Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

DOKTER INTERNSHIP

SEORANG PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA BERAT DAN FRAKTUR


COSTAE VIII, IX DEXTRA

Disusun oleh:
Nama : dr Desvian Adi Nugraha
Wahana : RSUD Ambarawa
Tanggal : Juli 2018

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA


KABUPATEN SEMARANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : dr Desvian Adi Nugraha


Judul : SEORANG PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA BERAT DAN
FRAKTUR COSTAE VIII, IX DEXTRA
Topik : Bedah

Ambarawa, Juli 2018


Dokter pembimbing I Dokter pembimbing II

dr Kemalasari dr Pratiknyo
BERITA ACARA PRESENTASI LAPORAN KASUS
Pada tanggal Juli 2018 telah dipresentasikan laporan kasus oleh:
Nama : dr Desvian Adi Nugraha
Judul : SEORANG PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA BERAT
DAN FRAKTUR COSTAE VIII, IX DEXTRA
Topik : Bedah
Wahana : RSUD AMBARAWA
No Nama Tanda Tangan
1
2 dr Kemalasari
3 dr Pratiknyo
4 dr Dwi Lestari
5 dr Atika Widya Syariati
6 dr Muhammad Dacil Kurniawan Prabawa
7 dr Nariswari Putri Wiyandhini
8 dr Winda Wahyu Ikaputri
9 dr Nur Rochmah Wahyu Setiani
10 dr Muttaqin Huda
11 dr Wildania Yolanda
12 dr Hanum Indri O
13 dr Iman Hakim Wicaksana
14 dr Nadya Noor Firdausha
15 dr Grace
16 dr Meika
17 Dr
18 Dr
Berita acara ini ditulis dan disampaikan dengan sesungguhnya

Dokter pembimbing I Dokter pembimbing II

dr Kemalasari dr Pratiknyo
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala masih menjadi penyebab kematian, disabilitas, dan defisit mental.
Cedera kepala menjadi penyebab utama kematian disabilitas pada usia muda.
Penderita cedera kepala seringkali mengalami edema serebri yaitu akumulasi
kelebihan cairan di intraseluler atau ekstraseluler ruang otak atau perdarahan
intrakranial yang mengakibatkan meningkatnya tekanan intra kranial. (Kumar, 2013)
Menurut WHO setiap tahun di Amerika Serikat hampir 1.500.000 kasus cedera
kepala. Dari jumlah tersebut 80.000 di antaranya mengalami kecacatan dan 50.000
orang meninggal dunia. Saat ini di Amerika terdapat sekitar 5.300.000 orang dengan
kecacatan akibat cedera kepala (Moore & Argur, 2007). Di Indonesia, cedera kepala
berdasarkan hasil Riskesdas 2013 menunjukkan insiden cedera kepala dengan CFR
sebanyak 100.000 jiwa meninggal dunia (Depkes RI, 2013).
Di Jawa Tengah terdapat kasus cedera kepala yang sebagian besar disebabkan
oleh kecelakaan lalulintas dengan jumlah kasus 23.628 dan 604 kasus diantaranya
meninggal dunia (Profil kesehatan kab/kota, 2010).
Fraktur pada iga merupakan kelainan yang sering terjadi akibat trauma
tumpul pada dinding toraks. Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan
fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya
trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga sering terjadi pada iga IV-X. Dan
sering menyebabkan kerusakan pada organ intra toraks dan intra abdomen.
(Sjamsuhidajat, 2005; Brunicardi, 2006).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memperoleh informasi tentang manajemen pasien dengan cedera kepala
dan fraktur costae
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui penegakan diagnosis cedera kepala dan fraktur costae
b. Mengetahui penatalaksanaan cedera kepala dan fraktur costae di
Instalasi Gawat Darurat
c. Mengetahui penatalaksanaan lebih lanjut pasien dengan cedera kepala
dan fraktur costae
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Cedera Kepala
1. Definisi
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda
paksa tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi
cerebral sementara. Merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena
kecelakaan lalu lintas.
2. Klasifikasi
 Simple head injury
 Commotio cerebri
 Contusion cerebri
 Laceratio cerebri
 Basis cranii fracture

a. Simple Head Injury


Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:
 Ada riwayat trauma kapitis
 Tidak pingsan
 Gejala sakit kepala dan pusing
Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat
simptomatik dan cukup istirahat.
b. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang
berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak
disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala,
vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau
terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri
mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan
sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia
ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di lobus temporalis.
Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah foto tengkorak, EEG,
pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari
untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi
bertahap.
c. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan
di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata,
meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang
penting untuk terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala
yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan
gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula
hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak
terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan
asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input
aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible
berlangsung.
Timbulnya lesi contusio di daerah “coup” , “contrecoup”, dan
“intermediate”menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa
refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran
puli kembali, si penderita biasanya menunjukkan “organic brain
syndrome”.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang
beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh
darah cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah
menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah.
Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan
gangguan pernafasan bisa timbul.
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat
letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi
dengan antiserebral edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan
perawatan 7-10 hari.
d. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai
dengan robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya
perdarahan subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral.
Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung.
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang
disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada
fraktur depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung
disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.
e. Fracture Basis Cranii
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan
fossa posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana
yang terkena.
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:
 Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
 Epistaksis
 Rhinorrhoe
Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:
 Hematom retroaurikuler, Ottorhoe
 Perdarahan dari telinga
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii.
Komplikasi :
 Gangguan pendengaran
 Parese N.VII perifer
 Meningitis purulenta akibat robeknya duramater
Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi
terapinya harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk
mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang
berlangsung lebih dari 6 hari.
Adapun pembagian cedera kepala lainnya:
 Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio
dan Commotio Cerebri
o Skor GCS 13-15
o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih
dari 10 menit
o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan neurologist.
 Cedera Kepala Sedang (CKS)
o Skor GCS 9-12
o Ada pingsan lebih dari 10 menit
o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan
anggota gerak.
 Cedera Kepala Berat (CKB)
o Skor GCS <8
o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang
lebih berat
o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang
terlepas.

Simple head injury dan Commotio cerebri sekarang digolongkan


sebagai cedera kepala ringan. Sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio
cerebri digolongkan sebagai cedera kepala berat.
Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum
dan kesadaran, sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan pemeriksaan
fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat
keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di
Rumah Sakit.
3. Pemeriksaan penunjang
Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:
 CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka
pendek.
 Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan
sebelum 6 jam dari saat terjadinya trauma
 EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi
 Roentgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak
4. Tatalaksana Cedera Kepala Berat
B. Fraktur iga
Fraktur pada iga merupakan kelainan yang sering terjadi akibat trauma
tumpul pada dinding toraks. Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur
iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat
melalui sela iga. Fraktur iga sering terjadi pada iga IV-X. Dan sering
menyebabkan kerusakan pada organ intra toraks dan intra abdomen.
(Sjamsuhidajat, 2005; Brunicardi, 2006).
Fraktur pada iga VIII-XII sering menyebabkan kerusakan pada hati dan
limpa. Perlu di curigai adanya cedera neurovaskular seperti pleksus brakhialis dan
arteri atau vena subklavia, apabila terdapat fraktur pada iga I-III maupun fraktur
klavikula (Brunicardi, 2006).
Penatalaksanaan (Brunicardi, 2006):
1. Fraktur yang mengenai 1 atau 2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain:
konservatif dengan anti nyeri.
2. Fraktur di atas 2 iga perlu di curigai adanya kelainan lain seperti: edema
paru, hematotoraks,dan pneumotoraks.
Pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks, hematotoraks, atau
kerusakan organ intratoraks lain, adalah:
1. Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block)
2. Bronchial toilet
3. Cek laboratorium berkala: Hemoglobin, Hematokrit, Leukosit,Trombosit, dan
Analisa gas darah
4. Cek foto toraks berkala
Penatalaksanaan fraktur iga multipel yang disertai penyulit lain seperti:
pneumotoraks dan hematotoraks, diikuti oleh penanganan pasca operasi/tindakan
yang adekuat dengan analgetik, bronchial toilet, cek laboratorium dan foto toraks
berkala, dapat menghindari morbiditas dan mortalitas. (Sjamsuhidajat, 2005).
Komplikasi yang sering terjadi pada fraktur iga adalah atelektasis dan
pneumonia, yang umumnya disebabkan manajemen analgetik yang tidak adekuat
(Brunicardi, 2006).
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Tanggal Lahir / Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Alamat : Ambarawa
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 9 Juli 2018
No. RM : 142XXX-20XX

B. Anamnesis
Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang pasien laki – laki, 40 tahun, datang dengan dikeluhkan pingsan.
Keluhan pingsan setelah pasien terjatuh dari pohon cengkeh setinggi 3 meter. Saat
kejadian tidak ada orang yang mengetahui namun pasien ditemukan sudah terjatuh
di tanah dengan posisi miring ke kanan. Kemudian pasien dibawa ke IGD RSUD
Ambarawa.
Pingsan mulai dari tempat jatuh sampai dibawa ke RS dan tidak ada tanda
kesadaran. Pasien juga terlihat sesak nafas dengan suara nafas nggrok – nggrok.
Gerakan dada masih simetris. Terlihat adanya jejas di bagian dada.
Pasien sama sekali tidak berespon dan tidak bisa diajak berkomunikasi.
Muntah(-), Perdarahan aktif (-), luka terbuka (-) gerakan aktif (-),

Riwayat Penyaklit Dahulu


Pasien tidak memiliki riwayat penyakit DM, hipertensi, asma, infeksi paru
maupun jantung.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat DM, HT, asma pada keluarga
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tidak merokok maupun meminum alkohol. Pasien tinggal di rumah
dengan seorang istri dan anak.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sesak
Kesadaran / GCS : Stupor/ GCS 8 (E2V2M4)
Gambaran umum lain : Nutrisi cukup
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 154 / 83 mmHg
Nadi : 103 kali / menit
Frekuensi Nafas : 32 kali / menit
Suhu : 36,7 ºC
Saturasi Oksigen : 95 % dengan O2 NRM 10 lpm
Status generalis :
 Kulit : lembab, turgor baik
 Kepala : mesochepal, simetris, tidak ada kelainan
 Mata : edema palpebra (-/-), pupil anisokor Ø 3 mm / 2 mm,
reflek cahaya +/+
 Hidung : nafas cuping hidung (-/-), epistaksis (-/-), discharge (-/-),
septum deviasi (-)
 Telinga : discharge (-/-), hiperemis (-/-)
 Mulut : Sianosis (-), ulkus (-), stomatitis (-)
 Leher :Kaku kuduk (-),pembesaran kelenjar thyroid (-),
pembesaran kelenjar limfoid (-)
 Thorax :
o Paru
Inspeksi : dinding dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi (-), jejas (+)
Palpasi : SF paru kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru, krepitasi (+)
Auskultasi : Suara dasar vesikuler menurun, ronkhi (+/+),
wheezing (-/-)
o Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tampak di SIC V 1 jari medial LMCS
Palpasi : Iktus cordis teraba di SIC V 1 jari medial LMCS
Kuat angkat (-)
Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas kanan bawah SIC IV LPSD
Batas jantung kanan bawah SIC V 1 jari medial
LMCS
Auskultasi : bunyi jantung reguler, gallop (-), murmur (-)
 Abdomen :
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak alih (-), pekak sisi(-)
Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-) epigastrium, Hepar (+) 2 cm
di bawah arcus costa, lien sulit diraba
 Genitalia : tidak ada kelainan / dalam batas normal
 Ekstremitas : akral dingin (-)
 Foto thorax PA lateral:

Kesan: Fraktur costa 8,9 dextra

 Foto Cranium:

E. Diagnosis
1. Cedera kepala berat
2. Fraktur costae VIII, IX dextra
F. Terapi
 Oksigen NRM 8 LPM
 Pasang cervical collar
 IVFD RL 16 tpm
 Inj Piracetam 2 x 3g
 Inj Citicolin 2 x 500 mg
 Inj Ranitidin 2 x 1 ampul
 Inj Ketorolac 3 x 1 ampul
 Inj Metil prednisolon 4x125 cc
 Pasang DC kateter

Konsul Dokter Spesialis Syaraf, advis :


 Oksigen NRM 8 LPM
 Pasang cervical collar
 IVFD RL 16 tpm
 Inj Piracetam 2 x 3g
 Inj Citicolin 2 x 500 mg
 Inj Ranitidin 2 x 1 ampul
 Inj Ketorolac 3 x 1 ampul
 Inj Metil prednisolon 4x125 cc
 Inj Mecobalamin 1 x1 ampul
 Pasang DC kateter
 Konsul Sp.B
 Edukasi mondok ICU atau rujuk ke Sp.BS

G. Planning :
 Cek Darah Rutin, elektrolit, SGOT SGPT, Urin rutin
 Ro. Thorax AP / Lateral
 CT Scan kepala (Rujuk)
 Pengawasan TTV dan keadaan pasien
H. Follow Up

Follow Up Pasien
9 Juli 2018
jam 14.00

S Pasien mulai mengeluarkan kata yang duiulang – ulang


O KU: Stupor, lemah
GCS: E3 V3 M4
VS: TD : 145/90
HR : 104x/menit
RR : 28x/menit
t : 36,10 C
SpO2 : 98% dengan NRM 10 lpm
Thorax:
Jejas (+) Krepitasi (+)
Pulmo:
Rhonki (+/+)
A Cedera Kepala Sedang
Fraktur costa 8, 9 dextra
P  Oksigen NRM 8 LPM
 Pasang cervical collar
 IVFD RL 16 tpm
 Inj Piracetam 2 x 3g
 Inj Citicolin 2 x 500 mg
 Inj Ranitidin 2 x 1 ampul
 Inj Ketorolac 3 x 1 ampul
 Inj Metil prednisolon 4x125 cc
 Inj Mecobalamin 1 x1 ampul
 Pasang DC kateter
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Tn. S, usia 40 tahun, dengan keluhan penurunan kesadaran


didiagnosis berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
Pada pasien ini, ditegakkannya diagnosis awal cedera kepala berat karena
pasien masih tidak sadar selama 20 menit dengan GCS E2 V2 M4, suara nafas
stridor, reflek pupil positif namun anisokor 3mm/ 2mm. Dari aloanamnesis juga
diketahui adanya penyebab cedera kepala yakni terjatuh dari pohon.
Diagnosis fraktur costa ditegakkan berdasarkan temuan krepitasi pada
thorax dextra dan hasil pemeriksaan foto thorax yang menunjukkan garis fraktur
di costa 8 dan 9 dextra.
Terapi awal di IGD RSUD Ambarawa, pasien mendapatkan Oksigen
NRM 8 LPM, Pasang cervical collar, IVFD RL 16 tpm, Inj Piracetam 3g, Inj
Citicolin 500 mg, Inj Ranitidin 1 ampul, Inj Ketorolac 1 ampul, Inj Metil
prednisolon 125 cc, Pasang DC kateter.
Setelah dikonsulkan ke dokter Sp.S pasien mendapat tambahan terapi inj
mecobalamin 1 ampul. Keluarga pasien juga diedukasi untuk rawat inap ruang
ICU namun menolak.
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Penegakan diagnosis merupakan hal yang menentukan dalam usaha
kesembuhan pasien seperti kasus pasien ini. Keadaan cedera kepala pasien pada
saat datang di IGD bisa ditangani dengan melakukan tatalaksana cedera kepala.

B. Saran
1. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan
seharusnya secara holistik dan optimal sehingga diagnosis dapat lebih
ditegakkan sesuai dengan masalah yang dihadapi pasien.
2. Penanganan kegawatdaruratan dan stabilisasi kondisi pasien yang lebih
adekuat guna memperbaiki prognosis pasien.
3. Edukasi kepada pasien dan keluarga pasien serta peningkatan pemahaman
masyarakat umum mengenai cedera kepala
DAFTAR PUSTAKA

Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua. Gajah


Mada University Press, 1991
Harsono, Kapita Selekta Neurologi, edisi kedua. Gajah Mada University Press,
2003
Iskandar J, Cedera Kepala, PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia, Jakarta,
1981
Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 1981
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/57030/Chapter%20II.pdf?
sequence=4 diakses pada 9 Juli 2018

Anda mungkin juga menyukai