Anda di halaman 1dari 21

Laporan

Pendahuluan
Profesi KGD
Nama Mahasiswa :

Kasus/Diagnosa Medis: Cedera


Kepala Sedang
Jenis Kasus : Trauma / Non Trauma
Ruangan: IGD
Kasus ke : 1

CATATAN KOREKSI PEMBIMBING

KOREKSI I KOREKSI II

(……………………………………….……) (………………………..…………………….)
Laporan Pendahuluan Profesi KGD 2020-2021

FORMULIR SISTEMATIKA
LAPORAN PENDAHULUAN
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT UNIVERSITAS FALETEHAN

1. Definisi Penyakit
Cedera kepala adalah cedera yang dapat mengakibatkan kerusakan otak akibat
perdarahan dan pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan penyebab
peningkatan tekanan intra kranial (TIK). (Brunner & Suddarth, 2002).
Menurut Brain Injury Assosiation of Amerika, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
menguba hkesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik (Snell,2006).
Cedera kepala merupakan kegawatdaruratan yang harus ditangani secara tepat dan
cermat. Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada dasarnya memiliki tujuan
untuk sedini mungkin memperbaiki keadaan umum serta mencegah cedera kepala
sekunder. Penanganan yang dilakukan saat terjadi cedera kepala adalah menjaga jalan
nafas penderita, mengontrol pendarahan dan mencegah syok, imobilisasi penderita,
mencegah terjadinya komplikasi dan cedera sekunder. Setiap keadaan yang tidak
normal dan membahayakan harus segera diberikan tindakan resusitasi pada saat itu
juga (Hardi, 2008).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Masjoer, A.
2011).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama tingginya angka mortalitas
dan morbiditas (kecacatan berat) di seluruh dunia sehingga masih menjadi salah satu
perhatian utama pada layanan kesehatan. Salah satu konsep yang berkembang akhir-
akhir ini menyatakan bahwa penyebab mortalitas dan morbiditas ini bukan akibat
cedera primer, namun akibat cedera sekunder yang bisa memburuk akibat penanganan
yang terlambat atau tidak tepat, termasuk dalam hal tatalaksana cairan dan elektrolit.
Pada tahap awal penanganan pasien cedera kepala, terapi memang sudah harus
difokuskan utamanya pada minimalisasi cedera otak sekunder (Bau Indah Aulyan
Laporan Pendahuluan Profesi KGD 2020-2021

Syah.,Syafruddin Gaus.,Sri Rahardjo 2016 ).

2. Etiologi
a. Kecelakaan Lalu Lintas : Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan
bermotor bertabrakan dengankenderaan yang lain atau benda lain sehingga
menyebabkan kerusakan ataukecederaan kepada pengguna jalan raya.
b. Jatuh : Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur
ke bawahdengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di
gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan : Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal
atau perbuatanseseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya
orang lain, ataumenyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara
paksaan).
Selain itu penyebab lain terjadinya trauma kepalakecelakaan
industri,serangan yang berhubungan dengan olah raga dan lain sebagainya
(Mansjoer, 2011 ).
1. Cedera Kepala Primer yaitu cedera yang terjadi akibat langsung dari trauma:
a. Kulit : Vulnus, laserasi, hematoma subkutan, hematoma subdural.
b. Tulang : Fraktur lineal, fraktur bersih kranial, fraktur infresi (tertutup &
terbuka).
c. Otak : Cedera kepala primer, robekan dural, contusio (ringan, sedang, berat),
difusi laserasi. (Arief mansjoer, 2000).
2. Cedera Kepala Sekunder yaitu cedera yang disebabkan karena komplikasi :
a. Oedema otak
b. Hipoksia otak
c. Kelainan metabolik
d. Kelainan saluran nafas
e. Syok

3. Manifestasi Klinis
a. Pingsan tidak lebih dari sepuluh menit
b. Setelah sadar timbul nyeri
c. Pusing
Laporan Pendahuluan Profesi KGD 2020-2021

d. Muntah
e. GCS : 13-15
f. Tidak terdapat kelainan neurologis
g. Pernafasan secara progresif menjadi abnormal
h. Respon pupil lenyap atau progresif menurun
i. Nyeri kepala dapat timbul segera atau bertahap

4. Deskripsi patofisiologi ( Berdasarkan Kasus kegawatdaruratan )


Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi, energi yang dihasilkan di dalam sel – sel syaraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula
dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang
dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari
seluruh kebutuhan tubuh, sehingga bila kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan
terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolisme anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh
darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan
asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan oksidasi
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metababolik. Dalam
keadaan normal Cerebral Blood Flow (CBF) adalah 50 – 60 ml / menit 100 gr.
Jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiak output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas atypical
myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru. Perubahan otonim pada
fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P aritmia, fibrilasi atrium dan
ventrikel serta takikardi. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan
vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh darah
arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada
pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
5. Tahapan / Grade/ Tingkatan Penyakit
Laporan Pendahuluan Profesi KGD 2020-2021

Kategori Penentuan Keparahan Cedera Kepala berdasarkan Nilai Glasgow


Coma Scale ( GCS ) menurut Mansjoer tahun 2011.

Penentuan Deskripsi
Keparahan
Minor/Ringan GCS 13 – 15
Sadar penuh, membuka mata bila dipanggil. Dapat terjadi kehilangan
kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit dan disorientasi.
Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia cerebral, dan hematoma.
Sedang GCS 9 -12
Kehilangan kesadaran,namun masih menuruti perintah yang sederhana
atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat
mengalami fraktur tengkorak.
Berat GCS 3 – 8
Kehilangan kesdaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga
meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intraktanial. Denagn
perhitungan GCS sebagai berikut :
 Eye : Nilai 2 atau 1
 Motorik : nilai 5 atau < 5
 Verbal : Nilai 2 atau 1

6. Pemeriksaan Penunjang
1. CT- Scan ( dengan tanpa kontras )
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan perubahan
jaringan otak.
2. MRI
Digunakan sama dengan CT – Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti : perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.

4. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
Laporan Pendahuluan Profesi KGD 2020-2021

5. X – Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur ) perubahan struktur garis
( perdarahan / edema ), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7. PET
Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.
8. CFS
Lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9. ABGs
Mendeteksi keradangan ventilasi atau masalah pernapasan ( oksigenisasi ) jika
terjadi peningkatan tekanan intra cranial.
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan
intrakranial.
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

7. Penatalaksanaan Medis/Operatif
 Primary survey :
1. Airway : menjaga jalan nafas dan kontrol servikal.
2. Breathing : menjaga pernafasan dengan ventilasi
3. Circulation : resusitasi cairan intravena.
4. Dissability : status neurologi dinilai dengan menilai tingkat kesadaran ukuran
dan reaksi pupil.
5. Exposure : membuka baju pasien untuk melihat apakah ada cedera lainnya
tetapi harus cegah hipotermia.
 Secondary survey : Riwayat AMPLE
A : Alergi
M: Medikasi
P : Past Illness ( penyakit penyerta ) Pregnancy
L : Last meal
E : Event/Enviroment ( lingkungan ) yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.
 Non Farmakologi / Keperawatan
Laporan Pendahuluan Profesi KGD 2020-2021

Prinsip penatalaksanaan cedera kepala adalah memperbaiki perfusi jaringan serebral,


karena organ otak sangat sensitif terhadap kebutuhan oksigen dan glukosa. Untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosa diperlukan keseimbangan anatara suplai dan
demand yaitu dengan meningkatkan suplai oksigen dan glukosa otak, dan dengan cara
menurunkan kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Untuk meningkatkan suplai oksigen di
otak dapat dilakukan melalui tindakan pemberian oksigen, mempertahankan tekanan darah
dan kadar hemoglobin yang normal. Sementara upaya untuk menurunkan kebutuhan
(demand) oksigen otak dengan cara menurunkan laju metabolisme otak seperti
menghindari keadaan kejang, stress, demam, suhu lingkungan yang panas, dan aktivitas
yang berlebihan (Denise, 2007).

8. Terapi Farmakologis
Prinsip dasar dari pengobatan TBI adalah suatu jaringan saraf terluka diberikan
kondisi yang optimal dimana untuk pulih, itu bisa kembali dalam fungsi normal.
Terapi medis untuk cedera otak termasuk cairan intravena, koreksi antikoagulan,
hiperventilasi sementara, mannitol (osmitol), salin hipertonik, barbuturat,
antikonvulsan.
a. Cairan intravena
Untuk menyadarkan pasien dan mempertahankan volemia norma anggota tim
trauma memberikan cairan intravena, darah dan produk darah yang diperlukan.
Hypovolemia pada pasien dengan TBI berbahaya. Harus berhati-hati untuk tidak
terlalu membebani pasien dengan cairan dan hindari menggunakan cairan
hipotonik. Selain itu, menggunakan cairan glukosa yang mengandung dapat
menyebabkan hiperglikemia yang dapat menyebabkan otak terluka. Ringer laktat
atau saline normal sehingga dianjurkan untuk resusitasi. Hati-hati memantau kadar
natrium serum pada pasien dengan cedera kepala. Hyponatremia berhubungan
dengan edema otak dan harus dicegah.
b. Koreksi Antikoagulan
Gunakan berhati-hati dalam menilai dan mengelola pasien dengan TBI yang
menerima antikoagulan atau terapi anti platelet. Setelah mendapatkan rasio
normalisasi internasional (INR), dokter harus segera mendapatkan CT pasien ini
ketika ditunjukan. Normalisasi cepat antikoagulan umumnya diperlukan.
c. Hiperventilasi
Laporan Pendahuluan Profesi KGD 2020-2021

Pada kebanyakan pasien normocarbia lebih disukai. Hiperventilasi tindakan


dengan mengurai PaCO2 dan menyebabkan vasokonstraksi serebral. Agresif dan
berkepanjangan hiperventilasi dapat mengakibatkan iskemia otak diotak yang
sudah terluka dengan menyebabkan vasokontriksi serebral parah dan dengan
demikian gangguan fusi per otak. Resiko ini sangan tinggi jika PaCO2
diperbolehkan untuk jatuh dibawah 30 mmHg (4.0 kPa). Hiperkarbia (PCO2-45
mmHg) akan mempromosikan vasodilatasi dan meningkatkan tekanan intracranial
dan kerena harus dihindari.
Hiperventilasi profilaksis (pCO2<25 mmHg) tidak dianjurkan (IIB). Gunakan
hiperventilasi hanya dimoderasi dan untuk sebagai terbatas periode mungkin .
secara umum adalah lebih baik untuk menjaga PaCO2 di sekitar 35 mmHg (4.7
kPa), akhir rendah dari kisaran normal (35 mmHg sampai 45 mmHg). Periode
singkat hiperventilasi (PaCO2 25 sampai 30 mmHg [3,3-4,7 kPal]) mungkin
diperlukan untuk mengelola kerusakan neurologis akut sementara perawatan
lainnya dimulai. Hiperventilasi akan menurun ICP pada pasien memburuk dengan
memperluas hematoma intracranial sampai dokter dapat melakukan kraniotomi
muncul.
d. Mannaitol
Manitol (osmitrol) digunakan untuk mengurangi ICP yang meningkat. Persiapan
yang paling umum adalah solusi 20 % (20g mannitol per 100 ml larutan). Jangan
memberikan mannitol pada pasien dengan hipertensi, karena mannitol tidak ICP
tidak lebih rendah pada pasien dengan hypovolemia dan diuretic osmotic ampuh.
Efek ini dapat lebih memperburuk hipotensi dan iskemia otak. Deterioration-
neurologis akaut seperti ketika seorang pasien dibawah pengamatan
mengembangkan dilatasi pupil, memiliki hemiparesis atau kehilangan kesadaran
merupakan indikasi yang kuat untuk administer – mannitol ing pada pasien
euvolemic. Dalam hal ini, memberikan pasien bolos mannitol (1g/kg) dengan cepat
(lebih dari 5 menit) dan mengangkut dia atau dia segera ke CT scanner atau
langsung keruangan jike lesi bedah penyebab sudah diidentifikasikan. Jika layana
bedah tidak tersedia,, mentransfer pasien untuk perawatan definitive.
e. Saline hipertonik
Saline hepertonik digunakan untuk mengurangi ICP tinggi dalan konsentrasi 3 %
menjadi 23,4 % ini untuk pasien hipotensi karena tidak bertindak sebagai diuretic.
Laporan Pendahuluan Profesi KGD 2020-2021

Namun tidak ada perbedaannya dan saline hipertonik dalam menurunkan ICP dan
tidak memadai menurunkan ICP pada pasien hipovolemik.
f. Antukolvulsan
Epilepsy pasca trauma terjadi pada sekitar 5 % pasien dirawat dirumah sakit
dengan cedera kepala berat. Tiga factor utama terkait dengan tingginya insiden
akhir epilepsy kejang terjadi pada minggu pertama , hematoma intracranial , dan
patah tulang tengkorak depresi, kejang akut dapat dikontrol dengan antikonvulsan,
namun penggunaan antikonvulsan tidak akan berubah jangka Panjang hasil
traumatis kejang.
Penggunaan profilaksis fenitoin (Dilattin) atau valproate (Depakote) tidak
dianjurkan untuk mencegah akhir kejang pasca trauma (PTS). Fentolin dianjurkan
untuk menurunkan kejadian PTS awal (dalam waktu 7 hari dari cedera) , ketika
manfaat keseluruhan dirasakan lebih besar dari pada komplikasi yang terkait
dengan pengobatan tersebut.

9. Pemeriksaan fisik ( Berdasarkan ABCD / Kasus Kegwatdaruratan)


Pengkajian Primer dan Sekunder :
a. Pengkajian Primer (Paula, Santa, Suratun, Wartonah, Sumartini., et al, 2016).
1. Respon
a. A : Alert (waspada)
b. V : Responds to Voice (Respon terhadap suara)
c. P : Responds to Pain (Respon terhadap nyeri)
d. U : Unresponsive (Tidak berespon)
2. Airway
a. Cek tanda-tanda trauma kapitis
1. Trauma kapitis dengan penurunan kesadaran
2. Jejas diatas klavikula
3. Multiple trauma
4. Biomekanikal trauma
b. Pengkajian jalan nafas
1. Looking : tanda-tanda hipoksia, trauma jelas yang ada di jalan nafas.
2. Listening : suara nafas abnormal contoh stridor.
3. Imobilisasi tulang belakang dengan hard collar atau imobilisasi yang
Laporan Pendahuluan Profesi KGD 2020-2021

dilakukan dengan alas keras, panjang dan datar (long spine board).
4. Oksigen tambahan (aliran rendah).
5. Pemeliharaan kepatenan jalan nafas dengan : jaw thrust / chin lift, oral
airway, suction.
6. Intubasi endotrakeal, indikasi : kebutuhan untuk menjaga kepatenan jalan
nafas, koreksi terhadap hipoksemia, trauma kepala berat, tingkat
kesadaran yang berubah-ubah, injuri traumatic mayor.
3. Breathing
a. Frekuensi nafas
b. Oksigenasi
c. Evaluasi IAPP (Inspeksi, auskultasi, perkusi, palpasi)
1. Tension pneumothorak (tindakan kassa 3 sisi)
2. Open pneumothorak (tindakan needle thoracocentetis)
3. Flail chest (tindakan posisi nyaman)
4. Temponade jantung (perikardiosintesis)
5. Hemotorak (tindakan syok)
4. Circulation dengan control perdarahan
a. Cek nadi dan iramanya.
b. Cek perfusi perifer.
c. Pasang infus di dua vena untuk akses IV.
d. Kirimkan sampel darah untuk persiapan transfuse.
e. Hipotensi merupakan tanda hipovolemia, waspada dengan ukur tekanan darah.
5. Disability
a. Scala coma glasglow (E 4, M 6, V 5)
b. Observasi pupil.
6. Exposure
a. Perlunya inspeksi keseluruhan tubuh pasien.
b. Selimuti pasien untuk mengurangi kehilangan panas tubuh.
7. Folley kateter
Pemasangan kateter foley dengan kontra indikasi sebagai berikut
a. Laki-laki :
1. OUE (orivisium uretra eksterna)
2. Prostat melayang
Laporan Pendahuluan Profesi KGD 2020-2021

3. Hematom scrotum
b. Perempuan :
1. OUE (orivisium uretra eksterna)
2. Suprasimpisis pubis
3. Perineum hematom
8. Gastric tube yaitu pemasangan NGT (Naso gastric tube).
9. Heart monitor yaitu pemasangan monitor jantung atau EKG.
b. Pengkajian Sekunder (Paula, Santa, Suratun, Wartonah, Sumartini., et al, 2016).
1. Anamnesis menggunakan KOMPAK (keluhan, obat terakhir, makanan terakhir,
penyakit sebelumnya, alergi dan kejadian) dan mekanisme trauma, riwayat
medis, identifikasi dan mencatat obat yang diberikan kepada penderita sewaktu
datang dan selama pemeriksaan dan penatalaksanan.
2. TTV dan pemeriksaan fisik head to toe

10. Patoflow
Laporan Pendahuluan Profesi KGD 2020-2021

Kecelakaan

Trauma Kepala

Metabolisme otak meningkat

Kebutuhan O2meningkat

Aliran darah ke otak terganggu

Peningkatan TIK Nyeri Akut

Gangguan fungsi otak Mual muntah, pandangan kabur,


penurunan fungsi pendengaran,
nyeri kepala.
Disfungsi Serebral

Resiko Perfusi Kekurangan intake cairan


serebral tidak
efektif
Resiko Hipovolemia

11. Analisa Data


Laporan Pendahuluan Profesi KGD 2020-2021

Data Etiologi Masalah

Faktor Resiko : Kecelakaan Resiko Perfusi Serebral


- Cedera kepala Tidak Efektif b.d
- Hipertensi Trauma kepala Disfungsi serebral.
- Infark miokard akut
Metabolisme otak
meningkat

Kebutuhan O2 meningkat

Aliran darah ke otak


terganggu

Peningkatan TIK

Gangguan fungsi otak

Disfungsi Serebral

Resiko Perfusi serebral tidak


efektif

DS: Nyeri akut b.d


Kecelakaan
-Pasien mengeluh pusing Peningkatan TIK
dan mual muntah
Trauma kepala

DO :
Metabolisme otak
-pasien tampak meringis
meningkat
- TD 100/70 mmHg

Kebutuhan O2 meningkat
Laporan Pendahuluan Profesi KGD 2020-2021

Aliran darah ke otak


terganggu

Peningkatan TIK

Nyeri Akut

Kecelakaan
Faktor Risiko : Resiko Hipovolemia b.d
- Kehilangan cairan secara Kekurangan intake cairan
Trauma kepala
aktif.
- Gangguan absorbsi cairan.
- Kekurangan intake cairan. Metabolisme otak
meningkat

Kebutuhan O2 meningkat

Aliran darah ke otak


terganggu

Peningkatan TIK

Mual muntah, pandangan


kabur, penurunan fungsi
pendengaran, nyeri kepala.

Kekurangan intake cairan

Resiko Hipovolemia
Laporan Pendahuluan Profesi KGD 2020-2021

12. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul dan Prioritas Diagnosa


a. Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif b.d Disfungsi serebral.
b. Nyeri akut b.d Peningkatan TIK
c. Resiko Hipovolemia b.d Kekurangan intake cairan
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No Diagnosa Perencanaan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
(SLKI) (SIKI)
(SDKI)
1. Resiko Perfusi Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Peningkatan TIK - Untuk mengetahui penyebab peningkatan
Serebral Tidak selama 6 sampai 8 jam maka tercapai Observasi : TIK.
Efektif b.d “perfusi serebral” dengan kriteria hasil : - Identifikasi penyebab - Untuk mengetahui tanda dan gejala
- Tingkat kesadaran meningkat. peningkatan TIK.
Disfungsi serebral. peningkatan TIK.
- Tekanan intracranial menurun.
- Monitor tanda/gejala - Untuk mengetahui status pernapasan klien.
- Sakit kepala tidak ada.
peningkatan TIK. - Untuk mengetahui intake dan output cairan.
- Gelisah tidak ada.
- Monitor status pernapasan.
- Nilai tekanan darah dalam
- Monitor intake dan output
rentang normal (120/80).
cairan.
Teraupetik :
- Minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang
tenang .
- Berikan posisi semi fowler.
- Pertahankan suhu tubuh
normal.
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian sedasi
dan anti konvulsan jika perlu.
- Kolaborasi pemberian diuretic
osmosis jika perlu.

2. Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Nyeri - Untuk mengetahui lokasi nyeri.
selama 6 sampai 8 jam maka tercapai Observasi : - Untuk mengetahui efek samping
Nyeri akut b.d
“Tingkat Nyeri” dengan kriteria hasil : - Identifikasi lokasi, penggunaan analgetik.
Peningkatan TIK
- Tampak meringis tidak ada. karakteristik, durasi, - Untuk memberikan strategi meredakan
- Gelisah tidak ada. frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri.
- Muntah tidak ada. nyeri.
- Untuk berkolaborasi memberikan analgetik.
- Mual tidak ada. - Identifikasi skala nyeri.
- Tekanan darah dalam rentang normal - Monitor efek samping
(120/80). penggunaan analgetik.
Terapeutik :
- Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
- Fasilitasi istirahat dan tidur.
Edukasi :
- Jelaskan strategi meredakan
nyeri.
- Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri.
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian
analgetik.

3. Setelah dilakukan asuhan keperawatan


Resiko Hipovolemia selama 6 sampai 8 jam maka tercapai Manajemen Hipovolemia - Untuk mengetahui tanda dan gejala
b.d Kekurangan “Status Cairan” dengan kriteria hasil : Observasi : hipovolemia.
intake cairan - Tekanan darah dalam rentang normal - Periksa tanda dan gejala - Untuk mengetahui intake dan output cairan.
(120/80). hipovolemia. - Untuk mengetahui kebutuhan cairan.
- Intake cairan terpenuhi. - Monitor intake dan output - Untuk mengajarkan memperbanyak asupan
cairan.
cairan oral.
Terapeutik :
- Berikan asupan cairan.
- Hitung kebutuhan cairan.
Edukasi :
- Anjurkan memperbanyak
asupan cairan oral.
Dibawah ini adalah Evidance based Practice yang ditemukan terkait dalam menunjang
penanganan dan pengelolaan pada kasus cidera kepala :

1. Head Up In Management Intracranial For Head Injury Paper Evidence


Based Practice (Ebp)

Tujuannya untuk mengetahui variable mana yang fisiologis dan situsional


mempengaruhi penilaian perawat unit intensif yang peduli resiko pasien untuk
cedera otak sekunder. Dalam penelitian ini bertujuan untuk menentukan bagaimana
ketinggian kepala pada tempat tidur dari 20˚ dan 45˚ mempengaruhi dinamika
serebrovaskular pada pasien dewasa dengan vasospasme ringan atau sedang
setelah aneurisma subarachnoid hemorrhage dan untuk menggambarkan respon
vasospasme ringan atau sedang kepala pada tempat tidur elevasi 20˚ dan 45˚
terhadap variable seperti kelas perdarahan subarachnoid dan tingkat vasospasme

Metode penelitiannya pasien desain ulang dengan langkah yang digunakan. Kepala
pasien dan tempat tidur diposisikan urutan 0˚- 20˚- 45˚- 0˚- 20˚ pasien dengan
vasospasme ringan atau sedang antara hari ke 3 dan 14 setelah mengalami
aneurisma subaracnoid hemorrhage. Kontinyu transkranial Doppler rekaman
diperoleh selama 2-5 menit setelah membiarkan sekitar 2 menit untuk stabilisasi
dalam setiap posisi

Hasilnya ada pola trend yang menunjukkan bahwa kepala pada tempat tidur yang
ditinggikan akan meningkatkan vasospasme. Sebagian kelompok, tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam pasien pada posisi yang berbeda dari kepala yang
ditinggikan tempat tidurnya. Memanfaatkan lain langkah analisis varians, nilai P
berkisar 0,34- 0,97, baik melampaui 0,5. Hal tersebut menunjukkan tidak ada
kerusakan saraf terjadi.

Kesimpulan secara umum, elevasi kepala pada tempat tidur tidak menyebabkan
perubahan berbahaya dalam aliran darah di otak yang berhubungan dengan
vasospasme.
2. The Effect Of Giving Oxygenation With Simple Oxygen Mask and The
Position 30° Of Head Toward To Change Of Consciousness Levels Of
Moderate Head Injury Patients In Banjarmasin Ulin General Hospital

Suwandewi (2015) juga mengemukakan hasil penelitiannya yang berjudul The


Effect Of Giving Oxygenation With Simple Oxygen Mask and The Position 30° Of
Head Toward To Change Of Consciousness Levels Of Moderate Head Injury
Patients In Banjarmasin Ulin General Hospital yang dilakukan di ruang Intensive
Care Unit (ICU) dengan menggunakan instrument Glasgow Coma Scale (GCS)
dengan jumlah responden sebanyak 30 orang yang mengalami cedera kepala
sedang (GCS 9 – 12) 24 orang mengalami perubahan peningkatan kesadaran (nilai
GCS) dan 6 orang mengalami penurunan kesadaran dari nilai kesadaran
sebelumnya.

Posisi head up 30⁰ dapat memberikan perfusi dari dan ke otak meningkat
sehingga kebutuhan oksigen dan metabolisme meningkat ditandai dengan
peningkatan status kesadaran diikuti oleh tanda-tanda vital yang lain. Pengaturan
posisi head up 30⁰ pada pasien cedera kepala memberikan hasil yang lebih baik
yaitu mampu meningkatkan perfusi jaringan serebral, sehingga mampu
mempercepat proses penyembuhan pasien yang mengalami cedera kepala. Tetapi
hal ini perlu kewaspadaan khusus pada pasien yang mengelami cedera kepala
dengan fraktur basis cranii yaitu perlu dilakukan pengaturan posisi yang berbeda
yaitu lebih dianjurkan pada posisi supine.
DAFTAR REFERENSI

Bau Indah Aulyan Syah, Syafruddin Gaus, Sri Rahardjo“ Manajemen Cairan dan Elektrolit
pada Pasien Cedera Kepala”2016: 1-13.
Habibie.T., Bidjuni.H., Malara.T.R.,(2017) Hubungan Cedera Kepala dengan Disorientasi
Pada Pasien Kecelakaan Lalu Lintas di IGD RS Bhayangkara Manado : e-journal
Keperawatan Volume 5,Nomor 1

Pertami, Budi Sumirah., Sulastyawati., Anami, Puthut., (2017). Effect of 30⁰ Head-up
Position on Intracranial Pressure Change in Patient with Head Injury in Surgical
Ward of General Hospital of Dr. R Soedarsono Pasuruan. PublicHealth of Indonesia.
Vol. 3. pp:89-95.

Ristanol. R., Indra.R., Setyorini.I.,(2016) Akurasi Revised Trauma Score Sebagai Predikator
Mortality Pasien Cedera Kepala : Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti, Volume 4,
Nomor 2. Hal 79-90.

Suwabdewi, Alit (2015). The Effect Of Giving Oxygenation With Simple Oxygen Mask and
The Position 30° Of Head Toward To Change Of Consciousness Levels Of Moderate
Head Injury Patients In Banjarmasin Ulin General Hospital.Oral Presentation –
ICDMIC2017.

Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi 1 : Definisi dan Indiator Diagnostik


Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1 : Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1 : Definisi dan Tindakan Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai