Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

PADA PASIEN DENGAN CEDERA OTAK BERAT ( COB )

Disusun oleh

Fitri Kumala Dewi 20214663032

PROGRAM STUDI S1 KEPERWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syujur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya kami dapat
menyelesaikan tugas Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Pasien Dengan Cedera Otak
Berat ini dalam rangka melengkapi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat. Pada
makalah ini kami akan membahas materi mengenai bagaimana Asuhan Keperawatan Gawat
Darurat pada Pasien Dengan Cedera Otak Berat yang kami susun dari berbagai sumber dan kami
rangkum pada laporan ini.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihan yang telah membantu baik berupa
ide-ide maupun yang terlibat langsung dalam pembuatan makalah ini. Kami juga berharap
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua untuk dijadikan penunjang dalam mata kuliah
Keperawatan Gawat Darurat.

Demikianlah yang dapat kami sampaikan, apabila ada kesalahan atau kekurangan kami mohon
maaf. Kritik dan saran sangat terbuka supaya laporan ini dapat diperbaiki dan menjadi lebih baik
lagi untuk berikutnya
BAB I

PENDAHULUAN

Cedera otak berat adalah keadaan dimana kepala mengalami trauma, bisa dari benda
tumpul, benda tajam, peluru, dan kecelakaan. Akibat dari cedera ini, ketika otak mengalami
trauma maka akan menimbulkan kerusakan jaringan, fraktur, bahkan perdarahan di otak.
Sehingga mengganggu aliran darah di otak yang mengakibatkan terganggunya sirkulasi oksigen
ke otak.

Menurut Riskesdas (2018) prevalensi cedera secara nasional adalah 11,9 persen dengan
prevalensi tertinggi ditemukan di Gorontalo sebanyak 17,9% dan terendah berada di Kalimantan
Selatan sebanyak 8,6%. Sedangkan di Provinsi Jawa Timur sendiri prevelensi cedera pada kepala
terjadi sebanyak 10,2%. Untuk penyebab cedera kepala di Indonesia sendiri terbanyak yaitu
kecelakaan saat mengendarai sepeda motor sebanyak 72,7% mayoritas terjadi pada laki-laki usia
25-34 tahun pada masyarakat perkotaan. Untuk pasien yang mengalami gangguan pernafasan
dengan masalah keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif terjadi sebanyak 25% pasien (Lee
dan Rincon, 2012).

Saat terjadi trauma atau seseorang jatuh dengan posisi telentang otomatis bagian
belakang kepala atau bagian atas leher akan terkena benturan dimana bagian otak yang terkena
adalah medulla. Dibagian medulla terdapat nuclei dimana mengontrol bagian vital tubuh seperti
cardiovaskuler center dan medulla respiratory center. Jika bagian ini mengalami trauma otomatis
akan mengganggu kontrol perpanasan. Terganggunya aliran oksigen ini mengakibatkan otak
rentan mengalami hipoksia dan bisa mengalami penurunan fungsi neurologi (Brunner and
Suddarth, 2004).

Menurut Brunner dan Suddart cidera otak berat menyebabkan obstruksi jalan napas yang
diakibatkan oleh retensi CO2 dalam paru paru dan hipoventilasi sehingga pembuluh darah
cerebral mengalami dilatasi dan kenaikan tekanan intrakranial. Oleh karena itu salah satu
diagnosa keperawatan yang muncul adalah bersihan jalan napas tidak efektif, yaitu
ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan nafas untuk mempertahankan jalan
nafas tetap paten.
Untuk itu dalam menangani masalah tersebut penulis mengatasinya dengan melakukan
intervensi posisi prone, yaitu pasien diposisikan tidur dalam posisi telungkup, berabring dengan
wajah menghadap ke bantal. Posisi pronasi dapat meningkatkan SAO2 ( Oxygen Arterial Blood)
dan PAO2 (Pressure of Arterial Oxygen) dengan kegagalan respiratory akut dibawah ventilasi
mekanik sehingga memilik efek positif pada oksigenasi (Jahani, Simin, dkk, 2018).
Dalam penelitian Michael Siev, dkk pada tahun 2015 juga menerangkan efek posisi prone
pada pasien dengan kategori obesitas dimana hasilnya adalah posisi prone aman dilakukan untuk
pasien obesitas. Selain itu prone posisi juga efektif untuk mengurangi distensi abdomen pada
penelitian yang dilakukan oleh Fatemah Pourazar, dkk tahun 2018 pada bayi prematur yang
menerima bantuan ventilasi.

Kim, W.Y, dkk 2019 mengatakan bahwa posisi prone bisa diaplikasikan sebagai terapi
garis pertama untuk pasien yang mengalami hipoksia parah. Posisi prone juga berpengaruh
terhadap hemodinamic, selama prone posisi dilakukan terdapat kenaikan tekanan arteri pulmonar
dan pasien dengan ventilasi jika diposisikan prone akan meningkatkan PAO2 23% - 34% (Setten,
Mariano, dkk, 2016)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala ( Suriadi, 2001 ).
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian, terutama pada
dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian disebabkan karena trauma,
dan setengah dari total kematian akibat trauma berhubungan dengan otak. Kasus cedera
kepala terjadi setiap 7 detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit.
Cedera kepala dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi
adalah pada dewasa muda berusia 15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga
4 kali lebih sering dibandingkan wanita
(Rowland et al, 2010).
Cedera kepala merupakan adanya pukulan/benturan mendadak pada kepala dengan atau
tanpa kehilangan kesadaran. Traumatik yang terjadi pada otak yang mampu
menghasilkan perubahan pada phisik, intelektual, emosional, sosial, dan vocational
( Susan Martin, 1999 ).
Trauma atau cedera kepala ( brain injury ) adalah salah satu bentuk trauma yang dapat
mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik, intelektual,
emosiaonal, sosial dan pekerja atau dapat dikatakan sebagai bagian dari gangguan
traumatik yang dapat menimbulkan perubahan-perubahan fungsi otak
( Black, 2005 ).
2.2. Patofisiologi
Cedera kepala didasarkan pada proses patofisiologi dibagi menjadi dua yang didasarkan pada
asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti
proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan itu,
dikelompokkan cedera kepala menjadi dua (Youmans, 2011) :
2.2.1. Cedera otak fokal
Cedera otak fokal secara tipikal menimbulkan kontusio serebri dan traumatik
Intrakranial hematoma (Winn, 2017).
1. Kontusio Serebri (memar otak)
Kontusio serebri merupakan cedera fokal berupa perdarahan dan bengkak pada
subpial, merupakan cedera yang paling sering terjadi.
Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul
maupun cedera akibat akselerasi dan deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan
parenkim otak dan perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak. Pada
kontusio serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan
jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus.
Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang menjadi perdarahan serebral.
Namun pada cedera berat, kontusio serebri sering disertai dengan perdarahan subdural,
perdaraham epidural, perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid
(Hardman, 2002).
2. Traumatik Intrakranial Hematom
Intrakranial hematom tampak sebagai suatu massa yang merupakan target terapi yang
potensial dari intervensi bedah (sebagai lawan paling memar). Lebih sering terjadi pada
pasien dengan tengkorak fraktur. Tiga jenis utama dari hematoma intrakranial
dibedakan oleh lokasi relatif terhadap meninges: epidural, subdural, dan intracerebral.
3. Epidural Hematoma (EDH).
EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna
tulang tengkorak dan duramater. EDH dapat menimbulkan penurunan kesadaran,
adanya lusid interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neurologis
berupa hemiparesis kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain yang
ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.
● Subdural Hematoma (SDH). Perdarahan subdural adalah perdarahan antara
duramater dan arachnoid, yang biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi
atas 3 bagian yaitu: 18 a. Perdarahan subdural akut SDH akut adalah
terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (0-2 hari). Perdarahan
ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.
● Perdarahan subdural subakut Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 2-
14 hari setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak
berat. Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat
kesadaran.
● Perdarahan subdural kronis Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan
kecil memasuki ruang subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di
sekitar membran vaskuler dan secara pelanpelan ia meluas, bisanya terjadi
lebih dari 14 hari. Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau
beberapa bulan. Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan
motorik.

4. Cedera Otak Difus


Cedera otak difus merupakan efek yang paling sering dari cedera kepala dan
merupakan kelanjutan klinis cedera kepala, mulai dari gegar otak ringan sampai koma
menetap pasca cedera (Sadewa, 2011). Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena
gaya akselerasi dan deselerasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya
parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Vasospasme luas
pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan subarahnoid traumatika yang
menyebabkan terhentinya sirkulasi di parenkim otak dengan manifestasi iskemia yang
luas, edema otak disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi
sebagai cedera kepala difus.
2.3. Etiologi

2.3.1. Trauma oleh benda tajam


Menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal
meliputi Kontusio serebri, hematom serebri kerusakan otak sekunder yang di
sebabkan perluas masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
2.3.2. Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh ( difusi )
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple
pada otak koma terjadi karena cedera menyebaran pada hemisfer cerebral, batang
otak atau kedua-duanya.
Etilogi lainnya :
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil
2. Kecelakaan pada saat olahraga, anak dengan ketergantungan
3. Cedera akibat kekerasan

2.4. Klasifikasi
2.4.1. Menurut jenis cedera
- Cedera kepala terbuka

Dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan otak

- Cedera kepala tertutup


Disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan oedem serebal yang luas
2.4.2. Menurut berat ringannya berdasarkan GCS ( Glasgow Coma Scale )

Eye Opening (E)


Spontaneous 4
Open to voice 3
Open to pain 2
None 1
Best Motor Response (M)
Follow commands 6
Localizing to painful stimuli 5
Flexion-withdraw to painful stimuli 4
Flexor / Decorticate posturing to painful stimuli 3
Extensor / Decerebrate posturing to painful stimuli 2
None 1
Best Verbal Response
Oriented conversation 5
Confused / disoriented conversation 4
Inappropriate words 3

- Cedera kepala ringan ( kelompok resiko rendah ) :


● GCS 13-15 ( sadar penuh, atenif, orientatif )
● Kehilangan kesadaran/amnesia tetapi kurang 30 menit
● Tak ada fraktur tengkorak
● Tak ada contusio serebral ( hematom )
● Tak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
● Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
● Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
● Tidak adanya kriteria sedang-berat

- Cedera kepala ringan :


● GCS 9-14 ( konfusi, letargi, atau stupor )
● Kehilangan kesadaran lebih dari 30 menit/kurang dari 24 jam
( konkusi )
● Dapat mengalami fraktur tengkorak
● Amnesia pasca trauma
● Muntah
● Kejang
- Cedera kepala berat :
● GCS 3-8 ( koma )
● Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam ( penurunan kesadaran progresif )
● Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial
● Tanda neutologis fokal
● Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium

Skala penilaian prognosis Glasglow terdiri atas lima kategori: (Jennet, 2014)
1. Pemulihan baik (good recovery=GR) diberi nilai 5. Pasien dapat berpartisipasi pada
kehidupan sosial, kembali bekerja seperti biasa. Pemeriksaan ini dapat disertai
komplikasi neurologis ringan, seperti defisit minor saraf kranial dan kelemahan
ekstremitas atau sedikit gangguan pada uji kognitif atau perubahan personal.
2. Ketidakmampuan sedang (Moderate disability=MD, independent but disabled) diberi
nilai 4. Kondisi pasien jelas berbeda sebelum cedera dan mampu menggunakan
transportasi umum, tetapi tidak dapat bekerja seperti biasa. Pasien defisit memori,
perubahan personal, hemiparesis, disfasia, ataksia, epilepsi pasca traumatika, atau defisit
mayor saraf kranial. Derajat ketergantungan pasien pada orang lain lebih baik
dibandingkan dengan lansia dan kemampuan kebutuhan personal sehari-hari dapat
dikerjakan tetapi, mobilitas dan kapasitas berinteraksi tidak dapat dilakukan tanpa asisten.
3. Ketidakmampuan berat (Severe disability=SD, conscious but dependent) diberi nilai 3.
Pasien mutlak bergantung pada orang lain setiap saat (memakai baju, makan, dan lain-
lain), paralisis spastik, disfasia, disatria, defisit fisik dan mental yang mutlak memerlukan
supervisi perawat ataupun keluarga. 48

4. Persistent Vegetative State=PVS diberi nilai 4. Pasien hanya mampu menuruti perintah
ringan saja atau bicara sesaat. Pada perawatan sering ditemukan grasping reflek,
withdrawal sebagai pencerminan menuruti perintah, mengerang, menangis, kadang
mampu mengatakan tidak sebagai bukti proses kembali berbicara.
5. Meninggal dunia (death) diberi nilai 1. Pada tahun 1981 Jennet menelaah dan
memodifikasi ulang skala GOS karena masalah sensitivitas statistik dan penggunaan yang
lebih praktis pada uji klinis obat neuroproteksi, yaitu distribusi bimodal (dikotomisasi)
antara hidup (GR, MD, SD) dan mati (PVS, Death) dan penilaian ekstensi (GOS
Extended).

2.5. Manifestasi Klinis


Adapun menifestasi klinis dari cedera kepala adlah sebagai berikut :
● Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
● Kebingungan
● Iritabel
● Pucat
● Mual dan muntah
● Ada hematoma ( Pembesaran Kepala )
● Kecemasan
● Peningkatan tekana darah, penurunan frekuensi nadi dan peningkatan pernafasan
2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera
otak sekunder. Cedara otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotensi
atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak. (Tunner, 2000) pengatasan nyeri
yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera kepala
(Tunner, 2000) Penatalaksanaan umum adalah:
1. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
2. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
3. Berikan oksigenasi
4. Awasi tekanan darah
5. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neutogenik
6. Atasi shock
7. Awasi kemungkinan munculnya kejang
Penatalaksanaan
Penanganan cedera kepala : ( Satyanegara, 2010 )
● Stabilisasi kardiopulmonar mencakup prinsip-prinsip ABC (Airway-Breating-
Circulation), keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia akan cenderung
memperhebat peningkatan TIK dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk.
● Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan intubasi pada kesempatan
pertama
● Pemeriksaan umum untuk mendektesi berbagai macam cedera atau gangguan-
gangguan dibagian tubuh lainnya
● Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata, motorik, verbal, pemeriksaan
pupil, refklek okulosefalik dan reflek okuloves tubuler. Penilaian neurologis
kurang bermanfaat bilang tekanan darah penderita rendah (Syock)
● Pemberian pengobatan seperti : antiedemaserebri, anti kejang, dan natrium
bikarbonat

Penurut penelitian : Cedera Otak Traumatis: Strategi Perawatan Saat Ini dan Upaya
Masa Depan

● Terapi Hyperosmolar
Terapi hyperosmolar dalam pengaturan TBI dapat diberikan dalam bentuk bolus
atau infus. Telah ditunjukkan bahwa efek langsung manitol sebenarnya
disebabkan oleh perubahan reologi darah. Ketika reologi darah meningkat dan
darah menjadi kurang kental, terjadi peningkatan CBF. 21 Autoregulasi tubuh

● Ketinggian Kepala
Mengangkat kepala orang yang cedera otak traumatis umumya memiliki efek
cepat. ICP dikurangi dengan perpindahan CSF dari kompartemen intrakranial
serta promosi aliran keluar vena. Meskipun tekanan karotid rata-rata berkurang
selama peningkatan kepala di tempat tidur, ICP berkurang dan aliran darah otak
(CBF) tidak berpengaruh

● Hiperventilasi
Hiperventilasi menurunkan ICP dengan mengurangi tekanan parsial
karbondioksida intra arterial (PaCO2), yang kemudian menghasilkan
vasokontriksi. Pola peristiwa ini pada akhirnya meghasilkan pengurangan volume
darah otak. Hiperventiasi profilaksis umumnya tidak dianjurkan,karena
vasokontriksi menurunkan CBF. Di area autoregulasi yang diawetkan, area fokus
iskemia dapat terjadi.
Penggunaan hiperventilasi dalam pengaturan TBI parah biasanya hanya
digunakan untuk periode singkat selama kerusakan neurologis akut.

● Profilaksis Kejang
Pedoman TBI saat ini menyatakan bahwa 1 minggu antiepilepsi profilaksis dapat
diterima untuk membantu mencegah kejang dini. Namun, belum ada manfaat
yang terbukti dalam pencegahan kejang jangka panjang setelah TBI, dan
karenanya, antiepilepsi umumnya dihentikan setelah 7 hari.

● Keadaan koma yang diindukasi secara medis


Salah satu langkah terakhir dari manajemen maksimal adalah menempatkan
pasien dalam keadaan koma yang diinduksi secara medis biasanya dengan infus
benzodiazepine seperi midazolam atau infus barbiturat seperti pentobarbital. Obat-
obat ini ditiltrasi untuk meletus penindasan pada electroencephalogram terus
menerus. Mereka bekerja dengan secara signifikan mengurangi permintaan
metabolisme di otak. Penggunaan profilaksis barbiturat untuk penindasan burst
saat ini tidak dianjurkan. Namun, direkomendasikan untuk hipertensi intrakranial
refrakter berat setelah terapi penurun ICP medis dan bedah maksimal telah habis.
Seringkali,keadaan koma yang diindukasi secara medis digunakan setelah suatu
bentuk pemantauan tekanan intrakranial invasif telah dilakukan. Obat-obatan
seperti midazolam dan pentobarbital berpotensi menimbulkan risiko perubahan
tekanan darah pada pasien.

● Pemantauan ICP Indikasi tertentu telah diajukan sebagai pedoman dalam hal
pemantauan ICP pada pasien yang mengalami cedera otak. Beberapa pasien
secara klinis hadir dengan tanda-tanda kompromi neurologis yang signifikan
tetapi tanpa indikasi yang jelas untuk intervensi bedah yang muncul. Bukti Level
II ada untuk menempatkan monitor ICP pada pasien dengan TBI parah, GCS
antara 3 dan 8, dan CT scan kepala abnormal. Bukti Level III juga menunjukkan
menempatkan monitor ICP pada pasien dengan TBI parah dan CT scan kepala
normal, jika 2 atau lebih hal berikut dicatat pada saat masuk: usia di atas 40 tahun,
postur unilateral atau bilateral, atau tekanan darah sistolik

2.7. Pemeriksaan penunjang


a. CT scan dengan atau tanpa kontras ) : Indikasi muntah-muntah, penurunan GCS

lebih dari 1 point, adanya laterasi dan bradikardi (nadi<60x/menit), fraktur impresi

dengan lateralisasi tidak sesuai, tidak ada perubahan selama 3 hari perawatan dan

luka tembus benda tajam/peluru.

● Cerebral angiography : menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :


perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, pedarahan dan trauma.
● Serial EEG : dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
● X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
● BAER : mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
● PET : mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
● CSF , lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
● ABGs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan ( oksigenisasi )
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
● Kadar elektrolit : untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
● Screen toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran

ASUHAN KEPERAWATAN

2.8. PENGKAJIAN
2.8.1. Pengkajian primer
1. Airway dan cervical control
Hal pertama yang di nilai adalah kelancaran airway. Meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah,
fraktur mandibula atau maksila, fraktur larinks atau trakea. Dalam hal ini dapat
dilakukan “chin lift “ atau “ jaw thrust “. Selama memeriksa dan memperbaiki
jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau
rotasi dari leher.
2. Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang
terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan
karbo dioksida daritubuh. Ventilasi yang baik meliputi : fungsi yang baik dari
paru, dinding dada, dan diagfragma.
3. Circulation dan hemorrhage control
● Volume darah dan curah jantung
Kaji perdarahn klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan
oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan detik dapat
memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik yaitu kesadaran,
warna kulit, dan nadi.
● Kontrol perdarahan
4. Disability
Penilian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran, dan reaksi pupil
5. Exposure dan environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.

2.8.2. Pengakajian sekunder


1. Identitas :
Nama :
Usia:
Jenis kelamin :
Alamat :
Kebangsaan/suku :
Berat badan :
Tinggi badan :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Status perkawinan :
Agama :
2. Riwayat kesehatan waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian status
kesadaran saat kejadian pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.

3. Pengkajian per system


a. Sistem neurology
▪ Kaji tanda neurologic pasien dengan GCS
▪ Kaji tanda dan gejala kenaikan tekanan intracranial
▪ Monitor kejang
b. System integumen
▪ Kaji integritas kulit dan karakter dari kulit
▪ Kaji membrane mukosa mulut
c. System musculoskeletal
▪ Kaji ROM dari jaringan dan perkembangannya
d. System gastrointestinal
▪ Kaji distensi abdomen
▪ Monitor penurunan hemoglobin
▪ Bisa terjadi konstipasi karena bed rest dan pemberian opioid untuk
mengontrol nyeri
e. Urinary system
▪ Inkontinensia urin bisa terjadi kerena ketidaksadaran pasien
▪ Penggunaan diuretic bisa mengubah jumlah output urine
f. Metabolik system
▪ Pasien akan menerima semua cairan secara IV sampai GI tract kembali
berfungsi
▪ Nutrisi diberikan secara parenteral dimulai dari 24-48 jam setelah
pasien masuk ruang ICU. Pemberian sedini mungkin terhadap nutrisi
dapat membantu mengurangi kejadian malnutrisi pasien
g. Respiratory system
▪ Auskultasi dada untuk mendengarkan suara napas
▪ Catat pernapasan pasien
▪ Atasi obstruksi jalan napas sehingga oksigen bisa masuk ke otak
▪ Monitor level gas darah
▪ Lengkapi penghitungan darah
▪ Monitor x-ray dada
▪ Monitor kultur sputum
▪ Monitor saturasi oksigen pasien
h. Kardiovaskuler system
▪ Pasien akan mengalami takikardi, disritmia atau bradikardi
▪ Pasien akan mengalami hipertensi atau hipotensi
▪ Karena kondisi yang tidak sadar pasien akan mengalami thrombosis
vena dan pulmonary emboli
▪ Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
i. Psikologis respon
▪ Pengumpulan data dapat diperoleh dari keluarga karena pasien tidak
sadar
▪ Kaji fungsi keluarga sebelum kecelakaan terjadi karena keluarga
membutuhkan support dalam menghadapi krisis.

2.9. Masalah keperawatan


1. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
2. Penurunan Kapasitas Adaptif Intrakranial
3. Nyeri Akut
4. Resiko Perfusi Serebral tidak Efektif
5. Gangguan Mobilitas Fisik

2.10. Prioritas masalah


1. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif

2.11. Diagnosa keperawatan


1. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif Berhubungan Dengan Hipersekresi Jalan
Napas dengan Ditandai Dengan Sputum Berlebih.
2. Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif Berhubungan Dengan Sirkulasi Darah ke
Otak Menurun Ditandai Dengan Pusing
3. Penurunan Kapasitas Adaptif Intrakranial Berhubungan Dengan Obstruksi
sirkulasi cairan serebrospinal Ditandai Dengan Tekanan Intrakranial Meningkat
4. Nyeri Akut Berhubungan Dengan Fraktur Tengkorak Ditandai Dengan
Terputusnya Kontinuitas Jaringan
5. Gangguan Mobilitas Ditandai Dengan Gangguan Koordinasi Gerak Ekstemitas

2.12. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


.

1 Bersihan Jalan Napas Tidak Setelah dilakukan tindakan Observasi


Efektif b.d Hipersekresi Jalan keperawatan selama 1x24 jam
Napas dengan Ditandai - Monitor Pola Napas
diharapkan pasien mengalami
Dengan Sputum Berlebih
penurunann dari ketidak - Monitor bunyi napas
efektifan jalan nafas, dengan tambahan
kriteria hasil : - Monitor sputum

- Frekuensi nafas (3) Terapiutik

- Pola nafas (3) - Pertahankan kepatenan


jalan napas dengan head-tilt
- Dipsnea (3)
dan chin-tilt

- Posisikan semi fowler atau


fowler

- Lakukan penghisapan lendir


kurang dari 15 detik

Edukasi

- Jelaskan tujuan dan


prosedur pemantauan
DAFTAR PUSTAKA

1. Amin Huda Nurarif,S.Kep.,Ns dan Hardhi Kusuma,S.Kep.,Ns.2015. Aplikasi Asuhan


Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 1

2. Tim pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indosnesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indonesia
3. Tim pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indosnesia Definisi
dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indonesia
4. Tim pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indosnesia Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Indonesia
5. Rudi Haryono,Ns.,M.Kep dan Maria Putri Sari Utami,M.Kep. 2019. Keperawatan
Medikal Bedah 2
6. Padila,S.Kep.,Ns.2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
7. Brunner & Suddart, 2010. Textbook of medical surgical nursing

Anda mungkin juga menyukai