10 DIAGNOSA
PEMBIMBING
M. Anwari, Ns., M.Kep
Abdul Habib, S.Kep., Ns.
Disusun Oleh:
Esti Meilinda, S.Kep. 1914901210109
1. Definisi
Kecemasan merupakan kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang
berkaitan dengan perasaanyang tidak pasti dan ketidakberdayaan.keadaan emosi yang
dialami tidak memiliki objek secara spesifik, kecemasan dialami secara subjektif dan
dikomunikasikan secara interpersonal dan berada dalam suatu rentang (Stuart, 2012).
Cemas (ansietas) adalah sebuah emosi dan pengalaman subjektif dari
seseorang. Pengertian lain cemas adalah suatu keadaan yang membuat seseorang
tidak nyaman dan terbagi dalam beberapa tingkatan. Jadi, cemas berkaitan dengan
perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. (Kusumawati, 2010)
Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005:28) mengatakan bahwa kecemasan
adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya
suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai.. Kecemasan
berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberi
sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau tidak dilakukan tindakan yang tepat
maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan.
2. Penyebab
a. Faktor Predisposisi (Pendukung)
Ketegangan dalam kehidupan dapat berupa hal-hal sebagai berikut:
1) Peristiwa traumatik, yang daapt memicu terjadinya kecemasan berkitan
dengan krisis yang dilami individu baik krisis yang dialami individu baik
krisis perkembangan maupun situasional
2) Konflik emosional, yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan baik.
Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan dapat
menimbulkan kecemasan pada individu.
3) Gangguan konsep diri, konsep diri terganggu akan menimbulkan
ketidakmampuan individu berpikir secara realitas sehingga akan menimbulkan
kecemasan.
4) Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk mengambil
keputusan yang berdampak terhadap ego.
5) Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman
terhadap integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu.
6) Pola mekanisme koping keluarga atau cara keluarga menangani stress akan
mempengaruhi individu dalam berespon terhadap konfllik yang dialami
karena pola mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam keluarga
7) Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respon
individu dalam berespon terhadap konflik dan mengatasi kecemasannya.
8) Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan yang
mengandung benzodiazepin, karena benzodiazepin dapat menekan
neurotransmitter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol
aktivitas neuron di otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.
b. Faktor Presipitasi
Stressor presipitas adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat
mencetuskan timbulnya kecemasan. Stressor presipitasi dikelompokkan menjadi
dua bagian, yaitu:
1) Ancaman terhadap integritas fisik
a) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis system imun,
regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (misalnya : hamil)
b) Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri,
polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya
tempat tinggal.
2) Ancaman terhadap harga diri
a) Sumber internal, kesulitan dalam hubungann interpersonal di rumah dan
tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai ancaman
terhadap integritas fisik jug dapat mengancam harga diri.
b) Sumber eksternal, kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan
status pekrjaan, tekanan kelompok, sosial budaya.
3. Jenis
a. Kecemasan ringan
Kecemasan ringan adalah perasaan bahwa ada sesuatu yang berbeda dan
membutuhkan perhatian khusus. Stimulasi sensori meningkat dan membantu
individu memfokuskan perhatian untuk belajar, menyelesaikan masalah, berpikir,
bertindak, merasakan, dan melindungi diri sediri.
b. Kecemasan sedang
Kecemasan sedang merupakan perasaan yang mengganggu bahwa sesuatu yang
benar-benar berbeda; individu menjadi gugup atau agitasi.
c. Kecemasan berat
Kecemasan berat yakni ada sesuatu yang berbeda dan ada ancaman,
memperlihatkan respon takut dan distress.
d. Panik
Individu kehilangan kendali dan detail perhatian hilang, karena kehilangan
kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun meskipun dengan perintah.
(Prabowo, 2014)
4. Rentang Respon
Menurut Videbeck (2008), respon-respon yang terjadi pada kecemasan adalah sebagai
berikut :
Kecemasan Ringan Kecemasan Sedang Kecemasan Berat Panik
Respon fisik
Ketegangan otot ringan Ketegangan otot Ketegangan otot berat Fight, fight, atau
Sadar akan lingkungan sedang Hiperventilasi freeze
Rileks atau sedikit Tanda-tanda vital Kontak mata buruk Ketegangan otot
gelisah meningkat Pengeluaran keringat sangat berat
Penuh perhatian Pupil dilatasi, mulai meningkat Agitasi motorik kasar
Rajin berkeringat Bicara cepat, nada Pupil dilatasi
Sering mondar- suara tinggi Tanda-tanda vital
mandir, memukul Tindakan tanpa tujuan meningkat kemudian
tangan dan serampangan menurun
Suara berubah: Rahang menegang, Tidak dapat tidur
bergetar, nada suara mngertakan gigi Hormon stress dan
tinggi Mondar-mandir, neurotransmitter
Kewaspadaan dan berteriak berkurang
ketegangan Meremas tangan, Wajah menyeringai,
meningkat gemetar mulut terganga
Sering berkemih,
sakit kepala, pola
tidur berubah, nyeri
punggung
Respon kognitif
Lapang persepsi luas Lapang persepsi Lapang persepsi Persepsi sangat
Terlihat tenang, menurun terbatas sempit
percaya diri Tidak perhatian Proses berpikir Pikiran tidak logis,
Perasaan gagal sedikit secara selektif terpecah-pecah terganggu
Waspada dan Fokus terhadap Sulit berfikir Kepribadian kacau
memperhatikan banyak stimulus meningkat Penyelesaian masalah Tidak dapat
hal Rentang perhatian buruk menyelesaikan
Mempertimbangkan menurun Tidak mampu masalah
informasi Penyelesaian mempertimbangkan Fokus pada pikiran
Tingkat pembelajaran masalah menurun informasi sendiri
optimal Pembelajaran terjadi Hanya memperhatikan Tidak rasional
dengan ancaman Sulit memahami
memfokuskan Preokupasi dengan stimulus eksternal
pikiran sendiri Halusinasi, waham,
Egosentris ilusi mungkin terjadi
Respon emosional
Perilaku otomatis Tidak nyaman Sangat cemas Merasa terbebani
Sedikit tidak sadar Mudah tersinggung Agitasi Merasa tidak mampu,
Sedikit tidak sadar Kepercayaan diri Takut bingung tidak berdaya
Terstimulasi goyah Merasa tidak adekuat Lepas kendali
5. Pohon masalah
DAFTAR PUSTAKA
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh
pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan, atau penghiduaan tanpa adanya stimulus yang nyata
(Keliat, 2014).
Halusinasi adalah gangguan persepsi tentang suatu objek atau gambaran dan
pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi
semua sistem penginderaan (Ermawati dkk, 2014).
1.2 Jenis-jenis Halusinasi
Menurut Trimeilia (2011) jenis-jenis halusinasi adalah sebagai berikut :
1.2.1 Halusinasi Pendengaran (Auditory)
Mendengar suara yang membicarakan, mengejek, mentertawakan,
mengancam, memerintahkan untuk melakukan sesuatu (kadang-kadang
hal yang berbahaya). Perilaku yang muncul adalah mengarahkan telinga
pada sumber suara, bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab,
menutup telinga, mulut komat-kamit, dan ada gerakan tangan.
1.2.2 Halusinasi Penglihatan (Visual)
Stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambar, orang atau
panorama yang luas dan kompleks, bisa yang menyenangkan
atau menakutkan. Perilaku yang muncul adalah tatapan mata pada tempat
tertentu, menunjuk ke arah tertentu, ketakutan pada objek yang dilihat.
1.2.3 Halusinasi Penciuman (Olfactory)
Tercium bau busuk, amis, dan bau yang menjijikan, seperti bau darah,
urine atau feses atau bau harum seperti parfum. Perilaku yang muncul
adalah ekspresi wajah seperti mencium dengan gerakan cuping hidung,
mengarahkan hidung pada tempat tertentu, menutup hidung.
1.2.4 Halusinasi Pengecapan (Gustatory)
Merasa mengecap sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan, seperti rasa
darah, urine atau feses. Perilaku yang muncul adalah seperti mengecap,
mulut seperti gerakan mengunyah sesuatu, sering meludah, muntah.
1.2.5 Halusinasi Perabaan (Taktil)
Mengalami rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat, seperti
merasakan sensasi listrik dari tanah, benda mati atau orang. Merasakan
ada yang menggerayangi tubuh seperti tangan, binatang kecil dan makhluk
halus. Perilaku yang muncul adalah mengusap, menggaruk-garuk atau
meraba-raba permukaan kulit, terlihat menggerakkan badan seperti
merasakan sesuatu rabaan.
1.2.6 Halusinasi Sinestetik
Merasakan fungsi tubuh, seperti darah mengalir melalui vena dan arteri,
makanan dicerna atau pembentukan urine, perasaan tubuhnya melayang di
atas permukaan bumi. Perilaku yang muncul adalah klien terlihat menatap
tubuhnya sendiri dan terlihat seperti merasakan sesuatu yang aneh tentang
tubuhnya.
1.3 Faktor Penyebab
1.3.1 Faktor Predisposisi
Menurut Yosef dalam Yusuf dkk (2015) faktor predisposisi klien dengan
halusinasi :
1.3.1.1 Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol
dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu
mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih
rentah terhadap stress.
1.3.1.2 Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungannya sejak bayi
akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungannya.
1.3.1.3 Faktor Biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya
stres yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia.
Akibat stres berkepanjangan jangan menyebabkan teraktivitasnya
neurotransmitter otak.
1.3.1.4 Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh
pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang
tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat
dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
1.3.1.5 Faktor genetik dan pola asuh
1.3.1.6 Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang
tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi
menunjukan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
1.3.2 Faktor Presipitasi
1.3.2.1 Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah, bingung, perilaku menarik diri,
kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak
dapat membedakan keadaan yang nyata dan tidak nyata.
Faktor predisposisi
Faktor presipitasi
SP 4 SP 4
1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik, 1. Evaluasi kegiatan keluarga merawa/
penggunaan obat dan bercakap-cakap. melatih pasien mengahardik, memberikan
Beri pujian obat dan bercakap-cakap. Beri pujian
2. Latih cara mengontrol halusinasi 2. Jelaskan follow up ke RSJ / PKM, tanda
dengan menggunakan kegiatan harian kambuh, rujukan
(mulai 2 kegiatan) 3. Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal.
3. Masukan kedalam jadwal kegiatan Beri pujian
untuk latihan menghardik, minum obat,
bercakap-cakap dan kegiatan harian
SP 5-12 SP 5-12
1. Evaluasi kegiatan latiahn menghardik, 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat
minum obat, bercakap-cakap dan atau melatih pasien menghardik, minum
melakukan kegiatan harian. Beri pujian obat, bercakap-bercakap, kegiatan harian
2. Latih kegiatan harian dan foloow up. Beri pujian
3. Nilai kemampuan yang telah mandiri 2. Nilai kemampuan keluarga merawat pasien
4. Nilai apakah halusinasi terkontrol 3. Nilai kemampuan keluarga melakukan
kontrol ke RSJ/PKM
V. TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK
5.1 Sesi I: Mengenal Halusinasi
Tujuan
5.1.1 Klien mengenal isi halusinasi.
5.1.2 Klien mengenal waktu terjadinya halusinasi.
5.1.3 Klien mengenal frekuensi halusinasi.
5.1.4 Klien mengenal perasaan bila mengalami halusinasi
5.2 SESI II: MENGONTROL HALUSINASI: MENGHARDIK
Tujuan
5.2.1 Klien dapat menjelaskan cara yang selama ini dilakukan untuk mengatasi
halusnasi.
5.2.2 Klien dapat memahami dinamika halusinasi
5.2.3 Klien dapat memahami cara menghardik halusinasi.
5.2.4 Klien dapat memperagakan cara menghardik halusinasi
5.3 SESI III: MENYUSUN JADWAL KEGIATAN
Tujuan
5.3.1 Klien dapat memahami pentingnya melakukan aktifitas untuk mencegah
munculnya halusinasi
5.3.2 Klien dapat menyusun jadwal aktivitas dari pagi sampai tidur malam.
5.4 SESI IV: CARA MINUM OBAT YANG BENAR
Tujuan
5.4.1 Klien dapat mengetahui jenis-jenis obat yang harus diminumnya.
5.4.2 Klien mengetahui perlunya minum obat secara teratur.
5.4.3 Klien mengetahui 5 benar dalam minum obat.
5.4.4 Klien mengetahui efek terapi dan efek samping obat 5. Klien mengetahui
jika putus minum obat
5.5 SESI V: MENGONTROL HALUSNASI DENGAN BERCAKAP-CAKAP
Tujuan
5.5.1 klien memahami pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain.
5.5.2 Klien memahami tentang pentingnya brcakap-cakap dengan orang lain.
5.5.3 Klien menerapkan cara menghubungi orang lain ketika mulai mengalami
halusinasi
VI. DAFTAR PUSTAKA
Ernawati, dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Cetakan
Kedua. Jakarta Timur: CV. Trans Info Media
Keliat, Budi Ana. 2014. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC
Trimeilia. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Halusinasi. Jakarta Timur: CV. Trans
Info Media
Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI
Bunuh diri menurut Videbeck dalam Dewi (2020) merupakan tindakan yang
secara sadar dilakukan oleh seseorang untuk mengakhiri kehidupannnya.
Perilaku bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk
membunuh diri sendiri. Bunuh diri dapat melibatkan ambivalensi antara
keinginan untuk hidup dan keinginan untuk mati. Perilaku bunuh diri terdiri dari
tiga tingkatan yaitu berupa ide/isyarat bunuh diri, ancaman bunuh diri, dan
percobaan bunuh diri . Bunuh diri merupakan upaya yang dilakukan dengan
sadar untuk mengakhiri kehidupan secara sadar berupaya untuk mati (Muhith,
2015).
Bunuh diri adalah segala perbuatan seseorang dengan sengaja yang tahu akan
akibatnya yang dapat mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat
(Maramis dalam Yosep & Titin, 2014 ).
Wood, Bellis, Mathieson dan Foster dalam Dewi (2020) mengatakan bahwa
terdapat beberapa kelompok risiko tinggi klien bunuh diri, antara lain seseorang
dengan gangguan kepribadian, gangguan makan, depresi dan cemas, pengalaman
hidup yang penuh stress, kemiskinan, serta riwayat keluarga dengan bunuh diri.
1.2 Faktor penyebab
Menurut Damaiyanti (2012):
1.2.1 Faktor Predisposisi
1.2.1.1 Diagnosis Psikiatri
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan
cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga
gangguan jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk
melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan efektif,
penyalagunaan zat, dan skizofrenia.
1.2.1.2 Sifat kepribadian
Tiga tipe keperibadian yang erat hubungannya dengan besarnya
resiko bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
1.2.1.3 Lingkungan psikososial
Pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian
kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan dan
bahkan perceraian. Kekuatan dukungan sosial sangat penting
dalam menciptakan intervensi yang terapiutik, dengan terlebih
dahulu mengetahui penyebab masalah, respon seorang dalam
menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.
1.2.1.4 Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
faktor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
1.2.1.5 Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri
terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak
seperti serotonim, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat
tersebut dapat dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro
Encephalo Graph (EEG).
1.2.2 Faktor presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres yang berlebihan
yang dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian
hidup yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah
melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang melakukan
bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya
labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
1.2.3 Perilaku koping Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang
mengancam kehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering
kali orang ini secara sadar memilih untuk melakukan tindakan bunuh
diri. Perilaku bunuh diri berhubungan dengan banyak faktor, baik faktor
sosial maupun budaya. Seseorang yang aktif dalam kegiatan masyarakat
lebih mampu menoleransi stres dan menurunkan angka bunuh diri.
1.3 Tanda dan Gejala
Menurut Fitria (2009), tanda dan gejala dari resiko bunuh diri adalah :
1.3.1 Mempunyai ide untuk bunuh diri.
1.3.2 Mengungkapkan keinginan untuk mati.
1.3.3 Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
1.3.4 Inpulsif e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi
sangat patuh).
1.3.5 Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
1.3.6 Verbal terselubung ( berbicara tentang kematian, menayakan tentang
obat dosis mematikan).
1.3.7 Status emosional ( harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah
dan mengasingkan diri).
1.3.8 Kesehatan mental( secara klinis, klien terlihat sebagai orang depresi,
psikosis dan menyalagunakan narkoba).
1.3.9 Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronik atau
terminal).
1.3.10 Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalam karier).
1.3.11 Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun.
1.3.12 Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
1.3.13 Pekerjaan
1.3.14 Konflik interpersonal.
1.3.15 Latar belakang keluarga.
1.3.16 Orientasi seksual.
1.3.17 Sumber-sumber personal
1.4 Masalah Keperawatan
1.4.1 Resiko bunuh diri
1.4.2 Harga diri rendah
1.5 Rentang Respon
Skema, rentang respons protektif diri (Yusuf & Hanik, 2015)
Adaptif Maladaptif
Keterangan
1.5.1 Peningkatan diri yaitu seorang individu yang mempunyai pengharapan,
yakin, dan kesadaran diri meningkat.
1.5.2 Pertumbuhan-peningkatan beresiko, yaitu merupakan posisi pada
rentang yang masih normal dialami individu yang mengalami
pengembangan perilaku.
1.5.3 Perilaku destruktif diri tak langsung, yaitu setiap aktivitas yang merusak
kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian,
seperti perilaku merusak, mengebut, berjudi, tindakan kriminal, terlibat
dalam rekreasi yang beresiko tinggi, penyalahgunaan zat, perilaku yang
menyimpang secara sosial, dan perilaku yang menimbulkan stres.
1.5.4 Pencederaan diri, yaitu suatu tindakan yang membahayakan diri sendiri
yang dilakukan dengan sengaja. Pencederaan dilakukan terhadap diri
sendiri, tanpa bantuan orang lain, dan cedera tersebut cukup parah untuk
melukai tubuh. Bentuk umum perilaku pencederaan diri termasuk
melukai dan membakar kulit, membenturkan kepala atau anggota tubuh,
melukai tubuhnya sedikit demi sedikit, dan menggigit jari.
1.5.5 Bunuh Diri, yaitu tindakan agresif yang langsug terhadap diri sendiri
untuk mengakhiri kehidupan
1.6 Mekanisme Koping
Mekanisme koping Seorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme
koping yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial,
rasionalization, regression dan megical thinking. Mekanisme pertahanan diri yang
ada seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping alternatif.
1.7 Proses Terjadinya Perilaku Bunuh diri
motivasi Niat Penjabaran Krisis bunuh Tindakan
gagasan diri bunuh diri
Gambar: Proses Terjadinya Perilaku Bunuh Diri (Sumber : Yusuf & Hanik, 2015)
II. POHON MASALAH
Bunuh Diri
Dalam pengkajian risiko bunuh diri terdapat kriteria untuk menilai tingkat risiko
bunuh diri yang terjadi, yaitu SIRS (Suicidal Intention Rating Scale). ( Yusuf,
2015)
Skor Intensitas
0 Tidak ada ide bunuh diri yang lalu dan sekarang
1 Ada ide bunuh diri, tidak ada percobaan bunuh diri, tidak mengancam
bunuh diri
2 Memikirkan bunuh diri dengan aktif, tidak ada percobaan bunuh diri
3 Mengancam bunuh diri, misalnya, “Tinggalkan saya sendirian atau saya
bunun diri”
4 Aktif mencoba bunuh diri.
Tabel; Tabel Intensitas Bunuh Diri
Keterangan skor:
Skor 0 : Resiko Rendah
Skor 1-2 : Resiko
Sedang Skor 3-4 : Resiko Tinggi
1. Evaluasi kegiatan berpikir positif tentang diri sendiri. Beri 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam memberikan pujian dan
pujian. Kaji ulang resiko bunuh diri penghargaan atas keberhasilan dan aspek positif pasien.
2. Latih cara mengendalikan diri dari dorongan bunuh diri : Beri pujian
buat daftar aspek positif keluarga dan lingkungan, latih 2. Latih cara memberikan penghargaan pada pasien dan
afirmasi/ berpikir postif keluarga dan lingkungan menciptakan suasana positif dalam keluarga : tidak
3. Masukkan pada jadwal latihan berpikir positif keluarga membicarakan keburukan anggota keluarga
dan lingkungan 3. Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan memberikan
pujian
Pertemuan 3 Pertemuan 3
1. Evaluasi kegiatan berpikir positif diri sendiri, keluarga 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam memberikan pujian dan
dan lingkungna, beri pujian. Kaji resiko bunuh diri penghargaan kepada pasien serta menciptakan suasana
2. Diskusikan harapan dan masa depan positif dalam keluarga. Beri pujian
3. Diskusikan cara mencapai harapan dan masa depan 2. Bersama keluarga berdiskusi dengan pasien tentang
4. Latih cara-cara mencapai harapan dan masa depan secara harapan masa depan dan langkah-langkah mencapainya
bertahap (setahap demi setahap) 3. Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan memberikan
5. Masukan pada jadwal latihan berfikir positif diri sendiri, pujian
keluarga dan lingkungan, serta kegiatan yang dipilih
untuk persiapan masa depan
Pertemuan 4 Pertemuan 4
1. Evaluasi kegiatan berpikir positif diri sendiri, keluarga 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam memberikan pujian,
dan lingkungan, serta kegiatan yang dipilih. Beri pujian penghargaan, menciptakan suasana positif dan kegiatan
2. Latih tahap kedua latihan mencapai masa depan awal dalam mencapai harapan masa depan. Beri pujian
3. Masukkan pada jadwal latihan berpikir positif diri sendiri, 2. Bersama keluarga berdiskusi tentang langkah dan kegiatan
keluarga dan lingkungan serta kegiatan yang dipilih untuk untuk mencapai harapan masa depan
persiapan masa depan 3. Jelaskan follow up ke RSJ / PKM, tanda kambuh, rujukan
4. Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan memberikan
pujian
Pertemuan 5 sd 12 Pertemuan 5 sd 12
1. Evaluasi kegiatan latihan peningkatan positif diri, 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam memberikan pujian,
keluarga dan lingkungan, beri pujian penghargaan, menciptakan suasana positif dan
2. Evaluasi tahap kegiatan mencapai harapan dan masa membimbing langkah-langkah dalam mencapai harapan
depan masa depan. Beri pujian
3. Nilai apakah resiko bunuh diri teratasi 2. Nilai kemampuan keluarga merawat pasien
3. Nilai kemampuan keluarga melakukan kontrol ke RSJ /
PKM
Perilaku Kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini maka
perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diiarahkan pada diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk
yaitu saat sedang berlangsung kekerasaan atau riwayat perilaku kekerasan.
Dalam setiap orang terdapat kapasitas untuk berprilaku pasif, asertif, dan
agresif/ perilaku kekerasan (Stuart dan Laraia, 2005 dalam Dermawan dan
Rusdi 2013).
1.6.1 Perilaku asertif merupakan perilaku individu yang mampu menyatakan
atau mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa menyalahkan
atau menyakiti orang lain sehingga perilaku ini dapat menimbulkan
kelegaan pada individu.
1.6.2 Perilaku pasif merupakan perilaku individu yang tidak mampu untuk
mengungkapakn perasaan marah yang sedang dialami, dilakukan dengan
tujuan menghindari suatu ancaman nyata.
1.6.3 Agresif/perilaku kekerasan. Merupakan hasil dari kemarahan yang
sangat tinggi atau ketakutan (panik).
Stress, cemas, harga diri rendah dan rasa bersalah dapat menimbulkan
kemarahan yang dapat mengarah pada perilaku kekerasan. Respon rasa marah
bisa diekspresikan secara eksternal (perilaku kekerasan) maupun internal
(depresi dan penyakit fisik).
Perilaku yang tidak asertif seperti menekan rasa marah dilakukan individu
seperti pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari perasaan marahnya
sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulakn
rasa bermusuhan yang lama dan suatu saat akan menimbulkan perasaaan
destruktif yang ditunjukan kepada diri sendiri. (Dermawan dan Rusdi 2013).
1.7 Mekanisme koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat
membantu klien mengembangkan mekanisme koping yang umum digunakan
adalah mekanisme koping yang kontruktif dalam mengekpresikan
kemarahanya, mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme
pertahanan ego seperti displancement, sublimasi, proyeksi represif, denial dan
reaksi formasi Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
1.7.1 Menyerang atau Menghindar
Pada saat ini respon fisiologis timbul karena kegiatan system syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi epineprinyang menyebabkan tekanna
darah meningkat, peristaltic gaster menurun, pengeluarana urin dan
saliva meningkat, tangan mengepal, tubuh menjadi kaku dan disertai
reflek yang cepat.
1.7.2 Menyatakan secara asertif
Perilaku yang sering ditampilkan indivisu dalam mengekpresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku
asertif adalah cara terbaik, individu dapat mengekpresikan rasa
marahnya tanpa meyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis dan
dengan perilaku tersebut individu dapat mengembangkan diri.
1.7.3 Membrontak
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik
perilaku untuk menarik perhatian orang lain
1.7.4 Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditunjukkan kepada diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan
II. POHON MASALAH
Perilaku Kekerasan
Core
SP PASIEN SP KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala 1. Diskusikan masalah yang dirasakan dalam
perilaku kekerasan yang dilakukan dan akibat merawat pasien
perilaku kekerasan 2. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala dan
2. Jelaskan cara mengontrol perilaku kekerasan : proses terjadinya perilaku kekerasan
sisik, obat, verbal dan spiritual (gunakan booklet)
3. Latihan cara mengontrol perilaku kekerasan 3. Jelaskan cara merawat pasien perilaku
secara fisik: tarik nafas dalam dan meumukul kekerasan
kasur dan bantal 4. Latih satu cara merawat PK dengan
4. Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan melakukan kegiatan fisik: tarik nafas dalam
fisik dan pukul bantal/kasus
5. Anjurkan untuk membantu sesuai jadwal
kegiatan dan memebrikan pujian
SP 2 SP 2
1. Evaluasi kegiatan latiahn fisik, berikan pujian 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat
2. Latih cara mengontrol perilaku kekerasan atau melatih pasien cara fisik, beri pujian
dengan obat (6 benar, obat, guna, dosis, 2. Jelaskan 6 benar cara memberikan obat
frekuensi, cara, kontinuitas minum obat, 3. Latih cara memberikan atau membimbing
akibat jika tidak meminum obat sesuai minum obat
program, akibat putus obat). 4. Anjurkan membantu sesui jadwal kegiatan
3. Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan dan memberikan pujian
fisik dan minum obat
SP 3 SP 3
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik dan obat, serta 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat
beri pujian atau melatih pasien fisik 1 dan 2 dan
2. Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan memberikan obat, berikan pujian
secara verbal (3 cara, yaitu: mengungkapkan, 2. Latih keluarga cara membimbing: cara
meminta, menolak dengan benar) berbicara yang baik
3. Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan 3. Latih keluarga cara membimbing kegiatan
fisik, minum obat dan verbal spiritual
SP 4 SP 4
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik, obat dan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat
verbal, beri pujian atau melatih pasien fisik 1 dan 2 dan
2. Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan memberikan obat, berikan pujian dan
secara spiritual (2 kegiatan) kegiatan spiritual. Beri pujian
3. Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan 2. Jelaskan follow up ke RSJ/PKM, tanda
fisik, minum obat, verbal kambuh dan rujukan
3. Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal
dan berikan pujian
SP 5-12 SP 5-12
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik, obat dan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat
verbal, spiritual. Beri pujian atau melatih pasien fisik 1 dan 2 dan
2. Nilai kemampuan yang telah mandiri memberikan obat, berikan pujian kegiatan
3. Nilai apakah perilaku kekerasan terkontrol spiritual dan follow up. Beri pujian.
2. Nilai kemampuan keluarga merawat pasien
3. Nilai kemampuan keluarga melakukan
kontrol ke RSJ atau PKM
Waham adalah keyakinan yang salah yang didasarkan oleh kesimpulan yang
salah tentang realita eksternal dan dipertahankan dengan kuat (Keliat, B. A.,
Hamid, A. Y. S., Putri, Y. S. E., Daulima, N. H. C., dkk, 2019).
II.POHON MASALAH
Perilaku Kekerasan
Menarik diri
Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat
adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif
dan mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (Depkes RI, 2000
dalam Trimelia, 2011).
solasi sosial merupakan pertahanan diri seseorang terhadap orang lain maupun
lingkungan yang menyebabkan kecemasan pada diri sendiri dengan cara menarik
diri secara fisik maupun psikis. Isolasi sosial adalah gangguan dalam
berhubungan yang merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang
mengancam dirinya dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan
lingkungan. Isolasi sosial merupakan upaya mengindari komunikasi dengan
orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai
kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran dan kegagalan (Rusdi,2013).
1.2 Faktor penyebab
Menurut Dermawan dan Rusdi (2013) factor-faktor pasien dengan gangguan
isolasi sosial sebagai berikut:
1.2.1 Faktor Predisposisi Faktor predisposisi yang menjadi pendukung
terjadinya perilaku isolasi sosial:
1.2.1.1 Faktor perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari masa
bayi sampai dewasa tua akan menjadi pencetus seseorang sehingga
mempunyai masalah respon sosial menarik diri. Sistem keluarga
yang terganggu juga dapat mempengaruhi terjadinya menarik diri.
Organisasi anggota keluarga bekerja sama dengan tenaga
profesional untuk mengembangkan gambaran yang lebih tepat
tentang hungan antara kelainan jiwa dan stress keluarga,
pendekatan kolaboratif dapat mengurangi masalah respon sosial
menarik diri.
1.2.1.2 Faktor biologic
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial maladaprif.
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Kelainan struktur otak, seperti atropi, pembesaran ventrikel,
penurunan berat dan volume otak serta perubahan limbic diduga
dapat menyebabkan skizofrenia.
1.2.1.3 Faktor sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini
merupakan akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan
terhadap orang lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat
yang tidak produktif, seperti lansia, orang cacat dan penyakit
kronik. Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma, prilaku dan
sistem nilai yang berbeda dari yang dimiliki budaya mayoritas.
Harapan yang tidak realistis terhadap hubungan merupakan faktor
lain yang berkaitan dengan gangguan ini.
1.2.2 Faktor Presipitasi Faktor pencetus terdiri dari 4 sumber utama yang dapat
menentukan alasan perasaan adalah:
1.2.2.1 Kehilangan ketertarikan yang nyata atau yang dibayangkan,
termasuk kehilangan cinta seseorang. Fungsi fisik kedudukan atau
harga diri, karena elemen actual dan simbolik melibatkan konsep
kehilangan, maka konsep persepsi lain merupakan hal yang sangat
penting.
1.2.2.2 Peristiwa besar dalam kehidupan, sering dilaporkan sebagai
pendahulu episode depresi dan mempunyai dampak terhadap
masalah – msalah yang dihadapi sekarang dan kemapuan
menyelesaikan masalah,
1.2.2.3 Peran dan ketegangan peran telah dilaporkan mempengaruhi
depresi terutama pada wanita. d. Perubahan fisiologis di akibatkan
oleh obat – obatan berbagai penyakit fisik seperti infeksi,
meoplasma dan gangguan keseimbangan metabolic dapat
mencetus gangguan alam perasaan.
1.3 Tanda dan Gejala
Menurut Dermawan dan Rusdi (2013) tanda gejala isolasi sosial dibagi menjadi
2 Subjektif dan Objektif:
1.3.1 Tanda dan gejala Subjektif :
1.3.1.1 Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak orang lain
1.3.1.2 Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain .
1.3.1.3 Respon verbal kurang dan sangat singkat.
1.3.1.4 Pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang
lain.
1.3.1.5 Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
1.3.1.6 Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan .
1.3.1.7 Pasien merasa tidak berguna 8. Pasien tidak yakin dapat
melangsungkan hidup
1.3.1.8 Pasien merasa ditolak.
1.3.2 Tanda dan gejala Objektif :
1.3.2.1 Pasien banyak diam dan tidak mau bicara
1.3.2.2 Tidak mengikuti kegiatan
1.3.2.3 Banyak diam diri dikamar
1.3.2.4 Pasien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang
terdekat.
1.3.2.5 Pasien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal .
1.3.2.6 Kontak mata kurang
1.3.2.7 Kurang spontan
1.3.2.8 Apatis (acuh terhadap lingkungan).
1.3.2.9 Ekspresi wajah kurang berseri.
1.3.2.10 Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
1.3.2.11 Mengisolasi diri
1.3.2.12 Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar
1.3.2.13 Masukan makanan dan minuman terganggu
1.3.2.14 Retensi urin dan feses
1.3.2.15 Aktivitas menurun
1.3.2.16 Kurang energy
1.3.2.17 Rendah diri
1.3.2.18 Postur tubuh brubah
1.4 Masalah Keperawatan
Menurut Herdman, H.T. (2018) diagnosa keperawatan yang diangkat adalah
Isolasi sosial.
1.5 Rentang respon
Hubungan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya akan menimbulkan
respons-respons sosial pada individu. Menurut Stuart dan Sundeen (1995) dalam
Trimelia (2011) respons sosial individu berada dalam rentang adaptif sampai
maladaptif.
Respons Adaptif Respons Maladaptif
Ketidakberdayaan
Dermawan, R., & Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.
Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
stretegi pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7
Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat bagi program S1 keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika
Stuart, G. W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa . Edisi 5. Jakarta. EGC.
Trimelia. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Isolasi Sosial. Jakarta: TIM