Anda di halaman 1dari 18

Laporan UKP

Cedera Kepala Ringan

Oleh :

dr. Fadlan Hafizh Harahap

Pendamping :

dr. Yosi Susandri

DOKTER PROGRAM INTERNSHIP


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
RSUD Dr. ADNAAN WD PAYAKUMBUH
PERIODE NOVEMBER 2022- NOVEMBER 2023

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan UKP (Unit Kesehatan Perorangan) ini dengan judul
“Cedera Kepala Ringan”.
Laporan UKP ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti program Internship
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada dr.
Yosi Susandri selaku pendamping yang telah memberikan masukan dan bimbingan serta
semua pihak yang telah membantu menyelesaikan laporan UKP ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kami mengharapkan saran dan kritik untuk menyempurnakan laporan ini. Semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Payakumbuh, Agustus 2023

Penulis

2
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

Epidemiologi

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di
rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera
kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).

Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48 %-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28%
lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya dise babkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan
rekreasi.

Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta,
RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR,
15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50%
akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.

Klasifikasi

Mekanisme Cedera Kepala

Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala
tumpul biasa nya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan benda
tumpul.Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.Adanya penetrasi selaput
durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.

3
Beratnya Cedera

Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis
dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala

Catatan:Pada pasien cedera kranioserebral dengan SKG 13-15, pingsan <10 menit, tanpa
defisit neurologik, tetapi pada hasil skening otaknya terlihat perdarahan, diagnosisnya bukan
cedera kranioserebral ringan (CKR)/komosio, tetapi menjadi cedera kranioserebral sedang
(CKS)/kontusio.

Morfologi Cedera

Secara morfologi, kejadian cedera kepala dibagi menjadi:

1. Fraktur Kranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis atau
bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan
pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya.Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.

Tanda-tanda tersebut antara lain :

 Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)


 Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
 Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
 Parese nervus facialis ( N VII )

2. Lesi Intrakranial
3. Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria.Umumnya terjadi pada regon temporal
atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media.Manifestasi klinik berupa
gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam.Keadaan
ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral yang
diikuti oleh timbulnya gejala neurologi yang secara progresif berupa pupil anisokor,
hemiparese, papil edema dan gejala herniasi transcentorial.

Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi
dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebral dan
paresis nervus kranialis. Ciri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung.

1. Perdarahan Subdural

Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus duramater atau robeknya
araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut dan
kronik Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH
makin besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan
4
kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah
lisis menjadi cairan, disebut higroma(hidroma) subdural.

Komosio Serebri (Gegar Otak, Insiden : 80 %)

Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma kapitis
tanpa menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan otak. Benturan pada kepala menimbulkan
gelombang tekanan di dalam rongga tengkorak yang kemudian disalurkan ke arah lobang
foramen magnum ke arah bawah canalis spinalis dengan demikian batang otak teregang dan
menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem reversible terhadap sistem ARAS. Pada komosio
serebri secara fungsional batang otak lebih menderita daripada fungsi hemisfer. Keadaan ini
bisa juga terjadi oleh karena tauma tidak langsung yaitu jatuh terduduk sehingga energi linier
pada kolumna vertebralis diteruskan ke atas sehingga juga meregangkan batang otak. Akibat
daripada proses patologi di atas maka terjadi gangguan kesadaran (tidak sadar kurang dari 20
menit) bisa diikuti sedikit penurunan tekanan darah, pols dan suhu tubuh. Muntah dapat juga
terjadi bila pusat muntah dan keseimbangan di medula oblongata terangsang. Gejala : –
pening/nyeri kepala – tidak sadar/pingsan kurang dari 20 menit – amnesia retrograde :
hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama sebelum kejadian kecelakaan (beberapa jam
sampai beberapa hari). Hal ini menunjukkan keterlibatan/gangguan pusat-pusat di korteks
lobus temporalis. – Post trumatic amnesia : (anterograde amnesia) lupa peristiwa beberapa
saat sesudah trauma. Derajat keparahan trauma yang dialaminya mempunyai korelasi dengan
lamanya waktu daripada retrograde amnesia, post traumatic amnesia dan masa-masa
confusionnya. Amnesia ringan disebabkan oleh lesi di hipokampus, akan tetapi jika
amnesianya berat dan menetap maka lesi bisa meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah
diensefalon dan kemudian ke korteks singulate untuk bergabung dengan lesi diamigdale atau
proyeksinya ke arah garis tengah talamus dan dari situ ke korteks orbitofrontal. Amnesi
retrograde dan anterograde terjadi secara bersamaan pada sebagian besar pasien (pada
kontusio serebri 76 % dan komosio serebri 51 %).

1. Kontusio cerebri

Lesi kontusio adalah suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang
berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa adanya kerusakan duramater.

Lesi kontusio bisa terjadi tanpa adanya dampak yang berat, yang penting untuk terjadinya lesi
kontusio ialah adanya akselerasi kepala, yang seketika itu juga menimbulkan penggeseran
otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula
hiperekstensi kepala. Karena itu otak membentang batang otak terlampau kuat, sehingga
menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens retikularis difus.

Pada kontusio atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak tanpa
adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan
atau terputus. Pada trauma yang membentur dahi kontusio terjadi di daerah otak yang
mengalami benturan.Pada benturan di daerah parietal, temporalis dan oksipital selain di
tempat benturan dapat pula terjadi kontusio pada sisi yang bertentangan pada jalan garis
benturan.Lesi kedua ini disebut lesi kontra benturan (lesi kontusio “contrecoup”).
Perdarahan mungkin pula terjadi disepanjang garis gaya benturan ini, dan pada permukaan
bagian otak yang menggeser karena gerakan akibat bentur.

5
Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala.

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.Cedera primer
yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut
lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang
disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma.Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat
dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup)

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan
neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.

Penatalaksanaan

PASIEN DALAM KEADAAN SADAR (SKG=15)

1.Simple Head Injury (SHI)

Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan tidak ada
defi sit neurologik, dan tidak ada muntah. Tindakan hanya perawatan luka.Pemeriksaan
radiologik hanya atas indikasi. Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan
keluarga diminta mengobservasi kesadaran.Bila dicurigai kesadaran menurun saat
diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit dibangunkan, pasien harus segera
dibawa kembali ke rumah sakit. Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah
trauma kranioserebral, dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan
mengalami cedera kranioserebral ringan (CKR).

PASIEN DENGAN KESADARAN MENURUN

1. Cedera kranioserebral ringan (SKG=13-15)

Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan perintah, tanpa disertai
defi sit fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan luka, foto kepala, istirahat
baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis.
Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma
intrakranial,misalnya riwayatlucid interval, nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran
menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor, refleksi patologis positif ). Jika
dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.
6
Pasien cedera kranioserebral ringan (CKR) tidak perlu dirawat jika:

1. orientasi (waktu dan tempat) baik


2. tidak ada gejala fokal neurologik
3. tidak ada muntah atau sakit kepala
4. tidak ada fraktur tulang kepala
5. tempat tinggal dalam kota
6. ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila dicurigai ada perubahan
kesadaran, dibawa kembali ke RS

2. Cedera kranioserebral sedang (SKG=9-12)

Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner.

Urutan tindakan:

1. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan
sirkulasi(Circulation)
2. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil,tanda fokal serebral, dan cedera organ lain. Jika
dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas, lakukan fiksasi leher
dengan pemasangan kerah leher dan atau fi ksasi tulang ekstremitas bersangkutan
3. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya

CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial

1. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defi sit fokal serebral lainnya
2. Cedera kranioserebral berat (SKG=3-8)

Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur servikal,
segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan, dihentikan
dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera kranioserebral
sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU. Di samping kelainan serebral juga
bisa disertai kelainan sistemik.Pasien cedera kranioserebral berat sering berada dalam
keadaan hipoksi, hipotensi, dan hiperkapni akibat gangguan kardiopulmoner.

TINDAKAN DI UNIT GAWAT DARURAT & RUANG RAWAT

1. Resusitasi dengan tindakan A=Airway, B=Breathing dan C=Circulation


2. Jalan napas (Airway)

Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi.Jika
perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal.Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir

7
atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan melalui
pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.

1. Pernapasan (Breathing)

Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.

Kelainan sentral disebabkan oleh depresi per-napasan yang ditandai dengan pola pernapasan
Cheyne Stokes, hiperventilasi neuroge- nik sentral, atau ataksik.

Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau
infeksi.

Tata laksana:

 Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten


 Cari dan atasi faktor penyebab
 Kalau perlu pakai ventilato

1. Sirkulasi (Circulation)

Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak.Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90 mm
Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan
kecacatan.Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia
karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade
jantung/pneumotoraks, atau syok septik. Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber
perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan
cairan isotonik NaCl 0,9%.

2. Pemeriksaan fisik

Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi,
pola dan frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan
cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-
hari pertama.Bila terdapat perburukan salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera
diatasi.

3. Pemeriksaan radiologi

Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal, Collar yang telah terpasang
tidak dilepas.Foto ekstremitas, dada, dan abdomen dilakukan atas indikasi. CT scan otak
dikerjakan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematoma
intrakranial.

4. Pemeriksaan laboratorium

 Hb, leukosit, diferensiasi sel


8
Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat dipakai sebagai salah satu
indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio (CKR). Leukosit >17.000 merujuk
pada CT scan otak abnormal, sedangkan angka leukositosis >14.000 menunjukkan kontusio
meskipun secara klinis lama penurunan kesadaran <10 menit dan nilai SKG 13-15 adalah
acuan klinis yang mendukung ke arah komosio.Prediktor ini bila berdiri sendiri tidak kuat,
tetapi di daerah tanpa fasilitas CT scan otak, dapat dipakai sebagai salah satu acuan prediktor
yang sederhana.

 Gula darah sewaktu (GDS)

Hiperglikemia reaktif dapat merupakan faktor risiko bermakna untuk kematian

dengan OR 10,07 untuk GDS 201-220mg/dL dan OR 39,82 untuk GDS >220 mg/

dL.

 Ureum dan kreatinin

Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat hyperosmolar yang
pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal.Pada fungsi ginjal yang buruk, manitol tidak
boleh diberikan.

 Analisis gas darah

Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran menurun. pCO2

Tinggi dan pO2 rendah akan memberikan luaran yang kurang baik. pO2

dijaga tetap >90mm Hg, SaO2>95%, dan pCO230-35 mmHg.

 Elektrolit (Na, K, dan Cl)

Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran.

 Albumin serum (hari 1)

Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7-3,4g/dL) mempunyai risiko
kematian 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan kadar albumin normal.

 Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen

Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan hematologis.Risiko late hematomas perlu
diantisipai.Diagnosis kelainan hematologis ditegakkan bila trombosit <40.000/mm, kadar
ffibrinogen <40mg/mL, PT >16 detik, dan aPTT >50 detik.

5. Manajemen tekanan intracranial (TIK) meninggi

Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri dan/atau hematoma intrakranial.
Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor TIK.
9
TIK normal adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan cara:

1. Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada pada

satu bidang.

1. Terapi diuretik:

 Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan dalam 30
menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi 310 mOsm.
 Loop diuretic (furosemid)

Pemberiannya bersama manitol, karena mempunyai efek sinergis dan memperpanjang efek
osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.

6. Nutrisi

Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5 kali normal dan
akan mengakibatkan katabolisme protein. Pada pasien dengan kesadaran menurun, pipa
nasogastrik dipasang setelah terdengar bising usus.Mula-mula isi perut dihisap keluar untuk
mencegah regurgitasi sekaligus untukmelihat apakah ada perdarahan lambung.Bila
pemberian nutrisi peroral sudah baik dan cukup, infus dapat dilepas untuk mengurangi risiko
flebitis.

7. Neurorestorasi/rehabilitasi

Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan ekstremitas digerakkan pasif
untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik.Kondisi kognitif dan fungsi kortikal
luhur lainperlu diperiksa. Saat Skala Koma Glasgow sudah mencapai 15, dilakukan tes
orientasi amnesia Galveston (GOAT ). Bila GOAT sudah mencapai nilai 75, dilakukan
pemeriksaan penapisan untuk menilai kognitif dan domain fungsi luhur lainnya dengan Mini-
Mental State Examination (MMSE); akan diketahui domain yang terganggu dan dilanjutkan
dengan konsultasi ke klinik memori bagian neurologi.

Prognosis

Setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera
berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar: skor pasien
3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan
pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 –
10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan,
pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang
berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan
gejala depresi.

Komplikasi

10
Komplikasi yang terjadi pada pasien cedera kepala antara lain : cedera otak sekunder akibat
hipoksia dan hipotensi, edema serebral, peningkatan tekanan intra kranial, herniasi jaringan
otak, infeksi, hidrosefalus

11
Laporan Kasus

I. Identitas Pasien

Nama : Tn. A

Jenis kelamin : Pria

Umur : 18 tahun

Pekerjaan : Mahasiswa

Agama : Islam

Alamat : Koto Kociak

II. Anamnesis

Keluhan Utama : Post KLL 30 menit SMRS


Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang post kecelakaan lalu lintas ±30 menit sebelum masuk rumah sakit,
pasien mengendarai motor¸ awalnya hendak menghindari lubang kemudian menabrak motor
dari arah berlawanan dengan kecepatan cukup tinggi¸ pasien jatuh ke arah kiri dengan posisi
kepala sisi kiri dan dada kiri mengenai aspal jalanan. Pasien sempat tidak sadarkan diri di lokasi
kejadian kemudian sadar sendiri saat perjalanan ke rumah sakit, muntah (-) nyeri kepala (+),
nyeri saat menggerakkan leher (-) nyeri dada (+) sesak (-) pasien menggunakan helm saat
mengendarai motor.

Riwayat Pengobatan :

Tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu :

Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga :

12
III. Pemeriksaan Fisik

 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

 Kesadaran : Compos Mentis, E4 V5 E6

 Tanda Vital :

- Tekanan darah : 120/80 mmHg

- Nadi : 82 x/menit, kuat angkat, isi dan tegangan cukup, reguler

- Pernapasan : 20 x/menit, reguler

- suhu : 36,3 0C (aksial)

 Kepala dan wajah :

- Kepala : normocefali

 Status lokalis regio frontalis sinistra :

L : tampak hematom (+) edema (+)

F : nyeri tekan (+)

M : tidak terbatas

- Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, mata cekung -/-

- Telinga : hiperemis-/-, sekret -/-, serumen-/-

- Hidung : septum nasi di tengah, hiperemis -/-, secret-/-

- Mulut : palatum dan mukosa normal

- Bibir : basah

 Status lokalis :

L : hematom (+) Edema (+)

F : Nyeri tekan (+)

 Thoraks :

o Cor dan Pulmo


o Inspeksi : Simetris kanan dan kiri

13
o Palpasi : SF kanan = kiri

o Perkusi : sonor

o Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler, ronki -/- basal, wheezing -/-,

BJ I > II reguler, murmur (-) , gallop (-)

 Abdomen :

o Inspeksi : Rata

o Palpasi : soepel, nyeri tekan -

o Perkusi : timpani

o Auskultasi : Bising usus normal

 Ekstremitas : Edema Pretibial -/- inferior, sianosis -/-

Status Neurologis

Sikap Tubuh : Simetris

Gerakan Abnormal : –

Pemeriksaan Saraf Kranial

Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri


N. I. Olfaktorius Daya penghidu N N
Daya penglihatan N N
N. II. Optikus Pengenalan warna N N
Lapang pandang N N
Ptosis – –
Gerakan mata ke medial N N
Gerakan mata ke atas N N
Gerakan mata ke bawah N N
N. III. Okulomotor
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Refleks cahaya langsung + +
Refleks cahaya konsensual + +
Strabismus divergen – –
N. IV. Troklearis Gerakan mata ke lat-bwh – –
Strabismus konvergen – –
N. V. Trigeminus Menggigit – –
Membuka mulut – –
Sensibilitas muka – –
14
Refleks kornea N N
Trismus – –
Gerakan mata ke lateral N N
N. VI. Abdusen
Strabismus konvergen – –
Kedipan mata N N
Lipatan nasolabial Simetris Simetris
Sudut mulut Simetris Simetris
Mengerutkan dahi Simetris Simetris
N. VII. Fasialis
Menutup mata N N
Meringis N N
Menggembungkan pipi N N
Daya kecap lidah 2/3 ant + +
Mendengar suara bisik + +
Mendengar bunyi arloji + +
N. VIII.
Tes Rinne TDL TDL
Vestibulokoklearis
Tes Schwabach TDL TDL
Tes Weber TDL TDL
Arkus faring Simetris Simetris
Daya kecap lidah 1/3 post N
N. IX.
Refleks muntah N
Glosofaringeus
Sengau –
Tersedak –
Denyut nadi 80 x/menit
Arkus faring Simetris Simetris
N. X. Vagus
Bersuara N
Menelan N
Memalingkan kepala N N
Sikap bahu N N
N. XI. Aksesorius
Mengangkat bahu N N
Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi
Sikap lidah N
Artikulasi N
Tremor lidah –
N. XII. Hipoglossus
Menjulurkan lidah Simetris
Trofi otot lidah –
Fasikulasi lidah –

Pemeriksaan Motorik :

Kekuatan otot : 5555 5555

5555 5555

Pemeriksaan Sensibilitas:dalam batas normal

15
Pemeriksaan Fungsi Vegetatif:

 Miksi : BAK normal, inkontinentia urine (-), retensio urine (-), anuria (-)
 Defekasi : BAB normal, inkontinentia alvi (-), retensio alvi (-)

Pemeriksaan Rangsang Meningeal :

Kaku kuduk : (-)

Kernig sign : (-)

Brudzinsky I : (-)

Brudzinsky II : (-)

Brudzinsky III : (-)

Brudzinsky IV : (-)

IV. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

- Tidak ada
Pemeriksaan Radiologi

CT Scan : tidak ada kelainan

Foto thorax : tidak ada kelainan

A : trakea ditengah

B : paru radiolucent

C : jantung normal

D : tidak ada kelainan

E : tidak ada patahan tulang, gambaran tulang radio opaque

V. Diagnosis kerja

Cedera kepala ringan GCS 15

16
VI. PENATALAKSANAAN

Rawat Observasi

Head up 30 derajat

O2 2 LPM

IFVD NaCl 20 LPM

Piracetam 2x1200mg in IV

Ranitidin 1x1 Amp Inj Iv

PCT inf 3x500 k/p

TERAPI PULANG :

Paracetamol 3X500 mg

Cefixime 2x100 mg

VII. PROGNOSIS

AD VITAM : DUBIA AD BONAM

AD FUNGSIONAM : DUBIA AD BONAM

AD SANATIONAM : DUBIA AD BONAM

DAFTAR PUSTAKA

17
1. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala.
Dalam :Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia.
Komisitrauma IKABI, 2004.
2. American college of Surgeons, 1997. Advance Trauma Life Suport . United States of
America: Firs Impression
3. Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta Kedokteran
edisi Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000
4. Chusid JG., Neuroanatomi Korelatif & Neurologi Fungsional, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1990
5. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2005
6. Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta, 2004
7. http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t28211.pdf
8. http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_193Penatalaksanaan%20Kedaruratan.pdf
9. Japardi iskandar. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif .
SumatraUtara: USU Press.
10. Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2000
11. PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3
November2007. Pekanbaru
12. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma.
Dalam :Neurosurgery 2ndedition. New York: McGraw Hill, 1996.
13. Wahjoepramono, Eka. (2005). Cedera Kepala. Lippokarawaci: Universitas Pelita
Harapan

18

Anda mungkin juga menyukai