Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN


DENGAN DENGAN DIAGNOSA MEDIK CEDERA KEPALA SEDANG

Disusun Oleh :

Annisa April Liana, S.Kep

Nim : P2305108

INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN & SAINS


WIYATA HUSADA SAMARINDA
PROGRAM PROFESI NERS 2023
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN


DENGAN DIAGNOSA MEDIK CEDERA KEPALA SEDANG

Di susun Oleh
Annisa April Liana. S.Kep
P2305108

Telah disetujui oleh preseptor dan pembimbing


pada tanggal Januari 2024

Fasilitator Akademik Perseptor Klinik

Ns. Ana Dwiyana Arief , M.Kep Ns. Nartiningsih, S. Kep


NIDN. 1129059301 NIP:

Mengetahui,
Dosen Koordinator Stase Keperawatan Gadar Kritis

Ns. Ana Dwiyana Arief, M.Kep

NIDN. 1129059301

PROGRAM PROFESI NERS


INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN DAN SAINS WIYATA
HUSADA SAMARINDA
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di
kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan
jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir,
2017).. Menurut WHO, angka kematian akibat kecelakan lalu lintas terus
meningkat hingga mencapai angka 1.35 juta kematian setiap tahun. Kecelakan
lalu lintas menjadi penyebab trauma dan cedera bahkan kematian nomor 8
pada semua kelompok usia di seluruh dunia (WHO, 2018).
Cedera Kepala Sedang (CKS) adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak
dan otak yang mengakibatkan hilangnya kesadaran dan atau amnesia lebih
dari 30 menit namun kurang dari waktu 24 jam dan juga bisa mengalami
terjadinya fraktur tengkorak dengan GCS 9-12 (Nurarif & Kusuma, 2016).
Tanda dan gejala yang biasanya muncul pada pasien dengan CKS adalah mual
dan muntah, disorientasi ringan, vertigo dalam perubahan posisi, gangguan
pendengaran, amnesia post traumatik, hilang memori sesaat dan nyeri kepala
B. Tujuan Umum
1. Tujuan umum
Untuk menjelaskan manajemen asuhan keperawatan kritis secara
komprehensif pada klien dengan cedera kepala sedang
2. Tujuan khusus
a) Untuk menjelaskan pengkajian keperawatan kritis kepada klien dengan
cedera kepala sedang
b) Untuk menjelaskan penegakkan diagnosa keperawatan kritis kepada
klien dengan cedera kepala sedang
c) Untuk menjelaskan penyusunan intervensi keperawatan kritis kepada
klien dengan cedera kepala sedang
C. Manfaat
Mampu menjelaskan tindakan keperawatan pada klien dengan cedera
kepala sedang meliputi pengkajian, diagnosa, dan intervensi keperawata
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Cedera Kepala Sedang (CKS) adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak
dan otak yang mengakibatkan hilangnya kesadaran dan atau amnesia lebih
dari 30 menit namun kurang dari waktu 24 jam dan juga bisa mengalami
terjadinya fraktur tengkorak dengan GCS 9-12 (Nurarif & Kusuma, 2016).
Tanda dan gejala yang biasanya muncul pada pasien dengan CKS adalah
mual dan muntah, disorientasi ringan, vertigo dalam perubahan posisi,
gangguan pendengaran, amnesia post traumatik, hilang memori sesaat dan
nyeri kepala
B. Etiologi
Penyebab cidera kepala sedang adala adanya trauma yang diakibatkan
benturan benda tumpul, trauma benda tajam, kecelakaan saat berkendara
ataupun kecelakaan saat berolahraga.Cidera kepala akan menimbulkanluka
robekan yang dapat mengenai otak ataupun luka yang berbatas pada daerah
yang terkena (Andra & Yessie, 2013) dalam (Lestari,2021)
C. Manifestasi Klinis
Cidera kepala sedang mengalami kelemahan pada salah satu bagiantubuh
disertai kebingungan bahkan terjadi penurunan kesadaran hingga koma.
Terjadi abnormalitas pupil, terjadi deficit neurologis berupa gangguan
penglihatan dan pendengar berdasarkan letak lesi yang terdapat pada otak.
Pasien akan mengalami kejang otot 6 dan gangguan pergerakan.Bila
terjadiperdarahan dan fraktur pada tengkorak maka akan terjadi hematoma
yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan TIK dapat
menimbulkan nyeri atau pusing pada kepala (Andra& Yessie, 2013)
dalam(Lestari, 2021).
Manifestasi klinis dari cedera kepala (Yessie dan Andra, 2013):
a. Disoerientasi ringan
Disorientasi adalah kondisi mental yang berubah dimana seseorang yang
mengalami ini tidak mengetahui waktu atau tempat mereka berada saat
itu, bahkan bisa saja tidak mengenal dirinya sendiri.
b. Amnesia post traumatik
Amnesia post traumatik adalah tahap pemulihan setelah cedera otak
traumatis ketika seseorang muncul kehilangan kesadaran atau koma.
c. Sakit kepala
Sakit kepala atau nyeri dikepala, yang bisa muncul secara bertahap atau
mendadak.
d. Mual dan muntah
Mual adalah perasaan ingin muntah, tetapi tidak mengeluarkan isi perut,
sedangkan muntah adalah kondisi perut yang tidak dapat dikontrol
sehingga menyebabkan perut mengeluarkanisinya secara paksa melalui
mulut.
e. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran adalah salah suatu keadaan yang umumnya
disebabkan oleh factor usia atau sering terpapar suara yang nyaring atau
keras
D. Klasifikasi
a. Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yaitu
ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter.
Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya
interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit
neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral.
Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang
dan hemiparesis.
b. Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH)
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural
yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-
vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya
menutupi seluruh hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya
lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada
perdarahan epidural.
c. Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural
lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali
dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang
subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehinggs akan terbentuk
bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade Dalam beberapa hari
akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran
pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan
neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru
dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi
bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi
membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik
likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan
subdural bertambah banyak. Gejala klinis ya ng dapat ditimbulkan oleh
SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan
gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping itu
dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik
dan kejang.
d. Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan
konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom
bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang
tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat
trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih
dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan
subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya
penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh
mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.
e. Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH) Perdarahan subarahnoit
diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun
vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang
subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya
PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga
menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu
terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut
luas dengan manifestasi edema cerebri.
E. Patofisiologi
Trauma yangdisebabkan oleh benda tumpuldan benda tajam
ataukecelakaan dapat menyebabkan cedera kepala. Cidera kepala primer
adalahcidera kepala yang terjadi segera setelah trauma. Cidera kepala ini
dapat berlanjut menjadi cidera sekunder. Akibat trauma terjadi pengkatan
kerusakan sel otak sehingga menimbulkan gangguan autoregulasi. Penurunan
aliran darah ke otak menyebabkan penurunan suplai oksigen ke otak dan
terjadi gangguan metabolisme dan perfusi otak. Peningkatan rangsangan
simpatis menyebabkan peningkatan tahanan vaskuler sistemik dan
peningkatan tekanan darah. Penurunan tekanan pembuluh darah didaerah
pulmonal mengakibatkan peningkatan tekanan hidrolistik sehingga terjadi
kebocoran cairan kapiler. Trauma dapat menyebabkan odema dan hematoma
pada serebral sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Sehingga pasien mengeluhkan pusing serta nyeri hebat pada daerah kepala
(Padila, 2013) dalam (Lestari, 2021).
Trauma yang disebabkan oleh benda tumpul dan benda tajam atau
kecelakaan dapat menyebabkan cedera kepala. Cedera otak primer adalah
cedera otak yang terjadi segera setelah trauma. Cedera kepala primer dapat
menyebabkan kontusio dan laserasi. Cedera kepala ini dapat berlanjut
menjadi cedera sekunder. Akibat trauma terjadi peningkatan kerusakan sel
otak sehingga menimbulkan gangguan autoregulasi. Penurunan aliran darah
ke otak menyebabkan penurunan suplai oksigen ke otak dan terjadi gangguan
metabolisme dan perfusi otak. Peningkatan rangsangan simpatis
menyebabkan peningkatan tahanan vaskuler sistematik dan peningkatan
tekanan darah. Penurunan tekanan pembuluh darah di daerah pulmonal
mengakibatkan peningkatan tekanan hidrolistik sehingga terjadi kebocoran
cairan kapiler. Trauma kepala dapat menyebabkan odeme dan hematoma
pada serebral sehingga menyebabkan peningkatan TIK. Sehingga pasien akan
mengeluhkan pusing serta nyeri hebat pada daerah kepala (Padila, 2012).
F. Pathway
G. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan ( tanpa / dengan kontras )
Pemeriksaan ini merupakan metode diagnostik standar terpilih ( gold
standard) untuk kasus cedera kepala mengingat selain prosedur ini tidak
invasif ( sehingga aman ), juga memiliki kehandalan yang tinggi. Dalam
hal ini dapat diperoleh informasi yang lebih jelas tentang lokasi dan
adanya perdarahan intracranial, edema, kontusi, udara, benda asing
intracranial, serta pergeseran struktur didalam rongga tengkorak.
2. MRI ( Magnetic Resonince Imaging )
MRI memiliki keunggulan untuk melihat perdarahan kronis maupun
kerusakan otak yang kronis. Dalam hal ini MRI T2 mampu menunjukkan
gambaran yang lebih jelas terutama untuk memberi identifikasi yang lebih
jelas lesi hipodens pada CT Scan atau lesi yang sulit dibedakan
densitasnya dengan korteks
3. Angiografi Serebral
Pemeriksaan ini cenderung lebih bermanfaat untuk memperkirakan
diagnosis adanya suatu hematom/ perdarahan intracranial beserta
penanganannya, khususnya dimana belum tersedianya sarana sken
computer temografi otak. Pada prinsipnya ditujukan untuk menunjukkan
adanya pergeseran pembuluh-pembuluh darah srebral besar dan lokasi
zona (avaskuler) suatu hematom. massa supratentorial biasanya
menampilkan pergeseran arteri serebri anterior dan vena serebri interna.
Walaupun pergeseran ini tidak dapat membedakan tampilan adanya suatu
edema atau suatu hematom, corak ini dapat membantu menentukan
lokasinya.
4. Foto Polos Tengkorak ( Skull X-ray )
Mengingat bahwa hanya sedikit informasi yang didapat dari pemeriksaan
ini yang dapat mengubah alternative pengobatan yang diberikan pada
penderita cedera kepala, maka pemeriksaan ini sudah mulai ditinggalkan
dengan pemeriksaan penunjang yang lebih canggih seperti CT-Scan atau
MRI. Informasi yang bisa kita dapatkan dari hasil pemeriksaan ini adalah :
a. Fraktur tulang kepala, diharapkan dapat diperoleh informasi tentang
lokasi dan tipe fraktu, baik bentuk linier, stelata atau depresi
b. Adanya benda asing
c. Pneumocephalus ( udara yang masuk ke rongga tengkorak )
d. Brain shift, kalau kebetulan ada kasifikasi kelenjar pineal
5. Pemeriksaan Laboratorium
a. AGD : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi (memertahankan AGD
dalam rentang normal untuk, menjamin airan darah selebral adekuat)
atau untuk melihat maslah oksigenisasi yang dapat meningkatkan TIK
b. Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan
regulasi natrium, retensi Na berakhir dapat beberapa hari, diikuti
dengan diuresin Na, peningkatan latergi, konfusi dan kejang akibat
ketidakseimbangan elektrolit
c. Hematologi : leukosit, Hb, Albumin, globulin, protein serum
d. CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahan subarakhoid
(warna, komposisi, tekanan)
e. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran
f. Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efekif mengatasi kejang (Wijaya dan Putri 2013)
H. Komplikasi
1. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada
situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setalah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus
lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih
tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada
vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
2. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami
sekurangkurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah
cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.
3. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membrane
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke
system saraf yang lain.
4. Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
5. Penyakit Alzheimer dan Parkinson.
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit
Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi
tergantung frekuensi dan keparahan cedera .
I. Penatalaksanaan cedera kepala sedang (GCS 9-13)
1. Pemeriksaan awal
a. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah
sederhana
b. Pemeriksaan CT scan kepala
c. Dirawat untuk observasi
2. Perawatan
a. Pemeriksaan neurologis periodic
b. Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila
penderita akan dipulangkan
3. Penatalaksanaan pembedahan
a. Luka Kulit Kepala
1) Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar
luka dan mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan
2) Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang
tidak adekuat
3) Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok,
perdarahan dapat dihentikan dengan penekanan langsung
4) Kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar dan penjahitan luka,
lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada
CSS pada luka menunjukan adanya robekan dura. Consult ke
dokter ahli bedah saraf, lakukan foto teengkorak
5) CT Scan
6) Tindakan operatif
b. Fraktur Depresi Tengkorak
Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan
tulang di dekatnya.CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi
dan ada tidaknya perdarahan di intra kranial atau adanya suatu
kontusio.
c. Lesi masa Intracaranial
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat
mengancam jiwa dan untuk mencegah kematian, Prosedur ini penting
pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan tidak
menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan,
Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi
endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol. ( Patricia
Gonce Morton, 2011 )
J. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat
Pengkajian secara umum merupakan tahap awal dari proses
keperawatan dan merupakan suatu proses pengumulan data yang sistematis
dari berbagai sumber untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan klien (Nursalam,2013) Pengkajian keperawatan cedera kepala
meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
diagnostic dan pengkajian psikososial.
a. Pengkajian Primer
1) Airway
Penilaian akan kepatenan jalan napas, meliputi pemeriksaan mengenai
adanya obstruksi jalan napas dan adanya benda asing. Pada pasien yang
dapat berbicara dianggap jalan napas bersih.
2) Breathing
Frekuensi napas, apakah ada penggunaan otot bantu pernapasan, retraksi
dinding dada dan adanya sesak napas.
3) Circulation
Nadi teraba lemah dan tidak teratur, takikardia, tekanan darah meningkat
atau menurun, akral teraba dingin, adanya sianosis perifer
4) Disability
Penilaian pada disability menilai tingkat kesadaran (GCS), ukuran dan
reaksi pupil. Penilaian disability melibatkan evaluasi fungsi system saraf
pusat. Dilakukan penilaian dengan cepat pada tingkat kesadaran pasien
5) Exposure
Dalam penilaian exposure kita mengkaji secara menyeluruh melihat
apakah ada organ lain yang mengalami gangguan seperti adanya jejas
atau cedera sehingga kita dapat memberikan perawatan
b. Pengkajian sekunder
1) Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia
muda), jens kelamin (banyak laki-laki karena sering ngebut –
ngebutan dengan motor tanpa pengaman helm), pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk
rumah sakit, nomor registrasi, diagnosis medis. Keluhan utama
yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala
disertai penurunan tingkat kesadaran.
2) Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung
ke kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran
menurun (GCS >15), konvulasi, muntah, takipnea, sakit kepala,
wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala, paralisis,
akumulasi secret pada saluran pernafasan, adanya liquor dari
hidung dan telinga, serta kejang. Adanya penurunan atau
perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan perubahan
didalam intracranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum
terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi latergi, tidak
responsive dan koma. Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga
yang mengantar klien (bila klien tidak sadar) tentang penggunaan
obat-obatan adiktif dan penggunaan alcohol yang sering terjadi
pada beberapa klien yang suka ngeut-ngebutan
3) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu dipertanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes mellitus,
penyakit jantung, anemia, penggunaan obatobat antikoagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, konsumsi alcohol berlebihan.
4) Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita
hipertensi dan diabetes mellitus.
5) Pengkajian psiko-sosial-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam
keluarga ataupun malam masyarakat. Apakah ada dampaka yang
timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan,
rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra diri) Adanya perubahan hubungan dan peran
karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat
gangguan bicara. Pla persepsi dan konsep diri didapatkan klien
merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak
ooperatif.
6) Pemeriksaan fisik Keadaan umum : Pada keadaan cedera kepala
umumnya mengalami penurunan kesadaran (cedera kepala
ringan/cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8 dan
terjadi perubahan pada tanda-tanda vital. Cedera kepala
menyebabkan berbagai deficit neurologis terutama disebabkan
pengaruh peningkatan tekanan intracranial akibat adanya
perdarahan baik bersifat intraselebral hematoma, subdural
hematoma dan epidural hematoma. merupakan pemeriksaan focus
dan lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya.
Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indicator paling sensitive untuk menilai disfungsi system
persarafan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera
kepala biasanya berkisar pada tingkat latergi, stupor,
semikomatosa, sampai koma. Status mental : observasi penampilan
klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien dan observasi
ekspresi wajah, dan aktivitas motoric pada klien cedera kepala
tahap lanjut biasanya status mental mengalami perubahan.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan
respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari
individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat
mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga
status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah, dan mengubah
(Nursalam,2013).
Data yang terkumpul akan dikelompokkan dan dianalisa sehingga
ditemukan diagnose keperawatan yaitu (Nurarif, A.H &Kusuma,
H,2016)
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera fisik
2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan adanya jalan
napas buatan
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas
4. Resiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera
kepala
5. Resiko infeksi ditandai dengan efek prosedur invasif
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Keperawatan
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri
dengan agen pencedera keperawatan, diharapkan tingkat Observasi
fisik nyeri menurun. Kriteria hasil : 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
1. Keluhan nyeri menurun (5) kualitas dan intensitas nyeri
2. Meringis menurun (5) 2. Identifkasi skala nyeri
3. Identifikasi respon nyeri nonverbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan
nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
Terapeutik
6. Berikan teknik nonfarmakologis
7. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
8. Fasilitasi istirahat dan tidur
9. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
Edukasi
10.Jelaskan penyebab, periode, pemicu nyeri
11.Jelaskan strategi meredakan nyeri
12.Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
13.njurkan menggunakan analgetik secara tepat
14.Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri
Kolaborasi
15.Kolaborasi pemberian analgetik
2 Bersihan jalan napas tidak Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas
efektif berhubungan keperawatan diharapkan jalan
Observasi
dengan adanya jalan napas napas meningkat. Kriteria hasil :
1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
buatan 1. Produksi sputum menurun
2. Monitor bunyi napas tambahan (misalanya gurgling,
(5)
mengi, wheezing, ronkhi kering).
2. Mengih menurun (5)
Terapeutik
3. Dipsnea menurun (5)
3. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan
4. Frekuensi napas membaik
chin-lift.
(5)
4. Posisikan semi-fowler atau fowler
5. Lakukan pengisapan lendir
Edukasi
6. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari
7. Ajarkan batuk efektif
Kolaborasi
8. Kolaborasi pemberian bronkodilator, mukolitik

3 Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas
berhubungan dengan keperawatan, diharapkan pola
Observasi
hambatan upaya napas napas meningkat dengan kriteria
hasil: 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
2. Monitor bunyi napas tambahan (misalanya gurgling,
1. Dispnea menurun(5)
mengi, wheezing, ronkhi kering).
2. Pemanjangan fase ekspirasi
Terapeutik
menurun (5)
3. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan
chin-lift.
4. Posisikan semi-fowler atau fowler
5. Lakukan pengisapan lendir
Edukasi
6. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari
7. Ajarkan batuk efektif
Kolaborasi
8. Kolaborasi pemberian bronkodilator, mukolitik

4. Risiko perfusi serebral Setelah dilakukan tindakan Manajemen Peningkatan TIK


tidak efektif berhubungan keperawatan diharapkan perfusi Observasi
dengan cedera kepala jaringan serebral efektif. Kriteria 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
hasil : 2. Monitor tanda gejala peningkatan TIK
1. tingkat kesadaran kognitif 3. Monitor MAP, CVP, PAWP, PAP, ICP, dna CPP, jika
meningkat (5) perlu
2. gelisah menurun (5) 4. Monitor gelombang ICP
3. TIK menurun (5) 5. Monitir status pernapasan
6. Monitor intake dan output cairan
7. Monitor cairan serebrospinal
Terapeutik
8. Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan
yang tenang
9. Berikan posisi semi fowler
10. Hindari maneuver valsava
11. Cegah kejang
12. Hindari penggunaan PEEP
13. Atur ventilator agar PaCO2 optimal
14. Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
15. Pemberian sedasi dan anti konvulsan jika perlu
16. Kolaborasi pemberian diuretik osmosis
17. Kolaborasi pemberian pelunak tinja

5. Risiko infeksi ditandai Setelah dilakukan tindakan Pencegahan infeksi


dengan efek prosedur keperawatan tingkat infeksi Observasi
invasif menurun dengan kriteria hasil : 1. Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
1. Kebersihan tangan meningkat Terapeutik
(5) 2. Batasi jumlah pengunjung
2. Kebersihan badan meningkat 3. Berikan perawatan kulit pada area edema
(5) 4. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien
3. Demam, kemerahan, nyeri, dan lingkungan klien
bengkak menurun (5) 5. Pertahankan teknik aseptic pada klien beresiko tinggi
Edukasi
6. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
7. Ajarkan cara mencuci tangan
anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Cedera kepala merupakan istilah luas yang menggambarkan sejumlah


cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak, otak, dan jaringan di
bawahnya serta pembuluh darah di kepala (Haryono & Utami, 2019).
Berdasarkan definisi diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa Cedera
kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung, dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan
gangguan fungsi otak.
Menurut GCS cedera kepala dapat klasifikasikan menjadi tiga, yaitu
cedera kepala ringan, cedera kepala sedang, dan cedera kepala berat. Cedera
kepala sedang (CKS) merupakan cedera kepala dengan angka GCS 9-12,
kehilangan kesadaran lebih dari 30 menit namun kurang dari 24 jam, diikuti
dengan muntah, serta dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi
ringan (Wijaya & Putri, 2013).
Cedera Kepala Sedang (CKS) adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak
dan otak yang mengakibatkan hilangnya kesadaran dan atau amnesia lebih
dari 30 menit namun kurang dari waktu 24 jam dan juga bisa mengalami
terjadinya fraktur tengkorak dengan GCS 9-12 (Nurarif & Kusuma, 2016).
Tanda dan gejala yang biasanya muncul pada pasien dengan CKS adalah
mual dan muntah, disorientasi ringan, vertigo dalam perubahan posisi,
gangguan pendengaran, amnesia post traumatik, hilang memori sesaat dan
nyeri kepala
B. Saran

Untuk melakukan asuhan keperawatan kritis pada pasien dengan cedera


kepala sedang, maka pengkajian yang lengkap dan dilakukan tindakan
keperawatan secara keseluruhan sesuai dengan rencana keperawatan yang
sesuai dengan keadaan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Awaloei, A. C. dkk. (2016). Gambaran Cedera Kepala yang Menyebabkan


Kematian di Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP Prof Dr.R.D Kandou.
Jurnal E-Klinik ( eCL), Volume 4, Nomor 2 Juli-Desember 2016.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/14369
Nuranif & Kusuma (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan diagnose
medis NANDA NIC NOC Jilid I. Yogyakarta ; Mediasi
Pratiwi, S. E & Joyo, M. (2019). Pengelolaan Nyeri Akut pada Sdr. A dengan
Cedera Kepala Ringan di Ruang Cempaka RSUD Unggaran.
https://scholer.google.co.id/scholer?
hl=en&as_sdt=0%2C5&q=kasus+cedera+kepala+dengan+nyeri+akut+&oq=
#d=gs_qabs
Riset Kesehatan Dasar, (2018). Data dan Informasi Profil Kesehatan Tahun 2018.
Diperoleh tanggal 9 Februari 2020, dari
https://www.slideshare.net/mobile/ssuser200d5e/hasil-riskesdas-
risetkesehatan-dasar-tahun-2018 102
Swarjana, I Ketut , (2015). Metodelogi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : CV
Andi Offset.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta : DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2022. Standar Luaran Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan Cetakan III. Jakarta : DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Tindakan Keperawatan Cetakan II. Jakarta : DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai