Oleh :
Pendamping :
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan UKP (Unit Kesehatan Perorangan) ini dengan judul
“Cedera Kepala Ringan”.
Laporan UKP ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti program Internship
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada dr.
Yosi Susandri selaku pendamping yang telah memberikan masukan dan bimbingan serta
semua pihak yang telah membantu menyelesaikan laporan UKP ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kami mengharapkan saran dan kritik untuk menyempurnakan laporan ini. Semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
2
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di
rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera
kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48 %-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28%
lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya dise babkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan
rekreasi.
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta,
RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR,
15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50%
akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.
Klasifikasi
Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala
tumpul biasa nya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan benda
tumpul.Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.Adanya penetrasi selaput
durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
3
Beratnya Cedera
Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis
dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala
Catatan:Pada pasien cedera kranioserebral dengan SKG 13-15, pingsan <10 menit, tanpa
defisit neurologik, tetapi pada hasil skening otaknya terlihat perdarahan, diagnosisnya bukan
cedera kranioserebral ringan (CKR)/komosio, tetapi menjadi cedera kranioserebral sedang
(CKS)/kontusio.
Morfologi Cedera
1. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis atau
bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan
pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya.Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
2. Lesi Intrakranial
3. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria.Umumnya terjadi pada regon temporal
atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media.Manifestasi klinik berupa
gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam.Keadaan
ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral yang
diikuti oleh timbulnya gejala neurologi yang secara progresif berupa pupil anisokor,
hemiparese, papil edema dan gejala herniasi transcentorial.
Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi
dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebral dan
paresis nervus kranialis. Ciri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung.
1. Perdarahan Subdural
Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus duramater atau robeknya
araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut dan
kronik Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH
makin besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan
4
kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah
lisis menjadi cairan, disebut higroma(hidroma) subdural.
Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma kapitis
tanpa menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan otak. Benturan pada kepala menimbulkan
gelombang tekanan di dalam rongga tengkorak yang kemudian disalurkan ke arah lobang
foramen magnum ke arah bawah canalis spinalis dengan demikian batang otak teregang dan
menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem reversible terhadap sistem ARAS. Pada komosio
serebri secara fungsional batang otak lebih menderita daripada fungsi hemisfer. Keadaan ini
bisa juga terjadi oleh karena tauma tidak langsung yaitu jatuh terduduk sehingga energi linier
pada kolumna vertebralis diteruskan ke atas sehingga juga meregangkan batang otak. Akibat
daripada proses patologi di atas maka terjadi gangguan kesadaran (tidak sadar kurang dari 20
menit) bisa diikuti sedikit penurunan tekanan darah, pols dan suhu tubuh. Muntah dapat juga
terjadi bila pusat muntah dan keseimbangan di medula oblongata terangsang. Gejala : –
pening/nyeri kepala – tidak sadar/pingsan kurang dari 20 menit – amnesia retrograde :
hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama sebelum kejadian kecelakaan (beberapa jam
sampai beberapa hari). Hal ini menunjukkan keterlibatan/gangguan pusat-pusat di korteks
lobus temporalis. – Post trumatic amnesia : (anterograde amnesia) lupa peristiwa beberapa
saat sesudah trauma. Derajat keparahan trauma yang dialaminya mempunyai korelasi dengan
lamanya waktu daripada retrograde amnesia, post traumatic amnesia dan masa-masa
confusionnya. Amnesia ringan disebabkan oleh lesi di hipokampus, akan tetapi jika
amnesianya berat dan menetap maka lesi bisa meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah
diensefalon dan kemudian ke korteks singulate untuk bergabung dengan lesi diamigdale atau
proyeksinya ke arah garis tengah talamus dan dari situ ke korteks orbitofrontal. Amnesi
retrograde dan anterograde terjadi secara bersamaan pada sebagian besar pasien (pada
kontusio serebri 76 % dan komosio serebri 51 %).
1. Kontusio cerebri
Lesi kontusio adalah suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang
berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa adanya kerusakan duramater.
Lesi kontusio bisa terjadi tanpa adanya dampak yang berat, yang penting untuk terjadinya lesi
kontusio ialah adanya akselerasi kepala, yang seketika itu juga menimbulkan penggeseran
otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula
hiperekstensi kepala. Karena itu otak membentang batang otak terlampau kuat, sehingga
menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens retikularis difus.
Pada kontusio atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak tanpa
adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan
atau terputus. Pada trauma yang membentur dahi kontusio terjadi di daerah otak yang
mengalami benturan.Pada benturan di daerah parietal, temporalis dan oksipital selain di
tempat benturan dapat pula terjadi kontusio pada sisi yang bertentangan pada jalan garis
benturan.Lesi kedua ini disebut lesi kontra benturan (lesi kontusio “contrecoup”).
Perdarahan mungkin pula terjadi disepanjang garis gaya benturan ini, dan pada permukaan
bagian otak yang menggeser karena gerakan akibat bentur.
5
Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.Cedera primer
yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut
lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang
disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma.Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat
dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan
neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.
Penatalaksanaan
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan tidak ada
defi sit neurologik, dan tidak ada muntah. Tindakan hanya perawatan luka.Pemeriksaan
radiologik hanya atas indikasi. Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan
keluarga diminta mengobservasi kesadaran.Bila dicurigai kesadaran menurun saat
diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit dibangunkan, pasien harus segera
dibawa kembali ke rumah sakit. Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah
trauma kranioserebral, dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan
mengalami cedera kranioserebral ringan (CKR).
Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan perintah, tanpa disertai
defi sit fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan luka, foto kepala, istirahat
baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis.
Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma
intrakranial,misalnya riwayatlucid interval, nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran
menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor, refleksi patologis positif ). Jika
dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.
6
Pasien cedera kranioserebral ringan (CKR) tidak perlu dirawat jika:
Urutan tindakan:
1. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan
sirkulasi(Circulation)
2. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil,tanda fokal serebral, dan cedera organ lain. Jika
dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas, lakukan fiksasi leher
dengan pemasangan kerah leher dan atau fi ksasi tulang ekstremitas bersangkutan
3. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
1. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defi sit fokal serebral lainnya
2. Cedera kranioserebral berat (SKG=3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur servikal,
segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan, dihentikan
dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera kranioserebral
sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU. Di samping kelainan serebral juga
bisa disertai kelainan sistemik.Pasien cedera kranioserebral berat sering berada dalam
keadaan hipoksi, hipotensi, dan hiperkapni akibat gangguan kardiopulmoner.
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi.Jika
perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal.Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir
7
atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan melalui
pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.
1. Pernapasan (Breathing)
Kelainan sentral disebabkan oleh depresi per-napasan yang ditandai dengan pola pernapasan
Cheyne Stokes, hiperventilasi neuroge- nik sentral, atau ataksik.
Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau
infeksi.
Tata laksana:
1. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak.Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90 mm
Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan
kecacatan.Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia
karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade
jantung/pneumotoraks, atau syok septik. Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber
perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan
cairan isotonik NaCl 0,9%.
2. Pemeriksaan fisik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi,
pola dan frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan
cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-
hari pertama.Bila terdapat perburukan salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera
diatasi.
3. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal, Collar yang telah terpasang
tidak dilepas.Foto ekstremitas, dada, dan abdomen dilakukan atas indikasi. CT scan otak
dikerjakan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematoma
intrakranial.
4. Pemeriksaan laboratorium
dengan OR 10,07 untuk GDS 201-220mg/dL dan OR 39,82 untuk GDS >220 mg/
dL.
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat hyperosmolar yang
pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal.Pada fungsi ginjal yang buruk, manitol tidak
boleh diberikan.
Tinggi dan pO2 rendah akan memberikan luaran yang kurang baik. pO2
Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7-3,4g/dL) mempunyai risiko
kematian 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan kadar albumin normal.
Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan hematologis.Risiko late hematomas perlu
diantisipai.Diagnosis kelainan hematologis ditegakkan bila trombosit <40.000/mm, kadar
ffibrinogen <40mg/mL, PT >16 detik, dan aPTT >50 detik.
Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri dan/atau hematoma intrakranial.
Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor TIK.
9
TIK normal adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan cara:
1. Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada pada
satu bidang.
1. Terapi diuretik:
Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan dalam 30
menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi 310 mOsm.
Loop diuretic (furosemid)
Pemberiannya bersama manitol, karena mempunyai efek sinergis dan memperpanjang efek
osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.
6. Nutrisi
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5 kali normal dan
akan mengakibatkan katabolisme protein. Pada pasien dengan kesadaran menurun, pipa
nasogastrik dipasang setelah terdengar bising usus.Mula-mula isi perut dihisap keluar untuk
mencegah regurgitasi sekaligus untukmelihat apakah ada perdarahan lambung.Bila
pemberian nutrisi peroral sudah baik dan cukup, infus dapat dilepas untuk mengurangi risiko
flebitis.
7. Neurorestorasi/rehabilitasi
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan ekstremitas digerakkan pasif
untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik.Kondisi kognitif dan fungsi kortikal
luhur lainperlu diperiksa. Saat Skala Koma Glasgow sudah mencapai 15, dilakukan tes
orientasi amnesia Galveston (GOAT ). Bila GOAT sudah mencapai nilai 75, dilakukan
pemeriksaan penapisan untuk menilai kognitif dan domain fungsi luhur lainnya dengan Mini-
Mental State Examination (MMSE); akan diketahui domain yang terganggu dan dilanjutkan
dengan konsultasi ke klinik memori bagian neurologi.
Prognosis
Setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera
berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar: skor pasien
3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan
pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 –
10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan,
pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang
berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan
gejala depresi.
Komplikasi
10
Komplikasi yang terjadi pada pasien cedera kepala antara lain : cedera otak sekunder akibat
hipoksia dan hipotensi, edema serebral, peningkatan tekanan intra kranial, herniasi jaringan
otak, infeksi, hidrosefalus
11
Laporan Kasus
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 18 tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Islam
II. Anamnesis
Pasien datang post kecelakaan lalu lintas ±30 menit sebelum masuk rumah sakit,
pasien mengendarai motor¸ awalnya hendak menghindari lubang kemudian menabrak motor
dari arah berlawanan dengan kecepatan cukup tinggi¸ pasien jatuh ke arah kiri dengan posisi
kepala sisi kiri dan dada kiri mengenai aspal jalanan. Pasien sempat tidak sadarkan diri di lokasi
kejadian kemudian sadar sendiri saat perjalanan ke rumah sakit, muntah (-) nyeri kepala (+),
nyeri saat menggerakkan leher (-) nyeri dada (+) sesak (-) pasien menggunakan helm saat
mengendarai motor.
Riwayat Pengobatan :
Tidak ada
Tidak ada
12
III. Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital :
- Kepala : normocefali
M : tidak terbatas
- Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, mata cekung -/-
- Bibir : basah
Status lokalis :
Thoraks :
13
o Palpasi : SF kanan = kiri
o Perkusi : sonor
Abdomen :
o Inspeksi : Rata
o Perkusi : timpani
Status Neurologis
Gerakan Abnormal : –
Pemeriksaan Motorik :
5555 5555
15
Pemeriksaan Fungsi Vegetatif:
Miksi : BAK normal, inkontinentia urine (-), retensio urine (-), anuria (-)
Defekasi : BAB normal, inkontinentia alvi (-), retensio alvi (-)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Brudzinsky IV : (-)
Pemeriksaan Laboratorium
- Tidak ada
Pemeriksaan Radiologi
A : trakea ditengah
B : paru radiolucent
C : jantung normal
V. Diagnosis kerja
16
VI. PENATALAKSANAAN
Rawat Observasi
Head up 30 derajat
O2 2 LPM
Piracetam 2x1200mg in IV
TERAPI PULANG :
Paracetamol 3X500 mg
Cefixime 2x100 mg
VII. PROGNOSIS
DAFTAR PUSTAKA
17
1. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala.
Dalam :Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia.
Komisitrauma IKABI, 2004.
2. American college of Surgeons, 1997. Advance Trauma Life Suport . United States of
America: Firs Impression
3. Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta Kedokteran
edisi Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000
4. Chusid JG., Neuroanatomi Korelatif & Neurologi Fungsional, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1990
5. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2005
6. Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta, 2004
7. http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t28211.pdf
8. http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_193Penatalaksanaan%20Kedaruratan.pdf
9. Japardi iskandar. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif .
SumatraUtara: USU Press.
10. Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2000
11. PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3
November2007. Pekanbaru
12. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma.
Dalam :Neurosurgery 2ndedition. New York: McGraw Hill, 1996.
13. Wahjoepramono, Eka. (2005). Cedera Kepala. Lippokarawaci: Universitas Pelita
Harapan
18