Anda di halaman 1dari 262

TRAUMA CAPITIS

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cedera kepala adalah trauma kepala yang menyebabkan cedera pada kulit kepala,
tulang tengkorak, maupun otak.

Seorang yang mengalami trauma kepala dapat terjadi perubahan-perubahan morfologi


dan patofisiologi baik intrakranial maupun sistemik, hal ini tergantung dari berat-ringannya
trauma. Pada saat terjadi benturan kepala dapat tmengakibatkan gangguan fungsi sel-sel otak,
tetapi belum rusak, maka bila situasi menguntungkan dapat pulih kembali dalam beberapa
menit, beberapa jam, atau sampai beberapa hari. Perlu disadari bahwa dalam perjalanan dari
tempat kejadian kecelakaan dan sampai di rumah sakit merupakan saat-saat kritis karena pada
saat itu biasanya tidak ada pengobatan sama sekali ( Therapeutic Vacuum ), hal ini yang
seringkali memperberat keadaan penderita saat sampai di Unit Gawat Darurat (UGD).

Adanya proses patofisiologi sekunder baik biokimia ( metabolik ) maupun struktural


dapat menimbulkan kerusakan sel-sel otak lebih lanjut, baik yang sudah terganggu fungsinya
maupun yang masih baik, maka akibat sekunder ini perlu mendapatkan perhatian dan
pengobatan yang intensif. Proses sekunder ini yang mempengaruhi fungsi skeletal jaringan otak
meliputi : hipoksia, hipotensi, peninggian tekanan intrakranial dan gangguan autoregulasi.
Pemahaman tentang letak, perluasan dan jenis lesi intrakranial pada tiap pasien diperlukan
untuk penanganan secara optimal.

Tujuan utama intervensi pembedahan dini atau darurat pada trauma kepala ialah untuk
mempertahankan dan memperbaiki fungsi otak, melakukan koreksi pada fraktur yang
menekan, mengeluarkan bekuan darah, mengontrol perdarahan, mencegah atau mengurangi
tekanan intrakranial, mencegah timbulnya infeksi dan sebagainya.

Cedera kepala dan komplikasinya merupakan penyebab dari sejumlah besar kematian
akibat cedera pada anak-anak. Cedera kepala hebat juga menyebabkan kerusakan yang serius
pada otak yang sedang berkembang, sehingga mempengaruhi perkembangan fisik, kecerdasan
dan emosional anak dan menyebabkan cacat jangka panjang.

Cedera kepala bertanggung-jawab atas separuh kematian karena cedera. Merupakan


komponen yang paling sering pada cedera multiple. Ditemukan pada 75% korban tewas karena
kecelakaan lalu-lintas. Untuk setiap kematian, terdapat dua kasus dengan cacat tetap, biasanya
sekunder terhadap cedera kepala.

1|Page
Masalalah yang biasa dihadapi adalah jauhnya, ketersediaan fasilitas serta tingkat
kompetensi bedah syaraf setempat, serta lambatnya tindakan definitif, organisasi kegawat-
daruratan, dan profil cedera. Yang terpenting adalah pengelolaan ventilasi dan hipovilemia
yang berperan dalam menimbulkan kerusakan otak sekunder yang bisa dicegah. Transfer tidak
boleh diperlambat oleh tindakan diagnostik.

Penyebab kecacatan atau kematian yang dapat dicegah antara lain adalah
keterlambatan resusitasi atau hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi, keterlambatan tindakan
definitif terutama terhadap hematoma intrakranial yang berkembang cepat, serta kegagalan
mencegah infeksi.

Benturan pada kepala berpotensi untuk menimbulkan gangguan pada sel-sel otak,
secara primer ataupun sekunder. Pengawasan secara dini penting untuk menilai kondisi pasien
secara lebih menyeluruh. Tujuan utama pada penderita trauma kepala adalah mencegah
kerusakan jaringan otak lebih lanjut dan mempertahankan fungsi jaringan otak yang masih
baik.

1.2. Maksud dan Tujuan

Referat ini disusun dengan maksud dan tujuan sebagai berikut :

1. Sebagai bentuk pemenuhan tugas kelompok selama masa pendidikan


profesi dokter muda Fakultas Kedokteran Hang Tuah di SUBDEP Radiologi RSAL
dr.Ramelan.
2. Untuk menambah wawasan tentang Trauma Kapitis dari segi definisi,
anatomi, etiologi, epidemiologi, diagnose dan terapi.
3. Untuk mengetahui gambaran radiologi trauma kapitis, terutama bagi
kami dan teman – teman dokter muda lainnya.

1.3. Definisi Trauma Kapitis

Trauma kapitis adalah bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam
menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosi, sosial atau sebagai gangguan
traumatik yang dapat menimbulkan perubahan pada fungsi otak. (Black, 1997)

2|Page
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung
pada kepala. (Suriadi, 2003)

Cedera kepala adalah cedera yang menimbulkan kerusakan atau perlukaan pada kulit
kepala, tulang tengkorak, dan jaringan otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan.
(Lukman, 1993).

1.4. Epidemiologi

Mayoritas trauma kapitis disebabkan kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab utama cedera yang mematikan dan penyebab utama terjadinya cedera
yang tidak fatal. Kecelakaan lalu lintas menyebabkan sekitar 45.000 kematian, 357.000 rawat
inap, dan lebih dari 4 juta kasus gawat darurat per tahun, atau rata-rata 123 kematian dan
lebih dari 100.000 cedera non fatal per hari.
Pada orang tua yang berumur 75 tahun atau memiliki resiko yang relatif tinggi untuk
mati karena kecelakaan lalu lintas (24,9% per 100.000 pada umur 75 sampai 84 tahun dan
28,8% pada umur 85 tahun atau lebih). Pada orang muda, resiko terjadinya cedera fatal dan
cedera non fatal karena kecelakaan lalu lintas lebih tinggi dibanding dengan resiko pada orang
tua. Angka kematian orang muda akibat kecelakaan lalu lintas di amerika mencapai 41% per
100.000 kasus dan di New Zealand mencapai 63% per 100.000 kasus.
Angka kejadian pada pria adalah 2 kali lebih banyak daripada pria, terutama antara
umur 15 hingga 24 tahun. Pada umur 45 tahun atau lebih, angka kejadian kecelakaan lalu lintas
yang menyebabkan rawat inap hampir sama.
Ketika kecelakaan terjadi, faktor yang menentukan tingkatan cedera antara lain
kecepatan benturan dan penggunaan alat-alat pengaman, seperti sabuk pengaman dan helm.
Ketika digunakan, sabuk pengaman dapat mengurangi resiko terjadinya cedera sedang atau
berat sebesar 50%.

I.5. Etiologi
Penyebab yang sering adalah kecelakaan lalu lintas dan terjatuh. Seiring dengan
kemajuan teknologi, frekuensi cedera kepala cenderung meningkat. Cedera kepala melibatkan
kelompok usia produktif yaitu antara 15 - 44 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun dan lebih
didominasi oleh kaum laki-laki.

Cedera kepala dapat dibagi menurut berat ringannya :


a. Cedera kepala ringan/minor (Hudak & Gallo, 1996)
- GCS : 13-15
- Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia < 30 menit
- Tidak ada fraktur tengkorak

3|Page
- Tidak ada kontusio serebral
- Tidak ada hematoma

b. Cedera kepala sedang


- GCS : 9-12
- Kehilangan kesadaran atau amnesia > 30 menit tapi < 24 jam
- Dapat mengalami fraktur tengkorak

c. Cedera kepala berat


- GCS : 3-8
- Kehilangan kesadaran atau amnesia > 24 jam
- Juga meliputi kontusio serebral
- Laserasi
- Hematoma intracranial

Gejala yang muncul bergantung pada jumlah dan distribusi cedera otak:
a. Penurunan kesadaran
b. Nyeri setempat
c. Sukar bangun dan bicara
d. Muntah
e. Kelemahan pada suatu sisi tubuh tiba-tiba
f. Pembengkakan pada daerah fraktur
g. Abnormalitas pupil
h. Perubahan tanda-tanda vital.
Pada klasifikasi klinis cedera kepala misalnya: cedera kepala disertai cedera pada
daerah spinal atau cedera ekstremitas, pengklasifikasian berdasarkan cedera kepala terbuka
dan tertutup, cedera kepala coup dan contra coup :

1. Cedera Kepala Terbuka


a. Cedera kepala terbuka berarti mengalami laserasi kulit kepala atau menembus otak.
Ini dapat menimbulkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi durameter.
b. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk ke dalam otak, sehingga
menyebabkan kerusakan atau robekan pada durameter, pembuluh darah dan jaringan
otak.
c. Tanda dan gejala cedera kepala terbuka:
- Battle sign : echymosis pada daerah mastoid
- Perdarahan telinga, periorbital.

2. Cedera Kepala Tertutup


a. Dapat disamakan dengan pasien gegar ringan dengan edema serebral ringan
b. Komosio serebri atau gegar otak

4|Page
Adalah sindrom yang melibatkan bentuk ringan dari cedera otak menyebar, terjadi
disfungsi neurologik sementara dan bersifat dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran, jika ada penurunan kesadaran mungkin hanya beberapa detik atau beberapa menit.
Setelah itu pasien mungkin mengalami disorientasi dan bingung dalam waktu relative singkat,
gejala lain : sakit kepala, tidak mampu untuk berkonsentrasi, gangguan memori sementara.

3. Kontusio Serebri / Memar Otak


Menggambarkan area otak yang mengalami memar tanpa mengalami laserasi. Tanda
dan gejala bervariasi tergantung pada lokasi dan derajat perdarahan kecil pada jaringan otak
akibat pecahnya pembuluh darah kapiler, rusaknya jaringan saraf yang akan mengakibatkan
edema jaringan otak dan sekitarnya pada akhirnya meningkatkan tekanan intra cranial (TIK)
dan meningkatkan laju mortalitas.
- Cedera coup mengakibatkan kebanyakan kerusakan yang relative dibagian daerah
yang terbentur
- Cedera contra coup mengakibatkan kerusakan berlawanan pada sisi desakan
benturan.
Cedera kepala coup dan contra coup setelah trauma tumpul :
1. Cedera Kepala Coup
- Sisi benturan dan trauma langsung pada otak
- Robekan pada vena subdural
- Trauma pada dasar otak
2. Cedera Kepala Contra Coup
- Sisi benturan dari pukulan otak sisi berlawanan dari tengkorak
- Robekan kuat pada otak
BAB II

2. Anatomi calvaria

5|Page
6|Page
7|Page
8|Page
3.1. Pembahasan Trauma Kranii

9|Page
BAB III

3.Pembahasan dan Gambaran Radiologis

10 | P a g e
Depressed skull fracture

11 | P a g e
Depressed Skull Fracture (CT )

Simple vault fracture

Base of Skull Fracture

3.1.1 Subdural Hematoma

12 | P a g e
Perdarahan subdural (SDH ), merupakan perdarahan dibawah lapisan duramater yang sering
terjadi pada usia remaja karena kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orangtua
biasanya disebabkan trauma akibat jatuh. Kematian karena SDH cukup tinggi , sedikitnya 50%
dari angka kejadian, sedangkan hanya 1 dar 5 orang yang berhasil sembuh dapat kembali
dalam kondisi normal sisanya bisa mengalami kelumpuhan total, sebagian atau komplikasi

lainnya.

Perdarahan Subdural bisa disebabkan karena luka terbuka atau tertutup . Trauma yang
terjadi menyebabkan robekan pada vena yang menghubungkan bagian cortex ( bridging vein )
menuju sinus dalam tulang tengkorak sehingga saat trauma darah mengisi ruangan antara
duramater dan piamater Subdural ).

Pada CT-Scan , gambaran SDH terlihat jelas dengan gambaran hyperdense dan ada
bentukan khas seperti bulan sabit ( Half Moon atau Cresentic ), gambaran ini terbentuk karena
ada falx cerebri yang menghalang sehingga darah tidak mengisi ruangan di hemisphere lain dan
hanya mengisi sesuai gyrus – gyrus pada tempat terjadinya trauma.

Klasifikasi :

I. Klinis.
a) Akut = Gejala timbul 24 jam setelah trauma
b) Sub akut = Gejala timbul dalam 1 – 10 hari pascatrauma
c) Kronis = Gejala timbul lebih dari 10 hari pasca trauma

II. Radiologis (CT – Scan )


a) Akut = Hiperdense ( 1 – 3 hari )
b) Sub akut = Isodense (4 hari – 3 minggu )

13 | P a g e
c) Kronis = Hipodensitas ( > 3minggu tapi < 4 bulan)

Gejala Klinis = terdapat penurunan kesadaran , hemiparese , pappiledema, diplopia


unilateral.

Terapi = Pada SDH akut jelas dilakukan Operasi Burr Hole, sedangkan pada
SDH dengan volume kecil dan keadaan pasien yang stabil maka bias dilakukan tindakan
konservatif.

3.1.2. Subarachnoid Hematoma

DEFINISI

Subarachnoid hemorrhage adalah pendarahan ke dalam ruang (ruang subarachnoid)


diantara lapisan dalam (pia mater) dan lapisan tengah (arachnoid mater) para jaringan yang
melindungan otak (meninges). Penyebab yang paling umum adalah pecahnya tonjolan pada
pembuluh (aneurysm). Biasanya, pecah pada pembuluh menyebabkan tiba-tiba, sakit kepala

14 | P a g e
berat
,
serin
gkali
diikut
i
kehil
anga
n
singk
at
pada
kesad
aran.

Subarachnoid hemorrhage adalah gangguan yang mengancam nyawa yang bisa cepat
menghasilkan cacat permanen yang serius. Hal ini adalah satu-satunya jenis stroke yang lebih
umum diantara wanita.

PENYEBAB

Subarachnoid hemorrhage biasanya dihasilkan dari luka kepala.


Subarachnoid hemorrhage dipertimbangkan sebagai sebuah stroke hanya ketika hal itu terjadi
secara spontan-yaitu, ketika pendarahan tidak diakibatkan dari kekuatan luar, seperti
kecelakaan atau jatuh.

Pendarahan spontan biasanya diakibatkan dari pecahnya secara tiba-tiba aneurysm di


dalam arteri cerebral. Aneurysma menonjol pada daerah yang lemah pada

dinding arteri. Aneurysma biasanya terjadi dimana cabang nadi. Aneurysma kemungkinan hadir
ketika lahir (congenital), atau mereka berkembang kemudian, setelah tahunan tekanan darah

15 | P a g e
tinggi melemahkan dinding arteri. Kebanyakan subarachnoid hemorrhage diakibatkan dari
aneurysm sejak lahir.

Agak sering terjadi, subarachnoid hemorrhage diakibatkan dari pecahnya jaringan tidak
normal antara arteri dengan pembuluh (arteriovenous malformation) di otak atau sekitarnya.
Arteriovenous malformation kemungkinan ada sejak lahir, tetapi hal ini biasanya
diidentifikasikan hanya jika gejala terjadi. Jarang, penggumpalan darah terbentuk pada klep
jantung yang terinfeksi, mengadakan perjalanan(menjadi embolus) menuju arteri yang
mensuplai otak, dan menyebabkan arteri menjadi meradang. Arteri tersebut bisa kemudian
melemah dan pecah.

GEJALA

Sebelum pecah aneurysm biasanya tidak menyebabkan gejala-gejala sampai


menekan saraf atau bocornya darah dalam jumlah sedikit, biasanya sebelum
pecahnya besar (yang menyebabkan sakit kepala). Kemudian menghasilkan tanda
bahaya, seperti berikut di bawah ini :

 Sakit kapala, yang bisa tiba-tiba tidak seperti biasanya dan berat
(kadangkala disebut sakit kepala thunderclap).
 Nyeri muka atau mata.
 Penglihatan ganda.
 Kehilangan penglihatan sekelilingnya.

Tanda bahaya bisa terjadi hitungan menit sampai mingguan sebelum pecah. Orang
harus melaporkan segala sakit kepala yang tidak biasa kepada dokter dengan segera.

DIAGNOSA

Jika orang mengalami secara tiba-tiba, sakit kepala hebat yang puncaknya dalam
hitungan detik disertai oleh berbagai gejala yang diduga stroke, mereka harus segera pergi ke
rumah sakit. Computed tomography (CT) dilakukan untuk memeriksa pendarahan. Ketukan
tulang belakang (lumbar puncture) dilakukan jika CT tidak meyakinkan atau tidak tersedia. Hal
itu bisa mendeteksi darah apa saja di dalam cairan cerebrospinal. Ketukan tulang belakang
tidak dilakukan jika dokter menduga bahwa tekanan di dalam tengkorak meningkat. Cerebral
angiography dilakukan segera mungkin untuk memastikan diagnosa dan untuk
mengidentifikasikan lokasi aneurysm atau arteriovenous malformation menyebabkan
pendarahan. Magnetic resonance angiography atau CT angiography kemungkinan digunakan
sebagai pengganti.

16 | P a g e
3.1.3. Epidural Hematoma

•» Pendahuluan

Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering
terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang tengkorak yang kaku dan
keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang di sebut dura.
Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum
tabula interna..

Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk
suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari
pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan
maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah
yang di kenal dengan sebutan epidural hematom.

Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency dan biasanya
berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga
menimbulkan perdarahan. Vena epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh
vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery
yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila
terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi

•» Gambaran Klinis

Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan
kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga
tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga.

17 | P a g e
Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti.
Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera
kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala yang sering tampak :
• Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
• Bingung
• Penglihatan kabur
• Susah bicara
• Nyeri kepala yang hebat
• Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
• Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
• Mual
• Pusing
• Berkeringat
• Pucat
• Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau
serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi
cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi
tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran
menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya
kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-
gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal
batang otak.

Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas
tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.

•» Gambaran Radiologi

Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih
mudah dikenali.

Foto Polos Kepala

18 | P a g e
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural
hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami
trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria
meningea media.

Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara
intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula
terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah
temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong
ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang
tinggi pada fase yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh
darah.

19 | P a g e
Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi


duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan
batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk
menegakkan diagnosis.

20 | P a g e
3.1.4. Intra Cerebral Hemorrhage

 Definisi:

Adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pecahnya mikro aneurisma pada arteri-
arteri yang berada di otak. Hal ini menyebabkan terdesaknya lapisan otak oleh cairan (darah)
sehingga berakibat menurunnya fungsi dari otak tersebut.

 Gambaran Radiologis:

Pada pemeriksaan CT-Scan tampak area hiperdens homogen. Bila pemeriksaan CT-Scan
dilakukan lebih dari 2 minggu sejak onset serangan, maka tampak gambaran enhancement
berbentuk cincin di daerah perifer hematom yang bisa menetap sampai 1 bulan. Sedangkan
pada stadium kronis, maka area hematom akan menjadi hipodens berbatas tegas karena
hematomnya telah diserap dan sebagian membeku pada lapisan otak.

 Patofisiologi:
Pada intracerebral hematom, perdarahan terjadi di dalam lapisan otak. Perdarahan ini
lebih sering terjadi di daerah central dekat dengan ventrikel otak. Hematom dapat pula terjadi
di daerah lateral dari ventrikel otak.
Hematom yang membesar di daerah central menyebabkan tekanan pada daerah
ventrikel. Sehingga menyebabkan pergeseran garis tengah dan kompresi ventrikel baik
ventrikel kanan atau ventrikel kiri. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda
neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.
Dengan makin membesarnya hematom, maka seluruh bagian tengah otak akan
terdesak keluar, sehingga menyebabkan tekanan intrakranialnya meningkat. Tekanan
intakranial yang meningkat memiliki tanda-tanda kaku kuduk, nyeri kepala hebat, hingga
penurunan kesadaran.
 Gambaran Klinis:
Pada penyakit trauma ini pasien memiliki tanda-tanda neurologis, seperti nyeri kepala
hebat, muntah, kejang-kejang, kesadaran menurun. bradikardi, dan kadang disertai perdarahan
pada retina.

Gambar:

21 | P a g e
Gambaran CT-Scan Kepala Bleeding Gambaran CT-Scan Kepala
Intracerebral Hemoragik dengan asosiasi perdarahan
pada Intraventrikuler

Gambaran CT-Scan Kepala


Stroke Ischemic Hemispere Kanan

3.1.5. Diffuse Axonal Injury

Merupakan salah satu cedera otak traumatis,dimana kerusakannya terjadi didaerah


yang lebih luas dari pada fokus cerera otak.terjadi lesi yang luas didaerah white
matter,sehingga merupakan penyebab utama ketidaksadaran dan menetap didaerah vegetatif
setelah terjadinya trauma.ini terjadi pada sebagian besar trauma kepala dengan kasus yang
berat dan juga pada cerera otak sedang dan ringan.akibatnya terjadi koma dan sekitar 90%
kasus dengan cedera otak berat ini tidak sadarkan diri.sekalipun dapat sadar kembali tapi tidak
dapat kembali seperti semula.

Dari hasil penelitian pada Diffuse Axonal Injury (DAI) berdasarkan tingkat keparahan
paling ringan sampai paling berat maka concussion adalah jenis yang ringan yang menyebabkan
DAI.

Untuk menjelaskan koma pasca traumatik yang lama yang tidak dikarenakan lesi massa
atau kerusakan iskemik.kehilangan kesadaran sejak saat cedera berlanjut diluar 6
jam.fenomena ini dipisahkan menjadi kategori ringan,sedang dan berat.DAI ringan relatif
ringan dan dibatasi pada kelompok dengan koma yang berakhir pada 6 sampai 24 jam dan
pasien mulai dapat ikut perintah setelah 24 jam.DAI sedang dibatasi pada koma yang berakhir
lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak yang menonjol,ini adalah bentuk DAI yang
paling sering dan merupakan 45% dari semua pasien DAI.

DAI berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan bentuk yang paling
mematikan.merupakan 36% dari semua pasien DAI.pasien menampakkan koma dalam dan
menetap untuk waktu yang lama.sering menunjukan decortikasi atau deserebrasi dan sering
dengan cacat berat yang menetap bila penderita tidak mati.pasien sering menunjukan disfungsi
otonom seperti hipertensi,hiperhidrosis,dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak punya
cedera batang otak primer.

22 | P a g e
Neuropathologic temuan pada pasien dengan cedera axonal baur diberi nilai oleh
Gennarelli dan koleganya sbb:

1. Grade 1-Axonal cedera terutama dalam masalah parasagital putih dari belahan
otak
2. Grade 2-Seperti grade 1 ditambah dengan lesi pada corpus callosum.
3. Grade 3-Seperti grade 2 ditambah dengan focus lesi di cerebral peduncle.

Impul saraf meninggalkan sel saraf melalui bagian pada sel saraf itu disebut axon,pada
luka axonal yang berlangsung lama,axon pada otak rusak sehingga sel otak mati jadi terjadi
pembengkakan otak meningkatkan tekanan dalam tengkorak.lesi pada DAI biasanya dalam
white matter ,lesi ini bervariasi dari ukuran 1-1,5 mm dan didistribusikan dalam cara yang
khas,paling sering di white matter batang otak,corpus callosum,dan belahan otak
(fissura),lobus yang paling mungkin dan sering adalah lobus frontalis dan temporalis .

Penyebab DAI sering karena jatuh dan kecelakaan bermotor sehingga dapat sebabkan
“syndrom bayi terguncang” (SBS), tanda-tanda SBS tergantung derajatnya bisa berupa
gangguan penglihatan (bisa kebutaan karena pendarahan retina) ,terjadi fraktur tulang
panjang,pendarahan otak (subdural hematome) ,gangguan motorik (misalnya cerebral palsy)
dan gangguan cognitif.

23 | P a g e
3.1.6. Fraktur Basis Kranii

Suatu fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater. Fraktur
basis kranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan
regio occipital condylar. Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya
menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.

Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang dasar
tengkorak dengan komplikasi rhinorrhea dan otorrhea cairan serebrospinal (Cerebrospinal
Fluid). Suatu fraktur tulang tengkorak berarti patahnya tulang tengkorak dan biasanya terjadi
akibat benturan langsung. Tulang tengkorak mengalami deformitas akibat benturan terlokalisir
yang dapat merusak isi bagian dalam meski tanpa fraktur tulang tengkorak. Suatu fraktur
menunjukkan adanya sejumlah besar gaya yang terjadi pada kepala dan kemungkinan besar
menyebabkan kerusakan pada bagian dalam dari isi cranium

Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi tanpa disertai kerusakan neurologis, dan
sebaliknya, cedera yang fatal pada membran, pembuluh-pembuluh darah, dan otak mungkin
terjadi tanpa fraktur. Otak dikelilingi oleh cairan serebrospinal, diselubungi oleh penutup
meningeal, dan terlindung di dalam tulang tengkorak. Selain itu, fascia dan otot-otot tulang
tengkorak manjadi bantalan tambahan untuk jaringan otak. Hasil uji coba telah menunjukkan
bahwa diperlukan kekuatan sepuluh kali lebih besar untuk menimbulkan fraktur pada tulang
tengkorak kadaver dengan kulit kepala utuh dibanding yang tanpa kulit kepala

Fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan hematom, kerusakan nervus cranialis,


kebocoran cairan serebrospinal dan meningitis, kejang dan cedera jaringan (parenkim) otak.
Angka kejadian fraktur linear mencapai 80% dari seluruh fraktur tulang tengkorak.

Fraktur ini terjadi pada titik kontak dan dapat meluas jauh dari titik tersebut. Sebagian
besar sembuh tanpa komplikasi atau intervensi. Fraktur depresi melibatkan pergeseran tulang
tengkorak atau fragmennya ke bagian lebih dalam dan memerlukan tindakan bedah saraf
segera terutama bila bersifat terbuka dimana fraktur depresi yang terjadi melebihi ketebalan
tulang tengkorak. Fraktur basis cranii merupakan fraktur yang terjadi pada dasar tulang

24 | P a g e
tengkorak yang bisa melibatkan banyak struktur neurovaskuler pada basis cranii, tenaga
benturan yang besar, dan dapat menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal melalui hidung
dan telinga dan menjadi indikasi untuk evaluasi segera di bidang bedah saraf.

TRAUMA FACIAL

1. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Trauma dapat terjadi oleh berbagai sebab, antara lain perbuatan manusia,
kecelakaan, serangan hewan, dan lain sebagainya. Sebagian besar trauma ini
dapat menyebabkan lesi sepeti laserasi dan fraktur, baik yang fatal maupun yang
tidak, sehingga penatalaksanaan trauma menjadi salah satu komponen yang
penting dalam penatalaksanaan medis.

Penatalaksanaan yang penting dalam penanganan fraktur adalah pembedahan.


Bedah trauma pertama kali dilakukan oleh orang mesir pada tahun 6000-3500
sebelum masehi. Perkembangan pesat dalam ilmu bedah terjadi di India pada
tahun 2500-500 sebelum masehi. Pada masa ini belum ditemukan alat pencitraan
yang cukup canggih, sehingga pembedahan dilakukan dengan persiapan yang
seadanya, tanpa menggunakan alat pencitraan seperti CT Scan atau MRI.

Sejarah dalam penanganan fraktur merupakan ilustrasi yang baik pada sinergi
antara medis dengan perkembangan teknologi. Teknik pencitraan yang
ditemukan dan dikembangkan pada akhir abad 19 sampai abad 20 telah
menyebabkan revolusi pada diagnosis dan penanganan trauma pada pasien.
Dengan perkembangan teknik pencitraan ini, ketepatan diagnosis ditingkatkan
sehingga menyebabkan peningkatan pada penanganan operasi dan non-operasi.

Struktur facial memiliki fungsi yang penting pada hidup manusia, termasuk
respirasi, mastikasi, penglihatan, ekspresi, dan komunikasi baik verbal maupun
non-verbal. Wajah perupakan salah satu hal yang penting pada interaksi
manusia. Restorasi bentuk dan fungsi facial pada pasien dengan trauma facial
sangat penting untuk mengembalikan kehidupan normal pasien.

25 | P a g e
Penggunaan foto polos sebagai alat penunjang diagnostik pada trauma facial
masih merupakan hal yang sangat penting dalam membantu menegakkan
diagnostik pada trauma facial. Selain memiliki tingkat akurasi yang cukup tinggi
untuk menilai trauma facial, foto polos juga relatif lebih murah dibanding alat
penunjang diagnostik yang lain seperti CT scan dan MRI. Dengan pertimbangan
hal-hal tersebut, foto polos menjadi pilihan utama sebagai penunjang diagnostik
trauma facial.

1.2.MAKSUD DAN TUJUAN


Referat ini disusun dengan maksud dan tujuan sebagai berikut :

1. Sebagai bentuk pemenuhan tugas kelompok selama masa pendidikan


profesi dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah di
Subdep Radiologi RSAL dr. Ramelan.
2. Untuk menambah wawasan tentang trauma fasial, dari segi definisi,
anatomi, etiologi, epidemiologi, diagnosa, dan terapi.
3. Untuk mengetahui gambaran radiologi trauma facial, terutama bagi kami
dan teman-teman dokter muda lainnya.

1.3.DEFINISI FRAKTUR FACIALIS


Fraktur fasialis adalah patah atau retaknya tulang di regio facialis.

1.4.EPIDEMIOLOGI
Mayoritas trauma fasial disebabkan kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu
lintas merupakan penyebab utama cedera yang mematikan dan penyebab utama
kedua terjadinya cedera yang tidak fatal. Kecelakaan lalu lintas menyebabkan
sekitar 45.000 kematian, 357.000 rawat inap, dan lebih dari 4 juta kasus gawat
darurat per tahun, atau rata-rata 123 kematian dan lebih dari 100.000 cedera non
fatal per hari.

Pada orang tua yang berumur 75 atau memiliki resiko yang relatif tinggi
untuk mati karena kecelakaan lalu lintas (24, 9 per 100.000 pada umur 75 sampai
84 dan 28, 8 pada umur 85 atau lebih). Pada orang muda, resiko terjadinya
cedera fatal dan cedera non fatal karena kecelakaan lalu lintas lebih tinggi
dibanding dengan resiko pada orang tua. Angka kematian orang muda akibat

26 | P a g e
kecelakaan lalu lintas di amerika mencapai 41 per 100.000 kasus dan di New
Zealand mencapai 63 per 100.000 kasus.

Angka kejadian pada pria adalah 2 kali lebih banyak daripada pria, terutama
antara umur 15-24 tahun. Pada umur 45 tahun atau lebih, angka kejadian
kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan rawat inap hampir sama.

Ketika kecelakaan terjadi, faktor yang menentukan tingkatan cedera antara


lain kecepatan benturan dan penggunaan alat – alat pengaman, seperti sabuk
pengaman dan helm. Ketika digunakan, sabuk pengaman dapat mengurangi
resiko terjadinya cedera sedang atau berat sebesar 50%.

1.5.ETIOLOGI
Mayoritas terjadinya trauma fasial disebabkan oleh kecelakaan lalulintas,
dengan angka kejadian sekitar 1, 14 juta per tahun di USA. Kecelakaan ini biasa
berhubungan dengan penggunaan obat-obatan atau alkohol. Pengemudi yang
mengkonsumsi obat-obatan yang mengandung sedative atau alcohol pada saat
mengemudi, menyebabkan meningkatnya resiko kecelakaan.

Cedera maxillofasial sering terjadi pada kecelakaan dan biasanya


berhubungan dengan cedera otak. Salah satu penyebab utama penyebab kematian
adalah trauma otak dan fasial yang biasa berdampingan dengan cedera extra
cranial. Gaya yang terjadi pada saat kecelakaan mobil, menyebabkan fraktur
pada tulang wajah akibat benturan pengemudi dengan setir, dashboard, dan kaca
mobil. Mekanisme ini sering berhubungan dengan kematian pengemudi dan
penumpang depan, ketika penumpang di posisi belakang membentur kursi depan
pada saat kecelakaan, sehingga menambah gaya pada pengemudi atau
penumpang depan yang menyebabkan benturan pengemudi ke setir, dashboard,
atau kaca menjadi semakin keras. Benturan yang keras pada daerah fasial ini
dapat menyebabkan fraktur pada tulang – tulang fasial.

27 | P a g e
BAB II

2. ANATOMI REGIO FACIALIS


2.1.MUSKULUS REGIO FACIALIS

28 | P a g e
Gambar: otot-otot wajah, Mm. faciei; otot-otot pengunyah, Mm.masticatorii; sisi kanan
adalah lapisan otot di permukaan, sisis kiri adalah lapisan otot dalam; tampak
ventral(80%).

29 | P a g e
Gambar : Otot-otot wajah, Mm.facei; otot-otot pengunyah, Mm. mastictorii; setelah
sebagian besar lamina Superficialis dan lamina profunda (fascia temporalis) diangkat
sedangkan seluruh fascia masseterica dan fascia parotidea

dilepaskan; tampak lateral (60%).

30 | P a g e
2.2.OSTEUM FACIALIS

Gambar :Tengkorak, Cranium; tampak depan

Gambar : fraktur osteum facialis

31 | P a g e
Gambar : Tengkorak, Cranium; pengambilan foto Rontgen jarak jauh; arah penyinaran

anteroposterior.

32 | P a g e
Gambar : Tengkorak, Cranium; pengambilan foto Rontgen jarak jauh; arah penyinaran dari

samping.

2.3.SINUS PARANASAL

Gambar : Sinus paranasales; Gambar: Sinus paranasales;

proyeksi pada wajah; tampak proyeksi pada wajah; tampak

depan lateral

Radiografi anatomi sinus paranasalis cukup komplex disebabkan oleh 2


faktor: (1) sinus – sinus yang diproyeksikan bertumpu satu dengan yang
lain sehingga gambaran anatominya menjadi kurang jelas, (2) ada banyak
variasi sinus dari masing – masing individu pada individu yang berusia
sama maupun yang berbeda.

Sinus paranasal merupakan rongga-rongga berpasangan yang


terletak di tulang – tulang frontal, maxilla, ethmoid, dan sphenoid. Sinus
paranasal berhubungan dengan cavum nasalis dan memiliki membran
mukosa yang berlanjut sampai dengan nasal. Pada sinus orang dewasa
terdapat sejumlah membran dan septa tulang, beberapa di antaranya
berhubungan dengan cavum nasal.

33 | P a g e
Gambar : Sinus paranasales; foto Rontgen-PA(Waters);

Posisi: arah penyinaran oksipito-oral dalam keadaan mulut terbuka;

Tampak depan bawah (80%)

Sinus maksilaris

Sinus maksilaris orang dewasa adalah berbentuk piramida memiliki volume


sekitar 15 ml. Dasar dari piramida adalah dinding nasal dengan puncak yang
menunjuk kearah processus zygomaticum. Dinding anterior memiliki foramen
infraorbital berada pada bagian midsuperior dimana nervus infraorbital berjalan di
atas sinus dan keluar melalui foramen itu. Atap dibentuk oleh dasar orbital. Dasar dari
sinus bervariasi. Sejak lahir sampai umur 9 tahun dasar dari sinus adalah di atas
rongga hidung. Pada umur 9 tahun dasar sinus secara umum sama dengan dasar nasal.

Cabang dari arteri maksilaris mendarahi sinus ini. Termasuk infraorbital (yang
berjalan dengan nervus infraorbital), cabang lateral dari sphenopalatina dan palatina
mayor.

Sinus Ethmoidalis

34 | P a g e
Sinus ethmoidalis merupakan struktur berisi cairan pada bayi yang baru
dilahirkan. Selama masih janin, perkembangan sel anterior ditumbuh diikuti sel
posterior. Sel tumbuh secara berangsut-angsur sampai umur 12 tahun.

Bentuk ethmoid seperti pyramid dan dibagi menjadi multipel sel oleh sekat yang
tipis. Atap dari ethmoid dibentuk oleh berbagai struktur yang penting. 2/3 anterior
tebal dan kuat dientuk oleh os frontal dan faveola ethmoidalis. 1/3 posterior lebih
tinggi sebelah lateral dan sebelah medial agak miring ke bawah ke arah cribiform
plate. Dinding lateralnya adalah lamina paprycea orbita.

Sinus ethmoidalis mendapat aliran darah dari arteri carotis interna dan eksterna.
Arteri sphenopalatina dan arteri opthalmica juga mendarahi sinus. Pembuluh vena
mengikuti arterinya dan dapat menyebabkan infeksi intracranial.

Sinus Frontalis

Os frontal merupakan selaput (membran) pada saat kelahiran dan tulang mulai
mengeras pada umur 2 tahun. Secara radiologi membrane ini sulit terlihat. Os frontal
ini akan terus berkembang sampai usia belasan tahun.

Anatomi sinus frontalis sangat bervariasi, tetapi secara umum memiliki 2 bentuk,
yaitu seperti corong dan seperti point yang meninggi. Kedua bentuk sinus frontal
memiliki ostia yang bergantung dari rongga itu di bagian posteromedial. Sinus ini
dibentuk dari tulang diploe. Bagaimanapun, dinding posterior (memisahkan sinus
frontalis dari fossa kranium anterior) lebih tipis. Dasar sinus ini juga sebagai bagian
dari atap rongga mata.

Sinus frontalis mendapat perdarahan dari arteri opthalmica melalui arteri


supraorbita dan supratrochlear. Aliran pembuluh vena malalui vena opthalmica
superior menuju sinus cavernosus dan melalui vena-vena kecil di dalam dinding
posterior yang mengalir ke sinus dural.

Sinus sphenoidalis

Seperti sinus frontalis, anatomi sinus sphenoidalis juga bervariasi. Secara umum
merupakan struktur bilateral yang terletak posterosuperior dari rongga hidung.
Dinding sphenoidalis bervariasi ketebalannya. Dinding anterosuperior dan dasar sinus
paling tipis. Bagian paling tipis dari dinding anterior adalah 1 cm dari fovea
ethmoidalis. Sinus bias terletak jauh di anterior, di anterior, atau tepat di bawah sella
35 | P a g e
turcica. Kebanyakan posisi posterior dapat menempatkan sinus bersebelahan dengan
ke struktur yang penting seperti arteri carorid, nervus opricus, nervus maksilaris, sella
turcica, dan sinus cavernosus. Hati – hati ketika memperbaki septa sinus ini karena
mungkin dapat mengenai carotid atau canalis opticus yang dapat menyebabkan
kematian dan kebutaan.

Arteri ethmoid posterior mendarahi atap sinus ini. Bagian lain dari sinus
mendapat aliran darah dari arteri sphenopalatina. Aliran vena melalui vena maksilaris
ke vena jugularis dan pleksus pterygoideus.

BAB III

3. PEMBAHASAN DAN GAMBARAN RADIOLOGI


3.1. PEMBAHASAN FRAKTUR FACIALIS
3.1.1 Fraktur Os.Mandibula

Fraktur Mandibula yang sering ditemukan biasanya disebabkan oleh trauma


langsung. Pada pemeriksaan harus diperhatikan adanya asimetri dam maloklusi.
Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati rasa bibir bawah
akibat kerusakan pada N.Mandibularis.

Fraktur pada umumnya akan disertai dislokasi fragmen tulang sesuai dengan
tonus otot yang berinsersi di tempat tersebut. Pada fraktur daerah dagu, otot akan
menarik fragmen tulang kea rah dorsokaudal, sedangkan pada fraktur bagian
lateral tulang akan tertarik ke arah kranial.

Fraktur pada bagian tulang yang menyangga gigi dapat difiksasi dengan kawat
inter-dental untuk menjamin pulihnya oklusi dengan baik. Jika tidak dapat
dilakukan pemasangan kawat, diperlukan reposisi dan fiksasi terbuka dengan
osteosintesis.

36 | P a g e
3.1.2. Fraktur Os.Nasales

Fraktur Os.Nasales biasanya disebabkan oleh trauma langsung. Pada


pemeriksaan didapatkan pembengkakan, epitaksis, nyeri tekan dan teraba garis
fraktur. Foto Roentgen dari arah lateral dapat menunjang diagnosis. Fraktur tulang
hidung ini harus segera direposisi dengan anestesi local dan imobilisasi dilakukan
dengan memasukkan tampon ke dalam lubang hidung yang dipertahankan selama
3-4 hari. Patahan dapat dilindungi dengan gips tipis berbentuk kupu-kupu untuk
1-2 minggu.

Gambar: Cara pengambilan gambar os. posisi lateral

37 | P a g e
Gambar : foto Rontgen os.nasal tampak lateral

Gambar : Cara pengambilan gambar os.nasal dari atas

Gambar : foto Rontgen os.nasalis

3.1.3. Fraktur Orbita

Fraktur ini terjadi akibat trauma langsung pada tepi tulangnya atau pada tulang
zygomaticus. Trauma tidak langsung pada umumnya disebabkan oleh benda

38 | P a g e
bulat, misalnya bola yang menyebabkan tekanan besar di dalam orbita sehingga
timbul efek letusan di dalamnya yang berakibat tulang dasar orbita patah dan
sebagian tulang orbita masuk ke sinus maxillaries. Kejadian ini disebut juga
cedera letup atau patah tulang letup (blow-out fracture).

Gambaran klinik berupa hematoma monokel yang dapat disertai diplopia,


demomaksila, dan mati rasa pipi karena cedera n. infraorbitalis atau mati rasa dahi
karena kerusakan n. supraorbitalis.

Fraktur letup dapat menyebabkan n. enoftalmos dan sering disertai dengan


terjepitnya m. rektus inferior di dalam patahan sehingga gerakan mata sangat
terganggu dan penderita mengalami diplopia. Bola mata dapat mengalami
berbagai macam kerusakan dalam. Pengelolaan cedera letup ini memerlukan
keahlian khusus.

Gambar : blow-out fracture, tampak gambaran soft tissue(teardrop) menggantung di bagian atas kiri
sinus maksilaris

3.1.4. Trauma Maksilo-facial

Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan


keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup
kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat
senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan
saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap
fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan
kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.

Metode umum untuk cedera maksilofacial:

39 | P a g e
• Bila terjadi fraktur, maka organ-organ yang menonjol seperti hidung, mandibula,
zygoma akan terlebih dahulu terkena. Jika trauma sangat keras barulah dapat
mencederai os.maksilaris.

Pemeriksaan dilakukan menyeluruh dengan memperhatikan kerusakan di


tempat lain, baik yang dekat maupun yang jauh, terutama cedera otak dan fraktur
pada region facial.

Pada inspeksi diperhatikan adanya asimetris wajah, pembengkakan (udem),


hematom, trismus, dan nyeri spontan serta maloklusi.

Fraktur maksilofacial biasanya disertai udem dan hematome sehingga wajah


tampak bengkak (Wajah Balon).

Lefort Leon C membedakan fraktur atas 3 macam,yaitu :

Lefort I : Fraktur 1/3 bawah yang meliputi daerah Mandibula.

Lefort II : Fraktur 1/3 tengah yang diatasi oleh tepi atas Orbita dan tepi

bawah baris gigi atas yaitu bagian Maksila.

Lefort III : Fraktur 1/3 atas dengan batas tepi atas Orbita yaitu bagian

Os.Frontalis.

Tipe fraktur ini mungkin kombinasi dan dapat terjadi pada satu atau dua sisi.

Gambar : Pembagian fraktur Leford I,II, dan III tampak anterior.

40 | P a g e
Gambar : Pembagian fraktur Leford I,II, dan III tampak lateral.

Gambar : foto Rontgen Leford I

Gambar : foto Rontgen Leford II

41 | P a g e
Gambar : foto Rontgen Leford III

Gambar : CT scan fraktur maksilofacial

3.1.5. Fraktur Os.Maksilaris

Fraktur Os.maksilaris hanya terjadi pada trauma yang sangat keras. (±


mencapai 100x gravitasi). Penangananya lebih sulit dibandingakn dengan fraktur
di daerah lain dari maksilofacial.

Trauma pada os.maksilaris dapat menyebabkan :

1. Maloklusi
2. Facial lengthening
3. CSF rhinorrhea
4. Ekimosis periorbital

Diagnosis trauma Maxillofacial meliputi :

1. Inspesi

42 | P a g e
2. Palpasi
3. Diagnostic Imaging
4. Plain films
5. CT
6. Stereolithography (bila tersedia)

INSPECTION

Gambar : sublingual ekimosis Gambar : maloklusi dan defek

diskontinuitas.

PALPASI

 “Step” Defect
 Crepitasi
 Segmen tulang
 Emfisema subkutan
 Mobilitas

Diagnosis of Maxillofacial Injuries

DIAGNOSTIC IMAGING

 Panorex
 Plain films
 CT

43 | P a g e
 Stereolithography

Plain foto

Gambar : Panoramic x-ray Gambar : fraktur os.maksila

CT Scans

44 | P a g e
Gambar : CT Scans

3D CT

Gambar : 3D CT fraktur maksilo-facial

Stereolithography

45 | P a g e
Gambar : Stereolithography

3.1.6 Fraktur os.zygomatikus

Zygoma yang membentuk dinding lateral orbita sering mengalami fraktur


akibat trauma langsung sehingga terjadi impresi yang mendesak bola mata yang
menyebabkan diplopia.

Fraktur ini sering terbatas pada arkus dan pinggir orbita sehingga tidak disertai
dengan hematom orbita, tetapi terlihat sebagai pembengkakkan pipi di daerah
arkus zygomatikus. Diagnosis ditegakkan secara klinik atau dengan foto Roentgen
menurut Waters yaitu posisi temporooksipital.

Pengelolaan patah tulang zygoma terdiri dari reposisi dan fiksasi.

Gambar : fraktur Tripod. Area berbayang menggambarkan antrum maksilaris. Pada foto
occipitomental, fraktur pada os zygoma akan tampak seperti fraktur yang melewati dinding
inferior orbita dan lateral antrum maksilaris.

46 | P a g e
Gambar : foto Rontgen os.zygomatikus(submento-vertical view)

47 | P a g e
Gambar : fluid level pada antrum maksilaris kanan. Pada trauma daerah ini biasanya mengalami
perdarahan. Pada foto ini fraktur tidak tampak.

3.1.7. Trauma Bola Mata

Trauma bola mata, menurut penyebabnya dapat dibagi menjadi 3 golongan


yaitu kombustio, trauma tumpul, dan trauma tajam.

Trauma tumpul dapat menyebabkan ekimosis, perdarahan subkonjugtiva,


hifema, iris terlepas, dan luksasio lensa. Bila trauma hebat dapat terjadi
perdarahan korpus vitreum. Trauma tajam berupa luka tembus cukup berbahaya
dan menimbulkan kebutaan.

Pemeriksaan dimulai dengan menilai visus. Kalau mata tidak dapat dibuka,
sebaiknya diberikan anestetik yang diteteskan pada mukosa kelopak mata bagian
bawah secukupnya, kalau perlu berulang kali, sampai kelopak mata dapat dibuka.

Hematom kaca mata umumnya disebabkan oleh trauma kepala yang disertai
patah tulang dasar tengkorak.Hematom ini dapat pula disebabkan oleh karena
patah tulang maksila, sedangkan hematom akibat patah ulang dasar tengkorak
baru tampak beberapa jam setelah terjadinya cedera.

48 | P a g e
Gambar : blow-out fracture, terjadi peningkatan tekanan intra okuler yang disebabkan oleh frakturnya
tulang tipis pembungkus cavum orbita. Lemak dan otot terjadi herniasi ke sinus ethmoidalis.

Gambar: blow-out fracture, jaringan lunak mata yang mengalami herniasi berbentuk teardrop
memasuki batas medial cavum orbita menuju ke sinus ethmoidalis. Ini sulit dideteksi pada foto
radiologi.

Gambar : fraktur blow-out terpisah, dapat diikuti satu ato lebih tanda-tanda

1= teardrop di antrum, 2= fluid level di antrum, 3= tulang tipis pembungkus

cavum orbita mengalami dislokasi ke dalam antrum, 4= bayangan hitam

pada alis mata, 5= sinus ethmoid tampak opak karena terisi darah.

Posisi Foto :

49 | P a g e
Foto standart untuk foto facial:

Gambar : posisi foto WATERS Gambar : posisi foto CALDWELL

Gambar : posisi foto SUBMENTAL- Gambar : posisi LATERAL

VERTEX

50 | P a g e
Gambar 1

1. Waters :
Baik untuk melihat sebagian besar fraktur facialis.
Struktur-struktur yang dapat di evaluasi pada foto waters ( gambar 1 ) :
 Os.Zygoma dan Arcus Zygomaticus
 Dinding Orbita
 Os.Nasal dan Septa Nasal
 Sinus Maxilaris dan Sinus Frontalis, biasa dapat ditemukan Air Fluid Level ketika
ada cairan atau darah pada sinus.

Garis fraktur dapat dicari dengan menggunakan Mc.Grigor Line.

 Line A :
 Telusuri Sutura Zygomaticus-Frontalis melalui superior dari tepi orbita dan
Sinus Frontalis sampai kearah sebaliknya.
 Cari fraktur,pelebaran sutura Zygomaticus-Frontalis dan cairan pada Sinus
Frontalis.
 Line B :
 Telusuri batas superior dari Arcus Zygomaticus,melewati Os.Zygoma,teruskan
melalui batas inferior orbita mengikuti kontur dari nasal kearah sebaliknya.
 Cari fraktur pada Arcus Zygomaticus (gangguan pada “ Elephant’s Trunk “),
fraktur pada dinding inferior orbita,bentukan Tear Drop pada atap dari
Os.Maxila yang menggambarkan herniasi orbita pada blow out
fraktur,depresi/asimetri pada Os.Nasal.

Gambar : Line A Gambar : Line B

51 | P a g e
 Line C :
 Telusuri dinding inferior Arcus Zygomaticus,turun ke Antrum
Maxilaris,sepanjang dinding inferior dari Antrum Maxilaris termasuk
gigi,kearah sebaliknya.
 Cari fraktur pada Zygoma dan Antrum Maxilaris,dan cari Air Fluid Level pada
Antrum Maxilaris.
2. Lateral :
 Paling baik untuk melihat fraktur pada Sinus Frontalis.
 Sulit untuk diinterpretasikan karena superimposisi struktur bilateral.
 Cari Air Fluid Level pada Sinus Paranasalis :
 Sphenoidalis
 Maxilaris
 Frontalis
 Ethmoidalis

3. Caldwell’s View :
 Paling baik untuk menggambarkan fraktur pada superior/lateral pada dinding orbita.
 Cari Fraktur pada dinding orbita.
 Cari Air Fluid Level pada Sinus Paranasalis :
 Frontalis
 Ethmoidalis

Gambar : CALDWELL’S view

4. Submental-Vertex :
 Paling baik untuk melihat fraktur Arcus Zygomaticus.
 Klinis nyeri,Deformitas pada Arcus Zygomaticus.
 Periksa Arcus Zygomatiscus untuk melihat fraktur dan depresi.

52 | P a g e
Gambar : SUB-MENTAL VERTEX VIEW

TRAUMA THORAX

PEMBAHASAN

I. BATASAN

Trauma thoraks merupakan suatu keadaan dimana terjadi rudapaksa pada daerah
thoraks baik oleh karena trauma benda tajam maupun trauma benda tumpul.

II. ANATOMI

Rongga thoraks dilindungi oleh:

53 | P a g e
a. Dari anterior
1. Os. Sternum
2. Os. Costae
3. M. Pectoralis mayor
4. M. Pectoralis minor
5. M. Obligus Externus
6. M. Serratus anterior
7. M. Intercostalis
8. M. Transversus Thoracis

b. Dari lateral
1. Os. Scapula sisi anterior
2. M. Intercostalis

c. Dari posterior
1. Os.Scapula
2. Col. Vertebralis
3. M. Trapezius
4. M. Latissimus dorsi
5. M. Rhamboideus
6. M. Intercostalis
7. M. Serratus anterior

54 | P a g e
55 | P a g e
56 | P a g e
Foto Thorax Normal, Proyeksi Lateral

III. ETIOLOGI

Trauma thoraks dapat terjadi oleh karena:

- trauma tumpul akibat kecelakaan lalu lintas


- trauma tembus akibat peluru, tombak, anak panah, atau trauma benda tajam yang
lain.

Trauma tersebut dapat mengenai:

57 | P a g e
- Struktur tulang
- Struktur dalam, antara lain:
- Paru

- Jantung

- Pembuluh Darah

- Organ-organ disekitar nya.

Akibat dari trauma thoraks dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga dapat
menyebabkan:

- kegagalan ventilasi gas atau difusi


- kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik sehingga akan berakibat
terjadinya gangguan perfasi jaringan.

IV. FISIOLOGI PERNAFASAN

Pada rongga thorax,gerakan inspirasi terjadi karena kerja aktif dari kontraksi otot-otot
interkostalis,menyebabkan rongga thorax mengembang, dan tekanannya menyebabkan
mengalirnya udara melalui saluran nafas atas ke dalam paru.

Adapun fungsi dari pernafasan:

a. Ventilasi:

58 | P a g e
Memasukkan/mengeluarkan udara melalui jalan nafas ke dalam/dari paru
dengan cara inspirasi dan ekspurasi.

b. Distribusi:
Menyebarkan/ mengalirkan udara tersebut secara merata ke seluruh sistem jalan
nafas sampai pada alveoli.

c. Difusi:
Zat asam (oksigen) dan zat asam arang (karbondioksida) bertukar melalui
membran semipermeabel pada dinding alveoli (pertukaran gas).

d. perfusi:
Daerah arteriel di kapiler-kapiler meratakan pembagian oksigen dan darah
sehingga cukup tersedia untuk digantikan isinya dengan muatan oksigen yang
cukup untuk menghidupi jaringan tubuh.

Setiap kegagalan atau hambatan dari rantai mekanisme di atas akan menimbulkan gangguan
pada fungsi pernafasan, yang berarti berakibat kurangnya oksigenasi di dalam jaringan tubuh.

V. GEJALA KLINIS
1. Sesak nafas
2. Nyeri
3. Jejas
4. Perdarahan

59 | P a g e
VI. TRAUMA THORAX DAPAT MENYEBABKAN :

A. PNEUMOTHORAX

Yaitu terdapat nya udara pada rongga intrapleura yang terjadi akibat trauma
tumpul atau tajam. Bila karena suatu trauma, dinding thorax terbuka maka,
tekanan intrapleura akan menyedot udara masuk dan baru akan collaps.

Dan selama luka dinding thorax ini terbuka, dimana udara bisa keluar masuk
disebut OPEN PNEUMOTHORAX.

Bila luka pada dinding thorax ini terbuka, sehingga udara bisa di sedot masuk tapi
keluarnya terhambat karena mekanisme luka, maka secara perlahan-lahan akan
timbul tekanan yang semakin lama semakin hebat dan menekan mediastinum ke
arah kontra lateral. Hal ini disebut TENSION PNEUMOTHORAX.

Bila yang robek hanya pleura viseralis dan menyebabkan patah tulang costa, maka
udara pernafasan akan masuk ke rongga intrapleura. Penekanan yang keras pada
dinding thorax bisa mengakibatkan perdarahan paru ada atau tanpa adanya
fraktur costa. Karena dinding thorax tertutup maka disebut CLOSED
PNEUMOTHORAX.

 Gejala Klinis:
1. Sesak nafas, pernafasan asimetris
2. Nyeri dada
3. Ada jejas/ trauma
4. Emphysema cutis.

60 | P a g e
61 | P a g e
Keterangan :

1. Udara pada jaringan subcutan (emfisema subcutis) yang menyertai luka karena
peluru (panah lebar)
2. Perdarahan paru traumatik karena peluru
3. Peluru bersarang pada bagian posterior dinding thorax

62 | P a g e
63 | P a g e
Tension Pneumothorax dengan fraktur costae

Closed Pneumothorax

B. HEMATOTHORAX

Bila terdapat penumpukan darah dalam rongga thorax karena robeknya pembuluh
darah dalam cavum thorax,maka darah ini akan mengisi paru.paru akan terdesak
dan ekspansinya terhambat.

 Gejala klinis:
64 | P a g e
1. Nyeri dada
2. Dispneu atau sesak nafas
3. Batuk
4. Dapat terjadi emfisema cutis
5. Pucat, anemi, syok

Hemato-Pneumothorax

C. FLAIL CHEST

65 | P a g e
Yaitu bergeraknya suatu segmen rongga dada berlawanan dengan gerakan nafas.
Gerakan paradoksal karena floating dari dinding thorax, karena segmen tersebut
tidak lagi mempunyai continuitas dengan keseluruhan dinding thorax. Hal ini
terjadi karena fraktur tulang costa multiple.

Yang lebih penting adalah jumlah cedera pada struktur di bawahnya, khususnya
paru-paru dan jantung. Insufisiensi pernapasan pada flail chest dapat
mengakibatkan contusio pulmonum dan ventilasi perfusi mismatch serta cacat
struktural sebenarnya ke dinding thorax.

 Gejala klinis:
1. Gangguan pernafasan
2. Dinding thorax asimetris
3. Nyeri dada
4. Pergerakan dada terhambat pada saat bernafas.

Flail Chest

66 | P a g e
Multiple left rib fractures, pulmonary contusion, and hemothorax after a motor vehicle
accident

D. FRAKTUR COSTAE

Hilangnya kontinuitas jaringan tulang costae karena ruda paksa atau penyakit.
Bisa mengakibatkan nyeri dada akibat gerakan dari thorax.

Costae bagian atas (1-3) telah terlindungi dengan baik dan apabila terjadi fraktur
akibatnya sangat besar. Biasanya berhubungan dengan kepala, leher, spinal cord
dan paru-paru. Costae bagian tengah (5-9) merupakan fraktur yang tersering dan
selalu dihubungkan dengan pneumothorax, kontusio pulmonum atau flail chest.

 Klasifikasi
Menurut jumlah costa yang mengalami fraktur dapat dibedakan:

1. Fraktur simple
2. Fraktur multiple

Menurut jumlah fraktur pada setiap costa dapat:

67 | P a g e
1. Fraktur segmental
2. Fraktur simple
3. Fraktur comminutif

Menurut letak fraktur dibedakan :

1. Superior (costa 1-3 )


2. Median (costa 4-9)
3. Inferior (costa 10-12 ).

Menurut posisi :

1. Anterior
2. Lateral
3. Posterior.

Ada beberapa kasus timbul fraktur campuran, seperti pada kasus Flail chest,
dimana pada keadaan ini terdapat fraktur segmental, 2 costa atau lebih yang
letaknya berurutan.

Biasanya tidak perlu dibuat foto thorax bila dicurigai ada fraktur costa, kecuali
terdapat indikasi klinis akan adanya kerusakan pada paru atau pleura. Untuk
melihat fraktur costa, biasanya di perlukan foto oblik.

 Gejala Klinis
1. Deformitas
2. Nyeri tekan
3. Nyeri tekan sumbu
4. Krepitasi fragmen tulang yang patah
5. Gerakan dada asimetris

68 | P a g e
Fraktur pada ujung anterior costa kiri

E. FRAKTUR STERNUM

Fraktur sternum merupakan jejas yang jarang, biasanya terjadi setelah trauma
langsung, misalnya dari kecelakaan berkendara. Ini paling sering terjadi di
dekat sambungan corpus sternum dengan manubrium, terkadang fraktur
sternum pada trauma biasanya disertai fraktur dari corpus vertebral thoracalis.
Dan ini berakibat nyeri berat dan mengganggu pernafasan.

69 | P a g e
 Gejala Klinis
1. Nyeri dada
2. Dyspnea

Fraktur Sternum Complete, Proyeksi Lateral

70 | P a g e
F. TAMPONADE JANTUNG

Suatu keadaan dimana terjadi kompresi pada jantung akibat efusi cairan kedalam
pericardial atau akibat pengumpulan darah di dalam pericardial menghasilkan
pengisian ventrikel berkurang dan kemudian terjadi kompromi hemodinamik.
Temponade jantung memerlukan tindakan penyelamatan segera. Keseluruhan
risiko kematian tergantung pada kecepatan diagnosis, perawatan yang diberikan,
dan penyebab yang mendasari terjadinya temponade jantung tersebut.

Ada 3 fase perubahan hemodinamik yang terjadi pada temponade jantung:

 Tahap I: akumulasi cairan perikardial menyebabkan peningkatan kekakuan


ventrikel, memerlukan tekanan pengisian yang lebih tinggi. Selama fase
ini, tekanan mengisi ventrikel kiri dan kanan lebih tinggi daripada tekanan
intrapericardial.
 Tahap II: Dengan akumulasi cairan lebih lanjut, peningkatan tekanan
perikardial atas tekanan pengisian ventrikel, mengakibatkan cardiac
output berkurang.
 Tahap III: Penurunan lebih lanjut dalam output jantung terjadi, yang
disebabkan imbang dari ventrikel perikardial dan kiri (LV) mengisi tekanan.

 Gejala Klinis
1. Trias Beck’s :
1. Hipotensi
2. Distended Vena leher
3. Suara Jantung melemah ( Muffled )
2. Dizziness ( pusing )
3. Palpitasi

71 | P a g e
4. Dingin, kulit lembab dan nadi lemah karena pasien mengalami
hipotensi

This anteroposterior-view chest radiograph shows a massive bottle-


shaped heart and conspicuous absence of pulmonary vascular
congestion
72 | P a g e
G. CONTUSIO PULMONUM

Suatu keadaan dimana terdapat kerusakan jaringan paru yang menyebabkan


perdarahan dari jaringan paru tersebut. Umumnya terjadi akibat trauma tumpul.

Pada pemeriksaan fisik sering tidak ditemukan kelainan. Mungkin penderita batuk
darah sesaat. Pada pemeriksaan radiologik tampak bayangan bercak di paru. Bila
penderita terus-menerus batuk darah, harus dicurigai adanya cedera pembuluh
darah besar sampau dibuktikan ada sebab lain.

 Gejala klinis
1. Sesak nafas
2. Suara nafas menurun
3. Batuk darah sebentar
4. Ada trauma

73 | P a g e
Left pulmonary contusion

H. RUPTUR DIAFRAGMA

Ruptur diafragma traumatik dapat terjadi karena cedera tajam atau cedera
tumpul. Hernia karena trauma tumpul kebanyakan terjadi di baguan
tandineus kiri karena di sebelah kanan dilindungi oleh hati. Visera seperti
lambung dapat masuk ke dalam thorax segera setelah trauma, atau
berangsur-angsur dalam waktu berbulan-bulan.

Pada hernia diafragma dapat terjadi penyulit berupa perdarahan atau


obstruksi. Bila hernia besar, mungkin terjadi insufisiensi kardiovaskuler yang
dapat mengancam jiwa. Komplikasi yang paling membahayakan ialah
strangulasi isi hernia.

74 | P a g e
 Gejala klinis
Hernia karena cedera tumpul mungkin tidak menimbulkan gejala
atau tanda. Bergantung pada visera yang masuk ke dalam thorax,
dapat timbul gejala atau tanda obstruksi. Foto thorax menunjukkan
massa tanpa udara jika omentum yang masuk dan massa yang berisi
udara jika lambung atau usus yang masuk.

Pemasangan sonde lambung dapat digunakan untuk memastikan


diagnosis sebab sonde nampak membelok lembali ke atas diafragma.
Foto zat kontras kadang di perlukan umpamanya jika colon
tersangkut di dalamnya.

Diagnosis banding adalah atelektasis paru, eksudat pleura atau tumor


di pleura.

Tampak gambaran lambung masuk ke thorax pada Ruptur Diafragma

75 | P a g e
I. RUPTUR ESOFAGUS

Lebih sering terjadi pada trauma tajam dibanding trauma tumpul toraks, dan
lokasi ruptur oleh karena trauma tumpul, paling sering pada 1/3 bagian
bawah esofagus. Akibat ruptur esofagus akan terjadi kontaminasi rongga
mediastinum oleh cairan saluran pencernaan bagian atas sehingga terjadi
mediastinitis yang akan memperburuk keadaan penderitanya. Pada foto
toraks akan terlihat adanya pneumomediastinum dan hidrotoraks, yang
paling sering adalah hidrotoraks kiri.

76 | P a g e
 Gejala Klinis
1. Nyeri dada akut
2. Keluar keringat dingin
3. Disphagia

X-Ray Film of the Chest Taken with a Portable Machine, Demonstrating Leakage of
Contrast Medium into the Mediastinum during Esophagography

Nonenhanced CT scan through the mid esophagus in a patient with esophageal


perforation after upper GI endoscopy shows leakage of oral contrast material (blue
arrow) and air in the posterior mediastinum (red arrow).

77 | P a g e
Line of Esophageal Rupture (Arrow), Extending from the Open Left Main
Stem Bronchus Above to the Pull Suture.

J. RUPTUR AORTA
Ruptur aorta sering menyebabkan kematian penderitanya, dan lokasi ruptura
tersering adalah di bagian proksimal arteri subklavia kiri dekat ligamentum
arteriosum. Hanya kira-kira 15% dari penderita trauma toraks dengan ruptura
aorta ini dapat mencapai rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.
Kecurigaan adanya ruptur aorta dari foto toraks bila didapati:

1. mediastinum yang melebar


2. fraktur iga 1 dan 2
3. trakea terdorong ke kanan
4. gambaran aorta kabu
5. penekanan bronkus utama kiri
6. gambaran pipa lambung (NGT) pada esofagus yang terdorong
ke kanan

78 | P a g e
Ruptur Aorta. Chest radiograph shows widening of the mediastinal
contour and deformity and blurred margins of the superior
mediastinum.

79 | P a g e
Ruptur Aorta. CT scan shows aortic disruption at the aortic isthmus. Increased
attenuation is present in the mediastinum; this indicates hematoma and a left
pleural effusion. The linear lucency across the aortic lumen may be an artifact.
The pseudoaneurysm is not seen on this image.

80 | P a g e
Rupture Aorta. Left anterior oblique (45°) digital subtraction angiogram shows an
anteromedial isthmus rupture. Image clearly demonstrates the linear defect of an
intimal flap, which confirms the diagnosis of an aortic rupture.

81 | P a g e
TRAUMA ABDOMEN

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Trauma abdomen adalah kerusakan yang terjadi terhadap struktur yang terletak
diantara diafragma dan pelvis. Trauma dapat dibedakan menjadi dua yaitu trauma tumpul
dan trauma tajam, tetapi dalam prakteknya seringkali terjadi kombinasi antara keduanya.
Pada referat ini akan dipaparkan mengenai trauma abdomen yang diakibatkan oleh benda
tumpul.
Trauma tumpul abdomen merupakan salah satu masalah kesehatan yang
seringkali terlewatkan pada penderita-penderita yang mengalami trauma akibat kecelakaan.
Trauma tumpul abdomen dapat terjadi bersamaan dengan trauma tajam, sehingga perhatian
tenaga medis pun dapat beralih pada cedera-cedera yang lebih nyata, seperti fraktur femur
atau cedera terbuka lainnya. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan dan deselerasi
yang tidak terkontrol merupakan penyebab terjadinya trauma dimana pada saat tersebut
tubuh penderita dapat terpukul setir mobil, atau benda tumpul lainnya. Sering sekali
penderita tidak memberikan riwayat yang jelas bahwa ia mengalami trauma tumpul
abdomen, mereka hanya mengeluhkan tentang luka-luka terbuka yang mereka alami,
sehingga hal tersebut semakin menyulitkan seorang klinisi untuk melakukan diagnosa
dengan benar. Maka dari itu, dapat digunakan penunjang-penunjang radiologis yang ada
seperti foto polos, CT-scan, dan USG untuk menentukan diagnosis pada penderita-
penderita yang mengalami trauma.

1.2. TUJUAN
Trauma tumpul abdomen dapat mencederai organ-organ intra-abdominal dan
merupakan suatu masalah serius serta memerlukan penanganan segera khususnya di
Instalasi Gawat Darurat. Faktor kecepatan dan ketepatan diagnosis memegang peranan
yang sangat penting dalam pengambilan keputusan. Keterlambatan suatu diagnosis dapat
meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Tujuan dari pembuatan referat ini adalah
agar kita para tenaga medis dapat mengetahui gambaran-gambaran radiologis dari

82 | P a g e
trauma tumpul abdomen dan dapat membantu para klinisi untuk mendiagnosis cercara
tepat dan cepat guna untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang terjadi akibat
trauma tumpul abdomen.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. ANATOMI ABDOMEN


Trauma pada abdomen dibagi menjadi dua, yaitu trauma tumpul abdomen dan
trauma tajam abdomen (Peitzman 2008, David Feliciano 2008). Dalam pembahasan ini
lebih difokuskan ke Trauma tumpul abdomen. Tetapi sebelum pembahasan lebih lanjut
kita harus mengetahui regio serta isi yang terdapat pada abdomen sehingga akan
mempermudah kita untuk mengetahui organ apa yang kemungkinan terkena, lebih
mudah bila diterangkan dengan gambar berikut:

Gambar 1

Gambar 2

Keterangan :

Gambar 1 : Pembagian 9 regio abdomen,

Gambar 2 : Organ-organ yang terdapat dalam abdomen

83 | P a g e
Gambar : Organ Retroperitoneal Gambar : Organ Intraperitoneal

2.2. TRAUMA TUMPUL ABDOMEN


Epidemiologi

Pada tahun 1990, kira-kira lima juta orang diseluruh dunia meninggal akibat
trauma. Resiko kematian akibat trauma sangat bervariasi tergantung dari tempat, umur
dan jenis kelamin. Dilaporkan kurang lebih dua orang laki-laki dewasa meninggal akibat
kekerasan untuk setiap satu kasus kematian wanita dewasa. Trauma dihitung kira-kira
12,5% dari seluruh kematian pria, dibandingkan dengan kematian wanita sekitar 7,4%.
(www.emedicine.medscape.com/ Trauma)

Secara keseluruhan, perhitungan trauma adalah 10% dari seluruh penyebab


kematian. Bagaimanapun, trauma di sub-Saharan Afrika jauh lebih destruktif dibandingkan
dengan trauma ditempat lain. Resiko kematian tertinggi berada pada umur 15-60 tahun,
dan proporsi seperti kematian akibat trauma lebih tinggi daripada daerah yang lain. Di
South Africa misalnya, rata-rata kematian lalu lintas dalam perjalanan jauh hanya
dilampaui oleh Korea, Kenya, dan Morroco. ( 3,4)

Diperkirakan pada tahun 2020, 8,4 juta penduduk akan meninggal akibat
trauma, dan trauma akibat kecelakaan lalulintas akan menjadi penyebab kecacatan
tersering ketiga diseluruh dunia dan menjadi penyebab kedua kecacatan pada Negara
yang sedang berkembang. (www.emedicine.medscape.com/ Trauma)

Trauma tumpul abdomen kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan kendaraan


bermotor, sekitar 75%. Sisanya disebabkan oleh mekanisme-mekanisme yang lain seperti

84 | P a g e
jatuh ataupun kecelakaan sepeda dan sepeda motor, kecelakaan saat olahraga ataupun
adanya serangan menggunakan benda tumpul (Peitzman 2008).

1. Cedera intra-abdomen terjadi karena (Peitzman 2008) :


a. Kompresi yang menyebabkan trauma karena tekanan, seperti tertabraknya tubuh
dengan setir mobil atau bagian dalam mobil. Sabuk pengaman juga dapat
menyebabkan cedera pada organ-organ dalam abdomen, terutama bila
didapatkan ‘seat belt sign’ yaitu kontusio yang terjadi di tempat dimana sabuk
pengaman itu di gunakan
b. Gaya geser yang tiba-tiba, dapat menyebabkan robekan pada organ atau vaskuler
pedicle, yang mungkin terjadi pada hati atau mesenterik.
c. Peningkatan tekanan intra-abdomen yang tiba-tiba yang menyebabkan rupturnya
viskus dari usus halus dan buli-buli.
2. Evaluasi trauma tunpul abdomen (Peitzman 2008 )
a. Secara klinis, informasi mengenai mekanisme terjadinya cedera sangatlah penting
dalam menentukan kemungkinan adanya cedera intra-abdomen. Pemeriksaan
abdomen setelah terjadinya trauma tidak bisa dilakukan karena adanya
perubahan pada kesadaran, saraf tulang belakang atau cedera lain yang
membingungkan, serta adanya efek pengobatan sebelumnya. Walaupun begitu,
pemeriksaan klinis dapat mengungkapkan adanya hipoperfusi jaringan seperti
akral dingin, adanya petechie, tekanan nadi menyempit dan perlambatan capillary
refill time, yang merupakan tanda adanya perdarahan. Faktor yang berhubungan
dengan trauma abdomen yang membutuhkan laparotomi termasuk trauma
thoraks, base deficit, fraktur pelvis, hipotensi di daerah trauma. (Peitzman 2008)
b. Diagnosa trauma tumpul abdomen
Tujuan awal evaluasi abdomen adalah untuk mengidentifikasi secara cepat pasien-
pasien yang membutuhkan laparotomi. Pemeriksaan tambahan penting untuk
mengevaluasi trauma tumpul abdomen, pemeriksaan fisik yang diulang secara
hati-hati tetap merupakan prosedur penting untuk menentukan diagnosis awal.
Focused Abdominal Sonography for Trauma (FAST) yang dilakukan oeleh dokter,
atau tenaga medis, merupakan yang pemeriksaan yang paling sering digunakan.
FAST dikaitkan dengan adanya positif palsu dan negative palsu, sehingga hasil dari
pemeriksaan menggunakan FAST harus selalu dihubungkan dengan gejala-gejala

85 | P a g e
klinis yang ditemukan. Pemilihan diagnosis tambahan ditentukan oleh stabilitas
hemodinamik dari pasien tersebut.(Peitzman 2008)

- Pada pasien-pasien tidak stabil yang membutuhkan cairan terus menerus


Pertama kali, abdomen sebaiknya diperiksa menggunakan FAST, bila hasilnya
positif pasien harus dibawa ke ruang operasi, bila hasilnya negatif tetapi
ketidakstabilan hemodinamik yang ada tidak dapat dijelaskan oleh adanya
trauma yang lain (misalnya hemothoraks massif, unstable pelvis, multiple
fraktur tulang panjang), maka pasien tersebut harus dilakukan Diagnostic
Peritoneal Lavage (DPL). Tujuan penggunaan DPL adalah untuk
mengidentifikasi darimana asal perdarahan intra-abdomen yang
menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik ( yang terdeteksi pada saat
aspirasi awal pada saat pemasangan kateter). Bila DPL positif maka pasien
tersebut harus dibawa ke ruang operasi dan bila hasilnya negatif pasien masih
harus diperiksa lebih lanjut. Dalam beberapa tahun terakir, penggunaan FAST
dan CT meminimalkan penggunaan DPL. Indikasi penggunaan DPL hanyalah
bila hasil FAST negatif pada pasien-pasien dengan ketidakstabilan
hemodinamik. (Peitzman 2008)

- Pada pasien-pasien stabil yang tidak memerlukan tindakan cepat atau


tindakan operasi (Peitzman 2008)
Pada pasien-pasien dengan hemodinamik yang stabil maka CT scan abdomen
merupakan pilihan utama. Pada pasien-pasien yang bukan merupakan indikasi
laparotomi, maka macam-macam modalitas dapat dilakukan untuk
pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan tambahan dan pemeriksaan fisik harus
dilakukan pada pasien-pasien dengan (Peitzman 2008) :

 Pemeriksaan abdomen yang samar-samar ataupun pemeriksaan yang


abnormal.
 Traumanya dibarengi dengan cedera pada thoraks ataupun pada lingkar
pelvis.
 Gross hematuria
 Penurunan kesadaran

86 | P a g e
 Cedera medula spinalis
 Cedera lain yang membutuhkan general anestesi untuk penanganannya,
dan tidak mungkin dilakukan pemeriksaan ulangan.
 Kurangnya kapasitas untuk mentoleransi keterlambatan diagnosa pada
trauma abdomen (missal : umur yang terlalu tua atau terlalu muda).
- Test yang digunakan untuk diagnosis tergantung dari mekanisme trauma,
yang berhubungan dengan cedera dan kestabilan hemodinamik. Ingat bahwa
perdarahan membutuhkan pemeriksaan yang lebih lanjut.(Peitzman 2008)
 Foto polos, pada foto polos thoraks bisa didapatkan ruptur hemidiafragma
atau pneumoperitoneum. Foto polos abdomen jarang sekali
memperlihatkan hasil yang signifikan, kecuali ada indikasi khusus yang
tidak berhubungan dengan evaluasi trauma.
 Laboratorium test, tes darah tidak dapat digunakan untuk membuktikan
adanya trauma tumpul abdomen,. Pasien-pasien dengan trauma tumpul
yang diterima segera dari tempat kejadian, hasil darahnya mungkin tidak
anemis maupun asidosis pada awalnya. Begitu juga dengan serum amilase
yang normal yang dipatkan dari pasien-pasien dengan trauma pada
pankreas ataupun trauma usus, tetapi dapat meningkat pada trauma
extra- abdominal seperti trauma kepala dan leher.
 FAST didesain untuk tujuan utama, untuk mengidentifikasi adanya carian
bebaslase pada cavum abdomen. Frekuensi penggunaan FAST meningkat,
karena digunakan untuk screening pasien-pasien dengan semua trauma
tumpul dengan kecurigaan adanya trauma pada abdomen. Pertama dilihat
Morison’s pouch sehingga didapatkan gambaran ginjal dan hati, kemudian
dilanjutkan dengan potongan transversal pada pelvis. Cairan bebas akan
didapatkan gambaran anechoic (hitam) dibandingkan dengan struktur
sekitarnya. Pada penelitian didapatkan bahwa ketepatan penggunaan
FAST kurang lebih 95% akurat. FAST mungkin melewatkan cedera organ
pada trauma dengan sedikit perdarahan atau tanpa perdarahan, FAST juga
tidak bisa membedakan antara darah, succus entericus maupun ascites,
membutuhkan tenaga yang ahli untuk bisa membedakannya. FAST juga
susah untuk diinterpretasikan pada pasien dengan obesitas ataupun

87 | P a g e
extensive subcutaneous emphysema. Disamping semua kekurangannya,
FAST juga mempunyai keuntungan yaitu : cepat, non-invasive, murah dan
merupakan modalitas yang aman digunakan secara bebas.
 CT scan digunakan untuk pasien-pasien dengan kestabilan hemodinamik,
dan dapat digunakan untuk mengevaluasi cedera organ padat, cairan
intra-abdomen, darah, air dan cedera organ-organ retro-peritoneal.
Penggunaan kontras intravena secara rutin digunakan, kecuali terdapat
kontra indikasi (gagal ginjal, alergi, dll). Penggunaan kontas secara oral
masih diperdebatkan karena memerlukan waktu yang lebih lama, dan
dapat menyebabkan muntah dan aspirasi. Keuntungan CT scan :
mengidentifikasi cedera secara spesifik, baik untuk trauma pada organ
berongga, dan cedera retro-peritoneal, sangat sensitif sitivedan spesifik.
Selain keuntungan diatas didapatkan pula kerugian-kerugian dari CT scan
yaitu : Merupakan peralatan yang mahal, 30-60 menit untuk satu kali
evaluasi, hanya untuk pasien-pasien yang hemodinamik stabil, tidak untuk
pasien yang sedang hamil.
Trauma tumpul sendiri dibedakan menjadi dua yaitu (Wim de jong 1997) :

a. Trauma tumpul pada organ padat


Yang termasuk dalam organ padat adalah diafragma, hati, ginjal, lien, dan
pankreas.

b. Trauma tumpul pada organ berongga


Yang termasuk dalam organ tidak berongga adalah gaster, usus halus, colon dan
rektum, serta saluran kencing.

88 | P a g e
Tabel 1 : Alogaritma untuk menginfestigasi trauma tumpul abdomen

2.2.1. TRAUMA TUMPUL ABDOMEN PADA ORGAN PADAT


2.2.1.1 TRAUMA TUMPUL PADA DIAFRAGMA
Pada tahun 1974, Grimes mendeskripsikan ruptur diafragma dalam tiga
fase: (World journal of emergency surgery)

 Fase akut, yaitu tepat setelah terjadinya trauma pada diafragma.


 Fase delayed yaitu fase yang berhubungan dengan herniasi dari visera yang
tidak memiliki gejala atau memiliki gejala yang non spesifik.
 Fase obstruksi, ditandai dengan komplikasi dari herniasi yang lama dengan
gejala obstruksi, strangulasi dan ruptur.
Ruptur pada diafragma kadang tidak dapat terdiagnosis karena tidak
adanya gejala spesifik yang muncul. Kadang gejala baru timbul pada fase
obstruksi akibat terjepitnya organ pada defek dari diafragma. Pasien-pasien
dengan gejala yang tidak spesifik mungkin mengeluh nyeri dada, nyeri abdomen,
sesak napas, napas cepat, dan batuk. Kecurigaan akan adanya trauma dan

89 | P a g e
mekanisme trauma sendiri merupakan kuci utama dalam menegakkan diagnosis
dengan benar. (World journal of emergency surgery)

Epidemiologi

Ruptur pada diafragma merupakan kondisi yang mengancam nyawa.


Cedera pada diafragma merupakan kasus yang jarang terjadi dan biasa disebabkan
oleh trauma tumpul atau tajam pada abdomen. Rupturnya diafragma biasanya
berhubungan dengan trauma abdomen, tetapi juga dapat terjadi tanpa trauma.
(World journal of emergency surgery)

Kasus trauma diafragma jarang terjadi dikarenakan sulit untuk


diperkirakan. Trauma tumpul pada diafragma hanya berkisar 35%. Pada trauma
tumpul 1% - 2 %, lebih dari 2/3 ruptur pada diafragma kiri dan sentral. Difragma
sebelah kiri tidak dilindungi oleh organ sehingga mudah ruptur. Pada kecelakaan
lalu lintas sering menyebakan rupture diafrgama (90%). Akibat trauma tajam
hanya beberapa saja. (Peitzman 2008, David Feliciano 2008)

Anatomi

Bagian anterior diafragma dan inferior berada di tepi sternum dan


costa. Bagian posterior berada di costa 11-12, dan bagian sentral menempel
pericardium. Inervasi dari N. phrenicus ( C3 – C5 ) dan berbentuk kubah.
(Peitzman 2008, David Feliciano 2008)

90 | P a g e
Gambar : Topografi diafragma pada rongga torak dan abdomen

Mekanisme Trauma

Ruptur pada diafragma dengan adanya herniasi organ pertama kali


deskripsikan oleh Sennertus pada tahun 1541. Cedera pada diafragma adalah
akibat dari kecepatan yang tinggi dari trauma tumpul maupun trauma tajam,
bukan hanya akibat jatuh biasa. Biasanya pasien dengan ruptur pada diafragma
mempunyai multitrauma, karena dibutuhkan tenaga yang sangat kuat untuk dapat
membuat ruptur diafragma. (World journal of emergency surgery)

Trauma tumpul pada abdomen meningkatkan tekanan


transdiafragmatik antara abdomen dan rongga thorak. Hal ini menyebabkan
pergeseran membrane dan avulsi diafragma dari tempat perlekatannya yang
dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen, yang kemudian
disalurkan ke visera. Keterlambatan munculnya hernia dapat dijelaskan dengan
berbagai macam hipotesis. Ruptur otot diafragma dapat muncul beberapa hari
setelah terjadinya cedera. Hal ini merupakan contoh paling baik pada ruptur
diafragma bilateral, dimana ruptur diafragma kiri diidentifikasi setelah 24 jam
paska kecelakaan, dan ruptur diafragma kanan ditemukan pada saat laparotomi,
kurang lebih 10 hari kemudian. Bagaimanapun penjelasan yang lebih mungkin

91 | P a g e
ialah bahwa deteksi adanya cedera pada diafragma akan terhambat karena gejala
baru muncul pada saat terjadi herniasai pada diafragma. Hernia diafragmatika
akibat trauma seringkali tidak terdiagnosis dan ada pula keterlambatan antara
trauma dan diagnosis. (World journal of emergency surgery)

o Diafragma memiliki pergerakan muskulus yang dinamis sehingga struktur dari


diafragma terlindungi dari kasus trauma. (www.emedicine.medscape.com/
Trauma)
o 90 % ruptur diafragma diakibatkan trauma tumpul abdomen yang terjadi pada
pria muda setelah kecelakaan sepeda
motor.(www.emedicine.medscape.com/ Trauma)
o Tekanan Abdominal yang meningkat secara mendadak dan kuat dapat
mengakibatkan ruptur pada diafragma. (www.emedicine.medscape.com/
Trauma)
Diagnostik

Penelitian-penelitian yang diterbitkan sebelum tahun 1996 mengutip


bahwa 12-69% ruptur pada diafragma tidak terdiagnosa sebelum fase operasi. CT
scan tidak banyak digunakan sebagai penyelidikan pada saat itu, namun dengan
adanya gambaran yang lebih sensitif, maka penggunaan CT scan telah meningkat
secara signifikan. Bila pada saat auskultasi dada terdengar bising usus, maka
thoraks foto merupakan lini pertama untuk mendiagnosa adanya perforasi karena
sensitivitasnya yang tinggi. Dengan Foto polos bisa mendeskripsikan masuknya
naso-gastric tube dari intra-thorakal sampai lambung dan dapat meningkatkan
sensitivitas diagnostik kira-kira 75%. Gambaran thoraks secara radiologi
mempunyai sensitifitas untuk ruptur kiri 46% dan ruptur sebelah kanan 17%. CT-
Scan dengan potongan axial, sagital, dan coronal meningkatkan sensitivitas 73%
dan spesifisitas 90%. Pada saat persiapan laparotomi pada pasien trauma
pemeriksaan inspeksi dan palpasi pada diafragma harus hati-hati.(World journal of
emergency surgery)

Secara sistematis yang ditemukan dari konfirmasi foto polos bisa


ditemukan lengkungan usus di hemithoraks sebelah kiri, Hidropneumothoraks
yang banyak, kubah diafragma kiri yang meninggi, pneumothoraks kiri terlokulasi,

92 | P a g e
perubahan mediastinum, gas bebas dibawah diafragma dan subdiafragma. Dari
foto BOF bisa ditemukan gambaran obstruksi usus besar. Pada penggunaan CT-
Scan bisa ditemukan intrapelura herniasi dari usus besar dan pleura efusi yang
berlebihan. (World journal of emergency surgery)

Pada kasus Pleuro-pulmonary USG digunakan pada paru-paru yang


terdapat efusi pleura bersamaan dengan gangguan hemidiafragma kanan serta
intra-thoraks parenkim hepatik, dilatasi vena hepatis, kolaps IVC saat inspirasi.
(World journal of emergency surgery)

Gambaran-gambaran radiologis trauma tumpul pada diafragma

Gambar

Gambar 1 : Gambar 2 :

Gambar 1 : Foto polos abdomen. tidak terlihatnya hemidiafragma kiri dan gas usus pada
dasar paru kiri.

Gambar 2 : CT scan dengan kontras IV dalam potongan axial, gambaran rongga toraks bagian
bawah dan abdomen bagian atas, menunjukkan gambaran herniasi usus melewati
robekan dari diafragma.

Gambar : Pasien dengan kecelakaan kendaraan bermotor, yang menyebabkan ruptur


hemidifragma kanan, cedera hepar grade 1 dengan
herniasi hepar menuju cavum thoraks, dan adanya

93 | P a g e
hematoma retroperitoneal dan fraktur corpus vertebra lumbalis 1 dan fraktur prosesus
transverses L1-L4.

Gambar 1 Gambar 1

Gambar 1 : CT scan potongan coronal menggambarkan robekan hemidiafragma kiri.

Gambar 2 : CT scan potongan sagital, menggambarkan herniasi usus akibat robekan pada
hemidiafragma

Gambar 1 Gambar 2

Gambar 1 : CT scan yang menunjukkan adanya laserasi dari diafragma karena


kecelakaan kendaraan bermotor, dan menunjukkan adanya gaster di cavum thoraks
sebelah kiri dengan adanya air-fluid level.

94 | P a g e
Gambar 2 : Gambaran CT scan yang menggambarkan herniasi hati ke dalam cavum
thoraks yang diakibatkan karena trauma tumpul pada diafragma, akibat kecelakaan
kendaraan bermotor.

Gambar: pasien yang jatuh dari


ketinggian + 5m, mengakibatkan
herniasi hemidiafragma kiri.

2.2.1.2 TRAUMA TUMPUL PADA HEPAR DAN SALURAN EMPEDU


Anatomi hepar

Trauma hati terjadi ± 5% karena bentuk dan anatomi dari hati terletak di
bawah arkus kosta. Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh, rata-rata sekitar
1.500 gram atau 2,5 % berat badan pada orang dewasa normal. Hati merupaka
organ plastis lunak yang tercetak oleh struktur disekitarnya. Permukaan superior
adalah cembung dan terletak di bawah kubah kanan diafragma dan sebagian kubah
kiri. Bagian bawah hati adalah cekung dan merupakan atap ginjal kanan, lambung,
pancreas, dan usus. Hati memiliki 2 lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi
menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tidak
terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh
ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari luar. Ligamentum falsiforme berjalan
dari hati ke diafragma dan dinding depan abdomen. Permukaan hati diliputi oleh
peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat
langsung diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan lipatan peritoneum

95 | P a g e
membantu menyokong hati. Dibawah peritoneum terdapat jaringan penyambung
padat yang dinamakan kaspsula glisson, yang meliputi seluruh permukaan organ;
kapsula ini pada hilus atau porta hepatis di permukaan inferior, melanjutkan diri ke
dalam massa hati, membentuk rangka untuk cabang-cabang vena porta, arteria
hepatica, dan saluran empedu. (Sylvia 2002)

Mekanisme Trauma

Paling banyak disebabkan oleh tabrakan kendaraan selain itu diikuti oleh
pejalan kaki, jatuh, serangan mendadak, dan tabrakan motor. (David Feliciano 2008)

Diagnosa

Pasien trauma yang diutamakan adalah Advance Trauma Life Support


(ATLS) yaitu, airway, breathing, and circulation. Setelah itu baru bisa melakukan
pemeriksaan radiologi. Pasien dengan trauma tumpul abdomen harus dilihat dari
kondisi Hemodinamiknya stabil atau tidak. (David Feliciano 2008)

a. Hemodinamic Unstable pasien


Modalitas yang dipakai pada pasien hemodinamik tidak stabil adalah :
1. DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage)
DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) dilakukan apabila dICUrigai ada
perdarahan intra-abdominal (perdarahan dalam abdomen) karena adanya trauma.
Prosedur ini dilakukan apabila metode diagnostik alternatif seperti fasilitas CT scan
atau USG tidak tersedia, atau keadaan pasien yang tidak memungkinkan. Pelaksanaan
DPL dilakukan apabila mau diadakan laparatomy.
2. FAST ( Focused Abdominal Sonography for Trauma )
FAST penggunaannya sudah dijelaskan pada epidemiologi. Tetapi pada
penggunaan trauma tumpul abdomen pada hepar banyak juga digunakan.
FAST merupakan diagnostik yang baik untuk trauma tumpul abdomen.
FAST memiliki sensitivias 83,3 % dan spesifisitas 99,7 %. Kesalahan pada FAST
lebih sedikit daripada CT-Scan. FAST merupakan diagnostik alat diagnostik awal
untuk trauma abdomen mendeteksi adanya cairan intra-abdominal. (David Feliciano
2008)
b. Hemodinamic stable pasient

96 | P a g e
1. FAST merupakan pilihan terbaik untuk Trauma tumpul abdomen dan sudah
dibahas pada hemodinamik unstable pasien.
2. CT-Scan
Kontras ditingkatkan CT scan adalah prosedur non-invasive. Ini telah
menjadi modalitas radiografi standar emas dalam mengevaluasi pasien trauma tumpul
abdomen. Sekarang CT scan tersedia di pusat-pusat trauma, dan dengan munculnya
CT scan helical, waktu untuk melakukan scan menjadi jauh lebih singkat. (David
Feliciano 2008)
CT scan diindikasikan pada trauma tumpul abdomen pada pasien dengan
hemodinamik stabil dengan temuan samar-samar pada pemeriksaan fisik, cedera
neurologis atau sensorium terganggu akibat obat-obatan atau alkohol, cedera
beberapa ekstra-Abdominal, dan ketika mekanisme cedera sugestif atau pancreas
cedera duodenal. CT scan merupakan kontraindikasi pada pasien trauma tumpul
abdomen dengan indikasi yang jelas dari laparotomi dan pada pasien hemodinamik
yang tidak stabil. (David Feliciano 2008)
CT scan memiliki akurasi yang tinggi mencapai sekitar 95%. Memiliki
nilai prediktif negatif yang tinggi sangat mencapai hampir 100%. Meskipun
demikian, pasien dengan cedera abdomen diduga akan dirawat selama paling sedikit
24 jam di rumah sakit untuk observasi bahkan dengan hasil CT scan negatif. CT scan
memberikan citra rinci mengenai cedera yang ada. Mencari udara bebas intra-
peritoneal atau ruptur diafragma indikasi yang pasti untuk laparotomi. Hal ini sangat
berguna dalam menentukan tingkat keparahan cedera pada organ padat (Gambar 1)
dan membimbing manajemen non-operasi dan keputusan untuk operasi. Helical CT
dengan peningkatan kontras dapat mendeteksi ekstravasasi arteri pada pasien trauma
tumpul abdomen ( Gambar 2 ). Ini dapat digunakan untuk melokalisasi situs anatomi
cedera dan untuk memandu atau intervensi bedah angiografi. Tindak lanjut CT scan
berguna untuk membantu membuat keputusan klinis ketika mengadopsi pendekatan
konservatif. Hal ini memungkinkan penilaian yang memadai dari struktur retro-
peritoneal. Ini adalah keuntungan besar atas modalitas lainnya. Selain itu,
memungkinkan penilaian perfusi darah organ yang berbeda ( Gambar 3 ). Helical CT
scan gambar rekonstruksi sagital dan koronal berguna untuk mendeteksi ruptur
diafragma. Selain itu, tampaknya meningkatkan diagnosis cedera gastrointestinal.

Grade Injury Description

97 | P a g e
I Hematoma: Subcapsular, < 10 % surface
area.

Laceration: capsular tear,, < 1 cm


parenchymal depth

II Hematoma: Subcapsular, 10±50 % surface


area; intraparenchymal, < 10 cm in diameter

Laceration:1±3 cm parenchymal depth, < 10


cm in length

III Hematoma: Subcapsular, > 50 % surface


area or ex- panding or ruptured;
intraparenchymal, > 10 cm or expanding or
ruptured

Laceration: > 3 cm parenchymal depth

IV Laceration:Parenchymal disruption
involving 25±75 % of hepatic lobe or 1±3 or
Couinaud's seg- ments within a single lobe

V Laceration: Parenchymal disruption


involving > 75 % of hepatic lobe or > 3 of
Couinaud's seg- ments within a single lobe

Vascular: Juxtahepatic venous injuries, i. e.,


retrohe- patic vena cava/central major
hepatic veins

VI Vascular:Hepatic avulsion

Tabel 2. klasifikasi cedera hati berdasarkan OIS (organ injury scale).

98 | P a g e
Gambar 1 Gambar : 2

Gambar 1 : CT scan abdomen dengan kontras intravena pada pejalan kaki tua yang
ditabrak oleh mobil, gambar menunjukkan beberapa laserasi limpa (panah). Pasien
hemodinamik stabil dan dirawat secara konservatif.

Gambar 2 : CT dengan kontras intravena pada sopir laki-laki tua yang berumur 30
tahun yang terlibat dalam tabrakan lalu lintas. CT telah menunjukkan blush kontras
aktif di dalam hati (panah). Ada juga cairan bebas di dekat limpa (panah)

Gambar : CT scan abdomen dengan kontras


intravena menunjukkan perfusi baik dari ginjal
kanan. Ada cedera pada ginjal kanan mencapai
sampai ke panggul kanan dengan ekstravasasi
cairan di sekitar ginjal (kepala panah).

Gambar : Gambaran Hepar Normal dan


kelainannya berdasarkan USG

Gambar : Gambaran Hepar Normal dan kelainannya berdasarkan USG

99 | P a g e
Gambar : Gambaran Hepar Normal dan kelainannya berdasarkan USG

Free fluid

Haematom
a

Gambar 1 Gambar 2
Gambar 1 : Laserasi dan hematom hepar secara USG

Gambar 2 : Intracapsuler hematom

100 | P a g e
Haematoma

Capsule

Gambar : Subcapsuler hematom

Haematoma

Haematoma

Gambar : Intrapaenkim hematom menggunakan Dopler Ultrasound.

Gambar : perdarahan aktif


intraperitoneal dari trauma hati tumpul
(OIS kelas V). Contrast-enhanced CT scan
pada pasien usia 36 tahun yang jatuh dari
ketinggian menunjukkan ekstravasasi
cairan bebas Ada devascularisasi
sebagian hati kiri, dan laserasi yang juga
terlihat di segmen 4. Extravasasi kontras
terlihat dekat dengan permukaan hati (melengkung panah hitam), dan di ruang perihepatic

101 | P a g e
dan Morison's pouch (panah putih). Aperiportal dan pericaval terlihat karena perivascular
darah (panah hitam). Ada hemoperitoneum umum utama dalam ruang perisplenic dan
kantung kecil (panah putih). Tiang atas dari ginjal kanan terdevacularisasi (asterisk).
hepatectomy kiri diperlukan pada pasien ini.

Gambar : Perdarahan intrahepatik aktif.


pasien 27 tahun yang hemodinamik stabil
setelah kecelakaan lalu lintas. memperluas
hematoma besar yang melibatkan seluruh
lobus hati (OIS V grade). CT scan dengan
kontras menunjukkan devascularisasi dari
lobus kanan hati, perfusi dari lobus kiri.
Surgical packing terlihat antara hati dan
diafragma (panah). Kumpulan bahan kontras yang tidak teratur terlihat dekat dengan
perbatasan dari segmen hati 4 (panah), sesuai dengan perdarahan intra-hepatik aktif.

Gambar : Trauma tumpul hati yang besar.


Contrast-enhanced CT scan pada seorang
pria 29 tahun yang mengalami kecelakaan
lalu lintas menunjukkan dua sobekan besar
(laserasi) dari kapsul hati (panah hitam)
dengan clotting hyperdense dalam ruang
perihepatic berdekatan dengan itu.
Beberapa daerah hypodense bulat atau
tidak teratur berbentuk dilihat di seluruh lobus hepatik kiri menunjukkan area memar dan /
atau devascularisasi parsial. Perhatikan bahwa ada hemoperitoneum general yang
melibatkan ruang perisplenic.

Gambar : cedera hati tumpul. Helical CT scan


Contrast-enhanced pada seorang pria 32 tahun
setelah kecelakaan ski menunjukkan laserasi
multiple intra-parenchymal kecil terletak terutama
di daerah periportal. Sebuah hematoma retrocaval

102 | P a g e
kecil ini disebabkan memar kelenjar adrenal kanan (panah).

Gambar 1 Gambar 2

Gambar 1 : CT pada hematoma hati grade III (A) dan hematoma


limpa grade IV, dengan cairan bebas minimal.26 Pasien teratasi
tanpa operasi.

Gambar 2 : carian bebas pada cavum abdomen

2.2.1.3 Trauma Tumpul pada Biliary tract


1. Anatomi
Saluran empedu membawa empedu dari hati ke usus kecil. Empedu
membantu dalam pencernaan makanan berlemak. Saluran empedu
dimulai sebagai duktus lobus kiri dan duktus lobus kanan yang turun dari
hati. Kedua bentuk saluran hati pada bifurkasi mereka duktus hepatik
umum. Sebagai duktus hepatika turun menuju usus kecil, duktus sistikus
yang mengarah dari kandung empedu bergabung dengan duktus hepatika
untuk membentuk saluran empedu umum. Saluran empedu umum turun
ke usus kecil. Ampula vateri adalah sfingter jaringan yang mengontrol
aliran empedu dari saluran empedu ke dalam usus kecil.
(www.attorneysmedicalservices.com/dunbar_article.html)

103 | P a g e
Gambar : anatomi dari kandung empedu

2. Patofisiologi

Biasanya, akibat mekanisme kecelakaan atau luka lecet yang


mengenai kuadran kanan atas bisa menyebabkan gangguan empedu
sehingga terjadi peritonitis empedu. Pada trauma tumpul daerah
retroduodenal pada superior pankreas paling sering terkena daerah
empedu. Trauma tumpul pada kandung empedu yang menyebabkan
perforasi pada thorakoabdominal sangat langka. Kejadian yang sering
terjadi pada kasus trauma pada kandung empedu adalah luka tusuk atau
penetrasi trauma abdomen.
(www.attorneysmedicalservices.com/dunbar_article.html)

3. Gambaran Radiologis (www.emedicine.medscape.com/ Trauma)

a. CT-Scan abdomen

Digunakan pada kasus trauma tumpul abdomen.

b. Trans abdominal Sonografi

Bisa mengevaluasi kebocoran dari empedu atau saluran empedu


yang membesar

c. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)

104 | P a g e
Telah terbukti berguna untuk mendeteksi luka pancreaticobilliary
pada trauma tumpul abdomen.

Gambaran Radiologis :

Gambar : Laserasi dari kandung


empedu pada seorang pria 19 tahun
setelah tabrakan kendaraan
bermotor. Axial CT scan dengan
kontras menunjukkan beberapa
luka pada hati (panah dalam) dan
udara bebas intra-peritoneal (*).
Ada peningkatan non-continuous
dari dinding kandung empedu
(panah dalam b) dengan cairan bebas di sekitarnya. Perhatikan hematoma duodenum
(tanda panah pada b) dan non-enhancement dari ginjal kanan, yang merupakan hasil
dari cedera masif. Sebuah laserasi kantong empedu dikonfirmasi di operasi, dan pasien
mengalami kolesistektomi.

Gambar : Laserasi dari kandung


empedu pada seorang pria 19
tahun setelah tabrakan
kendaraan bermotor. Axial CT
scan dengan kontras
ditingkatkan menunjukkan
beberapa luka pada hati (panah
dalam) dan udara bebas intra-
peritoneal (*). Ada peningkatan
noncontinuous dari dinding kandung empedu (panah dalam b) dengan cairan bebas di
sekitarnya. Perhatikan hematoma duodenum (tanda panah pada b) dan non-
enhancement dari ginjal kanan, yang merupakan hasil dari cedera masif. Sebuah laserasi
kantong empedu dikonfirmasi di operasi, dan pasien mengalami kolesistektomi.

105 | P a g e
Gambar : 1. Ruptur kandung empedu dan
hemobilia: tanda sentinel clot. CTscan
pada seorang pria 24 tahun setelah
kecelakaan lalu lintas menunjukkan
kantong empedu (runtuh) kecil.
Hyperdense, gumpalan segar (60HU)
terlihat dalam lumen kandung empedu
(panah terbuka), dan berbatasan di
empedu (panah hitam). Pembentukan bekuan juga terlihat di ruang perihepatic (panah
putih). Hemoperitoneum (45HU) terlihat di ruang perihepatic dan perisplenic (panah
putih). Parenkim hati adalah homogen karena steatosis hati. Operasi mengungkap
bahwa Ruptur kandung empedu tapi tidak ada kerusakan parenkim hati yang relevan.

Gambar 1a Gambar 1b

Gambar 1c

Gambar 1: Ruptur kandung empedu dan transeksi arteri kistik karena trauma tumpul
besar pada bocah 6 tahun setelah tabrakan kendaraan bermotor. (1a) CT kontras
ditingkatkan Axial scan menunjukkan luka hati yang luas dan perdarahan adrenal kanan.
Perhatikan koleksi bahan kontras anterior iodinasi ke vena portal (panah); temuan ini
menunjukkan perdarahan aktif karena gangguan dari arteri kistik. (1b) kontras-
enhanced CT scan aksial menunjukkan peningkatan noncontinuous dari mukosa
kandung empedu (panah). Perhatikan ekstravasasi aktif dari bahan kontras (panah). (1c)

106 | P a g e
kontras-enhanced CT scan aksial menunjukkan cairan intra-peritoneum padat (*), yang
konsisten dengan perdarahan. Ruptur kandung empedu, hemoperitoneum, dan
transeksi dari arteri kistik dikonfirmasi di laparotomi. Pasien menjalani kolesistektomi.

a. CT–scan dengan
Kontras ( ERCP = Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography )
Gambar : Kebocoran saluran empedu
intra-hepatic pada seorang pria 20 tahun
setelah tabrakan sepeda motor
berkecepatan tinggi. CT kontras-
enhanced Axial scan menunjukkan
laserasi dari lobus kanan hati (panah)
yang meluas ke permukaan hati.

Gambar : Axial contrast-enhanced CT

scan menunjukkan adanya ascites (∗).

Gambar a Gambar b

107 | P a g e
Gambar a dan b : Gambar ERCP menunjukkan gangguan dari duktus hepatika kanan dan
ekstravasasi bahan kontras. Perhatikan penyatuan bahan kontras di sepanjang lobus
kanan hati (panah dalam b).

Gambar : Hepatobiliary scan obtained 36


minutes after injection of the tracer
shows active biliary leakage. Note the
activity along the right lobe of the hati
(left arrowhead) and within the
peritoneum (right arrowhead).

Gambar : Normal Gallblader menggunakan USG

Haematoma Haematoma

108 | P a g e
Gambar : Hematom pada kandung empedu dilihat dengan mediasi USG

2.2.1.4 TRAUMA TUMPUL PADA LIEN


Insiden
Cedera lien harus segera ditangani karena organ yang termasuk berbahaya
setelah hati.Apabila terjadi robekan bisa menyebabkan pendarahan,
hematome, dan bisa ruptur secara mendadak. Sehingga bisa terjadi anemis
pada pasien. Sehingga harus segera mempertahankan volume darah pasien.
Trauma tumpul limpa ditangani secara non operatif pada 60-70 % kasus,
angka kegagalan 10 %. Harus dirawat di ICU dan tersedia fasilitas untuk CT-
serial. (Peitzman 2008, David Feliciano 2008)

1. Anatomi dan Fungsi

Limpa dilindungi oleh lambung, diafragma bagian kiri, ginjal kiri, dan
kelenjar adrenal, kolon, dan dinding dada. Selain itu limpa mempunyai
tambahan penyokong yaitu ligament gastrosplenic, ligamentum
splenorenal, ligament splenophrenic, ligament splenocolic. Limpa mendapat
suplai darah hanya 5% dari jumlah cardiac output yang didapat dari arteri
splenicus. Arteri splenicus bercabang menjadi arteri splenicus superior dan
inferior. Limpa memproduksi antibodi.(Peitzman 2008, David Feliciano
2008)

109 | P a g e
Gambar : anatomi dari limpa normal

110 | P a g e
2. Diagnosa

a. Pada penderita yang tidak stabil akibat trauma dapat terjadi


hemoperitoneum sehingga DPL dan USG sangat tepat untuk
mendiagnosa. Tapi dalam pembahasan ini akan dibahas USG.(1,5)

b. Pada penderita yang stabil dapat dilakukan CT-Scan karena dapat


mengetahui grade dari trauma limpa, selain itu CT-Scan bisa
menemukan hemoperitoneum.

c. MRI juga bisa digunakan sekali-kali untuk diagnosa trauma limpa.

d. Angiografi biasanya digunakan untuk mengetahui emboli dan


perdarahan arteri. Tetapi ini lebih difokuskan pada trauma tumpul
abdomen adalah perdarahan arteri.(Peitzman 2008, David Feliciano
2008)

Berikut adalah derajat / grade pada trauma limpa :

a. Grade I : - hematoma subcapsular < 10 %

- Laserasi dengan kedalaman < 1 cm

b. Grade II : - hematoma subcapsular 10-15 %

- Laserasi dengan kedalaman 1-3 cm

c. Grade III : - Subcapsular hematoma > 50 %

- Hematoma intra parenkim > 5 cm

d. Grade IV : - Laserasi mengenai daerah segmental atau


pembuluh darah hilus.

e. Grade V : - Limpa hancur

- Penurunan vaskularisasi pada hilus

111 | P a g e
3. Terapi

a. Non-operatif

i. Biasanya dilakukan pada anak-anak ( > 90% ) tanpa melihat grade


dari trauma, sedangkan pada dewasa hanya 65% - 75% tapi
biasanya hanya pada trauma grade 1 dan 2. Namun pasien dengan
grade 4 dan 5 biasanya tidak stabil dan dilakukan operasi sedangkan
grade 3 bisa tanpa operasi dengan catatan harus dalam keadaan
stabil.(Peitzman 2008)

ii. Bila tidak dilakukan operasi maka harus observasi secara berkala.
Jika terjadi perdarahan maka dilakukan laparotomi.(Peitzman 2008)

b. Operatif(Wim de jong 1997)

i. Dilakukan pada trauma grade 3 yang keadaanya tidak stabil, grade 4


dan 5 harus dilakukan operasi.

ii. Perdarahan di rongga peritoneum.

iii. Terjadi perubahan kondisi dari stabil jatuh ke tidak stabil.

Berikut ini tahap penanganan trauma pada limpa :

1. Grade 1 : tanpa perdarahan

Terapi : obat golongan hemostatik, golongan koagulasi.

2. Grade 2 dan 3 : dilakukan perbaikan kapsul yang robek.

3. Grade 4 dan 5 : dilakukan reseksi meliputi ligasi, reseksi pada kapsula dan
splenektomi.(Peitzman 2008)

112 | P a g e
4. Splenografi dengan tujuan memperbaiki fungsi limpa dengan cara membuang
jaringan non-vital, mengikat pembuluh darah yang terbuka, menjahit kapsul yang
robek.

5. Splenektomi dilakukan bila sangat terpaksa. Bila splenografi gagal dilakukan maka
alternatifnya adalah dengan melakukan
splenektomi.(Wim de jong 1997)

Foto polos

Gambar : 1: Limpa, trauma. Foto toraks


menunjukkan massa perifer kalsifikasi di kuadran
kiri atas di bawah diafragma. Massa merupakan
hematoma lienalis kalsifikasi.

Gambar : Limpa, trauma. Contrast-enhanced


CT scan menunjukkan area lokal koleksi
kontras padat di hilus limpa, dengan jumlah
besar cairan/darah di sekitarnya Temuan di
sini adalah indikasi dari ekstravasasi aktif
kontras pada pasien dengan
autospleneCTomy traumatik. Ini adalah
c
e
d

113 | P a g e
era grade V.

Gambar : Limpa, trauma. Contrast-enhanced CT scan dari abdomen dalam tahap


kesetimbangan menunjukkan fluida perisplenic dengan efek massa pada limpa. Limpa
tampak dikompresi oleh cairan, tampak seperti koleksi cairan subcapsular. Pada pasien ini,
cairan itu sekunder pseudocysts pankreas mirip dengan hematoma subcapsular.

Gambar 1 Gambar 2

Gambar 1 : Limpa, trauma. Contrast-enhanced CT scan abdomen menunjukkan koleksi


cairan perisplenic dengan redaman internal meningkat. Perbatasan lienalis dipindahkan
oleh efek massa. Ini adalah hematoma subcapsular subakut. Ini adalah cedera grade I.

Gambar : Limpa, trauma. Contrast-enhanced CT scan abdomen menunjukkan beberapa


cairan perisplenic dalam aspek anterior. Sebuah penyimpangan yang jelas kecil tampak
pada dinding lienalis posterior. Ini adalah celah lienalis bawaan pada pasien dengan
cairan perisplenic sekunder terhadap cedera nonsplenic.

Gambar : Limpa, trauma. Contrast-enhanced CT scan abdomen menunjukkan celah lienalis


bawaan dengan cairan perisplenic sekunder untuk karsinoma ovarium metastasis. Hal ini
tampak seperti cedera lienalis.

114 | P a g e
Gambar : Limpa, trauma. Contrast-
enhanced CT scan abdomen menunjukkan
cairan perisplenic tanpa identifikasi laserasi
pada pasien yang menderita trauma
tumpul abdomen. Sejumlah besar cairan
panggul terlihat, mendorong laparotomi di
mana sebuah laserasi kecil ditemukan, ini
tidak jelas di scan.

Gambar 1 Gambar 2 :

Gambar 1 : Limpa, trauma. Contrast-enhanced CT scan abdomen menunjukkan koleksi


cairan besar di abdomen bagian atas. Ini adalah hematoma kronis lienalis subcapsular
dan cedera grade III

Gambar 2 : Limpa, trauma. Contrast-enhanced CT scan abdomen menunjukkan


kompleks laserasi lienalis pole yang lebih rendah. Ini adalah cedera grade II.

115 | P a g e
Gambar 1 Gambar 2

Gambar 1 : Limpa, trauma. Contrast-enhanced CT scan abdomen menunjukkan laserasi


hilar kecil. Ini adalah cedera grade III-IV.

Gambar 2 : Limpa, trauma. Contrast-enhanced CT scan abdomen menunjukkan laserasi


kompleks memperluas ke hilus. Ini adalah cedera grade IV.

Gambar : Limpa, trauma.


Arteriogram diperoleh dengan
injeksi kateter arteri utama limpa
menunjukkan beberapa daerah
ekstravasasi agen kontras
parenkim.

Gambar 1 Gambar 2

Gambar 1 : Limpa, trauma. Arteriogram lienalis Selektif menunjukkan


pseudoaneurysms traumatis dengan ekstravasasi di bagian atas.

116 | P a g e
Gambar 2 : Limpa, trauma. Arteriogram diperoleh dengan suntikan arteri
utama lienalis setelah embolisasi koil superselective dari
pseudoaneurysms. Kekeruhan kontras Irregular masih didapatkan di
dalam area avaskular, itu mungkin mewakili daerah cedera vaskular yang
lain.

Gambar 1 Gambar 2

Gambar 1 : Limpa, trauma. Arteriogram diperoleh dengan suntikan arteri


superselective lienalis di bagian atas menegaskan zona kedua gangguan vaskular
dengan kontras ekstravasasi agen.

Gambar 2 : Limpa, trauma. Angiogram diperoleh setelah embolisasi koil


superselective dari arteri bagian atas menunjukkan pengobatan yang memadai
tanpa ekstravasasi.

Gambar : Limpa, trauma. Gambar


arteriographic akhir dari injeksi
kateter arteri utama lienalis setelah
embolisasi koil selektif /
superselective. Sekitar 50% dari limpa
telah devascularisasi. Tidak
didapatkan adanya cedera vaskuler

117 | P a g e
atau arteri sisa ekstravasasi. Pasien sembuh total.

Gambar 7 : Subcapsular hematoma dari limpa, berhasil diobati konservatif. CT scan dengan
kontras yangdisempurnakan dilakukan pada orang berumur 83 tahun setelah jatuh
menunjukkan sebuah lentICUlar berbentuk lesi massa dengan pelemahan nilai sekitar 60 HU,
menekan lienalis parenkim medial. Tidak ada cairan perisplenic yang bebas menunjukkan
bahwa kapsul lienalis masih utuh.

Gambar 8 : Capsular robek dan intrasplenichematoma, berhasil dirawat konservatif.


Contrast-enhanced CT scan didapatkan pada seorang wanita 79 tahun setelah serangan
menunjukkan sobekan dari-dorso posterior aspek limpa dengan 2-cm laserasi parenkim
(panah) dan darah bebas intraperitoneal di ruang perisplenic dan perihepatic dengan nilai
atenuasi 40 ± 45 HU, menunjukkan gangguan kapsuler. Ada juga hematoma intrasplenic kecil
di bagian medial (mata panah).

Gambar : 9. Limpa ruptur dengan memar parenkim, berhasil dirawat konservatif. Kontras-CT
scan diperoleh pada wanita 32 tahun setelah kecelakaan ski menunjukkan defek perfusi
besar, tidak teratur dari parenkim limpa, dan darah bebas intraperitoneal di ruang
perisplenic (panah) dan dalam ruang perihepatic. Bidang hipoperfusi seperti ini dapat terjadi

118 | P a g e
karena memar parenkim atau hipotensi dan sulit untuk membedakan dari cedera
devascularisasi karena hilar arteri yang ruptur.

Gambar :10a, . Limpa ruptur dengan devascularisasi dari limpa karena cedera arteri hilar.
Contrast-enhanced CT scan di dua level berbeda diperoleh pada seorang pria 19 tahun
setelah kecelakaan lalu lintas. Pada tingkat parenkim lienalis tidak menunjukkan peningkatan
yang menunjukkan devascularisasi kengkap pada tingkat ini. b Pada sedikit tingkat inferior
bagian anterior parenkim masih diperfusi, tapi bagian posterior devascularisasi. Perhatikan
cairan bebas di ruang perisplenic (panah) dan ruang perihepatic. Laparotomi mengungkap
adanya gangguan capsular dan cedera arteri hilar (OIS grade V).

Gambar : 11. Limpa hancur, membutuhkan splenektomi segera. Kontras-enhanced CT scan


didapatkan pada seorang pria 49 tahun menunjukkan penghancuran dan devascularisaso
dari sebagian besar parenkim lienalis (OIS grade V) dengan hanya sedikit sisa, porsi perfusi
dan ekstravasasi
bahan kontras (panah hitam). Didapatkan baik subcapsular hematoma (panah) dan darah
perisplenic gratis (panah putih).

119 | P a g e
Gambar : Limpa normal yang dilihat menggunakan USG

VU

Gambar : Laserasi limpa dilihat menggunakan USG (mata panah putih menunjukkan laserasi,
sedangkan mata panah hitam menunjukkan Hemoperitoneum didalam cavum Douglas.

Gambar : Lien Hematom dilihat menggunakan USG

2.2.1.5 TRAUMA TUMPUL PADA REN


Epidemiologi

Cedera pada ginjal merupakan cedera yang paling sering dari


keseluruhan cedera pada sistem urinary. Walaupun dilindungi oleh otot-otot
lumbal, costae, corpus vertebra, dan viscera, ginjal merupakan organ yang sangat
mobile, sehingga sebagai konsekuensinya kerusakan parenkim dan vaskuler akan
sering terjadi. Insiden terjadinya trauma pada ginjal bergantung pada populasi
pasien. Jumlah kejadian trauma pada ginjal kurang lebih 3% dari seluruh jumlah

120 | P a g e
trauma, dan sebanyak 10% dari pasien yang mengalami trauma abdomen.
(www.emedicine.medscape.com/ Trauma)

Pada ndegara berkembang, penyebab tersering dari trauma ini adalah


kecelakaan kendaraan bermotor, dan merupakan penyebab penting dari trauma
tumpul abdomen yang dapat menyebabkan cedera pada ginjal.
(www.emedicine.medscape.com/ Trauma)

Anatomi

Ginjal adalah organ vital yang berperan sangat penting dalam


mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur
keseimbangan cairan dalam tubuh dan elektrolit dan asam basa dengan cara
menyaring darah melalui ginjal, resorbsi selektif air, elekrtolit dan nonelektrolit,
serta mensekresi kelebihannya sebagai kemih. ginjal juga mengeluarkan sampah
metabolisme, juga bentuk aktif vitamin D, serta eritropoitin. (David Feliciano
2008)

Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang


peritoneum, didepan dua kosta terakir dan tiga otot besar (transverses abdominis,
kuadratus lumborum, dan psoas mayor. Ginjal dalam posisi tersebut
dipertahankan oleh bantalan lemak yang tebal. Kelenjar adrenal terletak diatas
kutub masing-masing ginjal. (David Feliciano 2008)

Ginjal terlindung baik dari trauma langsung, yaitu disebelah posterior


dilindungi oleh kosta dan otot yang meliputi kosta, sedangkan di anterior
dilindungi oleh bantalan usus yang tebal. Kalau ginjal cedera, maka hamper selalu
diakibatkan oleh kekuatan yang mengenai kosta ke dua belas, yang berputar
kedalam dan menjepit ginjal diantara kosta sendiri dan korpus vertebra lumbalis.
Karena perlindungan yang sempurna ini, maka ginjal dengan sendirinya menjadi
sulit diraba dan juga sulit dicapai pada waktu pembedahan. Ginjal kiri yang
ukurannya normal, biasanya tidak teraba pada pemeriksaan fisik karena
duapertiga permukaan anterior ginjal tertutup oleh limpa. Tetapi kutub bawah

121 | P a g e
ginjal kanan yang berukuran normal, dapat diraba secara bimanual. Kedua ginjal
yang membesar atau menggeser dari tempatnya dapat diketahui dengan cara
palpasi, walaupun hal ini lebih mudah dilakukan pada sebelah kanan (Sylvia 2002)

Panjang ginjal orang dewasa sekitar 12 sampai 13 centimeter, lebarnya


6 centimeter dan beratnya antara 120 sampai 150 gram. Ukurannya tidak berbeda
menurut bentuk dan ukuran tubuh. Sembilan puluh lima persen orang dewasa
memiliki jarak antar kutup ginjal antara 11 sampai 15 centimeter. Permukaan
anterior dan posterior kutup atas dan bawah serta pinggir medialnya berbentik
konkaf karena adanya hilus. Ada beberapa struktur yang masuk atau keluar dari
ginjal melalui hilus antara lain arteria dan vena renalis, saraf dan kelenjar getah
bening. Ginjal diliputi oleh suatu kapsula fibrosa tipis mengkilat, yang berikatan
longgar dengan jaringan dibawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari
permukaan ginjal. (Sylvia 2002)

Pada potongan longitudinal didapatkan korteks di bagian luar dan


medula dibagian dalam. Medula dibagi menjadi baji segitiga yang dosebut
pyramid. Pyramid-piramid tersebut diselingi korteks yang di sebut kolom Bertini.
Pyramid-piramid itu tersusun dari segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron.
Papilla (apeks) dari pyramid membentuk apa yang dinamakan duktus papilaris
Bellini yang terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak duktus. Setiap
duktus papilaris masuk kedalam suatu perluasan ujung pelvis ginjal yang
berbentuk cawan dan disebut kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu
membentuk kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu dan sehingga membentuk
pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoir utama sistem pengumpul ginjal.
Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan kandung kemih. (Sylvia 2002)

Arteria renalis merupakan cabang dari aorta Abdominalis kira-kira


setinggi vertebra lumbalis II. Karena aorta terletak disebelah kiri garis tengah,
maka arteria renalis kanan lebih panjang daripada yang kiri. Setiap arteri renalis
bercabang bercabang pada saat masuk ke dalam hilus ginjal. Vna renalis
menyalurkan darah kedalam vena kava inferior yang terletak disebelah kanan
garis tengah, sehingga vena renalis kiri dua kali lebih panjang dari vena renalis
kanan. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut berjalan menjadi

122 | P a g e
arteri interlobaris yang berjalan diantara pyramid, selanjutnya membentuk arteri
arcuata yang melengkung melintasi basis pyramid-piramid tersebut. Arteri arkuata
kemudian membentuk arteriol-arteriol interlobularis yang tersusun parallel dalam
korteks. Arteri interlobularis ini selanjutnya membentuk arteriol aferen. Arteriol
aferen berakir pada rumbai-rumbai kapiler yang disebut glomerulus. Glomeruli
bersatu membentuk arteriol aferen yang kemudian bercabang-cabang yang
membentuk sistemportal kapiler yang mengelilingi tubulus dan kadang disebut
sebagai kapiler peritubular, darah yang mengalir melalui sistem porta ini akan
dialirkan kedalam jaringan vena, kemudian menuju vena interlobularis, vena
arcuata, vena interlobaris, dan vena renalis dan menuju vena kava inferior. (Sylvia
2002)

Gambar: Anatomi dari ginjal normal

Patofisiologi

Cedera pada ginjal dapat merupakan hasil dari macam-macam


mekanisme. Di Amerika, kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab
tersering dari trauma tumpul abdomen yang dapat menyebabkan cedera pada
ginjal. Jatuh dari kertinggian, dan adanya serangan, termasuk trauma tusuk
merupakan penyebab yang lebih jarang. pada kasus yang lebih jarang, cedera

123 | P a g e
pada ginjal dapat terjadi karena adanya masa pada ginjal yang mengalami
perdarahan akibat kecelakaan kecil. (www.emedicine.medscape.com/ Trauma)

Menurut American Association for the Surgery of Trauma (AAST) cedera


pada ginjal dibagi dalam 5 grade, berdasarkan kedalaman cederanya dan
keikutsertaan pembuluh darah dan duktus colecticus.

Grade 1

 Hematuria dengan gambaran radiology normal


 Adanya kontusio
 Subcapsular hematom yang tidak meluas
Grade 2

 Hematom perinephric yang tidak menjalar terbatas pada retro-peritoneum


 Laserasi korteks superfisial yang kedalamannya kurang dari 1cm dan tidak
diikuti dengan cedera collecting system
Grade 3

 Laserasi ginjal yang kedalamanya lebih dari 1cm dan tidak diikuti dengan
cedera collecting system
Grade 4

 Laserasi ginjal yang meluas dari ginjal sampai ke collecting system


 Cedera termasuk arteri dan vena utama ginjal dengan adanya perdarahan
 Infark segmental tidak disertai dengan laserasi
 Perluasan subcapsular hematom yang menekan ginjal
Grade 5

 Ginjal dengan vaskuler yang hancur atau tidak ada vaskularisasinya


 Avulsi uretropelvik
 Laserasi lengkap atau thrombus pada artery atau vena utama.
Angka-angka ini telah dikembangkan dan diteliti melalui penelitian klinis
dan telah dikenal secara luas di Amerika. Pada institute penulis, sistem grade ini
telah menjadi alat untuk mengevaluasi dan merupakan bagian dari triage oleh

124 | P a g e
dokter bedah. Sistem ini juga telah diadopsi oleh team trauma di seluruh
dunia.(www.emedicine.medscape.com/ Trauma)

Gambaran secara skematis pembagian grade dari Ginjal

Gambar 1 Gambar 2

Gambar 1 : gambaran grade 1 trauma tumpul pada ginjal, yaitu dengan hematome
subkapsular

Gambar 2 : gambaran grade 2 trauma tumpul pada ginjal, yaitu dengan Laserasi
superficial ginjal (panah kecil) dengan pendarahan perirenal (panah besar)

125 | P a g e
Gambar 1 Gambar 2

Gambar 1 : gambaran grade 3 trauma tumpul pada ginjal, yaitu dengan laserasi lebih
dalam tanpa ada perluasan sampai ke sistem ginjal.

Gambar 2 : gambaran grade 4 trauma tumpul pada ginjal, yaitu dengan Cedera parenkim
ginjal, laserasi lebih dalam sampai melibatkan sistem dari ginjal.

Gambar 1 : Gambar 2

126 | P a g e
Gambar 1 : gambaran grade 4 trauma tumpul pada ginjal, yaitu dengan cedera pembuluh
darah, trombosis pada bagian segmental dari arteri ginjal dengan infark ginjal.

Gambar 2 : gambaran grade 4 trauma tumpul pada ginjal, yaitu dengan cedera parenkim
ginjal, laserasi yang multiple, sehingga ginjal terlihat hancur.

Gambar 1 Gambar 2

Gambar 1 : gambaran grade 5 trauma tumpul pada ginjal, yaitu dengan cedera vaskuler :
adanya traumatic occlusion pada arteri renalis utama karena intimal injury (panah padat)
dengan trombosis arteri distal (panah berongga)

Gambar 2 : gambaran grade 5 trauma tumpul pada ginjal, yaitu dengan cedera pembuluh
darah, dan arteri ginjal yang terputus (panah padat).

Diagnosis

Apapun tipe cederanya, investigasi untuk staging cedera ginjal diawali


dengan excretory urogram. Tes ini tidak hanya untuk mengidentifikasi adanya
patah tulang, udara bebas intra-peritoneal dan usus yang tidak pada tempatnya,
tetapu juga untuk mengidentifikasi keberadaan kedua ginjal, mendefinisikan

127 | P a g e
kontur ginjal kaliks dan ureternya.(www.emedicine.medscape.com/Trauma,
www.medstudents.com.br/cirur/cirur4.html)

Penggunaan USG masih merupakan kontroversi, beberapa ahli percaya


bahwa setiap pasien harus di skrining menggunakan USG karena itu dapat
menunjukkan ukuran dari hematom perirenal dan memonitor apakah ada
pelebaran atau tidak. Ahli lain percaya bahwa test ini tidak spesifik dan tidak
menghasiljan informasi yang cukup. (www.emedicine.medscape.com/Trauma,
www.medstudents.com.br/cirur/cirur4.html)

Jika excretory urogram tidak dapat menentukan tingkat cederanya,


maka pasien dapat dievaluasi dengan CT scan atau arteriografi. CT scan dapat
menghasilkan hasil yang lebih baik, CT scan dapat mengevalusi adanya
ekastravasasi yang tidak dapat dilihat menggunakan uretrogram. CT scan juga
dapat membedakan laserasi ginjal dan hematom intra-renal. Arteriografi
digunakan saat tidak ada CT scan yang dapat digunakan, atau bila CT scan bukan
tidak bisa digunakan untuk mengungkap asal perdarahan, menunjukkan oklusi
dari arteri utama ginjal beserta cabangnya, serta pada saat CT scan tidak dapat
digunakan untuk menilai laserasi.(www.emedicine.medscape.com/ Trauma,
www.medstudents.com.br/cirur/cirur4.html)

Gambar : Gambaran ginjal Normal menggunakan modalitas USG

128 | P a g e
Gambar : Trauma tumpul abdomen. Limpa dan ginjal
Normal dalam keadaan istirahat.

Gambar : 1 Gambar 2

Gambar 1 : Cairan bebas antara limpa dan ginjal dalam keadaan istirahat, akibat
trauma tumpul abdomen.

Gambar 2 : Trauma tumpul abdomen, tetapi pada Morison Pouch tidak


didapatkan cairan

129 | P a g e
Haematoma

Gambar : Hematoma pada ginjal dilihat dengan USG

Gambar : laki-laki 37 tahun, setelah terjatuh dari


ketinggian. Sonogram dengan potongan oblique
long-axis menunjukkan adnaya heterogenous
perirenal hematoma (tanda panah), tanpa
cedera parenkim ginjal.

Gambar 1 : Gambar 2 :

Gambar 1 : Truma tumpul abdomen. Ginjal kanan cedera dengan darah di ruang
perirenal. Cedera diakibatkan oleh tabrakan kendaraan bermotor berkecepatan tinggi.

Gambar 2 : Gambaran CT scan abdomen dengan potongan transversal, menunjukkan


cedera aspek anterior dari ginjal (panah). Hematom perinefrik (mata panah)

130 | P a g e
Gambar :CT-Scan kontras enhanced (a) rekonstruksi 3 dimensi menunjukkan fraktur
parenkim dari ginjal kiri sampai panggul disertai dengan hematom perirenal. (b)
menunjukkan ekstravasasi urine yang minimal (panah) dan ureter yang yang terpecah
menjadi dua (panah melengkung).

Gambar : Trauma ginjal, Grade 1


Gambaran CT-Scan dengan kontras
didapatkan gambaran abdomen yang
diperbesar, pada pasien dengan
hematuria setelah terjadi tabrakan
kendaraan bermotor, menunjukkan
gambaran hypoenhancement yang
tidak jelas pada ginjal kanan bagian
medial.

131 | P a g e
Gambar : kedua gambar diatas menunjukkan gambaran trauma tumpul pada
ginjal, Grade 1 dengan cedera ginjal, dan hematoma subcapsular. CT-scan
abdomen dengan kontras intravena menunjukkan kumpulan cairan seperti bulan
sabit dengan high-density di sekitar ginjal kiri. Perhatikan margin luar yang
digambarkan dengan baik.

Gambar 1 : Gambar 2 :

Gambar 1 : Trauma tumpul pada ginjal Grade 3, berupa Laserasi/ robekan pada pada
ginjal. CT-Scan kontras nonenhancing menunjukkan kerusakan yang tidak teratur pada
parenkim ginjal sebesar 1 cm dekat dengan pelvis ginjal.

Gambar 2 : Trauma tumpul pada ginjal Grade 4, menunjukkan adanya cedera ginjal, pada
anak umur 8 tahun posttrauma menunjukkan infark pada kedua ginjal terlihat gambaran
avaskular yang luas, sehingga merusak ginjal bagian bawah.

132 | P a g e
Gambar : Trauma tumpul pada ginjal. Grade 2 cedera ginjal, hematoma
subcapsular dan perinephric. CT-scan abdomen dengan kontras pada pasien
dengan hematuria setelah tabrakan kendaraan bermotor menunjukkan kumpulan
cairan yang tidak jelas dalam ruang perinephric kiri. Ada juga hematoma
subcapsular dengan kelainan dari parenkin ginjal.

Gambar : Kedua gambar diatas adalah gambar trauma tumpul pada ginjal
Grade2 dengan laserasi ginjal. CT-scan abdomen dengan kontras pada pasien
setelah tabrakan kendaraan bermotor menunjukkan cacat (dengan kedalaman
kurang dari 1 cm) superfisial pada parenkim ginjal dengan hematoma
perinephric yang luas.

Gambar 1 : Gambar 2 :

133 | P a g e
Gambar 1: trauma tumpul pada ginjal. Grade 3 laserasi ginjal. CT-scan pada perut setelah
pemberian kontras intravena menunjukkan cacat parenkim ginjal nonenhancing yang tidak
teratur dengan ekstensi yang lebih dari 1 cm dalamnya untuk mendekati pelvis ginjal.

Gambar 2: Trauma ginjal. Grade 3 laserasi ginjal. CT-scan pada perut setelah pembnerian
kontras intravena menunjukkan cacat parenkim ginjal nonenhancing yang tidak teratur
dengan ekstensi yang lebih dari 1 cm dalamnya untuk mendekati pelvis ginjal. Delayed
image ini tidak menunjukkan adanya kemih ekstravasasi.

Gambar : Kedua gambar diatas menunjukkan adanya trauma tumpul pada ginjal. Grade
4 cedera ginjal infark segmental. CT-scan dengan kotras pada perut bagian atas
menunjukkan area segmental non-enhancement di ginjal kiri atas bagian medial tanpa
laserasi ginjal terkait. Pada dua pasien yang berbeda

134 | P a g e
Gambar : Trauma tumpul pada ginjal. Grade 4-5 cedera ginjal. Laserasi meluas ke
sistem pengumpulan. CT-scan dengan kontras pada perut pasien dengan hematuria
setelah tabrakan kendaraan bermotor menunjukkan luka dalam yang meluas ke
dalam sistem pengumpulan dari ginjal kanan. Ekstensi ke dalam sistem
pengumpulan ditegaskan oleh ekstravasasi kontras urine pada delayed image
melalui ginjal dalam tahap ekskretoris.

Gambar : Trauma tumpul pada ginjal. Grade 5 cedera ginjal. Ginjal hancur. CT-scan
dengan kontras di perut pada pasien dengan hematuria dan hipotensi setelah
tabrakan kendaraan bermotor menunjukkan lintang dari ginjal kanan dengan
hematoma besar di sekeliling dan diantara 2 bagian dari ginjal. Kedua bagiannya
terperfusi karena adanya 2 arteri renalis. Delayed image menunjukkan ekstravasasi
kontras kemih.

Penggunaan Kateter Angiography selama


fase nephographic menunjukkan
pseudoaneurysme pada ujung dari ginjal.

135 | P a g e
2.2.1.6 TRAUMA TUMPUL PADA PANCREAS
tumpul pada pancreas relatif tidak umum, muncul pada 3-13% trauma
tumpul. Cedera seperti ini terutama terjadi karena kompresi pada badan dan
leher daripada pancreas ke columna vertebralis yang terjadi akibat benturan
dengan setir atau sabuk pengaman pada orang dewasa dan kemudi sepeda pada
anak-anak. Mekanisme cedera ini menyebabkan cedera berkaitan dengan
duodenum, limpa,ginjal dan tulang belakang pada lebih dari 90% kasus. Adalah
cedera-cedera terkait inilah yang bertanggung jawab atas meningkatnya tingkat
mortalitas 10-25% di cedera kombinasi, dibandingkan dengan 3-10% cedera
terisolasi.(David Feliciano 2008)

Parameter biokimia dan klinis bisa jadi non-spesifik, dengan nyeri


epigastrium dan leucocytosis ringan. Ukuran serum amilase meningkat pada 60%
kasus, walaupun perubahan ini bisa terjadi terlambat, dan tingkat serum amilase
tidak terkait dengan tingkat cedera. Ditambah lagi, pada trauma tumpul abdomen
hanya 10% pasiendengan peningkatan serum amilase mengalami cedera
pancreatic, namun, kadar amilase yang normal secara persisten memiliki nilai
prediksi negatif 95% untuk cedera pankreas. (David Feliciano 2008)

136 | P a g e
Gambar Anatomi Pankreas

TEMUAN-TEMUAN PENCITRAAN CT

CT adalah metode yang paling akurat untuk mendeteksi cedera


pankreas, akan tetapi walupun menggunakanm teknik CT yang paling optimalpun
cedera pankreas bisa terlewatkan pada awal pemeriksaan. Kurang lebih 40% dari
cedera pankreas tidak terlihat pada saat CT yang dilakukan 12 jam setelah trauma.
Cedera bisa jadi sangat halus, dan sering kali usus yang buram atau artefak
menyebabkan intepretasi positif-palsu. Penatalaksanaan ultrasound pada
pankreas sering terhambat dikarenakan adanya udara di abdomen atau usus kecil
disamping aerofagi yang disebabkan oleh nyeri. Bahkan saat pencitraan tidak
terhambat, pada retroperitoneum sangat susah dilaksanakan. Namun cedera pada
pankreas seringkali tidak terdeteksi, kecuali terkaitkan dengan cedera-cedera
lainnya atau disrupsi saluran pankreas, bisa jadi langsung terlihat. Seringkali
cedera-cedera ini secara tidak sengaja teridentifikasi pada saat laparotomi untuk
cedera yang lain. (David Feliciano 2008)

Dengan laserasi atau kontusi pada organ-organ solid lainnya pada CT


dengan kontras, ini biasanya terlihat seperti daerah yang teratenuasi lebih rendah
di bagian belakang dari pankreas. Cedera yang lebih parah biasanya muncul di
bagian leher atau bagian proksimal di dekat anterior daripada vertebral body dan

137 | P a g e
termasuk transeksi dan disrupsi. Sayangnya cedera direk pada pankreas tidak
mudah terlihat dan tanda-tanda sekunder harus digunakan untuk menemukan
cedera pankreas. Ini termasuk di dalamnya adanya odema terlokalisir, hematoma
retroperitoneal, atau infiltrasi lemak, cairan di lesser sac, atau penebalan fascia
pada anterior pararenal. Melacak adanya cairan diantara splenic vein dan badan
daripada pankreas bisa dianggap sebagai tanda-tanda spesifik adanya cedera
pankreas. (David Feliciano 2008)

CT Grading (Trauma Tumpul Pankreas) (David Feliciano 2008)

 Grade I : Kontusi atau laserasi ringan tanpa cedera saluran


 Grade II : Kontusi atau laserasi berat tanpa cedera saluran atau
hilangnya jaringan
 Grade III : Transeksi distal atau cedera parenkimal dengan cedera saluran
 Grade IV : Transeksi proksimal (kanan dari vena mesenterika) atau cedera
parenkimal yang melibatkan ampulla

Staging dan Manajemen

Cedera pada pankreas bisa dikelaskan menurut klasifikasi OIS (Organ


Injury Scale) yang mana menyarankan bahwa grade I dan grade II cederanya bisa
dimanajemeni secara konservatif. Walaupun trauma saluran pancreas tidak bisa
divisualisasikan di CT, semakin dalam laserasinya semakin mungkin didapatkan
disrupsi saluran; 80% laserasi berat ( tebal >50%) berhubungan dengan cedera
ductal, dimana laserasi superfisial (tebal <50%) sangat jarang dihubungkan dengan
kerusakan ductus. Terdapatnya disrupsi saluran pankreas (grade III-V)
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dikarenakan
perkembangan pseudocyst pankreatik, fistula dan abses. Karena itu pendekatan
secara bedah perlu dilakukan dan dengan percobaan laserasi yang semakin dalam
harus dilaksanakan untuk mengecualikan cedera duktus dengan endoskopi

138 | P a g e
retrograde atau pankreatografi pre-operatif. MRCP bisa menawarkan peran
potensial di masa depan pada pasien yang stabil, walaupun pengalaman masih
sangat terbatas. Pada cedera pancreas yang parah harus diperhatikan juga
mengenai integritas limpa, mesenterika dan vena porta. (David Feliciano 2008)

Delayed Imaging

Setelah penundaan pertama pada diagnosa cedera pankreas.bisa


menjadi terlihat nyata dikarenakan perkembangan dari odema yang terlokalisir
dan autodigestion karena kebocoran enzym pankreas. Kewaspadaan diperlukan
jika didapatkan nyeri epigastrik yang persisten dan peningkatan enzim amilase,
dan scan ulang bisa jadi membuahkan hasil dalam 24 jam pertama. Pelepasan
enzim pankreas bias memicu pancreatitis post-trauma dengan formasi sequelae
dari pseudocyst atau komplikasi vaskular. (David Feliciano 2008)

Karena cedera pankreas sangat susah dideteksi pada fase akut, bahkan
dengan teknik yang optimal sekalipun, diagnosanya berdasarkan tanda-tanda
sekunder dan akan memerlukan pencitraan ulang suplementer. Identifikasi dari
curiga adanya disrupsi ductus dan cedera terkait adalah yang terpenting, dimana
ini meningkatkan morbiditas dan mortalitas dari cedera-cedera secara signifikan.
(David Feliciano 2008)

139 | P a g e
Gambar : Gambaran pankreas normal dengan menggunakan USG

Gambar :Aksial kontras yang telah


ditingkatkan pada gambar CT menunjukkan
cairan hypoattenuasi antara vena lienalis
dan batas posterior dari pankreas (panah
biru).

Gambar 1

Gambar 1 Gambar 2

Gambar 1 :Aksial kontras gambar CT ditingkatkan dengan cairan bebas sekitar hati
(bintang biru) dan cairan peripancreatic.

140 | P a g e
Gambar 2 :Aksial kontras yang ditingkatkan pada CT scan menunjukkan transeksi
kepala pankreas dan tubuhnya dengan ekstravasasi aktif cairan kontras (kepala
panah).

Haematoma
Laceration

Gambar 1 Gambar 2

Gambar 1: Gambaran Laserasi dan Hematom pada pankreas.

Gambar 2 : Axial contrast enhanced CT images with free fluid surrounding the hati (blue
star) and peripancreatic fluid.

Gambar 1 Gambar 2

141 | P a g e
Gambar 1 : Companion pasien 2: kontras Axial yang ditingkatkan pada CT scan dengan
koleksi cairan terlokalisir (*) merupakan sebuah pseudokista.

Gambar 2 : Companion pasien 3: kontras Axial yang ditingkatkan pada CT scan


menunjukkan dalam 6 hari pasien setelah trauma terdapat perluasan koleksi cairan di
dalam pankreas.

142 | P a g e
Gambar : Companion pasien 4: gambar
dengan kontras axial yang ditingkatkan
menunjukkan garis linier hypoattenuasi
melalui <50% dari pankreas. Perhatikan
kedalaman laserasi <50% sesuai dengan
kemungkinan penurunan keterlibatan
saluran utama pankreas.

Gambar : kontras Axial yang ditingkatkan


pada CT scan menunjukkan adanya laserasi
superfisial melalui ekor pankreas.
Laparotomi mengkonfirmasi saluran
pankreas tetap utuh.

Gambar : Aksial kontras yang pada CT scan


menunjukkan fraktur ekor pankreas.
Keterlibatan ductal harus dikonfirmasikan
dengan MRCP atau operasi.

Gambar : Axial contrast enhanced CT image


menunjukkan transeksi melewati leher
pankreas.

143 | P a g e
Gambar : Aksial-enhanced CT scan
menunjukkan kumpulan cairan signifikan
peripancreatic dan intra-abdominal.
Cairan Peripancreatic adalah temuan
pencitraan yangat sangat sensitif tapi
tidak spesifik pada trauma pankreas.
Cairan ini umumnya ditemukan antara
vena lienalis dan perbatasan inferior dari
pancrea tersebut.

Gambar Axial CT dengan kontras


ditingkatkan menunjukkan hematoma sekitar pankreas. Pankreas hematoma hadir
sebagai daerah redaman heterogen dalam atau sekitar parenkim tersebut. Secara
aktif hematoma perdarahan tidak akan didapatkan pada pencitraan fase tertunda.

144 | P a g e
Gambar 1 Gambar 2

Gambar 1 : Axial portal venous phase image menunjukkan area multipel dengan
ektravasasi kontras.

Gambar 2 Delayed phase image menunjukkan sustained hyperattenuation yang


mengindikasikan hemoragi aktif.

Companion pasien 13: Axial contrast


enhanced CT image dengan focal area
hypoattenuas relatif dalam leher pada
parenkim yang normal mengindikasikan
memar pada pankreas.

2.2.2. TRAUMA TUMPUL ABDOMEN PADA ORGAN BERONGGA


2.2.2.1. TRAUMA TUMPUL PADA GASTER DAN SMALL INTESTINE
Epidemiologi

Trauma yang terjadi pada organ gaster dan usus halus lebih sering
terjadi karena trauma tajam daripada trauma tumpul. Lebih dari 80% insiden
trauma gastrointestinal terjadi karena tembakan. Walaupun trauma tumpul lebih

145 | P a g e
jarang terjadi daripada trauma tumpul, tetapi dalam penelitian didapatkan bahwa
trauma tumpul yang terjadi pada gaster dan usus halus insidennya menempati
urutan ketiga. (David Feliciano 2008)

Anatomi gaster

Secara umum gaster terletak pada kuadran kiri atas dari rongga
abdomen. Letak gaster sangat bervariasi, dan pada seseorang yang sedang berdiri
gaster dapat mencapai rongga abdomen bagian bawah terutama bila terisi
dengan makanan atau minuman. (David Feliciano 2008)

Secara anatomis gaster terbagi atas fundus, korpus dan antrum


pilorikum atau pilorus. Sebelah kanan atas gaster terdapat cekungan kurvatura
minor, dan bagian kiri bawah gaster terdapat kurvatura mayor. Sfingter pada
kedua ujung gaster mengatur pengeluaran dan pemasukan. Sfingter cardia atau
sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan masuk kedalam gaster dan
mencegah refluks isi gaster memasuki esophagus kembali. Daerah gaster tempat
pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah kardia. Disaat sfingter
pilorikum berelaksasi makanan masuk kedalam duodenum, dan ketika sfingter
berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran balik isi usus halus
kedalam gaster. (Sylvia 2002)

Gaster terdiri dari empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar
merupakan bagian dari peritoneum viseralis. Dua lapisan peritoneum viseralis
menyatu pada kurvatura minor gaster dan duodenum dan terus memanjang ke
arah hati, membentuk omentum minus. Lipatan peritoneum yang keluar dari satu
organ menuju ke organ lain disebut sebagai ligamentum. (buku Sylvia) Gaster
difiksasi pada kurvatura minor oleh ligament hepatogastriku, bagian atas gaster
oleh ligament gastrofrenikus, dan bagian bawah difiksasi oleh retro-peritoneal dari
duodenum. kurvatura mayor dari gaster terikat secara longgar di colon
transversum oleh omentum mayor, dan menempel pada limpa oleh ligament
gastrosplenikum. (David Feliciano 2008)

Tidak seperti daerah saluran cerna yang lain, bagian muskularis gaster
terdiri dari tiga lapis dan bukan dua lapis otot polos: lapisan longitudinal di bagian

146 | P a g e
luar, lapisan sirkuler di bagian tengah, dan lapisan oblik dibagian dalam. Susunan
serat otot ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang
diperlukan untuk memecah makann menjadi partikel-partikel yang kecil,
mengaduk dan mencampur makanan tersebut dengan cairan gaster, dan
mendorongnya kearah duodenum. (Sylvia 2002)

Submukosa terdiri dari jaringan areolar jarang yang menghubungkan


lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa
bergerak bersama gerakan peristaltic. Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf,
pembuluh darah dan saluran limfe. (Sylvia 2002)

Mukosa, lapisan dalam gaster, tersusun dari lipatan-lipatan longitudinal


yang disebut rugae. Dengan adanya lipatan-lipatan ini gaster dapat berdistensi
sewaktu diisi makanan. Ada beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan
dikategorikan menurut bagian anatomi gaster yang ditempatinya. Kelenjar kardia
berada dekat orifisium kardia. Kelenjar ini mensekresikan mucus. Kelenjar fundus
atau gastrik terletak di fundus dan pada hampir seluruh korpus gaster. Kelenjar
gastrik memiliki tiga tipe utama sel. Sel-sel zimogenik atau chief cells
mensekresikan pepsinogen. (Sylvia 2002)

Persarafan gaster sepenuhnya adalah saraf otonom. Suplai saraf


parasimpatis untuk gaster dihantarkan melalui saraf vagus. Trunkus vagus
mencabangkan ramus gastric, pilorik, hepatik dan seliaka. Persarafan simpatis
melalui saraf splangnikus major dan ganglia seliakum. Serabut-serabut aferen
menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, kontraksi otot dan
perandagan, dan dirasakan di daerah epigastrium. Serabut-serabut simpatis
menghambat pergerakan dan sekresi gaster. Pleksus saraf mesenterikus
(Auerbach) dan submukosa (Meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding
gaster dan mengkoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa gaster. (Sylvia
2002)

Suplai darah gaster terutama berasal dari arteri seliaka atau trunkus
seliakus, yang mempercabangkan cabang-cabang yang mensuplai kurvatura minor
dan mayor. Dua arteri yang mempunyai arti klinis penting adalah arteri

147 | P a g e
gastroduodenalis dan arteri pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang
berjalan sepanjang bulbus posterior duodenum. (David Feliciano 2008, Sylvia
2002)

Gambar : Anatomi gaster

Anatomi Usus halus

Usus halus merupakan tabung kompleks yang berlipat-lipat yang


membentang dari pilorus sampai pada iliosaekal. Pada orang hidup, panjang usus
halus sekitar duabelas kaki ( duapuluh dua kaki pada cadaver akibat relaksasi).
Usus ini mengisi bagian tengah dan bawah rongga abdomen. Ujung proksimalnya
bergaris tenga sekitar 3,8 centimeter. Tetapi semakin kebawah, garis tengahnya
semakin berkurang menjadi sekitar 2,5 centimeter. (Sylvia 2002)

Usus halus dibagi menjadi duodenum, jejunum, dan ileum. Pembagian


ini agak tidak tepat dan didasarkan karena adanya sedikit perubahan struktur, dan
relative penting didasarkan pada perbedaan fungsi. Duodenum mempunyai
panjang sekitar 25 centimeter, mulai dari pylorus sampai dengan jejunum.
Pemisahan duodenum dan jejunum ditandai dengan ligamentum treitz, suatu pita
muskulofibrosa yang berorigo pada krus dekstra diafragma dekat hiatus
esophagus dan berinserio pada perbatasan duodenum dan jejunum. Ligamentum
ini berperan sebagai ligamentum suspensorium (penggantung). Kira-kira
duaperlima dari sisa usus halus adalah jejunum, dan tiga perlima bagian
terminalnya adalah ileum. Jejunum terletak di region Abdominalis media sebelah
kiri, sedangkan ileum cenderung terletak di regio Abdominalis bawah kanan.

148 | P a g e
Masuknya kimus ke dalam usus halus diatur oleh sfingter pilorius, sedangkan
pengeluaran zat yang telah dicemarkan kedalam usus besar diatur oleh katup
ileosaekal. Katup ileosaekal juga mencegah refluks isi usus besar kedalam usus
halus. (Sylvia 2002)

Apendiks vermivormis merupakan tabung buntu berukuran sekitar jari


kelingking yang terletak pada daerah ileosaekal, yaitu pada apeks sekum. Ruptur
struktur ini merupakan penyebab penting kematian pada orang muda. (Sylvia
2002)

Dinding usus halus terdiri dari empat lapisan dasar. Yang paling luar,
atau lapisan serosa, dibentuk oleh peritoneum. Peritoneum mempunyai lapisan
visceral dan parietal, dan ruang yang terletak diantara lapisan-lapisan ini
dinamakan rongga peritoneum. (Sylvia 2002)

Mesenterium merupakan lipatan peritoneum yang lebar, menyerupai


kipas yang menggantung jejunum dan ileum dari dinding posterior abdomen, dan
memungkinkan usus bergerak dengan leluasa. Mesenterium menyokong
pembuluh darah dan limfe yang mensuplay usus. Omentum mayus merupakan
lapisan ganda peritoneum yang menggantung dari kurvatura mayor lambung dan
berjalan turun didepan visera abdomen seperti celemek. Omentum biasanya
mengandung banyak lemak dan kelenjar limfe yang membantu melindungi
rongga peritoneum terhadap infeksi. Omentum minus merupakan lipatan
peritoneum yang terbentang dari kurvatura minor lambung dan bagian atas
duodenum, menuju ke hati, membentuk ligamentum hepatogastrikum dan
ligamentum hepatoduodenale. Salah satu fungsi penting peritoneum adalah
mencegah pergesekan antara organ-organ yang berdekatan dengan mensekresi
cairan serosa yang berperan sebagai pelumas. (Sylvia 2002)

Otot yang meliputi usus halus mempunyai dua lapisan : lapisan luar
terdiri atas serabut-serabut longitudinal yang lebih tipis, dan lapisan dalam
berupa serabut-serabut sirkuler. Penataan demikian membantu gerakan
peristaltic usus halus. Lapisan submukosa terdiri atas jaringan penyambung,

149 | P a g e
sedangkan lapisan mukosa bagian dalam tebal, banyak mengandung pembuluh
darah dan kelenjar. (Sylvia 2002)

Usus halus ditandai oleh adanya tiga struktur yang sangat menambah
luas permukaan dan membantu fungsi absorbsi yang merupakan fungsi utamanya.
Lapisan mukosa dan submukosa membentuk lipatan-lipatan sirkuler yang
dinamakan valvula koniventes (lipatan kerckringi) yang menonjol kedalam lumen
sekitar 3 sampai 10 milimeter. Lipatan-lipatan ini nyata pada duodenum dan
menghilang dekat pertengahan ileum. Adanya lipatan-lipatan ini menyebabkan
gambaran usus halus yang menyerupai bulu pada radiogram. Vili merupakan
tonjolan seperti jari-jari dari mukosa yang berjumlah sekitar empat atau lima juta
dan terdapat disepanjang usus halus. Vili panjangnya 0,5 sampai 1,5 milimeter
dan menyebabkan gambaran mukosa menyerupai beludru. Mikrovili merupakan
tonjolan menyerupai jari-jari dengan panjang sekitar 1 mikro pada permukaan luar
setiap vilus. Mikrovili terlihat dengan mikroskop elektron dan tampak sebagai
brush border pada mikroskop cahaya. Bila lapisan permukaan usus halus ini rata,
maka luas permukaannya hanya sekitar 2000 cm2. valvula konivetas, vili dan
mikrovili bersama-sama menambah luas permukaan absorbsi sampai 2 juta cm2,
yaitu meningkat seribu kali lipat. (Sylvia 2002)

Suplai arteri berasal dari arteri mesenterika superior yang dicabangkan


oleh aorta tepat dibawah arteri seliaka. Arteria ini mendaraqhi seluruh usus halus
kecuali duodenum yang di suplai oleh arteria gastroduodenalis dan cabangnya
arteri pankreatikoduodenalis superior. Darah dikembalikan lewat vena
mesenterika superior yang bersatu dengan vena lienalis membentuk vena porta.
(Sylvia 2002)

Usus halus dipersarafi oleh cabang-cabang kedua sistem saraf otonom.


Rangsangan parasimpatis merangsang aktivitas sekresi dan pergerakan,
sedangkan rangsangan simpatis menghambat pergerakan usus. Serabut-serabut
sensorik sistem simpatis menghantarkan nyeri, sedangkan serabut-serabut
paramsimpatis mengatur refleks usus. Suplai saraf intrinsik, yang menimbulkan
fungsi motorik, berjalan melalui pleksus Auerbach yang terletak dalam lapisan
muskularis, dan pleksus Meissner di lapisan submukosa. (Sylvia 2002)

150 | P a g e
Gambar Anatomi usus halus

Patofisiologi (Mekanisme trauma)

Pada trauma tumpul abdomen sering didapatkan contusio, memar pada


otot, perforasi berat, mesenteric avulsion dari gaster dan usus halus. Ruptur
gaster akibat trauma tumpul sangat jarang terjadi. Menurut Association for the
Surgery of Trauma (EAST), insiden terjadinya trauma gaster sekitar 4,3% dari
2632 insiden pasien dengan trauma pada organ berongga. Trauma gaster
berhubungan erat dengan kecelakaan motor yang menggunakan kecepatan
tinggi. Pada orang dewasa kebayanyakan perforasi gaster terjadi pada kurvatura
minor. (David Feliciano 2008)

Perforasi usus halus yang terjadi karena trauma tumpul abdomen jarang
terjadi, tetapi insidenya terus meningkat. Trauma lokal pada abdomen yang
dulunya terjadi akibat tendangan kuda sekarang telah tergantikan oleh kecelakaan
motor, dan mempunyai mekanisme penting dari trauma. mekanisme dasar
trauma pada usus termasuk(David Feliciano 2008) :

2.2.2 Tertabraknya usus terhadap vertebra


2.2.3 Perubahan usus yang tiba-tiba dari tempatnya akibat perlambatan mendadak.
2.2.4 Perforasi akibat meningkatnya tekanan intralumen

151 | P a g e
Perforasi gaster yang diakibatkan karena tauma tumpul biasanya besar
dan kontaminasi intra-peritoneal biasanya signifikan. Tanda-tanda peritoneal
biasanya jelas mengarah menuju tindakan pembedahan. Trauma yang terkait
biasanya sangat berat karena adanya ledakan pada gaster. Ruptur pada gaster
menyebabkan angka kematian yang lebih besar daripada trauma pada organ
berongga lainnya. (David Feliciano 2008)

Cedera pada usus kecil akibat trauma tumpul yang juga jarang terjadi,
frekuensinya meningkat akibat adanya kecelakaan-kecelakaan kendaraan
bermotor dengan kecepatan tinggi. (David Feliciano 2008)

Diagnosis

Diagnosis dapat dibantu dengan didapatnya cerita bagaimana trauma


abdomen itu terjadi. Focused assessment by Sonography for Trauma FAST secara
umum telah digunakan untuk mengevaluasi kecurigaan adanya trauma tumpul
gaster dan usus halus. Tes ini tidak sesensitif DPL atau CT dalam mendeteksi
trauma tumpul pada lambung dan usus halus. Hal ini dikarenakan karena
ketidakstabilan FAST untuk mengevaluasi cairan bebas yang dikarenakan oleh
perforasi akibat trauma tumpul. (David Feliciano 2008)

CT scan merupakan modalitas diagnostic yang paling umum digunakan


untuk mengevaluasi trauma tumpul dengan perdarahan dalam kondisi yang stabil.
Penemuan hal-hal yang mencurigakan pada trauma tumpul pada usus dengan
menggunakan CT scan termasuk ditemukannya cairan intra-peritoneal yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya, pneumoperitoneum, penebalan dinding usus, goresan
pada lemak usus, mesenterik hematome, ekstravasasi kontras dari luminal atau
pembuluh darah. (David Feliciano 2008)

Gambaran-gambaran radiologis trauma tumpul pada gaster dan usus halus.

CT scan diperoleh dengan bahan kontras


intravena tetapi tidak oral pada laki-laki

152 | P a g e
56 tahun yang tertabrak oleh bis. (a) gambar melintang di tingkat midAbdominal
menunjukkan peningkatan dinding usus menyebar di usus kecil dan usus besar dengan
cairan bebas intra-peritoneal (panah).

Gambar 1 Gambar 2

Gambar 1 : Gas di mesenterium usus kecil (arrowed) sobekan di


flexura duodenojejunalis.

Gambar 2 : CT scan diperoleh dengan bahan kontras intravena tetapi oral pada laki-laki 56
tahunyang tertabrak bis. Gambar melintang di tingkat panggul menunjukkan penebalan
dan peningkatan dari dinding kolon sigmoid (panah). Temuan CT diinterpretasikan sebagai
tanda sekunder untuk hipovolemia (usus shock). Temuan di laparotomi termasuk cedera
serosal besar kolon sigmoid, yang diperlukan reseksi, dan rupturnya kandung kemih.

CT scan diperoleh dengan kontras intravena tetapi


tidak oral pada wanita 27 tahun dengan perforasi
ileum setelah kecelakaan kendaraan bermotor
berkecepatan tinggi. Gambar melintang
menunjukkan hematoma mesenterika focal
(panah) dan pneumoperitoneum (panah).

153 | P a g e
Awal dan tindak lanjut CT scan pada pria 44
tahun dengan perforasi ileum setelah
kecelakaan kendaraan bermotor dengan
kecepetan tinggi. (a) CT gambar Transverse
yang diperoleh pada evaluasi awal, dengan
bahan kontras intravena tetapi tidak oral,
menunjukkan penebalan dinding usus dan
peningkatan (panah) dan hematoma
mesenterika fokal (panah) dalam loop dari ileum.

Gambar Awal dan tindak lanjut CT scan


pada pria 44 tahun dengan perforasi ileum
setelah kecelakaan kendaraan bermotor
kecepatan tinggi. (a) CT gambar Transverse
yang diperoleh pada evaluasi awal, dengan
bahan kontras intravena tetapi tidak oral,
menunjukkan penebalan dinding usus dan
peningkatan (panah) dan hematoma
mesenterika fokal (panah) dalam loop dari
ileum. (b, c) gambar CT lanjutan yang
dilakukan 12 jam kemudian, setelah
pemberian bahan kontras oral. (b) Image
diperoleh dengan jendela jaringan lunak
membantu untuk mengkonfirmasi penebalan dinding usus (panah) dan hematoma
mesenterika (mata panah). (c) Image diperoleh dengan jendela paru-paru menunjukkan
udara bebas (panah).

Gambar Awal dan tindak lanjut CT scan


pada pria 44 tahun dengan perforasi ileum
setelah kecelakaan kendaraan bermotor
kecepatan tinggi. (a) CT gambar Transverse
yang diperoleh pada evaluasi awal, dengan
bahan kontras intravena tetapi tidak oral,
menunjukkan penebalan dinding usus dan
peningkatan (panah) dan hematoma
mesenterika fokal (panah) dalam loop dari
ileum. (b, c) gambar CT lanjutan yang
dilakukan 12 jam kemudian, setelah

154 | P a g e
pemberian bahan kontras oral. (b) Image diperoleh dengan jendela jaringan lunak
membantu untuk mengkonfirmasi penebalan dinding usus (panah) dan hematoma
mesenterika (mata panah). (c) Image diperoleh dengan jendela paru-paru menunjukkan
udara bebas (panah).

Gambar : 1. Kontras ditingkatkan pada CT


scan menunnjukkan abdomen/panggul
pada bidang aksial menunjukkan usus
menebal (panah) dan kebuntuan
mesenterika (mata panah). Kontras
berkembang distal.

Gambar : 2. Single anteroposterior


Abdominal radiography menunjukkan
dilatasi usus kecil.

155 | P a g e
Gambar : 3. Koronal diformat ulang, gambar CT
dengan kontras ditingkatkan dari abdomen /
panggul mengungkapkan penebalan usus kecil
(panah), indurasi dan penyumbatan vaskular
(panah)
terlihat di sepanjang mesenterium yang
berdekatan dengan lemak terdampar, dan usus
melebar.

Gambar A : Perforasi dudodenum. A : penebalan abnormal dari dinding duodenum


(panah). Extravasasi kontras terlihat pada perihepatik space, menghasilkan fluid-fluid level.

B : Perforasi Gastrografin kontras menmperlihatkan kebocoran kontras dan terlihat pada


level duodenum

156 | P a g e
2.2.2.2. TRAUMA TUMPUL PADA COLON DAN RECTUM
A. Patofisiologi
- Colon
Pada trauma tumpul colon dapat tercederai dengan 3 cara(David Feliciano
2008):
- a.) terjadinya closed-loop dengan peningkatan akut pada tekanan
intraluminal dan blowout
- b.) adanya force yang bergerak mengakibatkan terobeknya bagian
transisi dari segmen yang immobile kebagian yang mobile (ex.
Splenic flexure, rectosigmoid junction), avulsi mesocolic biasanya
juga ada.
- c.) avulsi mesocolic murni yang mana walaupun tidak terkait
dengan perforasi colonic yang segera, bisa menimbulkan
davaskularisasi, nekrosis pada dinding dan perforasi lambat.
- Rektum (David Feliciano 2008)
B. Anatomi Colon dan Rektum

Gambar : anatomi colon

C. Diagnosis

Computed Tomography

- CT telah merevolusi cara praktek kedokteran. CT scan sekarang


telah digunakan untuk pasien dengan curiga trauma abdomen.
Temuan seperti udara extraluminal, extravasi rectal contrast,

157 | P a g e
penebalan dinding colon. Dan rangkaian mesocolic merupakan ciri
dari cedera colon. (David Feliciano 2008)
- Triple contrast CT (oral, intravenous, rectal) telah dilakukan oleh
banyak pihak sebagai metode sensitiv untuk mendeteksi cedera
intestinal, khususnya setelah cedera penetrasi. Pemberian Triple
contrast sebagai pedoman rutin dianggap tidak perlu dan
berbahaya. Telah ditemukan di banyak kasus, bahwa pemberian
kontras oral memperlambat waktu untuk CT scan tidak
meningkatkan sensitifitas mendeteksi cedera viseral yang
berongga. Kontras rectal juga sama, tidak menunjukkan kegunaan.
Sangat sulit dibayangkan bahwa udara tidak akan bocor sebelum
materi kontrasnya pada perforasi colon. Tetapi pada kasus-kasus
tertentu, kontras rektal bisa berguna dan bisa dipertimbangkan.
(David Feliciano 2008)
- Single contrast CT (hanya intravena) mengalami peningkatan
dalam penggunaannya. Sensitifitas dan spesifisitas nya lebih dari
90% dan 96%. Telah dipertentangkan bahwa hasil CT yang negatif
memungkinkan pasien untuk diperbolehkan keluar dari ruang
kegawat daruratan. Akan tetapi ketergantungan dari CT daripada
pemeriksaan klinis menjadi masalah. Positif palsu pada temuan di
CT bisa menimbulkan laparotomi nonterapeutik. Pemeriksaan
klinis harus menjadi cara utama untuk mendiagnosa dan CT scan
bisa menjadi alat bantu dan bukan metode primer untuk evaluasi.
(David Feliciano 2008)

Pemeriksaaan radiologist(David Feliciano 2008)

1. BOF dan Foto dengan contrast pada trauma saluran cerna


2. CT-Scan pada trauma pancreas, lien, ginjal, hepar
3. IVP pada trauma ginjal
4. Focused Abdominal Sonography for Trauma FAST
Di gunakan untuk mendeteksi perdarahan intra-abdominal pada
cedera mulitipel atau pada kehamilan

2.2.2.3. TRAUMA TUMPUL PADA ABDOMINAL VASCULAR INJURY

158 | P a g e
Epidemiologi

Insiden dan kematian pada trauma vascular injuri tergantung dari setiap
variasi pasien yang mendapatkan mekanisme trauma tersebut. Pada kasus trauma
tumpul abdomen kejadian pada pembuluh darah hanya berkisar kira-kira 5%
sampai dengan 10 %. Namun cedera ini sangat mematikan dan bisa menyebabkan
resiko kematian 70%. (Sheridan 2004)

Gambar : Pembuluh Darah Arteri

Gambar : Pembuluh Darah Vena

Patofisiologi trauma tumpul abdomen

Trauma pada abdomen menyebabkan injuri pada pembuluh darah di


abdomen dengan pergekarakan dari trauma yang lambat. Trauma tumpul pada

159 | P a g e
kecelakaan akan membuat trauma pada pembuluh darah aorta yang disebabkan
oleh sabuk pengaman karena dengan benturan yang keras akan menyebabkan
tubuh tertahan sehingga tulang belakang pun akan mengalami cedera juga. Pada
trauma aorta Abdominal tanda dan gejalanya tidak significant karena terjadi
sumbatan pada pembuluh darah aorta , sehingga untuk penanganan ini
dibutuhkan diagnosa yang cepat. (Sheridan 2004)

Diagnosis
Gejala
Trauma tumpul abdomen seringkali mencederai arteri dan vena
Abdominalis bagian atas dan tengah. Robekan pada pembuluh darah menyebabkan
perdarahan dan syok hipovolemik. Trombosis pembuluh darah menyebabkan
peningkatan rasa nyeri di abdomen dan panggul. (Sheridan 2004)
Tanda
Pemeriksaan fisik yang didapat tergantung pada adanya perdarahan
tidak, perdarahan yang nyata, atau trombosis pembuluh darah. Pasien dengan
adanya perdarahan dapat mengalami hipotensi, tetapi responnye terhadap resusitasi
sangat baik. Di lain pihak, pasien dengan perdarahan bebas intra-abdomen dapat
mengalami hipotensi dan abdomen yang distended.. Pada pasien dengan trombosis
pembuluh darah, rasa sakit yang dirasakan pasien bukan merupakan bagian dari
pemeriksaan. Untuk itu, dilakukan survei sekunder untuk pada pembuluh darah
dan system saraf. Denyut nadi arteri femoralis dapat menghilang pada cedera aorta,
dimana di anjurkan untuk transeksi trombosis arteri iliaka. Kelemahan ekstremitas
bawah dapat ditemukan pada pasien dengan trauma tumpul yang mengenai aorta
infrarenal, dan kelainan neurologis dapat ditemukan pada pasien-pasien dengan
perdarahan vaskuler. (Sheridan 2004)

Diagnosis

secara umum diagnosa ini digunakan untuk trauma tumpul dan


kecelakaan. Sedangkan untuk luka tusuk pada pembuluh darah penggunaan X-Ray
sangat sedikit maknanya sebelum dioperasi. Yang termasuk dalam diagnostis
untuk pembuluh darah injuri(Sheridan 2004) :

160 | P a g e
a. FAST ( Focused Abdominal Sonography for Trauma )

b. CT-Scan dengan kontras intravena pada abdomen dan pelvis.

c. Abdominal and Pelvic Aortagraphy

d. Renal arteriography

e. Intravenous Pyelogram

Gambar : wanita 26 tahun cedera setelah


bermain ski. Gambaran CT scan dengan
adanya gambaran cedera parenkim (mata
panah). Cedera vaskuler (panah) yang
menunjukkan gambaran fokus
hypoechoic.

Gambar : CT scan abdomen dengan kontras.


Menunjukkan gambaran medium kontras (panah)
yang berhubungan dengan pseudoaneurisma.

161 | P a g e
TRAUMA PELVIS

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Maksud dan tujuan

Dibuatnya tulisan ini sebagai salah satu persyaratan untuk melengkapi


studi di bagian radiologi. Maksud dan tujuan dari tugas pembuatan referat ini adalah
untuk menambah wawasan dan pengetahuan kami sebagai dokter muda di bidang
radiologi pada umumnya dan dalam hal trauma pelvis pada khususnya.

I.2. Epidemiologi

Kejadian patah tulang panggul di Amerika Serikat telah diperkirakan 37


kasus per 100.000 orang-tahun. Insiden patah tulang panggul yang terbesar di
penduduk usia 15-28 tahun. Pada orang muda usia kurang dari 35 tahun, laki-laki
menunjukkan patah tulang panggul lebih banyak dari perempuan. Sedangkan orang
yang lebih tua dari 35 tahun, permpuan lebih menunjukkan patah tulang panggul
lebih banyak dari laki-laki. Kebanyakan fraktur pelvis yang terjadi pada pasien yang
lebih muda hasil dari mekanisme trauma energi tinggi, sedangkan pada patah
tulang panggul pada populasi lansia terjadi dari trauma minimal.(14)

Gangguan panggul adalah hasil dari trauma energi tinggi biasanya akibat
kecelakaan kendaraan bermotor kira-kira 70% kasus.(3) Fraktur pelvis menyebabkan
kurang dari 5% pada semua cedera rangka, tetapi cedera ini sangat penting karena
tingginya insidensi cedera jaringan lunak yang menyertainya dan resiko kehilangan
darah yang hebat, shock, sepsis serta Acute Respiratory Distress Syndrom
(ARDS). Seperti halnya cedera berat lain, cedera ini membutuhkan pendekatan
gabungan dari para ahli dari berbagai bidang.(1,5,7,8,9)

Sekitar dua pertiga fraktur pelvis terjadi dalam kecelakaan lalu lintas
termasuk pejalan kaki; lebih dari 10% pasien akan mengalami cedera viseral, dan
dalam kelompok ini angka kematian mungkin lebih dari 10%.(1,9)

162 | P a g e
I.3. Etiologi

Fraktur pelvis pada dewasa penyebabnya adalah :

 Kecelakaan mobil sebanyak 50-60%

 Kecelakaan sepeda motor sebanyak 10-20%

 Kecelakaan mobil dengan pejalan kaki sebanyak 10-20%

 Jatuh dari ketinggian sebanyak 8-10%

Sedangkan pada anak-anak adalah :

 Kecelakaan pejalan kaki dengan mobil sebanyak 60-80%

 Kecelakaan mobil 20-30%

Sepuluh persen diantaranya disertai trauma pada alat-alat dalam rongga panggul
seperti uretra, buli-buli, rektum serta pembuluh darah dengan angka mortalitas
sekitar 10%.(2,9)

163 | P a g e
BAB II

ANATOMI DAN PATOFISIOLOGI

II.1. Anatomi

Tulang pelvis terdiri dari dua tulang coxae, sacrum dan coccygeus.
Berartikulasi di anterior yaitu pada simphisis pubis, di posterior pada artikulasio
sacroiliaca. Struktur mirip cekungan ini memindahkan berat dari badan ke tungkai
bawah dan memberikan perlindungan pada viscera, pembuluh darah, dan saraf di
pelvis (1)

Stabilitas cincin pelvis tergantung pada kekakuan tulang-tulang dan


integritas ligamen yang kuat yang mengikat tiga segmen tulang itu bersama-sama
pada simfisis pubis dan sakro iliaka. Ligamen pengikat yang paling kuat dan paling
penting adalah ligamen sakro iliaka dan ilio lumbal ; selama ligamen-ligamen itu
utuh, penahanan beban akan tidak terganggu. Ini adalah faktor yang penting untuk
membedakan cedera “ stabil ” dan yang “ tidak stabil ” pada cincin pelvis.(1,9)

Cincin terdiri dari dua tulang inominata cincin terdiri dari dua tulang
inominata dan sakrum, berartikulasi di depan simfisis pubis ( jembatan anterior atau
jembatan pubis ) dan dibagian posterior disendi-sendi sakro iliaka ( jembatan
posterior atau jembatan sakro iliaka ). Struktur mirip cekungan ini memindahkan
berat dari badan ke tungkai bawah dan memberikan perlindungan pada visera,
pembuluh darah dan saraf di pelvis.(1,2)

Dalam rongga panggul ditemukan beberapa organ antara lain kandung


kemih, prostat, rektum serta uretra pada laki-laki, vagina serta uterus dan
adneksanya pada wanita. Juga ditemukan pembuluh-pembuluh darah besar cabang
dari arteri iliaka komunis, vena serta pleksus saraf.(2,8,9)

Cabang utama dari arteri iliaka komunis muncul di dalam pelvis di antara
tingkat sendi sakro iliaka dan insisura iskiadika mayor. Bersama cabang-cabang
venanya, pembuluh-pembuluh itu mudah terkena cedera bila fraktur melalui bagian
posterior cincin pelvis. Saraf pada pleksus lumbalis dan sakralis juga menghadapi
resiko cedera pelvis posteri .(1)

164 | P a g e
Kandung kemih terletak di belakang simphisis pubis. Trigonum
dipertahankan pada posisinya dengan ligamen lateralis kandung kemih, dan pada
pria dengan prostat. Prostat terletak diantara kandung kemih dan dasar pelvis.
Prostat di pertahankan di bagian lateral dengan serabut medial dari levator ani,
sedangkan di bagian anterior terikat erat pada tulang pubis oleh ligament
puboprostat. Pada wanita trigonum juga melekat pada serviks dan forniks vagina
anterior. Uretra di pertahankan oleh otot dasar pelvis serta ligamen pubourethra.
Akibatnya pada wanita uretra jauh lebih mobil dan cenderung lebih sulit terkena
cidera. (1,8)

Pada cedera pelvis yang berat uretra membranosa dapat rusak bila
prostat dipaksa kebelakang sementara uretra tetap diam. Bila ligamen puboprostat
robek, prostat dan dasar kandung dapat banyak mengalami dislokasi dari uretra
membranosa. Kolon pelvis, dengan mesenteriumnya, merupakan struktur yang
mobil sehingga tidak mudah cedera. Tetapi, rektum dan saluran anus lebih
tertambat pada struktur urogenital dan otot dasar pelvis sehingga mudah terkena
bila terjadi fraktur pelvis.(1)

165 | P a g e
166 | P a g e
II.2. Anatomi Ligamen Pelvis

167 | P a g e
168 | P a g e
II.3. Anatomi Vascular Pelvis

Pelvis pria dewasa dengan foto AP.(16)

169 | P a g e
Pelvis wanita dewasa dengan foto AP.(16)

Pelvis normal dimana persendian – persendiannya masih tersambung rapi.(14)

170 | P a g e
II.4. Patofisiologi

Pelvis berfungsi untuk mentransmisi berat badan melalui sendi sakro iliaka ke
ilium, asetabulum dan di lanjutkan ke femur. Selain itu panggul berfungsi melindungi
struktur-struktur yang berada di dalam rongga panggul.(2)

Cedera pelvis dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu :

1. Fraktur yang terisolasi dengan cincin pelvis yang utuh.

a. Fraktur avulsi

Sepotong tulang tertarik oleh kontraksi otot yang hebat. Fraktur ini biasanya
ditemukan pada olahragawan dan atlet. Muskulus Sartorius dapat menarik spina
iliaca anterior superior, rektus femoris menarik spina iliaca anterior inferior , adductor
longus menarik sepotong pubis, dan otot-otot lurik menarik bagian-bagian iskium.
Nyeri hilang biasanya dalam beberapa bulan. Avulsi pada apofisis iskium oleh otot-
otot lutut jarang mengakibatkan gejala menetap, dalam hal ini reduksi terbuka dan
fiksasi internal diindikasikan.(1,10,11)

171 | P a g e
Fraktur avulsi bilateral spina iliaka anterior inferior seperti yang terlihat pada radiograf anteroposterior panggul
dengan cincin pelvis stabil.(14)

Fraktur avulsi di pelvis (misalnya, dari aspek antero – inferior spina iliaka) tidak mempengaruhi integritas dari
cincin pelvis(14)

172 | P a g e
b. Fraktur langsung

Pukulan langsung pada pelvis, biasanya setelah jatuh dari tempat tinggi,dapat
menyebabkan fraktur iskium atau ala ossis ilii. Dalam hal ini memerlukan bed rest
total sampai nyeri mereda(1)

c. Fraktur-tekanan
Fraktur pada rami pubis cukup sering di temukan dan sering dirasakan tidak
nyeri. Pada pasien osteoporosis dan osteomalasia yang berat. Yang lebih sulit di
diagnosis adalah fraktur-tekanan disekitar sendi sacroiliaca. Ini adalah penyebab
nyeri sacroiliaca yang tak lazim pada orang tua yang menderita osteoporosis.(1)

2. Fraktur pada cincin pelvis

Telah lama diperdebatkan bahwa karena kakunya pelvis, patah di suatu tempat
cincin pasti diikuti pada tempat yang lainnya, kecuali fraktur akibat pukulan langsung
atau fraktur pada anak-anak yang simfisis dan sendi sacroiliaca masih elastik. Tetapi,
patahan kedua sering tidak ditemukan, baik karena fraktur tereduksi segera atau karena
sendi sacroiliaca hanya rusak sebagian. Dalam hal ini fraktur yang kelihatan tidak
mengalami pergeseran dan cincin bersifat stabil. Fraktur atau kerusakan sendi yang
jelas bergeser, dan semua fraktur cincin ganda yang jelas, bersifat tak stabil. Perbedaan
ini lebih bernilai praktis daripada klasifikasi kedalam fraktur cincin tunggal dan ganda.(1)

Tekanan anteroposterior, cidera ini biasanya disebabkan oleh tabrakan frontal


saat kecelakaan. Rami pubis mengalami fraktur atau tulang inominata retak terbelah dan
berotasi keluar disertai kerusakan simphisis. Fraktur ini biasa disebut open book. Bagian
posterior ligament sacroiliaca robek sebagian, atau mungkin terdapat fraktur pada
bagian posterior ilium.(1,9,10,11,17)

173 | P a g e
Retrograde urethrogram menunjukkan uretra robek di diafragma urogenital (panah padat) dan urethral

disruption di bladder neck (panah putus-putus) di cincin fraktur pelvis.

Cystogram ruptur di extraperitoneal buli-buli. perhatikan fraktur pelvis dan kontras extravasasi di ruang
Retzius.(14)

174 | P a g e
Tekanan lateral, tekanan dari sisi ke sisi pelvis menyebabkan cincin melengkung
dan patah. Di bagian anterior rami pubis, pada satu atau kedua sisi mengalami fraktur
dan di bagian posterior terdapat strain sacroiliaca yang berat atau fraktur pada ilium,
baik pada sisi yang sama seperti fraktur rami pubis atau pada sisi yang sebaliknya pada
pelvis. Apabila terjadi pergeseran sendi sacroiliaca yang besar maka pelvis tidak
stabil.(1,9,10,17)

Pemuntiran vertical, tulang inominata pada satu sisi bergeser secara vertikal,
menyebabkan fraktur vertikal, menyebabkan fraktur rami pubis dan merusak daerah
sacroiliaca pada sisi yang sama. Ini secara khas terjadi tumpuan dengan salah satu kaki
saat terjatuh dari ketinggian. Cidera ini biasanya berat dan tidak stabil dengan robekan
jaringan lunak dan perdarahan retroperitoneal. Cedera ini sering kali terjadi jika korban
cedera terlempar, seperti saat ia terlontar dari mobil atau sepeda dan
mengalamideselerasi mendadak. Pada fraktur robek vertikal, satu hemipelvis tergeser
ke superior, jadi ia terlepas depen dan belakang dari cincin pelvis(1,9,11)

3. Fraktur Acetabulum

Terjadi apabila kaput femoris terdorong ke dalam pelvis. Fraktur ini


menggabungkan antara kerumitan fraktur pelvis dengan kerusakan sendi. Ada 4 tipe
fraktur acetabulum yaitu fraktur kolumna anterior, fraktur kolumna posterior, fraktur
melintang, dan fraktur kompleks. Gambaran klinis agak tersamarkan karena mungkin
terdapat cidera lain yang lebih jelas/mengalihkan perhatian dari cidera pelvis yang lebih
mendesak. Pemeriksaan foto sinar-X perlu dilakukan.(1,11)

175 | P a g e
Tranverse dengan posterior dinding fraktur acetabular. sebuah radiografi panggul anteroposterior menunjukkan
bahwa dislokasi sentral dari hasil caput femoralis kiri di gangguan iliopectineal dan garis ilioischial. Selain itu,
dinding acetabular posterior kiri terganggu.(14)

4. Cidera pada sacrum dan koksigis

Pukulan dari belakang atau jatuh pada tulang ekor dapat mematahkan sacrum
dan koksigis. Terjadi memar yang luas dan nyeri tekan muncul bila sacrum atau koksigis
di palpasi dari belakang atau melalui rectum. Sensasi dapat hilang pada distribusi saraf
sakralis. Sinar-X dapat memperlihatkan ; 1) fraktur yang melintang pada sacrum dapat
disertai fragmen bawah yang terdorong ke depan, 2) fraktur koksigis kadang disertai
fragmen bagian bawah yang menyudut ke depan, 3) suatu penampilan normal kalau
cidera hanya berupa strain pada sendi sacrokoksigeal.(1,11,17)

176 | P a g e
Perhatikan rotasi internal dari hemipelvis kiri dan rotasi eksternal dari hemipelvis kanan (panah panjang).
Perhatikan juga buckle fracture di sakral kiri (panah putih pendek) dan diastasis sendi sakro iliaka kanan
(panah hitam pendek) disruption sendi sakroilaka kiri pada gambaran CT Scan.(14)

Kalau fraktur bergeser, sebaiknya dicoba untuk melakukan reduksi. Fragmen


bagian bawah dapat terdesak ke belakang lewat rectum. Reduksi bersifat stabil, suatu
keadaan yang menguntungkan. Pasien dibiarkan untuk melanjutkan aktifitas normal,
tetapi dianjurkan untuk menggunakan suatu cincin karet atau bantalan Sorbo bila duduk.
Kadang disertai keluhan sulit kencing.(1,11)

177 | P a g e
BAB III

PEMBAHASAN

III.1. Mekanisme Trauma

Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang
besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis atau
osteomalasia dapat terjadi fraktur stres pada ramus pubis. Oleh karena rigiditas panggul
maka keretakan pada salah satu bagian cincin akan disertai robekan pada titik lain,
kecuali pada trauma langsung. Sering titik kedua tidak terlihat dengan jelas atau mungkin
terjadi robekan sebagian atau terjadi reduksi spontan pada sendi sakro-iliaka.(2,17)

Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas :

 Kompresi Anteroposterior

Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki dengan
kendaraan, ramus pubis mengalami fraktur, tulang inominata terbelah dan
mengalami rotasi eksterna disertai robekan simfisis. Keadaan ini disebut sebagai
open book injury. Bagian posterior ligamen sakro-iliaka mengalami robekan parsial
atau dapat disertai fraktur bagian belakang ilium.(2,8,9,10,17)

 Kompresi Lateral

Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan. Hal ini
terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
ketinggian. Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya
mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakro-iliaka atau
fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.(2,8,9,10,17)

 Trauma Vertikal

Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal disertai
fraktur ramus pubis dan disruption sendi sakro-iliaka pada sisi yang sama. Hal ini
terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.(2,9,17)

178 | P a g e
 Trauma Kombinasi

Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan di atas. Cedera
anterior dan posterior terjadi pada sisi pelvis yang sama, kombinasi ini disebut
“Fraktur Malgaigne”.(2,9,17)

III.2. Pembagian/klasifikasi

Ada beberapa sistem klasifikasi fraktur pelvis. Awal percobaanklasifikasinya


dikonsentrasikan pada anatomi dan lokasi dari fraktur dengan memperhatikan struktur
yang terkena cidera. Hasil kerja kemudian oleh Tile dikonsentrasikan tepat pada
komponen rotasi yang terkena cidera untuk menentukan rencana terapi yang rekonstruktif
untuk jangka panjang. Sistem ini didasarkan pada stabilitas cincin pelvis.(3)

Kemudian ada pula klasifikasi oleh Young-Burgess yang merupakan


pembaharuan dan penambahan dari sistem klasifiikasi Tile, yang membagi disrupsi pelvis
ke dalam cedera-cedera Anterior-Posterior Compression (APC), Lateral Compression
(LC), Vertical Shear (VS), dan Combination Mechanism (CM). Dengan menggunakan
sistem ini, fraktur pelvis kembali menjadi beberapa subdivisi menurut derajat
pemindahannya dan atau derajat dari instabilitas ligamen – ligamen yang menjadi
penyokong. Berikut ini untuk lebih jelas tentang sistem klasifikasi yang ada.(3,8,17)

179 | P a g e
Klasifikasi Tile dan Pennal

Tipe A : Merupakan tipe yang stabil dibagi menjadi 2 tipe


A1 : Fraktur isolated tanpa fraktur cincin pelvis
A2 : Fraktur cincin pelvis tanpa pergeseran

Tipe B : Rotasi (tidak stabil) dan vertical (stabil)


B1 : Open book
Stage 1: Symphisiolisis <>
Stage 2 : Symphisiolisis > 2,5 cm terapi dengan OREF*
Stage 3 : Bilateral Lessio terapi dengan OREF
B2 : Kompresi lateral/ipsilateral
B3 : kompresi lateral/kontraleteral (bucker handle terapi dengan OREF)

Tipe C : Rotasi dan Vertical ( tidak stabil )


C1: Unilateral
C2 : Bilateral
C3 : dengan fraktur asetabulum (1,2,3,6,8,17) *Open Reduction External Fixation

180 | P a g e
Klasifikasi Young-Burgess

Klasifikasi Young-Burgess membagi pelvis disruption kedalam cedera -cedera


Anterior-Posterior Compression (APC), Lateral Compression (LC), Vertikal Shear (VS),
dan Combination Mechanism (CM). Kategori APC dan LC lebih lanjut disubklasifikasi
dari tipe I – III berdasarkan pada meningkatnya perburukan cedera yang dihasilkan oleh
peningkatan tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh tubrukan anterior terhadap
pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis. Ada cedera open book yang
mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti halnya ligamentum sacrospinale
ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale. Cedera APC dipertimbangkan menjadi
penanda radiografi yang baik untuk cabang-cabang pembuluh darah iliaca interna, yang
berada dalam penjajaran dekat dengan persendian sacroiliaca anterior.(3,6,8,10,17)

Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess. A, kompresi anteroposterior tipe I. B, kompresi anteroposterior tipe II. C,
kompresi anteroposterior tipe III. D, kompresi lateral tipe I. E, kompresi lateral tipe II. F, kompresi lateral tipe III.
G, shear vertikal. Tanda panah pada masing-masing panel mengindikasikan arah tekanan yang menghasilkan
pola fraktur.

181 | P a g e
Cedera
kompresi anteroposterior (AP) seperti yang terlihat pada radiograf anteroposterior pelvis tipe 1.(14)

Cedera
kompresi anteroposterior seperti yang terlihat pada radiograf anteroposterior pelvis tipe 2 dan 3. (14)

182 | P a g e
Cedera kompresi anteroposterior (AP) seperti yang terlihat pada CT Scan pelvis. Lokasi dan tingkat disruption dari
sakroiliaka lebih baik dilihat dengan CT Scan daripada radiograf. Rotasi eksternal dari hemipelvis kanan merupakan
karakteristik kompresi AP. Perpindahan posterior sedikit dari sisi iliaka kanan dari sendi sakroiliaka menujukkan
gangguan ligamen (panah) ini merupakan jenis cedera kompresi AP tipe 3. (8)

Cedera
kompresi lateral seperti yang terlihat pada radiografi anteroposterior pelvis tipe I. Pasien memiliki cedera kompresi
lateral kanan.(9)

183 | P a g e
cedera kompresi lateral seperti yang terlihat pada radiograf AP dari pelvis. Perhatikan karakteristik pada Buckle
fracture kiri tulang sacrum (panah penunjuk panjang) dan adanya overlapping dari fraktur ramus pubic kiri (panah
penunjuk pendek) tipe 2..(8)

Cedera
kompresi lateral seperti yang terlihat dalam radiograf anteroposterior pelvis tipe 1. (14)

184 | P a g e
Cedera
kompresi seperti yang terlihat radiograf anteroposterior pelvis. Perhatikanlah karakteristik Buckle fracture
sakral kiri yang melengkung (panah panjang) dan overlapping minimal dari fraktur ramus pubis kiri
(panah pendek) tipe 2. (14)

Cedera
kompresi lateral tipe 3 seperti yang terlihat pada radiografi cavum pelvis, rotasi internal hemipelvis kiri lebih baik
divisualisasikan dengan menggunakan tampilan cavum pelvis. Fraktur dari sakrum (panah panjang) dan ramus pubis
kiri (panah pendek) yang ditampilkan. (14)

185 | P a g e
Cedera
vertical shear seperti yang terlihat pada radiografi outlet pelvis. Perpindahan vertikal (cranial) dari hemipelvis kiri dan
simfisis pubis lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan tampilan outlet pelvis. selain itu, fraktur iliaka kiri lebih
mudah terlihat (panah besar).waktu dilihat diastasis sendi sakroiliaka kiri (panah kecil). (14)

Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis
pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum
sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya
tarik. Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri glutea
superior) relatif luar biasa dengan cedera LC; ketika hal ini terjadi, diduga sebagai akibat
dari laserasi fragmen fraktur.(3,6,8,17)

Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan


hemipelvis mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera
CM meliputi fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua
vektor tekanan terpisah.(3,6,8)

Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan juga telah
menunjukkan berkorelasi baik dengan pola cedera organ, persyaratan resusitasi, dan
mortalitas. Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti sebagaimana
meningkatnya angka APC. Pola cedera yang terlihat pada fraktur APC tipe III telah
berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24-jam terbesar. Pada sebuah seri terhadap 210
pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk menemukan bahwa kebutuhan
transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC, dibandingkan dengan

186 | P a g e
rata-rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC. Pada seri yang sama, pasien
dengan cedera VS rata-rata 9,2 unit, dan pasien dengan cedera CM memiliki kebutuhan
transfusi rata-rata sebesar 8,5 unit. Angka mortalitas keseluruhan pada seri ini adalah
8,6%. Angka mortalitas lebih tinggi terlihat pada pola APC (20%) dan pola CM (18%)
dibandingkan pada pola LC (7%) dan pola VS (0%). Burgess dkk mencatat hilangnya
darah dari cedera pelvis yang dihasilkan dari kompresi lateral jarang terjadi, dan penulis
menghubungkan kematian pada pasien dengan cedera LC pada penyebab lainnya.
Penyebab kematian yang teridentifikasi paling umum pada pasien di seri ini dengan
fraktur LC adalah cedera kepala tertutup. Pada kontras, penyebab kematian yang
teridentifikasi pada pasien dengan cedera APC merupakan kombinasi cedera pelvis dan
viseral. Temuan ini mengindikasikan bahwa kemampuan untuk mengenali pola fraktur
pelvis dan arah tekanan cedera yang sesuai dapat membantu tim resusitasi
mengantisipasi kebutuhan transfusi cairan dan darah sebagaimana halnya membantu
untuk penilaian dan pengobatan awal langsung. Pasien dengan instabilitas posterior
lengkap dapat diantisipasi agar tidak menjadi perdarahan yang berat.(3,6,8,17)

III.3. Fisik Diagnosis

Keadaan umum, catat secara teratur denyut nadi, tekanan darah dan respirasi,
secara cepat lakukan survei tentang kemungkinan trauma lainnya.(2,9)

Untuk itu, pelvis ditekan ke belakang dan kemudian secara hati-hati pada kedua spina
iliaka anterior superior, ke medial pada kedua trokanter mayor, ke belakang pada simfisis
pubis, dan ke medial pada kedua krista iliaka. Apabila pemeriksaan ini menyebabkan
nyeri patut dicurigai adanya patah tulang panggul dan menentukan apakah fraktur stabil
atau tidak stabil.(2)

Kemudian dicari adanya gangguan kencing seperti retensi urin atau perdarahan
melalui uretra, serta dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk melakukan penilaian pada
sakrum, atau tulang pubis dari dalam. Perlu diketahui apakah fraktur pelvis tersebut
disertai kerusakan kontinuitas kolom penunjang berat badan, yaitu kolom dari vertebra
melalui sendi sakro-iliaka, tulang ilium, asetabulum, dan sendi panggul sampai tulang
femur. Penilaian ini penting untuk menentukan kapan penderita boleh menyangga berat
badannya.(5,9)

187 | P a g e
Perineum harus diperiksa dengan teliti kadang-kadang luka terbuka di daerah ini
berhubungan dengan fraktur panggul. Tanda-tanda gangguan saluran kencing ( darah
dilubang kemih, perineal atau hematoma skrotum dan prostat tinggi naik pada
pemeriksaan dubur ) menunjukkan kebutuhan untuk pencitraan dari uretra dan kandung
kemih. Pemeriksaan colok rektal sangat penting untuk mendeteksi perforasi dubur,
merupakan indikasi mutlak untuk pengalihan tinja. Sebuah evaluasi neurologis dari
tungkai bawah merupakan informasi yang penting, meskipun penilaian yang akurat sering
kecil pada pasien dengan cedera ganda.(3,9)

Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel yang
dapat mengenai organ-organ lain dalam panggul. Keluhan berupa gejala pembekakan,
deformitas serta perdarahan subkutan disekitar panggul. Penderita datang dalam
keadaan anemi dan syok karena perdarahan yang hebat. Terdapat gangguan fungsi
anggota gerak bawah. Lokal, inspeksi perineum untuk mengetahui adanya perdarahan,
pembengkakan dan deformitas, tentukan derajat ketidak stabilan cincin panggul dengan
palapasi pada ramus dan simfisis pubis. Fraktur tulang sakrum dapat bersifat transversal
sedangkan fraktur tulang koksigeus umumnya pada bagian distal dan mengalami angulasi
ke depan.(2,9)

III.4. Pemeriksaan Tambahan

Pemeriksaan radiologis

Setiap penderita trauma panggul harus dilakukan pemeriksaan radiologis dengan


prioritas pemeriksaan foto rontgen posisi AP. Pemeriksaan rontgen posisi lain yaitu
oblique, rotasi interna dan eksterna apabila keadaan umum memungkinkan.(2,9)

Umumnya pemeriksaan radiologi diperlukan. Pada patah tulang yang meliputi


asetabulum, CT Scan amat berguna untuk melihat dengan tepat posisi fraktur dan
hubungan antara fragmen.(5) Foto polos panggul, thoraks serta daerah lain yang dicurigai
mengalami trauma. Foto polos panggul dalam keadaan rotasi interna dan eksterna serta
pemeriksaan foto panggul lainnya. Pemeriksaan urologis dan lainnya : kateterisasi,

188 | P a g e
sistogram retrograd dan postvoiding, pielogram intravena, aspirasi diagnostik dengan
lavase peritoneal.(2,9)

Berikut ini adalah contoh – contoh gambaran radiologis pada pemeriksaan foto
radiologi fraktur pelvis :

Diastasis dari simfisis pubis, yang pada umumnya menunjukkan adanya cedera kompresi anteroposterior.

189 | P a g e
Cedera
Vertikal Shear seperti yang terlihat pada CT scan pelvis. Fraktur vertikal yang berorientasi pada ramus pubis superior
kanan ditunjukkan dengan perpindahan cranialis simfisis pubis dan hemipelvis kiri.

Windswept pelvis (cedera kompresi lateral) seperti yang terlihat pada CT scan panggul. Karakteristik masing-masing
elemen cedera dapat dilihat lebih baik dengan CT. Perhatikan rotasi internal hemipelvis kiri dan rotasi eksternal

190 | P a g e
hemipelvis kanan (panah panjang). Perhatikan juga buckle facture dari sacrum kiri (panah putih pendek) dan
diastasis SI Joint kanan (panah hitam pendek). SI Joint kiri juga mengalami disruption.

Cedera
kompresi lateral seperti yang terlihat pada CT scan panggul. buckle fracture (anterior crush) pada bagian kiri sacrum
lebih mudah terlihat pada CT scan daripada gambar-gambar lainnya.

Kedua gambar 3D data CT aksial menunjukkan panggul seorang wanita hamil. Janin (panah putih)
belum memasuki jalan lahir dari panggul. Perhatikan fraktur dari cincin pelvis kiri dan acetabulum kiri ditunjukkan
dengan panah kuning. Ciri – ciri ini juga dapat dilihat di permukaan gambaran 3-D yang diberikan gambar di sebelah
kanan.

191 | P a g e
Pandangan inlet pelvis dari pelvis yang menunjukkan pentingnya melihat bagian posterior foto inlet
pelvis di sepanjang perbatasan sakral. Daerah pelvis (lingkaran) diperbesar di sebelah kanan untuk menunjukkan
fraktur vertikal (panah) dari panggul yang tidak mudah dicirikan dengan menggunakan tampilan AP saja. Tampilan
inlet dan outlet untuk lebih baik dalam menggambarkan fraktur dari cincin posterior dan cidera melibatkan SI Joint
daripada tampilan AP saja.

III.5. Manajemen Terapi dan Penatalaksanaan

Pertolongan Pertama
 Airway, Breathing, dan Circulation merupakan manajemen yang utama.

 Koreksi hipovolemia : paling tidak 2 jalur IV ukuran besar terpasang.

 Kirim darah untuk FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, dan rapid matched
blood.siapkan 4-6 unit darah.

 Lakukan pemeriksaan Fisik :


1. Pembengkakan area suprapubik atau groin area.

2. Ekimosis pada genitalia eksterna, paha bagian medial dan area flank.

3. Darah dari urethra.

4. Abrasi, kontusio dari tulang yang menonjol

192 | P a g e
5. Step-off, instabilitas

6. Krepitus pada palpasi bimanual iliac wing

catatan : (1) jangan mencoba untuk melakukan test goyang pelvis untuk menentukan stabilitas karena
hal ini tidak reliable, tidak diperlukan dan dapat menyebabkan perdarahan tambahan. (2) laserasi
perineum, groin atau buttock setelah trauma mengindikasikan adanya fraktur pelvic terbuka kecuali
terbukti bukan. (3) pemeriksaan neurologi harus dilakukan dimana cidera pleksus sakralis dapat terjadi.

 Cidera lain yang terkait :


1. Inspeksi perineum untuk mencari luka terbuka.

2. Lakukan pemeriksaan rectum untuk menentukan posisi prostate, merasakan spikula


tulang dan mencari adanya darah.

3. Lakukan pemeriksaan vagina untuk mencari luka terbuka.

4. Jika ada bukti cidera uretra, misalnya darah pada meatus, memar pada skrotum atau
prostat letak tinggi, hati-hati pada fraktur pelvis yang dapat tidak stabil.

 Jangan masukkan kateter. Konsulkan pada urologis untuk kemungkinan pemasangan


kateter suprapubik.
 Lakukan X ray pelvis untuk mencari kerusakan dan asimetri dari simphisis pubis.
 Berikan analgesik yang adekuat.
 Mulai pemberian antibiotik pada kasus fraktur terbuka.
 Gunakan Sandbags untuk mensupport fraktur pelvis yang tidak stabil.
 Rujuk ke orthopedik untuk mengurangi dan meng-imobilisasi fraktur dengan C-clamp
external fixator.

Jika kontrol perdarahan gagal, pertimbangkan angiografi dan embolisasi.(3,9,7)

Military Antishock Trousers

Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat memberikan
kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan ekstremitas bawah melalui
tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an, penggunaan MAST dianjurkan untuk
menyebabkan tamponade pelvis dan meningkatkan aliran balik vena untuk membantu
resusitasi. Namun, penggunaan MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan mungkin
menyebabkan sindroma kompartemen ekstermitas bawah atau bertambah satu dari yang ada.

193 | P a g e
Meskipun masih berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur pelvis, MAST secara luas telah
digantikan oleh penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara komersil.(3,9)

Pengikat dan Sheet Pelvis

Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumah-sakit dan pada
awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan dan resusitasi. Lembaran
terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling pelvis efektif secara biaya, non-invasif,
dan mudah untuk diterapkan. Pengikat pelvis komersial beragam telah ditemukan. Tekanan
sebesar 180 N tampaknya memberikan efektivitas maksimal. Sebuah studi melaporkan
pengikat pelvis mengurangi kebutuhan transfusi, lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas
pada pasien dengan cedera APC.(3,8,11)

Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat kompresi melingkar pelvis (pengikat pelvis) yang
tepat, dengan gesper tambahan (tanda panah) untuk mengontrol tekanan

194 | P a g e
Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang dengan fraktur pelvis
disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul mungkin berkontribusi pada deformitas
pelvis. Koreksi rotasi eksternal ekstremitas bawah dapat dicapai dengan membalut lutut atau
kaki bersama-sama, dan hal ini dapat memperbaiki reduksi pelvis yang dapat dicapai dengan
kompresi melingkar.(3,8,11)

Fiksasi Eksternal

Fiksasi Eksternal Anterior Standar

Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis emergensi pada
resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan fraktur pelvis tidak stabil. Efek
menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur pelvis bisa muncul dari beberapa faktor.
Imobilisasi dapat membatasi pergeseran pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien,
menurunkan kemungkinan disruption bekuan darah. Pada beberapa pola (misal, APC II),
reduksi volume pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi fiksator eksternal. Studi eksperimental
telah menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis open book mengarah pada peningkatan
tekanan retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade perdarahan vena. Penambahan
fraktur disposisi dapat meringankan jalur hemostasis untuk mengontrol perdarahan dari
permukaan tulang kasar.(3,8,11)

C-Clamp

Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis posterior yang
adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang melibatkan disrupsi posterior
signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis ilium mengalami fraktur. C-clamp yang
diaplikasikan secara posterior telah dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Clamp
memberikan aplikasi gaya tekan posterior tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian
yag besar harus dilatih untuk mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya
harus dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada regio trochanter femur

195 | P a g e
menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal anterior standar untuk fiksasi sementara
cedera APC.(3,9)

Angiografi

Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kehilangan darah


berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi fraktur pelvis dan infus cairan agresif.
Keseluruhan prevalensi pasien dengan fraktur pelvis yang membutuhkan embolisasi dilaporkan
<10%. Pada satu seri terbaru, angiografi dilakukan pada 10% pasien yang didukung sebuah
fraktur pelvis. Pasien yang lebih tua dan yang memiliki Revised Trauma Score lebih tinggi
paling sering mengalami angiografi. Pada studi lain, 8% dari 162 pasien yang ditinjau ulang oleh
penulis membutuhkan angiografi. Embolisasi dibutuhkan pada 20% pola cedera APC, cedera
VS, dan fraktur pelvis kompleks, namun hanya 1,7% pada cedera LC. Eastridge dkk
melaporkan bahwa 27 dari 46 pasien dengan hipotensi persisten dan fraktur pelvis yang sama
sekali tak stabil, termasuk cedera APC II, APC III, LC II, LC III dan VS, memiliki perdarahan
arteri aktif (58,7%). Miller dkk menemukan bahwa 19 dari 28 pasien dengan instabilitas
hemodinamik persisten diakibatkan oleh pada fraktur pelvis menunjukkan perdarahan arteri
(67,9%). Pada studi lain, ketika angiografi dilakukan, hal tersebut sukses menghentikan
perdarahan arteri pelvis pada 86-100% kasus. Ben-Menachem dkk menganjurkan “embolisasi
bersifat lebih-dulu”, menekankan bahwa jika sebuah arteri yang ditemukan pada angiografi
transected, maka arteri tersebut harus diembolisasi untuk mencegah resiko perdarahan
tertunda yang dapat terjadi bersama dengan lisis bekuan darah. Penulis lain menjelaskan
embolisasi non-selektif pada arteri iliaca interna bilateral untuk mengontrol lokasi perdarahan
multipel dan menyembunyikan cedera arteri yang disebabkan oleh vasospasme.(3,9,11)

Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk memperbaiki hasil
akhir pasien. Agolini dkk menunjukkan bahwa embolisasi dalam 3 jam sejak kedatangan
menghasilkan angka ketahanan hidup yang lebih besar secara signifikan. Studi lain
menemukan bahwa angiografi pelvis yang dilakukan dalam 90 menit izin masuk memperbaiki
angka ketahanan hidup. Namun, penggunaan angiografi secara agresif dapat menyebabkan

196 | P a g e
komplikasi iskemik. Angiografi dan embolisasi tidak efektif untuk mengontrol perdarahan dari
cedera vena dan lokasi pada tulang, dan perdarahan vena menghadirkan sumber perdarahan
dalam jumlah lebih besar pada fraktur pelvis berkekuatan tinggi. Waktu yang digunakan pada
rangkaian angiografi pada pasien hipotensif tanpa cedera arteri mungkin tidak mendukung
ketahanan hidup.(3,9,11)

Balutan Pelvis

Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai hemostasis


langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan fraktur pelvis. Selama lebih
dari satu dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah menganjurkan laparotomi eksplorasi yang
diikuti dengan balutan pelvis. Teknik ini diyakini terutama berguna pada pasien yang parah.
Ertel dkk menunjukkan bahwa pasien cedera multipel dengan fraktur pelvis dapat dengan aman
ditangani menggunakan C-clamp dan balutan pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal juga
efektif dalam mengontrol perdarahan arteri.(3,9,11)

Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis – balutan retroperitoneal – telah


diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini memfasilitasi kontrol perdarahan retroperitoneal
melalui sebuah insisi kecil. Rongga intraperitoneal tidak dimasuki, meninggalkan peritoneum
tetap utuh untuk membantu mengembangkan efek tamponade. Prosedurnya cepat dan mudah
untuk dilakukan, dengan kehilangan darah minimal. Balutan retroperitoneal tepat untuk pasien
dengan beragam berat ketidak stabilan hemodinamik, dan hal ini dapat mengurangi angiografi
yang kurang penting. Cothren dkk melaporkan tidak adanya kematian sebagai akibat dari
kehilangan darah akut pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik persisten ketika
balutan langsung digunakan. Hanya 4 dari 24 yang bukan responden pada studi ini
membutuhkan embolisasi selanjutnya (16,7%), dan penulis menyimpulkan bahwa balutan
secara cepat mengontrol perdarahan dan mengurangi kebutuhan angiografi emergensi.(3,11)

197 | P a g e
Ilustrasi yang mendemonstrasikan teknis pembalutan retroperitoneal. A, dibuat sebuah insisi vertikal
midline 8-cm. Kandung kemih ditarik ke satu sisi, dan tiga bagian spons tak terlipat dibungkus
kedalam pelvis (dibawah pinggir pelvis) dengan sebuah forceps. Yang pertama diletakkan secara
posterior, berbatasan dengan persendian sacroiliaca. Yang kedua ditempatkan di anterior dari spons
pertama pada titik yang sesuai dengan pertengahan pinggiran pelvis. Spons ketiga ditempatkan pada
ruang retropubis kedalam dan lateral kandung kemih. Kandung kemih kemudian ditarik kesisi lainnya,
dan proses tersebut diulangi. B, Ilustrasi yang mendemonstrasikan lokasi umum enam bagian spons
yang mengikuti balutan pelvis.

Resusitasi Cairan

Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai
dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar (≥16-gauge) kanula intravena harus
dibangun secara sentral atau di ekstremitas atas sepanjang penilaian awal. Larutan kristaloid ≥
2 L harus diberikan dalam 20 menit, atau lebih cepat pada pasien yang berada dalam kondisi
syok. Jika respon tekanan darah yang cukup dapat diperoleh, infus kristaloid dapat dilanjutkan
sampai darah tipe-khusus atau keseluruhan cocok bisa tersedia. Darah tipe-khusus, yang di
crossmatch untuk tipe ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit; namun, darah
seperti itu dapat berisi inkompatibilitas dengan antibodi minor lainnya. Darah yang secara
keseluruhan memiliki tipe dan crossmatch membawa resiko lebih sedikit bagi reaksi transfusi,
namun juga butuh waktu paling banyak untuk bisa didapatkan (rata-rata 60 menit). Ketika
respon infus kristaloid hanya sementara ataupun tekanan darah gagal merespon, 2 liter
tambahan cairan kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus atau darah donor-universal
non crossmatch (yaitu, kelompok O negatif) diberikan dengan segera. Kurangnya respon

198 | P a g e
mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadi kehilangan darah yang sedang berlangsung, dan
angiografi dan/atau kontrol perdarahan dengan pembedahan mungkin dibutuhkan.(3)

Produk-produk Darah dan Rekombinan Faktor VIIa

Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal membutuhkan sejumlah
besar cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi jalur hemostasis. Karenanya, semua
pasien yang seperti itu harus diasumsikan membutuhkan trombosit dan fresh frozen plasma
(FFP). Umumnya, 2 atau 3 unit FFP dan 7-8 unit trombosit dibutuhkan untuk setiap 5 L
penggantian volume.(3)

Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efek-efek inflamasi, dan
koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan kebutuhan relatif produk-produk darah untuk
resusitasi masih kontoversial. Sebagai tambahan, jumlah transfusi PRC merupakan faktor
resiko independen untuk kegagalan multi-organ paska cedera. Beberapa penulis telah
mengusulkan bahwa pasien trauma koagulopati terutama harus diresusitasi dengan
penggunaan FFP yang lebih agresif, dengan transfusi yang terdiri atas PRC, FFP dan trombosit
dalam rasio 1:1:1 untuk mencegah kemajuan koagulopati dini.(3)

Rekombinan faktor VIIa (rFVIIa) mungkin dipertimbangkan sebagai intervensi akhir jika
koagulopati dan perdarahan yang mengancam-jiwa menetap disamping pengobatan lainnya. Ini
merupakan penggunaan rFVIIa off-label. Boffard dkk melakukan sebuah studi multicenter
dimana pasien trauma berat yang menerima 6 unit PRC dalam 4 jam setelah masuk diacak
pada baik pengobatan rFVIIa atau plasebo. Pada kelompok rFVIIa, jumlah transfusi sel darah
secara signifikan berkurang (kira-kira 2,6 unit sel darah merah; P = 0,02), dan terdapat
kecenderungan ke arah reduksi mortalitas dan komplikasi.(3)

EVALUASI STATUS RESUSITASI

Titik akhir resusitasi ditentukan berdasarkan kombinasi data laboratorium dan tanda-
tanda fisiologis. Pembacaan tingkat hemoglobin diketahui tidak akurat selama fase akut
resusitasi. Titik akhir resusitasi yang umumnya dipertimbangkan termasuk tekanan darah
normal, menurunnya denyut jantung, urin output yang cukup (≥ 30 mL/jam), dan tekanan vena
sentral (CVP) normal. Namun, bahkan setelah normalisasi parameter-parameter ini, oksigenasi
jaringan yang tidak memadai bisa menetap. Pengukuran laboratorium tambahan yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi oksigenasi jaringan termasuk defisit basa, bikarbonat dan laktat.

199 | P a g e
Semua ini menilai glikolisis anaerobik. Istilah defisit basa dan kelebihan basa digunakan
bergantian, satu-satunya perbedaan untuk menjadi defisit basa diperlihatkan sebagai nomor
positif dan kelebihan basa diperlihatkan sebagai nomor negatif. Defisit basa normal adalah 0-3
mmol/L; angka ini secara rutin diukur melalui analisa gas darah arteri (AGDA). Defisit basa
menetap menandakan resusitasi yang tidak mencukupi.(3)

III.6 Komplikasi

 Fraktur pada cincin pelvis

Nyeri sakro-illiaka menetap cukup sering ditemukan setelah fraktur pelvis yang
tidak stabil dan kadang-kadang mengharuskan di lakukannya artrodesis pada sendi
sakro-illiaka. Cidera saraf skiatika bisanya sembuh tetapi kadang-kadang ternyata
memerlukan eksplorasi. Cidera uretra yang berat dapat mengakibatkan striktur uretra,
inkontinensia, atau impotensi. Kadang ruptur rektum atau vagina ( jarang ),
perdarahannya bisa masif. Fraktur tulang sakrum kadang-kadang sukar dilihat, terutama
bila banyak udara dan tinja dalam usus; sebaiknya dilakukan lavemen sebelum dibuat
foto.(1,4)

 Fraktur asetabulum

Trombosis vena illiofemoralis cukup sering terjadi dan secara potensial


berbahaya. Tetapi diragukan apakah antikoagulasi profilaksis rutin diperlukan.

Cidera saraf skiatika dapat terjadi pada saat fraktur atau selama operasi
berikutnya. Tidak perlu ada keraguan mengenai prognosis, kecuali kalau saraf
ditemukan tanpa cidera selama operasi. Pemantauan somato-sensorik intraoperatif
dianjurkan sebagai cara untuk mencegah kerusakan saraf yang berbahaya. Bila telah
terjadi lesi, sebaiknya menunggu selama 6 minggu untuk mengetahui apakah terdapat
tanda penyembuhan. Kalau tidak ada, saraf harus diekplorasi untuk menetapkan
diagnosis dan memastikan bahwa saraf tidak mengalami tekanan.(1.11)

200 | P a g e
Pembentukan tulang heterotropik sering ditemui setelah cedera jaringan lunak
yang hebat dan diseksi pembedahan yang luas. Pada kasus-kasus yang diduga akan
mengalami ini, indomesin profilaksis akan bermanfat.

Nekrosis afaskular pada kaput femoris dapat terjadi sekalipun panggul tidak
berdislokasi sepenuhnya. keadaannya mungkin terlewat dari diagnosis karena
penafsiran yang keliru pada gambar sinar-X setelah fraktur terimpaksi marginal pada
asetabulum.(Gruen,Mears, dan Tauxe 1988).

Hilangnya gerakan sendi dan osteoartritis sekunder merupakan sekuele yang


sering ditemukan setelah fraktur pergeseran pada asetabulum yang melibatkan bagian
sendi yang menahan beban. Keadaan ini, pada akhirnya dapat membutuhkan
pergantian sendi. Tetapi, operasi harus ditunda hingga fraktur itu telah berkonsolidasi;
implan asetabulum cenderung akan melonggar jika terdapat gerakan segmen
inominata.(1,11)

 Cedera pada sakrum dan koksigis

Kadang-kadang, fraktur sakral disertai dengan masalah kencing, sehingga


memerlukan laminektomi sakral. Nyeri yang menetap terutama saat duduk, sering
ditemukan setelah cedera koksigis. Kalau nyeri tidak berkurang dengan penggunaan
dengan bantalan Sorbo atau injeksi anastetik lokal ke dalam daerah yang nyeri, eksisi
koksigis dapat dipertimbangkan.(1)

201 | P a g e
202 | P a g e
203 | P a g e
1 Skull fracture (continued)

● Depressed fractures are often difficult to see. Look for increased or double

density related either to bony overlap or if the fracture has being imaged

tangentially.

● Basal skull fractures are not well seen on plain radiographs. Look for fluid

level within sphenoid sinus. If suspected the patient should have a CT.

● CT will often demonstrate skull fractures when viewed on bony

windows. More useful for visualisation of secondary complications.

204 | P a g e
205 | P a g e
1 Extradural haematoma

H Characteristics

d ● The majority of these are arterial (middle meningeal artery) with a small

n proportion being of venous origin.

● Commonly unilateral and associated with a fracture in adults. Skull frac-

c tures are often absent in children due to skull elasticity.

● Haematoma forms between the inner table of skull and the dura.

● May have associated injuries, such as a subdural haematoma (SDH) or

contusions.

● Arterial bleeding usually develops and presents rapidly within 1 hour of

injury whereas venous haematomas may present after several days.

Clinical features

● Classically present following a head injury with initial loss of conscious-

ness followed by a lucid interval, prior to a second decrease in the level of

consciousness.

206 | P a g e
● Beware as only about 30% of patients present in this way.

● The symptomatology depends on how quickly the haematoma expands.

Progressive sleepiness, headache, nausea and vomiting are suspicious.

Radiological features

● CT signs include a biconvex hyperdense elliptical collection with a sharply

defined edge. Mixed density suggests active bleeding.

● The haematoma does not cross suture lines.

● May separate the venous sinuses/falx from the skull; this is the only type

of haemorrhage to do this.

● Mass effect depends on the size of the haemorrhage and associated

oedema.

● Venous bleeding is more variable in shape.

● Associated fracture line may be seen.

Management

● Airways, breathing, circulation (ABCs).

● Definitive treatment involves surgical evacuation; therefore early discus-

sion with a neurosurgeon is important.

207 | P a g e
208 | P a g e
1 Subdural haematoma

H Characteristics

d ● SDH commonly occurs in the elderly and in children (beware NAI).

n ● Occur in the subdural space, i.e. the potential space between pia arach-

noid membrane and dura.

c ● Caused by traumatic tearing of bridging veins in the subdural space.

● Often secondary to deceleration injuries,or direct trauma in which there is

movement of the brain in relation to the skull. Beware forceful coughing/

sneezing or vomiting in the elderly.

● No consistent relationship to skull fractures.

Clinical features

● Often insidious due to the slow build up of pressure.The resultant mass

effect over time can lead to significant ischaemic damage.

● Clinical presentation depends on the amount of trauma sustained and the

speed of haematoma accumulation.

209 | P a g e
● Classified as acute or chronic depending on time of presentation.

● Acute SDHs present within 24 hours of injury usually with decreased

level of consciousness or a decline in mental status. Signs of mass effect

should be looked for.

Radiological features

● CT shows a crescentic fluid collection between the brain and inner skull.

Concave inner margin with minimal brain substance displacement.

● Crosses suture lines but not dural reflections.

● In the acute phase the fluid collections appear to be of high density; in the

subacute phase (2–4 weeks post-injury) the collection is isodense to brain

and in the chronic phase (4 weeks post-injury) the collection is of low

density.

Management

● ABCs.

● Discuss with neurosurgeon. Even small haematomas may be suitable for

evacuation.

● Conservative management in patients with haematomas only a few milli-

metres thick may be appropriate after considered discussion and further

careful observation.

210 | P a g e
211 | P a g e
212 | P a g e
1 Subarachnoid haemorrhage

H Characteristics

d ● Spontaneous subarachnoid haemorrhage (SAH) usually occurs secondary

n to a ruptured aneurysm or arteriovenous malformation.

● Acquired aneurysms are commonest in the circle of Willis; at bifurcations

c with turbulent flow.

● Commonest before 50 years of age, but may occur at any age.

● Free blood causes irritation of the meninges.

● A sentinel headache occurs in roughly two-third of patients heralding a

future bleed.

Clinical features

● Acute severe headache often described as the worst ever, although a mild

headache does not exclude a SAH.

● Vomiting, pallor and profuse sweating may occur.

● Neck stiffness and focal neurological signs seizures.

213 | P a g e
● Beware altered level of consciousness that rapidly progresses to coma.

● Complications include hydrocephalus (acute obstructive and delayed

communicating), cerebral vasospasm leading to infarction and trans-

tentorial herniation secondary to raised ICP.

● Mimics many other conditions including encephalitis, meningitis, acute

glaucoma and migraine amongst others.

Radiological features

● Non-contrast CT is sensitive within 4–5 hours of onset.

● Look for acute haemorrhage (increased density) in the cortical sulci, basal

cisterns, Sylvian fissures, superior cerebellar cisterns and in the ventricles.

● MRI is relatively insensitive within the first 48 hours but is useful after this

time and in recurrent bleeds to pick up subtle haemosiderin deposition.

Management

● ABCs. Beware as patients may rapidly progress to coma and require

intubation.

● Supplemental oxygen, i.v. access and cardiac monitoring are essential.

● Consider other causes for a decreased level of consciousness.

● Check routine bloods and refer suspicious patients for further investiga-

tion, e.g. lumbar puncture or CT scan.

● A normal CT does not exclude a SAH.This group of patients require a

lumbar puncture.

214 | P a g e
215 | P a g e
216 | P a g e
217 | P a g e
1 Cerebral contusion

H Characteristics

d ● Commonest form of traumatic intra-axial injury.

n ● Contusions occur at the inferior and polar surfaces of the frontal and

F temporal lobes.

c ● Injury results secondary to contact with bony surfaces during deceler-

ation and is produced by damage to parenchymal blood vessels leading to

petechial haemorrhage and oedema.

● Contusions develop in surface grey matter tapering into white matter.

● Injuries may be coup or contra-coup.

● Cerebral contusions are also produced secondary to depressed skull fractures

and are associated with other intracranial injuries.

Clinical features

● Usually associated with a brief loss of consciousness. Confusion and

obtundation may be prolonged.

● Focal neurological deficit can occur if contusions arise near the sensori-

218 | P a g e
motor cortex.

● Most patients make an uneventful recovery but a proportion develop

raised intracranial pressure (ICP), post-traumatic seizures and persisting

focal deficits.

● Beware of the elderly patients, alcoholics and patients taking anticoagulants

as they are at increased risk of haemorrhage.

Radiological features

● Non-contrast computed tomography (CT) useful in the early post-

traumatic period.

● Contusions are seen as multiple focal areas of low or mixed attenuation

intermixed with tiny areas of increased density representing petechial

haemorrhage.

● True extent becomes apparent over time with progression of cell necro-

sis and oedema.

● Magnetic resonance imaging (MRI) is the best modality for demonstra-

tion of oedema and contusion distribution.

Management

● Secure airway whilst the cervical spine is protected. Supplemental oxygen.

Assess and stabilise breathing and circulation.

● If Glasgow coma scale (GCS) 8 discuss with anaesthetist as a definitive

(secured) airway is required.

219 | P a g e
● Early discussion with radiologist and neurosurgeon.

● Titrate opioid analgesia.Cleanse and close scalp injuries.Discuss with a neu-

220 | P a g e
2 rosurgeon regarding intravenous (i.v.) antibiotics, steroid and mannitol use.

221 | P a g e
222 | P a g e
1 Facial fractures

H Characteristics

d ● Often secondary to assault in adults and falls in children. Facial fractures

n in children are suspicious of non-accidental injury (NAI).

● Emphasis on diagnosis rather than specific treatment in accident and

c emergency (A&E).Functional loss and disability can be significant following

facial trauma.

● Consider cervical spine injury in all.

● Classified according to site – maxillary (sub-classified by Le Fort), malar,

infra-orbital, mandibular and nasal.

Clinical features

Maxillary

● Commonly associated with massive facial trauma and other organ

trauma. Presents with massive soft tissue swelling, mid-face mobility and

malocclusion. Cerebrospinal fluid (CSF) rhinorrhoea may occur secondary

223 | P a g e
to dural tears.

● Significant epistaxis can occur compromising both airway and circulation

and can require intervention.

Le Fort classification

Le Fort I involves tooth bearing

maxilla.

Le Fort III

Le Fort II involves maxilla, nasal

bones and medial

aspects of orbits.

Le Fort III involves maxilla, nasal

bones, vomer, ethmoids

and small bones of skull

base. Le Fort I Le Fort II

The face is separated

from the skull base.

Malar

● The zygoma may fracture in isolation or more commonly extend

through to the infra-orbital foramen with disruption of the zygomatico-

temporal and zygomatico-frontal sutures (tripod fracture).

● Look for cheek flattening, a palpable step, infra-orbital nerve damage and

224 | P a g e
diplopia.

● Intra-oral examination may reveal bony irregularity above and behind

6 the upper molars.

225 | P a g e
226 | P a g e
1 Facial fractures (continued)

H Infra-orbital (blow out) fracture

d ● Enophthalmos and orbital emphysema may be evident. Diplopia may occur

n secondary to ocular muscle (or orbital fat) entrapment.

F Globe injuries not uncommon, e.g. retinal detachment.

e Mandibular

● Pain and tenderness and a palpable step may be evident. Malocclusion

common. May fracture distant to point of impact.

● Lip numbness suggests inferior dental nerve damage.

Radiological features

Maxillary

● Request facial views. Fractures can be difficult to see.

● CT scan often of benefit to delineate number and extent of fractures.

227 | P a g e
Helpful in planning surgery and subsequent follow-up.

● Fractures rarely occur in their pure form and are often asymmetrical.

Malar

● Facial views supplemented by submentovertex (SMV) views to visualise

the zygomatic arches.

Infra-orbital

● Facial views may show a ‘teardrop’, representing soft tissue, herniating into

the maxillary sinus. Complete opacification of the maxillary sinus occurs

secondary to haemorrhage and oedema and, if unilateral, should be

considered to be a secondary fracture until proven otherwise.

● Depression of the orbital floor may be visible.

● Air within the soft tissues may be seen with orbital emphysema.

Mandibular

● Confirm with a panoramic view (orthopantomogram, OPG) with

combined antero-posterior (AP) views.

● Condylar views may show a fracture or temporomandibular joint (TMJ)

dislocation. Coronal CT is of benefit in difficult to visualise condylar

fractures.

228 | P a g e
Management

General

● ABCs.

● Make the diagnosis from clinical and radiological examination.

orang sabar rejeki lebar

229 | P a g e
230 | P a g e
1 Facial fractures (continued)

H ● Discuss with ear, nose, throat (ENT) surgeons.

● Antibiotics recommended for open fractures.

d Special considerations

● Maxillary:Airway compromise is common and requires careful mainten-

e ance. Epistaxis may require nasal packing/tampon. Operative interven-

tion for epistaxis is uncommon.

● Zygomatic: Depressed zygomatic fractures often require elevation.

● Infra-orbital: Spontaneous resolution of signs may occur and thus delayed

repair is often performed. In a patient with orbital emphysema with a

sudden decrease in visual acuity consider vascular compromise secondary

to raised orbital pressure.This is a surgical emergency.

● Mandibular: In most cases these require admission for occlusive or

mandibular wiring.

231 | P a g e
232 | P a g e
TRAUMA THORAX

PEMBAHASAN

VII. BATASAN

Trauma thoraks merupakan suatu keadaan dimana terjadi rudapaksa pada daerah thoraks baik
oleh karena trauma benda tajam maupun trauma benda tumpul.

VIII. ANATOMI

Rongga thoraks dilindungi oleh:

a. Dari anterior
1. Os. Sternum
2. Os. Costae
3. M. Pectoralis mayor
4. M. Pectoralis minor
5. M. Obligus Externus
6. M. Serratus anterior
7. M. Intercostalis
8. M. Transversus Thoracis

b. Dari lateral
1. Os. Scapula sisi anterior
2. M. Intercostalis

233 | P a g e
c. Dari posterior
1. Os.Scapula
2. Col. Vertebralis
3. M. Trapezius
4. M. Latissimus dorsi
5. M. Rhamboideus
6. M. Intercostalis
7. M. Serratus anterior

234 | P a g e
235 | P a g e
236 | P a g e
Foto Thorax Normal, Proyeksi Lateral

IX. ETIOLOGI

Trauma thoraks dapat terjadi oleh karena:

- trauma tumpul akibat kecelakaan lalu lintas


- trauma tembus akibat peluru, tombak, anak panah, atau trauma benda tajam yang lain.

Trauma tersebut dapat mengenai:

237 | P a g e
- Struktur tulang
- Struktur dalam, antara lain:
- Paru

- Jantung

- Pembuluh Darah

- Organ-organ disekitar nya.

Akibat dari trauma thoraks dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga dapat
menyebabkan:

- kegagalan ventilasi gas atau difusi


- kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik sehingga akan berakibat terjadinya
gangguan perfasi jaringan.

X. FISIOLOGI PERNAFASAN

Pada rongga thorax,gerakan inspirasi terjadi karena kerja aktif dari kontraksi otot-otot
interkostalis,menyebabkan rongga thorax mengembang, dan tekanannya menyebabkan
mengalirnya udara melalui saluran nafas atas ke dalam paru.

Adapun fungsi dari pernafasan:

e. Ventilasi:

238 | P a g e
Memasukkan/mengeluarkan udara melalui jalan nafas ke dalam/dari paru dengan cara
inspirasi dan ekspurasi.

f. Distribusi:
Menyebarkan/ mengalirkan udara tersebut secara merata ke seluruh sistem jalan nafas
sampai pada alveoli.

g. Difusi:
Zat asam (oksigen) dan zat asam arang (karbondioksida) bertukar melalui membran
semipermeabel pada dinding alveoli (pertukaran gas).

h. perfusi:
Daerah arteriel di kapiler-kapiler meratakan pembagian oksigen dan darah sehingga cukup
tersedia untuk digantikan isinya dengan muatan oksigen yang cukup untuk menghidupi
jaringan tubuh.

Setiap kegagalan atau hambatan dari rantai mekanisme di atas akan menimbulkan gangguan pada fungsi
pernafasan, yang berarti berakibat kurangnya oksigenasi di dalam jaringan tubuh.

XI. GEJALA KLINIS


1. Sesak nafas
2. Nyeri
3. Jejas
4. Perdarahan

239 | P a g e
XII. TRAUMA THORAX DAPAT MENYEBABKAN :

K. PNEUMOTHORAX

Yaitu terdapat nya udara pada rongga intrapleura yang terjadi akibat trauma tumpul atau
tajam. Bila karena suatu trauma, dinding thorax terbuka maka, tekanan intrapleura akan
menyedot udara masuk dan baru akan collaps.

Dan selama luka dinding thorax ini terbuka, dimana udara bisa keluar masuk disebut OPEN
PNEUMOTHORAX.

Bila luka pada dinding thorax ini terbuka, sehingga udara bisa di sedot masuk tapi
keluarnya terhambat karena mekanisme luka, maka secara perlahan-lahan akan timbul
tekanan yang semakin lama semakin hebat dan menekan mediastinum ke arah kontra
lateral. Hal ini disebut TENSION PNEUMOTHORAX.

Bila yang robek hanya pleura viseralis dan menyebabkan patah tulang costa, maka udara
pernafasan akan masuk ke rongga intrapleura. Penekanan yang keras pada dinding thorax
bisa mengakibatkan perdarahan paru ada atau tanpa adanya fraktur costa. Karena dinding
thorax tertutup maka disebut CLOSED PNEUMOTHORAX.

 Gejala Klinis:
1. Sesak nafas, pernafasan asimetris
2. Nyeri dada
3. Ada jejas/ trauma
4. Emphysema cutis.

240 | P a g e
241 | P a g e
Keterangan :

4. Udara pada jaringan subcutan (emfisema subcutis) yang menyertai luka karena peluru
(panah lebar)
5. Perdarahan paru traumatik karena peluru
6. Peluru bersarang pada bagian posterior dinding thorax

242 | P a g e
243 | P a g e
Tension Pneumothorax dengan fraktur costae

Closed Pneumothorax

L. HEMATOTHORAX

Bila terdapat penumpukan darah dalam rongga thorax karena robeknya pembuluh darah
dalam cavum thorax,maka darah ini akan mengisi paru.paru akan terdesak dan
ekspansinya terhambat.

 Gejala klinis:
6. Nyeri dada

244 | P a g e
7. Dispneu atau sesak nafas
8. Batuk
9. Dapat terjadi emfisema cutis
10. Pucat, anemi, syok

Hemato-Pneumothorax

M. FLAIL CHEST

245 | P a g e
Yaitu bergeraknya suatu segmen rongga dada berlawanan dengan gerakan nafas. Gerakan
paradoksal karena floating dari dinding thorax, karena segmen tersebut tidak lagi
mempunyai continuitas dengan keseluruhan dinding thorax. Hal ini terjadi karena fraktur
tulang costa multiple.

Yang lebih penting adalah jumlah cedera pada struktur di bawahnya, khususnya paru-paru
dan jantung. Insufisiensi pernapasan pada flail chest dapat mengakibatkan contusio
pulmonum dan ventilasi perfusi mismatch serta cacat struktural sebenarnya ke dinding
thorax.

 Gejala klinis:
5. Gangguan pernafasan
6. Dinding thorax asimetris
7. Nyeri dada
8. Pergerakan dada terhambat pada saat bernafas.

Flail Chest

246 | P a g e
Multiple left rib fractures, pulmonary contusion, and hemothorax after a motor vehicle accident

N. FRAKTUR COSTAE

Hilangnya kontinuitas jaringan tulang costae karena ruda paksa atau penyakit. Bisa
mengakibatkan nyeri dada akibat gerakan dari thorax.

Costae bagian atas (1-3) telah terlindungi dengan baik dan apabila terjadi fraktur
akibatnya sangat besar. Biasanya berhubungan dengan kepala, leher, spinal cord dan
paru-paru. Costae bagian tengah (5-9) merupakan fraktur yang tersering dan selalu
dihubungkan dengan pneumothorax, kontusio pulmonum atau flail chest.

 Klasifikasi
Menurut jumlah costa yang mengalami fraktur dapat dibedakan:

3. Fraktur simple
4. Fraktur multiple

Menurut jumlah fraktur pada setiap costa dapat:

4. Fraktur segmental
5. Fraktur simple

247 | P a g e
6. Fraktur comminutif

Menurut letak fraktur dibedakan :

4. Superior (costa 1-3 )


5. Median (costa 4-9)
6. Inferior (costa 10-12 ).

Menurut posisi :

4. Anterior
5. Lateral
6. Posterior.

Ada beberapa kasus timbul fraktur campuran, seperti pada kasus Flail chest, dimana pada
keadaan ini terdapat fraktur segmental, 2 costa atau lebih yang letaknya berurutan.

Biasanya tidak perlu dibuat foto thorax bila dicurigai ada fraktur costa, kecuali terdapat
indikasi klinis akan adanya kerusakan pada paru atau pleura. Untuk melihat fraktur costa,
biasanya di perlukan foto oblik.

 Gejala Klinis
1. Deformitas
2. Nyeri tekan
3. Nyeri tekan sumbu
4. Krepitasi fragmen tulang yang patah
5. Gerakan dada asimetris

248 | P a g e
Fraktur pada ujung anterior costa kiri

O. FRAKTUR STERNUM

Fraktur sternum merupakan jejas yang jarang, biasanya terjadi setelah trauma
langsung, misalnya dari kecelakaan berkendara. Ini paling sering terjadi di dekat
sambungan corpus sternum dengan manubrium, terkadang fraktur sternum pada
trauma biasanya disertai fraktur dari corpus vertebral thoracalis. Dan ini berakibat
nyeri berat dan mengganggu pernafasan.

249 | P a g e
 Gejala Klinis
3. Nyeri dada
4. Dyspnea

Fraktur Sternum Complete, Proyeksi Lateral

250 | P a g e
P. TAMPONADE JANTUNG

Suatu keadaan dimana terjadi kompresi pada jantung akibat efusi cairan kedalam
pericardial atau akibat pengumpulan darah di dalam pericardial menghasilkan pengisian
ventrikel berkurang dan kemudian terjadi kompromi hemodinamik. Temponade jantung
memerlukan tindakan penyelamatan segera. Keseluruhan risiko kematian tergantung
pada kecepatan diagnosis, perawatan yang diberikan, dan penyebab yang mendasari
terjadinya temponade jantung tersebut.

Ada 3 fase perubahan hemodinamik yang terjadi pada temponade jantung:

 Tahap I: akumulasi cairan perikardial menyebabkan peningkatan kekakuan


ventrikel, memerlukan tekanan pengisian yang lebih tinggi. Selama fase ini,
tekanan mengisi ventrikel kiri dan kanan lebih tinggi daripada tekanan
intrapericardial.
 Tahap II: Dengan akumulasi cairan lebih lanjut, peningkatan tekanan perikardial
atas tekanan pengisian ventrikel, mengakibatkan cardiac output berkurang.
 Tahap III: Penurunan lebih lanjut dalam output jantung terjadi, yang disebabkan
imbang dari ventrikel perikardial dan kiri (LV) mengisi tekanan.

 Gejala Klinis
5. Trias Beck’s :
4. Hipotensi
5. Distended Vena leher
6. Suara Jantung melemah ( Muffled )
6. Dizziness ( pusing )
7. Palpitasi
8. Dingin, kulit lembab dan nadi lemah karena pasien mengalami
hipotensi

251 | P a g e
This anteroposterior-view chest radiograph shows a massive bottle-shaped
heart and conspicuous absence of pulmonary vascular congestion

252 | P a g e
Q. CONTUSIO PULMONUM

Suatu keadaan dimana terdapat kerusakan jaringan paru yang menyebabkan perdarahan
dari jaringan paru tersebut. Umumnya terjadi akibat trauma tumpul.

Pada pemeriksaan fisik sering tidak ditemukan kelainan. Mungkin penderita batuk darah
sesaat. Pada pemeriksaan radiologik tampak bayangan bercak di paru. Bila penderita
terus-menerus batuk darah, harus dicurigai adanya cedera pembuluh darah besar sampau
dibuktikan ada sebab lain.

 Gejala klinis
5. Sesak nafas
6. Suara nafas menurun
7. Batuk darah sebentar
8. Ada trauma

253 | P a g e
Left pulmonary contusion

R. RUPTUR DIAFRAGMA

Ruptur diafragma traumatik dapat terjadi karena cedera tajam atau cedera tumpul.
Hernia karena trauma tumpul kebanyakan terjadi di baguan tandineus kiri karena di
sebelah kanan dilindungi oleh hati. Visera seperti lambung dapat masuk ke dalam
thorax segera setelah trauma, atau berangsur-angsur dalam waktu berbulan-bulan.

Pada hernia diafragma dapat terjadi penyulit berupa perdarahan atau obstruksi. Bila
hernia besar, mungkin terjadi insufisiensi kardiovaskuler yang dapat mengancam
jiwa. Komplikasi yang paling membahayakan ialah strangulasi isi hernia.

 Gejala klinis

254 | P a g e
Hernia karena cedera tumpul mungkin tidak menimbulkan gejala atau tanda.
Bergantung pada visera yang masuk ke dalam thorax, dapat timbul gejala
atau tanda obstruksi. Foto thorax menunjukkan massa tanpa udara jika
omentum yang masuk dan massa yang berisi udara jika lambung atau usus
yang masuk.

Pemasangan sonde lambung dapat digunakan untuk memastikan diagnosis


sebab sonde nampak membelok lembali ke atas diafragma. Foto zat kontras
kadang di perlukan umpamanya jika colon tersangkut di dalamnya.

Diagnosis banding adalah atelektasis paru, eksudat pleura atau tumor di


pleura.

Tampak gambaran lambung masuk ke thorax pada Ruptur Diafragma

255 | P a g e
S. RUPTUR ESOFAGUS

Lebih sering terjadi pada trauma tajam dibanding trauma tumpul toraks, dan lokasi
ruptur oleh karena trauma tumpul, paling sering pada 1/3 bagian bawah esofagus.
Akibat ruptur esofagus akan terjadi kontaminasi rongga mediastinum oleh cairan
saluran pencernaan bagian atas sehingga terjadi mediastinitis yang akan
memperburuk keadaan penderitanya. Pada foto toraks akan terlihat adanya
pneumomediastinum dan hidrotoraks, yang paling sering adalah hidrotoraks kiri.

 Gejala Klinis
4. Nyeri dada akut
5. Keluar keringat dingin
256 | P a g e
6. Disphagia

X-Ray Film of the Chest Taken with a Portable Machine, Demonstrating Leakage of Contrast
Medium into the Mediastinum during Esophagography

Nonenhanced CT scan through the mid esophagus in a patient with esophageal perforation
after upper GI endoscopy shows leakage of oral contrast material (blue arrow) and air in the
posterior mediastinum (red arrow).

257 | P a g e
Line of Esophageal Rupture (Arrow), Extending from the Open Left Main Stem
Bronchus Above to the Pull Suture.

T. RUPTUR AORTA
Ruptur aorta sering menyebabkan kematian penderitanya, dan lokasi ruptura
tersering adalah di bagian proksimal arteri subklavia kiri dekat ligamentum
arteriosum. Hanya kira-kira 15% dari penderita trauma toraks dengan ruptura aorta
ini dapat mencapai rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Kecurigaan adanya
ruptur aorta dari foto toraks bila didapati:

7. mediastinum yang melebar


8. fraktur iga 1 dan 2
9. trakea terdorong ke kanan
10. gambaran aorta kabu
11. penekanan bronkus utama kiri
12. gambaran pipa lambung (NGT) pada esofagus yang terdorong ke
kanan

258 | P a g e
Ruptur Aorta. Chest radiograph shows widening of the mediastinal contour
and deformity and blurred margins of the superior mediastinum.

259 | P a g e
Ruptur Aorta. CT scan shows aortic disruption at the aortic isthmus. Increased
attenuation is present in the mediastinum; this indicates hematoma and a left pleural
effusion. The linear lucency across the aortic lumen may be an artifact. The
pseudoaneurysm is not seen on this image.

260 | P a g e
Rupture Aorta. Left anterior oblique (45°) digital subtraction angiogram shows an anteromedial
isthmus rupture. Image clearly demonstrates the linear defect of an intimal flap, which confirms
the diagnosis of an aortic rupture.

261 | P a g e
TRAUMA ABDOMEN

262 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai