Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma kepala atau cedera kepala merupakan kasus yang sering terjadi dalam
kehidupan kita sehari-hari. Cedera kepala bisa terjadi pada semua orang tanpa kecuali,
misalnya terjatuh dari tempat tidur, terpeleset, terjatuh, berkelahi, dan yang paling banyak
adalah kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala adalah penyebab terbanyak cedera otak pada
dewasa muda. Sekitar 4000 orang meninggal setiap tahun di Inggris dan Wales akibat cedera
kepala. Royal College of Physicians mengestimasi di Britain sekitar 7.500 orang mengalami
cedera kepala parah setiap tahun. Di Amerika, cedera kepala adalah penyebab terbanyak
kasus meninggal setelah kanker dan penyakit jantung dan telah diestimasi bahwa lebih dari
dua juta orang mengalami cedera otak traumatik. Jika jumlah cedera kepala dibandingkan
dengan kondisi lain, kasus ini lebih banyak daripada stroke atau tumor dan 40 kali lebih
banyak daripada cedera spinal cord. ¹
Pada tahun 2010, cedera kepala menempati peringkat ke 8 dari 10 besar penyakit
rawat inap di seluruh rumah sakit Indonesia, yaitu sebesar 19.381 kasus (Profil Data
Kesehatan Indonesia tahun 2010, Depkes Indonesia). Laporan Kepolisian di DIY
menunjukkan bahwa 88% kematian diakibatkan oleh cedera kepala (Profil Kesehatan DIY
tahun 2011). Kasus cedera kepala yang terbanyak adalah cedera kepala ringan. Hal ini
dibuktikan dengan beberapa data cedera kepala ringan seperti pada tahun 2010 di RS Haji
Adam Malik (Medan), dari 1627 kasus cedera kepala, 1021 kasus adalah cedera kepala
ringan. Contoh lain, pada tahun 2012 di RS Panti Rapih Yogyakarta, dari 524 kasus cedera
kepala, 214 kasus adalah cedera kepala ringan. Meskipun kebanyakan cedera kepala adalah
ringan dan tidak menyebabkan disabilitas yang berat, banyak orang yang akhirnya
mengalami masalah persisten. Orang yang selamat dari cedera kepala dapat mengalami
kesulitan dalam menggerakkan ekstrimitas, kehilangan rasa dan bau, atau penglihatan blur
dan ganda. Ada komplikasi jangka panjang seperti epilepsi, sakit kepala berat, atau
dizziness. Ada juga perubahan psikologis seperti karakter dan mood, seperti iritabilitas dan
mudah marah. Mereka juga dapat mengalami kesulitan memotivasi diri, merasa depresi, dan
susah untuk inisiatif. Ada juga perubahan kognitif, seperti kapasitas mereka untuk berpikir
jelas, membuat alasan, atau mengingat sesuatu. (Broek, 1995) Cedera kepala ringan dapat
1
menyebabkan perdarahan, fraktur tengkorak, hingga rusaknya nervus dan jaringan otak
sehingga mengganggu sistem tubuh dari anggota gerak hingga fungsi-fungsi tubuh. Akibat
cedera kepala ringan secara klinis dapat berupa komosio serebri, contusion cerebri, dan
hematoma epidural-subdural ataupun intracerebral. ¹ ²
Komosio serebri tentu bukanlah hal yang sepele karena dapat mempengaruhi kualitas
hidup seseorang. Seseorang yang telah menderita komosio serebri berisiko terkena post
concussion syndrome, yaitu gangguan pada otak seperti nyeri kepala, gangguan berpikir,
gangguan perhatian, gangguan memori, gangguan emosional, gangguan sensoris-motoris,
dan gangguan tidur. Pada komosio serebri, penderita dapat mengalami amnesia (gangguan
daya ingat), hanya saja amnesia ini tidak lebih dari 24 jam. Komosio serebri dapat juga
disertai gejala klinis lainnya, misalnya mual, muntah, nyeri kepala, dan pusing berputar
(vertigo). ¹ ²

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Commotion cerebri (gegar otak) merupakan bentuk trauma kapitis ringan,
dimana terjadi pingsan (kurang dari 10 menit). Gejala gejala lain mungkin
termasuk noda-noda di depan mata dan linglung. Komosio serebri tidak
meninggalkan gejala sisa atau tidak menyebabkan kerusakan struktur otak.¹
Commotion cerebri atau gegar otak adalah keadaan pingsan yang berlangsung
tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai dengan
kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh sakit kepala, vertigo,
mungkin muntah, tampak pucat. ¹ ²
Commotion cerebri adalah disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan
oleh trauma kapitis (benturan kepala) tanpa menunjukkan kelainan makroskopis
jaringan otak. ³
Commotio Cerebri adalah gegar otak, keadaan yang ditandai dengan pingsan,
muntah-muntah, kelumpuhan, kelainan denyut jantung, nadi, dan penafasan. ¹ ²

B. ETIOLOGI
Penyebab dari commotion cerebri antara lain: ¹ ²
1. Kecelakaan sepeda motor atau lalu lintas
2. Jatuh, benturan dengan benda keras
3. Karena pukulan dengan benda tajam, tumpul dan perkelahian
4. Cerdera karena olahraga

3
Etiologi commotion cerebri biasanya berasal dari trauma langsung dan tidak
langsung pada kepala, yaitu : ¹ ²
1. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau
kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher.
2. Trauma langsung bila kepala langsung terluka akibat kecelakaan, jatuh,
dan olahraga.

C. MANIFESTASI KLINIS
Commotion cerebri adalah suatu kehilangan fungsi neural akut yang
berlangsung sebentar saja. Penderita mengalami amnesia retrograde tanpa
ditemukannya kelainan neurologis. Sepertiga kasus mengelami kasus linier yang
tidak dapat mengubah perjalanan penyakit sehingga tidak perlu rawat inap. Bila
terjadi fraktur yang melintasi arteri meningia media, sutura lamdoidal atau sutura
sagitalis sebaiknya dilakukan perawatan, karena kemungkinan akan terjadi
hematoma epidural. 4
Tanda dan gejala yang terjadi pada commotion cerebri, antara lain : 5 6
1. Nyeri kepala/pusing
2. Tidak sadar atau pingsan kurang dari 30 menit
3. Amnesia retrogade : hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama
sebelum kejadian kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini
menunjukkan keterlibatan/gangguan pusat-pusat dikorteks lobus temporalis
4. Post traumatik amnesia (anterogade amnesia) : lupa peristiwa beberapa saat
sesudah trauma.
5. Tanda-tanda vital tidak normal atau menurun.
6. Mual, dan muntah.

4
D. PATOFISIOLOGI
Benturan pada kepala menimbulkan gelombang tekanan didalam rongga
tengkorak yang kemudian disalurkan kearah lobang foramen megnum kearah
bawah canalis spinalis dengan demikian batang otak teregang dan menyebabkan
lesi iritatif/blokade sistem reversibel terhadap sistem ARAS. Pada komosio
serebri secara komosionil batang otak lebih menderita dari pada fungsi hemisfer.
Keadaan ini bisa juga terjadi karena trauma tidak langsung yaitu jatuh terduduk
sehingga meregangkan batang otak. 7
Akibat proses patologi diatas maka terjadi gangguan kesadaran (tidak sadar
kurang dari 30 menit) bisa diikuti penurunan tekanan darah, dan suhu tubuh.
Muntah dapat juga terjdadi bila pusat muntah dan di medula oblongata
terangsang. 2 5
Derajat keparahan trauma yang dialaminya mempunyai korelasi dengan
lamanya waktu daripada retrogade amnesia, post traumatik amnesia dan masa-
masa konfusionya. Amnesia ringan disebabkan oleh lesi di hipokampus, akan
tetapi jika amnesianya berat dan menetap maka lesi bisa meluas dari sirkuit
hipokampus kegaris tengah diensefalon dan kemudian kekorteks simulate untuk
bergabung dengan diamigdale atau proyeksinya kearah garis tengah talamus dan
dari situ ke korteks orbitofrontal. Amnesia retrogade dan anterogade terjadi
secara bersamaan pada sebagian besar pasien (pada kontosio serebri 76% dan
komosio serebri 51%). Amnesia anterogde lebih sering terjadi daripada
anterogade. 1 2
Gejala tambahan: bradikardi dan tekanan darah naik sebentar, muntah-
muntah, mual, vertigo (vertigo dirasakan berat disertai komosio labirin). Bila
terjadi tekerlibatan komosio medulae akan terasa transient parastesia ke empat
ekstermitas. 3 7
Gejala-gejala penyerta lainnya (sindrom post trauma kapitis adalah nyeri
kepala, nausea, dizzines, sensitif terhadap cahaya dan suara, iritability, kesukaran
5
konsentrasi pikiran, dan gangguan memori. Sesudah beberapa hari atau beberapa
minggu, bisa didapat gangguan fungsi kognitif (konsentrasi, memori), lamban,
sering-sering capek, depresi, iritability. Jika mengenai daerah temporal nampak
gangguan kognitif pada tingkah laku lebih menonjol. 4 6

E. WOC

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain : 1 2
a. CT –Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran
ventrikel pergeseran cairan otak.
b. MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.
c. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.

6
d. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
e. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran
struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya fragmen
tulang).
f. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang
otak.
g. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme
pada otak
h. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
i. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh
dalam peningkatan TIK.
j. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.
k. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
l. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

G. PENATALAKSANAAN

 Setiap penderita komosio sebaiknya masuk rumah sakit untuk observasi,


karena dengan penurunan kesadaran yang singkat saja sudah ada gangguan
pada otak. Selain itu dapat diketahui pula bila terjadi perdarahan epidural.
 Pemeriksaan intern dan neurologis yang cermat.
 Pemeriksaan intern mencakup: Tanda-tanda vital. Pemeriksaan neurologis
menckup: Kesadaran (GCS), pupil, refleks sefalik, saraf otak, ekstremitas
(paresis, gangguan serebelum).
 Terapi terhadap gejala vegetatif (simptomatis).
 Muntah diberikan dimenhidrinat (Dramamin). Sakit kepala diberikan analgetik.
 Mobilisasi secara perlahan-lahan, bila pada hari kedua tidak ada kelainan, atau
7
penderita makin membaik.
 Penderita dipulangkan kurang dari satu minggu.1,2

1. Tindakan terhadap peningkatan TIK


a. Pemantauan TIK dengan ketat.
b. Oksigenasi adekuat
c. Pemberian manitol
d. Penggunaan steroid
e. Peninggatan tempat tidur pada bagian kepala
f. Bedah neuro

2. Tindakan pendukung lain


a. Dukung ventilasi
b. Pencegahan kejang
c. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
d. Terapi antikonvulsan
e. CPZ untuk menenangkan pasien
f. NGT

H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin timbul pada pasien dengan commotion cerebri
antara lain : 3 7
1. Meningkatnya tekanan intracranial
2. Perdarahan
3. Kejang
4. Meningitis

8
BAB III
KESIMPULAN

Cidera kepala adalah trauma yang mengenai otak yang terjadi secara langsung atau tidak

langsung atau efek sekunder yang menyebabkan atau berpengaruh berubahnya fungsi neurologis,

kesadaran, kognitif, perilaku, dan emosi.

Kontusio serebri merupakan bagian dari cedera kepala yang disebabkan oleh trauma

langsung yang bersifat fokal akibat jejas langsung pada otak dan pembuluh darah otak. Cedera

kepala fokal dibagi menjadi komosio/konkusi, kontusio dan laserasi.

Kontusio serebri ditemukan pada 8% kasus cedera kepala dan 13%-35% pada cedera kepala

berat. Pada cedera kepala fokal, kontusio serebri merupakan cedera kepala yang sering ditemukan,

terutama pada 31% pasien yang dilakukan CT Scan pada pemeriksaan awal setelah cedera kepala.

Kontusio serebri biasanya terjadi pada area frontal dan temporal walaupun sebenarnya dapat

mengenai dimanapun, termasuk serebelum dan batang otak.

Manifestasi klinis pada kontusio serebral bervariasi tergantung letak lesi kontusi yang

biasanya mengenai area frontal dan temporal. Manifestasi klinis yang terdapat pada kontusi adalah

adanya kelemahan fokal, mati rasa, afasia dan gangguan memori maupun kongnisi. Adanya

gangguan memori (retrograde dan anterograde amnesia) biasanya diikuti dengan penurunan

kesadaran. Defisit neurologis maupun kejang epileptikus juga dapat ditemui pada pasien kontusio

serebral.

9
Daftar Pustaka

1. Bahrudin, moch. 2016. Neurologis klinis. Penerbitan Universitas Malang:


UMM Press.
2. Munir, Badrul. 2015. Neurologi dasar. Jakarta: Sagung seto.
3. Sidharta, Priguna 2003; Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.
4. Werner, C; Engelhard. 2007. Revierw Article: Pathophysiology of
Traumatic Brain Injury. Vol. 99 (1).
5. Winarno, Igun; Pujo J. L; Harahap, M. S. 2010. Pengelolaan Trauma
Susunan Saraf Pusat).. Vol 2 (1).
6. Head Injury: Triage, Assessment, Investigation and Early Management of
Head Injury in Infants, Children and Adults. NICE Clinical Guidelines, No.
56. National Collaborating Centre for Acute Care (UK). London: National
Collaborating Centre for Acute Care (UK); 2007.
7. Konsensus Nasional : Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Medula
Spinalis. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).
2006.

10

Anda mungkin juga menyukai