A. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif , psikososial, bersifat temporer atau permanen (Riskesdas,2013).
Cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurology atau menurunnya kesadaran
tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer,2002). Cedera kepala ringan adalah trauma
kepala dengan GCS : 15(sadar penuh) tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan
nyeri kepala, hematoma, laserasi dan abrasi (Mansjoer,2000). Cedera kepala ringan adalah
cedera kepala tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran sementara (Corwin, 2000).
Jadi cedera kepala ringan adalah cedera karena tekanan atau kejatuhan benda tumpul
yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi neurology sementara atau menurunya kesadaran
sementara, mengeluh pusing nyeri kepala tanpa adanya kerusakan lainnya.
Secara umum cedera kepala dapat diklasifikasikan menurut nilai skala glasgow
sebagai berikut :
1. Ringan (GCS 13-15)
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit tidak ada
kontusio tengkorak, tidak ada fraktur serebral, hematoma.
2. Sedang (GCS 9-12)
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat
mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat (GCS 3-8)
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusio
serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
B. Etiologi dan Faktor Risiko
1. Trauma tajam adalah trauma yang disebabkan oleh benda tajam yang dapat
mengakibatkan cedera setempat dan menimbulkan cedera local. Kerusakan local
meliputi Contosio serebral,hematom serebral,kerusakan otak sekunder yang disebabkan
perluasan masa lesi , pergeseran otak atau hernia.
2. Trauma tumpul trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh
menyebabkan kerusakan secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, multiple pada otak koma
terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer,cerebral,batang otak atau keduanya
(Wijaya,2013).
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih beratsifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
C. Manifestasi Klinik
Menurut Judha (2011), tanda dan gejala dari cedera kepala antara lain :
1. Skull fracture
Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan hidung (othorrea,
rinhorhea), darah dibelakang membran timphani perobital ecimos (brill haematoma), memar
di daerah mastoid (battle sign), perubahan penglihatan, hilang pendengaran, hilang indra
penciuman, pupil dilatasi, berkurangnya gerakan mata dan vertigo.
2. Concussion
Tanda yang didapat dalah menurunnya tingkat kesadarn kurang dari 5 menit, amnesia
retrogade, pusing, nyeri kepala, mual dan muntah. Contusion dibagi menjadi 2 yaitu
cerebral contusion, brainsteam contusion. Tanda yang terdapat adalah sebagai berikut :
menutup mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.
3. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai vertigo dan nistagmus
karena ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula dansaraf. Dengan demikian adanya
cedera yang berat pada salah satu organtersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan
pada organ lain.
4. Disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia
membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah
komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.
5. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan
manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak.
Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema subdural,
dan herniasi transtentorial.
6. Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan gejala
yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya
meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan
daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi seksual.
7. Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis interna
dengan sinuskavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala
klinik berupa bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar pemeriksa dengan
menggunakan stetoskop, disertai hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia dan
penurunanvisus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak
bola mata.
8. Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu pertama
pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu
pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun
pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun kemudian.
Tanda gejala cedera kepala ringan (Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, 2005)
1. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
2. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
3. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkahlaku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih lama
setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
D. Patofisiologi
Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang didasarkan pada asumsi
bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti proses
patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan itu, Arifin
(2002) membagi cedera kepala menjadi dua :
1. Cedera otak primer
Cedera otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi sebagai akibat langsung dari efek
mekanik dari luar pada otak yang menimbulkan kontusio dan laserasi parenkim otak dan
kerusakan akson pada substantia alba hemisper otak hingga batang otak.
2. Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat proses metabolisme
dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika intrakranial dan kompartement cairan
serebrosspinal (CSS) yang dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara
klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor
antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak, gangguan
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal, pengeluaran
neurotransmitter dan reactive oxygen species, infeksi dan asidosis. Kelainan utama ini
meliputi perdarahan intrakranial, edema otak, peningkatan tekanan intrakranial dan
kerusakan otak.
Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati atau rusak
irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak disekelilingnya akan mengalami
gangguan fungsional tetapi belum mati dan bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh
dalam beberapa menit, jam atau hari. Proses selanjutnya disebut proses patologi sekunder.
Proses biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan menyebabkan kerusakan seluler
yang luas pada sel yang cedera maupun sel yang tidak cedera. Secara garis besar cedera
kepala sekunder pasca trauma diakibatkan oleh beberapa proses dan faktor dibawah ini :
1. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri dari : perdarahan
intracranial dan edema serebral
2. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh : penurunan tekanan perfusi serebral, hipotensi
arterial, hipertensi intracranial, hiperpireksia dan infeksi, hipokalsemia/anemia dan
hipotensi, vasospasme serebri dankejang
Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan aktifasi
substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah, penurunan aliran darah,
dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini menyebabkan akumulasi cairan (edema)
dan leukosit pada daerah trauma. Sel terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi
adalah sel fagosit, terutama sel leukosit Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi
dalam 30 - 60 menit yang memfagosit jaringan mati. Bila penyebab respon inflamasi
berlangsung melebihi waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan terjadi infiltrasi sel leukosit
mononuklear, makrofag, dan limfosit. Makrofag ini membantu aktivitas sel
polymorphonuclear (PMN) dalam proses fagositosis (Riahi, 2006).
Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat berperan dalam
terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses inflamasi, terjadi perlekatan netrofil
pada endotelium dengan beberapa molekul perekat Intra Cellular Adhesion Molecules-1
(ICAM-1).
Proses perlekatan ini mempunyai kecenderungan merusak atau merugikan karena
mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi. Selain itu, netrofil juga melepaskan senyawa
toksik (radikal bebas), atau mediator lainnya (prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa-
senyawa ini akan memacu terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag juga mempunyai
peranan penting sebagai sel radang predominan pada cedera otak (Hergenroeder, 2008).
E. Pemeriksaan Penunjang
1. CT scan
CT scan digunakan untuk mengidentifikasi adanya hemoragig ,ukuran ventrikuler , infark
pada jaringan mati.
2. Foto tengkorak atau cranium
Foto tengkorak atau cranium digunakan untuk mengetahui adanya fraktur pada tengkorak.
3. MRI
MRI digunakan sebagai penginderaan yang menggunakan gelombang elektomagnetik.
4. Laboratorium
a. Kimia darah : Untuk mengetahui keseimbangan elektrolit
b. Kadar elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intracranial.
c. Screen toksikologi : Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.
5. Serebral angiographi
Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral ,seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi
edema, perdarahan dan trauma.
6. Serial EEG
Serial EEG digunakan untuk melihat perkembangan gelombang yang patologis.
7. X-ray
Digunakan untuk mendeteksi perubahan struktur tulang , perubahan truktur garis
(perdarahan atau edema), frakmen tulang.
8. BAER
BAER digunakan untuk mengoreksi batas fungsi kortek dan otak kecil.
9. PET
PET digunakan untuk mendeteksi perubahan aktivitas metabolism otak.
10. CSF & lumbalpungsi
CSF & lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subaracnoid. 12. 11.
ABGs
ABGs digunakan untuk mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan intracranial.
3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan pengkajian fokus ditujukan
pada gejala-gejala yang muncul akibat cedera kepala berat. Keadaan umum (Arif
muttaqin 2008) pada keadaan cedera kepala berat umumnya mengalami penurunan
kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi dan hipotensi.
a. B1 (BREATHING)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf parasimpatis klien
mengalami kelumpuhan otot otot pernapasan dan perubahan karena adanya kerusakan
jalur simpatetik desending akibat trauma pada tulangbelakang sehingga mengalami
terputus jaringan saraf di medula spinalis, pemeriksaan fisik dari sistem ini akan
didapatkan hasil sebagai berikut inspeksi umum didapatkan klien batuk peningkatan
produksi sputum, sesak napas.
b. B2 (BLOOD)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan syok hipovolemik yang
sering terjadi pada klien cedera kepala berat. Dari hasil pemeriksaan didapatkan tekanan
darah menurun nadi bradikardi dan jantung berdebar-debar. Pada keadaan lainnya dapat
meningkatkan hormon antidiuretik yang berdampak pada kompensasi tubuh.
c. B3 (BRAIN)
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral dan pengkajian
saraf kranial. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan klien dan respon
terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persyarafan.
Pengkajian fungsi serebral : status mental observasi penampilan, tingkah laku nilai gaya
bicara dan aktivitas motorik klien Pengkajian sistem motorik inspeksi umum didapatkan
kelumpuhan pada ekstermitas bawah, baik bersifat paralis, dan paraplegia. Pengkajian
sistem sensori ganguan sensibilitas pada klien cedera kepala berat sesuai dengan segmen
yang mengalami gangguan.
d. B4 (BLADDER)
Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik urine, termasuk berat jenis
urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurunnya perfusi pada ginjal.
e. B5 (BOWEL)
Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus paralitik, dimana
klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan defekasi, tidak ada. Hal ini
merupakan gejala awal dari tahap syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari
sampai beberapa minggu.
f. B6 (BONE)
Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian lesi saraf yang
terkena trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental dari saraf
yang terkena.disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan.pada
saluran ekstermitas bawah. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit.
4. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan diagnostik
1) X-ray/CT Scan : hematoma serebral, edema serebral, perdarahan intracranial, fraktur
tulang tengkorak
2) MRI : dengan/tanpa menggunakan kontras
3) Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
4) EEG : memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
5) BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan batang otak
6) PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme
pada otak
b. Pemeriksaan laboratorium
1) AGD : PO2, pH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi (mempertahankan AGD
dalam rentang normal untuk menjamin aliran darah serebral adekuat) atau untuk melihat
masalah oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK
2) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi natrium,
retensi Na berakhir dapat beberapa hari, diikuti diuresis Na, peningkatan letargi, konfusi
dan kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit.
3) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum
4) CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahn subarachnoid (warna, komposisi,
tekanan)
5) Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan penurunan kesadaran.
6) Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif
mengatasi kejang.
Diagnosa
Bararah, T dan Jauhar, M. 2013. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi Perawat
Profesional. Jakarta : Prestasi Pustakaraya
Bare & Smeltzer.2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart (Alih
bahasa Agung Waluyo) Edisi 8 vol.3. Jakarta :EGC
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa:
Brahm U. Pendit. Editor: Huriawati Hartanto. Edisi VI. Jakarta: EGC
Tanto, Judha M.S. (2011). KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN. Edisi 4. Jakarta : Media
Aescupius.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP
PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP
PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP
PPNI