Anda di halaman 1dari 16

Bab II

Pembahasan

II.I Cedera otak traumatik karena trauma kapitis

II.I.I Definisi, etiologi, dan epidemiologi

Cedera otak traumatik (COT) didefinisikan CDC sebagai suatu gangguan pada fungsi normal
otak yang dapat disebabkan oleh suatu tabrakan, pukulan, atau hentakan pada kepala atau suatu
cedera tembus kepala. Cedera otak traumatik (traumatic brain injury) adalah terminologi yang
menggantikan cedera kepala (head injury) di mana ditekankan pentingnya keterlibatan otak
dalam cedera tersebut.1 Diperkirakan lebih dari 50 juta orang mengalami cedera otak traumatik
setiap tahunnya di seluruh dunia dengan sekitar setengah dari populasi dunia pernah mengalami
setidaknya satu atau lebih kejadian cedera otak traumatik.2

Pasien dengan kecurigaan cedera otak traumatik harus ditanyakan riwayat dan mekanisme
trauma. Penyebab paling sering adalah terjatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan
kerja, olahraga, dan akibat penyerangan, jatuh dari ketinggian, atau kecelakaan domestik lainnya.
Pada kecelakaan bermotor atau kecelakaan okupasi sperlu diperhatikan apakah pasien memakai
alat pelindung kepala atau tidak.3

COT sering didefinisikan sebagai perubahan fungsi otak yang bermanifestasi sebagai
kebingungan, perubahan tingkat kesadaran yang berubah, kejang, koma, dan defisit sensoris
fokal atau motoris neurologis akibat tekanan benda tumpul atau penetrasi benda tajam masuk ke
dalam kepala. COT salah satunya dapat disebabkan oleh cedera kepalayang terjadi pada jaringan
scalp,tulang tengkorak, atau jaringan otak. Berdasarkan RISKESDAS RI 20184, cedera kepala
merupakan salah satu penyebab utama kematian terbanyak di Indonesia. Cedera otak traumatik
pada umumnya diklasifikasikan menggunakan skor keparahan trauma atau yang biasa digunakan
adalah Glasgow coma scale (GCS). GCS 13 hingga 15 digolongkan pada cedera otak ringan, 9
hingga 12 sebagai cedera otak sedang, dan 8 atau kurang sebagai suatu cedera otak berat.

Cedera otak yang terjadi akibat kontak secara langsung pada kepala yang mengakibatkan
kontusio, laserasi dan pendarahan intrakranial, disebut sebagai cedera otak fokal. Dan cedera
yang terjadi akibat akselerasi dan deselerasi yang menyebabkan komusio serebri, edema otak
atau cedera aksonal difus, disebut cedera otak difus

Cedera Otak Traumatik dapat terjadi pada 3 jenis keadaan : 1. Akselerasi: yaitu kepala diam
dibentur oleh benda yang bergerak. Kekuatan benda yang bergerak akan menyebabkan
deformitas akibat percepatan, perlambatan dan rotasi yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba
terhadap kepala dan jaringan otak. Trauma tersebut bisa menimbulkan kompresi dan regangan
yang bisa menimbulkan robekan jaringan otak dan pergeseran sebagian jaringan otak terhadap
jaringan otak yang lain. 2. Deselerasi: yaitu kepala yang bergerak membentur benda yang diam.
Kepala yang sedang bergerak kemudian membentur suatu benda yang keras, maka akan terjadi
perlambatan yang tiba-tiba, sehingga mengakibatkan kerusakan otak di tempat benturan dan pada
sisi yang berlawanan. Pada tempat benturan terdapat tekanan yang paling tinggi, sedang pada
tempat yang berlawanan terdapat tekanan negatif paling rendah sehingga terjadi rongga dan
akibatnya dapat terjadi robekan. 3. Deformasi: yaitu kepala yang tidak dapat bergerak karena
menyender pada benda lain dibentur oleh benda yang bergerak (kepala tergencet). Pada kepala
yang tergencet pada awalnya dapat terjadi retak atau hancurnya tulang tengkorak. Bila
gencetannya hebat tentu saja dapat mengakibatkan hancurnya otak.

Penyebab terjadinya cedera kepala atau trauma capitis pun dibagi tiga: (1)Trauma tumpul, yang
menyebabkan kerusakan yang menyebar, yang di mana berat ringannya suatu trauma bergantung
pada proses akselerasi-deselerasi, kekuatan benturan dan kekuatan rotasi internal. Rotasi internal
ini dapat menyebabkan perpindahan cairan dan perdarahan, karena pada saat otak bergeser akan
terjadi pergesekan antara permukaan otak dan tonjolan tonjolanyang ada di permukaan
otaksehingga mengubah integritas vaskularisasi otak.(2)Trauma tajam,Disebabkan pisau atau
peluru atau fragmen tulang pada tulang tengkorak. Kerusakan bergantung pada kecepatan
Gerakan benda tajam tersebut menancap pada kepala atau sampai otak. Kerusakan tipe ini
cenderung lebih riskan infeksius.(3) Coup dan countercoup. Cedera tipe ini terjadi Ketika
kontusi pada otak terjadi persis di bawah titik trauma. Sedangkan countercoup adalah kontusio
yang berada berseberangan dengan titik trauma. Cedera ini termasuk cedera nonpenetrasi
(Closed-head), ditandai dengan kerusakan otak dampak tidak langsung tanpa masuknya benda
asing ke otak.Tengkorak seringkali tidak rusak, tetapi ada penetrasi meninges.5

Gambar 1. Mekanisme terjadinya trauma kepala tipe coup dan countercoup.

Pada penelitian yang dilakukan Sutawan dkk (2021) di RSUP Sanglah, Bali, ditemukan beberapa
faktor yang berhubungan secara bermakna dan menjadi faktor risiko terjadinya outcome
unfavorable dalam 7 hari pada pasien cedera kepala yang dirawat di RSUP Sanglah tahun 2018-
2019 adalah hipotensi, GCS awal 3-8, reflek pupil anisokor, hipoksia, fokal lesi, midline shift,
dan lama waktu tindakan operasi >6 jam (p<0,05). Tekanan darah hipotensi merupakan faktor
risiko yang paling dominan terhadap outcome unfavorable dalam 7 hari pasien cedera kepala
yang dirawat di RSUP Sanglah.6

II.I.II Pemeriksaan penunjang

Diagnosis suatu cedera otak traumatik dimulai dari primary survey, secondary survey,
pemeriksaan penunjang berupa CT Scan kepala yang merupakan gold standard, serta
pemeriksaan biomarker. Pemeriksaan awal dilakukan bersamaan dengan primary survey, sesuai
dengan pedoman Advanced Trauma Life Support. Anamnesis pada cedera otak traumatik dapat
dilakukan pada pasien atau kepada orang yang menyaksikan proses terjadinya trauma dan
keluarga jika pasien tidak kooperatif atau tidak sadar. Anamnesis dapat dilakukan dengan
sebuah mnemonic AMPLE, terdiri dari: Allergy: riwayat alergi, Medication: riwayat konsumsi
obat terutama antikoagulan atau antiplatelet, Past medical history including tetanus status:
menanyakan riwayat penyakit dan riwayat vaksinasi tetanus, Last meal: riwayat makan terakhir,
Events leading to injury: menanyakan mekanisme trauma.3

Setelah semua kemungkinan kondisi mengancam nyawa tertangani, barulah secondary


survey yang terdiri dari anamnesis yang terfokus, pemeriksaan fisik secara head-to-toe dan
pemeriksaan penunjang seperti CT scan kepala khususnya pada cedera otak traumatik yang berat
dimulai.

II.I.III Tatalaksana

Penatalaksanaan suatu cedera otak traumatik harus dimulai sedini mungkin dimulai dengan
penanganan jalan napas/oksigenasi, ventilasi dan tekanan darah. Terapi medikamentosa meliputi
pemberian antifibrinolitik, sedatif dan analgetik, osmotherapy dan anti-kejang.

Berdasarkan tingkat keparahan klinis penanganan dibagi tiga:


1. CKR: GCS > 13, tidak ditemukan kelainan pada CT Scan/MRI otak, tidak memerlukan
Tindakan operatif, dan lama rawat kurang dari 48 jam
2. CKS: GCS 9 – 13, ditemukan kelainan pada CT Scan/MRI, memerlukan Tindakan
operatif untuk lesi intrakranial, dan memerlukan perawatan di rumah sakit setidaknya 48
jam
3. CKB: Bila dalam 48 jam lebih setelah trauma skor GCS <9

II.I.IV Komplikasi dan prognosis


Menyusul terjadinya COT, komplikasi neurologis dapat terjadi diantaranya kejang, demensia,
penyakit Alzheimer, dan jejas saraf kranialis. Tambahannya, pasien juga dapat melalui
komplikasi berupa gangguan psikiatris, PTSD, gangguan cemas menyeluruh, gangguan obsesif
kompulsif, dan kelainan perilaku dan kognisi sekuel yang dapat meningkatkan morbiditas pasien.
Karena kemungkinan besar komplikasi mengiringi kejadian COT, Trauma capitis atau cedera
kepala menjadi salah satu penyakit utama beban Kesehatan masyarakat bagi NKRI. Banyak
literatur menyatakan hanya sekitar 25% pasien yang dapat mencapai fungsi independent normal
setelah terjadinya COT. Namun, dengan program rehabilitasi yang adekuat, bukan tidak mungkin
prognosis fungsionam dan sanactionam tercapai sepenuhnya.7

II.II Transient ischemic attack

II.II.I Definisi, etiologi, dan epidemiologi

Diperkirakan 20-25% stroke iskemik didahulu oleh gejala iskemik transien atau yang dikatakan
sebagai mini-stroke. Gejala ini biasanya bertahan selama beberapa detik atau menit, dan secara
tipikal berangsur selama kurang dari 24 jam. Definisi dahulu yang didasari basis waktu
berlangsung (berdasarkan gejala yang bertahan kurang dari 24 jam) telah direvisi berdasarkan
identifikasi adanya gambaran infark secara signifikan pada banyak pasien dengan gejala yang
berlangusng kurang dari 10 menit, dengan mengetahui pasien tersebut dating dalam jarak waktu
enam jam setelah munculnya gejala dan memenuhi syarat kebutuhan revaskularisasi urgensi.

Pada laporan 2020 terbaru, definisi baru TIA sekarang adalah berbasi jaringan. Apabila lesi
iskemik tidak terdeteksi pada gambaran otak artinya pasien tersebut dapat didiagnosis dengan
TIA, sedangkan untuk pasien dengan gejala transien dengan gambaran imaging lesi iskemik
walaupun kecil, tetap ditegakkan diagnosis stroke iskemik minor. 8

Gejala TIA, bila ditemukan sesuai diagnosis seharusnya, menyediakan kesempatan kritis untuk
pencegahan cepat kejadian stroke. Tanpa penanganan, risiko kejadian stroke pasca-TIA adalah
setinggi 20% pada tiga bulan pertama, dan banyak dari risiko ini terjadi pada 10 hari pertama,
terutama di 2 hari pertama. Penelitian mengindikasikan bahwa diagnosis klinis yang cepat
ditegakkan dan prevensi yang segera dilakukan berasosiasi langsng dengan reduksi risiko stroke
dalam tiga bulan sebanyak 80%. Beberapa episode transien/sementara berlangsung lebih dari 24
jam, tetapi pasien mengalami pemulihan sempurna yang disebut reversible ischemic neurological
deficits (RIND)9

Etiologi serangan TIA tersering adalah akibat tromboemboli dari atheroma pembuluh darah
leher. TIA terjadi ketika adanya thrombus atau ateroma akibat aterosklerosis terlepas dari
jantung atau pembuluh darah arteri dan tersebar melalui aliran darah (menjadi emboli), dan
terjadi penumpukan di arteri yang meyuplai darah ke otak. Aterosklerosis menyebabkan TIA
berulang pada sekitar 5% orang.Penyebab lain adalah lipohialinosis pembuluh darah kecil
intrakranial dan emboli kardiogenik. Etiologi yang lebih jarang adalah vaskulitis atau kelainan
hematologis .

Penyakit aterosklerosis arteri karotid di luar rongga tengkorak telah lama diakui sebagai sumber
emboli yang paling utama yang sampai ke otak dan menyebabkan stroke. TIA adalah gejal awal
penyakit aterosklerosis. Pasien yang memiliki TIA hemisfer yang berkaitan dengan penyakit
arteri karotis interna memiliki risiko yang tinggi untuk terjadi stroke pada beberapa hari pertama
setelah mengalami TIA. Risiko awal stroke tidak terpengaruh oleh tingkat stenosis arteri karotis
interna.
II.II.II Gejala dan patofisiologi

TIA ditandai dengan penurunan sementara atau penghentian aliran darah otak dalam distribusi
neurovaskular tertentu sebagai akibat dari sebagian atau total oklusi, biasanya dari tromboemboli
akut atau stenosis dari pembuluh darah. Manifestasi klinis akan bervariasi, tergantung pada
pembuluh darah dan wilayah otak yang terlibat.10

Hipoksia, karena aliran darah terganggu, memiliki efek berbahaya pada struktur organ dan
fungsi. Hal ini terutama terjadi pada stroke (iskemia serebral) dan infark jantung (iskemia
miokard). Hipoksia juga memainkan peran penting dalam mengatur pertumbuhan tumor dan
metastasis. Kebutuhan energi yang tinggi dibandingkan dengan penghasilan energi yang rendah
membuat otak sangat rentan terhadap kondisi hipoksia. Meskipun hanya merupakan fraksi total
berat badan yang kecil (2%), itu menyumbang persentase proporsional besar konsumsi O2
(sekitar 20%). Semakin lama durasi hipoksia / iskemia, lebih besar dan lebih meredakan area
otak yang terpengaruh. Daerah yang paling rentan tampaknya batang otak, hipokampus dan
korteks serebral.10

Gejala transien dapat berupa motorik (pada lobus frontalis atau tractus piramidalis), sensorik
(pada regio parietal), atau visual (kebutaan monocular transien), dengan iskemia retina atau
binocular, atau juga dapat dengan gangguan wicara (afasia atau disartria). Tipe gejala transien
lainnya (seperti vertigo diplopia, nyeri kepala, keseimbangan tidak stabil, atau amnesia) dapat
muncul dengan jejas otak iskemik transien, walaupun jarang terjadi, munculnya gejala – gejala
ini dapat dijelaskan dengan kejadian iskemia.10

Cedera berlangsung dan akhirnya menjadi ireversibel kecuali oksigenasi dipulihkan. Kematian
sel akut terjadi terutama melalui nekrosis tetapi hipoksia juga menyebabkan apoptosis tertunda.
Selain proses merusak dijelaskan sebelumnya, pelepasan glutamat besar dari neuron presinaptik
lebih meningkatkan Ca2+ masuknya dan runtuhnya bencana dalam sel postsinaptik.

Harus dicatat bahwa, bahkan jika itu adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan jaringan,
reperfusi juga menginduksi kematian sel, terutama melalui reaktif produksi spesies oksigen dan
infiltrasi sel inflamasi. Jika penurunan pO2 tidak terlalu parah, sel menekan beberapa fungsi
mereka, yaitu, sintesis protein dan spontan aktivitas listrik, dalam proses yang disebut
"penumbra" yang ditandai dengan reversibilitas, asalkan pasokan O2 dilanjutkan.

II.II.III Pemeriksaan penunjang

Gambaran menggunakan MRI adalah gold standard yang sekarang dipilih untuk pasien dengan
suspek TIA, sebab sensitivitas deteksi iskemi otak lebih tinggi bila dibandingkan CT Scan. Walaupun CT
Scan kepala secara umum tidak dapat digunakan untuk diagnsosis iskemia, ketika MRI tidak tersedia, CT
scan tetap sebaiknya dilaksanakan untuk mengeliminasi penyebab gejala.11

II.II.IV Tatalaksana, komplikasi, dan prognosis

Manajemen faktor risiko vascular bertahan menjadi hal terpenting dalam prevensi stroke
sekunder, termasuk (namun tidak terbatas pada) diabetes, henti rokok. Terutama juga hipertensi.
Manajemen medis intensif, yang dijalankan biasanya oleh tim multidisiplin, menjadi pilihan
utama dengan penggabungan terapi yang diatur sesuai kebutuhan individual pasien.

Terapi antitrombotik termasuk antiplatelet atau antikoagulan direkomendasikan hampir untuk


seluruh pasien tanpa kontraindikasi. Kombinasi antiplatelet dan antikoagulan tidak diindikasikan
untuk prevensi stroke skuender. Terapi antiplatelet ganda tidak direkomendasikan secara jangka
Panjang; dan untuk jangka pendek hanya untuk pasien khusus, termasuk yang dating dengan
stroke minor dan TIA dengan risiko tinggi. 12

II.III Stroke

II.III.I Definisi, etiologi, dan epidemiologi

Stroke didefinisikan oleh American Stroke Association sebagai penyakit di mana sebuah
pembuluh darah yang membawa oksigen dan nutrisi ke otak terblokade atau pecah yang deficit
neurologisnya bertahan lebih dari 24 jam menetap. Ketika hal tersebut terjadi, otak tidak dapat
menerima darah (dan oksigen) yang dibutuhkannya, sehingga sel otak pelan – pelan mati. Stroke
dapat terjadi antara karena adanya bekuan darah yang mengobstruksi jalannya laju darah ke otak
(Disebut sebagai stroke iskemik) atau karena pecahnya pembuluh darah ke otak (Stroke
hemoragik). Otak adalah organ yang sangat kompleks yang mengontrol macam – macam fungsi
tubuh. Ketika stroke terjadi dan laju darah tidak dapat mencapai regio yang mengontrol beberapa
fungsi besar tubuh, bagian – bagian tubuh tersebut tidak dapat berfungsi seperti seharusnya.13

Dalam laporan Beban Global Penyakit 2019, diestimasikan bahwa stroke tetap bertahan menjadi
penyebab kedua terbanyak mortalitas dan penyebab ketiga terbanyak morbiditas. Estimasi biaya
global penanganan stroke menghabiskan sampai dengan 891 milyar US Dolar (yaitu 1.2% dari
total global GDP). Di Indonesia sendiri, prevalensi stroke pada tahun 2018 mencapai angka 11%.
Artinya, setiap 1000 penduduk, terdapat 11 orang yang mengalami kejadian stroke.14

Stroke hemoragik disebabkan pendarahan di dalam otak oleh pecahnya pembuluh darah. Stroke
hemoragik ini kemudian dibagi menjadi pendarahan intracerebral hemorrhage (ICH atau
intracerebral hemorrhage) dan pendarahan subarachnoid (SAH). ICH adalah pendarahan ke
dalam parenkim otak, dan SAH adalah pendarahan pada ruang subarachnoid.15

Risiko metabolic (tekanan darah sistolik yang tinggi, IMT yang tinggi, GDP yang tinggi,
kolesterol total yang tinggi, dan GFR yang rendah bertanggungjawab sampai dengan 71% dari
total kejadian stroke. Kemudian faktor kebiasaan seperti merokok, kebiasaan diet yang buruk,
gaya hidup sedentary bertanggung jawab sampai dengan 50% dari total beban stroke. Risiko
lingkungan seperti polusi udara dan paparan timbal bertanggung jawab sampai dengan 40% dari
total kasus stroke. Secara global, tingginya tekanan darah sistolik adalah risiko paling besar yang
mempengaruhi angka kejadian stroke, berkontribusi sampai dengan 80 juta DALYs atau 56%
dari total Stroke DALYs, disusul dengan IMT tinggi (35 juta), GDP (30 juta), dan kebiasaan
merokok (25 juta). Bila dikombinasi, seluruh faktor risiko bertanggung jawab atas 90% beban
global stroke.
Di sisi lain, gejala yang paling sering dirasakan pasien adalah penurunan kesadaran dan
kelemahan satu sisi. Menurut sebuah studi kilas sistematik (systematic review) yang dilakukan
oleh Lecouturier dkk (2010) atas 11 studi dari 7144 pasien stroke di Inggris, sekitar setengah dari
sampel pasien stroke ini tidak berhasil merekognisi bahwa mereka mengalami penyakit stroke.
Mayoritas dari pasien stroke ini setidaknya mengetahui satu gejala stroke: kelemahan satu sisi
dan gangguan wicara adalah dua gejala stroke yang paling sering direkognisi atau disebut.
Mayoritas dari sampel studi ini pertama mendatangi dokter umum. Waktu pertengahan median
dari semua sampel pasien menghubungi ambulans atau dokter umum adalah diantara 15-30
menit, dan 80% mencari pertolongan di bawah satu jam. 60% pasien menunggu apabila gejala
yang dirasakan menghilang secara spontan, sedangkan saksi yang menunggu gejala hilang hanya
sampai dengan 25% dari total sampel. Sedangkan sekita 60% pasien dan 80% saksi merasa tidak
nyaman merepotkan orang lain dalam penanganan gejala yang dirasakan.16

Tidak seperti serangan jantung yang dapat ditemukan tanda yang jelas dari ketidaknyamanan
atau nyeri, silent stroke dapat terjadi dengan gejala seperti keseimbangan yang tiba tiba hilang,
kehilangan kendali fungsi otot dasar termasuk kandung kemih, kehilangan ingatan perubahan
afek / mood atau kepribadian.

Pada studi yang sama, ditemukan bahwa waktu median pasien dari waktu terjadinya gejala
(onset) sampai dengan kedatangan ke ruah sakit (bagi yang menggunakan servis emergensi)
adalah sebanyak dua jam, dan untuk yang dirujuk dari praktik dokter umum adalah selama tujuh
jam 12 menit. Juga ditemukan bahwa penggunaan servis emergensi dan kejadian yang tidak
berada di rumah mereduksi waktu terlambat penanganan (dengan p value<0.002). waktu
pertengah median dari kesadaran rekognisi sedang terjadi stroke ke rumah sakit adalah sekitar
2.5 jam untuk yang berada di rumah bila dibandingkan dengan 1.5 jam bila berada di rumah lain,
atau 45 menit bila berada di ruang public. Pasien dengan penurunan kesadaran sampai di rumah
sakit dalam waktu 1.5 jam, dengan muntah – muntah selama 4.5 jam, dan nyeri kepala dalam 2.5
jam. Kejadian (onset) yang terjadi diantara pukul 00.00 pagi sampai dengan 06.00 pagi
ditemukan berhubungan dengan keterlambatan penanganan lebih besar dari enam jam (sampai
kedatangan di rumah sakit).16

II.III.II Patofisiologi gejala

II.III.II.I Penurunan kesadaran

Sekitar 4 – 38% pasien stroke mengalami penurunan kesadaran atau koma, dan 13- 48%
mengalami kebingungan atau delirium. Penyebab yang tersering dari terjadinya penurunan
kesadaran atau syncope adalah bradikardia, takikardia atau obstruksi aliran darah.

Perbedaan terjadinya penurunan kesadaran muncul karena perbedaan onset stroke sampai pasien
sudah di rumah sakit. Perbedaan ini yang meningkatkan risiko penanganan pre-hospital atau
sebelum masuk rumah sakit, perjalanan penyakit dan komplikasi yang berhubungan dengan
stroke yang berkontribusi pada penurunan kesadaran yang diobservasi. Kejadian penurunan
kesadaran atau Early Consciousness Disorder (ECD) tinggi pada pasien dengan kejadian emboli
jantung, dan paling rendah pada kelompok pasien dengan oklusi arteri-kecil. Selain itu, secara
konsisten kejadian penurunan kesadaran terjadi 3.2 kali lebih sering terjadi pada pasien infark
kardioembolik bila dibandingkan dengan pasien infark ateherothrombotik. Menurut European
Community Stroke Project, kejadian koma dan kebingungan dalam jenjang satu minggu dari
serangan akut stroke iskemik juga lebih tinggi dengan adanya fibrilasi atrium daripada yang
tidak mengalami fibrilasi atrium. Hal ini diyakini sebab emboli jantung biasanya dalam bentuk
yang cukup besar sehingga lebih mudah memberikan pengaruh pada arteri besar dari sistem
vaskularisasi serebrum, yang kemudian menyebabkan kasus stroke.

Pada studi tersebut juga ditemukan bahwa skor NIHSS (National Institute of Health Stroke Scale
yang terdiri dari 11 item), infark serebral yang massif, gula darah yang tinggi saat kedatangan di
rumah sakit dan Riwayat konsumsi alcohol adalah faktor risiko independent dari kejadian ECD /
penurunan kesadaran. Temuan ini juga konsisten dengan studi dari 9044 pasien kaukasian
dengan nilai GCS abnormal lebih sering memiliki Riwayat penggunaan alcohol, kejadian
diabetes, penyalahgunaan substansi napza, dan kejadia Strke atau TIA dan kejang.17 Selain itu,
ditemukan juga bahwa skor NIHSS lebih tinggi pada pasien stroke hemoragik pada kejadian
stroke ringan, dan pada stroke berat lebih tinggi pada pasien stroke iskemik. Penjelasan hal ini
disebabkan karena hipoksia berat pada pasien stroke iskemik berat dan emboli yang besar pada
pecahnya pembuluh darah pada stroke hemoragik.18

Gambar 1. NIHSS yang dinilai pada awitan stroke yaitu berupa tingkat kesadaran, kekuatan
komprehensi yaitu mampu memjawab pertanyaan, mengikuti perintah, pandangan gaze mata,
lapang pandang, dan apabila ada paresis wajah. Nilai dihitung sebagai: 0 yaitu tidak ada sindrom
stroke, 1-4 yaitu stroke ringan, 5-15 stroke sedang, 16-20 stroke sedang ke berat, dan 21-42
sebagai stroke berat.

II.III.II.II Kelemahan satu sisi

Kemampuan berjalan manusia adalah sebuah fenomena kemampuan yang seringkali dimiliki
tanpa rasa syukur, padahal sesungguhnya kemampuan ini dimediasi oleh mekanisme control
saraf yang rumit. Proses otomatis ini termasuk dalam jaras desendan batang otak (RST dan VST)
dan jaringan lokomotor intraspinal. Diketahui bahwa otot kaki diorganisir menjadi modul -modul
yang berperan pada beberapa subtugas untuk dukungan rangka badan (body support), postur, dan
tugas lokomotif. Mekanisme kinematis mayor digunakan untuk meminimalisir peletakan pusat
gravitasi (Center of gravity atau COG). Stroke menyebabkan kerusakan korteks motoric dan
traktus kortikospinal desendan, dan kemudian menyebabkan kelemahan otot. Di sisi lain, jaras
desendan batang otak dan jaringan motoric intraspinal diinhibisi dan menjadi hiper-eksitatif.
Penemuan terbaru mengatakan bahwa hal ini memediasi spastisitas post-stroke dan mendifuskan
aktivasi sinergis spastis. Hasil dari perubahan ini adalah modular gerak yang ada disederhanakan
dan Bersatu, sehingga menyebabkan dukunga atau support tubuh yang tidak adekuat dan
performa berjalan yang buruk. Luasnya macam – macam dan hierarki jenis kerusakan gaya
berjalan hemiplegia post-stroke adalah sebuah refleksi dari konsekuensi meknik kelemahan otot,
spastisitas, aktivasi sinergitas yang abnormal, dan interaksinya.

Penyebab tersering hemiplegia adalah kejadian stroke, yang merusak traktus kortikospinal di
salah satu hemisfer otak. Traktus kortikospinal berekstensi dari korda spinalis inferior sampai
dengan korteks serebrum. Hemiplegia atau hemiparesis disebabkan oleh kerusakan asimetris
pada area control motoric pada CNS. Impaknya, akan terjadi perubahan asimetris dari tonus atau
refleks otot. Ekstremitas atas lebih terdampak daripada ekstremitas bawah.

Lesi pada sisi kiri otak, yang mengontrol kemampuan Bahasa dan bicara, dapat menghasilkan
kelemahan sisi kanan. Sebaliknya, kelemahan sisi kiri dihasilkan dari lesi pada sisi kanan otak,
yang mengontrol komunikasi non-verbal dan perilaku-perilaku khusus seperti afek/mood,
kemampuan olah emosi.

II.III.II.III Nyeri kepala

Waktu jendela yang menggambarkan periode akut adalah berkembangnya nyeri kepala dalam
12-72 jam pertama setelah awitan stroke sampai dengan tujuh hari setelah awitan. Kriteria
ICHD-3 (International classification of headache disorders) mendeskripsikan nyeri kepala
sebagai “berkembang berbarengan dengan gejala klinis stroke lainnya” dan resolusi terjadi dalam
jenjang waktu tiga bulan sebagai nyeri kepala teratribusi stroke akut. Celah waktu jendela 72-jam
sampai dengan 7 hari sebelum munculnya gejala neurologis fokal juga dianggap sebagai nyeri
kepala sentinel (nyeri kepala sekunder). ICHD-3 juga mendeskripsikan nyeri kepala yang
bertahan selama tiga bulan di waktu jendela sebagai nyeri kepala persisten yang berhubungan
dengan stroke iskemik, pendarahan intracranial non-traumatik, diskesi arteri servikal, ddan
sindrm vasokonstriksi serebrum reversible (RCVS).
Mekanisme potensial atas berkembangnya nyeri kepala terhadap asosiansinya dengan stroke akut
bergantung pada subtype strokenya. Mekanisme yang sering diajukan oleh peneliti salah satunya
(1) stimulasi mekanik atau kimiawi aferen trigeminovaskular yang menginervasi pembuluh darah
intracranial dan ekstrakranial, terutama pada sirkulasi posterior, (2) terjadinya iskemia pada
nukelus batang otak atau duramater yang sensitif terhadap nyeri, (3) peregangan atau streth
duramater yang terjadi karena pendarahan atau infark massif.

Di sisi lain, patofisiologi dibalik perkembangan nyeri kepala persisten post stroke (Lebih dari
sama dengan tiga bulan) diperkirakan terjadi karena infark yang mendisrupsi modulasi nyeri di
CNS, terutama pada daerah batang otak, insula, atau korteks somatosensory. Perubahan secara
struktur dan fungsional pada regio ini, juga pada korteks singulat dan orbitofrontal, juga
ditemukan sebagai penyebab nyeri kepala kronik tipe tension dan migrain kronis. Sensitisasi
sentral dari jaras nosiseptif juga berkontribusi terhadap nyeri kepala persisten yang berasosiasi
dengan kejadian stroke akut. Pada pasien dengan postur tubuh yang buruk atau perubahan
biomekanik setelah stroke, contohnya stimulasi prolonged/perpanjangan dari struktur
miofasikulus perikranial yang dapat memancing sensitisasi dari saraf supraspinal pusat dan
spinal lapisan ke-dua, kemudian menghasilkan nyeri kepala tipe tension. Lebih jauh lagi, depresi,
fatigue atau kelelahan, dan sleep apnea dapat menyebabkan eksaserbasi atau pnyeri kepala
perpetuate.

Pada pasien yang berhasil mereduksi nyeri kepala post-strokenya, beberapa mekanisme
patofisiologi telah dibahas oleh ahli, salah satunya adalah perdarahan pada daerah batang orak di
area nukelus kaudalis trigeminal. Selain itu, mekanisme lainnya yaitu deplesi transien dari
peptide yang berhubungan dengan gen(CGRP atau calcium gene-related peptide) atau denervasi
arteri simpatetis setelah bocornya darah ke dalam ruang subarachnoid, infarksi atau reinervasi
dari saraf pengendari nyeri juga berkontribusi pada perbaikan nyeri kepala stroke.19

II.III.II.IV Bicara
Bicara pelo atau dysarthria adalah sebuah gejala yang menggambarkan adanya iskemik serebral.
Penemuan yang paling sering biasanya adalah artikulasi konsonan yang tidak persis
seharusnya(artikulasi tidak jelas/tidak sesuai), kualitas suara yang kasar, dan inspirasi yang
terdengar atau audible. Angka parameter akustik waktu fonasi maksimum dan volume
maksimum berdeviasi dari angka normal. Dari kilas review sistematis yang dilakukan oleh Cock
dkk (2021) pada 150 pasien, ditemukan bawah 52% pasien memiliki lesi unilateral pada upper
motor neuron (UMN). Selain itu, ditemukan bahwa secara berurutan 58% dab 71% pasien
merasa kesulitan yang dialami pasca dysartria adalah tidak ada sampai dengan minimal pada
level fungsional dan level aktivitas. Kecerdasan wicara juga secara ringan terganggu, di mana
menurut skala NIHSS, 46% pasien stroke mengalami dysartria, yang setengahnya berhasil
mengalami penyumbuhan dari gangguan dysartria dalam satu minggu setelah awitan stroke
terjadi.20

Lesi yang ditemukan biasanya karena penyakit pembuluh darah kecil. Infark yang ditemukan
biasanya bersifat ekstra serebral: pada segmen bawah korteks motoric primer, segmen tengah
semiovale sentral, segmen dorsal bagian genu dan ventrum dari kapsula interna, pedunculus
serebral, pons basal, dan sambungan pontomedular ventral.21
II.III.III Pemeriksaan penunjang

Penanganan sebelum masuk FASYANKES, evaluasi emergensi dan urgensi dengan terapi
intravena dan intra-arteri, dan manajemen di rumah sakit, termasuk penanganan prevensi
sekunder yang biasanya dimulai sejak kedatangan di pasien di rumah sakit. Salah satu yang
disarankan AHA adalah penggunaan telemedisin (telestroke) yang akan mempersingkat waktu
kerja neurology dan radiolog, mempermudah FASYANKES untuk menjadi “acute stroke ready”
atau siap menangani kasus strke akut dengan efektif dan efisien. Batas waktu antara telepon 911
menerima permintaan penanganan penyakit sampai dengan pelepasan tim ambulans berangkat
harus berada jangka waktu 90 detik. (AHA 2013), perjalanan dari EMSS bernagkat menuju
lokasi idealnya adalah kurang dari sama dengan delapan menit.Penanganan di lokasi kejadian
idealnya kurang dari 15 menit. Waktu perjalanan ini ekuivalen dengan penanganan trauma
ataupun serangan jantung. Tentu saja ini semua harus dengan dukungan pemda dan pemerintah
pusat yang baik sehingga tercipta system stroke yang terintegrasi dengan baik.

MRI digunakan sebagai pemeriksaan penunjang baku emas karena dianggap se-akurat CT Scan
untuk deteksi pendarahan akut pada pasien yang datang dengan presentasi gejala stroke fokal
akut, dan dianggap lebih akurat bila dibandingkan dengan CT Scan untuk deterksi perdarahan
intracerebral (ICH) kronis.
Sayangnya, MRI membutuhkan waktu setidaknya 45 menit dalam periode waktu jendela dan CT
Scan hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit dalam pengerjaan. Selain itu, MRI
membutuhkan cakupan biaya yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan CT Scan, serta tidak
dapat dilakukan pada pasien yang klaustrofobik atau menggunakan pacemaker atau implant
dengan bahan metal lainnya. 22

Non-contrast head CT scan (NECT)adalah pemeriksaan yang cukup baik untuk menemukan bila
ada pendarahan intracranial yang dapat memisahkan pasien yang dengan etiologic trombolitik.
Ditemukannya struktur MCA hiperdens sering terjadi pada hamper 1/3 total kasus yang
berkorelasi dengan oklusi pembuluh darah besar.

II.III.IV Tatalaksana

II.III.IV.I rTPA

recombinant tissue plasminogen activator adalah terapi trombolitik yang digunakan untuk
mengobati blokade pembuluh darah otak dengan sistem reperfusi pada kejadian stroke.
Pengobatan rTPA ini bertahan menjadi standar baku emas pengobatan stroke, dengan dosis
berupa: Activase 0.9 mg/kg dalam infus IV dalam 60 menit, dengan 10% pertama dalam bolus
inisial di satu menit pertama. Artinya, pemberian melalui jalur intravena sebanyak 900 mcg/kg
bb (maksimal 90 mg) selama 60 menit; 10% dosis diberikan melalui injeksi intravena. rTPA
(alteplase) ini Tidak dianjurkan untuk usia diatas 80 tahun. 23, 24
Kontraindikasi berupa: pendarahan intracranial (intracraniall hemorrhage) sebagai penyebab
utama tanda dan gejala stroke dan dapat dihentikan bila sebelum administrasi didapatkan INR
>1.7 atau terdapat peningkatan aPTT.25

rTPA ini dtemukan pertama kali oleh peneliti Denmark tahun 1946 yang mendeskripsikannya
sebagai enzim yang dikenal sebagai tissue plasminogen activator (TPA). Kemudian dilanjutkan
pada 1976- 1980 di mana peneliti Belgia mengislasi TPA dari sel melanoma dalam kuantitas
yang banyak dan menemukan bahwa zat tersebut dapat menyairkan bekuan darah pada model
hewan. Pada tahun 1982-1987 banyak dilakukan penelitian klinis penggunaan TPA pada pasien
serangan jantung, di mana di tahun 1986 FDA (BPOM amerika) menyetujui penggunaannya
pada serangan jantung. Sampai tahun 1991 dimulai penerapan pilot dari TPA pada pasien dengan
serangan jantung dan manajemen tatalaksana pada tiga jam pertama awitan. Barulan pada tahun
1994 dilakukan penelitian fase III yang mendemonstrasikan efikasi dan keamanan TPA dengan
waktu-paruh selama kurang lebih 5 menit26 pada stroke iskemik akut, yang disetujui FDA
penggunaannya pada 1995. Pada tahun 1997, Peneliti kemudian mengestimasi pengurangan
anggaran sebanyak 4 juta USD untuk setiap 1000 kasus stroke iskemik yang ditangani dengan
TPA. Di tahun 2014, penggunaan TPA dengan alat endovascular clot-retrieval (ECR) terbukti
lebih efektif dalam penanganan stroke bila dibandingkan TPA saja.27

Sampai sekarang, periode jendela untuk administrasi penanganan rTPA pada kejadian stroke
masih pada standar pemberian 4.5 jam setelah awitan stroke terjadi. Walaupun begitu, banyak
pasien tidak berkualifikasi untuk pemberian TPA karena pasien masuk rumah sakit lebih dari 3 –
4.5 jam setelah awitan stroke. Lebih jauh lagi, Pemberian TPA lebih dari 4.5 jam berasosiasi
langsung dengan efek samping bersifat merusak, terutama TH (transformasi hemoragik atau
transformasi pendarahan) yang dapat memicu peningkatan angka kematian pada pasien – pasien
stroke.
Gambar II. Target molecular dari agen farmakologi yang sudah diteliti untuk melemahkan
tranformasi hemoragik (HT) setelah pemberian tPA yang terlambat (A) HT yang terjadi setelah
terlambatnya pemberian tPA diteliti menyebabkan reperfusi yang meningkat dan juga pada efek
tPA pada aktivitas metalloproteinase (MMP) dan jaras persarafan lainnya termasuk jalur
Lipoprotein Receptor Protein (LRP). Khususnya, jalur aktivitas saraf dari tPA pada unit
neurovascular meningkatkan risiko kebocoran blood-brain barrier (BBB), kematian sel
neruovaskular, dan HT sendiri. Minosiklin (3 mg/kg IV 4 jam setelah awitan stroke), cilostazol
(10 mg/kg intraperitoneal setelah tPA, anteconam), GM6001 (10 mg/kg IV 6 jam post stroke
setelah reperfusi), fasudil (3mg/kg intraperitoneal setelah tPA, antecoenam), candesartan (10
mg/kg IV 6 jam Post stroke), bryostatin (25mg/kg iv berbarengan dengan tPA), IMM-H004 (10
mg/kg IV 6 jam post stroke) mereduksi kejadian HT dengan cara mengamankan BBB lewat
farmakokinetiknya pada macam – macam jaras MMP dan sambungan protein ketat (Protein tight
junction)
(B), selain untuk mengembalikan integritas keamanan BBB, peningkatn neurovaskularisasi atau
pembentukan pembuluh darah juga dapat bertindak sebagai pelindung dari HT yang disebabkan
telatnya pembarian tPA. G-CSF and IMM-H004 dapat HT bdengan meningkatkan aktivitas
neruovaskularisasi. 24
Tatalaksana selain itu adalah peningkatan pemeriksaan sindrom metabolik termasuk pemeriksaan
profil lipid pasien, dan pemberian profilaksis DVT. Selain itu, penelitian juga menekankan
pentingnya penanganan antikoagulan untuk pasien dengan AF.29 Neurocritical care unit juga
dibutuhkan sebagai bagian dari sistem penanganan stroke terpusat.

II.III.V Komplikasi dan prognosis

Pada penelitian, ditemukan bahwa angka rekurensi kumulatif yaitu 5.5% pada satu tahun
pertama, dan meningkat menjadi 11.5% pada jarak 5 tahun setelah awitan stroke. Faktor risiko
independen penyebab terjadinya rekurensi yaitu terutama hipertensi, Riwayat gejala stroke
sebelumnya atau Riwayat TIA, fibrilasi atrium (AF), gender laki – laki infark kronis yang
terekam dalam MRI; namun tidak berhubungan dengan usia, hematocrit level, maupun kolesterol
level. 40% dari total 1700 pasien meninggal selama follow-up dalam jangka lima tahun.
Rekurensi juga secara signifikan meningkatkan angka mortalitas sebanyak dua kali lipat bila
dibandingkan dengan pasien dengan kejadian stroke pertama kali. 28,30

REFERENSI

1. Pervez M, Kitagawa RS, Chang TR. Definition of Traumatic Brain Injury,


Neurosurgery, Trauma Orthopedics, Neuroimaging, Psychology, and Psychiatry in Mild
Traumatic Brain Injury. Neuroimaging Clin N Am. 2018;28(1):1–13.
2. Jiang JY, Gao GY, Feng JF, Mao Q, Chen LG, Yang XF, et al. Traumatic brain injury in
China. Lancet Neurol. 2019;18(3):286–95.
3. Gwinnutt CL, Driscoll P. Advanced trauma life support. Vol. 48, Anaesthesia. 1993.
441–442 p.
4. KEMENKES RI. Riset Kesehatan dasar RI. 2018
5. Marbun AS,Sinuraya E, Amola dan Simanjuntak GV. Manajemen cedera kepala. Jakarta:
Ahlimedia press. 2020
6. Sutawan, I. Gede, Sri Maliawan, and I. Wayan Niryana. "Faktor risiko yang
mempengaruhi outcome pada pasien cedera kepala di RSUP Sanglah, Bali, Indonesia
pada tahun 2018-2019." Intisari Sains Medis 12.2 (2021): 653-659.
7. Ahmed S dkk. Truamtic brain injury dan neuropsychiatric complications. Indian J
Psychol Med. 2017 Mar-Apr; 39(2): 114–121)
8. Amarenco, Pierre. "Transient ischemic attack." New England Journal of Medicine 382.20
(2020): 1933-1941.
9. Amarenco P, Lavallée PC, Labreuche J, et al. One-year risk of stroke after tran- sient
ischemic attack or minor stroke. N Engl J Med 2016;374:1533-42.
10. Rothwell PM, Warlow CP. Timing of TIAs preceding stroke: time window for
prevention is very short. Neurology 2005; 64:817-20.
11. Amarenco, Pierre. "Transient ischemic attack." New England Journal of Medicine 382.20
(2020): 1933-1941.
12. Kleindorfer dkk. 2021 Guideline for the Prevention of Stroke in Patients With Stroke and
Transient Ischemic Attack: A Guideline From the American Heart Association/American
Stroke Association. AHA Vol 52[7].2021
13. American Stroke Association. About stroke. USA: ASA. 2022. Dapat dilihat
di:https://www.stroke.org/en/about-stroke
14. https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/prevalensi-stroke-di-indonesia-2018-
1563428312
15. Unnithan KAA, Das JM, dan Mehta P. Hemorrhagic stroke. National Library of
Medicine. 30 September 2022.
16. (Lecouturier, Jan, et al. "Response to symptoms of stroke in the UK: a systematic
review." BMC health services research 10.1 (2010): 1-9
17. Durant E, Sporer KA. Characteristics of Patients with an Abnormal Glasgow Coma Scale
in the Prehospital Setting. West J Emerg Med. 2011;12(1):30–36 .
18. Jojang H, Runtuwene T, dan Maja J. Perbandingan NIHSS pada pasien stroke hemoragik
dan non-hemoragik yang rawat inap di bagian neurologi RSUP Prof Dr R. D. Kandou
Manado. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2016
19. Lai J, Harrison RA, Plecash A, dan Field TS. A narrative review of persistent post-stroke
headache- a new entry in the International Classification of Headache Disorders, 3rd
edition. Division of Neurology, University of British Columbia dan Texas University
Departemen Neuroonkologi. Amerika. Agustus 27 2018.
20. Cock dkk. Dysartria following acute ischemic stroke: Prospective evaluation of
charasteristics, type, and severity. Int J Lang Commun Disord. 2021 May;56(3):549-557.
doi: 10.1111/1460-6984.12607.Epub 2021 Feb 12.
21. urban dkk. Dystarthria in acute ischemic stroke: lesion topography, clinicoradiologic
correlation, and etiology. Neurology. 2001 Apr 24;56(8):1021-7. Doi:
10.1212/wnl.56.8.1021.
22. Kidwell CS, Chalela JO, dan Saver JL. Comparison of MRI dan CT for detection of acute
intracerebral hemorrhage. 20 Oktober 2021. JAMA. 2021;292(15):1823-1830.
doi:10.1001/jama.292.15.1823 + AHA 2013
23. Activase alteplase. Monitor patients during and post activase administration.
https://www.activase.com/ais/dosing-and-administration/dosing.html
24. Pena ID, Borlongan C, Shen G, dan Davis W. Strategies to extend thrombolytic time
window for ischemic stroke treatment: an unmet clinical need. J Stroke. 2017 Jan;
19(1):50-60.2017 Jan; 19(1): 50–60. Dapat dlihat di:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5307939/), Badan POM RI. Alteplase.
https://pionas.pom.go.id/monografi/alteplase
25. Medscape. Alteplase. https://reference.medscape.com/drug/activase-tpa-alteplase-
342287)
26. Chandler WL dkk. Clearance of tissue plasminogen activator (TPA) and
TPA/Plasminogen activator inhibitor type I (Pai-1) complex: Relationship to elevated
TPA antigen in patients with high PAI-1 activity levels. AHA Journals: Circulation.
2017. 96[3]: 761–768)
27. National institute of neurological disorders and stroke USA. Tissue plasminogen
activator for acute ischemic stroke (alteplase, activase). 2021. Dapat dilihat di:
https://www.ninds.nih.gov/about-ninds/impact/ninds-contributions-approved-
therapies/tissue-plasminogen-activator-acute-ischemic-stroke-alteplase-activaser)
28. Lovett JK, Coul AJ, dan Rothwell PM. Early risk of recurrence by subtype of ischemic
stroke in population-based incidence studies. Neurology. February 24, 2004; 62 (4)
29. Jerrgensen, H. S., et al. "Stroke recurrence: predictors, severity, and prognosis. The Copenhagen
Stroke Study." Neurology 48.4 (1997): 891-895.
30. Olsen, Tom SkyhØj. "Stroke recurrence and prognosis after stroke." Handbook of clinical
neurology 92 (2008): 407-421.

Anda mungkin juga menyukai