Anda di halaman 1dari 29

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Cidera Kepala


2.1.1 Pengertian Cidera Kepala
Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak dan otak ( Morton, 2012). Cedera kepala adalah cedera mekanik yang
secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka
dikulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan
jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Miranda,
2014).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala ( terbuka & tertutup) terdiri dari
fraktur tengkorak cranio serebri, kontusio/laserasi dan perdarahan serebral
(subarachnoid, subdural, epidural, intraserebral batang otak). Trauma primer
terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi/deselerasi otak).
Trauma sekunder akibat trauma syaraf (mil akson) yang meluas hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipertensi sistemik ( Doengoes, 1993
dalam Andra Saferi Wijaya dan Yessie Mariza Putri, 2013).
2.1.2 Etiologi
Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi
deselerasi, coup-contre coup, dan cedera rotasional ( Nurarif, 2013).
2.1.2.1 Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang
bergerak (misalnya, alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang
ditembakkan ke kepala).
2.1.2.2 Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek
diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala
membentur kaca depan mobil.
2.1.2.3 Cedera akselerasi-deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan
kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik.
2.1.2.4 Cedera coup-countre coup terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan
otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulan

5
6

tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur.
Sebagai contoh,pasien dipukul dibagian kepala belakang.
2.1.2.5 Cedera rotasional terjadi jika pukulan atau benturan menyebabkan otak
berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan perenggangan atau
robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam
rongga tengkorak.
2.1.3 Patofisiologi
Organ otak dilindungi oleh rambut kepala, kulit kepala, tulang tengkorak,
dan meningen atau lapisan otak, sehingga secara fisiologis efektif terlindungi dari
trauma atau cedera. Cedera kepala terjadi karena adanya benturan atau daya yang
mengenai kepala secara tiba-tiba. Cedera kepala dapat terjadi melalui dua
mekanisme, yaitu ketika kepala secara langsung kontak dengan benda atau obyek
dan mekanisme akselerasi-deselerasi. Akselerasi merupakan mekanisme cedera
kepala yang terjadi ketika benda yang bergerak membentur kepala yang diam,
sedangkan deselerasi terjadi ketika kepala bergerak membentur benda yang diam
(Black, 2009).
Padilah (2012) membahas tentang terjadinya cedera kepala berdasarkan
besarnya gaya dan lamanya gaya yang bekerja pada kepala manusia maka
mekanisme terjadinya cedera kepala tumpul dapat dibagi menjadi dua:
2.1.3.1 Static Loding
Gaya langsung yang bekerja pada kepala lamanya gaya yang
bekerjalambat, lebih dari 200 milidetik. Mekanisme static 14 loding ini jarang
terjadi sangat berat mulai dari cedera pada kulit kepala sampai kerusakan tulang
kepala, jaringan dan pembuluh darah otak.
2.1.3.2 Dynamic Loading
Gaya yang bekerja pada kepala sangat cepat (kurang dari 50 milidetik).
Gaya yang bekerja pada kepala dapat secara langsung (Impact Injury) ataupun
gaya tersebut bekerja tidak langsung (acclerated-decelerated injury).
7

2.1.4 Manifestasi Klinis


2.1.4.1 Cedera Kepala Ringan – Sedang
1) Disorientasi ringan
2) Amnesia post traumatik
3) Hilang memori sesaat
4) Sakit kepala
5) Mual dan muntah
6) Vertigo dalam perubahan posisi
7) Gangguan pendengaran
2.1.4.2 Cedera Kepala Sedang – Berat
1) Oedema pulmonal
2) Kejang
3) Infeksi
4) Tanda herniasi otak
5) Hemiparese
6) Gangguan akibat saraf kranial
2.1.5 Komplikasi
2.1.5.1 Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa
waktu setelah otak mengalami cedera karena 15 benturan di kepala. Kejang bisa
saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera. Kejang
terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa
adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka
tembus di kepala. Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamzepin atau
valproate) biasanya dapat mengatasi kejang pasca trauma.
Obat-obat tersebut sering diberikan kepada seseorang yang mengalami
cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini
seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai waktu yang tak terhingga.
8

2.1.5.2 Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena
terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami
atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa
adalah lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis disebalahnya.
Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera
kepala atau infeksi akan mempengaruhi beberapa aspek dan fungsi bahasa.
2.1.5.3 Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang
memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan
biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis.
Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah
menyebabkan kelainan fungsi otak.
2.1.5.4 Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk
mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu.
Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti.
Cedera pada otak biasa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa
yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograde) atau
peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca
trauma). Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam
(tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya.
Pada cedera otak yang hebat, amnesia bisa bersifat menetap.
Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali
dari memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis, dan
lobus temporalus. Amnesia menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan
waktu, tempat, dan orang, yang terjadi secara mendadak dan berat. Serangan bisa
hanya terjadi satu kali seumur hidup, atau bisa juga berulang. Alkoholik dan
penderita kekurangan gizi lainnya bisa mengalami amnesia yang disebut sindroma
Wernicke-Korsakoff. Sindroma ini terjadi dari kebingungan akut (sejenis
ensefalopati) dan amnesia yang berlangsung lama. Amnesia karsakoff terjadi
9

bersamaan dengan ensefalopati Wernicke. Amnesia korsakoff juga bisa terjadi


setelah cedera kepala yang hebat, cardiac arrest atau ensefalitis akut.
2.1.5.5 Kejang Pasca Trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau
lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk
kejang lanjut, kejang dini menunjukkan risiko yang meningkatkan untuk kejang
lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.
2.1.5.6 Edema Serebral Dan Herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, puncak edema terjadi 72
jam setelah cedera. Perubahan TD, frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur
merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK. Penekanan dikranium
dikompensasi oleh tertekannya venosus dan ciran otak bergeser. Peningkatan
tekanan terus-menerus menyebabkan aliran darah otak menurun dan perfusi tidak
adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran
supratentorial dan menimbulkan herniasi. Herniasi akan mendorong hemisfer otak
kebawah/lateral dan menekan di enchephalon dan batang otak, menekan pusat
vasomotor, arteri otak posterior, saraf oculamotor, jalur saraf corticospinal,
serabut RES. Mekanisme kesadaran TD, nadi, respirasi dan pengatur akan gagal.

2.2 Konsep Dasar Saturasi oksigen


2.2.1 Pengertian Saturasi Oksigen
Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan dengan
oksigen dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah antara 95 – 100 %. Dalam
kedokteran, oksigen saturasi (SpO2), sering disebut sebagai "SATS", untuk
mengukur persentase oksigen yang diikat oleh hemoglobin di dalam aliran darah.
Pada tekanan parsial oksigen yang rendah, sebagian besar hemoglobin
terdeoksigenasi, maksudnya adalah proses pendistribusian darah beroksigen dari
arteri ke jaringan tubuh ( Hidayat, 2007). Pada sekitar 90% (nilai bervariasi sesuai
dengan konteks klinis) saturasi oksigen meningkat menurut kurva disosiasi
hemoglobin, oksigen dan pendekatan 100% pada tekanan parsial oksigen> 10 kPa.
Saturasi oksigen atau oksigen terlarut (DO) adalah ukuran relatif dari jumlah
oksigen yang terlarut atau dibawa dalam media tertentu. Hal ini dapat diukur
10

dengan probe oksigen terlarut seperti sensor oksigen atau optode dalam media
cair.
2.2.2 Pengukuran Oksigen
Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik.
Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk memantau
pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Tarwoto,
2006). Adapun cara pengukuran saturasi oksigen antara lain :
2.2.2.1 Saturasi oksigen arteri nilai di bawah 90% menunjukan keadaan
hipoksemia (yang juga dapat disebabkan oleh anemia ). Hipoksemia karena sao2
rendah ditandai dengan sianosis . Oksimetri Nadi adalah metode pemantauan non
invasif secara kontinyu terhadap saturasi oksigen hemoglobin (SpO2). Meski
oksimetri oksigen tidak bisa menggantikan gas-gas darah arteri, oksimetri oksigen
merupakan salah satu cara efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan
saturasi oksigen yang kecil dan mendadak. Oksimetri nadi digunakan dalam
banyak lingkungan, termasuk unit perawatan kritis, unit keperawatan umum, dan
pada area diagnostik dan pengobatan ketika diperlukan pemantauan saturasi
oksigen selama prosedur.
2.2.2.2 Saturasi oksigen vena (Sv O2) diukur untuk melihat berapa banyak
mengkonsumsi oksigen tubuh. Dalam perawatan klinis, Sv O2 di bawah 60%,
menunjukkan bahwa tubuh adalah dalam kekurangan oksigen, dan iskemik
penyakit terjadi. Pengukuran ini sering digunakan pengobatan dengan mesin
jantung-paru (Extracorporeal Sirkulasi), dan dapat memberikan gambaran tentang
berapa banyak aliran darah pasien yang diperlukan agar tetap sehat.
2.2.2.3 Tissue oksigen saturasi (St O2) dapat diukur dengan spektroskopi
inframerah dekat. Tissue oksigen saturasi memberikan gambaran tentang
oksigenasi jaringan dalam berbagai kondisi.
2.2.2.4 Saturasi oksigen perifer (Sp O2) adalah estimasi dari tingkat kejenuhan
oksigen yang biasanya diukur dengan oksimeter pulsa.
2.2.2.5 Pemantauan saturasi O2 yang sering adalah dengan menggunakan
oksimetri nadi yang secara luas dinilai sebagai salah satu kemajuan terbesar dalam
pemantauan klinis (Giuliano & Higgins, 2005). Untuk pemantauan saturasi O2
yang dilakukan di perinatalogi ( perawatan risiko tinggi ) Rumah Sakit Islam
11

Kendal juga dengan menggunakan oksimetri nadi. Alat ini merupakan metode
langsung yang dapat dilakukan di sisi tempat tidur, bersifat sederhana dan non
invasive untuk mengukur saturasi O2 arterial (Astowo, 2005 ).
2.2.2.6 Alat yang digunakan adalah oksimetri nadi yang terdiri dari dua diode
pengemisi cahaya (satu cahaya merah dan satu cahaya inframerah) pada satu sisi
probe, kedua diode ini mentransmisikan cahaya merah dan inframerah melewati
pembuluh darah, biasanya pada ujung jari atau daun telinga, menuju fotodetektor
pada sisi lain dari probe (Welch, 2005).
2.2.2.7 Nilai normal saturasi oksigen
Keadaan Klinis Nilai SpO2
Hipoksia berat <85%
mengancam nyawa
Hipoksia sedang-berat 85% - <90%

Hipoksia ringan-sedang 90% - <95%

Normal 100%

Sumber : Data Primer 2016


Tabel 2.1 Nilai normal saturasi oksigen

2.2.2.8 Alat Yang Digunakan Untuk Mengukur Saturasi Oksigen

Gambar 2.1 Oksimetri


2.2.3 Proses Oksigenasi
Sistim pernafasan terdiri dari organ pertukaran gas yaitu paru-paru dan
sebuah pompa ventilasi yang terdiri atas dinding dada, otot-otot pernafasan,
diagfragma, isi abdomen, dinding abdomen dan pusat pernafasan di otak. Pada
12

keadaan istirahat frekuensi pernafasan 12-15 kali per menit. Ada 3 langkah dalam
proses oksigenasi yaitu ventilasi, perfusi paru dan difusi (Guyton, 2005).

2.2.4 Ventilasi
Ventilasi adalah proses keluar masuknya udara dari dan ke paru-paru,
jumlahnya sekitar 500 ml. Ventilasi membutuhkan koordinasi otot paru dan
thoraks yang elastis serta persyarafan yang utuh. Otot pernafasan inspirasi utama
adalah diafragma. Diafragma dipersyarafi oleh saraf frenik, yang keluarnya dari
medulla spinalis pada vertebra servikal keempat. Udara yang masuk dan keluar
terjadi karena adanya perbedaan tekanan, yang keluarnya dari medulla spinalis
pada vertebra servikal keempat. udara antara intrapleura dengan tekanan atmosfer,
dimana pada inspirasi tekanan intrapleural lebih negative (725 mmHg) daripada
tekanan atmosfer (760 mmHG) sehingga udara masuk ke alveoli.
Kepatenan Ventilasi terganutung pada faktor :
1) Kebersihan jalan nafas, adanya sumbatan atau obstruksi jalan napas akan
menghalangi masuk dan keluarnya udara dari dan ke paru-paru.
2) Adekuatnya sistem saraf pusat dan pusat pernafasan
3) Adekuatnya pengembangan dan pengempisan paru-paru
4) Kemampuan otot-otot pernafasan seperti diafragma, eksternal interkosa,
internal interkosa, otot abdominal.
2.2.5 Perfusi Paru
Perfusi paru adalah gerakan darah melewati sirkulasi paru untuk
dioksigenasi, dimana pada sirkulasi paru adalah darah deoksigenasi yang mengalir
dalam arteri pulmonaris dari ventrikel kanan jantung.Darah ini memperfusi paru
bagian respirasi dan ikut serta dalam proses pertukaan oksigen dan
karbondioksida di kapiler dan alveolus. Sirkulasi paru merupakan 8-9% dari curah
jantung. Sirkulasi paru bersifat fleksibel dan dapat mengakodasi variasi volume
darah yang besar sehingga digunakan jika sewaktu-waktu terjadi penurunan
volume atau tekanan darah sistemik.
13

2.2.6 Difusi
Oksigen terus-menerus berdifusi dari udara dalam alveoli ke dalam aliran
darah dan karbon dioksida (CO2) terus berdifusi dari darah ke dalam alveoli.
Difusi adalah pergerakan molekul dari area dengan konsentrasi tinggi ke area
konsentrasi rendah. Difusi udara respirasi terjadi antara alveolus dengan membran
kapiler. Perbedaan tekanan pada area membran respirasi akan mempengaruhi
proses difusi. Misalnya pada tekanan parsial (P) O2 di alveoli sekitar 100 mmHg
sedangkan tekanan parsial pada kapiler pulmonal 60 mmHg sehingga oksigen
akan berdifusi masuk ke dalam darah. Berbeda halnya dengan CO2 dengan PCO2
dalam kapiler 45 mmHg sedangkan pada alveoli 40 mmHg maka CO2 akan
berdifusi keluar alveoli.
2.2.7 Terapi Oksigen
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi yang lebih
tinggi dari yang ditemukan dalam atmosfir lingkungan. Pada ketinggian air laut
konsentrasi oksigen dalam ruangan adalah 21 %, ( Hidayat, 2007 ). Terapi
oksigen adalah memasukkan oksigen tambahan dari luar ke paru melalui saluran
pernafasan dengan menggunakan alat sesuai kebutuhan (Standar Pelayanan
Keperawatan di ICU, Dep.Kes. RI, 2005). Terapi oksigen adalah memberikan
aliran gas lebih dari 20 % pada tekanan 1 atmosfir sehingga konsentrasi oksigen
meningkat dalam darah (Andarmoyo, 2012). Dari pengertian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa terapi oksigen adalah memberikan oksigen melalui saluran
pernafasan dengan alat agar kebutuhan oksigen dalam tubuh terpenuhi yang
ditandai dengan peningkatan saturasi oksigen.
2.2.8 Indikasi
Menurut Standar Keperawatan ICU Depkes RI (2005) dan Andarmoyo (2012),
indikasi terapi oksigen adalah :
1) Pasien hipoksia
2) Oksigenasi kurang sedangkan paru normal
3) Oksigenasi cukup sedangkan paru tidak normal
4) Oksigenasi cukup, paru normal, sedangkan sirkulasi tidak normal
5) Pasien yang membutuhkan pemberian oksigen konsentrasi tinggi Pasien
dengan tekanan partial karbondioksida ( PaCO2 ) rendah
14

2.2.9 Kontra Indikasi


Menurut Potter (2005) kontra indikasi meliputi beberapa :
1) Kanul nasal / Kateter binasal / nasal prong : jika ada obstruksi nasal.

2) Kateter nasofaringeal / kateter nasal : jika ada fraktur dasar tengkorak kepala,
trauma maksilofasial, dan obstruksi nasal

3) Sungkup muka dengan kantong rebreathing : pada pasien dengan PaCO2 tinggi,
akan lebih meningkatkan kadar PaCO2 nya lagi.

2.3 Konsep Dasar Posisi Kepala


2.3.1 Posisi Fowler
Posisi fowler adalah posisi setengah duduk atau duduk, dimana bagian
kepala tempat tidur lebih tinggi atau dinaikkan. Posisi ini dilakukan untuk
mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernapasan pasien.

Gambar 2.2 Posisi Fowler (Buku ajar keperawatan Fundamental Of nursing edisi 7)

Posisi Fowler
Tujuan
1) Mengurangi komplikasi akibat immobilisasi.
2) Meningkatkan rasa nyaman
3) Meningkatkan dorongan pada diafragma sehingga meningkatnya ekspansi
dada dan ventilasi paru
4) Mengurangi kemungkinan tekanan pada tubuh akibat posisi yang menetap
Indikasi
1) Pada pasien yang mengalami gangguan pernapasan
2) Pada pasien yang mengalami imobilisas.
Alatdan bahan :
1) Tempat tidur khusus
15

2) Selimut
Cara kerja :
1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
2) Dudukkan pasien
3) Berikan sandaran atau bantal pada tempat tidur pasien atau atur tempat tidur.
4) Untuk posisi semi fowler (30-45o) dan untuk fowler (90o).
5) Anjurkan pasien untuk tetap berbaring setengah duduk.
2.3.2 Posisi Semi Fowler
Pengertian
Semi fowler adalah sikap dalam posisi setengah duduk 15-60o
Tujuan
1) Mobilisasi
2) Memerikan perasaan lega pada klien sesak nafas
3) Memudahkan perawatan misalnya memberikan makan
Cara Kerja
1) Mengangkat kepala dari tempat tidur kepermukaan yang tepat ( 45-90o)
2) Gunakan bantal untuk menyokong lengan dan kepala klien jika tubuh bagian
atas klien lumpuh.
3) Letakan bantal di bawah kepala klien sesuai dengan keinginan klien,
menaikan lutut dari tempat tidur yang rendah menghindari adanya tekanan
di bawah jarak poplital ( di bawah lutut ).
16

2.3.3 Posisi Sims


Pengertian :
Posisi sim adalah posisi miring kekanan atau kekiri, posisi ini dilakukan
untuk memberi kenyamanan dan memberikan obat melalui anus (supositoria).

Posisi Sim

Gambar 2.3 Posisi Sim (Buku ajar keperawatan Fundamental Of nursing edisi 7)
Tujuan :
1) Mengurangi penekanan pada tulang secrum dan trochanter mayor otot
pinggang
2) Meningkatkan drainage dari mulut pasien dan mencegah aspirasi
3) Memasukkan obat supositoria
4) Mencegah dekubitus
Indikasi :
1) Untuk pasien yang akan di huknah
2) Untuk pasien yang akan diberikan obat melalui anus
Alat dan bahan :
1) Tempat tidur khusus
2) Selimut
Cara kerja :
1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
2) Pasien dalam keadaan berbaring, kemudian miringkan kekiri dengan posisi
badan setengan telungkup dan kaki kiri lurus lutut. Paha kanan ditekuk
diarahkan ke dada.
3) Tangan kiri diatas kepala atau dibelakang punggung dan tangan kanan diatas
tempat tidur.
4) Bila pasien miring kekanan dengan posisi badan setengan telungkup dan
kaki kanan lurus, lutut dan paha kiri ditekuk diarahakan ke dada.
17

5) Tangan kanan diatas kepala atau dibelakang punggung dan tangan kiri diatas
tempat tidur.
2.3.4 Posisi Trandelenburg
Pada posisi ini pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala lebih
rendah dari pada bagian kaki. Posisi ini dilakukan untuk melancarkan peredaran
darah keotak.

Posisi trendelenburg

Gambar 2.4 Posisi Trendelenburg (Buku ajar keperawatan Fundamental Of nursing


edisi7)

Alat dan bahan :


1) Tempat tidur khusus
2) Selimut
Indikasi :
1) Pasien dengan pembedahan pada daerah perut
2) Pasien shock
3) Pasien hipotensi.
Alat dan bahan :
1) Tempat tidur khusus
2) Selimut
Cara kerja :
1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
2) Baringkan pasien terlentang tanpa bantal di kepala
3) Letakkan bantal diatas kepala diantara kepala dan ujung tempat tidur. Beri
bantal / guling dibawah lipatan lutut.
4) Bila menggunakan tempat tidur khusus, atur posisi tempat tidur kepala lebih
rendah daripada kaki
18

5) Bila tidak menggunakn tempat tidur khusus, letakkan penopang kaki tempat
tidur dibagian kaki tempat tidur.
2.3.5 Posisi Dorsal Recumbent
Pada posisi ini pasien berbaring terlentang dengan kedua lutut flexi
(ditarik atau direnggangkan) diatas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk
merawat dan memeriksa genetalia serta pada proses persalinan.

Posisi dorsal recumbent

Gambar 2.5 Posisi Dorsal Recumembent (Buku ajar keperawatan Fundamental Of


nursing edisi 7)
Tujuan :
Meningkatkan kenyamanan pasien, terutama dengan ketegangan punggung
belakang.
Indikasi :
1) Pasien yang akan melakukan perawatan dan pemeriksaan genetalia
2) Untuk persalinan
Alat dan bahan :
1) Tempat tidur
2) Selimut
Cara kerja :
1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
2) Pasien dalam keadaan berbaring terlentang, letakkan bantal diantara kepala
dan ujung tempat tidur pasien dan berikan bantal dibawah lipatan lutut
3) Berikan balok penopang pada bagian kaki tempat tidur atau atur tempat
tidur khusus dengan meninggikan bagian kaki pasien.
19

2.3.6 Posisi Litotomi


Posisi berbaring telentang dengan mengangkat kedua kaki dan
menariknya keatas bagian perut. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa genitalia
pada proses persalinan, dan memasang alat kontrasepsi.

Posisi Litotomi

Gambar 2.6 Posisi Lithotomi (Buku ajar keperawatan Fundamental Of nursing edisi 7)
Indikasi :
1) Untuk ibu hamil
2) Untuk persalinan
3) Untuk wanita yang ingin memasang alat kontrasepsi
Alat dan bahan :
1) Tempat tidur khusus
2) Selimut
Cara kerja:
1) Pasien dalam keadaan berbaring telentang, kemudian angkat kedua paha dan
tarik kearah perut
2) Tungkai bawah membentuk sudut 90 derajat terhadap paha
3) Letakkan bagian lutut/kaki pada tempat tidur khusus untuk posisi lithotomic
4) Pasang selimut
20

2.3.7 Posisi Genu pectrocal/ Knee chest


Pada posisi ini pasien menungging dengan kedua kaki di tekuk dan dada
menempel pada bagian alas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa
daerah rectum dan sigmoid.

Posisi Genu pectrocal/ Knee chest

Gambar 2.7 Posisi Genu pectrocal/ Knee chest (Buku ajar keperawatan Fundamental
Of nursing edisi 7)
Tujuan :
Memudahkan pemeriksaan daerah rektum, sigmoid, dan vagina.
Indikasi :
1) Pasien hemorrhoid
2) Pemeriksaan dan pengobatan daerah rectum, sigmoid dan vagina.
Cara kerja :
1) Anjurkan pasien untuk posisi menungging dengan kedua kaki ditekuk dan
dada menempel pada kasur tempat tidur
2) Pasang selimut pada pasien.
21

2.3.8 Posisi Orthopenea


Posisi pasien duduk dengan menyandarkan kepala pada penampang
yang sejajar dada, seperti pada meja.

Posisi Orthopenea

Gambar 2.8 Posisi Orthopenea (Buku ajar keperawatan Fundamental Of nursing edisi 7)
Tujuan
Memudahkan ekspansi paru untuk pasien dengan kesulitan bernafas yang
ekstrim dan tidak bias tidur terlentang atau posisi kepala hanya bias pada elevasi
sedang.
Indikasi
Pasien dengan sesak berat dan tidak bias tidur terlentang.
Alat dan Bahan
1) Tempat tidur
2) Bantal kecil
3) Gulungan handuk
4) Bantalan Kaki
Cara Kerja
1) Minta klien untuk memfleksikan lutut sebelum kepala dinaikkan
2) Naikkan kepala tempat tidur 90o
3) Letakkan bantal kecil di atas meja yang menyilang di atas tempat tidur
4) Letakkan bantal dibawah kaki, mulai dari lutut sampai tumit
5) Pastikan tidak terdapat tekanan pada area popliteal dan lutut dalam keaadaan
fleksi
6) Letakkan gulungan handuk di samping masing-masing paha
7) Topang telapak kaki klien dengan menggunakan bantalan kaki
22

2.3.9 Posisi Supinasi


Posisi telentang dengan pasien menyandarkan punggungnya agar dasar
tubuh sama dengan kesejajaran berdiri yang baik.

Posisi Supinasi

Gambar 2.9 Posisi Supinasi (Buku ajar keperawatan Fundamental Of nursing edisi 7)
Tujuan
Meningkatkan kenyamanan pasien dan memfasilitasi penyembuhan
terutama pada pasien pembedahan atau dalam proses anestesi tertentu.
Indikasi
1) Pasien dengan tindakan post anestesi atau penbedahan tertentu
2) Pasien dengan kondisi sangat lemah atau koma
Alat dan Bahan
1) Tempat tidur
2) Bantal angin
3) Gulungan handuk
4) Bantalan kaki
Cara Kerja
1) Baringkan klien terlentang mendatar ditengah tempat tidur
2) Letakkan bantal dibawah kepala dan bahu klien
3) Letakkan bantal kecil dibawah punggung pada kurva lumbal jika ada cela
disana
4) Letakkan bantal dibawah kaki, mulai dari lutut sampai tumit
5) Topang telapak kaki klien dengan menggunakan bantalan kaki
6) Jika klien tidak sadar atau mengalami paralisis ektremitas atas, elevasikan
7) tangan dan lengan bawah (bukan lengan atas) dengan menggunakan bantal
23

2.3.10 Posisi Pronasi


Pasien tidur dalam posisi telungkup Berbaring dengan wajah menghadap
kebantal.

Gambar 2.10 Posisi Pronasi (Buku ajar keperawatan Fundamental Of nursing edisi7)
Posisi Pronasi
Tujuan
1) Memberikan ekstensi maksimal pada sendi lutut dan pinggang
2) Mencegah fleksi dan kontraktur pada pinggang dan lutut
Indikasi
1) Pasien yang menjalani bedah mulut dan kerongkongan
2) Pasien dengan pemeriksaan pada daerah bokong atau punggung
Alat dan Bahan
1) Tempat tidur
2) Bantal kecil
3) Gulungan handuk
Cara Kerja
1) Baringkan klien terlentang mendatar ditengah tempat tidur
2) Gulingkan klien dan posisikan lengan dekat dengan tubuhnya disertai siku
lurus dan tangan diatas paha. Posisikan tengkurap atau telungkup ditengah
tempat tidur yang datar.
3) Putar kepala klien ke salah satu sisi dan sokong dengan bantal, jika banyak
drainase dari mulut, mungkin pemberian bantal dikontra indikasikan.
4) Letakkan bantal kecil dibawah abdomen pada area antara diafragma (atau
payudara pada wanita) dan krista iliaka
5) Letakkan bantal dibawah kaki mulai lutut sampai tumit
6) Jika klien atau mengalalami paralisis ekstremitas atas, elevasikan tangan dan
lengan bawah (bukan lengan atas) dengan menggunakan bantal
24

2.3.11 Posisi Lateral (Side-Lying)

Gambar 2.11 Posisi Lateral (Buku ajar keperawatan Fundamental Of nursing edisi 7)
Posisi Lateral
Posisi lateral adalah posisi klien berbaring miring atau pada salah satu sisi
bagian tubuh dengan kepala menoleh kesamping dengan sebagian besar berat
tubuh berada pada pinggul dan bahu.
Tujuan
1) Mempertahankan body aligement
2) Mengurangi komplikasi akibat immobilisasi
3) Meningkankan rasa nyaman
4) Mengurangi kemungkinan tekanan yang menetap pada tubuh akibat posisi
yang menetap.
Indikasi
1) Pasien yang ingin beristirahat
2) Pasien yang ingin tidur
3) Pasien yang posisi fowler atau dorsal recumbent dalam posisi lama
4) Penderita yang mengalami kelemahan dan pasca operasi.
Alat dan Bahan
1) Tempat tidur
2) Batal kecil
3) Gulungan handuk
4) Sarungan tangan jika diperlukan
Cara kerja
1) Baringkan klien terlentang mendatar ditengah tempat tidur
2) Gulingkan klien hingga posisinya miring.
3) Letakan bantal dibawah kepala dan leher klien.
4) Fleksikan bahu bawah dan posisikan ke kedepan sehingga tubuh tidak
menopang pada bahu tersebut.
25

5) Letakan bantal dibawah lengan atas.


6) Letakan bantal dibawah paha dan kaki atas sehingga ekstrimitas bertumpu
secara pararel dengan permukaan tempat tidur.
7) Letakan batal guling dibelakang punggung klien untuk menstabilkan posisi.
2.3.12 Mekanisme Pemberian Posisi 30 Derajat Terhadap Perubahan
Saturasi Oksigen.
Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya telah secara konsisten
menunjukkan bahwa kegiatan perawatan rutin dan positioning, memiliki dampak
yang signifikan terhadap Intracranial Pressure (ICP) dan stabilitas hemodinamik
pada pasien dengan cidera kepala. Adapun tindakan untuk penanganan cedara
kepala salah satunya adalah menyeimbangkan atau mengontrol tekanan darah
dalam batas normal dengan cara pemberian posisi tidur. Ada beberapa posisi
tidur untuk mengontrol tekanan darah pada pasien dengan cedera kepala yaitu
posisi supine atau telentang dan posisi semi fowler atau setengah duduk dengan
kemiringan 30 derajat. Dari beberapa peneliti berpendapat bahwa pasien dengan
Intracranial hypertention harus ditempatkan dalam posisi horizontal, alasan
dilakukan posisi tersebut adalah bahwa ini akan meningkatkan Cerebral Perfusion
Pressure (CPP) dan dengan demikian meningkatkan aliran darah di otak, namun
Intracranial hypertention, umumnya secara signifikan lebih tinggi ketika pasien
dalam posisi horizontal. Sedangkan posisi semi fowler atau 30 derajat yaitu posisi
mengangkat kepala untuk menurunkan tekanan intracranial.
Dari hasil penelitian bahwa posisi semi fowler dapat memperbaiki dari
parameter hemodinamik, seperti tekanan darah sistolik kembali ke kisaran
normal, tekanan nadi menurun normal dibandingkan sebelum diberikan posisi
semi fowler, tingkat kesadaran meningkat di ukur dengan Glasgow Coma Scale
(GCS), dan tekanan darah diastolik dapat dipertahankan dalam batas normal
dapat disimpulkan bahwa posisi semi fowler lebih efektif dari posisi supine
atau telentang dalam stabilitas hemodinamik pasien dengan cedera kepala (Mir,
2015).
26

Stabilitas hemodinamik adalah aliran darah dalam sistem peredaran tubuh


kita baik melalui sirkulasi magna (sirkulasi besar) maupun sirkulasi parva
(sirkulasi dalam paru-paru). Hemodinamik monitoring adalah pemantauan dari
hemodinamik status. Pentingnya pemantauan terus menerus terhadap status
hemodinamik, respirasi, dan tanda-tanda vital lain akan menjamin early detection
bisa dilaksanakan dengan baik sehingga dapat mecegah pasien jatuh kepada
kondisi lebih parah. Hemodinamik status adalah indeks dari tekanan dan
kecepatan aliran darah dalam paru dan sirkulasi sistemik. Pasien dengan gagal
jantung, overload cairan, masalah perubahan status hemodinamik (Crwin, 2009).
Dalam stabilitas hemodinamik tanda vital sangat penting untuk observasi
pasien cedera kepala karena dapat memberikan informasi mengenai keadaan
intrakranial. Perubahan intrakranial biasanya akan didahului dengan perubahan
tanda-tanda vital terlebih dahulu. Tanda vital tersebut mencangkup tekanan
darah, nadi, pernafasan, suhu, MAP (Japardi, 2010).
Penelitian yang dilakukan (Mir,2015), menunjukkan bahwa pemberian
posisi semi fowler pada pasien cedera kepala dapat dilakukan dengan cara
minimal dua jam pemberian posisi semi fowler dan membutuhkan pemantauan
yang ketat terhadap adanya peningkatan tekanan darah, pemantauan sebelum dan
setelah dilakukan tindakan perlu diperhatikan, serta pemantauan tekanan darah,
suhu, denyut nadi, pernafasan, dan tingkat kesadaran pasien juga perlu dilakukan
untuk mengetahui perkembangan pasien.
2.3.13 Prosedur Penatalaksanaan Posisi Semi Fowler
Posisi fowler adalah posisi setengah duduk atau duduk, dimana bagian
kepala tempat tidur lebih tinggi atau dinaikkan. Posisi ini dilakukan untuk
mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernafasan pasien.
Tujuan :1) Mengurangi komplikasi akibat immobilisasi
2) Meningkatkan rasa nyaman
3).Meningkatkan dorongan pada diafraghma sehingga
meningkatnya ekspansi paru.
4). Mengurangi kemungkinan tekanan pada tubuh akibat posis
yang menetap.
27

Indikasi : 1). Pada pasien dengan gangguan pernafasan


2). Pada pasien immobilisasi
Alat dan bahan :
1) Tempat tidur
2) Bantal kecil
3) Gulungan handuk
4) Bantalan kaki
5) Sarung tangan (bila diperlukan)
Tabel 2.2 SOP Posisi Semi Fowler
NO LANGKAH – LANGKAH

A TAHAP PRA-INTERAKSI
1 Periksa catatan perawatan dan catatan medis pasien
Kaji kebutuhan pasien
2 Siapkan peralatan
3 Kaji inspirasi dan validasi serta eksplorasi perasaan pasien
B TAHAP ORIENTASI
1 Beri salam dan panggil pasien dengan nama yang ia sukai
2 Tanya keluhan dan kaji gejala spesifik yang ada pada pasien.
3 Jelaskan kepada pasien mengenai prosedur dan tujuan tindakan yang
akan dilakukan. Berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk
bertanya sebelum tindakan dimulai.
4 Mintalah persetujuan pasien sebelum memulai tindakan
C TAHAP KERJA
1 Cuci tangan
2 Angkat kepala dari tempat tidur ke permukaan yang tepat gunakan
sandaran bantal jika tempat tidur atau bad rusak (30°)

3 Angkat kepala dari tempat tidur ke permukaan yang tepat (30°)


(Jika kepala bad yang digunakan bisa di naik turunkan)
28

4 Beri sandaran atau bantal untuk menyokong lengan dan kepala pasien
(jika tubuh bagian atas lumpuh atau lemah )
5 Naikkan lutut dari tempat tidur yg rendah menghindari adanya tekanan
di bawah jarak poplital (di bawah lutut)
D TAHAP TERMINASI
1 Rapikan peralatan
2 Observasi respon pasien setelah tindakan
3 Cuci tangan
4 Dokumentasikan hasil dan tindakan yang dilakukan
5 TOTAL NILAI
29

2.4 Penelitian Terkait


Supadi (2011)
Tabel 2.3 Jurnal Pengaruh Elevasi Posisi Kepala Pada Klien Stroke Hemoragik Terhadap Tekanan Rata-Rata Arterial, Tekanan Darah Dan Tekanan
Intra Kranial Di Rumah Sakit Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2011
Populasi Penelitian Tindakan yang Diberikan Hasil Penelitian Uji Statistik yang di gunakan
Populasi dalam penelitian ini mengatur posisi kepala elevasi Hasil penelitian ini Rancangan penelitian yang digunakan adalah
0 0
adalah semua pasien stroke 15 - 30 mengindikasikan bahwa elevasi kuasi eksperimen (pre - post test with control
hemoragik posisi kepala 30° dapat design). Penelitian ini bertujuan mencari
menghambat aliran darah pengaruh elevasi posisi kepala pada klien
serebral ke otak pada pasien stroke hemoragik terhadap tekanan rata-rata
dengan stroke hemoragik arterial, tekanan darah dan tekanan intra
kranial di Rumah Sakit Margono Soekarjo
Purwokerto. Waktu penelitian mulai bulan
Agustus sampai dengan November 2011 dan
lokasi Penelitian ruang IGD, Asoka, Dahlia
serta ruang Mawar RSMS Purwokerto.

29
30

Martina Ekacahyaningtyas (2013)


Tabel 2.4 Jurnal Posisi Head Up 300 Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Saturasi Oksigen Pada Pasien Stroke Hemoragik Dan Non Hemoragik
2017.
Populasi Penelitian Tindakan yang Diberikan Hasil Penelitian Uji Statistik yang di gunakan
Semua pasien Stroke intervensi yang dilakukan adalah Hasil analisa status Jenis penelitian yang akan dilakukan
Hemoragik dan non Hemoragik pemberian posisi head up 30 hemodinamik pada saturasi adalah penelitian kuantitatif, dengan
di ruang ICU RSUD dr. derajat yaitu posisi kepala oksigen menunjukkan nilai P menggunakan desain quasi experiment
Soediran Mangun Sumarso ditinggikan 300 dengan value = 0.009 sehingga terdapat one group pre test-post test yaitu
menaikkan kepala tempat tidur pengaruh posisi Head Up mengungkapkan hubungan sebab akibat
atau menggunakan ekstra bantal terhadap saturasi oksigen pada dengan cara melibatkan satu kelompok
sesuai dengan kenyamanan pasien stroke. Kesimpulan yang subjek. Kelompok subjek diobservasi
pasien selama 30 menit diperoleh dari penelitian ini sebelum dilakukan intervensi, kemudian
didapatkan hasil ada perbedaan diobservasi lagi setelah intervensi
yang bermakna rata-rata saturasi penelitian ini uji wilcoxon.
oksigen sebelum dan setelah
tindakan posisi head up 300

30
31
31

2.5 Kerangka Konsep


Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan
bagaimana seseorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis
beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah (Hidayat, 2010).
Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Variabel Independen

Pemberian posisi
kepala 300

1. Pemberian Posisi
Kepala Semi
Fowler 30 derajat

Variabel Dependen
Saturasi oksigen

1).Hypoksia berat -
menyangcam
Nyawa.<85%
2). Hipoksia sedang –
berat (SpO2 85% -
<90%)
3).Hipoksia ringan-
sedang (SpO2 90%
- <95%)
4).Normal (95%-
100%)

Keterangan :
: Diteliti

: Tidak Diteliti

: Mempengaruhi

Bagan 2.1: Kerangka Konsep Pengaruh Pemberian Posisi kepala 30 Derajat


Terhadap Peningkatan saturasi oksigen pada pasien cidera kepala di
RSUD dr. Doris Sylvanus Kota Palangka Raya.
32

2.6 Hipotesis
Hipotesis adalah suatu penyataan asumsi tentang hubungan antara dua atau
lebih variable yang diharapkan bisa menjawab suatu pernyataan dalam penelitian.
Setiap hipotesis terdiri dari suatu unit atau bagian dari suatu permesalahan
(Nursalam, 2011).
Hipotesis nol (HO) adalah hipotesis yang digunakan untuk pengukuran
statistik dan interprestasi hasil statistik. Sedangkan hipotesis alternative (H1)
adalah hipotesis penelitian. Hipotesis ini menyatakan adanya suatu hubungan,
pengaruh dan perbedaan antara dua atau lebih variabel (Nursalam, 2011)
Hipotesis penelitian adalah suatu peryataan hubungan antara dua atau
lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab pertanyaan dalam penelitian
(Nursalam, 2011). Ada dua jenis hipotesis yang digunakan dalam penelitian yaitu:
2.7.1 Hipotesis nol (Ho) adalah hipotesis yang digunakan untuk pengukuran
statistik dan interprestasi hasil statistik. Hipotesis nol dapat sederhana atau
kompleks dan bersifat sebab atau akibat.
Menurut Hipotesis nol (H0) adalah hipotesis yang digunakan untuk
pengukuran statistik dan interprestasi hasil statistik. Sedangkan Hipotesis
alternative (H1) adalah hipotesis penelitian. Hipotesis ini menyatakan adanya
suatu hubungan, pengaruh dan perbedaan antara dua variabel atau lebih
(Nursalam, 2011).
H1 : Adanya Pengaruh Pemberian Posisi Kepala 30 Derajat Terhadap
Peningkatan Saturasi Oksigen Pada Pasien Cidera Kepala Di RSUD Dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya

Anda mungkin juga menyukai