sumber utama yang dapat
menentukan alasan perasaan adalah:
1.2.2.1 Kehilangan ketertarikan yang nyata atau yang dibayangkan,
termasuk kehilangan cinta seseorang. Fungsi fisik kedudukan atau
harga diri, karena elemen actual dan simbolik melibatkan konsep
kehilangan, maka konsep persepsi lain merupakan hal yang sangat
penting.
1.2.2.2 Peristiwa besar dalam kehidupan, sering dilaporkan sebagai
pendahulu episode depresi dan mempunyai dampak terhadap
masalah – msalah yang dihadapi sekarang dan kemapuan
menyelesaikan masalah,
1.2.2.3 Peran dan ketegangan peran telah dilaporkan mempengaruhi
depresi terutama pada wanita. d. Perubahan fisiologis di akibatkan
oleh obat – obatan berbagai penyakit fisik seperti infeksi,
meoplasma dan gangguan keseimbangan metabolic dapat
mencetus gangguan alam perasaan.
1.3 Tanda dan Gejala
Menurut Dermawan dan Rusdi (2013) tanda gejala isolasi sosial dibagi menjadi
2 Subjektif dan Objektif:
1.3.1 Tanda dan gejala Subjektif :
1.3.1.1 Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak orang lain
1.3.1.2 Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain .
1.3.1.3 Respon verbal kurang dan sangat singkat.
1.3.1.4 Pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang
lain.
1.3.1.5 Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
1.3.1.6 Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan .
1.3.1.7 Pasien merasa tidak berguna 8. Pasien tidak yakin dapat
melangsungkan hidup
1.3.1.8 Pasien merasa ditolak.
1.3.2 Tanda dan gejala Objektif :
1.3.2.1 Pasien banyak diam dan tidak mau bicara
1.3.2.2 Tidak mengikuti kegiatan
1.3.2.3 Banyak diam diri dikamar
1.3.2.4 Pasien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang
terdekat.
1.3.2.5 Pasien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal .
1.3.2.6 Kontak mata kurang
1.3.2.7 Kurang spontan
1.3.2.8 Apatis (acuh terhadap lingkungan).
1.3.2.9 Ekspresi wajah kurang berseri.
1.3.2.10 Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
1.3.2.11 Mengisolasi diri
1.3.2.12 Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar
1.3.2.13 Masukan makanan dan minuman terganggu
1.3.2.14 Retensi urin dan feses
1.3.2.15 Aktivitas menurun
1.3.2.16 Kurang energy
1.3.2.17 Rendah diri
1.3.2.18 Postur tubuh brubah
1.4 Masalah Keperawatan
Menurut Herdman, H.T. (2018) diagnosa keperawatan yang diangkat adalah
Isolasi sosial.
1.5 Rentang respon
Hubungan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya akan menimbulkan
respons-respons sosial pada individu. Menurut Stuart dan Sundeen (1995) dalam
Trimelia (2011) respons sosial individu berada dalam rentang adaptif sampai
maladaptif.
Respons Adaptif Respons Maladaptif

Solitude Kesepian Manipulasi


Otonomi Menarik diri Impulsif
Mutualisme Ketergantungan Narcisme
Interdependen
1.5.1 Respons adaptif
Respons individu dalam penyelesaian masalah yang masih dapat diterima
oleh norma-norma sosial dan budaya lingkungannya yang umum berlaku
dan lazim dilakukan oleh semua orang, jadi individu tersebut masih
dalam batas normal dalam menyelesaikan masalahnya. Respons ini
meliputi:
1.5.1.1 Solitude (menyendiri) adalah respons yang dibutuhkan seseorang
untuk merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan
sosialnya dan juga suatu cara mengevaluasi diri untuk
menentukan langkah-langkah selanjutnya.
1.5.1.2 Otonomi adalah kemampuan individu dalam menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam berhubungan sosial.
1.5.1.3 Mutualisme atau bekerja sama adalah suatu kondisi dalam
hubungan interpersonal dimana individu mampu untuk saling
memberi dan menerima.
1.5.1.4 Interdependen atau saling ketergantungan antar individu dengan
orang lain dalam rangka membina hubungan interpersonal.
1.5.2 Respons maladaptif
Respons individu dalam penyelesaian masalah yang menyimpang dari
norma-norma sosial dan budaya lingkungannya yang umum berlaku dan
tidak lazim dilakukan oleh semua orang. Respons ini meliputi:
1.5.2.1 Kesepian adalah individu sulit merasa intim, merasa takut dan
cemas.
1.5.2.2 Menarik diri adalah individu mengalami kesulitan dalam
membina hubungan dengan orang lain.
1.5.2.3 Ketergantungan akan terjadi apabila individu gagal
mengembangkan rasa percaya diri akan kemampuannnya.
1.5.2.4 Manipulasi adalah individu memperlakukan orang lain sebagai
objek, hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang lain
dan individu cenderung berorientasi pada diri sendiri.
1.5.2.5 Impulsif adalah individu tidak mampu merencanakan sesuatu,
tidak mampu belajar dari pengalaman dan tidak dapat diandalkan.
1.5.2.6 Narcisisme adalah individu mempunyai harga diri yang rapuh,
selalu berusaha untuk mendapatkan penghargaan dan pujian yang
terus menerus, sikapnya egosentris, pencemburu dan marah jika
orang lain tidak mendukungnya.
1.6 Mekanisme Koping
Individu yang mengalami respon sosial maladiptif menggunakan berbagai
mekanisme dalam upaya untuk mengatasi ansietas. Mekanisme tersebut
berkaitan dengan dua jenis masalah hubungan yang spesifik (gall,W Stuart
2007). Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian antisosial antara
lain proyeksi, spliting dan merendahkan orang lain, koping yang berhubungan
dengan gangguan kepribadian ambang spliting, formasi reaksi, proyeksi, isolasi,
idealisasi orang lain, merendahkan orang lain dan identifikasi proyektif. Menurut
Gall W. Stuart (2007), sumber koping yaang berhubungan dengan respon sosial
maladaptif meliputi keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luasan teman,
hubungan dengan hewan peliharaan dan penggunaan kreatifitas untuk
mengekspresikan stress interpersonal misalnya kesenian, musik atau tulisan.

II. POHON MASALAH

Gangguan Persepsi Sensori: halusinasi


pendengaran/penglihatan/penciuman/perabaan/pengecapan.

Defisit Perawatan Diri

Isolasi Sosial Kurang Motivasi

Harga Diri Rendah

Ketidakberdayaan

Koping individu tidak efektif


Sumber: Trimelia (2011)

III. PENGKAJIAN DAN MASALAH KEPERAWATAN


III.1 Pengkajian
Data yang perlu dikaji pada masalah keperawatan isolasi sosial menurut Fitria
(2014):
III.1.1 Data Subjektif
III.1.1.1 Pasien mengatakan malas bergaul dengan orang lain.
III.1.1.2 Pasien mengatakan dirinya tidak ingin ditemani perawat
dan minta untuk sendirian.
III.1.1.3 Pasien mengatakan tidak mau berbicara dengan orang lain.
III.1.1.4 Tidak mau berkomunikasi
III.1.1.5 Data tentang pasien biasanya didapat dari keluarga yang
mengetahui keterbatasan pasien (suami, istri, anak, ibu, ayah, atau
teman dekat.
III.1.2 Data Objektif
III.1.2.1 Kurang spontan
III.1.2.2 Apatis (acuh terhadap lingkungan)
III.1.2.3 Ekspresi wajah kurang berseri
III.1.2.4 Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan
diri.
III.1.2.5 Tidak ada atau kurang komunikasi verbal
III.1.2.6 Mengisolasi diri
III.1.2.7 Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
III.1.2.8 Asupan makanan dan minuman terganggu.
III.1.2.9 Retensi urin dan feses
III.1.2.10 Aktivitas menurun.
III.1.2.11 Kurang berenergi atau bertenaga
III.1.2.12 Rendah diri
III.1.2.13 Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus atau janin
(khususnya pada posisi tidur).
III.1.3 Masalah keperawatan
Isolasi sosial
IV. INTERVENSI KEPEWATAN
IV.1 Rencana tindakan
IV.1.1 Untuk Klien
Tujuan umum: Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara
optimal
Tujuan khusus:
IV.1.1.1 Klien dapat membina hubungan saling percaya
IV.1.1.2 Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif
yang dimiliki
IV.1.1.3 Klien dapat menilai kemampun yang dimiliki
IV.1.1.4 Klien dapat (menetapkan) merencanakan kegiatan sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki
IV.1.1.5 Klien dapat melakukan kegiatan sesuai dengan kondisi
sakit dan kemampuannya.
IV.1.2 Untuk Keluarga
IV.1.2.1 Mendiskusikan faktor – faktor yang melatar belakangi
terjadinya isolasi sosial
IV.1.2.2 endiskusikan keuntungan berinteraksi
IV.1.2.3 Mendiskusikan kerugian tidak berinteraksi dengan orang
lain
IV.1.2.4 Mendiskusikan cara berkenalan dengan satu orang secara
bertahap.
IV.2 Strategi Pelaksanaan

SP pada Pasien SP pada Keluarga


SP I SP I
1. Mengidentifikasi penyebab isolasi 1. Diskusikan masalah yang dirasakan keluarga
pasien : siapa yang serumah, siapa orang dalam merawat pasien
terdekat, yang tidak dekat, dan apa 2. Jelaskan pengertian isolasi social, tanda dan
sebabnya. gejala serta proses terjadinya isolasi social
2. Mendiskusikan dengan pasien tentang 3. Jelaskan cara merawat pasien dengan isolasi
keuntungan punya teman dan bercakap – social
cakap 4. Latih dua cara merawat : cara berkenalan,
3. Mendiskusikan dengan pasien tentang berbicara saat melakukan kegiatan harian
kerugian tidak punya teman dan tidak 5. Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal
bercakap – cakap dan memberikan pujiaan saat besuk
4. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk
latihan berkenalan
SP 2 SP 2
1. Evaluasi kegiatan berkenalan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
(berapa orang, serta beri pujian) dalam merawat/melatih pasien
2. Latih cara berbicara saat berkenalan dan berbicara saat
melakukan kegiatan harian (latih 2 melakukan kegiatan harian, beri pujian
kegiatan) 2. Jelaskan kegiatan rumah
3. Masukkan pada jadwal tangga yang dapat melibatkan pasien
kegiatan untuk latihan berkenalan 2-3 berbicara (makan, sholat bersama) di
orang pasien, perawat dan tamu, rumah
berbicara saat melakukan kegiatan 3. Latih cara membimbing pasien
harian berbicara dan memberi pujian
4. Anjurkan membantu pasien
sesuai jadwal saat besuk
SP 3 SP 3
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
berkenalan (berapa orang) dan bicara dalam merawat/melatih pasien
saat melakukan kegiatan harian. Beri berkenalan dan berbicara saat
pujian melakukan kegiatan harian, beri pujian
2. Latih cara berbicara saat 2. Jelaskan cara melatih
melakukan kegiatan harian (2 kegiatan melakukan termasuk minum obat
baru) (discharge planning)
3. Masukan pada jadwal 3. Menjelaskan follow up pasien
kegiatan untuk latihan berkenalan 4-5 setelah pulang
orang, berbicara saat melakukan
kegiatan harian
SP 4 SP 4
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
berkenalan, bicara saat melakukan dalam merawat/melatih pasien
kegiatan harian, beri pujian berkenalan dan berbicara saat
2. Latih cara bicara social : melakukan kegiatan harian/ RT,
meminta sesuatu, menjawab berbelanja, beri pujian
pertanyaan 2. Jelaskan follow up ke
3. Masukkan pada jadwal RSJ/PKM, tanda kambuh dan rujukan.
kegiatan untuk latihan berkenalan >5 3. Anjurkan membantu pasien
orang, orang baru, berbicara saat sesuai jadwal kegiatan dan memberikan
melakukan kegiatan harian dan pujian
sosialisasi
SP 5 – 12 SP 5 – 12
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
berkenalan, bicara saat melakukan dalam merawat/melatih pasien
kegiatan harian dan sosialisasi. Beri berkenalan, berbicara saat melakukan
pujian kegiatan harian/ RT, berbelanja dan
2. Latih kegiatan harian kegiatan lain serta follow up, beri pujian
3. Nilai kemampuan yang telah 2. Nilai kemampuan keluarga
mandiri merawat pasien
4. Nilai apakah isolasi sosial 3. Nilai kemampuan keluarga
teratasi melakukan control ke RSJ/PKM
V. TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK
V.1Sesi I: Kemampuan memperkenalkan diri
V.2Sesi II: Kemampuan berkenalan
V.3Sesi III :Kemampuan bercakap-cakap
V.4 Sesi IV: Kemampuan bercakap-cakap dengan topik tertentu
VI. DAFTAR PUSTAKA

Dermawan, R., & Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.
Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
stretegi pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7
Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat bagi program S1 keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika
Stuart, G. W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa . Edisi 5. Jakarta. EGC.
Trimelia. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Isolasi Sosial. Jakarta: TIM

Martapura, September 2020

Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

M.Anwari, Ns., M.Kep. Abdul Habib, S.Kep., Ns

Anda mungkin juga menyukai