Anda di halaman 1dari 204

MYIASIS HIDUNG

Muhammad Reza, Delfitri Munir

Pendahuluan
Gambaran klinis myiasis pada dasarnya sudah dikenal sejak zaman peradaban
kuno. Mitologi Hindu mendeskripsikan myiasis sebagai hukuman Dewa terhadap
para pendosa akibat kemurkaan orang suci terhadap mereka. Pada tahun 1840,
Reverend Frederick William Hope, seorang ahli entomologi kebangsaan Inggris
memperkenalkan terminologi myiasis untuk pertama kalinya, yang diadopsi dari
bahasa Yunani, yakni myia yang bermakna lalat, dan asis yang berarti
penyakit. Hope turut melaporkan beberapa kasus myiasis di Jamaika yang
disebabkan oleh larva/belatung (maggot) yang tidak diketahui jenisnya. Salah
satu dari kasus tersebut mengakibatkan kematian terhadap penderita. 1,2,4
Dahulu, penyakit ini disebut sebagai Scolechiasis, merupakan infestasi
larva semua jenis serangga terhadap tubuh manusia secara umum. Istilah ini
dinyatakan oleh William Kirby dan William Spence pada tahun 1828 di dalam
buku mereka yang berjudul An Introduction to Entomology: Volume 1. Namun,
Hope membatasi istilah tersebut dengan hubungannya terhadap larva ordo
Diptera sebagai penyebab dan menggunakan istilah baru berupa myiasis. Walter
Scott Patton kemudian mencoba memperluas penggunaan istilah myiasis
terhadap infestasi semua stadium ordo Diptera, meliputi stadium telur, larva,
pupa dan dewasa yang ditemukan dalam tubuh manusia. Oleh karena stadium
aktif yang berhubungan dengan myiasis hanyalah stadium larva, perluasan
penggunaan istilah tersebut pun ditentang dan tidak digunakan. 1,3-7
Walaupun terminologi myiasis pertama kali digunakan pada tahun 1840,
kondisi serupa telah dikenal sejak dulu. Ambroise Par, seorang ahli bedah
kerajaan yang mengabdi kepada Raja Henry II, Francis II, Henry III dan Charles
IX di Perancis, adalah orang pertama yang menemukan larva lalat yang
bermanifestasi pada luka terbuka di daerah luar tubuh selama masa perang St.
Quentin pada tahun 1557. Kemudian Gabriel Soares dSouza, seorang
penjelajah asal Portugis pada tahun 1587, turut melaporkan satu kasus myiasis
pada luka terbuka di kulit yang dialami oleh salah satu anggota tim jelajahnya.
Pada tahun 1829, Baron Jean Dominique Larrey, seorang ahli bedah
kepercayaan Napoleon Bonaparte, juga menemukan infestasi larva lalat pada
1
luka terbuka di kulit dan ia mengemukakan teori bahwa larva lalat jenis tertentu
ternyata dapat membantu mencegah perluasan infeksi luka sekaligus
mempercepat proses penyembuhan luka tersebut.2,6-11
Pada tahun 1965, seorang ahli entomologi kebangsaan Jerman bernama
Fritz Konrad Ernst Zumpt, kemudian mendeskripsikan myiasis sebagai infestasi
larva lalat ordo Diptera terhadap manusia dan hewan vertebrata hidup, yang
terjadi pada kurun waktu tertentu, memakan jaringan mati atau jaringan hidup
dari inang atau penjamu (host), cairan tubuh atau makanan yang dicerna.
Pengertian myiasis yang diungkapkan olehnya inilah yang sampai sekarang
diakui dan digunakan oleh dunia medis. Dipercayai bahwa lalat meletakkan
telurnya saat terbang di atas kulit, luka atau pun di dalam lubang alamiah tubuh.
Myiasis dapat mengenai tiga lokasi pada tubuh manusia, yaitu jaringan kulit,
rongga tubuh, dan organ-organ tubuh. Infestasi myiasis pada tubuh akan
mengakibatkan berbagai gejala tergantung pada daerah lokasi yang terlibat.5,7-13
Kasus myiasis hidung untuk pertama kalinya dilaporkan oleh James
Stecle pada tahun 1897. Ia menyatakan teori bahwa lalat yang hinggap pada
rongga hidung dapat menyebabkan myiasis hidung. Pada tahun 1919, Aldo
Castellani dan Albert John Chalmers juga melaporkan kasus myiasis hidung di
India, yang disebut sebagai Peenash (berasal dari bahasa Sanskerta) dan
disebabkan oleh larva lalat Chrysomia.14
Myiasis hidung ialah terdapatnya infestasi larva dari lalat ordo Diptera
pada hidung manusia. Penyakit ini merupakan kasus yang jarang ditemukan dan
tidak banyak dipublikasikan di Indonesia. Namun, penyakit ini perlu mendapat
perhatian karena dampak yang ditimbulkan bisa berakibat fatal dan
menyebabkan kematian jika tidak ditangani secara komprehensif. Penyakit ini
sering ditemukan pada negara-negara beriklim panas dan kering di daerah tropis
dan subtropis dan masyarakat golongan sosial ekonomi rendah yang memiliki
sanitasi yang buruk. Di antara lalat penyebab myiasis hidung di dunia, lalat
Chrysomya bezziana mempunyai nilai medis yang penting karena kerap
ditemukan di Indonesia. Dari beberapa kasus yang pernah dilaporkan, masih
belum ada keseragaman dalam mengelola kasus myiasis. Ada yang dengan
manipulasi ringan tanpa menggunakan zat-zat yang berbahaya, tetapi juga ada
yang menggunakan zat-zat yang cukup berbahaya seperti insektisida, bensin,
bubuk kapur barus dan sebagainya.1,3,8,15,16,20
2
Anatomi Hidung17-19
Rongga hidung merupakan suatu terowongan dari depan ke belakang berbentuk
segitiga dengan bagian sempit di atas dan lebar di bawah. Rongga hidung
dipisahkan oleh septum di bagian tengah menjadi rongga hidung kanan dan kiri.
Lubang bagian depan disebut nares anterior dan lubang bagian belakang
disebut nares posterior atau koana yang menghubungkannya dengan
nasofaring.
A. Hidung luar
Hidung luar berbentuk piramid dimana kerangkanya dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot
kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Bagian puncak hidung disebut sebagai apeks. Bagian sedikit ke atas dan
belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut
sampai ke pangkal hidung dan menyatu dengan dahi. Yang disebut sebagai
kolumela membranosa adalah bagian yang terletak di antara kedua nares,
mulai dari apeks ke arah posterior sampai bagian tengah bibir dan terletak di
sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan antara kolumela
dengan bibir atas (sebelah inferior) dikenal sebagai dasar hidung. Bagian
latero-superior dari kolumela berbatasan dengan ala nasi. Bagian hidung
luar yang terletak di sebelah samping kolumela adalah nares anterior atau
nostril (lubang hidung) kanan dan kiri. Bagian bibir atas membentuk
cekungan dangkal memanjang dari atas ke bawah yang disebut dengan
filtrum (Gambar 1).
Kerangka tulang terdiri dari:
1. Sepasang os nasalis (tulang hidung)
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu:
1. Sepasang kartilago nasalis lateral superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateral inferior (kartilago ala
mayor)
3. Beberapa pasang kartilago ala minor
4. Tepi anterior kartilago septum nasi
3
Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok, yaitu:
1. Kelompok dilator
* M. Dilator nares (anterior dan posterior)
* M. Proserus
* Kaput angular M. Kuadratus labii superior
2. Kelompok konstriktor
* M. Nasalis
* M. Depresor septi

Gambar 1. Anatomi hidung luar

B. Hidung dalam
Hidung bagian dalam dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kiri yang
dipisahkan oleh septum nasi. Setiap kavum nasi tersebut dihubungkan
dengan dunia luar melalui nares anterior dan dihubungkan dengan
nasofaring melalui nares posterior (koana).

4
Hidung bagian dalam terdiri dari:
a. Vestibulum
Merupakan bagian dari rongga hidung yang letaknya sesuai dengan ala
nasi. Vestibulum merupakan bagian anterior dan inferior dari kavum nasi
yang terletak tepat di belakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar keringat, kelenjar sebasea, folikel rambut dan
rambut-rambut yang disebut vibrissae
b. Septum nasi
Dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan, membagi kavum nasi
menjadi dua ruang, yakni kavum nasi kanan dan kiri (Gambar 2)
Bagian tulang terdiri dari:
Lamina perpendikularis os etmoid
Os. Vomer
Krista nasalis os maksila
Krista nasalis os palatina
Bagian tulang rawan terdiri dari:
Kartilago septum (lamina kuadriangularis)
Kolumela

Gambar 2. Anatomi septum nasi

5
c. Kavum nasi
1. Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horizontal os palatum
2. Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian
besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh
filamen-filamen nervus olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan
permukaan kranial konka superior
3. Dinding lateral
Dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina
perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus media
4. Konka
Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
ialah konka media dan konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid
5. Meatus nasi
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak di antara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media
terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung dan
merupakan celah yang lebih luas dibandingkan meatus superior. Pada
meatus media terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Infundibulum merupakan celah
yang terletak di balik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung pada dinding lateral. Hiatus semilunaris merupakan
6
suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan
meatus media dengan infundibulum. Prosesus unsinatus merupakan
tonjolan berbentuk laci yang disusun oleh dinding inferior dan medial
infundibulum. Pada konka mediajuga terdapat muara sinus maksila,
sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang diantara konka superior dan konka media, terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid (Gambar 3)
6. Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa selaput lendir yang secara histologis
dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratorius) dan
mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Di bagian paling anterior vestibulum nasi
terdapat epitel kubik dan gepeng berlapis (stratified cuboidal and squamous
epithelium). Di atas bidang konka superior terdapat epitel olfaktorius dan di
bawahnya epitel respiratorius. Mukosa pada regio respiratorius bervariasi sesuai
dengan lokasinya yang terbuka atau terlindung. Mukosa respiratorius yang khas
didapati pada bagian yang terlindung, yaitu epitel torak berlapis semu
(pseudostratified columnar epithelium) yang mempunyai 200 silia tiap selnya dan
terdapat sel-sel goblet di dalamnya. Dalam keadaan normal mukosa berwarna
merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir pada
permukaannya. Pada regio olfaktorius terdiri dari tiga macam sel, yaitu sel
penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Di bawah epitel terdapat tunika propria
yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan
limfoid.

7
Gambar 3. Anatomi hidung dalam

Pendarahan Hidung
Pendarahan pada hidung berasal dari arteri karotis interna dan arteri karotis
eksterna yang mendarahi septum dan dinding lateral hidung (Gambar 4).
1. Pendarahan arteri karotis interna
Arteri oftalmika yang berasal dari arteri karotis interna bercabang menjadi
arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior masuk ke kavum
nasi. Arteri etmoidalis anterior mendarahi septum bagian superior anterior
dan dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior mendarahi septum
bagian superior posterior dan dinding lateral hidung.
2. Pendarahan arteri karotis eksterna
Arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna
kemudian bercabang menjadi arteri sfenopalatina dan arteri palatina
mayor. Arteri sfenopalatina masuk ke dalam rongga hidung bagian
belakang ujung posterior konka media melalui foramen sfenopalatina. Di
dalam rongga hidung arteri sfenopalatina bercabang menjadi arteri
nasalis posterolateral yang menuju dinding lateral hidung dan arteri
septum posterior yang menyebar pada septum nasi. Arteri karotis

8
eksterna juga bercabang menjadi arteri fasialis lalu menjadi arteri labialis
superior dan memperdarahi bagian depan hidung.

Pada bagian anterior septum tepat di ujung postero-superior vestibulum


terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid
anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut plexus
Kiesselbach (Littles Area) yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh
trauma sehingga sering menjadi sumber perdarahan hidung. Pada bagian
bawah konka inferior terdapat anastomosis arteri sfenopalatina dan arteri
faringeal posterior yang disebut plexus Woodruff (Woodruffs Area). Daerah ini
sering menyebabkan epistaksis posterior (Gambar 5).
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus
kavernosus.

Representasi skematis anatomi arterial normal region sinonasal. ACA mengindikasikan anterior cerebral
artery; AEA, anterior ethmoidal artery; APA, ascending palatine artery; APhA, ascendeing pharyngeal artery;
Gambar
DPA, sescending palatine artery; 4. Sistem
ECA, external carotid perdarahan
artery; FA, facialhidung
artery; ICA, internal carotid artery;
ILT, inferior lateral trunk; IMA, internal maxillary artery; OFA, orbotofrontal artery; OphA, ophthalmic
artery; PEA, posterior ethmoidal artery; SLA, superior labial artery; SPA spheno palatine artery

9
Gambar 5. Perdarahan septum nasi dan perdarahan dinding lateral hidung

Persarafan Hidung
Bagian antero-superior rongga hidung dan septum mendapat persarafan
sensoris dari nervus etmoidalis anterior sedangkan bagian postero-superior
rongga hidung dan septum oleh nervus etmoidalis posterior. Keduanya
merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus,
yang berasal dari nervus maksilaris melalui ganglion sfenopalatina. Nervus
nasopalatina mempersarafi septum bagian tulang, memasuki rongga hidung
melalui foramen sfenopalatina berjalan ke septum bagian superior, selanjutnya
ke bagian antero-inferior dan mencapai palatum durum melalui foramen insisivus
(Gambar 6).
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka
media. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari nervus maksilaris,
parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor yang berjalan pada kanalis
nervus pterigoid dan mencapai ganglion sfenopalatina sebelum sampai ke
kavum nasi, sedangkan serabut simpatis bersumber dari segmen kedua atas
torakal pada tulang belakang, melalui ganglion servikalis superior, berjalan pada
10
nervus petrosus profunda dan bergabung dengan serabut parasimpatis pada
nervus petrosus superfisialis mayor untuk membentuk kanalis nervus
pterigoideus (nervus vidianus). Serabut saraf ini masuk ke kavum nasi tanpa
melalui ganglion sfenopalatina.
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian menyebar di mukosa olfaktorius yang melapisi
bagian atas konka superior dan bagian septum yang berhadapan (daerah
sepertiga atas hidung).

(A) Lateral wall. Sphenopaltine ganglion situated at the posterior end of middle turbinate supplies most of
Gambar 6. Sistem persarafan hidung
posterior teo-thirds of nose. (B) nerves on the medial wall

Fisiologi Hidung
Fungsi hidung antara lain:
1. Jalan nafas
Hidung merupakan saluran udara yang kokoh menuju traktus respiratorius
bagian bawah. Udara masuk melalui nares anterior, pada ekspirasi udara
masuk melalui koana.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara yang
dilakukan oleh palut lendir (mucous blanket) dan mengatur suhu yang
dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel serta
permukaan konka dan septum yang luas.
11
3. Penyaring udara
Untuk membersihkan udara inspirasi dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada
vestibulum nasi, silia, palut lendir dan lisozim.
4. Indra penghidu
Mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum.
5. Resonansi suara dan proses bicara
6. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan, misalnya iritasi pada mukosa
hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti.

Definisi
Myiasis berasal dari bahasa Yunani, yakni myia yang bermakna lalat, dan
asis yang berarti penyakit. Secara harfiah, myiasis merupakan infestasi larva
lalat ordo Diptera terhadap manusia dan hewan vertebrata hidup, yang terjadi
pada kurun waktu tertentu, memakan jaringan mati atau jaringan hidup dari
inang atau penjamu (host), cairan tubuh atau makanan yang dicerna. Myiasis
hidung didefinisikan sebagai infestasi larva lalat ordo Diptera pada hidung
manusia.1,3-7

Klasifikasi20-25
Terdapat dua sistem klasifikasi utama myiasis, yakni klasifikasi anatomis dan
ekologis. Klasifikasi anatomis pertama kali diperkenalkan oleh Fred Corry
Bishopp, yang bermanfaat sebagai diagnosis praktis untuk mengklasifikasikan
manifestasi myiasis terhadap lokasi anatomis pada inang atau penjamu (host).

A. Sistem klasifikasi anatomis


Sistem klasifikasi anatomis dibuat berdasarkan klasifikasi Bishopp, yang
kemudian dimodifikasi oleh Maurice Theodore James dan Fritz Konrad Ernst
Zumpt. Masing-masing penulis menggunakan istilah yang berbeda dengan
makna yang sama, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Untuk menghindari
kebingungan, dunia medis menggunakan gabungan klasifikasi yang berbasis
pada ketiga sistem klasifikasi Bishopp, James, dan Zumpt tersebut, yaitu:
12
Sanguinivora atau penghisap darah (bloodsucking)
Myiasis kutan (cutaneous myiasis), myiasis furunkel (furuncular
myiasis) dan myiasis migrasi (migratory myiasis)
Myiasis luka/traumatik (wound/traumatic myiasis)
Myiasis kavitas/rongga tubuh (cavitary myiasis), yang mana
terminologi manifestasi dinamakan berdasarkan organ yang terlibat,
misalnya, myiasis otak (cerebral myiasis), myiasis telinga (aural
myiasis), myiasis hidung (nasal myiasis), dan myiasis mata
(ophthalmomyiasis).

Tabel 1. Klasifikasi anatomis myiasis

B. Sistem klasifikasi ekologis


Sistem klasifikasi ekologis (Tabel 2) dibuat berdasarkan cara hidup
parasit terhadap tubuh inang atau penjamu (host). Dalam sistem klasifikasi
ekologis, Walter Scott Patton memaparkan bahwa terdapat dua kelompok utama
parasit penyebab myiasis, yakni parasit spesifik (specific parasite), yang harus

13
berkembang biak pada jaringan hidup inang atau penjamu (host), dan parasit
semi-spesifik (semi-specific parasite), yang biasanya berkembang biak pada
bahan organik yang membusuk, seperti bangkai, kotoran dan tanaman mati,
tetapi juga dapat menyimpan telur atau larva pada jaringan hidup inang atau
penjamu (host). Fritz Konrad Ernst Zumpt kemudian menyebutkan persamaan
istilah parasit spesifik sebagai parasit obligat (obligatory parasite) dan parasit
semi-spesifik sebagai parasit fakultatif (facultative parasite). Parasit fakultatif
selanjutnya dapat dibedakan bergantung pada kemampuan parasit tersebut
menyebabkan myiasis secara langsung (primer) atau menyebabkan myiasis
setelah terlebih dahulu diserang oleh spesies lain (sekunder dan tersier).
Selain itu, Walter Scott Patton menambahkan kelompok ketiga parasit
penyebab myiasis, yakni accidental myiasis yang terjadi secara tidak disengaja
saat telur atau larva parasit tertelan oleh inang atau penjamu (host). Fritz Konrad
Ernst Zumpt kemudian menyebutnya sebagai pseudomyiasis.

Tabel 2. Klasifikasi ekologis myiasis

14
Taksonomi Ordo Diptera4,9-13,17,23
Ordo Diptera adalah ordo serangga terbesar yang dikenal sebagai lalat sejati.
Lalat ordo Diptera banyak ditemukan di dunia, kurang lebih terdiri dari 150.000
spesies dalam 10.000 genera dan 150 famili. Sebagian besar ordo ini
merupakan serangga vektor penyebab penyakit pada manusia.
Ordo Diptera dibagi menjadi dua subordo, yaitu Nematocera dan
Brachycera. Sebagian besar Nematocera terdiri dari famili lalat penghisap darah
yang berperan sebagai vektor berbagai penyakit akibat virus, protozoa, dan
cacing. Subordo ini jarang menyebabkan accidental myiasis. Subordo
Brachycera terdiri dari infraordo Muscomorpha atau Cyclorrhapha (istilah yang
digunakan dalam klasifikasi non-filogenetik) yang berisi semua spesies
penyebab myiasis spesifik dan sebagian besar spesies penyebab myiasis semi-
spesifik, terutama spesies dalam Calyptratae (Gambar 7). Jenis lalat yang kerap
ditemui dalam berbagai kasus myiasis pada manusia yang utama berasal dari
empat famili, yakni Calliphoridae, Sarcophagidae, Muscidae, dan Oestridae
(Gambar 8).

Gambar 7. Taksonomi ordo Diptera

15
Gambar 8. Empat famili dari ordo Diptera penyebab myiasis pada manusia

Lalat ordo Diptera (blow fly, carrion fly, bluebottles fly, greenbottles fly, cluster
fly) disebut sebagai lalat sejati, berasal dari bahasa Yunani, di yang bermakna
dua dan ptera yang berarti sayap. Perbedaan khas yang mencolok untuk
membedakan lalat ordo Diptera terhadap ordo lainnya adalah sepasang sayap
sejati dan sepasang halter berbentuk tombol (berasal dari sayap belakang yang
rudimenter) pada bagian mesotorak yang berfungsi sebagai giroskopi guna
menjaga keseimbangan saat terbang (Gambar 9).

16
Gambar 9. Morfologi lalat ordo Diptera

Lalat ordo Diptera merupakan serangga holometabola yang siklus hidupnya


memiliki metamorfosis sempurna dari stadium telur, larva, pupa dan dewasa
(Gambar 10).

Gambar 10. Metamorfosis sempurna lalat ordo Diptera

17
Chrysomya Bezziana7,11,23-35,42
Chrysomya bezziana adalah filum Arthropoda yang masuk ke dalam subdivisi
Hexapoda, kelas Insecta, subkelas Pterygota, superordo Endopterygota, ordo
Diptera, subordo Brachycera dan famili Calliphoridae.
Lalat Chrysomya bezziana, yang juga dikenal sebagai Old World
screwworm fly adalah parasit obligat/spesifik pada makhluk hidup berdarah
panas. Lalat ini membutuhkan jaringan hidup inang atau penjamu (host) untuk
dapat menyelesaikan siklus hidupnya. Oleh karena larva Chrysomya bezziana
dapat menyebabkan kerusakan jaringan permanen, lalat ini kerap menjadi
banyak perhatian publik.
Lalat Chrysomya bezziana pertama kali ditemukan di Kongo (Zaire) pada
tahun 1909 dari hewan ternak sapi yang kemudian diidentifikasi oleh Professor
Mario Bezzi, seorang ahli entomologi kebangsaan Itali. Meskipun identifikasinya
kurang tepat, tetapi untuk menghargai jasa beliau, maka lalat tersebut diberi
nama "bezziana" oleh seorang ahli entomologi kebangsaan Perancis bernama
Joseph Theodore Villeneuve de Janti, yang mampu secara detail dan tepat
mendeskripsikan lalat Chrysomya bezziana, sehingga nama Villeneuve pun
disematkan sebagai autoritas spesies tersebut (Chrysomya bezziana V.)
sehubungan dengan sumbangsi beliau sebagai orang yang pertama kali
mempublikasikan deskripsi yang valid mengenai lalat tersebut.
Lalat Chrysomya bezziana memiliki tubuh berwarna biru metalik, biru
keunguan atau biru kehijauan. Kepala lalat ini berwarna jingga dengan mata
berwarna merah gelap. Perbedaan antara lalat betina dan jantan terletak pada
matanya. Lalat betina memiliki celah yang memisahkan mata kanan dan kiri
lebih lebar dibandingkan lalat jantan. Ukuran lalat ini bervariasi tergantung pada
ukuran larvanya. Panjang tubuhnya rata-rata 10 mm dengan lebar kepala
berkisar rata-rata 4.1 mm. Tidak ada tanda-tanda makroskopik yang khas untuk
dapat mengenalinya dengan kasat mata sehingga identifikasi hanya dapat
dilakukan melalui pemeriksaan mikroskopik (Gambar 11).

18
Gambar 11. Lalat dewasa Chrysomya bezziana

Telur lalat Chrysomya bezziana berwarna putih transparan dengan


panjang 1.25 mm dan diameter 0.26 mm, berbentuk silindris serta tumpul pada
kedua ujungnya (Gambar 12).

Gambar 12. Stadium telur Chrysomya bezziana

Larva Chrysomya bezziana terbagi menjadi tiga instar, yaitu larva instar I,
II dan III (L1, L2 dan L3). Larva ini mempunyai dua belas segmen, yaitu satu
segmen kepala, tiga segmen torak dan delapan segmen abdomen. Ketiga instar
tersebut dapat dibedakan dari panjang tubuh dan warnanya. Dalam siklus hidup
stadium larva, terjadi perubahan bentuk dan ukuran (membesar) yang ditandai
dengan proses pelepasan dan pergantian kulit luar yang disebut proses ekdisis.
Panjang larva instar I adalah 1.6 mm dengan diameter 0.25 mm dan
berwarna putih, sedangkan larva instar II mempunyai panjang 3.5 - 5.5 mm
dengan diameter 0.5 - 0.75 mm dan berwarna putih sampai coklat muda.

19
Adapun panjang larva instar III mencapai 6.1 - 15.7 mm dengan diameter 1.1 -
3.6 mm.
Larva instar III muda berwarna coklat muda namun jika telah dewasa
berwarna merah muda pucat (Gambar 13). Tubuh larva (kutikula) dilengkapi
bentukan duri halus dengan arah condong ke belakang guna membantu larva
untuk melekat ke jaringan sekitarnya (Gambar 14). Adanya duri ini membuat
pengangkatan larva dari jaringan cukup sulit. Larva memiliki lubang pernafasan
di ujung anterior dan posterior yang disebut spirakel yang terlihat sebagai titik
hitam pada permukaan kutikula. Spirakel anterior larva Chrysomya bezziana
mempunyai empat sampai enam papila (lobus) membentuk gambaran khas
palmate shape, seperti renggangan jari pada telapak tangan (Gambar 15),
sedangkan spirakel posterior dilengkapi tiga celah dengan peritreme berwarna
kehitaman yang tebal, kuat dan inkomplit (Gambar 16). Saat akan menjadi pupa,
larva instar III berubah warna menjadi coklat hingga hitam dengan panjang rata-
rata 10.1 mm yang berdiameter 3.6 mm (Gambar 17).

Gambar 13. Stadium larva instar III Chrysomya bezziana

Gambar 14. Kutikula larva dengan duri halus


20
Gambar 15. Spirakel anterior larva instar III Chrysomya bezziana

Gambar 16. Spirakel posterior larva instar III Chrysomya bezziana

Gambar 17. Stadium pupa Chrysomya bezziana

Pada daerah tropis dan subtropis (> 22C), seluruh siklus hidup lalat
Chrysomya bezziana akan berlangsung sekitar 24 hari (8 hari di dalam jaringan
tubuh inang atau penjamu (host) dalam bentuk telur dan larva, 8 hari di tanah
dalam bentuk pupa dan 8 hari di lingkungan bebas dalam bentuk lalat dewasa).
Namun, pada daerah beriklim dingin (< 22C), siklus hidup Chrysomya bezziana
dapat berlangsung selama 2 - 3 bulan.

21
Lalat betina akan meletakkan telurnya di tepi luka pada sore hari atau
menjelang petang dalam waktu sekitar 4 - 5 menit. Jumlah telur yang
dikeluarkan oleh lalat betina berkisar antara 95 sampai 245 (rata-rata 180 telur).
Telur akan menetas menjadi larva instar I dalam waktu 18 - 24 jam. Sehari atau
dua hari kemudian, larva instar I akan berubah menjadi larva instar II dan mulai
membuat terowongan yang lebih dalam pada jaringan inang atau penjamu
(host). Larva instar II akan berkembang menjadi larva instar III pada hari ke-4
dan memakan jaringan inang atau penjamu (host). Setelah 6 - 8 hari
menyelesaikan stadium larva, larva instar III akan bermigrasi keluar dari daerah
luka tersebut, jatuh ke tanah dan akan membuat terowongan sepanjang 2 - 3 cm
untuk menghindari sinar matahari secara langsung guna melanjutkan stadium
pupa dalam waktu 24 jam hingga pada akhirnya menghasilkan lalat dewasa
sekitar 6 - 8 hari kemudian (Gambar 18).

Gambar 18. Siklus hidup Chrysomya bezziana

22
Epidemiologi7-14,20,28-32,39,44
Lalat Chrysomya bezziana tersebar secara luas di seluruh daerah kering dan
panas di wilayah beriklim tropis dan subtropis di kawasan Afrika, subkontinen
India, Asia Tenggara dari Cina selatan menuju Malaysia, Indonesia dan Filipina
hingga Papua Nugini. Lalat ini juga dilaporkan telah memasuki beberapa negara
di pantai Barat Teluk Persia dan beberapa negara di Timur Tengah (Gambar
19). Lalat Chrysomya bezziana tidak ditemukan pada daerah dengan ketinggian
lebih dari 2.500 meter di atas permukaan laut. Lalat ini mampu terbang sejauh
seratus kilometer. Berbeda dengan jenis lalat lainnya, Chrysomya bezziana
jarang ditemukan di dekat hewan ternak. Lalat ini lebih senang bertengger pada
daun, pagar, pokok kayu dan berbaur dengan lalat jenis famili Calliphoridae
lainnya di lingkungan tersebut.

Gambar 19. Distribusi lalat Chrysomya bezziana di dunia

Kejadian kasus myiasis pada manusia di negara lain masih cukup sering
dilaporkan, khususnya di daerah endemik penyebaran lalat Chrysomya
bezziana. Berbeda halnya dengan kasus myiasis pada manusia di Indonesia

23
yang tidak banyak dipublikasikan. Pustaka pertama yang melaporkan kasus
myiasis di bidang THT di Indonesia, yakni myiasis mulut yang menyerang
seorang perempuan Indonesia ditulis oleh Cornelissen pada tahun 1905 diikuti
kasus myiasis hidung pada empat orang yang ditulis oleh Risselada (1917) dan
Paneth (1927), myiasis bibir pada seorang laki-laki yang dipublikasi oleh
Wieberdink (1931) dan Noosten (1937). Juhana (1941) melaporkan kasus
myiasis hidung pada seorang penderita lepra di Semarang. Joe dan Kern (1955)
menemukan 1 kasus myiasis hidung dan 1 kasus myiasis telinga yang
disebabkan oleh larva Chrysomya bezziana di wilayah Sumatera (Tanjung Enim,
Muara Danau dan Lampung). Hendratno et al (1982) melaporkan 1 kasus
myiasis telinga pada anak oleh larva Chrysomya bezziana. Kasus myiasis
hidung oleh larva Chrysomya bezziana juga ditemukan di RS Dr. Achmad
Mochtar Bukit Tinggi, terhadap seorang laki-laki berusia 60 tahun dan
perempuan berusia 65 tahun yang dilaporkan oleh Sauz et al (1986). Siregar
dan Aboet (1992) menemukan 1 kasus myiasis telinga di RS Pirngadi Medan
oleh larva Chrysomya bezziana. Mangunkusumo dan Utama (1997) melaporkan
1 kasus myiasis hidung pada seorang perempuan penderita rinitis atropik
berusia 63 tahun di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) akibat
infestasi larva Chrysomya bezziana. Sebanyak 108 larva berhasil diambil dari
myiasis hidung tersebut.
Myiasis hidung dapat terjadi pada semua kelompok umur. Dahulu,
penyakit ini lebih sering mengenai anak-anak sehubungan dengan kurangnya
perhatian orang tua terhadap kebersihan anak bersangkutan. Pada tahun 1990-
an, kasus myiasis hidung kerap dijumpai pada usia 0 - 15 tahun di India, yang
kemudian meningkat secara tajam pada tahun 2000-an terhadap orang tua
berusia > 50 tahun. Peningkatan prevalensi dari faktor usia ini diperkirakan
karena perhatian orang tua terhadap kebersihan anak yang semakin meningkat
dan penggunaan kelambu saat anak beristirahat di tempat tidur. Angka kejadian
myiasis tergolong rendah dan hampir tidak ada perbedaan perbandingan antara
pria dan wanita (1 : 1.3). Bulan Oktober hingga Desember dianggap sebagai
bulan tersering dilaporkan kejadian myiasis hidung. Akan tetapi, jumlah
signifikan kasus yang terjadi juga cukup sering pada bulan Januari hingga Maret.
Sumber lain pun ada yang menyebutkan bulan Mei hingga Juni. Oleh karena
variasi bulan yang berbeda tersebut, penyakit ini digolongkan sebagai penyakit
24
sepanjang tahun (perennial disease). Serangan berulang pada myiasis hidung
cukup lazim ditemukan, seperti yang dilaporkan oleh Sharma et al (1989) pada
38.4% kasus dan Singh et al (1991) pada 22.2% kasus.
Penyakit ini sering ditemukan pada masyarakat golongan sosial ekonomi
rendah, status nutrisi yang buruk, sanitasi yang rendah dan bekerja pada daerah
yang terkontaminasi. Predileksi pada hidung sering terlibat karena akses yang
lebih mudah, rongga yang lebar dan mukosanya relatif kurang sensitif
dibandingkan mukosa telinga. Lalat Chrysomya bezziana meletakkan telurnya
secara langsung pada rongga hidung saat inang atau penjamu (host) tidur.
Aspirasi larva secara langsung dari hidung juga pernah ditemukan pada
beberapa kasus.
Seseorang dengan cacat fisik yang memiliki keterbatasan hanya di
tempat tidur, retardasi mental ataupun memiliki status vegetatif seperti koma,
lebih rentan terhadap serangan lalat Chrysomya bezziana terhadap bagian
tubuh yang luka ataupun membran mukosa pada rongga-rongga tubuh.
Sebagian besar kasus myiasis hidung lebih sering dijumpai pada
penderita rinitis atropik primer (97%) oleh karena mukosa hidung menghasilkan
sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau
busuk yang menyebabkan lalat betina tertarik untuk meletakkan telurnya, selain
karena akses lalat yang lebih mudah sehubungan dengan atrofi konka yang
menyebabkan rongga hidung menjadi sangat lapang.
Myiasis hidung pada penderita lepra juga kerap terjadi sehubungan
dengan kurangnya refleks bersin dan hidung yang tidak sensitif akibat rusaknya
saraf sensorik. Penderita lepra kerap memiliki ulserasi pada mukosa hidung.
Hilangnya kemampuan stimulus sensorik menyebabkan hilangnya sensasi nyeri
pada luka bernanah dalam rongga hidung dan keluarnya cairan mukopurulen
akan menarik lalat betina untuk meletakkan telurnya. Kondisi yang sama dialami
oleh penderita diabetes dengan infeksi sinus purulen, granuloma midline,
keganasan hidung dan sinus paranasal serta sifilis tersier yang melibatkan
hidung. Bau busuk yang ditimbulkan oleh penyakit-penyakit tersebut mampu
menarik perhatian lalat betina untuk masuk ke dalam rongga hidung.
Pada daerah yang tidak endemik, myiasis menjadi suatu kondisi penyakit
yang penting, karena kasus myiasis hidung pada turis yang berkunjung juga

25
pernah dilaporkan. Faktor risiko myiasis hidung lainnya berhubungan dengan
lingkungan tempat tinggal di pedesaan dan dekat dengan hewan ternak.

Gambaran Klinis
Pemberian nama screwworm didasarkan pada kemampuan larva merusak
jaringan inang atau penjamu (host) dengan cara menggali seperti layaknya
sekrup. Larva tersebut bahkan dapat menggali sedalam 15 cm ke dalam
jaringan. Aktivitas larva di dalam jaringan mengakibatkan luka semakin besar
dan kerusakan jaringan semakin parah. Jaringan yang dirusak oleh larva akan
menghasilkan bau menyengat khas yang terkadang luput dari perhatian
penderita. Kondisi ini mampu mengundang lalat betina lain untuk hinggap dan
bertelur pada daerah tersebut sehingga menyebabkan infestasi lebih lanjut dan
memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri.36,40-51
Manifestasi klinis myiasis pada jaringan tubuh akan mengakibatkan
berbagai gejala tergantung pada lokasi yang terlibat. Tanda dan gejala myiasis
hidung biasanya berkaitan dengan kehadiran larva dan pergerakannya di dalam
hidung, yang meliputi adanya sensasi benda asing, dengan ataupun tanpa
sensasi gerakan larva, perasaan gelisah, nyeri hidung, nyeri wajah,
pembengkakan pada hidung dan struktur wajah berdekatan, hidung tersumbat,
bersin-bersin, keluarnya cairan mukopurulen atau bercampur darah dari hidung,
epistaksis dan bau busuk. Dalam suatu studi, sekitar 20% kasus melaporkan
riwayat keluarnya larva dari rongga hidung, baik secara spontan ataupun saat
menghembuskan hidung.37,39,42-53

Komplikasi
Komplikasi myiasis hidung dapat bersifat infektif seperti selulitis fasialis atau
orbita, atau bersifat destruktif seperti ulserasi tonsil dan dinding posterior faring,
perforasi septum dengan hidung pelana dan deformitas hidung lain seperti
runtuhnya arsitektur hidung dan deviasi septum. Perforasi hidung ini akan dapat
mengakibatkan timbulnya fistel. Larva dapat berpenetrasi ke lantai rongga
hidung dan mengikis tulang palatum sehingga terjadi perforasi palatum yang
dapat mengakibatkan timbulnya fistel palatum yang permanen. Larva juga
mampu bergerak masuk ke saluran air mata dan sinus paranasal, selanjutnya
menghancurkan os nasal, os frontal serta struktur tulang sekitarnya.27-33,40-47
26
Myiasis hidung berakibat fatal jika trombosis sinus kavernosus terbentuk
atau lantai tulang tengkorak terinvasi. Larva juga mampu berpenetrasi ke dalam
sistem saraf pusat, sehingga menyebabkan meningitis, pneumosefalus, dan
kematian.42-49
Sehubungan dengan infeksi sekunder oleh bakteri akibat invasi larva,
flora bakteri campuran dapat dijumpai pada jaringan yang dirusak oleh larva.
Jenis bakteri aerob gram positif yang kerap dijumpai, yaitu Staphylococcus
aureus, Staphylococcus albus dan Streoptococcus pyogenes, sedangkan jenis
bakteri aerob gram negatif yang kerap dijumpai, yaitu Proteus spp. dan
Escherichia coli. Jenis bakteri anaerob gram positif yang kerap dijumpai adalah
Micrococcus spp., sedangkan jenis bakteri anaerob gram negatif yang kerap
dijumpai adalah Bacteroides spp. Setelah larva diekstraksi, Staphylococcus
aureus tetap mampu bertahan dalam jaringan luka, meskipun bakteri jenis
lainnya secara signifkan telah berkurang jumlahnya. Infeksi sekunder bakteri
menjadi penyulit proses penyembuhan penyakit ini. Kerusakan tulang yang
disebabkan oleh larva juga dapat menyebabkan infeksi sekunder sehingga
mengakibatkan osteomielitis. Jika tidak ditangani secara adekuat, infeksi
sekunder bakteri sering menjadi penyebab kematian oleh karena sepsis.16-30,48,49

Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan myiasis hidung adalah menghilangkan faktor
penyebab, mengeluarkan seluruh larva secepat mungkin, merangsang proses
penyembuhan luka dan mencegah komplikasi sekunder serta infeksi berulang.
Penderita myiasis hidung sebaiknya dibawa ke rumah sakit untuk
dilakukan pengobatan secara lokal dan sistemik secara bersamaan. Pengobatan
sistemik yang dilakukan bertujuan untuk mengobati infeksi sekunder oleh bakteri
yang kerap menyertai myiasis, yaitu dengan pemberian antibiotik berspektrum
luas atau antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur bakteri yang berasal dari
luka myiasis dan resistensi kuman.20-26
Kesejahteraan penderita merupakan prioritas terapi myiasis. Dalam kasus
myiasis hidung, patensi jalur nafas harus terjamin. Sumbatan fisik yang
disebabkan oleh tumpukan larva atau perdarahan pada hidung dapat
memberikan dampak terhadap jalur nafas.29-31

27
Masih terdapat ketidaksesuaian pendapat antara beberapa peneliti
tentang penanganan myiasis hidung. Terapi model kuno dengan menggunakan
campuran insektisida (DDT), bensin, bubuk kapur barus dan air tembakau telah
ditinggalkan karena bersifat membahayakan, mengiritasi jaringan yang telah
dirusak oleh larva, serta menghambat proses penyembuhan luka yang
disebabkan oleh larva. Sebagian peniliti menganjurkan pemberian reagen
tertentu yang cukup aman bagi penderita guna melumpuhkan larva, kemudian
larva tersebut diambil satu persatu. Pendapat lain mengemukakan tindakan
pengambilan larva yang masih hidup tanpa pemberian reagen tertentu. 24,27,30,41,52
Proses pengangkatan larva dari rongga hidung bukanlah prosedur yang
sederhana, terutama karena sulitnya untuk melihat dan menemukan larva
secara langsung, sehubungan dengan sifat fotopobik yang dimiliki larva dan
cenderung bersembunyi secara cepat ke daerah yang lebih dalam dan lebih
gelap pada rongga hidung. Inilah sebabnya mengapa pemeriksaan rinoskopi
cukup sulit digunakan untuk mendiagnosis kecuali jumlah larva sangat banyak
dan sudah menumpuk hingga ke bagian anterior (Gambar 20). Sedikitnya
praktisi kesehatan yang mau melakukan prosedur pengangkatan larva,
sehubungan dengan rasa takut atau jijik juga merupakan faktor hambatan di
dalam penatalaksanaan myiasis hidung. Penggunaan nasoendoskopi pada
kasus myiasis hidung sangat membantu untuk menemukan dan mengangkat
seluruh larva pada daerah yang tidak terjangkau (Gambar 21). Pemeriksaan
penunjang seperti CT-Scan seringnya hanya mampu menunjukkan gejala
komplikasi berupa destruksi tulang-tulang hidung dan sekitarnya, sedangkan
untuk mendiagnosa adanya larva, hanya menunjukkan gambaran hipolusen
minimal berbentuk bundar, namun tidak begitu khas dan sering luput dari
perhatian.27,35,44-50

28
Gambar 20. Penampakan larva secara jelas pada rongga hidung. Fenomena ini
jarang terlihat melalui pemeriksaan rinoskopi kecuali jumlah larva
sangat banyak dan sudah menumpuk hingga ke bagian anterior

Gambar 21. Penampakan larva pada rongga hidung dengan nasoendoskopi

Penderita myiasis hidung dikelola berangsur-angsur dengan irigasi hidung


yang deras dengan campuran kloroform dan air (1 : 2), atau campuran kloroform
dan minyak turpentin (1 : 4), campuran minyak turpentin dan air (1 : 5), maupun
campuran minyak turpentin dan parafin cair (1 : 15) ke dalam rongga hidung
yang dilanjutkan dengan pengambilan larva secara manual dengan suction dan
forsep atau pinset (Gambar 22). Pada saat mengambil larva harus dilakukan
secara hati-hati agar larva tidak tersayat sehingga tidak terjadi infeksi sekunder
atau reaksi alergi.33,45-51

29
Gambar 22. Pengangkatan larva secara manual pada rongga hidung

Myiasis hidung biasanya tidak memerlukan intervensi bedah kecuali


dalam kasus dengan kerusakan jaringan yang luas dan struktur hidung telah
dihancurkan oleh larva atau metode yang sudah dilakukan sebelumnya gagal.
Penggunaan antibiotik dan aspirin dengan dosis yang sesuai diperlukan sebagai
profilaksis untuk mencegah infeksi sekunder dan komplikasi intrakranial seperti
trombosis sinus kavernosus.30,41,48
Kloroform dapat dipakai dalam terapi myiasis secara tunggal maupun
kombinasi dengan bahan lain karena dapat membunuh larva seketika dan tidak
merusak jaringan. Kloroform merupakan inhalan yang sering digunakan sebagai
bahan anestesi umum. Kloroform harus disimpan dalam botol berwarna gelap,
jauh dari sinar matahari, karena zat ini mudah terurai membentuk produk toksik
jika terpapar sinar matahari. Penggunaan kloroform lebih baik daripada eter
(masih digunakan di beberapa klinik) karena eter lebih mudah menguap, lebih
bersifat iritatif dan memiliki efek pembekuan lokal jaringan.49,55-57
Turpentin murni pekat (pure gum terpentine) telah dikenal secara umum
sebagai zat pelarut cat atau lainnya dan diekstrak dari getah pohon pinus.
Berbeda dengan minyak turpentin yang merupakan minyak mineral dengan
konsentrasi tertentu tanpa gugus aromatik seperti layaknya turpentin murni,
memiliki aktivitas bioinsektisidal, antiseptik, diuretik dan telah digunakan sebagai

30
pilihan terapi untuk parasit usus sejak dahulu karena terbukti aman digunakan
pada manusia.38,40
Penggunaan parafin cair sebagai kombinasi campuran minyak turpentin
terbukti dapat lebih sempurna melumpuhkan larva. Parafin cair memiliki aktivitas
yang dapat menyebabkan larva sesak napas lalu mati.41
Dalam beberapa studi kasus, dosis tunggal Ivermectin (200 g/kgBB)
atau doramectin (200 g/kgBB) terbukti efektif digunakan sebagai terapi pilihan
myiasis. Ivermectin memiliki struktrur kimia berupa lakton makrosiklik yang
bahan aktifnya berasal dari bakteri Streptomyces avermitilis. Ivermectin
membunuh parasit dengan mengganggu fungsi otot dan sistem saraf parasit
dengan cara menghambat neurotransmisi sel otot dan saraf parasit. 13,28,51
Paska pengangkatan larva, penderita disarankan untuk menggunakan
tetes hidung yang terbuat dari campuran minyak turpentin dan parafin cair (1 :
15). Rongga hidung biasanya bebas dari larva dalam waktu 48 - 72 jam setelah
pengobatan dan penderita diizinkan meninggalkan rumah sakit dalam waktu 5 -
7 hari.53,54,59
Myiasis hidung sebenarnya merupakan masalah yang dapat dihindari.
Pencegahan agar lalat tidak hinggap pada rongga hidung dapat dilakukan
dengan perawatan ulkus yang baik pada rongga hidung dan pengolesan
campuran minyak turpentin dan air (1 : 5), pada lapisan luar lubang hidung,
terutama selama musim hujan saat dimana lalat cenderung berkembang biak.
Campuran ini dapat menyamarkan aroma busuk yang keluar dari lubang hidung
dan membuat lalat betina menjauh. Pencegahan bersifat edukatif tentang
perawatan dan kebersihan hidung secara rutin juga perlu dilakukan. Kontrol lebih
lanjut diperlukan untuk menghindari infestasi ulang.50,55-61

Kesimpulan
Myiasis hidung ialah terdapatnya infestasi larva dari lalat ordo Diptera pada
hidung manusia. Penyakit ini merupakan kasus yang jarang ditemukan dan tidak
banyak dipublikasikan di Indonesia. Namun, penyakit ini perlu mendapat
perhatian karena dampak yang ditimbulkan bisa berakibat fatal dan
menyebabkan kematian jika tidak ditangani secara komprehensif. Penyakit ini
sering ditemukan pada negara-negara beriklim panas dan kering di daerah tropis
dan subtropis dan masyarakat golongan sosial ekonomi rendah yang memiliki
31
sanitasi yang buruk. Di antara lalat penyebab myiasis hidung di dunia, lalat
Chrysomya bezziana mempunyai nilai medis yang penting karena kerap
ditemukan di Indonesia. Dari beberapa kasus yang pernah dilaporkan, masih
belum ada keseragaman dalam mengelola kasus myiasis. Prinsip
penatalaksanaan myiasis hidung adalah menghilangkan faktor penyebab,
mengeluarkan seluruh larva secepat mungkin, merangsang proses
penyembuhan luka dan mencegah komplikasi sekunder serta infeksi berulang.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Hope, F.W. 1840. Insects and their larvae occasionally found in the human
body. Trans R Entomol Soc, 2, pp.256-71.

2. Quesada, P., Navarrete, M.L. and Maeso, J. 1990. Nasal myiasis due to
Oestrus ovis larvae. Eur Arch Otorhinolaryngol, 247(2), pp.131-2.

3. Sharma, H., Dayal, D. and Agrawal, S.P. 1989. Nasal myiasis: Review of 10
years experience. The Journal of Laryngology and Otology, 103, pp.489-91.

4. Sood, V.P., Kakar, P.K. and Wattal, B.L. 1976. Myiasis in otorhinolaryngology
with entomological aspects. The Journal of Laryngology and Otology, 90,
pp.393-9.

5. Lui, P.C., Lee, M.K., Wong, J.H., Leung, C.Y., Lee, C.K., Lai, R.W., Lam, E.T.,
Yeung, J.C., Suen, D.T. and Tse, G.M. 2005. Myiasis by chrysomya bezziana in
surgical pathology. The Journal of Pathology and Microbiology, 37(1), pp.80-2.

10. Sherman, R.A., Roselle, G., Bills, C., Danko, L.H. and Eldridge, N. 2005.
Healthcare-associated myiasis: prevention and intervention. Infect Control Hosp
Epidemiol, 26(10), pp.828-32.

11. Soni, N.K. 2000. Endoscopy in nasal myiasis. Trop Doct, 30(4), pp.225-7.

12. Ford, T., Anania, W.C., Rosen, R.C., Mirarchi, J. and Liaw, W.H. 1986.
Treatment of cutaneous myiasis of lower extremity ulcerations with ethyl
chloride. J Am Pediatr Med Assoc, 76, pp.690-2.

13. Victoria, J., Trujillo, R. and Barreto, M. 1999. Myiasis: a successful treatment
with topical ivermectin. Int J Dermatol, 38(2), pp.142-4.

33
14. Bhatt, A.P. and Jayakrishnan, A. 2000. Oral myiasis: a case report. Int J
Paediatr Dent, 10, pp.67-70.

15. Nouttsis C and Millikan LE. Myiasis. Dermatol Clin 1994;12: 729-36.

16. Erdinc, A., Sefika, U., Babur, A. and Fusun, C. 2006. Nasal myiasis by fruit
larvae: a case report. Eur Arch Otorhinolaryngol, 263, pp.1142-3.

17. Dhingra, P.L. 2007. Anatomy of nose. In: Disease of Ear, Nose and Throat.
4th ed. Elsevier: India, pp.129-32.

18. Groves, J. and Gray, R.F. 1985. A Synopsis of Otolaryngology. 4th ed.
Bristol: Wright, pp.193-411.

19. Maqbool M. 1993. Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases. 6th ed. New
Delhi: Jaypee Brothers, pp.264-7.

20. Sinha, V., Shah, S., Ninama, M., Gupta, D., Prajapati, B., More, Y., Bhat, V.
And Kedia, B.K. 2006. Nasal Myiasis. J.Rhinol, 13(2), pp.120-123.

21. Sinha, S.M., Sardana, D.S. and Rajvanshi, V.S. 1977. A nine year review of
273 cases of atrophic rhinitis and its management. The Journal of Laryngology &
Otology. 91(7), pp.591-600.

22. Gopalakrishnan, S., Srinivasan, R., Saxena, S. and Shanmugapriya, J. 2008


Myiasis in different types of carcinoma cases in southern India. Indian Journal of
Medical Microbiology, 26, pp.189-92.

23. Vitavasiri, M.D., Charoenchasri, M.D., Kaewmanee, M.S. and Bhaibulaya,


M.D. 1995. Subdermal myiasis caused by maggots of chrysomyia bezziana.
Siriraj Hospital Gazzetee, 47, pp.419-22.

24. Bhatia, M.L. and Dutta, K. 1965. Myiasis of the tracheostomy wound. Journal
of Laryngology and Otology, 79, pp.907-11.
34
25. Baumhover, A.H. 1963. Susceptibility of screwworm larvae and prepupae to
desiccation. Journal of Economic Entomology, 56, pp.645-9.

26. Kettle, D.S. 1981. Medical and veterinary entomology. Wiley-Interscience:


New York, pp.241-61.

27. Perkins, I.D. 1987. Use of insecticides to control screwworm fly strike by
chrysomya bezziana in cattle. Australian Veterinary Journal, 64, pp.17-20.

28. Spradbery, J.P., Tozer, R.S., Drewett, N. and Lindsey, M.J. 1985. The
efficacy of ivermectin against larvae of the screw-worm fly (chrysomya
bezziana). Australian Veterinary Journal, 62, pp.311-4.

29. Benamara, M.A., Achir, I., Rodhain, F. and Perez C.E. 1997. First Algerian
case of human otomyiasis due to Chrysomya bezziana. Bull Soc Pathol Exot, 90,
pp.172-5.

30. Alves, C.A., Ribeiro, O. Jr., Borba, A.M., Ribeiro, A.N., Guimaraes, J. Jr.
2010. Cavernous sinus thrombosis in a patient with facial myiasis. Quintessence
Int, 41, pp.72-4.

31. Arora, S., Sharma, J.K., Pippal, S.K., Sethi, Y. and Yadav, A. 2009. Clinical
etiology of myiasis in ENT: a reterograde period-interval study. Braz J
Otorhinolaryngol, 75, pp.356-61.

32. Badia, L. and Lund, V.J. 1994. Vile bodies: an endoscopic approach to nasal
myiasis. J Laryngol Otol, 108, pp.1083-5.

33. Barbosa, T.D, Rocha, R., Guirado, C.G., Rocha, F.J. and Gaviao, M.B. 2008.
Oral infection by Diptera larvae in children: a case report. Int J Dermatol, 47,
pp.696-9.

34. Duque, C.S., Marrugo, G. and Valderrama, R. 1990. Otolaryngic


manifestations
35
of myiasis. Ear Nose Throat J, 69, pp.619-22.

35. Fernandes, L.F., Pimenta, F.C. and Fernandes F.F. 2009. First report of
human myiasis in Goias state, Brazil: frequency of different types of myiasis,
their various etiological agents, and associated factors. J Parasitol, 95, pp.32-8.

36. Franza, R., Leo, L., Minerva, T. and Sanapo F. 2006. Myiasis of the
tracheostomy wound: case report. Acta Otorhinolaryngol Ital, 26, pp.222-4.

37. Gonzalez, A.C., Salamanca, G.J., Olano, V.M. and Perez, C.E. 2008.
Cavitary myiasis: case report. Rev Fac Med, 16, pp.95-8.

38. Hakeem, M.J. and Bhattacharya, D.N. 2009. Exotic human myiasis. Travel
Med Infect Dis, 7, pp.198-202.

39. Hatten, K., Gulleth, Y., Meyer, T. and Eisenman, D.J. 2010. Myiasis of the
external and middle ear. Ann Otol Rhinol Laryngol, 119, pp.436-8.

40. Husain, A., Husain, S., Malaviya, G.N. and Bahadur, R.R. 1993. Myiasis in
leprosy. Acta Leprol, 8, pp.137-41.

41. Jelinek, T., Nothdurft, H.D., Rieder, N. and Loscher T. 1995. Cutaneous
myiasis: review of 13 cases in travelers returning from tropical countries. Int J
Dermatol, 34, pp.624-6.

42. Josephson, R.L. and Krajden, S. 1993. An unusual nosocomial infection:


nasotracheal myiasis. J Otolaryngol, 22, pp.46-7.

43. Kim, J.S. 2009. A nasal myiasis in a 76-year-old female in Korea. Korean J
Parasitol. 47, pp.405-7.

44. Kuruvilla, G., Albert, R.R., Job, A., Ranjith, V.T. and Selvakumar, P. 2006.
Pneumocephalus: a rare complication of nasal myiasis. Am J Otolaryngol, 27,
pp.133-5.
36
45. Lata, J., Kapila, B.K. and Aggarwal P. 1996. Oral myiasis: a case report. Int J
Oral Maxillofac Surg, 25, pp.455-6.

46. Lee, D.J. 1968. Human myiasis in Australia. Med J Aust, 1, pp.170-3.

47. Lee, H.L., Krishnasamy, M. and Jeffry, J. 2005. A case of human


nasopharyngeal myiasis caused by Chrysomya bezziana Villeneuve (Diptera:
Calliphoridae) in Malaysia. Trop. Biomed, 22, pp.87-8.

48. Lee, H.L. and Yong, Y.K. 1991. Human aural myiasis. Southeast Asian J
Trop Med Public Health, 22, pp.274-5.

49. Malaviya, G.N. 2005. Myiasis in leprosy. Int J Lepr Other Mycobact Dis, 73,
pp.277-9.

50. Marquez, A.T., Mattos, M.D. and Nascimento, S.B. 2007. Myiasis associated
with some socioeconomic factors in five urban areas of the State of Rio de
Janeiro. Rev Soc Bras Med Trop, 40, pp.175-80.

51. Maturo, S., Michaelson, P.G., Horlbeck, D and Brennan, J. 2007. Auricular
myiasis. Otolaryngol Head Neck Surg, 136, pp.668-9.

52. Messahel, A., Sen, P., Wilson, A. and Patel, M. 2010. An unusual case of
myiasis. J Infect Public Health, 3, pp.43-5.

53. Ng, K.H. 2003. A case of oral myiasis due to Chrysomya bezziana. Hong
Kong Med J, 9, pp.454-6.

54. Noutsis, C. and Millikan, L.E. 1994. Myiasis. Dermatol Clin, 12, pp.729-36.

55. Rohela, M., Jamaiah, I., Amir, L. and Nissapatorn, V. 2006. A case of
auricular myiasis in Malaysia. Southeast Asian J Trop Med Public Health, 37(3),
pp.91-4.
37
56. Sharma, J., Mamatha, G.P. and Acharya, R. 2008. Primary oral myiasis: a
case report. Med Oral Patol Oral Cir Bucal, 13, pp.714-6.

57. Shinohara, E.H., Martini, M.Z., Neto, H.G. and Takahashi, A. 2004. Oral
myiasis treated with ivermectin: case report. Braz Dent J, 15, pp.79-81.

58. Sood, V.P., Kakar, P.K., Wattal, B.L. 1976. Myiasis in otorhinolaryngology
with entomological aspects. J Laryngol Otol, 90, pp.393-9.

59. Tsang, W.S. and Lee, D.L. 2009. Nasal myiasis: the role of endoscopy. Ear
Nose Throat J. 88, pp.1250-1.

60. Singh, I., Gathwala, G., Yadav, S.P., Wig, U. and Jakhar, K.K. 1993. Myiasis
in children: the Indian perspective. Int J Pediatr Otorhinolaryngol, 25, pp.127-31.

61. Smith, D.R. and Clevenger, R.R. 1986. Nosocomial nasal myiasis. Arch
Pathol Lab Med, 110, pp.439-40.

38
Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES)

Muhammad Reza, Abdul Rachman Saragih

Pendahuluan
Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) pertama kali
diperkenalkan oleh Susan E. Langmore pada tahun 1988. Saat ini, FEES
menjadi pilihan utama sebagai metode untuk mengevaluasi gangguan menelan
(disfagia) dan dianggap sebagai pemeriksaan penunjang kasus disfagia dengan
nilai diagnostik yang penting dan dapat dipercaya. Pemeriksaan ini meliputi
insersi nasofaringoskop serat optik lentur melalui hidung menuju orofaring
selanjutnya mengevaluasi fisiologi laringofaring, termasuk sekresi dan
kemampuan menelan makanan dan cairan.1,2
FEES adalah metode untuk menilai anatomi dan fisiologi menelan,
perlindungan jalan nafas dan hubungannya dengan menelan makanan padat
atau cair, diagnosis, rencana terapi selanjutnya serta evaluasi keberhasilan
setelah terapi.1,3

Anatomi Faring4
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari
dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6.
Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan
laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan
dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih 14 cm dan bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.
Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring
terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (Gambar 1).

39
Gambar 1. Anatomi Faring5

Nasofaring (Epifaring)
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan
beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral
faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller; kantong Rathke,
yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri; torus tubarius,
suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius; koana;
foramen jugulare, yang dilalui oleh n.glosofaring, n.vagus dan n.asesorius spinal
saraf kranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen
laserum serta muara tuba Eustachius.

Orofaring (Mesofaring)
Orofaring memiliki batas atas palatum mole, batas bawah adalah tepi atas
epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah
vertebra servikal.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring,
tonsil palatin, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual dan foramen sekum.

40
Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah
vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah
valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh
ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada
tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil (pill pockets), sebab pada beberapa
orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut di daerah tersebut.
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi, epiglotis ini berbentuk
omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-
kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini menetap sampai dewasa. Epiglotis
berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau
bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke
esofagus.

Anatomi Esofagus6
Esofagus adalah tabung fibromuskular yang menghubungkan faring dengan
lambung. Esofagus berukuran panjang sekitar 25 cm dan dilapisi oleh jaringan
merah muda yang lembab disebut mukosa. Esofagus berjalan di belakang
trakea dan jantung, dan di depan tulang belakang. Tepat sebelum memasuki
lambung, esofagus melewati diafragma (Gambar 2).
Sfingter esofagus bagian atas (UES) adalah sekumpulan muskulus di bagian
atas esofagus. Otot-otot UES berada di bawah kendali sadar (involunter),
digunakan ketika bernapas, makan, bersendawa, dan muntah.
Sfingter esofagus bagian bawah (Lower esophageal sphincter/LES) adalah
sekumpulan otot pada akhir bawah dari esofagus, yang mana berbatasan
langsung dengan gaster. Ketika LES ditutup, dapat mencegah asam dan isi
gaster naik kembali ke esofagus. Otot-otot LES tidak berada di bawah kontrol
volunter.

41
Gambar 2. Anatomi Esofagus7

Mekanisme Menelan6,8,9,10
Mekanisme menelan adalah suatu proses sekuens dari 55 otot dari daerah
orofaring, laring, dan esofagus yang berkontraksi serta relaksasi secara semi-
otomatis, 6 saraf cranial dan 2 cabang saraf serfikal yang bekerja dengan stimuli
afferent ke pusat menelan di otak. Mekanisme menelan secara umum terbagi
atas tiga fase, fase oral, faringeal, dan fase esophageal (Gambar 3).

Fase Oral
Fase oral terjadi secara sadar. Pada fase ini, komponen makanan diangkut
menuju arcus palatine, dimana jalur pengangkutan bersilangan dengan saluran
nafas. Untuk menghindari regurgitasi nasal, nasofaring tertutup oleh palatum
molle. Fase ini berlangsung sebagian secara volunteer, dan sebagian lagi
secara involunter.
Makanan yang telah dikunyah dan bercampur dengan liur akan membentuk
bolus makanan. Bolus ini bergerak dari rongga mulut melalui dorsum lidah,
terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot intrinsik lidah.
Kontraksi m. levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum
lidah diperluas, palatum mole terangkat dan bagian atas dinding posterior faring
akan terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena lidah terangkat ke atas.
Bersamaan dengan ini terjadi penutupan nasofaring sebagai akibat kontaksi m.

42
levator veli palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m. palatoglosus yang
menyebabkan ismus fausium tertutup, diikuti oleh kontraksi m. palatofaring,
sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut.
Pada fase ini diperlukan; menutupnya mulut secara adekuat dengan
merapatnya otot labial untuk menghindari keluarnya makanan dari rongga mulut,
intaknya otot bukal sehingga bahan makanan tidak jatuh ke sulci lateral,
memutar bolus ke posterior dengan bantuan dari pergerakan otot lidah,
kemampuan bernafas melalui hidung yang baik.

Fase Faringeal
Fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpindahan
bolus makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring bergerak ke atas oleh
kontraksi m. stilofaring, m. salpingofaring, m. tirohioid dan m. palatofaring. Aditus
laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika
ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup oleh kontraksi m.
ariepiglotika dan m. aritenoid obligus.
Bersamaan dengan ini terjadi juga penghentian udara ke laring karena refleks
yang menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan tidak akan masuk ke
dalam saluran nafas. Selanjutnya bolus makanan akan meluncur kearah
esofagus, karena valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus.

Fase Esofageal
Dari tempat ini, pengangkutan involunter dengan bantuan kontraksi otot
secara peristaltik melalui esofagus ke dalam lambung. Saraf yang utama
berperan pada proses menelan adalah saraf cranial N.V,N.VII,N.IX,V.X dan
N.XII.
Fase esofageal ialah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke
lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup. Dengan
adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi
relaksasi m. krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus makanan
masuk ke dalam esofagus. Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan
berkontraksi lebih kuat, melebihi tonus introitus esofagus pada waktu istirahat
sehingga makanan tidak akan kembali ke faring dengan demikian refluks dapat
dihindari.
43
Gambar 3. Fisiologi Menelan11

Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh


kontraksi m. konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya
bolus makanan akan didorong ke distal oleh gerakan peristaltik esofagus.
Dalam keadaan istirahat, sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup
dengan tekanan rata-rata 8 mmHg lebih dari tekanan di dalam lambung,
sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung.
Pada akhir fase esofagal, sfingter ini akan terbuka secara refleks ketika
dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke
distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan menutup
kembali.

Gangguan Menelan
Gangguan pada proses menelan secara umum disebut dengan disfagia.
Disfagia dapat dibedakan menjadi disfagia orofaringeal dan disfagia esofageal.
Sebagian besar pasien dengan keluhan disfagia mengeluhkan gangguan atau
kesulitan menelan terutama pada fase orofaringeal.12
44
Disfagia orofaringeal pada dewasa dapat disebabkan karena kelainan
neurologis (kelainan saraf tepi daerah laring, faring, lidah dan rahang, miastenia
gravis, miopati), kelainan anatomis di kepala dan leher (kanker, perubahan
bentuk setelah operaasi atau terapi radiasi, paska trauma, iatrogenik, kelainan
kongenital), dan penyebab lainnya (infeksi, kelainan sistemik, efek samping obat,
psikogenik).10,13
Disfagia, atau gangguan dalam fungsi menelan, adalah gejala umum dari sisa
stroke akut. Tanda-tanda kesulitan menelan meliputi: ketidakmampuan untuk
mengenali rasa makanan, kesulitan menempatkan makanan di mulut, batuk
sebelum, selama atau setelah menelan sesuatu, batuk sering menjelang akhir
atau segera setelah makan, pneumonia berulang, air liur berlebih, peningkatan
sekresi dalam faring atau dada dan keluhan kesulitan menelan. 13
Komplikasi yang dapat timbul akibat disfagia dapat berupa malnutrisi,
dehidrasi, pneumonia akibat aspirasi, obstruksi saluran nafas (spasme laring /
spasme bronkus), penurunan kualitas hidup, aktivitas dan produktivitas kerja. 13
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menilai seorang pasien
dengan keluhan disfagia antara lain: Videofluoroscopic Swallow Study/Modified
Barium Swallow (MBS), Fiberoptic Endoscopic Examination of Swallowing
(FEES), Fiberoptic Endoscopic Examination of Swallowing with Sensory Testing
(FEEST), dan scintigraphy.13

Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES)


Definisi
FEES adalah suatu alat pemeriksaan penunjang, dimana sebuah endoskop dan
kamera dimasukkan melalui hidung menuju nasofaring dan langsung
memvisualisasikan faring dan laring selama proses menelan14.

Indikasi1
Indikasi FEES meliputi:
Menilai fungsi sekresi
Menilai makanan yang berisiko tinggi untuk terjadinya aspirasi
Memvisualisasikan struktur laringofaring
Menilai sensasi laringofaring

45
Menilai kelelahan menelan
Menilai proses menelan makanan tertentu
Menilai pasien-pasien yang tidak dapat menjalani pemeriksaan
videofluoroskopi

Alat-alat1,15
Alat-alat FEES berupa (Gambar 4):
Fiberoptic nasopharyngoscope
Light source
Video camera
Videotape recorder
Monitor
Mikrofon
Troli
Printer
Time character generator Gambar 4. Alat FEES13
Bahan1
Bahan-bahan yang diperlukan (Gambar 5):
Makanan dan cairan
Kepingan es
Pewarna makanan (hijau atau biru)
Gauze
Q-tips
Sendok
Sedotan
Cangkir
Apron
Lubrication gel Gambar 5. Persiapan FEES14
Kapas alkohol
Defog spray
Sterilisator
Endosheath (opsional)
Anestesi topikal/dekongestan
46
Komponen16
FEES merupakan penilaian proses menelan komprehensif yang meliputi lima
komponen, yakni:
1. Observasi keterlibatan anatomi dalam tahap proses menelan orofaringeal.
2. Observasi pergerakan dan sensasi struktur yang rawan pada daerah
hipofaring.
3. Observasi proses sekresi.
4. Penilaian secara langsung fungsi menelan makanan dan minuman.
5. Respon terhadap manuver terapeutik dan intervensi untuk memperbaiki
fungsi menelan.

Tujuan1,2,17
FEES memiliki tujuan:
1. Menilai anatomi dan fungsi dinamis dari palatum, faring dan laring
bersama dengan sensasi laringofaring.
2. Menilai kemampuan menelan pasien pada saat mereka menelan
makanan dengan berbagai konsistensi.
3. Untuk orientasi pemeriksaan tentang tingkat keparahan gangguan
menelan.
4. Untuk mengurangi efek radiasi.
5. Menentukan efektifitas terapi.

Posisi Pasien18
Untuk melakukan penilaian, pasien diposisikan dalam keadaan duduk tegak
dengan kepala sedikit menunduk sehingga simulasi proses menelan makanan
dapat dilakukan. Jika pasien tidak dapat duduk, maka tempat tidur diatur

sedemikian rupa sehingga mendekati 90(Gambar 6).

47
Gambar 6. Posisi Pasien Saat Dilakukan Pemeriksaan FEES:
a) posisi duduk tegak; b) posisi tidur mendekati 9019,20

Bahan Makanan18
Bahan makanan yang diberikan berupa (Gambar 7):
Cairan (3 ml, 5 ml, 10 ml dan tegukan bebas);
Cairan kental (3 ml, 5 ml, 10 ml dan tegukan bebas);
Pasta (3 ml, 5 ml, 10 ml);
Bahan padat (makanan ringan dengan kandungan air dan garam,
kepadatan sekitar 3.6 cm)

Bahan makanan cairan, cairan kental, dan pasta diberikan kepada pasien
tepat ke mulut pasien dalam sebuah metered syringe. Makanan padat diberikan
dalam ukuran standar. Di akhir pemeriksaan pasien diberikan cairan dan cairan
kental. Rangkaian konsistensi dan jumlah makanan yang diberikan bervariasi
tergantung pada data klinis sebelum dilakukan pemeriksaan, sehingga dapat
mencegah resiko terjadinya aspirasi.

48
Gambar 7. Contoh Bahan Pemeriksaan FEES:
a) dalam bentuk cairan kental; b) dalam bentuk pasta18

Penilaian Klinis Subjektif18


Penilaian klinis proses menelan dibagi atas dua tahap, yakni penilaian secara
tidak langsung (tanpa memberikan makanan) dan secara langsung (dengan
memberikan makanan). Pada tahap penilaian secara tidak langsung yang
dilakukan adalah memberikan sejumlah pertanyaan objektif, pengamatan, dan
tanya jawab langsung kepada pasien yang meliputi sejumlah aspek sebagai
berikut:
Status kesehatan secara umum (motorik, kognitif, dan komunikasi);
Pernafasan;
Organ fono-artikulasi (nada, bentuk dan pergerakan lidah, bibir, pipi,
mandibula dan palatum, gigi geligi, sensitivitas terhadap rasa pada regio
fasial, intraoral dan faring, kualitas suara);
Oral (muntah dan batuk);
Proses menelan ludah (otomatis, volunter, silorrhea, xerostomia, muntah,
batuk, perubahan kualitas suara)

Evaluasi klinis dengan diet dilakukan dengan memberi makanan kepada


pasien dengan jumlah dan konsistensi yang disebutkan diatas. Aspek yang
dinilai adalah: apakah mulut dapat membuka secara spontan, kapasitas
pengatupan bibir, efisiensi pengunyahan makanan, efisiensi mobilitas lidah
ketika diberikan sepotong kue, refleks menelan pada fase faringeal, evaluasi

49
laring, mengelurkan dahak, muntah dan batuk pada waktu sebelum, saat dan
sesudah menelan, adanya sisa makanan di rongga mulut.

Teknik1,18
Adapun teknik FEES adalah:
Endoskop serat lentur dimasukkan melalui lubang hidung tanpa
menggunakan anestesi topikal sehingga tidak mempengaruhi sensitifitas
faringolaring.
Penilaian awal dimulai dari rinofaring, kemudian setelah tampak
gambaran panoramik dari faringolaring, sensitivitasnya dinilai (Gambar 8).
Selanjutnya diamati: penutupan dari velofaringeal selama proses fonasi
dan menelan; air ludah dan pembersihan sekresinya, tanda-tanda aspirasi
air ludah, penutupan glotis dan mobilitas pita suara (Gambar 9).
Endoskop serat lentur digerakkan seleluasa mungkin sehingga dapat
menilai secara rinci struktur yang ada.
Setelah itu, kapasitas menelan diperiksa dan diperhatikan khususnya
terhadap empat jenis makanan yang telah disebutkan diatas.
Pada tahapan ini, tampak gambaran faring, laring, daerah subglotis di
akhir penilaian, diperhatikan terjadinya aspirasi pada waktu sebelum, saat
dan sesudah proses menelan (Gambar 10).
Kemudian dinilai terhadap hal-hal yang mungkin terjadi pada proses
menelan tahap oral dan faringeal, seperti: mobilitas pangkal lidah,
bertahannya makanan di rongga mulut, refluks-nya makanan melalui
hidung, adanya sisa makanan setelah proses menelan dan dimana
lokasinya, penetrasi laringeal, aspirasi laringotrakeal dari potongan kue
dan berapa kali proses menelan untuk membersihkan kue tersebut.
Dilakukan penilaian terhadap postur dan manuver proteksi jalan nafas
atas (chin down, head back, turned atau tilted head) selama tes proses
menelan.
Untuk penilaian fungsi menelan, endoskop serat optik dinaikkan sedikit di
faring di belakang uvula.

50
Pada tahapan ini tampak pergerakan laring ke atas dan ke depan, dan
dihindarkan menyentuh struktur faringolaring yang dapat merangsang
refleks muntah.
Kemudian terjadi kontraksi dinding faring, sehingga cahaya endoskop
serat optik tertutup. Pada tahapan ini disebut white-out phase (Gambar
11).
Akhirnya tahapan pemeriksaan selesai dan klasifikasi disfagia secara
endoskopik dapat ditentukan.

Gambar 8. Gambaran posisi endoskop serat optik untuk menilai


struktur nasofaring (kiri) dan struktur rinofaring serta penutupan
velofaring (kanan)18

51
Gambar 9. Gambaran posisi endoskop serat optik untuk menilai faring dan laring
(kiri) dan struktur faringolaring serta penutupan glotis (kanan)18

Gambar 10. Gambaran posisi endoskop serat optik (kiri) dan struktur
faringolaring (kanan) untuk menilai fungsi menelan18

Gambar 11. Gambaran endoskopik pada white out phase akibat cahaya
terhalang karena kontraksi dinding faring 18

Parameter Kualitatif18
Penilaian struktur (tanpa memberikan makanan) meliputi: penutupan
velofaring, stase ludah di valekula dan sinus piriformis, tanda-tanda aspirasi air
ludah, reduksi sensitifitas faringolaring, perubahan penutupan glotis dan atau
pergerakan pita suara, tanda-tanda pada faring dan laring yang diduga ada lesi
yang disebabkan refluks gastroesofageal.

52
Penilaian fungsi (dengan memberikan makanan) meliputi:
Proses menelan fase oral: perubahan mobilitas pangkal lidah dan tidak
tampaknya potongan kue dengan segera.
Proses menelan fase faringeal: refluks nasal, sisa makanan setelah
menelan, penetrasi laringeal, aspirasi laringotrakeal, dan refleks batuk.

Parameter Kuantitatif18
Banyaknya proses menelan: spontan, dan berapa banyak proses menelan
untuk menyempurnakan pembersihan proses menelan potongan kue. Klasifikasi
klinis disfagia secara endoskopik:
1. Normal (level 0): daya muat oral normal, adanya refleks menelan, stase
ludah tidak dijumpai, pemberian makanan dan aspirasi, kurang dari tiga
kali usaha mendorong untuk proses pembersihan makanan.
2. Disfagia ringan (level 1): sedikit stase paska menelan, kurang atau sama
dengan tiga kali usaha untuk proses pembersihan makanan, regurgitasi
nasal dan penetrasi faringeal tidak dijumpai.
3. Disfagia sedang (level 2): stase ludah sedang, sisa makanan setelah
proses menelan berlebih, lebih dari tiga kali usaha untuk proses
pembersihan makanan, regurgitasi nasal, berkurangnya sensitifitas
laringeal dengan penetrasi ke dalam vestibulum laringeal, aspirasi
laringotrakeal tidak dijumpai.
4. Disfagia berat (level 3): stase ludah banyak, sisa makanan yang banyak
setelah proses menelan, usaha mendorong makanan tidak dijumpai,
regurgitasi nasal, dan aspirasi trakeal.
Komplikasi1,21
FEES merupakan prosedur yang aman, namun dapat juga memiliki komplikasi
berupa:
Rasa tidak nyaman, biasanya ringan
Epistaksis
Respon vasovagal
Refleks sinkop
Alergi anestesi topikal
Spasme laring

53
Kesimpulan
FEES merupakan pemeriksaan penunjang kasus disfagia dengan nilai
diagnostik yang penting dan dapat dipercaya. Pemeriksaan ini mengevaluasi
fungsi menelan dengan menggunakan nasofaringoskop serat optik lentur. FEES
dianggap sebagai suatu teknik yang efisien, baik dalam hal waktu maupun
personalia. FEES adalah pemeriksaan yang objektif untuk gangguan menelan,
aspirasi, dan perencanaan intervensi terapeutik.

54
KEPUSTAKAAN

1. Kelly AM, Hydes K, McLaughlin C, Wallace S. Fibreoptic Endoscopic


Evaluation of Swallowing (FEES): The role of speech and language therapy.
RCSLT Policy Statement. 2007;p.1-39
2. Hawson FY. (2009). The Assessment of oropharyngeal Dysphagia in Adults.
Philippine Journal of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, 43-45.
3. Nacci A, Ursino F, Vela RLA, Matteuci F, Mallardi V, Fattori B. Fiberoptic
endoscopic evaluation of swallowing (FEES): proposal for informed consent.
Acta Otorhinolaryngol Ital. 2008; 28: 206-11.
4. Rusmarjono, Kartosoediro S. Odinofagi. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar
N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 5. Jakarta: FKUI. 2003. h. 173-6.
5. Gambar Anatomi Faring diunduh dari Harvard Health Publication (2013, June
15). Drugs Information Online. Retrieved from
Drugs.com:http://www.drugs.com/health-guide/throat-cancer-larynx-and-
pharynx.html
6. Dhingra P, Dhingra S. (2010). anatomy and Phisiology of Oesophagus. In P.
Dhingra, & S. Dhingra, Disease of Ear, Nose & Throat (pp. 347-8). New
Delhi: Elsevier.
7. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology: A Step-by-Step
Learning Guide. Anatomy, Physiology and Immunology of the Pharynx and
Esophagus. Georg Thieme Verlag Stuttgart. 2006;p. 98-102.
8. Shaker H. (2011). Clinical Physiology od Swallowing Mechanism. 1. Soepardi
EA. Disfagia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD. Edisi ke 6. Jakarta: FKUI. 2007. h. 276-302., 1-14.
9. Soepardi EA. Disfagia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin
J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta: FKUI. 2007. h. 276-302.
10. Logemann JA. Evaluation and Treatment of Swallowing Disorders. NSSLHA.
1984;p. 38-49.
11. Carroll RG. (2012). Gastrointestinal System . In R. G. Carroll, Elsevier's
Integrated Physiology (p. 114). Elsevier.
55
12. Bailey, Byron J, Head & Neck Surgery Otolaungology, 4th Edition, Lippincott
Williams & Wilkins, 2006 ch 50
13. Santosa YI, Madiadipoera TH, Ratunanda S, Saiguddin OM. (2011).
Gambaran Fiberoptic Endoscopic Examination of Swallowing (FEES) pada
Penderita dengan Disfagia Orofaringeal. Semarang: Departemen IK THT-KL,
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
14. Caslpo. Practice Standards and Guidelines for Dysphagia Intervention by
Speech-Language Pathologists.College of Audiologists & Speech-Language
Pathologists of Ontario.2007.p. 25-6.
15. Gallivan GJ. FEES/FEESST and Videotape Recording: Theres More to This
Than Meets the Eye. Chestjournal. 2002;122(5):1513-5.
16. ASHA. The Role of the Speech-Language Pathologist in the Performance
and Interpretation of Endoscopic Evaluation of Swallowing: Technical
Report. American Speech Language Hearing Association.2005.p.1-7.
17. Sample Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) Protocol.
2010. available at: http.everythingspeech.com.
18. Santoro PP, Furia CLB, Forte AP, Lemos EM, Garcia RI, Tavares RA, et al.
Otolaryngology and Speech Therapy evaluation in the assessment of
oropaharyngeal dysphagia: a combined protocol proposal. Braz J
Otorhinolaryngol. 2011; 77 (2): 201-13.
19. Duke Life Point Hospital. (2013, Juni 16). Maria Parham Medical Centre.
Retrieved from Speech/Language Therapy:
http://www.mariaparham.com/services/outpatient_rehabilitation/speechlangua
ge_therapy.aspx
20. London Health Sciences Centre. (2012, Oktober 1). Advances in swallowing
technology improve patient care at LHSC. thePage, 17(16).
21. Hawson FY. The Assessment of Oropharyngeal Dysphagia in Adults. Philipp
J Otolaryngol Head Neck Surg. 2009; 24(2):43-5.

56
LIMFOMA BURKITT
Muhammad Reza, Ashri Yudhistira

Pendahuluan
Limfoma Burkitt termasuk ke dalam subgrup limfoma non-Hodgkin yang
bersifat sangat agresif dan berasal dari limfosit B. Keganasan ini memiliki daya
gradasi tinggi dan terbentuk dari sel kecil (small cell) yang tidak membelah
(noncleaved) dan difus. Pemberian nama limfoma Burkitt merujuk kepada
penemu keganasan ini yaitu Denis Parsons Burkitt, yang memetakan distribusi
geografis penyakit ini pertama kali di wilayah ekuator Afrika. Sejak itu,
keganasan ini kerap ditemukan di luar kawasan Afrika dan pada individu dengan
status imunodefisiensi (Magrath, 1991; Blum, et al., 2004).
Limfoma Burkitt memiliki peranan penting di dalam pemahaman
mengenai tumorigenesis (proses pembentukan tumor). Keganasan jenis ini
merupakan keganasan manusia pertama yang dikaitkan dengan virus dan
merupakan salah satu keganasan pertama yang memiliki translokasi kromosom
yang mengaktivasi onkogen. Onkogen c-Myc (cellular myelocytomatosis) yang
diketahui berperan di dalam proses terjadinya limfoma Burkitt merupakan
onkogen pertama yang ditemukan pada limfoma. Selain itu, limfoma Burkitt
merupakan limfoma pertama yang dikaitkan dengan infeksi HIV (Human
Immunodeficiency Virus). Limfoma Burkitt juga merupakan keganasan pada
manusia yang berkembang paling pesat dengan masa penggandaan sel 24-48
jam, dan merupakan keganasan pada anak-anak pertama yang memiliki respon
yang baik terhadap kemoterapi saja serta merupakan keganasan yang paling
kerap terjadi di daerah dimana malaria bersifat holoendemik, seperti di daerah
ekuator Afrika, Brazil, dan Papua Nugini (Dang, et al., 2009).
Limfoma Burkitt merupakan bentuk keganasan yang cenderung terjadi
pada anak-anak dan usia muda, namun cukup jarang ditemukan dibandingkan
dengan keganasan lain. Angka kematian limfoma Burkitt sangat tinggi dan pada
umumnya pasien meninggal dengan cepat akibat kecenderungan keterlibatan
sistem saraf pusat secara pesat. Oleh sebab itu, keganasan tipe ini dianggap
sebagai salah satu kedaruratan medis di bidang onkologi yang membutuhkan
diagnosis serta intervensi terapeutik yang segera. Pada saat ini, prognosis
menjadi sedikit lebih baik oleh karena banyaknya pilihan kemoterapi. Kemoterapi
57
agresif yang intensif menjadi pilihan di beberapa sentra sebagai tata laksana dari
keganasan ini. Kemoterapi agresif yang intensif memberikan hasil yang baik
terhadap anak-anak, tetapi prognosisnya buruk pada usia dewasa tua. Angka
keberhasilan tata laksana agresif yang intensif bergantung pada terapi suportif
yang baik (Blum, et al., 2004; Molyneux, et al., 2012)

Sejarah
Pada tahun 1902, Sir Albert Ruskin Cook, seorang dokter misionaris di
Uganda, dan staf medis lainnya yang bekerja di wilayah Afrika Barat, Timur, dan
Tengah mencatat frekuensi angka kejadian yang tinggi dari tumor rahang pada
anak-anak, namun ia masih belum mengetahui dengan pasti jenis tumor
tersebut. Pada tahun 1957, Denis Parsons Burkitt, seorang ahli bedah Irlandia
yang bekerja pada Colonial Medical Service di Rumah Sakit Mulago di Kampala,
Uganda, diminta untuk memeriksa seorang anak laki-laki berusia 5 tahun di
bangsal pediatrik. Anak tersebut menderita tumor pada daerah kepala dan leher.
Beberapa minggu kemudian, dia mendapatkan pasien anak perempuan dengan
pola penyebaran keganasan yang sama. Tumor tersebut berkembang sangat
pesat dan anak-anak tersebut meninggal dalam hitungan minggu (Molyneux, et
al., 2012).
Burkitt mencoba untuk mengumpulkan sejumlah kasus yang sama
dengan mengadakan kontak dengan sejumlah besar Rumah Sakit di Afrika. Dari
beberapa kasus tersebut, ia mendapati kasus anak-anak dengan wajah
terdistorsi akibat tumor yang melibatkan satu atau kedua sisi wajah serta rahang
atas dan bawah, yang terkadang disertai dengan proptosis. Selain itu, ia juga
mendapati beberapa anak dengan massa abdomen yang besar. Kemudian
Burkitt mencoba mempublikasikan penelitian yang ia lakukan setahun kemudian
pada tahun 1958. Saat itu, Burkitt berspekulasi bahwa tumor tersebut
merupakan sarkoma sel bundar dan mengutarakan 38 kasus sarkoma sel
bundar tersebut. Temuan ini dianggap sebagai deskripsi gambaran klinis
pertama dari limfoma Burkitt. Namun, pada tahun 1960, George T. O'Connor,
seorang ahli patologi, menyimpulkan bahwa kanker tersebut merupakan garis
keturunan limfoma dan menamakan keganasan ini sebagai limfoma Burkitt.
(Molyneux, et al., 2012).

58
Pada tahun 1961, saat Burkitt menerbitkan suatu karya ilmiah berupa
kompilasi limfoma maligna pada anak-anak di Afrika dalam jurnal kanker dan
mengadakan suatu diskusi ilmiah mengenai hal tersebut, Michael Anthony
Epstein, seorang ahli virologi menghadiri diskusi tersebut dan menduga adanya
peranan virus sebagai penyebab terjadinya keganasan tersebut. Ia pun meminta
Burkitt untuk memberikan beberapa sampel jaringan. Tiga tahun kemudian,
Epstein bersama asistennya yang bernama Yvonne Barr dan Bert Achong telah
mampu mengindentifikasi dan mengisolasi adanya partikel virus dalam jaringan
tersebut. Virus ini kemudian dikenal sebagai virus Epstein-Barr (EBV). Virus ini
dianggap sebagai deskripsi pertama suatu virus yang terlibat di dalam
patogenesis tumor pada manusia (Rowe, et al., 2009).
Sementara itu, Burkitt bersama rekan-rekannya, Edward Williams dan
Clifford Nelson melakukan survei geografis terhadap angka kejadian limfoma
Burkitt untuk memetakan penyebaran penyakit tersebut dan mereka menemukan
bahwa keganasan ini kerap ditemukan terjadi pada daerah tropis Afrika kecuali
di daerah dataran tinggi atau beriklim relatif dingin dan angka kejadian lebih
besar ditemukan pada daerah dengan curah hujan yang tinggi. Hubungan
geografis dan iklim ini menunjukkan kesan bahwa terjadinya penyakit ini
mungkin berhubungan dengan distribusi vektor serangga tertentu, seperti
malaria (Rowe, et al., 2009; Molyneux, et al., 2012; Kanbar & Sacher, 2014).

Epidemiologi dan Kekerapan


Setelah adanya deskripsi pertama limfoma Burkitt di wilayah ekuator
Afrika, beberapa pakar patologi menemukan bahwa limfoma yang diderita oleh
individu di Eropa, Amerika Serikat dan Asia tidak dapat dibedakan secara
gambaran histopatologis terhadap limfoma Burkitt di wilayah ekuator Afrika. Oleh
sebab itu, limfoma Burkitt tidak semata-semata bersifat khas sebagai keganasan
dengan ruang lingkup terbatas pada daerah Afrika saja, walaupun angka
kejadiannya jelas ragamnya di Afrika dan Eropa atau Amerika Serikat (Rainey, et
al., 2007).
Secara global, limfoma Burkitt bersifat endemik (lokasi spesifik), kerap
mengenai anak berusia usia 4 - 11 tahun pada beberapa lokasi di wilayah
ekuator Afrika dan kawasan tropis lainnya pada garis 10 derajat lintang Utara
dan 10 derajat lintang Selatan. Hal ini erat kaitannya dengan distribusi geografis
59
malaria. Limfoma Burkitt bersifat sporadik (lokasi tersebar) pada penduduk di
luar kawasan Afrika, seperti Amerika Serikat, Australia dan Eropa Barat serta
kerap terjadi pada usia antara 20 sampai 64 tahun (usia > 20 tahun lebih tinggi
insidensinya daripada usia < 20 tahun). Di Amerika Serikat, dilaporkan 300
kasus baru per tahun dan terdapat 12 kasus baru di Australia setiap tahunnya.
Limfoma Burkitt juga diperkirakan memiliki angka kecenderungan 1.000 kali lebih
sering terjadi pada individu dengan infeksi HIV, terutama pada usia dewasa.
Sejumlah kasus baru keganasan ini dilaporkan meningkat pada banyak negara
(Mwanda, et al., 2004; Rainey, et al., 2007).
Keganasan ini terjadi lebih banyak pada pria daripada wanita, dengan
angka perbandingan 2-3 : 1 dan mayoritas penderita telah masuk ke dalam
stadium lanjut pada saat keganasan ini terdiagnosis (Orem, et al., 2007; Kanbar
& Sacher, 2014).
Menurut database SEER (Surveillance Epidemiology and End Results),
angka kejadian limfoma Burkitt di Amerika Serikat setiap tahunnya terhadap
seluruh usia, sejak tahun 2001 dan 2006 adalah sebanyak 1759 kasus
(Mwanda, et al., 2004; Orem, et al., 2007).
Data mengenai limfoma Burkitt di Indonesia masih sangat sedikit
sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan secara retrospektif di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, periode
Januari 2001 hingga Desember 2006, tercatat 7 kasus limfoma Burkitt yang
terdiri dari 6 laki-laki dan 1 perempuan. Usia termuda yakni 1 tahun 5 bulan,
sedangkan usia tertua 14 tahun 10 bulan (Nafianti, et al., 2008).

Klasifikasi
Secara umum, limfoma Burkitt dapat dibagi menjadi 3 tipe varian (Tabel
1). Walaupun presentasi klinis dan epidemiologinya berbeda, namun ketiga tipe
varian limfoma Burkitt memiliki tingkat keagresivitasan dan histopatologis yang
mirip dan hampir tidak dapat dibedakan (Kennedy, et al., 2003; Orem, et al.,
2007; Schmitz, et al., 2014).

1. Tipe endemik (tipe Afrika/tipe klasik)


Tipe ini merupakan keganasan tersering pada anak-anak dimana malaria
bersifat holoendemik (daerah ekuator Afrika, Brazil, Papua Nugini dan kawasan
60
tropis lainnya seperti Asia Tenggara), mencakup hingga 30% - 50% dari
keseluruhan tumor pada anak di wilayah Afrika, dengan predileksi utama di
daerah ekstralimfatik seperti daerah rahang, tulang wajah (tulang maksila lebih
sering terlibat daripada tulang mandibula) dan daerah orbita (> 50% kasus). Tipe
ini berhubungan erat dengan EBV dan infeksi EBV ditemukan hampir pada
seluruh penderita (> 90% kasus). Selain itu, gejala klinis lainnya berupa
pembengkakan kelenjar getah bening yang keras dan cepat bertambah besar di
daerah leher atau di bawah rahang, adanya massa di abdomen, ovarium, ileum
bagian distal, caecum, ginjal, dan payudara.

2. Tipe sporadik (tipe non-Afrika/tipe non-endemik)


Tipe ini ditemukan pada daerah dimana malaria tidak bersifat
holoendemik, seperti di daerah Amerika Serikat, Australia dan Eropa Barat serta
cenderung terjadi pada usia dewasa muda. Sel keganasan tipe ini memiliki
penampakan yang mirip dengan tipe klasik namun tidak begitu berkaitan dengan
infeksi EBV (10% - 85% kasus). Predileksi di daerah rahang jarang terlibat
dibandingkan dengan tipe endemik. Regio ileocecal merupakan daerah yang
sering terlibat. Tipe sporadik lebih sering memiliki gejala massa pada abdomen
yang menyebabkan pembengkakan dan nyeri di daerah tersebut. Beberapa
penderita dapat mengalami gejala obstruksi usus sekunder yang disebabkan
intusepsi ileocecal akibat pertumbuhan tumor.

3. Tipe terkait status imunodefisiensi


Tipe ini berkaitan dengan infeksi HIV dan penderita post-transplantasi
yang mengkonsumsi obat-obatan imunosupresif. Tipe ini berkisar 30% dari
limfoma yang terjadi pada penderita HIV. EBV terkadang terdeteksi pada 30% -
80% kasus. Limfoma Burkitt yang dialami oleh resipien transplantasi cenderung
terjadi setelah interval yang relatif lama (sekitar 4 - 5 tahun). Kebanyakan
penderita merupakan resipien transplantasi organ solid.

61
Tabel 1. Karakteristik Klinikopatologis Limfoma Burkitt

Etiopatogenesis
Pada tahun 1982, para peneliti menemukan suatu onkogen (gen spesifik
yang dapat mencetuskan pertumbuhan sel-sel tumor) pada 90% penderita
limfoma Burkitt yang disebut dengan c-Myc (cellular myelocytomatosis) yang
bertanggung jawab terhadap produksi limfosit B yang tidak terkontrol. C-Myc
merupakan suatu leucine zipper transcription factor berbasis protein dengan
berat 64-kD yang tergolong ke dalam famili faktor transkripsi basic helix-loop-
helix (bHLH) yang berikatan dengan DNA. C-Myc diketahui memegang peranan
penting di dalam proses regulasi transkripsi gen yang mengkontrol proses
pembelahan sel, siklus sel dan apoptosis (Gambar 1) (Gerbitz, et al., 1999;
Hecht & Aster, 2000).

62
Gambar 1. Pengaruh Ekspresi c-Myc yang Berlebihan terhadap Fungsi Sel

Molekul antibodi manusia dan reseptor sel B terdiri dari imunoglobulin


rantai ringan (IgL) dan imunoglobulin rantai berat (IgH) yang tersusun teratur dan
memiliki regio domain constant (C) dan variable (V) (penting untuk mengikat
antigen) (Gambar 2). Berbeda dengan imunoglobulin rantai berat, imunoglobulin
rantai ringan terdiri atas 2, yakni imunoglobulin rantai ringan kappa (Ig) dan
imunoglobulin rantai ringan lambda (Ig) (Gambar 3). Pada imunoglobulin rantai
berat, terdapat kromosom 14 yang terletak pada lengan panjang 32 (14q32),
sedangkan pada imunoglobulin rantai ringan kappa (Ig), terdapat kromosom 2
yang terletak pada lengan pendek 12 (2p12) dan imunoglobulin rantai ringan
lambda (Ig) terdapat kromosom 22 yang terletak pada lengan panjang 11
(22q11) (Chapman, et al., 1996; Hecht & Aster, 2000).

63
Gambar 2. Imunoglobulin Rantai Berat dan Rantai Ringan dengan Regio
Domain Constant (C) dan Variable (V)

2p12

Gambar 3. Imunoglobulin Rantai Berat dan Rantai Ringan Kappa (Ig) atau
Rantai Ringan Lambda (Ig) dan Lokasi Kromosomnya
Patogenesis limfoma Burkitt yang utama ditandai dengan adanya proses
translokasi yang menyebabkan transposisi onkogen c-Myc pada regio distal dari

64
lengan panjang 24 pada kromosom 8 terhadap lengan panjang 32 imunoglobulin
rantai berat (IgH) pada kromosom 14 t(8;14)(q24;q32) (pada 80% kasus),
sehingga mampu mengaktivasi gen c-Myc yang berperan di dalam proses
proliferasi tumor (Gregory & Hann, 2000; Boxer & Dang, 2001).
Pada beberapa kasus limfoma Burkitt lainnya, c-Myc pada regio distal dari
lengan panjang 24 pada kromosom 8 juga dapat bertranslokasi terhadap lengan
pendek 12 dari imunoglobulin rantai ringan (Ig) pada kromosom 2
[t(2;8)(p12;q24)] (pada 15% kasus) ataupun terhadap lengan panjang 11
imunoglobulin rantai ringan lambda (Ig) pada kromosom 22 [t(8;22)(q24;q11)]
(pada 5% kasus) (Gambar 4) (Neri, et al., 2000).

Gambar 4. Varian Translokasi c-Myc pada Kromosom 8 dengan Imunoglobulin


Rantai Berat dan Imunoglobulin Rantai Ringan

Ekspresi c-Myc berlebihan turut memicu terjadinya kematian sel


terprogram (apoptosis). C-Myc juga mengatur ekspresi telomerase, suatu enzim
dengan aktivitas transcriptase terbalik. Telomerase berperan di dalam proses

65
imortalisasi sel dengan cara mempercepat proses penuaan seluler sehingga sel
tersebut menjadi lebih rentan mengalami transformasi (Shiramizu, et al., 2001).
Selain translokasi materi genetik, limfoma Burkitt juga berkaitan dengan
virus onkogenik EBV terutama pada tipe endemik. Adanya EBV pada penderita
limfoma Burkitt tipe endemik telah ditafsirkan sebagai dampak dari tingginya
angka kejadian malaria di Afrika Tengah. Anak-anak di Afrika tidak memiliki
sistem kekebalan tubuh untuk melawan infeksi EBV akibat infeksi malaria yang
melemahkan sistem kekebalan tersebut sehingga limfosit B anak-anak tersebut
kemudian bereproduksi dengan kecepatan yang tinggi. Di Amerika Serikat,
penderita limfoma Burkitt yang memiliki EBV positif sekitar 10% - 85% kasus,
sedangkan pada pasien HIV berusia dewasa dengan limfoma Burkitt sekitar 30%
- 80% kasus (Albert, et al., 1994; Shiramizu, et al., 2001).
EBV tergolong ke dalam famili herpesvirus yang diduga berperan di
dalam terjadinya limfoma Burkitt tipe endemik. Seluruh penderita limfoma Burkitt
tipe endemik hampir selalu EBV positif (> 90% kasus). EBV cenderung
menyebabkan infeksi laten terhadap limfosit B yang kemudian dapat menghindar
dari respon imun yang diperantarai oleh sel T lalu memasuki bagian sentral
germinativum pada sel B. Hal ini akan menyebabkan terjadinya proliferasi
berlebihan dari sel B (Kennedy, et al., 2003; Bhatia, et al., 2004).
Infeksi EBV memicu ekspansi poliklonal dari sel B yang terinfeksi secara
laten. Sel yang terinfeksi EBV memberikan gambaran pola limfoblastoid
terhadap ekspresi gen EBV, dimana sel yang terinfeksi tersebut
mengekspresikan 6 antigen nukleus/Epstein-Barr nuclear antigen (EBNA) 1, 2,
3A, 3B, 3C, dan LP (Leader Protein) serta tiga protein membran (latent
membrane protein 1, 2A, and 2B). Pola ekspresi gen virus ini berhubungan
dengan proliferasi dan transformasi sel B sehingga meningkatkan terjadinya
translokasi c-Myc. Infeksi EBV juga mampu meningkatkan insidensi kerusakan
kromosom yang berperan dalam proses proliferasi. Selain itu, infeksi akut pada
penderita dengan status imunodefisiensi atau penderita malaria dapat
memperpanjang masa proliferasi sel B (Molyneux, et al., 2012).
Infeksi malaria juga memegang peranan penting terhadap patogenesis
limfoma Burkitt tipe endemik, karena infeksi tersebut mampu mengakibatkan
proses inhibisi atau resistensi pada respon imun tubuh terhadap EBV (Rainey, et
al., 2007; Chene, et al., 2009).
66
Infeksi malaria mampu menginduksi aktivasi sel B secara terus-menerus
sehingga lebih rentan terhadap terjadinya translokasi c-Myc. Selain itu, infeksi
malaria dapat mengaktivasi replikasi EBV. EBV menetap dalam keadaan laten
pada sel B memori istirahat (resting memory B cell) yang bersirkulasi pada
pembuluh darah perifer. Paparan sel B terhadap antigen malaria, terutama
malaria Falciparum yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum selama masa
infeksius dapat mereaktivasi EBV dari sel B memori, sehingga meningkatkan
jumlah virus dan sel yang terinfeksi EBV dan selanjutnya menyebabkan
translokasi c-Myc. Infeksi berulang malaria Falciparum mampu memicu proses
ekspansi poliklonal sel B dan reaktivasi EBV, sehingga menyebabkan ekspansi
sel B terinfeksi laten dan translokasi c-Myc. Imunitas sel T terhadap EBV juga
menjadi terganggu selama proses infeksi malaria sehingga menyebabkan
peningkatan replikasi EBV menjadi tidak terkontrol. Cysteine-rich interdomain
region 1 (CIDR1) domain dari Falciparum erythrocyte membrane protein 1
(PfEMP1) yang dimiliki oleh Plasmodium falciparum mampu mengaktivasi
proliferasi sel B dan mempengaruhi sel B memori serta melindungi proliferasi sel
B yang abnormal dari proses apoptosis. Selain itu, CIDR1 juga berperan di
dalam proses reaktivasi EBV selama proses infeksi malaria (Chene, et al., 2009;
Schmitz, et al., 2014).
Infeksi HIV, bersifat analog seperti halnya malaria, mampu memicu
aktivasi sel B poliklonal dan memicu proliferasi sel B yang mengandung EBV
positif secara tidak terkontrol. Instabilitas genetik akibat infeksi EBV positif
mengakibatkan regulasi sel B yang menyimpang sehingga mengakibatkan risiko
yang lebih besar terhadap terjadinya translokasi c-Myc. Infeksi HIV tidak secara
langsung terlibat di dalam proses limfomagenesis, tetapi terlibat melalui
deregulasi sitokin, stimulasi antigen kronik, dan akibat penurunan status imunitas
(Orem, et al., 2009).
Pada tahun 2000, dilaporkan suatu gen yang disebut dengan HMG-I/Y
(High Mobility Group Proteins I and Y) yang juga terlibat di dalam proses
terjadinya limfoma Burkitt. C-Myc mampu menstimulasi gen HMG-I/Y melalui
Myc-estradiol receptor cell line dengan keberadaan protein inhibitor yang disebut
cycloheximide dan dapat memicu terjadinya perubahan terhadap sel B normal
sehingga jumlahnya berlipat ganda dengan cepat dan membentuk tumor. Gen
HMG-I/Y mampu mengkode pembentukan protein HMG-I dan HMG-Y, yang
67
berfungsi sebagai protein pengikat kromatin yang penting di dalam proses
regulasi transkripsi beberapa gen. HMG-I/Y berperan di dalam luasnya berbagai
proses seluler seperti regulasi dari gen transkripsi, integrasi virus ke dalam
kromosom dan perangsangan transformasi neoplasma serta perkembangan
metastatik sel tumor. Semua anggota dari famili HMG-I/Y memiliki struktur
pengait yang dapat ikut serta di dalam proses interaksi protein-DNA dan protein-
protein yang mampu menginduksi terjadinya perubahan struktrur dari substrat
kromatin dan pembentukan kompleks spesifik bernama enhanceosome pada
regio dimana gen tersebut diatur proses transkripsinya. Adanya peningkatan gen
HMG-I/Y akibat ekspresi berlebihan dari c-Myc tersebut menyebabkan terjadinya
proses proliferasi sel berlebihan sehingga bertransformasi menjadi sel tumor
(Molyneux, et al., 2012; Schmitz, et al., 2014).

Gejala Klinis
Gejala klinis yang terjadi pada limfoma Burkitt (Gambar 5) berhubungan
dengan cepatnya proses pematangan dan proliferasi limfosit B serta keterlibatan
ekstralimfatik maupun invasi terhadap organ tubuh yang terkena. Karena
cepatnya pertumbuhan limfoma Burkitt, penderita dapat dengan segera memiliki
manifestasi kelainan metabolik dan gangguan fungsi ginjal (memiliki risiko tinggi
terhadap terjadinya komplikasi sindrom tumor lisis). Pada anak-anak, gejala
muncul dengan segera 4 hingga 6 minggu setelah keganasan ini mulai
berkembang (Magrath, 1991; Molyneux, et al., 2012).
Gejala klinis limfoma Burkitt pada awalnya hanya dikenali dengan
pembesaran kelenjar getah bening tanpa rasa sakit dan tumbuh dengan cepat
pada leher, sela paha, di bawah rahang atau bisa juga di bawah tangan. Secara
klinis, perjalanan penyakit keganasan ini bersifat sangat progresif dengan
penyebaran cepat dan jika tidak segera diobati, penderita dapat dengan segera
meninggal (Kanbar & Sacher, 2014).
Adanya massa abdomen dapat menyebabkan nyeri dan distensi
abdomen maupun asites diikuti dengan mual dan muntah, hilangnya nafsu
makan dengan komplikasi berupa pendarahan saluran cerna dan perforasi usus
Keterlibatan terhadap sistem saraf pusat yang meliputi otak serta sum-sum
tulang belakang kerap terjadi dengan gejala infiltrasi meningens, dengan atau
tanpa keterlibatan nervus kranialis (paling sering nervus kranialis III dan VII),
68
nyeri kepala, gangguan penglihatan, paraplegia akibat keterlibatan saraf spinalis
(Blum, et al., 2004; Molyneux, et al., 2012; Kanbar & Sacher, 2014).
Gejala konstitusional ("B" systemic symptoms) kerap dijumpai pada
penderita keganasan limfoma. Ada tidaknya gejala konstitusional memberikan
gambaran prognosis dan stadium dari limfoma. Gejala konstitusional merupakan
marker terhadap perjalanan penyakit lanjut dengan keterlibatan sistemik, seperti
demam > 38 derajat Celsius, keringat malam dan penurunan berat badan 10%
selama 6 bulan (Kanbar & Sacher, 2014).

Gambar 5. Berbagai Gambaran Klinis Limfoma Burkitt

Diagnosis
Selain berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat
terhadap penderita limfoma Burkitt dengan berbagai gejala klinis, pemeriksaan
histopatologis dari biopsi kelenjar getah bening atau jaringan ekstralimfatik
merupakan baku emas untuk penegakan diagnosis. Biopsi kelenjar getah bening
dilakukan hanya 1 kelenjar yang paling representatif, superfisial, dan perifer. Jika
terdapat kelenjar perifer/superfisial yang representatif, maka tidak perlu
dilakukan biopsi intra-abdominal atau intratorak. Untuk mencari metastasis serta
menentukan stadium perlu dilakukan pemeriksaan lumbal punksi/Bone Marrow

69
Puncture (BMP) dan beberapa pemeriksaan pencitraan (Blum, et al., 2004;
Molyneux, et al., 2012).
Secara morfologis (gambaran mikroskopis), ketiga tipe varian hampir
tidak dapat dibedakan walaupun pada tipe terkait status imunodefisiensi memiliki
gambaran yang lebih plasmasitik atau lebih pleomorfik, namun hal tersebut tidak
begitu spesifik. Limfoma Burkitt terdiri dari populasi sel limfoid homogen (serupa
dalam ukuran dan morfologi) berukuran sedang dengan aktivitas proliferasi dan
apoptosis yang tinggi. Terlihat gambaran khas starry sky atau langit berbintang
saat diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran lemah, oleh karena
adanya tingible body macrophage (berisi sel-sel apoptosis dan debris) yang
tersebar. Sel tumor memiliki sitoplasma basofilik dengan sejumlah vakuola lipid
dengan inti bulat dan kromatin agak kasar yang terputus-putus. Fujita, et al.,
(2004) dalam penelitian mereka mendapatkan bahwa hasil pemeriksaan
histopatologi sebanyak 80% menunjukkan gambaran starry sky (Gambar 6).

Gambar 6. Gambaran Histopatologis Khas Starry Sky (Langit Berbintang) dari


Limfoma Burkitt

70
Sel limfoma Burkitt biasanya mengekspresikan marker imunoglobulin M
serta antigen diferensiasi sel B seperti CD (Cluster of Designation/Classification
Determinant) 10, CD19, CD20, CD22, CD43, CD77, CD79a, serta HLA-DR dan
Bcl-6. Ekspresi CD21 hanya terlihat pada penderita limfoma Burkitt dengan EBV
positif (Fujita, et al., 2004).

Penentuan Stadium
Penentuan stadium ini sangat penting untuk melakukan perencanaan
penatalaksanaan dan menilai prognosis. Oleh karena kebanyakan penderita
mengalami massa intralimfatik ataupun ekstralimfatik, beberapa sistem stadium
yang berbeda pun diajukan (Kanbar & Sacher, 2014).
Sistem stadium yang paling umum untuk limfoma non-Hodgkin pada
orang dewasa, termasuk limfoma Burkitt, adalah sistem Ann Arbor yang
kemudian dimodifikasi oleh Cotswold, terdiri atas 4 stadium sebagai berikut
(Schmitz, et al., 2014):
1. Stadium I: Limfoma terbatas pada satu regio kelenjar getah bening, baik di
atas ataupun di bawah diafragma, atau pada organ atau bagian tubuh selain
kelenjar getah bening (satu organ ekstralimfatik), namun belum menyebar ke
organ atau kelenjar getah bening lain (IE).
2. Stadium II: Limfoma menyerang dua atau lebih regio kelenjar getah bening
pada satu sisi yang sama dari diafragma (di atas ataupun di bawah
diafragma), atau hanya pada satu organ atau daerah lain selain kelenjar getah
bening, tetapi telah menyebar ke kelenjar getah bening di dekat organ atau
daerah tersebut (satu organ ekstralimfatik dan satu atau lebih kelenjar getah
bening pada satu sisi diafragma (IIE).
3. Stadium III: Limfoma menyerang regio kelenjar getah bening pada kedua sisi
diafragma, yang dapat disertai dengan keterlibatan limpa (IIIS) atau
terlokalisasi pada satu organ ekstralimfatik (IIIE) atau keduanya (IIISE).
4. Stadium IV: Limfoma menyebar luas pada regio kelenjar getah bening secara
difus, mengenai satu atau lebih organ ekstralimfatik, dengan atau tanpa
disertai keterlibatan kelenjar getah bening yang berada jauh dari organ yang
terkena.

71
Tambahan:
Pada semua stadium tersebut, kondisi pasien dapat dijelaskan secara
lebih rinci dengan menggunakan huruf untuk menunjukkan adanya gejala umum
tertentu dan/atau organ-organ tubuh yang sudah terkena penyakit. Huruf A atau
B ditambahkan berdasarkan ada tidaknya gejala konstitusional (Kanbar &
Sacher, 2014).
A: Tidak terdapat gejala konstitusional (B systemic symptoms) seperti demam
> 38 derajat Celsius, keringat malam, dan/atau penurunan berat badan 10%
selama 6 bulan
B: Terdapat gejala konstitusional (B systemic symptoms)
Huruf X ditambahkan jika ditemukan ukuran tumor yang besar (> 10 cm),
atau jika ditemukan massa mediastinum dengan lebar lebih dari 1/3 diameter
transversal toraks interna pada pemeriksaan foto toraks.
Beberapa huruf subscript (berukuran kecil dan letaknya sedikit di bawah)
turut ditambahkan jika ditemukan keterlibatan organ-organ tertentu, seperti: L =
keterlibatan paru, H = keterlibatan hati, P = keterlibatan pleura, B = keterlibatan
tulang, M keterlibatan sum-sum tulang dan D = keterlibatan kulit.

Sistem Ann Arbor kemudian turut dimodifikasi oleh Hence OReilly dan
Connors untuk kepentingan klinis, dibuat berdasarkan stadium Ann Arbor, ada
tidaknya gejala konstitusional (B systemic symptoms) dan ukuran tumor,
sebagai berikut:
1. Stadium dini (limited stage): Ann Arbor stadium I atau II; dan tidak ada gejala
konstitusional (B systemic symptoms); dan ukuran diameter tumor < 10 cm.
2. Stadium lanjut (advanced stage): Ann Arbor stadium III atau IV; atau ada
gejala konstitusional (B systemic symptoms); atau ukuran diameter tumor >
10 cm
Selain itu, The National Cancer Institute mengelompokkan stadium
limfoma Burkitt sebagai berikut (Kanbar & Sacher, 2014):
A : massa ekstra-abdominal tunggal
AR : massa intra-abdominal, dengan lebih dari 90% dari massa telah
direseksi
B : massa ekstra-abdominal multipel

72
C : massa intra-abdominal
D : massa intra-abdominal ditambah dengan 1 atau lebih massa
ekstra-abdominal

Penatalaksanaan
Pada prinsipnya, seluruh tipe varian limfoma Burkitt diterapi dengan
kemoterapi sistemik intensif yang sama. Angka kehidupan bergantung pada
stadium penyakit saat diagnosis awal. Penderita dengan penyakit yang masih
terbatas dan bersifat lokal (stadium 1 dan 2) diharapkan penyembuhan berkisar
antara 90-100% dengan pemberian kemoterapi. Namun, limfoma Burkitt tipe
sporadik dan tipe terkait status imunodefisiensi kurang memiliki daya sensitivitas
yang baik terhadap kemoterapi seperti layaknya tipe endemik, sehingga
prognosis kedua tipe keganasan tersebut lebih buruk, khususnya terhadap usia
dewasa (Kanbar & Sacher, 2014).
Kemoterapi merupakan tata laksana andalan dari limfoma Burkitt. Secara
umum, tiga pendekatan kemoterapi yang tersedia untuk limfoma Burkitt,
mencakup (Bolam, 2009; Kanbar & Sacher, 2014):
1. Regimen kemoterapi jangka pendek yang intensif, seperti CODOX-M/IVAC
(regimen Magrath) (cyclophosphamide, vincristine, doxorubicin, high-dose
methotrexate/ifosfamide, etoposide, high-dose cytarabine) dan protokol
Cancer and Leukemia Group B (CALGB) 9251
2. Regimen kemoterapi jangka panjang yang mirip dengan penatalaksanaan
Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL), seperti hyper-CVAD (modified
fractionated cyclophosphamide, vincristine, doxorubicin, dexamethasone) dan
protokol Cancer and Leukemia Group B (CALGB) 8811
3. Regimen kombinasi keduanya diikuti dengan transplantasi sel punca (stem
cell transplantation)
Pemberian monoclonal antibody seperti Rituximab (Mabthera) selalu
ditambahkan terhadap ketiga pendekatan kemoterapi tersebut. Pengobatan
lainnya yang juga kerap digunakan bersamaan dengan ketiga pendekatan
kemoterapi tersebut di atas, meliputi: glukokortikoid (prednison, metil
prednisolon, dll), enzim urate-oxidase (rasburicase) dan terapi suportif lainnya.

73
Alupurinol dan hidrasi adekuat sebagai profilaksis terhadap risiko terjadinya
sindrom tumor lisis juga perlu diberikan (Kanbar & Sacher, 2014).
Pemberian regimen kemoterapi yang kurang intensif pada limfoma Burkitt
seperti regimen kemoterapi untuk tipe limfoma non-Hodgkin lainnya seperti
CHOP [cyclophosphamide, hydroxydaunorubicin hydrochloride (doxorubicin
hydrochloride), vincristine and prednisone] biasanya akan mengakibatkan
terjadinya kekambuhan dan angka kehidupan yang lebih rendah (McMaster, et
al., 1991; Kanbar & Sacher, 2014).
Masih belum ditemukan data penelitian yang akurat perihal perbandingan
terhadap ketiga pendekatan kemoterapi tersebut di atas. Namun, regimen
kemoterapi jangka pendek yang intensif lebih sering digunakan di sentra
kesehatan di Amerika Serikat, karena jangka waktu pemberiannya lebih singkat
dan tidak begitu rumit dibandingkan dengan pendekatan tipe ke-2
(pemberiannya bisa sampai 2 tahun) ataupun kombinasinya. Regimen yang
paling sering digunakan adalah CODOX-M/IVAC (Kanbar & Sacher, 2014).

CODOX-M/IVAC

Regimen kemoterapi CODOX-M/IVAC (cyclophosphamide, vincristine,


doxorubicin, high-dose methotrexate/ifosfamide, etoposide, high-dose
cytarabine) terdiri dari 4 siklus, setiap siklus berlangsung sampai jumlah
hitungan sel-sel darah pulih [hitungan neutrofil absolut/Absolute Neutrophil
Count [ANC] > 1000/L; trombosit > 100.000/L). Siklus 1 dan 3 menggunakan
CODOX-M, sedangkan siklus 2 dan 4 menggunakan IVAC (Tabel 2, 3, 4 dan 5)
(Bolam, 2009).

74
Tabel 2. Regimen Kemoterapi CODOX-M pada Pasien Berusia 65 Tahun

75
Tabel 3. Regimen Kemoterapi CODOX-M pada Pasien Berusia > 65 Tahun

76
Tabel 4. Regimen Kemoterapi IVAC pada Pasien Berusia 65 Tahun

Tabel 5. Regimen Kemoterapi IVAC pada Pasien Berusia > 65 Tahun

77
Prognosis
Tata laksana yang segera diperlukan sebagai penentu prognosis yang
baik. Usia muda biasanya memiliki prognosis yang lebih baik daripada dewasa.
Dengan tata laksana yang tepat, angka kesembuhan bisa mencapai 70% - 80%.
Selain itu, prognosis limfoma Burkitt juga bergantung pada besarnya massa
tumor saat diagnosis. Penderita limfoma Burkitt pada usia dewasa dengan
perjalanan penyakit lanjut seperti adanya keterlibatan sistem saraf pusat
memiliki prognosis yang buruk, tetapi angka keberlangsungan hidup dapat lebih
panjang dengan kemoterapi agresif yang intensif.

78
Daftar Pustaka

Albert, T., Burlbauer, B., Kohlhuber, F., Hammerson, B. and Eick, D. 1994.
Ongoing mutations in the N-terminal domain of c-Myc affect transactivation
in Burkitt's lymphoma cell lines. Oncogene, 9, pp.759-63.

Bhatia, K., Spangler, G., Gaidano, G., Hamdy, N., Dalla-Favera, R. and Magrath,
I. 2004. Mutations in the coding region of c-myc occur frequently in
acquired immunodeficiency syndrome-associated lymphomas. Blood, 84,
pp.883-8.

Blum, K.A., Lozanski, G. and Byrd, J.C. 2004. Adult Burkitt leukemia and
lymphoma. Blood, 104(10), pp.1-13.

Bolam, S. 2009. ASWCS Haematology Chemotherapy Protocols, viewed 1 June


2014. http://www.avon.nhs.uk/aswcs-
chemo/HCP/Part5/CODOX%20M%20IVAC%20section%205%20v3.pdf

Boxer, L. and Dang, C. 2001. Translocations involving c-myc and c-myc function.
Oncogene, 20, pp.5595-610.

Chapman, C., Zhou, J., Gregory, C., Rickinson, A. and Stevenson, F. 1996. VH
and VL gene analysis in sporadic Burkitt's lymphoma shows somatic
hypermutation, intraclonal heterogeneity, and a role for antigen selection.
Blood, 88, pp.3562-8.

Chene, A., Donati, D. and Orem, J. 2009. Endemic Burkitts lymphoma as a


polymicrobial disease: new insights on the interaction between Plasmodium
falciparum and Epstein-Barr virus. Semin Cancer Biol, 19, pp. 411-20.

Dang, C., Resar, L. and Emison, E. 2009. Function of the c-Myc oncogenic
transcription factor. Exper Cell Res, 253, pp.63-77.

79
Fujita, S., Buziba, N., Kumatori, A., Senba, M., Yamaguchi, A. and Toriyama, K.
2004. Early stage of Epstein-Barr virus lytic infection leading to the starry
sky pattern formation in endemic Burkitt lymphoma. Arch Pathol Lab Med,
128, pp.549-52.

Gerbitz, A., Mautner, J. and Geltinger, C. 1999. Deregulation of the proto-


oncogene c-myc through t(8; 22) translocation in Burkitt's lymphoma.
Oncogene, 18, pp.1745-53.

Gregory, M. and Hann, S. 2000. C-Myc proteolysis by the ubiquitin-proteasome


pathway: stabilization of c-Myc in Burkitt's lymphoma cells. Mol Cell Biol,
20, pp.2423-35.

Hecht, J. and Aster J. 2000. Molecular biology of Burkitt's lymphoma. J Clin


Oncol, 18, pp.3703-21.

Kanbar, A.H. and Sacher, R.A. 2014. Burkitt Lymphoma and Burkitt-like
Lymphoma, viewed 1 June 2014.
http://emedicine.medscape.com/article/1447602-overview

Kennedy, G., Komano, J. and Sugden, B. 2003. Epstein-Barr virus provides a


survival factor to Burkitt's lymphomas. Proc Natl Acad Sci, 100, pp.14269-
74.

Magrath, I.T. 1991. African Burkitts lymphoma. History, biology, clinical features,
and treatment. Am J Pediatr Hematol Oncol, 13, pp.222-46.

McMaster, M., Greer, J., Greco, A., Johnson, D., Wolff, S. and Hainsworth, J.
1991. Effective treatment of small-non-cleaved-cell lymphoma with high-
intensity, brief-duration chemotherapy. J Clin Oncol, 9, pp.941-6.

Molyneux, E.M., Rochford, R., Griffin, B., Newton, R., Jackson, G., Menon, G.,
Harrison, C.J., Israels, T. and Bailey, S. 2012. Burkitts lymphoma. Lancet,
379, pp.1234-44.
80
Mwanda, O.W., Rochford, R., Moormann, A.M., Macneil, A., Whalen, C. and
Wilson, M.L. 2004. Burkitts lymphoma in Kenya: geographical, age, gender
and ethnic distribution. East Afr Med J, 8, pp.68-77.

Nafianti, S., Windiastuti, E. and Gatot, D. 2008. Gambaran Limfoma Burkitt di


Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Sari Pediatri, 10(1), pp.47-52

Neri, A., Barriga, F., Knowles, D., Magrath, I. and Dalla-Favera, R. 2000.
Different regions of the immunoglobulin heavy-chain locus are involved in
chromosomal translocations in distinct pathogenetic forms of Burkitt's
lymphoma. Proc Natl Acad Sci, 85, pp.2748-52.

Orem, J., Mbidde, E.K., Lambert, B., de Sanjose, S. and Weiderpass, E. 2007.
Burkitts lymphoma in Africa, a review of the epidemiology and etiology. Afr
Health Sci, 7, pp.166-75.

Orem, J., Maganda, A., Mbidde, E.K. and Weiderpass, E. 2009. Clinical
characteristics and outcome of children with Burkitt lymphoma in Uganda
according to HIV infection. Pediatr Blood Cancer, 52, pp.455-8.

Rainey, J.J., Mwanda, W.O., Wairiumu, P., Moormann, A.M., Wilson, M.L. and
Rochford, R. 2007. Spatial distribution of Burkitts lymphoma in Kenya and
association with malaria risk. Trop Med Int Health, 12, pp.936-43.
Rowe, M., Kelly, G.L., Bell, A.I. and Rickinson, A.B. 2009. Burkitts lymphoma:
the Rosetta Stone deciphering Epstein-Barr virus biology. Semin Cancer
Biol, 19, pp. 377-88.

Schmitz, R., Ceribelli, M., Pittaluga, S., Wright, G. and Staudt, L.M. 2014.
Oncogenic Mechanisms in Burkitt Lymphoma. Cold Spring Harb Perspect
Med, 12, pp.1-13.

81
Shiramizu, B., Barriga, F. and Neequaye, J. 2001. Patterns of chromosomal
breakpoint locations in Burkitt's lymphoma: relevance to geography and
Epstein-Barr virus association. Blood, 77, pp.1516-26.

82
Auditory Steady-State Response (ASSR)

Muhammad Reza, Tengku Siti Hajar Haryuna

Pendahuluan
Gangguan pendengaran dan ketulian dapat terjadi pada semua usia, namun
seringkali tidak disadari, apalagi saat terjadi pada bayi. Dampak gangguan
pendengaran dan ketulian tidak hanya berakibat pada terganggunya
perkembangan wicara dan bahasa, namun pada tahap selanjutnya akan
menyebabkan hambatan perkembangan akademik, ketidakmampuan
bersosialisasi, perilaku emosional dan berkurangnya kesempatan memperoleh
pekerjaan.1-3
Diagnosis dini sangat besar pengaruhnya dalam hal mengurangi dampak
kecacatan yang lebih besar di kemudian hari, terutama pada bayi, karena erat
kaitannya dengan perkembangan bicara dan bahasa. 4 Prevalensi gangguan
pendengaran sedang hingga sangat berat secara bilateral pada bayi baru lahir
adalah 1 - 3 per 1000 kelahiran.2,5-7 Kezirian, et al. (2001) menuliskan prevalensi
gangguan pendengaran kongenital sebesar 1.5 - 6 per 1000 bayi.7
Di Indonesia, berdasarkan survei kesehatan indera pendengaran di tujuh
provinsi pada tahun 1994 - 1996, sebesar 0.1% penduduk menderita tuli
kongenital. Hasil survei tersebut juga menunjukkan bahwa prevalensi gangguan
pendengaran pada anak kelompok usia 0 - 4 tahun, 5 - 6 tahun dan 7 - 18 tahun
berturut-turut sebesar 8.3%, 9.5% dan 10.4%.10
Telah banyak pedoman pemeriksaan pendengaran pada anak yang
teridentifikasi menderita gangguan pendengaran, baik melalui program
penapisan maupun dirujuk untuk penilaian fungsi pendengaran. American
Speech Language Hearing Association (ASHA) merekomendasikan
pemeriksaan pendengaran anak secara komprehensif yang mencakup penilaian
tingkah laku, elektrofisiologis, serta perkembangan motorik, wicara dan
bahasa.11
Terdapat berbagai macam pemeriksaan yang saling melengkapi satu dengan
lainnya untuk menentukan adanya gangguan pendengaran. Pemeriksaan
elektrofisiologis berperan dalam memberikan data objektif mengenai ambang
dengar pada anak atau pasien yang sulit diperiksa (difficult-to-test) dengan

83
audiometri konvensional.11-13 Dalam beberapa tahun terakhir telah berkembang
sebuah teknik pemeriksaan pendengaran objektif yang dapat menentukan
ambang dengar pada frekuensi tertentu secara spesifik, yaitu auditory steady-
state response (ASSR), yang diperkenalkan pertama kali oleh Galambos,
Makeig dan Talmachoff pada tahun 1981 dan dikenal dengan 40 Hz Event
Related Potential yang secara klinis mulai digunakan pada tahun 2001.12,13,17,18
ASSR merupakan pemeriksaan elektrofisiologis terhadap respon sistem
pendengaran berupa gelombang di otak yang dibangkitkan oleh stimulasi suara.
Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan ambang dengar dengan teknik
ASSR ini lebih cepat karena dapat secara simultan memeriksa empat frekuensi
masing-masing pada kedua telinga. ASSR dapat memberikan informasi
frekuensi spesifik dibandingkan click BERA (Brainstem-evoked response
audiometry) yang telah lebih dulu dikenal luas.17,18 Intensitas pada pemeriksaan
ASSR dapat diberikan sampai 127.8 dB, sehingga dapat mengidentifikasi
ambang dengar pada subyek dengan gangguan pendengaran sangat berat atau
dengan kata lain dapat menentukan sisa pendengaran.19
Pemeriksaan ASSR tidak dipengaruhi oleh soundfield speaker atau hearing
aid amplifier karena respon pada ASSR sifatnya steady-state dan stimulusnya
simultan, sehingga ASSR dapat digunakan untuk memperkirakan ambang
dengar pada pasien implan koklea atau untuk kepentingan pemasangan alat
bantu dengar.20
Sampai saat ini penelitian mengenai ASSR masih banyak dilakukan di sentra-
sentra pendengaran terkemuka, namun belum ada data mengenai sensitivitas
dan spesifisitas pemeriksaan ini.21
Sinonim
ASSR memiliki beberapa persamaan istilah dengan22:
Amplitude-Modulation-Following Response (AMFR)
Envelope-Following Response (EFR)
Frequency-Following Response (FFR)
Steady State Evoked Potential (SSEP)
Steady State Evoked Response (SSER)
40 Hz Event Related Potential
80 Hz Event Related Potential

84
Definisi
ASSR merupakan suatu pemeriksaan elektrofisiologis terhadap respon
sistem pendengaran berupa gelombang di otak yang dibangkitkan oleh stimulus
bunyi yang steady-state secara simultan atau terus-menerus (continuous).
Pemeriksaan ini mirip dengan pemeriksaan BERA, namun waktu yang
dibutuhkan untuk mendapatkan ambang dengar lebih cepat karena dapat
dilakukan secara simultan pada kedua telinga sekaligus diperiksa 4 frekuensi
baku seperti pada audiometri konvensional. Pada BERA diukur dalam mikrovolt,
sedangkan pada ASSR diukur dalam nanovolt. Hasil tes BERA gambarannya
berupa gelombang-gelombang, sedangkan hasil tes ASSR berupa audiogram.
Biasanya, jika dalam pemeriksaan BERA tidak ditemukan gelombang V di
intensitas 80 dB, maka disarankan untuk melakukan tes ASSR untuk
mengetahui berapa derajat gangguan pendengaran bayi atau anak.17-20

Stimulus ASSR
Agar suara yang diberikan dapat didengar maka gelombang suara
ditransmisikan dengan bantuan gelombang frekuensi tinggi. Gelombang suara
tersebut menumpang ke gelombang lain, yang biasa disebut gelombang
pembawa atau carrier (CF) (Gambar 1) yang kemudian melakukan modulasi.
Modulasi frekuensi (MF, satuan Hz) digunakan untuk mengubah komponen
gelombang carrier agar sesuai pada gelombang suaranya.23
Pada awal tahun 1990-an, dilakukan penelitian untuk menentukan MF optimal
yang tidak dipengaruhi oleh tingkat kesadaran ataupun usia. Studi sebelumnya
menggunakan MF 35 - 55 Hz untuk menilai ambang dengar dan respon cukup
kuat dihasilkan jika MF yang digunakan adalah 40 Hz. Meskipun MF 40 Hz
memiliki respon yang baik terhadap perkiraan ambang dengar subyek dewasa
dengan pendengaran normal dan abnormal, namun respon tersebut dipengaruhi
oleh keadaan tidur dan sedasi serta bersifat tidak stabil jika subyeknya bayi dan
anak-anak sehingga jarang digunakan. MF berkisar 70 - 110 Hz ditemukan
memiliki respon yang baik terhadap berbagai tingkat kesadaran dan segala
usia.24-28
Stimulus yang diberikan pada ASSR adalah Amplitude Modulation (AM) atau
Frequency Modulation (FM) atau kombinasi AM + FM dari frekuensi carrier 500
Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan 4000 Hz (Gambar 2).24-29
85
Gambar 1. Ilustrasi Gelombang Beberapa Sinyal30

Gambar 2. Ilustrasi Gelombang pada 4 Frekuensi ASSR31

Perbedaan Sinyal AM, FM dan AM + FM


Sinyal AM
Sinyal AM merupakan salah satu bentuk modulasi dimana sinyal informasi
digabungkan dengan sinyal carrier berdasarkan perubahan amplitudonya.
Bentuk modulasi dimana amplitudo sinyal carrier divariasikan secara proposional
berdasarkan sinyal pemodulasi (sinyal informasi) dan frekuensi sinyal carrier
tetap konstan. Besarnya amplitudo sinyal informasi mempengaruhi besarnya
amplitudo dari carrier, tanpa mempengaruhi besarnya frekuensi sinyal carrier.
Parameter sinyal yang mengalami perubahan adalah amplitudonya. Rentang

86
frekuensi AM adalah 500 Hz - 1600 kHz dan panjang gelombang atau amplitudo
AM adalah 1600 kHz - 30000 kHz.29-32
Ampitudo suara pada sinyal AM berubah setiap siklus dan derajat perubahan
amplitudo dikenal dengan depth of modulation dengan satuan %, dimana
semakin besar persentasenya (90 - 100%), maka semakin besar perubahan
energi amplitudo suara (nilai maksimum 100%) untuk frekuensi carrier 4000
Hz.29-32

Gambar 3. Sinyal AM32

Pada contoh Gambar 3, frekuensi carrier = 4000 Hz, modulasi frekuensi =


100 Hz, depth of modulation = 100%
Sinyal AM memiliki energi primer pada frekuensi carrier 4000 Hz dengan
energi sideband (minimum dan maksimum) 3900 Hz (frekuensi carrier -
modulasi frekuensi) dan 4100 Hz (frekuensi carrier + modulasi frekuensi)

Sinyal FM
Sinyal FM merupakan suatu bentuk modulasi dimana frekuensi sinyal carrier
divariasikan secara proposional berdasarkan amplitudo sinyal pemodulasi (sinyal
informasi) dan amplitudo sinyal carrier tetap konstan. Rentang frekuensi FM
adalah 88 MHz - 108 MHz sehingga dikategorikan sebagai Very High Frequency
(VHF), sedangkan panjang gelombangnya adalah dibawah 1000 kHz sehingga
jangkauan sinyalnya tidak jauh. 29-32
Frekuensi suara pada sinyal FM berubah setiap durasi dan perubahan yang
terjadi diukur dengan % dari frekuensi carrier dan dikenal dengan depth of
frequency, dimana perubahan tersebut terjadi di atas dan di bawah frekuensi
carrier (nilai maksimum 20% untuk frekuensi carrier 4000 Hz).29-32

87
Gambar 4. Sinyal FM32

Pada contoh Gambar 4, frekuensi carrier = 4000 Hz, modulasi frekuensi =


100 Hz, FM = 20%
Nilai minimum dan maksimum frekuensi adalah 20% dari frekuensi carrier
yakni 3200 (frekuensi carrier - 800 Hz) hingga 4800 (frekuensi carrier +
800 Hz)
Oleh karena itu, energi primer pada frekuensi carrier 4000 Hz berkisar
3200 - 4800 Hz

Sinyal AM + FM
Peneliti menemukan bahwa respon ASSR terbesar ditemukan pada subyek
dewasa dan bayi saat % FM (depth of frequency) tertinggi digunakan bersamaan
dengan % AM (depth of modulation) tertinggi. Respon ASSR yang lebih besar
(15 - 17%) cenderung dihasilkan saat frekuensi carrier dimodulasi dengan
kombinasi sinyal AM + FM dibanding sinyal tunggal AM ataupun FM sehubungan
dengan tambahan pengaruh independen dari masing-masing sinyal. Oleh
karena itu, kombinasi sinyal ini akan mempersingkat waktu tes yang dibutuhkan
untuk memvisualisasikan ASSR.29-32

Gambar 5. Sinyal AM + FM32

88
AM + FM (mixed) = amplitudo dan frekuensi berubah setiap siklus
Pada contoh Gambar 5, frekuensi carrier = 4000 Hz, modulasi frekuensi =
100 Hz, dengan depth of modulation AM = 100% dan depth of frequency
FM = 20%
Energi primer pada 2000 - 5000 Hz
Amplitudo respon lebih besar daripada sinyal tunggal AM dan FM

Mekanisme Kerja ASSR


Sinyal stimulus menginduksi getaran pada membran basilaris yang sesuai
dengan frekuensi carrier, yang selanjutnya merangsang sel-sel rambut dalam
(IHC). IHC akan berdepolarisasi saat stereosilia mengalami defleksi sehingga
menyebabkan serat saraf pendengaran mentransmisikan potensial aksi. Proses
transduksi tersebut akan meluruskan sinyal stimulus di koklea, dan diikuti oleh
low-pass filtering di jalur pendengaran aferen untuk menyelesaikan proses
demodulasi hingga sampai ke korteks pendengaran primer, sehingga
mengakibatkan komponen spektrum dengan nilai yang sesuai dengan modulasi
frekuensi. Mekanisme ini memungkinkan penghantaran maksimum serat jalur
pendengaran untuk mengadakan sinkronisasi sesuai dengan fase gelombang
modulasi. Oleh karena stimulus yang terjadi sangat cepat, respon otak terhadap
masing-masing stimulus akan bangkit sebelum respon terhadap stimulus
sebelumnya hilang, sehingga akan didapatkan keadaan steady-state. Jalur
pendengaran aferen menunjukkan organisasi tonotopik. Oleh karena itu, sinyal
stimulus memicu respon di daerah tertentu di sepanjang jalur pendengaran
tergantung pada frekuensi carrier stimulus.30-35

Gambar 6. Mekanisme Kerja ASSR34

89
Beberapa studi telah menyelidiki sumber yang menghasilkan ASSR,
tanggapan untuk nada dengan modulasi frekuensi rendah (di bawah 70 Hz)
terutama dihasilkan di korteks pendengaran kontralateral ke telinga dirangsang,
tapi respon terhadap modulasi frekuensi yang lebih tinggi (di atas 70 Hz)
memiliki asal subkortikal. Oleh karena itu, rekaman ASSR menilai status dari
jalur pendengaran sampai ke situs pembangkit respon.36,37

Peralatan ASSR
Alat-alat yang diakui untuk proses recording dan analisis ASSR secara klinis
adalah GSI Audera dari Grason Stadler / VIASYS (Gambar 7) dan Natus
Biologic MASTER dari Biologic Systems Corp (Gambar 8).35
GSI Audera bersifat monaural single-frequency dan Natus Biologic MASTER
bersifat binaural multiple-frequency. Luts dan Wouters (2005) menyebutkan
bahwa dari 10 subyek dewasa dengan pendengaran normal dan 10 subyek
dewasa dengan gangguan pendengaran, Natus Biologic MASTER lebih baik
untuk test-retest reliability. Namun, untuk 10 subyek dewasa dengan gangguan
pendengaran, keduanya bekerja dengan baik di dalam menentukan ambang
pendengaran.33-35

Gambar 7. GSI Audera dari Grason Stadler / VIASYS35

90
Gambar 8. Natus Biologic MASTER dari Biologic Systems Corp35

Persiapan dan Prosedur ASSR


Pada prinsipnya, tahapan persiapan dan prosedur ASSR adalah sama
dengan BERA. Lingkungan pemeriksaan harus baik, bebas dari gangguan
gelombang elektromagnetik dan bising demi memberikan hasil rekaman yang
ideal. Pasien harus berada dalam keadaan relaksasi. Pengalaman menunjukkan
bahwa hasil terbaik diperoleh pada bayi dan anak diatas 1 bulan jika pada
pemeriksaan diberikan obat sedatif. Obat sedatif yang biasa digunakan adalah
kloral hidrat (50-75 mg/kg berat badan) yang merupakan suatu obat hipnotik
sedatif yang biasanya digunakan pada pemeriksaan pediatri karena efeknya
yang rendah terhadap depresi pernafasan dan sistem jantung.38,39
Pemasangan elektroda mengikuti aturan sebagai berikut:
- Bersihkan permukaan kulit daerah glabela dan tip mastoid kanan dan kiri
dengan alkohol 96% dan scrab, kemudian oleskan gel transformer pada area
yang sama.
- Pasang tiga buah elektroda pada area yang telah diberi gel tersebut. Elektroda
kuning pada daerah frontal, elektroda merah pada tip mastoid kanan dan
elektroda biru pada tip mastoid kiri yang semuanya dihubungkan dengan
preamplifier. Stimulus suara diberikan melalui headphone atau insertphone dan
kemudian dilakukan proses perekaman. Hasil ASSR
ASSR mampu memprediksi kepekaan pendengaran pada pasien dari semua
usia dan menghasilkan prediksi khusus frekuensi dari batas pendengaran yang

91
disebut dengan Perkiraan Audiogram (Estimated Audiogram) (Gambar 9).
Prediksi audiogram tersebut dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan
intervensi yang sesuai, misalnya rekomendasi penggunaan alat bantu dengar
atau pertimbangan untuk implan koklea.23-32

Gambar 9. Perkiraan Audiogram (Estimated Audiogram) pada ASSR

Hasil perkiraan audiogram yang dihasilkan pada ASSR hanya mampu menilai
hantaran udara dan penilaian terhadap ambang dengar pada hasil perkiraan
audiogram tersebut memiliki prinsip yang sama dengan audiometri konvensional
dimana dilakukan perhitungan dengan menjumlahkan empat frekuensi carrier
baku kemudian dibagi empat untuk masing-masing telinga.

Kelebihan ASSR
ASSR secara klinis telah terbukti: 36,37
- Objektif
- Non invasif
- Frequency-specific, seperti tone-burst BERA
- Lebih cepat daripada tone-burst BERA
(Lama tes ASSR berkisar 19 - 21 menit)
- Akurat, khususnya untuk hearing level lebih dari 40 dB HL

92
- Efektif untuk menilai gangguan pendengaran berat hingga sangat berat
(menentukan sisa pendengaran), sedangkan tone-burst BERA terbatas
pada 80 dB HL
- Tidak dipengaruhi oleh soundfield speaker atau hearing aid amplifier,
sehingga dapat digunakan untuk memperkirakan ambang dengar pada
pasien implan koklea dan kepentingan pemasangan alat bantu dengar
terutama pada alat bantu dengar digital programmable dimana ketepatan
gain atau amplifikasi yang diberikan harus sesuai dengan hasil tes ASSR

Kelemahan ASSR
Adapun kelemahan dari ASSR meliputi:36,37
- Tidak dapat menentukan lokasi lesi dan belum banyak data yang
dipublikasikan mengenai pemeriksaan hantaran tulang
- Sensitif terhadap intervensi gelombang elektromagnetik dan bising
frekuensi radio (telepon genggam, pager, wireless fidelity / WiFi, Personal
Digital Assistant / PDA, dsb)
- Pada frekuensi rendah, sinyal ASSR kadang sulit terekam akibat tingginya
noise pada saat perekaman

Kesimpulan

ASSR merupakan pemeriksaan elektrofisiologis terhadap respon sistem


pendengaran berupa gelombang di otak yang dibangkitkan oleh stimulasi suara
yang konstan dan simultan. Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan ambang
dengar dengan teknik ASSR lebih cepat karena dapat secara sekaligus
memeriksa empat frekuensi masing-masing pada kedua telinga dan memberikan
informasi frekuensi spesifik.
ASSR memang baik untuk mendeteksi gangguan pendengaran pada anak,
terutama gangguan pendengaran berat hingga sangat berat dan diakui secara
luas sebagai perkiraan ambang dengar dengan standar baru, namun tetap
diperlukan kombinasi pemeriksaan dengan metode lain agar didapatkan profil
pendengaran yang lengkap.

93
KEPUSTAKAAN

1. Suwento R. Skrining pendengaran bayi baru lahir. Buletin IDAI 2004; 35:35-
7.
2. Bilgen H, Akman I, Ozek E, Kulekci S, Ors R, Carman KB, et al. Auditory
brainstem response screening for hearing loss in high risk neonates. Turk J
Med Sci 2000; 30:479- 82.
3. Diefendorf AO. Detection and assessment of hearing loss in infants and
children. In: Katz J, Burkard RF, Medwetsky L, editors. Handbook of clinical
audiology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002. p. 469-
79.
4. Hendarmin H, Hendarto SK. Brainstem evoked response audiometry-BERA
pada anak dengan gangguan perkembangan bicara dan bahasa. ORLI
1990; 21(1):15-27.
5. US Preventive services task force. Guide to clinical preventive services. 2nd
ed. Washington, DC: US. Department of Health and Human Services; 1996.
p. 393-402.
6. Sokol J, Hyde M. Hearing screening. Pediatrics Rev 2002; 23:155-62.
7. Kezirian EJ, White KR, Yueh B, Sullivan SD. Cost and cost-effectiveness of
universal screening for hearing loss in newborns. Otolaryngol Head Neck
Surg 2001; 124:359- 67.
8. Utah Collaborative Medical Home Project. Diagnoses and conditions:
hearing impairment module, description/prevalence/authors [homepage on
the internet]. c2006 [updated Mar 8; cited 2006 Jun 15]. Available from:
http://www.medhomeportal.org/diag/ diagnosis.cfm?diag_id=82&.
9. Brookhouser PE, Worthington DW, Kelly WJ. Unilateral hearing loss in
children. Laryngoscope 1991; 101:1264-72.
10. Sirlan F, Suwento R. Hasil survei kesehatan indera penglihatan dan
pendengaran 1993-1996. DEPKES RI, 1998.
11. American Speech-Language Hearing Association. Guidelines for the
audiologic assessment of children from birth to 5 years of age [homepage on
the internet]. c2004 [updated 2005 Jul 17; cited 2006 Feb 25]. Available
from: http://www.asha.org/members/deskrefjournals/deskref/default

94
12. Roberson JB, ORourke C, Stidham KR. Auditory steady-state response
testing in children: evaluation of a new technology. Otolaryngol Head Neck
Surg 2003; 129(1):107-13.
13. John MS, Brown DK, Muir PJ, Picton TW. Recording auditory steady-state
responses in young infants. Ear Hearing 2004; 25:539-53.
14. Schoonhoven R, Lamore PJJ, De Laat JAPM, Grote JJ. Long-term
audiometric follow up of click-evoked auditory brainstem response in
hearing-impaired infants. Audiol 2000; 39:135-45.
15. Stapells DR. The tone-evoked ABR: why its the measure of choice for young
infants? Hearing J 2002; 55(11):14-8.
16. Luts H, Wouters J. Hearing assessment by recording multiple auditory
steady-state responses: the influence of test duration. Intl J Audiol 2003: 5:1-
32.
17. Herdman AT, Picton TW, Stapells DR. Place specificity of multiple auditory
steady-state responses. J Acoust Soc Am 2002; 112(4):1569-82.
18. Santiago-Rodriguez E, Harmony T, Bernardino M, Porras-Kattz E,
FernandezBouzas A, Fernandez T, et al. Auditory steady-state responses in
infants with perinatal brain injury. Pediatr Neurol 2005; 32:236-40.
19. Tonini R, Ballay C, Manolidis S. Auditory steady-state response audiometry
in profound SNHL: the impact of abnormal middle ear function. ENT J 2005;
84(5):282-6.
20. Picton TW, Dimitrijevic A, van Roon P, John MS, Reed M, Finkelstein H.
Possible roles for the auditory steady-state responses in fitting hearing aids
[homepage on the internet]. c2005 [updated 2005 Nov 3; cited 2006 Feb 26].
Available from: http://www.phonak.com/ com_1998proceedings_5.pdf.
21. Gorga MP, Neely ST. Some factors that may influence the accuracy of
auditory brainstem response estimates of hearing loss [homepage on the
internet]. c2005 [updated 2005 Dec 15; cited 2006 Feb 26]. Available from:
http://www.phonak.com/com_1998proceedin gs_4.pdf.
22. Stapells DR. Frequency-specific evoked potential audiometry in infants
[homepage on the internet]. c2005 [updated 2005 Nov 15; cited 2006 Feb
26]. Available from: http://www.phonak.com/com_1998proceedin gs_2.pdf.
23. Schwartz DM, Morris MD, Jacobson JT. The normal auditory brainstem
response and its variants. In: Jacobson JT, editor. Principles and
95
applications in auditory evoked potentials. Massachusetts: Allyn and Bacon;
1994. p. 123-54.
24. Stapells DR. Threshold estimation by the tone-evoked auditory brainstem
response: a literature meta-analysis. J Speech-Lang Path Audiol 2000;
24(2):74-83.
25. Suwento R. Anak belum dapat berbicara, apakah dikarenakan tuli?
Medicinal 2003; 4(2):16-8.
26. Yoshikawa S, Ikeda K, Kudo T, Kobayashi T. The effects of hypoxia,
premature birth, infection, ototoxic drugs, circulatory system and congenital
disease on neonatal hearing loss. Auris Nasus Larynx 2004; 31:361-8.
27. Savio G, Perez-Abalo MC, Gaya J, Hernandez O, Mijares E. Test accuracy
and prognostic validity of multiple auditory steady-state responses for
targeted hearing screening. Intl J Audiol 2006; 45:109-20.
28. Jiang ZD, Wilkinson AR. Neonatal auditory function and depressed Apgar
score: correlation of brainstem auditory response with Apgar score. Acta
Paediatr 2006; 1: 1-5.
29. Swanepoel D, Schmulian D, Hugo R. Establishing normal hearing with
dichotic multiple frequency auditory steady-state response compared to an
auditory brainstem response protocol. Acta Otolaryngol 2004; 124:62-8.
30. Pusponegoro HD, Wirya IGN, Pudjiadi AH, Bisanto J, Zulkarnain SZ. Uji
diagnostik. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S, eds. Dasardasar metodologi
klinis. Jakarta: Binarupa Aksara; 1995. h. 126-42.
31. Worster A, Innes G, Abu-Laban RB. Diagnostic testing: an emergency
medicine perspective. Can J Emerg Med 2002; 4(5):32- 5.
32. Guyatt G, Sackett D, Haynes B. Evaluating diagnostic tests. In: Haynes B,
Sacket D, Guyatt G, Tugwell P, eds. Clinical epidemiology: how to do clinical
practice research? Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006. p. 273-
322.
33. Chu K. An introduction to sensitivity, specificity, predictive values and
likelihood ratios. Emerg Med 1999; 11:175-81.
34. Cone-Wesson B, Dowell RC, Tomlin D, Rance G, Ming WJ. The auditory
steady-state response: comparisons with the auditory brainstem response. J
Am Acad Audiol 2002; 13:173-87.

96
35. Attias J, Buller N, Rubel Y, Raveh E. Multiple auditory steady-state
responses in children and adults with normal hearing, sensorineural hearing
loss, or auditory neuropathy. Ann Otol Rhinol Laryngol 2006; 115(4):268-76.
36. Mills JH, Adkins WY, Weber PC. Anatomy and physiology of hearing. In:
Bailey BJ, editor. Head and neck surgery - Otolaryngology. 2nd ed.
Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers; 1998. p. 1869- 88.
37. Vander Werff KR, Brown CJ, Gienapp BA, Clay KMS. Comparison of
auditory steadystate response and auditory brainstem response thresholds
in children. J Am Acad Audiol 2002; 13:227-35.
38. Avlonitou E. 2011. Use of chloral hydrate as a sedative for auditory
brainstem response testing in a pediatric population. International Journal of
Pediatric Otorhinolaryngology, 75, p.760-3.
39. Favero ML. 2010. Chloral hydrate to study auditory brainstem response.
Brazil Journal Otorhinolaryngology, 76, p.433-6.

97
PENATALAKSANAAN OTITIS EKSTERNA

M. Reza, M. Pahala Hanafi Harahap

Pendahuluan
Otitis eksterna pertama kali dideskripsikan oleh Mayer pada tahun 1844
(Roland & Stroman, 2002), merupakan suatu terminologi luas inflamasi liang
telinga luar yang disebabkan sejumlah faktor meliputi infeksi (bakteri, virus
maupun jamur), alergi dan penyakit dermatologi. Otitis eksterna dapat terjadi
pada seluruh usia. Diperkirakan 10% individu mengalami otitis eksterna
sepanjang hidup mereka (Koch, 2012).
Otitis eksterna dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi, penyebab dan
perjalanan waktunya (Linstrom & Lucente, 2014). Namun, masih belum terdapat
sistim klasifikasi resmi yang dipublikasikan dan beberapa penulis telah
mengklasifikasikan otitis eksterna secara berbeda-beda (BMJ, 2017). Hal
terpenting untuk diagnosis yang akurat dan cepat dari spektrum otitis eksterna
adalah pemahaman menyeluruh mengenai anatomi dan fisiologi dari liang
telinga luar serta pengetahuan tentang mikrobiologi dan presentasi klinis (tanda
dan gejala) bersangkutan (Hughes & Lee, 2001).
Otitis eksterna pada dasarnya merupakan proses inflamasi lokal yang
dapat dengan mudah dikendalikan hanya menggunakan agen topikal. Namun,
65% praktisi klinis kerap menggunakan terapi sistemik untuk mengobati kondisi
ini. Terapi sistemik biasanya tidak diindikasikan kecuali infeksi tersebut persisten
dan dirumitkan dengan kondisi-kondisi tertentu (diabetes melitus atau keadaan
imunokompromais lain) (Sander, 2001). Konsensus mengemukakan
penambahan antibiotik oral terhadap agen topikal tidak memperbaiki gejala-
gejala klinis dibanding hanya dengan penggunaan agen topikal (Hajioff &
Mackeith, 2010).
Meskipun penyakit ini sederhana dalam penatalaksanaannya, namun
dapat menjadi masalah yang serius jika disertai dengan keadaan
imunokompromais. Infeksi potensial yang mengancam hidup dapat menyebar ke
jaringan sekitar apabila otitis eksterna tidak secara optimal ditangani (Sander,
2001).

98
Anatomi Liang Telinga Luar
Liang telinga luar berasal dari lekuk brankial atau faringeal lapisan
ektodermal pertama antara arkus mandibula (arkus pertama) dan hioid (arkus
kedua) (Gambar 1) (Linstrom & Lucente, 2014).

Gambar 1. Embriologi Liang Telinga Luar

Pembatas epitel dari lekuk ini mengadakan kontak dengan lapisan


endodermal kantung faringeal pertama, sehingga membentuk membran timpani,
merupakan perluasan paling medial dari liang telinga luar. Berdasarkan asal-
usulnya, liang telinga luar, termasuk permukaan lateral dari membran timpani,
berasal dari lapisan ektodermal dan dilapisi oleh epitel skuamosa. Proses
kanalisasi selesai sekitar minggu ke-12 masa gestasi, pada saat liang terisi
dengan jaringan epitel. Liang telinga biasanya mengalami rekanalisasi sekitar
minggu ke-28 masa fetus. Liang telinga luar dibagi atas 2 bagian (Gambar 2).
Bagian luar 1/3 (40%) ( 8 mm) liang pada bagian anterior dan inferior adalah

99
tulang rawan (meatus acusticus externus cartilagineus), merupakan lanjutan dari
tulang rawan daun telinga, serta mengandung lapisan tipis jaringan subkutan
antara kulit dan tulang rawan. Bagian dalam 2/3 (60%) ( 16 mm) liang adalah
tulang sejati (meatus acusticus externus osseus), yang secara primer dibentuk
oleh cincin timpani, dan mengandung jaringan lunak yang sangat sedikit antara
kulit, periosteum dan tulang (Gray, 2000; Linstrom & Lucente, 2014).

2/3 dalam

1/3 luar

Gambar 2. Pembagian Liang Telinga Luar

Panjang rerata liang telinga luar pada dewasa adalah 2.5 cm


membentang dari bagian konka daun telinga menuju membran timpani. Oleh
karena posisi membran timpani yang oblik, bagian postero-superior dari liang
telinga sekitar 6 mm lebih pendek dibanding bagian antero-inferior.
Persimpangan bagian tulang rawan dan tulang sejati liang telinga merupakan
bagian sempit yang disebut dengan isthmus (Linstrom & Lucente, 2014).
Dari lateral hingga medial, liang telinga melengkung sedikit ke arah
superior dan posterior berbentuk huruf S. Tiga mekanisme pertahanan
makroskopik yang melindungi liang telinga luar dan permukaan lateral membran
timpani, yaitu tragus dan antitragus, kulit dengan mantel serumen dan bagian
isthmus liang telinga (Linstrom & Lucente, 2014).
Liang telinga luar dilapisi oleh epitel skuamosa bertingkat dengan keratin,
berkelanjutan dengan kulit daun telinga dan epitel yang melapisi membran
timpani pada sisi luar (Edward & Irfandy, 2012). Lapisan kulit liang telinga luar
bagian tulang rawan memiliki ketebalan hingga 1 mm (Edward & Irfandy, 2012),

100
dengan lapisan subkutan mengandung banyak sel-sel rambut, kelenjar sebasea
dan kelenjar apokrin seperti glandula seruminosa. Bersama-sama, ketiga
struktur adneksa tersebut memberikan fungsi pelindung dan disebut sebagai unit
apopilosebasea. Sekresi kelenjar bersama dengan epitel skuamosa yang
terkelupas membentuk suatu mantel serumen yang bersifat asam, merupakan
salah satu sawar utama terhadap infeksi pada liang telinga (Linstrom & Lucente,
2014). Sedangkan lapisan kulit liang telinga luar bagian tulang tidak memiliki
elemen subkutan, dengan ketebalan hanya 0.2 mm (Edward & Irfandy, 2012).
Invaginasi epidermis membentuk dinding luar folikel rambut dan batang
rambut membentuk dinding bagian dalam. Kanalis folikularis merupakan ruang
antara kedua struktur tersebut. Alveoli dari kelenjar sebasea dan apokrin
mengalir ke duktus ekskretorius yang lurus dan pendek, dimana drainasenya
menuju ke kanalis folikularis. Adanya obstruksi pada bagian sistim duktus
merupakan predisposisi terhadap infeksi (Linstrom & Lucente, 2014).
Liang telinga merupakan struktur yang normalnya bersifat self-protecting
dan self-cleansing. Mantel serumen secara bertahap bekerja melewati isthmus
menuju ke bagian lateral liang telinga dan terbuang ke arah luar. Instrumentasi
dan pembersihan berlebihan pada liang telinga dapat menganggu sawar proteksi
utama dan menyebabkan infeksi. Adanya variasi anatomi liang telinga antar
individu menjadi predisposisi terhadap akumulasi kotoran telinga (Linstrom &
Lucente, 2014).
Pada bagian medial, liang telinga berbatasan dengan membran timpani,
yang saat utuh merupakan sawar yang baik terhadap penyebaran infeksi.
Adanya perforasi membran timpani, infeksi menyebar bolak-balik dari celah
telinga bagian tengah menuju liang telinga luar. Cincin timpani yang berbentuk
tapal kuda memisahkan liang telinga dari fosa kranii media, yang menjadi
mekanisme langsung terhadap perluasan infeksi intrakranial, meskipun jarang.
Liang telinga posterior bagian tulang menjadi batas anterior dari rongga mastoid.
Beberapa pembuluh darah menembus liang telinga, terutama di sepanjang
sutura timpanomastoid, yang mungkin terlibat dalam perluasan infeksi secara
hematogen dari liang telinga ke segmen mastoid (Linstrom & Lucente, 2014).
Liang telinga posterior bagian tulang rawan terletak jaringan ikat padat
yang melapisi mastoid, yang memungkinkan terjadinya infeksi sekunder. Pada
bagian superior, liang telinga berbatasan dengan fosa kranii media dan bagian
101
inferior dengan fosa infratemporal dan basis kranii. Infeksi meluas melalui atap
liang telinga dapat meluas ke struktur-struktur ini. Pada bagian anterior, liang
telinga berbatasan dengan sendi temporomandibula dan kelenjar parotis
(Linstrom & Lucente, 2014).

Sistim limfatik liang telinga luar


Aliran limfatik dari liang telinga luar merupakan saluran penting terhadap
penyebaran infeksi. Pada bagian anterior dan superior, aliran menuju ke limfatik
preaurikula pada kelenjar parotis dan nodus servikal profunda superior. Bagian
inferior liang telinga memiliki aliran menuju ke nodus infra-aurikula dekat angulus
mandibula. Pada bagian posterior, aliran limfatik menuju ke nodus postaurikula
dan nodus servikal profunda superior (Linstrom & Lucente, 2014).

Sistim pendarahan liang telinga luar


Daun telinga dan liang telinga luar mendapatkan suplai perdarahan arteri
dari arteri temporalis superfisial dan aurikularis posterior, cabang dari arteri
karotis eksterna (Gambar 3). Aliran vena dari aurikula dan meatus melalui vena
temporalis superfisial dan aurikularis posterior (Linstrom & Lucente, 2014).
Vena temporalis superfisial bergabung dengan vena retromandibularis,
dimana biasa berpisah dan bergabung pada kedua vena jugularis, sedangkan
vena aurikularis posterior bergabung dengan vena jugularis eksterna namun
juga berdrainase ke sinus sigmoid melalui vena emissaria mastoidea (Linstrom &
Lucente, 2014).

102
Gambar 3. Pendarahan Liang Telinga Luar

Sistim persarafan liang telinga luar


Sensasi terhadap daun dan liang telinga luar berasal dari nervus kranialis
dan kutaneus, bersama dengan kontribusi cabang aurikulotemporalis dari nervus
trigeminus (V) di bagian anterior, fasialis (VII) di bagian superior, glosofaringeus
(IX) dan vagus (X) di bagian inferior serta nervus aurikularis mayor dari pleksus
servikalis (C2 - C3) di bagian posterior (Gambar 4) (Linstrom & Lucente, 2014).

C-2

IX

Gambar 4. Persarafan Liang Telinga Luar

Etiopatofisiologi Otitis Eksterna


Otitis eksterna lebih sering terjadi pada daerah dengan iklim hangat,
tingginya kelembaban atau paparan air saat berenang (Rosenfeld, et al., 2014).

103
Struktur unik dari liang telinga luar berkontribusi terhadap terjadinya otitis
eksterna. Liang telinga luar merupakan satu-satunya cul-de-sac (jalan buntu)
yang dilapisi kulit pada tubuh manusia. Liang telinga luar bersifat hangat, gelap
dan rentan menjadi lembab, sehingga menciptakan lingkungan yang sangat baik
terhadap pertumbuhan bakteri dan jamur. Kulit liang telinga luar sangat tipis dan
mudah mengalami trauma. Terdapatnya rambut, khususnya rambut yang lebih
tebal pada pria usia tua, menyebabkan kesulitan lebih lanjut (Sander, 2001).
Etiologi otitis eksterna bersifat multifaktorial. Pembersihan liang telinga
secara reguler akan menghilangkan serumen, yang mana merupakan sawar
penting terhadap kelembaban dan infeksi. Serumen menciptakan pH yang
sedikit asam yang menghambat infeksi (khususnya Pseudomonas aeruginosa),
namun pH tersebut dapat berubah akibat paparan air, pembersihan secara
agresif, tumpukan sabun, ataupun tetes telinga yang bersifat basa. Debris akibat
keadaan dermatologi juga dapat menyebabkan infeksi, seperti halnya dengan
trauma lokal akibat pembersihan telinga, irigasi dan penggunaan alat bantu
dengar (Rosenfeld, et al., 2014). Pembersihan liang telinga atau penggarukan
secara berlebihan juga menyebabkan abrasi lapisan tipis kulit liang telinga luar,
menyebabkan akses organisme untuk masuk ke lapisan jaringan lebih dalam
(Koch, 2012). Faktor-faktor lainnya seperti keringat, alergi dan stres juga turut
berperan dalam patogenesis otitis eksterna (Rosenfeld, et al., 2014).
Beberapa penelitian menemukan adanya hubungan kualitas air (dalam
hal jumlah bakteri) terhadap risiko otitis eksterna. Organisme-organisme kausatif
sering ditemukan pada kolam renang dan bak mandi air hangat. Selain itu,
organisme-organisme tersebut juga ditemukan pada liang telinga luar yang sehat
sehingga menjadi sumber otitis eksterna (Tabel 1). Beberapa individu lebih
rentan terhadap terjadinya otitis eksterna secara genetik (pada individu
bergolongan darah A) (Rosenfeld, et al., 2014).

104
Tabel 1. Mikrobiologi Telinga Sehat dan Terinfeksi

Otitis eksterna dapat bermanifestasi dalam bentuk akut ataupun kronik.


Bentuk akut umumnya disebabkan oleh bakteri. Onset dari otitis eksterna akut
umumnya berlangsung selama beberapa hari hingga minggu. Sekitar 50%
bakteri penyebab meliputi Pseudomonas aeruginosa, diikuti Staphylococcus
aureus dan kemudian berbagai bakteri aerob dan anaerob. Kurang dari 5% otitis
eksterna bentuk akut berkaitan dengan furunkulosis (akibat Staphylococcus sp.),
herpes zoster otikus ataupun kondisi non spesifik seperti miringitis bulosa
(Osguthorpe & Nielsen, 2006).
Tanda dan gejala yang berlangsung 3 bulan atau lebih mengindikasikan
otitis eksterna kronik. Meskipun dapat terjadi akibat otitis eksterna akut yang
tidak diobati secara adekuat, biasanya bentuk kronik bukan disebabkan oleh
bakteri, melainkan disebabkan jamur (10%) (Osguthorpe & Nielsen, 2006),
dengan agen penyebab tersering Aspergillus sp., diikuti Candida sp. (Hui, 2013),
kemudian dermatitis kontak alergi akibat anting logam, bahan kimia pada
kosmetik atau shampo, bahan plastik pada alat bantu dengar atau alat pelindung
telinga, alat penutup telinga lain seperti earphone atau topi selam. Paparan
sekunder terhadap alergen juga menginisiasi respon inflamasi, serta kondisi
dermatologi seperti psoriasis dan dermatitis atopik. Sensitivitas makanan
menjadi sumber potensi dari otitis eksterna kronik, berkaitan dengan dermatitis
atopik hingga 48% penderita. Varian dari otitis eksterna kronik merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai sel (tipe IV Gell dan Coombs)
akibat penggunaan komponen zat ototopikal (seperti neomisin, benzokain dan
propilen glikol) yang digunakan pada otitis eksterna akut (Osguthorpe & Nielsen,
2006; Koch, 2012). Hasil swab pada liang telinga luar harus diinterprestasikan

105
dengan teliti karena dapat ditemukan flora normal atau organisme yang
berkolonisasi. Swab hanya dilakukan pada kasus-kasus berat ataupun yang
tidak respon terhadap pengobatan (Hui, 2013).
Serumen memiliki sifat antimikotik dan bakteriostatik serta penolak
serangga. Serumen terdiri dari lipid (46 - 73%), protein, asam amino bebas, ion-
ion mineral, enzim lisozim, imunoglobulin dan asam lemak tak jenuh ganda.
Asam lemak rantai panjang yang terdapat pada kulit yang intak dapat
menghambat pertumbuhan bakteri (Edward & Irfandy, 2012). Selain itu, serumen
memiliki pH 6.9 yang juga menghambat pertumbuhan bakteri (Osguthorpe &
Nielsen, 2006). Oleh karena komposisinya yang hidrofobik, serumen mampu
menolak air, membuat permukaan saluran kedap air dan menghindari maserasi
serta kerusakan epitel (Edward & Irfandy, 2012).
Sangat sedikitnya serumen berpredisposisi terjadinya infeksi liang telinga
luar, namun serumen yang berlebihan atau terlalu tebal (disebabkan genetik,
metabolisme, faktor usia) (Sander, 2001; Osguthorpe & Nielsen, 2006), juga
dapat menyebabkan obstruksi, retensi air dan debris serta infeksi. Selain itu,
liang telinga luar dipertahankan oleh migrasi epitel dari membran timpani ke arah
luar, membawa debris secara bersamaan. Saat mekanisme-mekanisme
pertahanan ini gagal atau saat epitel liang telinga luar rusak, terjadinya otitis
eksterna. Dari sekian banyak penyebab terjadinya infeksi, kelembaban
berlebihan yang menyebabkan peningkatan pH dan pembersihan serumen
merupakan penyebab tersering. Saat serumen hilang, debris keratin akan
mengabsorbsi air sehingga menciptakan media subur terhadap pertumbuhan
bakteri. Seperti halnya seluruh kulit, liang telinga luar memiliki flora bakteri
normal dan bebas infeksi kecuali pertahanannya terganggu. Saat terjadi
gangguan, flora patogen baru akan muncul, yang didominasi oleh Pseudomonas
aeruginosa and Staphylococcus aureus (Sander, 2001).
Masuknya air maupun keringat menyebabkan peningkatan kelembaban
pada liang telinga. Kelembaban tersebut akan menyebabkan edema lapisan
korneum pada kulit liang telinga dan oklusi pada unit apopilosebasea. Sekresi
lipid oleh glandula seruminosa yang normalnya melapisi epitel skuamosa
menjadi hilang. pH liang telinga yang normalnya asam berubah menjadi basa,
menyebabkan kolonisasi bakteri dan jamur. Pembersihan telinga selanjutnya
juga dapat menyebabkan trauma lokal. Rusaknya mekanisme pertahanan
106
alamiah kulit liang telinga memfasilitasi invasi dan infeksi bakteri. Reaksi alergi
lokal terhadap polutan atau zat kimia yang terdapat dalam air juga turut berperan
penting (Tabel 2) (Varadharajan, Jayakumar & Kalyani, 2012).

Tabel 2. Faktor-Faktor Predisposisi Otitis Eksterna

Tiga stadium klinis otitis eksterna terdiri dari: prainflamasi, inflamasi akut
(ringan, sedang dan berat), inflamasi kronik. Pada stadium prainflamasi,
kelembaban atau trauma lokal menghilangkan lapisan lemak yang melindungi
kulit. Kulit menjadi edema, terjadi obstruksi kelenjar, diikuti sensasi telinga penuh
dan gatal. Proses ini mempredisposisi telinga terhadap trauma lanjutan. Pada
stadium inflamasi akut ringan, liang telinga menjadi edema dan eritema,
menghasilkan sekresi jernih tidak berbau dengan atau tanpa debris. Pada
stadium inflamasi akut sedang, terjadi peningkatan rasa nyeri dan edema serta
terbentuk materi seropurulen. Pada stadium inflamasi akut berat melibatkan
lumen liang telinga yang terobstruksi dan mengeluarkan sekret serta debris.
Liang telinga luar bagian superior menjadi turun merosot, edema periaurikula
dan adenopati dapat juga terjadi. Nyeri bersifat intens, khususnya saat
mengunyah atau dilakukan manipulasi pada tragus. Pada kasus berat, infeksi
dapat menyebar ke jaringan lunak sekitar dan kelenjar getah bening. Infeksi juga
dapat menyebar melalui fisura Santori ke kelenjar parotis dan menuju sendi
temporomandibula. Penyebaran infeksi secara posterior pada jaringan ikat di
atas tulang mastoid terjadi melalui liang telinga bagian tulang rawan.
Penyebaran infeksi secara medial ke fosa infratemporal menyebabkan
keterlibatan tulang kranial dan osteomielitis basis kranii. Pada stadium inflamasi

107
kronik, terjadi infeksi dan inflamasi persisten tingkat rendah (Hughes & Lee,
2001).

Otitis Eksterna Sirkumskripta / Lokalisata / Furunkulosis


Furunkulosis merupakan penyakit inflamasi kronik, yang ditandai dengan
adanya bisul pada permukaan kulit. Penyakit ini merupakan salah satu dari ruam
inflamasi kulit tersering yang terjadi akibat inflamasi Staphylococcus supuratif
akut pada folikel rambut dan jaringan ikat sekitar (Joshi, 2017). Penyakit ini
terjadi disebabkan oleh karena kulit pada 1/3 luar liang telinga mengandung
adneksa kulit, seperti folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar serumen,
maka di tempat itu dapat terjadi infeksi pada pilosebaseus, sehingga membentuk
furunkel / bisul (Mustofa, 2011). Biasanya terjadi akibat infeksi Staphylococcus
piogenik (terutama Staphylococcus aureus) ke dalam kulit superfisial liang
telinga luar, membentuk bisul kecil di sekitar dasar folikel rambut (perifolikulitis)
(Joshi, 2017).
Jika tidak diobati, penyakit ini dapat mengalami progresi menjadi abses
lokal dan menghasilkan sekret pada liang telinga luar dan mengalami resolusi
spontan ataupun menyebar ke jaringan yang lebih dalam dan menyebabkan
infeksi jaringan lunak difus, menyebar ke daun telinga, kulit dibelakang telinga
dan kelenjar parotis. Infeksi berulang dapat menyebabkan jaringan parut
permanen dan fibrosis liang telinga serta menjadi predisposisi otitis eksterna
difus kronik (Joshi, 2017).
Penyakit ini ditandai adanya bisul pada liang telinga luar dengan warna
putih dan nanah kuning ditengahnya (Joshi, 2017). Gejalanya ialah rasa nyeri
yang hebat namun tidak sesuai dengan besar bisul (Mustofa, 2011). Rasa nyeri
bisa bervariasi hanya berupa rasa tidak enak sedikit, perasaan penuh di dalam
telinga, perasaan seperti terbakar hingga rasa nyeri hebat, serta berdenyut. Kulit
liang telinga luar langsung berhubungan dengan periosteum dan perikondrium,
sehingga edema dermis menekan serabut saraf yang mengakibatkan rasa nyeri
hebat. Selain itu, kulit dan tulang rawan 1/3 luar liang telinga bersambung
dengan kulit dan tulang rawan daun telinga sehingga gerakan sedikit saja dari
daun telinga akan dihantarkan ke kulit dan tulang rawan liang telinga luar,
mengakibatkan rasa nyeri hebat (Abdullah, 2003).

108
Rasa nyeri dapat juga timbul spontan pada waktu membuka mulut karena
adanya sendi temporomandibula. Saat bisul pecah, nyeri mereda. Selain itu,
dapat juga terjadi gangguan pendengaran bila furunkel besar dan menyumbat
liang telinga (Gambar 5) (Taplin, 2007; Mustofa, 2011; Joshi, 2017).

Gambar 5. Otitis Eksterna Sirkumskripta

Otitis Eksterna Difusa / Generalisata


Otitis eksterna difusa adalah infeksi pada 2/3 dalam liang telinga dengan
onset yang cepat (biasanya sekitar 48 jam), telinga menjadi gatal serta semakin
nyeri dan kulit liang telinga menjadi eritema, edema dan terkadang kelenjar
getah bening regional dapat membesar serta terdapat sekret yang berwarna
kehijauan dan berbau, namun tidak mengandung lendir (musin) seperti sekret
yang keluar dari kavum timpani pada otitis media (Abdullah, 2003; Taplin, 2007;
Mustofa, 2011). Edema menyempitkan liang telinga luar dan kemudian terdapat
akumulasi debris, sehingga pemeriksaan otoskopi sulit dilakukan (Gambar 6).
Penekanan tragus dan penarikan daun telinga menyebabkan nyeri yang lebih
hebat. Kuman penyebab biasanya Pseudomonas aeruginosa, diikuti dengan
Staphylococcus aureus. Pada kasus berat, dapat ditemukan selulitis dan edema
pada jaringan di depan dan belakang daun telinga (Taplin, 2007). Otitis eksterna
difusa dapat juga terjadi secara sekunder pada otitis media supuratif kronis
(Mustofa, 2011).

109
Gambar 6. Otitis Eksterna Difusa

Penatalaksanaan otitis eksterna sirkumskripta dan difusa


Pembersihan liang telinga merupakan langkah awal tatalaksana.
Pengeluaran serumen, deskuamasi kulit, dan materi purulen dari liang telinga
memfasilitasi proses penyembuhan dan meningkatkan penetrasi obat tetes
telinga pada daerah inflamasi. Pembersihan liang telinga dilakukan dengan
visualisasi langsung dan penggunaan swab kapas. Liang telinga dapat diirigasi
dengan larutan hidrogen peroksida 3%, namun hasil terbaik didapatkan dengan
penggunaan suction (Taplin, 2007; Koch, 2012).
Terdapatnya edema liang telinga mencegah adekuasi obat tetes yang
diberikan, sehingga dibutuhkan kasa sumbu yang ditempatkan dalam liang
telinga agar pemberian obat ototopikal lebih optimal. Kasa sumbu harus diganti
setelah 48 jam (Taplin, 2007).
Tetesan harus diberikan pada pasien berbaring dengan posisi telinga
yang terkena menghadap ke atas. Setelah tetesan diberikan, pasien
diinstruksikan untuk menggosok tragus untuk mengeliminasi udara yang
terperangkap dalam saluran telinga, dan memungkinkan tetesan mencapai
saluran telinga bagian medial dan membran timpani (Taplin, 2007).
Beberapa agen topikal yang tersedia untuk otitis eksterna meliputi antibiotik,
antiseptik, steroid dan acidifying agent, yang tersedia serta diberikan sebagai
agen tunggal ataupun formula kombinasi. Kebanyakan tersedia dalam bentuk
cairan, meskipun sediaan salep dan bubuk juga tersedia (Tabel 3) (Koch, 2012).
Beberapa kombinasi agen topikal tersedia dalam praktik klinis. Manfaat
beberapa preparat kombinasi yang berbeda-beda telah diuji coba dalam meta-

110
analisis, yang mendapatkan bahwa tidak terdapat terapi kombinasi spesifik yang
lebih unggul dibanding terapi lainnya (Koch, 2012).
American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
Foundation pada tahun 2006 mempublikasikan panduan terhadap penggunaan
antibiotik topikal sebagai terapi lini pertama terhadap penyakit otitis eksterna
(McWilliams, Smith & Goldman, 2012).
Terapi lokal dengan tetes telinga antibiotik merupakan terapi pilihan awal
dan memiliki beberapa kelebihan dibanding terapi sistemik oleh karena (Taplin,
2007; McWilliams, Smith & Goldman, 2012):
1. Konsentrasi obat yang tinggi pada daerah infeksi (100 - 1000 kali lebih tinggi
dibanding terapi sistemik)
2. Resiko rendah terhadap resistensi antibiotik
3. Efek samping sistemik minimal
4. Rute pemberian relatif nyaman
Kebanyakan antibiotik oral tidak aktif melawan bakteri Pseudomonas dan
Staphylococcus aureus. Pengobatan dengan golongan penisilin, sefalosporin
atau makrolida meningkatkan persistensi penyakit dan penggunaan sefalosporin
juga dapat meningkatan rekurensi (Taplin, 2007).
Antibiotik ototopikal yang tersedia mengandung aminoglikosida
(gentamisin, neomisin, tobramisin, dan framisetin), fluorokuinolon (ciprofloxacin,
ofloxacin) dan antibiotik tipe polipeptida (polimiksin B), semuanya efektif
terhadap patogen penyebab otitis eksterna (Taplin, 2007; Koch, 2012).
Meta-analisis terhadap 2 uji klinis menemukan manfaat yang bermakna
terhadap penggunaan antibiotik topikal terhadap plasebo. Uji klinis lain
menemukan bahwa tidak terdapat perubahan yang bermakna dalam hal tingkat
keparahan, durasi ataupun tingkat kesembuhan otitis eksterna pada pasien yang
mendapatkan terapi antibiotik topikal dikombinasi dengan antibiotik oral
dibanding antibiotik topikal dikombinasi dengan plasebo (McWilliams, Smith &
Goldman, 2012).
Selain itu, studi menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara
antibiotik topikal golongan kuinolon dengan antibiotik non-kuinolon, dan
ciprofloxacin tidak lebih inferior dibanding aminoglikosida. Oleh sebab itu, faktor-
faktor lain seperti ototoksisitas, sensitivitas kontak, resistensi antibiotik,

111
kesediaan, harga dan jadwal dosis harus dipertimbangkan saat memilih jenis
golongan antibiotik topikal (McWilliams, Smith & Goldman, 2012).
Antiseptik topikal berperan sebagai agen bakteriostatik, namun bukan
bakteriosidal layaknya antibiotik. Obat ini juga efektif terhadap infeksi jamur.
Mekanisme kerja pasti belum sepenuhnya dimengerti, namun obat tersebut
membuat liang telinga menjadi kurang layak dihuni oleh bakteri dan jamur. Meta-
analisis mendapatkan bahwa antiseptik topikal sama efektifnya dengan agen
topikal lain. Contoh agen antiseptik topikal tersebut adalah Merthiolate (zat aktif:
Thiomersal) dan Aurone (zat aktif: Phenazone) (Koch, 2012).
Terdapat beberapa acidifying agent yang tersedia seperti: asam asetat,
asam borat, alumunium asetat, perak nitrat, gliserin-iktamol, dan gentian violet.
Agen-agen ini tidak mahal dan telah digunakan selama beberapa tahun,
terutama pada negara berkembang dan tidak menyebabkan resistensi bakteri
(Taplin, 2007).
Acidifying agent membantu mengasamkan kembali liang telinga,
mengeringkan lesi basah dan membersihkan krusta pada dermatitis kontak.
Obat ini secara umum aman digunakan, namun berhubungan dengan iritasi
lokal. Pada perforasi membran timpani, obat ini juga dapat mengiritasi mukosa
telinga bagian tengah (Koch, 2012).
Penambahan steroid untuk mengurangi inflamasi liang telinga luar
ataupun penambahan asam asetat untuk mengurangi pH liang telinga luar juga
kerap dilakukan. Penggunaan rasional asam asetat adalah mengembalikan pH
menjadi lebih asam dan menciptakan lingkungan antimikroba. Pada liang telinga
luar yang edema, obat tetes telinga tidak dapat berpenetrasi di sepanjang liang
telinga sehingga dibutuhkan kasa sumbu sebagai media penyalur (McWilliams,
Smith & Goldman, 2012).
Ulasan Cochrane melaporkan tidak ada perbedaan bermakna terhadap
resolusi klinis otitis eksterna saat membandingkan berbagai jenis antibiotik
topikal, namun mereka menegaskan bahwa antibiotik topikal efektif dengan
ataupun tanpa kombinasi steroid (McWilliams, Smith & Goldman, 2012).
Van Balen, et al. membandingkan penggunaan obat topikal yang hanya
mengandung asam asetat, asam asetat dikombinasi dengan steroid, dan
antibiotik dikombinasi dengan steroid. Mereka menemukan bahwa asam asetat

112
lebih kurang efektif dibanding yang lainnya (McWilliams, Smith & Goldman,
2012).
Respon klinis biasanya ditemukan dalam waktu 48-72 jam, namun respon
penuh dapat membutuhkan waktu hingga 6 hari pada pasien yang diobati
dengan tetes telinga antibiotik kombinasi steroid (Hui, 2013). Terlepas dari agen
topikal yang digunakan, 65-90% pasien mengalami resolusi klinis dalam kurun
waktu 7-10 hari. Namun, studi terbaru saat ini menunjukkan bahwa penambahan
hidrokortison terhadap ciprofloxacin secara bermakna mengurangi durasi nyeri
telinga sebanyak 1 hari (Taplin, 2007).
Aminoglikosida dan agen yang mengandung alkohol topikal tidak boleh
digunakan apabila membran timpani perforasi. Risiko ototoksik menjadi lebih
besar dibandingkan manfaat yang diberikan (Taplin, 2007). Begitu juga halnya
dengan agent dengan pH rendah (kebanyakan acidifying agent dan antiseptik)
yang terbukti ototoksik pada keadaan perforasi membran timpani (Hui, 2013).
Menurut Modul Utama Otologi Kolegium THT-KL Indonesia (2015),
penanganan otitis eksterna sirkumskripta dapat dilakukan dengan melakukan
pembersihan dengan teliti kemudian diberikan kasa alkohol 70% selama 1-2
hari. Setelah itu dapat diberikan salep antibiotik. Setelah bengkaknya teratasi
lalu diberikan tetes telinga kombinasi antibiotik dengan steroid (Kolegium
T.H.T.K.L, 2015). Terkadang dibutuhkan insisi dan drainase apabila telah terjadi
abses (Hughes & Lee, 2001).
Penanganan otitis eksterna difusa dapat dilakukan dengan pembersihan
yang berulang dan membuat telinga menjadi kering dengan pemberian cairan
antiseptik dan antibiotik tetes telinga. Bisa juga diobati dengan pemberian
kombinasi antara antibiotik dengan steroid tetes telinga, tetapi tidak boleh lebih
dari 2 karena dapat menyebabkan resistensi (Kolegium T.H.T.K.L, 2015).
Pembersihan liang telinga dari debris dan sekret menggunakan suction
dengan dibantu lampu kepala atau oto-mikroskop atau oto-endoskop. Bila
antibiotik topikal diberikan dalam bentuk salep, maka diberikan dengan cara
dioleskan pada tampon liang telinga steril, dan selanjutnya tampon dievaluasi
atau dilepas setelah hari ke 2. Bila antibiotik diberikan dalam bentuk cair atau
tetes (Kolegium T.H.T.K.L, 2015):
- Bila liang telinga sempit, maka dipasang tampon liang telinga steril di dalam
liang telinga, dan selanjutnya tetes antibiotik diteteskan pada tampon tersebut.
113
- Bila liang telinga cukup lapang, tetes antibiotik dapat diteteskan langsung ke
dalam liang telinga dengan cara kepala miring sehingga telinga yang ditetes
menghadap ke atas. Selanjutnya obat diteteskan ke dalam liang telinga diikuti
dengan tindakan menekan tragus. Setelah jumlah tetesan yang dianjurkan
tercapai, obat/cairan antibiotik didiamkan di dalam liang telinga selama 10
menit. Selanjutnya cairan obat dibuang dengan memiringkan kepala ke arah
berlawanan sehingga seluruh obat keluar dari dalam liang telinga.

Manajemen nyeri juga merupakan tujuan utama tatalaksana otitis


eksterna. Nyeri ringan-sedang biasanya respon terhadap paracetamol atau
hanya NSAID, atau dikombinasi dengan opioid (codeine, oxycodone). Preparat
otik yang mengandung benzocain (Auralgin Otic) memberikan efek anestesi
topikal terhadap liang telinga, meskipun belum ada uji klinis manfaatnya.
Pemberian antibiotik topikal kombinasi steroid (Cipro-HC, Sofradex) terbukti
dapat mempercepat redanya nyeri (Taplin, 2007).

Tabel 3. Sediaan Antibiotik Topikal Otitis Eksterna

Di Poliklinik T.H.T.K.L RSUP H. Adam Malik Medan, Surbakti (1995),


melakukan penelitian pada 70 pasien otitis eksterna akut, dengan
membandingkan penggunaan larutan Burrowi dan obat tetes telinga campuran

114
antibiotika (gramycetin, gramicidin) dan steroid, diperoleh hasil tidak terdapat
perbedaan secara bermakna (Abdullah, 2003).
Kananda (1999) melakukan penelitian uji coba banding pemakaian
larutan Burrowi saring dengan dan tanpa pemberian antibiotik oral (amoksisilin)
pada 67 pasien otitis eksterna akut dan mendapatkan hasil efektifitas obat tetes
telinga larutan Burrowi saring tanpa antibiotik oral (amoksisilin) dan obat tetes
telinga liquor Burrowi dengan antibiotik oral (amoksisilin) sama baiknya untuk
pengobatan otitis eksterna akut (Abdullah, 2003).
Abdullah (2003) melakukan penelitian uji coba banding pemakaian larutan
Burrowi saring dan salep Iktiol (Iktamol) pada 64 orang penderita otitis eksterna
akut mendapatkan perbedaan bermakna hasil pengobatan dimana larutan
Burrowi lebih efektif dibanding dengan salep Iktiol.
Di Poliklinik THT RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada 2004 diteliti
penggunaan tampon Rivanol dibanding tampon Burrowi pada penderita otitis
eksterna difusa. Dari 65 subyek, didapati tampon telinga Rivanol lebih efektif,
lebih murah dan lebih mudah didapat dibanding larutan Burrowi (Kedel, Samodra
& Rianto, 2009).

Otomikosis
Otomikosis merupakan infeksi jamur pada liang telinga luar. Meskipun
jamur merupakan patogen primernya, namun biasanya tumpang tindih pada
infeksi bakteri kronik pada liang telinga luar ataupun telinga bagian tengah
(Linstrom & Lucente, 2014). Infeksi campuran jamur dan bakteri seringnya terjadi
setelah pengobatan ototopikal yang tidak adekuat pada otitis eksterna bakteri
(Osguthorpe & Nielsen, 2006). Otomikosis sekunder cenderung kambuh apabila
infeksi primer penyebab tidak terkontrol. Spesies Aspergillus merupakan
penyebab tersering, biasanya Aspergillus niger. Apabila pada kultur telinga
ditemukan pertumbuhan Aspergillus fumigatus atau Aspergillus flavus, harus
dipertimbangkan adanya infeksi yang lebih invasif (Linstrom & Lucente, 2014).
Spesies Candida (Candida albicans dan Candida parapsilosis) adalah jamur
yang paling sering diisolasi berikutnya setelah Aspergillus (Edward & Irfandy,
2012).

115
Berbagai faktor yang mempengaruhi transformasi jamur menjadi patogen
seperti (Edward & Irfandy, 2012):
Faktor lingkungan (panas, kelembaban), umumnya pada musim panas dan
musim gugur.
Perubahan pada epitel pelapis (penyakit dermatologis, mikrotrauma).
Peningkatan pH liang telinga luar (misalnya saat mandi). Ozcan, et al. (2003)
menemukan bahwa berenang secara rutin merupakan faktor predisposisi
otomikosis.
Perubahan serumen secara kualitatif dan kuantitatif (misalnya saat mandi).
Serumen dianggap bersifat suportif terhadap pertumbuhan jamur.
Faktor sistemik (perubahan kekebalan tubuh, penyakit yang melemahkan
tubuh, kortikosteroid, antibiotik, sitostatika, neoplasia). Jackman, et al. (2005)
melaporkan ofloksasin dapat berkontribusi terhadap otomikosis.
Riwayat otitis bakteri, otitis media supuratif kronik (OMSK) dan paska operasi
rongga mastoid. Kontaminasi bakteri kulit liang telinga luar awalnya terjadi
oleh otitis media supuratif atau otitis eksterna akut. Permukaan epitel yang
terganggu adalah media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme.
Kerusakan epitel juga menyebabkan penurunan ekskresi dari apokrin dan
kelenjar serumen yang mengubah lingkungan liang telinga luar menjadi lebih
cocok untuk mikroorganisme.
Dermatomikosis dapat menjadi faktor risiko kekambuhan karena autoinokulasi
mungkin terjadi antar organ tubuh.
Kondisi dan kebiasaan sosial. Wanita mengenakan penutup kepala tradisional
dilaporkan sebagai faktor predisposisi untuk otomikosis, karena dapat
meningkatkan kelembaban liang telinga dan menciptakan lingkungan yang
ideal untuk pertumbuhan jamur.
Gejala klinis otitis eksterna bakteri dan otomikosis sering sulit dibedakan.
Namun, pruritus sering merupakan karakteristik untuk infeksi mikotik, begitu juga
ketidaknyamanan, gangguan pendengaran, tinitus, telinga penuh, otalgia dan
keluarnya sekret. Pemeriksaan otoskopi yang memperlihatkan adanya miselia,
menegakkan diagnosis. Liang telinga luar dapat berupa eritema dan debris
jamur dapat terlihat putih, abu-abu, ataupun hitam. Diagnosis dapat dikonfirmasi

116
dengan mengidentifikasi elemen jamur pada pemeriksaan KOH atau dengan
kultur jamur (Edward & Irfandy, 2012).
Karakteristik pemeriksaan infeksi jamur menyerupai bentuk jamur pada
umumnya, berbentuk hifa halus dan spora (konidiofor) dapat terlihat pada
Aspergillus (Gambar 7a). Candida sering membentuk anyaman miselia dengan
karakter putih dan ketika bercampur dengan serumen akan berwarna kuning
(Gambar 7b). Kultur jamur jarang dibutuhkan dan tidak mengubah tatalaksana
yang akan diberikan. Ahmad, et al. (1989) pada studinya membandingkan
diagnosis otomikosis berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
laboratorium. Mereka menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna
antara 2 pemeriksaan tersebut dan menyimpulkan bahwa otomikosis bisa
ditegakkan hanya dengan pemeriksaan klinis (Edward & Irfandy, 2012).

a b

Gambar 7. Otomikosis: (a) Aspergillus sp; (b) Candida sp.

Penatalaksanaan otomikosis
Pembersihan liang telinga secara menyeluruh dengan bantuan mikroskop
terhadap debris jamur merupakan langkah paling awal dan paling penting dalam
tatalaksana otomikosis (Linstrom & Lucente, 2014).
Meskipun beberapa studi in vitro telah meneliti khasiat dari berbagai agen
antijamur, namun tidak ada konsensus yang menyatakan adanya agen yang
paling efektif. Berbagai jenis agen telah digunakan secara klinis dengan angka
kesuksesan yang bervariasi. Namun demikian, pemakaian agen antijamur
topikal yang tepat ditambah dengan debridemen rutin biasanya mempunyai hasil

117
yang baik meskipun angka kekambuhan atau gejala sisa masih sering terjadi
(Edward & Irfandy, 2012).
Banyak peneliti percaya bahwa penting untuk mengidentifikasi agen
penyebab kasus otomikosis dalam rangka penggunaan jenis obat yang tepat
dan dianjurkan juga dalam pemilihan antijamur harus didasarkan pada
kerentanan spesies yang diidentifikasi. Namun, peneliti-peneliti lain percaya
bahwa strategi terapi yang paling penting adalah pemilihan pengobatan spesifik
untuk otomikosis berdasarkan kemanjuran dan karakteristik obat, terlepas dari
agen penyebabnya. Sampai saat ini, belum terdapat antijamur yang disetujui
oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan otomikosis. Banyak
agen dengan berbagai sifat antijamur telah digunakan dan para klinisi telah
berjuang untuk mengidentifikasi agen mana yang paling efektif untuk mengobati
otomikosis (Edward & Irfandy, 2012).
Preparat antijamur dapat dibagi ke dalam jenis non spesifik dan spesifik.
Antijamur non spesifik termasuk larutan asam dan larutan yang dapat membuat
suasana menjadi kering, seperti (Munguia & Daniel, 2008; Moghadam, et al.,
2010; Edward & Irfandy, 2012):
Asam borat adalah asam lemah yang sering digunakan sebagai antiseptik
dan insektisida. Asam borat dapat digunakan untuk penatalaksanaan infeksi
ragi dan jamur, seperti infeksi ragi vagina yang disebabkan Candida albicans
dan juga digunakan untuk mencegah penyakit athletes foot
Gentian violet, tersedia bentuk larutan konsentrat rendah (1%) dalam air,
memiliki sifat antiseptik, antiinflamasi, antibakteri dan antijamur. Preparat ini
masih digunakan beberapa negara dan disetujui oleh FDA. Studi
melaporkan efektifitasnya hingga 80%
5-Fluorocytocine (flucytosine), bekerja dengan berpenetrasi terhadap sel
jamur dan dikonversi menjadi fluorourasil yang akan berkompetisi dengan
urasil, mengganggu RNA jamur dan sintesis protein
Mercurochrome, suatu antiseptik topikal untuk penatalaksanaan otomikosis.
Bersama dengan merthiolate (thimerosal), keduanya telah ditarik dari
peredaran karena mengandung merkuri. Tisner (1995) melaporkan angka
keberhasilan 93.4% dalam menggunakan thimerosal untuk otomikosis.

118
Sedangkan Mercurochrome dilaporkan memiliki angka keberhasilan 95.8%
hingga 100%
Cat Castellani (terdiri dari aseton, alkohol, fenol, fusin, resorcinol)
Cresylate terdiri dari merthiolate, asetat M-cresyl, propilen glikol, asam borat
dan alcohol
Campuran 10 ml asam asetat 2% dan 90 ml isopropil alkohol 70%.
Moghadam, et al. (2010) melakukan penelitian dengan menggunakan
campuran larutan tersebut terhadap 52 pasien otomikosis. Tetesan diberikan
setiap 8 jam selama 3 minggu. Mereka mendapatkan keberhasilan terapi
dalam hal hilangnya seluruh gejala klinis serta hasil apusan dan kultur jamur
yang negatif. Campuran tersebut mampu menurunkan pH liang telinga dan
membersihkan jamur serta mencegah pertumbuhan jamur. Beberapa
laporan juga merekomendasikan larutan campuran ini untuk terapi
otomikosis karena rendahnya efek samping dan rendahnya angka
kekambuhan

Terapi antijamur spesifik terdiri dari (Munguia & Daniel, 2008; Edward & Irfandy,
2012; Koch, 2012):
Nystatin adalah antijamur poliena yang menghambat sintesis sterol dalam
membran sitoplasma. Banyak jamur dan ragi yang sensitif terhadap nystatin
termasuk spesies Candida. Kelebihan dari nystatin adalah tidak meresap
pada kulit yang intak. Tingkat keberhasilan hingga 50-80%
Azole adalah agen sintetis yang mengurangi konsentrasi ergosterol,
merupakan sterol penting dalam sitoplasma membran normal
a. Clotrimazole adalah agen yang paling banyak digunakan sebagai azole
topikal, dan menjadi salah satu agen yang paling efektif dalam manajemen
otomikosis dengan tingkat efektifitas 95-100%. Clotrimazole juga memiliki
efek antibakteri, khususnya terhadap Staphylococcus aureus, namun tidak
terhadap Pseudomonas aeruginosa. Hal ini menjadi kelebihan tambahan
saat menangani infeksi campuran jamur dan bakteri. Clotrimazole tidak
memiliki efek ototoksik dan tersedia dalam bentuk bubuk, lotion dan larutan
b. Ketoconazole dan fluconazole memiliki aktivitas spektrum yang luas. Khasiat
ketoconazole dilaporkan 95-100% terhadap spesies Aspergillus dan Candida

119
albicans, tersedia dalam bentuk krim 2%. Fluconazole topikal telah
dilaporkan efektif dalam 90% kasus. Tersedia dalam bentuk suspensi
dengan tiap ml mengandung 10 mg atau 40 mg fluconazole
c. Miconazole krim 2% juga telah menunjukkan pada tingkat keberhasilan
hingga 90%. Sama seperti Clotrimazole, obat ini juga memiliki efek
antibakteri, khususnya terhadap Staphylococcus aureus, namun tidak
terhadap Pseudomonas aeruginosa
d. Bifonazole adalah agen antijamur yang umum digunakan pada tahun 1980-
an. Potensi larutan bifonazole 1% mirip dengan clotrimazole dan
miconazole. Bifonazole dan turunannya menghambat pertumbuhan jamur
hingga 100%
e. Itraconazole, memiliki efek invitro dan invivo terhadap spesies Aspergillus
Amfoterisin B merupakan antijamur poliena, telah digantikan dengan agen
yang lebih aman dalam kebanyakan kasus, namun masih digunakan pada
kasus infeksi jamur yang mengancam nyawa, terlepas dari efek sampingnya.
Nong (1999) melaporkan bahwa Aspergillus dan Candida albicans sensitif
terhadap amfoterisin B sesuai dengan uji kepekaan antijamur
Tolnaftate, bekerja dengan cara mendistorsi hifa dan mencegah
pertumbuhan miselia penyebab infeksi kulit, termasuk tinea pedis, tinea
cruris dan ringworm. Obat ini dianjurkan pada kasus otomikosis persisten
dan tidak bersifat ototoksik, tersedia dalam bentuk larutan 1%.

Bentuk salep memiliki beberapa kelebihan dibandingkan tetes telinga


karena salep bertahan pada kulit liang telinga untuk waktu lebih lama. Bentuk
salep mungkin lebih aman pada kasus perforasi membran timpani karena akses
ke telinga bagian tengah lebih berkurang sehubungan dengan viskositasnya
yang tinggi. Munguia dan Daniel (2008) tidak menemukan adanya laporan kasus
antijamur topikal yang menyebabkan ototoksisitas bila digunakan untuk
mengobati otomikosis dengan membran timpani utuh. Data mengenai keamanan
penggunaan preparat ototopikal pada membran timpani yang perforasi masih
sangat kurang (Munguia & Daniel, 2008; Edward & Irfandy, 2012).
Penambahan antijamur oral dikhususkan untuk kasus yang berat dan
respon yang buruk terhadap terapi topikal, meskipun jarang diperlukan. Ho, et al.

120
(2006) meyakini bahwa antijamur oral tidak akan berhasil tanpa adanya
perawatan lokal yang adekuat. Merupakan hal yang penting bahwa pengobatan
otomikosis tidak hanya mengenai perawatan dan penggunaan antijamur topikal,
tatalaksana juga harus difokuskan pada pemulihan fisiologis liang telinga dalam
rangka resolusi definitif penyakit (Edward & Irfandy, 2012).

Osteomielitis Dasar Otak (Otitis Eksterna Maligna / Nekrotikans)


Terminologi otitis eksterna maligna / nekrotikans telah digantikan dengan
skull base osteomyelitis (osteomielitis dasar otak) karena deskripsi patofisiologi
dan entitas klinis penyakit ini dinilai lebih sesuai dengan terminologi osteomielitis
dasar otak (Linstrom & Lucente, 2014).
Penyakit ini merupakan bentuk agresif dan invasif dari otitis eskterna,
khususnya terjadi pada pasien diabetes, imunokompromais, dan lansia (Taplin,
2007). Spesialis T.H.T.K.L harus mendiagnosis banding penyakit ini terhadap
infeksi liang telinga luar persisten pada pasien yang berisiko. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan tambahan yang
mendukung (Tabel 4) (Linstrom & Lucente, 2014).

Tabel 4. Penegakan Diagnosis Osteomielitis Dasar Otak

Empat gejala yang menonjol ditemukan antara lain: otalgia berat


persisten lebih dari 1 bulan; otorhea purulen dengan jaringan granulasi selama
beberapa minggu (Gambar 8); diabetes melitus, keadaan imunokompromais
lain, atau usia lanjut; dan keterlibatan saraf kranial (Linstrom & Lucente, 2014).

121
Gambar 8. Osteomielitis Dasar Otak

CT scan tulang temporal dengan kontras merupakan radiografi awal yang


harus dilakukan. Pencitraan ini dapat menentukan perubahan tulang yang halus
seperti erosi dinding liang telinga anterior dengan keterlibatan sendi
temporomandibular dan erosi pada cincin timpani serta dasar tengkorak. CT
scan tulang temporal juga dapat menunjukkan penebalan jaringan lunak dan
penyempitan mastoid (Linstrom & Lucente, 2014).
MRI dengan kontras Gadolinium memiliki keuntungan dalam menentukan
perluasan medial penyakit pada dasar tengkorak. Penyangatan dural dan
keterlibatan ruang tulang medula terlihat dengan invasi dasar tengkorak sentral.
Perubahan yang terlihat pada MRI tidak cepat mengalami resolusi saat terjadi
perbaikan klinis. Dengan demikian, MRI merupakan alat diagnostik yang
berguna untuk menilai perluasan penyakit namun kurang bermanfaat untuk
mengikuti perkembangan penyakit ini (Linstrom & Lucente, 2014).

Pemindaian tulang Tc-99m dan Ga-67 telah dianjurkan dalam evaluasi


osteomielitis dasar otak. Sensitivitasnya terhadap adanya infeksi jauh lebih
besar dibanding spesifisitasnya terhadap kausanya (Linstrom & Lucente, 2014).

Penatalaksanaan osteomielitis dasar otak


Swab dan/atau kultur jaringan liang telinga luar harus dilakukan. Jika
terdapat granulasi, maka harus dibiopsi. Pseudomonas aeruginosa hampir selalu
didapat pada kultur. Oleh karena Pseudomonas adalah organisme dominan,

122
pasien diterapi dengan antibiotik anti-Pseudomonas untuk jangka panjang
selama 6 minggu atau lebih. Dua antibiotik, salah satu antibiotik anti-
Pseudomonas dan lainnya aminoglikosida, masing-masing dari golongan yang
berbeda, biasanya dipilih karena sinergisitas penggunaan dua antibiotik tersebut
dan untuk menghindari munculnya galur resisten dari bakteri. Monoterapi tidak
disarankan. Biasanya dua antibiotik anti-Pseudomonas dipilih dari beberapa
alternatif, termasuk gentamisin atau tobramisin dengan atau tanpa tikarsilin atau
piperasilin. Antibiotik alternatif termasuk mezlokilin atau azlokilin, ceftazidim,
imipenem, aztreonam, amikasin, norfloksasin dan siprofloksasin atau salah satu
anti-Pseudomonas fluorokuinolon yang sesuai. Jika aminoglikosida yang dipilih,
pendengaran harus dipantau dengan hati-hati (Linstrom & Lucente, 2014).
Oleh karena kadar antibiotik oral fluorokuinolon tinggi di jaringan,
insidensi osteomielitis dasar otak telah menurun. Namun, harus diperhatikan
bahwa individu dengan mikrovaskularisasi yang buruk, terutama penderita
diabetes, hanya mampu memperoleh konsentrasi pembunuh bakteri semata-
mata dengan pemberian secara intravena. Pasien dengan penyakit persisten
terhadap pemberian antibiotik intravena membutuhkan kontrol operasi pada
daerah infeksi (Linstrom & Lucente, 2014).
Jika liang telinga tetap mengeluarkan sekret setelah pemberian antibiotik
intravena adekuat dan perawatan lokal, kultur harus diambil ulang untuk mencari
kemungkinan munculnya organisme resisten. Baik di rumah sakit ataupun di
praktek, debridemen telinga dilakukan dengan hati-hati di bawah mikroskop
secara teratur sampai granulasi menghilang. Pasien diberi tetes telinga anti-
Pseudomonas dan antibiotik sistemik yang tepat. Diabetes dikelola dengan
tepat, biasanya dangan bantuan seorang internis atau endokrinologis. Diet
dimonitor ketat dengan bantuan ahli gizi (Linstrom & Lucente, 2014).
Kebanyakan pasien dapat diterapi secara medis, dan peran intervensi
bedah masih kontroversi. Operasi debridemen jaringan dan tulang yang
mengalami osteomielitis biasanya dilakukan pada pasien yang tidak respon
dengan terapi konvensional. Jaringan dapat diperoleh dari kultur dalam kasus-
kasus persisten untuk mencari organisme resisten ataupun organisme baru
seperti jamur invasif. Meningkatnya rasa nyeri setelah terapi medis agresif,
granulasi yang persisten, dan terdapatnya keterlibatan saraf kranial, menjadi

123
tanda bahwa harus dilakukan terapi medis yang lebih agresif dan kemungkinan
dilakukan intervensi bedah (Linstrom & Lucente, 2014).
Dengan terjadinya kelumpuhan saraf wajah, tindakan bedah awal untuk
pengangkatan granulasi dan bila perlu dekompresi dari saraf wajah sebaiknya
dilakukan untuk mengembalikan fungsinya. Tujuan utama tindakan bedah
adalah untuk meredakan saraf yang terperangkap dan untuk memungkinkan
kembali fungsinya. Elektroneuronografi serial telah digunakan untuk menentukan
degenerasi listrik saraf fasialis pada pasien dengan kelumpuhan wajah secara
klinis dengan lengkap. Elektroneuronografi yang menunjukkan degenerasi listrik
lebih besar dari 90% saraf fasialis dapat mendukung dekompresi bedah pada
segmen saraf yang terlibat. Seluruh konsep dekompresi saraf fasialis untuk
kasus osteomielitis dasar otak masih kontroversial. Andalan terapi untuk
osteomielitis dasar otak tetap adalah terapi medis dan bukan tindakan bedah
(Linstrom & Lucente, 2014).
John dan Cheesman telah menganjurkan eksisi lokal luas untuk tulang
rawan dan jaringan lunak yang terinfeksi apabila penyakit masih persisten
setelah perawatan medis atau jika paralisis wajah terjadi. Reines dan Schindler
telah melaporkan tiga kasus dimana reseksi subtotal tulang temporal dilakukan
untuk memperoleh akses dengan fokus utama infeksi dan drainase yang
adekuat. Perawatan bedah seperti drainase abses yang adekuat, debridemen
dan reseksi yang lebih luas, bersifat individual tergantung status kesehatan
pasien secara keseluruhan dan respon untuk tindakan yang lebih konservatif
(Linstrom & Lucente, 2014).
Terapi adjuvan berupa oksigen hiperbarik telah memperoleh hasil yang
baik di beberapa sentra pilihan (Taplin, 2007). Oksigen hiperbarik memfasilitasi
osteoneogenesis dan perbaikan penyakit tulang sehingga bermanfaat pada
kebanyakan kasus berat. Namun, biaya dan ketidaknyamanan penggunaan
terapi oksigen hiperbarik telah menjadi batasan. Penggunaannya dianjurkan
untuk penyakit lanjut dengan keterlibatan dasar tengkorak atau intrakranial,
penyakit kambuhan dan infeki persisten terhadap pengobatan antibiotik
(Linstrom & Lucente, 2014).

124
Kesimpulan
Otitis eksterna merupakan suatu terminologi luas inflamasi liang telinga
luar yang disebabkan sejumlah faktor meliputi infeksi (bakteri, virus maupun
jamur), alergi dan penyakit dermatologi. Hal terpenting untuk diagnosis yang
akurat dan cepat dari spektrum otitis eksterna adalah pemahaman menyeluruh
mengenai anatomi dan fisiologi dari liang telinga eksterna serta pengetahuan
tentang mikrobiologi dan presentasi klinis (tanda dan gejala) bersangkutan.
Otitis eksterna pada dasarnya merupakan proses inflamasi lokal yang
dapat dengan mudah dikendalikan hanya menggunakan agen topikal. Terapi
sistemik biasanya tidak diindikasikan kecuali dirumitkan dengan adanya kondisi
tertentu (diabetes melitus, keadaan imunokompromais lain). Meskipun termasuk
sederhana penatalaksanaannya, namun dapat menjadi masalah yang serius
apabila otitis eksterna tidak secara optimal ditangani.

125
KEPUSTAKAAN

Abdullah, F. 2003. Uji Banding Klinis Pemakaian Larutan Burrowi Saring dengan
Salep Ichthyol (Ichthamol) pada Otitis Eksterna Akut. [online] Tersedia dari:
<http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/ 6423/1/tht-farhan. pdf>
[Diakses 02 Januari 2017].

BMJ. 2017. Otitis Externa. [online] Available at:


<http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/40/basics/classificatio
n.html> [Accessed 02 January 2017].

Edward, Y. dan Irfandy, D. 2012. Otomycosis. Jurnal Kesehatan Andalas, 1(2),


pp.101-6.

Gray, H. 2000. Anatomy of the Human Body. [online] Available at:


<http://www.bartleby.com/107/pages/page1036.html> [Accessed 02
January 2017].

Hajioff, D. and Mackeith, S. 2010. Otitis Externa. Clinical Evidence, 06(510),


pp.1-14.

Hughes, E. and Lee, J.H. 2001. Otitis Externa. Pediatrics in Review, 22(6),
pp.191-7.

Hui, C.P.S. 2013. Acute otitis externa. Paediatr Child Health, 18(2), pp.96-8.

Joshi, Y. 2017. Acute Localized Otitis Externa. [online] Available at:


<https://drug.mynahcare.com/ailment/acute-localized-otitis-externa-
furunculosis-NjY2> [Accessed 02 January 2017].

Kedel, I.W.M., Samodra, E. and Rianto, B.U.D. 2009. The Effectiveness of


Rivanol Tampon Compared with Burowi Tampon in Acute Diffuse Otitis
Externa. Berkala Ilmu Kedokteran. 41(3), pp.157-63.

Koch, K. 2012. Managing otitis externa. S Afr Pharm J, 79(8), pp.17-22.

Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher.
2015. Modul Utama Otologi: Inflamasi Telinga Luar. Edisi ke-2. Hlm.1-12.

Linstrom, C. J. and Lucente F.E. 2014. Diseases of the External Ear. In: Hirsch,
B.E. and Jackler, R.K. (eds). Baileys Head & Neck Surgery-
Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
pp.2333-57.

McWilliams, C.J., Smith, C.H. and Goldman, R.D. 2012. Acute otitis externa in
children. Canadian Family Physician, 58, pp.1222-4.

126
Moghadam, A.Y., Asadi, M.A., Dehghani, R., Mahmoudabadi, A.Z., Rayegan, F.,
Hooshyar, H. and Khorshidi, A. 2010. Evaluating the effect of a mixture of
alcohol and acetic acid for otomycosis therapy. Jundishapur Journal of
Microbiology, 3(2), pp.66-70.

Munguia, R. and Daniel, S.J. 2008. Ototopical Antifungals and Otomycosis: A


Review. Int J Ped Otorhinolaryngol, 72(4), pp.453-9.

Mustofa, A. 2011. Variabel Determinan Penggunaan Cotton Bud Terhadap


Insidensi Otitis Eksterna. [online] Tersedia dari:
<https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/23259/Variabel-Determina n-
Penggunaan-Cotton-Bud-Terhadap-Insidensi-Otitis-Eksterna> [Access ed
02 January 2017].

Osguthorpe, J.D. and Nielsen, D.R. 2006. Otitis Externa: Review and Clinical
Update. American Family Physician, 74(9), pp.1510-6.

Roland, P.S. and Stroman, D.W. 2002. Microbiology of Acute Otitis Externa.
Laryngoscope, 112, pp.1166-77.

Rosenfeld, R.M., Schwartz, S.R., Cannon, C.R., Roland, P.S., Simon, G.R.,
Kumar, K.A., Hunag, W.W., Haskell, H.W. and Robertson, P.J. 2014.
Clinical Practice Guideline: Acute Otitis Externa. Otolaryngol Head Neck
Surg, 150(1S), pp.S1 S24.

Sander, R. 2001. Otitis Externa: A Practical Guide to Treatment and Prevention.


Am Fam Physician, 63, pp.927-36.

Taplin, M.A. 2007. How to treatexternal ear conditions. [online] Available at:
<https://www.australiandoctor.com.au/cmspages/getfile.aspx?guid=499ee4
65-4506-45c8-9618-9add25652992> [Accessed 02 January 2017].

Varadharajan, R., Jayakumar, K. and Kalyani. 2012. A Study on the Incidence of


Singapore Ear among the Rural Population of Chennai. Int J Pharm Bio Sci,
3(4), pp.796-801.

127
Penurunan Risiko Karsinoma Nasofaring dan Asupan
Vitamin dari Tumbuhan, Ikan Segar, Teh Hijau dan Kopi:
Suatu Studi Kasus-Kontrol di Taiwan

PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan suatu kanker yang jarang ditemukan
pada sebagian besar negara di seluruh dunia dengan angka kejadian secara
umum kurang dari 1 per 100.000 orang/tahun. Namun, angka kejadian KNF
sangat tinggi di Cina Selatan (25-30 per 100.000 orang/tahun). Di Taiwan, suatu
daerah berisiko menengah, angka kejadian tahunan untuk pria dan wanita pada
tahun 2007 masing-masing 8.41 dan 2.93 per 100.000 orang/tahun.
Infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dianggap sebagai penyebab penting KNF.
Merokok dalam jangka panjang, paparan yang didapat saat kerja seperti formalin
dan serbuk kayu, dan faktor genetik juga telah didokumentasikan sebagai faktor
risiko KNF. Faktor makanan telah dihipotesiskan terlibat dalam terjadinya KNF,
namun bukti yang ada masih belum jelas, kecuali untuk konsumsi ikan asin ala
Kanton pada usia dini. Ho pertama kali mengemukakan bahwa konsumsi ikan
asin mungkin menjadi faktor risiko KNF. Dalam penelitian selanjutnya, asupan
ikan asin saat usia dini dan dewasa ditemukan berkaitan dengan tingkat risiko
yang lebih besar terhadap kejadian KNF di daerah berisiko tinggi seperti
Guandong, Guangxi, dan Hongkong. Bahkan, di antara individu yang seropositif
untuk antibodi imunoglobulin A terhadap antigen kapsid virus EBV (anti-EBV
VCA IgA), konsumsi ikan asin saat usia dewasa berkaitan dengan peningkatan
risiko kejadian KNF 2 kali lipat dibanding mereka yang tidak pernah
mengkonsumsi ikan asin. Namun, tidak ditemukan hubungan bermakna
terhadap konsumsi ikan asin saat usia dini dan dewasa di daerah berisiko
rendah seperti Filipina, Singapura, dan Amerika Serikat.
Selain konsumsi ikan asin saat usia muda, asupan makanan yang diawetkan
juga ditemukan menjadi faktor risiko KNF terhadap sebagian besar populasi.
Berdasarkan meta-analisis dari enam studi kasus-kontrol terhadap hubungan
antara konsumsi sayuran yang diawetkan saat usia dewasa dengan risiko KNF,
odds ratio yang terkumpul (95% confidence interval [CI]) adalah 2,04 (1,43-2,92)
untuk asupan sayuran yang diawetkan tertinggi dibanding dengan asupan

128
terendah. Dalam penelitian sebelumnya, konsumsi nitrosamin dan nitrit saat usia
dini secara bermakna berkaitan dengan peningkatan risiko KNF.
Selain ikan asin dan makanan yang diawetkan, beberapa penelitian
melaporkan adanya hubungan terbalik antara konsumsi sayuran dan buah-
buahan dengan risiko KNF. Asupan sayuran segar yang tinggi berkaitan dengan
36% penurunan risiko KNF dalam suatu meta-analisis. Sebuah studi kasus-
kontrol luas yang dilakukan di Cina juga melaporkan penurunan risiko KNF yang
terkait dengan konsumsi teh herbal dan sup herbal.
Kami telah melaporkan adanya hubungan KNF terhadap berbagai makanan
yang telah disebutkan sebelumnya, dengan penekanan terhadap usia kehidupan
dini. Oleh karena konsumsi ikan asin tidak dapat sepenuhnya dievaluasi akibat
jarangnya makanan ini dikonsumsi oleh populasi kami, kami mengamati
hubungan positif antara konsumsi makanan non-kedelai tinggi nitrat/nitrosamin
pada usia dini dan risiko KNF. Sehubungan dengan asupan makanan pada usia
dewasa, kami sebelumnya telah melaporkan bahwa individu dengan kuartil
tertinggi yang mengkonsumsi telur asin atau cabe memiliki peningkatan risiko
bermakna terjadinya KNF. Tidak terdapat hubungan bermakna terhadap
kejadian KNF yang ditemukan untuk asupan produk-produk kedelai segar,
daging peram, daging asap, produk kedelai fermentasi, sayuran dan buah-
buahan yang diawetkan. Namun, analisis sebelumnya ini tidak mengevaluasi
konsumsi makronutrisi dan tidak menyesuaikan pengaruh bahan pencampur.
Dalam analisis saat ini, kami meneliti hubungan antara berbagai kelompok
makanan dan makronutrisi serta risiko KNF setelah mempertimbangkan faktor-
faktor risiko kejadian KNF yang diketahui.

BAHAN DAN METODE


Subyek Penelitian
Rincian studi kasus-kontrol ini telah dijelaskan sebelumnya. Secara ringkas,
kejadian kasus-kasus KNF yang telah dipastikan melalui pemeriksaan histologi
serta kontrol masyarakat yang sesuai terdaftar antara tanggal 15 Juli 1991 dan
31 Desember 1994. Kasus-kasus KNF dibatasi untuk individu berusia kurang
dari 75 tahun, tanpa diagnosis KNF sebelumnya dan berdomisili di kota Taipei
lebih dari 6 bulan. Satu kontrol dipilih untuk setiap kasus dan sesuai dengan
jenis kelamin, usia (dalam 5 tahun) serta daerah domisili (distrik atau kota yang
129
sama). Secara keseluruhan, terdapat 378 kasus dan 372 kontrol yang
diidentifikasi. Dari jumlah tersebut, kuesioner faktor risiko diperoleh dari 375
(99%) kasus dan 327 (88%) kontrol. Institutional Review Boards di National
Taiwan University dan the National Cancer Institute di Amerika Serikat
menyetujui protokol penelitian dan informed consent. Persetujuan tertulis
diperoleh dari peserta penelitian.

Pengumpulan Data
Peserta diwawancarai oleh perawat terlatih dengan menggunakan kuesioner
terstruktur. Informasi mengenai karakteristik sosio-demografis, merokok,
mengunyah sirih, konsumsi alkohol, riwayat tempat tinggal, riwayat kesehatan,
riwayat pekerjaan, serta riwayat asupan makanan saat usia dini dan dewasa
dikumpulkan. Konsumsi makanan yang lengkap dinilai dengan kuesioner
frekuensi makanan (FFQ) meliputi 66 item makanan Taiwan yang paling umum.
Informasi yang dikumpulkan dari asupan makanan adalah riwayat makanan 3-10
tahun sebelum pemastian (tanggal biopsi untuk subyek kasus dan tanggal
dikontak untuk subyek kontrol). Peserta diminta untuk menerangkan frekuensi
rata-rata asupan per hari, per minggu, per bulan, per tahun atau kurang dari
sekali per tahun. Untuk studi ini, kami meneliti 3 kelompok makanan: 1) daging,
ikan, seafood dan telur; 2) sayuran dan buah-buahan; dan 3) susu, susu kedelai,
jus buah segar, teh dan kopi.

Pengujian Seromarker EBV


Sampel darah perifer dikumpulkan dari 369 kasus dan 320 kontrol. Serum
diambil pada waktu pendaftaran dan disimpan pada suhu -80 derajat Celsius
hingga pengujian. Serum yang diuji untuk berbagai antibodi anti-EBV meliputi
viral capsid antigen (VCA) IgA, EBV nuclear antigen 1 (EBNA1) IgA, early
antigen (EA) IgA, DNA binding protein IgG, dan anti-DNase. Individu yang positif
untuk tiap satu seromarker EBV diklasifikasikan sebagai seropositif, individu
yang negatif untuk semua seromarker sebagai seronegatif. Secara keseluruhan,
terdapat 358 kasus dan 97 kontrol yang seropositif untuk penanda anti-EBV.

130
Analisis Statistik
Jumlah kalori dan asupan makronutrisi dihitung menggunakan basis data
komposisi makanan Taiwan dengan mengalikan frekuensi asupan untuk setiap
item makanan dengan kandungan gizi untuk ukuran porsi standar. Asupan
berbagai item makanan dan makronutrisi dikategorikan menjadi tiga kelompok
pada kontrol kecuali beberapa item makanan dengan frekuensi asupan yang
ekstrim.
Analisis regresi logistik tanpa syarat digunakan untuk menilai multivariate-
adjusted odds ratio (ORadj) dan kesesuaian 95% confidence interval-nya (CI).
Semua ORadj disesuaikan untuk usia, jenis kelamin, etnis, tingkat pendidikan,
riwayat KNF dalam keluarga, total kalori, lamanya merokok (dalam tahun), dan
paparan terhadap formaldehida dan serbuk kayu. Analisis stratifikasi lanjut
dilakukan untuk memperkirakan ORadj bagi individu yang seropositif untuk
penanda anti-EBV. Hubungan dosis-respon antara risiko KNF dan berbagai
faktor makanan diuji untuk kemaknaan statistik menggunakan variabel ordinal
pada model. Korelasi antara asupan makanan dan makronutrisi dinilai dengan
koefisien korelasi Spearman. Semua uji statistik bersifat dua arah (two-tailed).

HASIL
Sebanyak 371 kasus KNF dan 321 kontrol yang tidak terpengaruh
dimasukkan dalam analisis. Proporsi laki-laki masing-masing 69,5% dan 69,2%
untuk kasus dan kontrol. Usia rata-rata (standar deviasi) adalah 45,6 (11,6)
tahun untuk kasus dan 46,0 (11,7) tahun untuk kontrol. Dibandingkan dengan
kontrol, kasus KNF cenderung terjadi pada etnis Fukien. Tingkat pendidikan
lebih rendah dan proporsi dengan riwayat KNF dalam keluarga lebih tinggi pada
kasus daripada kontrol.
Tabel 1 menunjukkan frekuensi konsumsi daging, telur, dan seafood dalam
kasus KNF dan kontrol. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara risiko
KNF dan konsumsi daging serta telur. Dibandingkan dengan kelompok acuan
yang mengkonsumsi ikan segar 2 kali/minggu, ORadj-nya adalah 0,92 (95%
CI, 0,61-1,40) dan 0,56 (95% CI, 0,38-0,83) bagi mereka dengan asupan 2-6
ikan segar selama > 6 kali/minggu (p<0,01) setelah penyesuaian untuk usia,
jenis kelamin, etnis, tingkat pendidikan, riwayat KNF dalam keluarga, asupan
kalori total, lamanya merokok (dalam tahun) dan paparan terhadap formaldehida
131
dan serbuk kayu. ORadj untuk asupan ikan segar tetap sama dalam analisis
yang dibatasi untuk kasus dan kontrol yang seropositif untuk penanda anti-EBV.
Tidak terdapat hubungan yang bermakna terhadap risiko KNF sehubungan
dengan asupan ikan asin ala Kanton (ORadj, 0,88; 95% CI, 0,35-2,21), terlepas
dari keterbatasan untuk mengevaluasi hubungan ini akibat hanya sejumlah kecil
individu yang melaporkan konsumsi item makanan tersebut. Asupan makanan
laut lainnya juga tidak berkaitan secara bermakna dengan KNF.
Hubungan risiko KNF untuk asupan sayur dan buah ditunjukkan pada Tabel
2. Terdapat hubungan negatif yang lemah antara risiko KNF dengan asupan
semua sayuran segar (p=0,05). Asupan sayuran hijau gelap berhubungan
secara terbalik dengan risiko KNF setelah penyesuaian untuk faktor risiko
lainnya. Dibandingkan dengan asupan terendah, ORadj untuk asupan tertinggi
adalah 0,65 (0,41-1,02) untuk semua sayuran segar dan 0,67 (0,43-1,04) untuk
sayuran hijau gelap. Tidak terdapat hubungan risiko KNF dengan konsumsi
wortel, kacang polong, labu, sayuran yang diawetkan, buah, dan jeruk/limau.
Hasil serupa ditemukan dalam analisis yang dibatasi terhadap individu yang
seropositif untuk anti-EBV.
Tidak terdapat hubungan risiko KNF yang bermakna terhadap konsumsi susu
dan susu kedelai seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3. Konsumsi jus buah
segar dan teh hitam memiliki tingkat kemaknaan borderline dengan risiko KNF
(p=0,05). Hubungan terbalik yang bermakna ditemukan terhadap peningkatan
asupan teh oolong (ORadj 0,66 untuk 0,3 vs 0 kali/minggu; 95% CI, 0,44-0,98)
dan teh hijau (ORadj 0,61 untuk 1+ vs 0 kali/minggu; 95% CI, 0.40-0.91).
Hubungan terbalik yang bermakna dalam risiko KNF ditemukan untuk asupan
kopi (ORadj, 0,56 untuk 0.5+ vs 0 kali per minggu, 95% CI, 0.37- 0,85; p=0,01).
Hubungan terbalik dengan risiko KNF untuk teh hijau dan kopi tetap bermakna
secara statistik dalam analisis yang dibatasi terhadap kasus dan kontrol yang
seropositif untuk penanda anti-EBV.
Hubungan risiko KNF untuk asupan makronutrisi harian terpilih disajikan pada
Tabel 4. Tidak terdapat hubungan yang bermakna risiko KNF untuk asupan
lemak, karbohidrat, vitamin C, tokoferol dan natrium. Dibandingkan dengan
individu dengan tertil terendah asupan protein, individu dengan tertil tertinggi
asupan protein memiliki risiko KNF lebih rendah (ORadj 0,50; 95% CI, 0,29-0,86;
p<0,01). Asupan vitamin A, terutama vitamin A dari sumber tumbuhan, dikaitkan
132
dengan menurunnya risiko KNF (ORadj 0,62 untuk tertil tertinggi vs tertil
terendah; 95% CI, 0,41-0,94; p=0,02).
Koefisien korelasi antara asupan berbagai faktor makanan disajikan pada
Tabel S1. Terdapat korelasi yang bermakna antara frekuensi konsumsi teh hijau
dan teh oolong (koefisien korelasi [r], 0,69; p<0,01) serta antara sayuran hijau
gelap dan vitamin A dari sumber tumbuhan (r, 0,66; p<0,01). Asupan protein
juga memiliki korelasi yang bermakna sama halnya dengan konsumsi ikan segar
(r, 0,28; p<0,01), sayuran hijau gelap (r, 0,22; p<0,01), dan kopi (r, 0,27; p<0,01).
Dalam analisis regresi logistik akhir, hanya asupan ikan segar, teh hijau, kopi,
dan vitamin A dari sumber tumbuhan yang termasuk ke dalam model regresi
seperti yang disajikan pada Tabel 5. Setelah penyesuaian untuk usia, jenis
kelamin, etnis, tingkat pendidikan, riwayat KNF dalam keluarga, merokok, dan
paparan untuk formaldehida dan serbuk kayu, hubungan yang bermakna dengan
risiko KNF ditemukan terhadap asupan ikan segar, teh hijau, kopi, dan vitamin A
dari sumber tumbuhan. Nilai ORadj tetap sama ketika analisis dibatasi terhadap
individu yang seropositif untuk anti-EBV.

DISKUSI
Dalam studi kasus-kontrol yang bertujuan untuk mengevaluasi hubungan
risiko KNF untuk produk makanan yang komprehensif selama usia dewasa ini,
kami menemukan hubungan dosis-respon terbalik yang bermakna antara risiko
KNF dan peningkatan frekuensi konsumsi ikan segar, teh hijau, dan kopi.
Asupan ikan asin dan makanan yang diawetkan telah diidentifikasi sebagai
faktor risiko KNF pada sebagian besar populasi, terutama selama periode
penyapihan dan masa kanak-kanak. Makanan-makanan ini mengandung
senyawa N-nitroso yang dianggap karsinogenik terhadap manusia. Namun,
hubungan KNF terhadap konsumsi ikan asin dan sayuran yang diawetkan
selama usia dewasa tidak diamati dalam penelitian ini. Satu penjelasan yang
mungkin adalah sangat sedikitnya kasus dan kontrol yang pernah
mengkonsumsi ikan asin ala Kanton. Penjelasan lain mungkin hanya ikan asin
yang dikonsumsi saat anak-anak usia dini yang berkaitan dengan risiko KNF
dibandingkan saat usia dewasa.
Beberapa penelitian melaporkan hubungan terbalik antara konsumsi sayuran
dan KNF. Dalam laporan kami sebelumnya, terdapat hubungan terbalik yang
133
bermakna antara KNF dan asupan sayuran hijau gelap. Dalam analisis ini,
terdapat efek protektif dari konsumsi sayuran pada KNF, namun hubungan
tersebut secara statistik tidak bermakna setelah penyesuaian untuk faktor risiko
lainnya.
Berbeda dengan penelitian lain, hubungan terbalik antara konsumsi ikan
segar dan risiko KNF ditemukan dalam penelitian ini. Hubungan terbalik antara
kanker dan konsumsi ikan telah diamati pada banyak studi epidemiologi. Potensi
mekanisme untuk efek protektif mungkin berhubungan dengan nutrisi seperti
asam lemak omega 3 pada ikan. Asam dokosaheksaenoik (DHA) dan asam
eikosapentaenoik (EPA) telah terbukti menghambat pertumbuhan sel atau
mengurangi risiko progresi melalui jalur inflamasi pada hewan dan dalam studi in
vitro.
Penelitian ini menunjukkan hubungan terbalik yang bermakna antara asupan
teh hijau dan KNF. Temuan ini sesuai dengan studi kasus-kontrol lain yang
dilakukan di Cina selatan (OR 0,62). Hubungan antara konsumsi teh dan
penurunan risiko KNF secara biologis masuk akal. Efek protektif konsumsi teh
terhadap berbagai kanker telah dievaluasi dalam beberapa tahun terakhir ini,
terutama teh hijau. Dalam kebanyakan studi hewan, ekstrak teh mampu
menghambat pembentukan dan perkembangan tumor pada lokasi-lokasi tubuh
yang berbeda. Epigallocatechin gallate, salah satu isomer pada catechin,
merupakan komponen utama dari teh hijau memiliki aktivitas anti-mikroba yang
ampuh melawan bakteri, jamur, dan virus. Epigallocatechin gallate dengan
konsentrasi 50 mM dilaporkan dapat memblokir secara komplit infeksi EBV yang
diinduksi oleh ekspresi sitokin serta transformasi limfosit B yang diinduksi oleh
EBV.
Hubungan terbalik yang menarik antara risiko KNF dan konsumsi kopi
ditemukan dalam penelitian ini setelah penyesuaian untuk faktor risiko lainnya.
Kopi memiliki kandungan antioksidan berlimpah seperti asam caffeinic dan asam
chlorogenic. Kandungan diterpenes, cafestol dan kahweal pada kopi telah
dianggap mampu mengurangi genotoksisitas beberapa karsinogen dengan cara
memodifikasi enzim detoksifikasi. Ekstrak kopi juga ditemukan menghambat
aktivitas virus secara in vitro. Namun, efek protektif dari teh dan kopi pada
kanker manusia masih kurang meyakinkan dalam studi epidemiologi. Alasan

134
perbedaan tersebut mungkin karena perbedaan jenis teh dan kopi, kebiasaan
konsumsi oleh berbagai populasi, dan/atau penyesuaian bahan pencampur.
EBV dianggap faktor risiko yang paling penting untuk KNF. Hubungan terbalik
KNF dengan asupan ikan segar, teh hijau dan kopi masih tetap bermakna
secara statistik dalam analisis yang terbatas terhadap individu yang seropositif
untuk penanda anti-EBV. Dengan kata lain, efek protektif makanan tersebut tidak
bergantung terhadap keadaan seropositif anti-EBV dan tidak mungkin dimediasi
melalui pengaruhnya terhadap replikasi litik EBV dan resultan serokonversi
antibodi anti-EBV. Dalam penelitian sebelumnya, risiko KNF mungkin lebih
relevan untuk asupan saat usia dini dibanding usia dewasa. Hal ini bermanfaat
untuk menguji efek protektif ikan segar, teh dan kopi yang dikonsumsi saat usia
dewasa terhadap KNF, seperti yang diamati dalam penelitian ini, dimana
terhadap item makanan yang dikonsumsi saat usia dini.
Etiologi KNF meliputi kerentanan genetik, infeksi EBV, faktor lingkungan dan
interaksi antara gen, EBV serta lingkungan. Studi GWAS terbaru menunjukkan
bukti terhadap peran penting faktor genetik di dalam terjadinya KNF.
Penyerapan dan metabolisme komponen makanan dapat dipengaruhi oleh
polimorfisme genetik. Komponen dari makanan mampu mengubah ekspresi
genetik melalui mekanisme epigenetik. Genistein dan isoflavon lainnya dari
kedelai dan polyphenol(-)-epigallocatechin-3-gallate dari teh telah diteliti mampu
mereaktivasi methylation-silenced genes pada sel kanker dan menghambat
pertumbuhan kanker.
Penelitian ini memiliki kelebihan dan keterbatasan. Kelebihan pertama,
kuesioner makanan meliputi item makanan Taiwan dan mikronutrisi utama yang
sangat komprehensif dari item makanan yang dibutuhkan. Kelebihan lain dari
penelitian ini adalah kontrol dari potensi efek perancu faktor risiko lainnya.
Sebaliknya, studi kasus-kontrol kemungkinan akan dipengaruhi oleh recall bias
karena subyek kasus akan lebih mungkin mengingat dan melaporkan paparan
faktor risiko yang mungkin atau yang diketahui dibanding subyek kontrol.
Namun, kami mewawancarai semua kasus sebelum diagnosisnya dipastikan
dengan biopsi. Keterbatasan lainnya termasuk frekuensi yang rendah terhadap
konsumsi beberapa jenis makanan, khususnya ikan asin Guangdong, dan
kurangnya informasi ukuran porsi dalam wawancara kuesioner. Makanan Cina
sangat beragam dan sebagian besar hidangan memiliki campuran sayuran dan
135
daging, sehingga sulit untuk mengukur asupan berbagai makanan. Meskipun
demikian, keterbatasan tersebut cenderung menyebabkan bias dengan nilai
yang nihil dan kami tetap menemukan efek protektif asupan ikan segar, teh hijau
dan kopi terhadap KNF. Jika telah dapat dipastikan, faktor protektif makanan
yang dilaporkan pada studi ini dapat diintegrasikan dalam upaya menurunkan
risiko KNF melalui perubahan pola makan selama usia dewasa.

136
Sinusitis Akut: Studi Histopatologi dan Imunohistokimia

Tujuan: Menyajikan data karakteristik histopatologi dan imunohistokima sinusitis


akut pada manusia. Rancangan penelitian: Non-random, retrospektif,
terkontrol, penelitian kualitatif dan kuantitatif. Metode: Jaringan mukosa sinus
yang mengalami inflamasi diperoleh dari 11 pasien dengan sinusitis akut selama
operasi bedah sinus endoskopik fungsional dimana 6 diantaranya memiliki
komplikasi berupa perluasan inflamasi hingga ke orbita (4 pasien) ataupun ke
meningens (2 pasien), 3 diantaranya mengalami sinusitis berulang, dan
sebanyak 2 pasien mengalami sinusitis kronis eksaserbasi akut. Jaringan
mukosa sinus normal diperoleh dari 4 pasien dengan berbagai tumor hidung dan
dijadikan kelompok kontrol. Seluruh spesimen dilakukan pemeriksaan histologi
rutin. Potongan presentatif dari masing-masing regio diwarnai dengan
hematoksilin dan eosin, periodic acid-Schiff, dan toluidine blue. Pewarnaan
imunohistokimia untuk limfosit T dan B juga dilakukan. Pemeriksaan terdiri atas
2 tahap: penilaian mikroskopis dengan perbesaran rendah (40x) untuk
memberikan gambaran ciri patologis yang khas dan penilaian mikroskopis
dengan perbesaran tinggi (400x) untuk menghitung berbagai sel inflamasi. Hasil:
Lamina propria menunjukkan perubahan paling bermakna dengan terlihatnya
edema, infiltrasi luas neutrofil dan sel mononuklear, pembentukan mikroabses,
tromboflebitis, dan nekrotik fokal, sedangkan keterlibatan lapisan epitel dalam
reaksi inflamasi relatif moderat. Pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan
peningkatan populasi limfosit T dan B. Limfosit T tersebar secara difus,
sedangkan limfosit B juga membentuk kelompok yang berbeda: di sekitar venula
kecil, berdekatan dengan kelenjar seromucous, dan di bawah epitel.
Kesimpulan: Reaksi inflamasi yang terjadi pada lamina propria melebihi reaksi
inflamasi yang terjadi pada lapisan epitel. Diasumsikan bahwa kelompok limfosit
B di sekitar pembuluh darah menunjukkan fakta bahwa sel-sel ini diperoleh dari
darah selama sinusitis akut.

Kata kunci: Sinusitis akut, histopatologi, imunohistokimia, mukosa sinus

PENDAHULUAN
Sinusitis merupakan suatu penyakit yang sangat sering melibatkan semua
kelompok usia dan diperkirakan mempengaruhi 30 juta warga Amerika Serikat
setiap tahunnya. Sinusitis biasanya berasal dari pembengkakan mukosa
kompleks ostiomeatal akibat infeksi virus atau alergi, yang menyebabkan
gangguan drainase sinus, sekresi yang statis, kurang baiknya clearance
mukosiliar, yang pada akhirnya mengakibatkan infeksi bakteri. Pada kebanyakan
kasus, infeksi supuratif akut dapat segera teratasi setelah pengobatan antibiotik
ditambah dengan terapi ajuvan seperti dekongestan, antihistamin, dan steroid
intranasal semprot. Namun demikian, beberapa pasien mengalami komplikasi
dengan perluasan proses inflamasi ke dalam struktur berdekatan seperti orbita

137
atau otak. Pada pasien lain, reaksi inflamasi berlanjut selama berminggu-minggu
dan berbulan-bulan yang akhirnya berlanjut pada keadaan sinusitis kronis.
Terlepas dari peristiwa meluasnya sinusitis akut, dengan pengecualian
beberapa studi eksperimental yang melaporkan perubahan inflamasi akut
terhadap sinus maksilaris pada kelinci, literatur memiliki ketiadaan informasi
mengenai perubahan histopatologi dari berbagai sinus paranasal pada sinusitis
akut terhadap manusia. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menyelidiki sifat perubahan-perubahan ini dan menyajikan data kualitatif dan
kuantitatif baru yang berkaitan dengan penyakit ini.

BAHAN DAN METODE


Pasien
Bahan terdiri dari dari spesimen operasi yang diambil selama bedah sinus
endoskopi fungsional (FESS) dari 11 pasien dengan sinusitis akut yang
menjalani operasi di Departemen THT-KL, Rumah Sakit Umum Meir (Kfar Saba,
Israel), dari tahun 1996-1999. Terdapat 5 pasien laki-laki dan 6 pasien
perempuan dengan usia berkisar 11 - 42 tahun (usia rata-rata 24 tahun). 6
pasien memiliki sinusitis akut dengan komplikasi saat mereka dirawat, 4
diantaranya mengalami selulitis orbital dan 2 lainnya mengalami meningitis
purulen. Semuanya memiliki gejala sinusitis akut seperti sakit kepala di daerah
frontal dan sekret hidung purulen yang berlangsung 3 - 7 hari sebelum
mengalami komplikasi. Dari 5 pasien yang tersisa, 3 diantaranya memiliki
sinusitis berulang dan 2 lainnya memiliki sinusitis kronis eksaserbasi akut dan
telah menjalani operasi akibat kurangnya respon klinis terhadap pengobatan
antibiotik intravena. Tiada satu pun pasien yang menderita asma bronkial.
Sebelum operasi, seluruh pasien dilakukan CT scan sinus paranasal potongan
koronal. Selain itu, CT scan otak dan mata potongan aksial dengan zat kontras
juga dilakukan terhadap pasien-pasien yang mengalami komplikasi.

Preparat Jaringan dan Pewarnaan


Selama bedah sinus endoskopi fungsional, pada seluruh kasus, jaringan
mukosa yang mengalami peradangan diambil dari sel etmoid anterior dan sinus
maksilaris dan pada beberapa kasus juga diambil dari sel etmoid posterior.
Spesimen dari berbagai regio dikumpulkan secara terpisah dan diproses dengan
138
fiksasi dalam buffer formalin, diikuti dengan dehidrasi menggunakan alkohol
bertingkat. Setelah itu ditanam ke dalam blok parafin, lalu dipotong secara serial
menjadi beberapa potongan setebal 5 m dan diletakkan di atas slide kaca.
Potongan presentatif dari masing-masing regio diwarnai dengan hematoksilin
dan eosin (H&E), periodic acid-Schiff (PAS), dan toluidine blue.

Imunohistokimia
Perwarnaan imunohistokima dilakukan untuk menelaah distribusi dan jumlah
limfosit T dan B. Metode alkaline phosphatase anti-alkaline dengan
immunoperoxidase commercial kit (Histostain-Plus kit, Zymed Lab Inc., San
Francisco, CA) digunakan sebagai berikut: potongan jaringan dengan ketebalan
5 m direkatkan pada slide kaca yang dilapisi poly-L-lysine dan dilakukan
clearing menggunakan xylene, dan direhidrasi menggunakan larutan alkohol
bertingkat. Aktivitas peroksidase endogen di-block dengan hidrogen peroksida
3% dalam metanol absolut. Pengikatan non-spesifik antibodi lapisan kedua
dicegah dengan inkubasi menggunakan serum non-imun 10% (reagen A)
selama 10 menit. Monoclonal mouse anti-human T-cell CD45RO dan anti-human
B-cell (Zymed Lab Inc.) digunakan sebagai antibodi pertama dan secara terpisah
dibubuhi pada tiap spesimen dan diinkubasi dalam ruang lembab selama 30
menit pada suhu kamar. Setelah pembilasan dengan phosphate-buffered saline,
potongan diinkubasi selama 10 menit dengan biotinilated secondary antibody
(rabbit anti-mouse immunoglobulin [reagen B]). Setelah itu, dilakukan pencucian
sekali lagi dan diinkubasi dengan horseradish streptavidin-peroxidase conjugate
(reagen C) selama 10 menit. Selanjutnya, larutan substrat-kromogen (reagen D)
ditambahkan selama 10 menit. Reaksi ini melibatkan katalisis peroksidase dari
substrat (hidrogen peroksida) dan konversi kromogen (AEC) menjadi endapan
merah yang menandai adanya antigen. Tahapan akhir meliputi counterstaining
dengan H&E dan penutupan cover glass dengan GVA mounting solution (Zymed
Lab Inc).
Spesimen kontrol dari mukosa sinus etmoid diperoleh dari 4 pasien. Terdapat
2 pasien laki-laki dan 2 perempuan, dengan rentang usia dari 11 - 65 tahun (usia
rata-rata 43 tahun) yang memiliki berbagai tumor di hidung dan struktur
berdekatan (karsinoma sel skuamosa, inverted papilloma, Ewing sarcoma,
melanoma sakus lakrimalis). Pasien menjalani maksilektomi parsial dengan
139
reseksi tumor en bloc melalui pendekatan midfacial degloving. Spesimen punch-
biopsy yang secara makroskopis tidak terlibat pada regio etmoid diambil dari
bahan yang direseksi dan diperiksa secara histologi dengan metode yang sama
seperti sebelumnya. Mikroskop cahaya menunjukkan bahwa spesimen biopsi
bebas tumor dan berasal dari mukosa sinus nomal, tanpa adanya tanda edema
atau peradangan.

Penilaian Kualitatif
Potongan yang diwarnai H&E diperiksa dengan mikroskop cahaya dengan
perbesaran rendah (40x) demi memperoleh kesan umum dari gambaran ciri
patologis khas yang ditemui dalam spesimen yang terinflamasi secara akut. PAS
menunjukkan sekresi mucus baik oleh kelenjar submukosa atau sel goblet, dan
potongan yang diwarnai dengan toluidine blue mendeteksi sel mast dengan
warna metakromatik.

Penilaian Kuantitatif Neutrofil serta Limfosit T dan B


Potongan yang diwarnai H&E digunakan untuk menghitung jumlah neutrofil
secara terpisah dalam lamina propria dan epitel. Penghitungan dilakukan
dengan mata lensa mikroskop yang mengandung retikuli persegi 10 x 10.
Panjang retikuli dengan perbesaran 400x adalah 0.2 mm dan luas area
permukaan total 0.04 mm2 (0.2 x 0.2 mm). 25 retikuli dihitung pada tiap
spesimen dan menyajikan jumlah neutrofil di dalam 1 mm 2 lamina propria (0.04
mm2 x 25 = 1 mm2). Pada epitel, jumlah neutrofil dalam 1 mm dihitung
sepanjang 5 retikuli (0.2 mm x 5 = 1 mm) dengan perbesaran yang sama. Prinsip
yang sama juga digunakan untuk menghitung limfosit T karena pola distribusi
yang serupa pada potongan yang diwarnai imunohistokimia. Demi mengatasi
kerumitan dan memungkinkan penghitungan populasi limfosit B yang terlihat
berbeda secara keseluruhan, kami menggunakan metode stereologik dan
morfometrik standar dan mengikuti contoh sampling sistematis Williams : kisi-kisi
persegi transparan ditempatkan di atas spesimen limfosit B yang diwarnai
secara histokimia, sehingga membagi potongan jaringan secara keluruhan ke
dalam persegi berukuran 1 mm2, mata lensa retikuler ditempatkan di bagian
tengah dari tiap-tiap persegi jaringan yang tampak, dan jumlah limfosit B dihitung
dalam luas area 0.04 mm2; dengan penjumlahan seluruh lapangan pandang,
140
nilai rata-rata limfosit B per 1 mm2 dihitung. Metode-metode ini merupakan cara
yang dapat dipercaya dan presentatif untuk pengambilan sampel seluruh
spesimen.
Semua potongan diberi kode dan secara blind dianalisis tanpa mengindahkan
data klinis. Perbandingan antara jumlah neutrofil serta limfosit T dan B dalam
spesimen normal dan mengalami inflamasi, serta antara jumlah limfosit T dan B
pada sinusitis akut masing-masing dilakukan dengan uji non-parametrik Mann-
Whitney dan Wilcoxon signed rank. Pengukuran dinyatakan sebagai mean
standard error. Nilai probabilitas P < 0.05 dianggap signifikan.

HASIL
Analisis kualitatif
Pada tiap pasien, secara umum, seluruh sinus yang terlibat menunjukkan
perubahan patologis yang serupa pada mukosa yang mengalami inflamasi.
Lapisan epitel sinus, yang terdiri dari jenis sel pseudostratified ciliated columnar
yang identik dengan yang terdapat pada daerah hidung dan saluran pernafasan
lain, tetap utuh pada sebagian besar potongan, meskipun terdapat reaksi
inflamasi yang intens di dasar lamina propria. Gambar 1 menunjukkan potongan
dari mukosa sinus etmoid yang mengalami inflamasi berat dengan pembentukan
mikroabses di bawah epitel pernapasan yang terlihat normal. Keterlibatan aktif
dari epitel di dalam inflamasi, baik yang terlihat dari meluruhnya lapisan ini
maupun pembentukan epitel berukuran pendek yang hanya berasal dari sel-sel
basal, terkadang teramati. Beberapa sel inflamasi juga berpenetrasi melalui
lapisan epitel. Sel goblet, dimana kandungan glikoproteinnya berwarna ungu
akibat pewarnaan PAS, juga terdistribusi normal di antara sel-sel epitel.
Membran basal tampak normal kecuali pada beberapa daerah tertentu tampak
menjadi lebih tebal dan dilewati oleh sel-sel inflamasi.
Lamina propria menunjukkan perubahan yang paling menonjol dengan
edema dan infiltrasi neutrofil yang masif. Sel mononuklear seperti limfosit dan sel
plasma juga kerap ditemui. Eosinofil jarang terlihat; sel mast terlihat hanya
dalam jaringan ikat normal dan hilang dari daerah dengan reaksi inflamasi yang
berapatan. Inflamasi tersebar ke seluruh lamina propria dan terkadang
membentuk agregat padat sel-sel inflamasi dan bahkan mikroabses, yang lebih
sering ditemukan pada pasien dengan komplikasi. Pembuluh darah yang
141
trombotik dan nekrosis fokal yang terletak secara dalam, ditemukan hanya di
antara pasien dengan komplikasi dan mencerminkan intensitas peradangan
yang ditemukan pada pasien-pasien ini (Gbr. 2). Kelenjar submukosa, meskipun
dikelilingi oleh reaksi inflamasi yang intens, tetap utuh, dan ekstravasasi mucus
ke dalam lamina propria tidak ditemukan pada potongan manapun. Sama halnya
dengan dilatasi duktus ekskretorius kelenjar yang berisi mucus juga jarang.
Spesimen imunohistokimia menunjukkan variabilitas yang cukup besar di
dalam distribusi serta jumlah limfosit T dan B antara subyek kontrol normal dan
pasien sinusitis akut. Meskipun dalam kedua kelompok limfosit T tersebar difus
di seluruh jaringan ikat dari lamina propria, dengan konsentrasi yang lebih tinggi
pada zona paling superfisial di bawah epitel, keseluruhan populasinya meningkat
secara tajam pada daerah inflamasi (Gbr. 3). Limfosit B relatif sedikit dalam
submukosa kelompok kontrol yang tersebar difus tanpa predileksi ke lapisan
superfisial. Sebaliknya, peningkatan jumlah yang nyata ditemukan di seluruh
spesimen dengan sinusitis akut; 2 pola distribusi yang dijumpai, yakni, banyak
sel terisolasi yang tersebar di seluruh submukosa, dan ada juga agregat padat
limfosit B di tiga lokasi yang berbeda: di bawah epitel, berdekatan dengan asinus
kelenjar, dan sekitar vena-vena kecil (Gbr. 4).

Analisis Kuantitatif
Tabel I menunjukkan bahwa jumlah neutrofil serta limfosit T dan B yang
berada dalam 1 mm2 lamina propria memperlihatkan peningkatan yang
bermakna terhadap pasien dengan sinusitis akut dibanding subyek kontrol
normal; neutrofil menunjukkan perubahan terbesar dengan peningkatan
sebanyak 17 kali lipat dibanding peningkatan limfosit T dan B sebanyak 3 kali
lipat. Seperti terlihat pada Tabel II, yang menyajikan jumlah ketiga jenis sel tiap 1
mm epitel, terdapat peningkatan yang bermakna dalam jumlah neutrofil dan
limfosit T, namun pertumbuhan limfosit B lebih sedikit dan tidak bermakna
terhadap pasien dengan sinusitis akut.
Penilaian populasi leukosit dalam keadaan inflamasi akut saja menunjukkan
bahwa jumlah neutrofil tertinggi berada dalam lamina propria, sedangkan jumlah
T dan B limfosit kurang berlimpah ruah, dan hal ini teramati dengan urutan
menurun (masing-masing 1281 231/mm2, 1003 159/mm2, dan 384 61/mm2)
(Tabel I). Namun, analisis statistik lebih lanjut menemukan bahwa perbedaan
142
antara jumlah neutrofil dan limfosit T tidak bermakna (P = 0.594), sedangkan
jumlah tiap-tiap sel tersebut secara bermakna lebih banyak dibanding limfosit B
(masing-masing P = 0.005 dan P = 0.008). Perbedaan bermakna juga terlihat
antara jumlah limfosit T dan B epitel (30.22 7.94/mm Vs 2.41 1.01/mm; P =
0.011). Di sisi lain, perbedaan antara neutrofil dan limfosit T epitel serta neutrofil
dan limfosit B epitel tidak bermakna (P = 0.063 terhadap keduanya).

DISKUSI
Sinusitis akut berhasil ditangani dengan antibiotik dan pengobatan lainnya
terhadap sebagian besar pasien, sedangkan operasi hanya diperuntukkan bagi
segelintir pasien yang memiliki komplikasi atau bagi mereka yang gagal diterapi
medis secara intensif dan karenanya mengalami komplikasi lanjutan. Hal-hal
tersebut menegaskan jarangnya intervensi bedah terhadap pasien dengan
sinusitis akut dan kurangnya laporan histopatologi mengenai masalah ini.
Goldwyn, et al. menunjukkan bahwa infiltrat inflamasi pada penyakit ini telah
ditelaah pada model hewan saja. Memang, kami membuktikan pernyataan ini
dan gagal menemukan laporan histopatologi pada sinusitis akut manusia dalam
literatur. Berkenaan dengan model eksperimental hewan, dijelaskan tiga
pendekatan yang berbeda untuk memicu terjadinya sinusitis pada kelinci.
Johansson, et al. dan Fukami, et al. melaporkan perubahan histopatologi
mukosa sinus maksilaris setelah penyumbatan ostium sinus dan injeksi
Streptococcus pneumoniae ke dalam rongga sinus melalui pembedahan
antrostomi dinding anterior. Mereka menemukan edema mukosa dengan
infiltrasi granulosit dan limfosit, dan perubahan yang jelas pada lapisan epitel
ditandai dengan metaplasia sel skuamosa, serta daerah epitel yang
berdeskuamasi dimana fibroblas yang berproliferasi terproyeksi menuju massa
purulen dari rongga sinus. Hinni et al. mengembangkan teknik lain untuk
menutup ostium sinus dan menginokulasi bakteri patogen melalui atap hidung,
mengamati penurunan yang masif lebih dari 86% dalam jumlah sel bersilia pada
mukosa. Sebaliknya dengan pendekatan tersebut, Marks menimbulkan sinusitis
rinogenik dengan memasukkan benda asing yang mengandung S. pneumoniae
ke dalam salah satu rongga hidung. Potongan histologi menunjukkan eksudat
lumen yang penuh dengan neutrofil, edema mukosa dan infiltrasi limfosit dan sel
plasma, dan degenerasi epitel. Selain itu, folikel limfoid yang berbeda
143
diidentifikasi pada bagian kontrol, serta pada bagian yang diimplan, yang
mengalami hipertrofi dan melepaskan leukosit ke dalam lumen sinus.
Perbandingan antara sinusitis akut pada manusia dan model hewan
percobaan menunjukkan reaksi inflamasi serupa di lamina propria, dengan
infiltrasi sel darah putih yang masif dan edema. Di sisi lain, keterlibatan epitel
pada kelinci, ditandai dengan metaplasia skuamosa dan deskuamasi, lebih jelas
terlihat daripada manusia. Perlu dicatat bahwa, tidak seperti sinusitis akut,
pemeriksaan histologi mukosa sinus manusia dengan sinusitis kronis
menunjukkan desktruksi yang ekstensif pada lapisan epitel, menyerupai mukosa
bronkus setelah asma kronis eksaserbasi berat. Diperkirakan bahwa kerusakan
epitel pada kedua penyakit tersebut mungkin disebabkan oleh efek toksik dari
protein kationik eosinofil dan protein dasar utama, yang dilepaskan dari sejumlah
eosinofil teraktivasi yang menginfiltrasi lamina propria dari organ-organ ini.
Kompartemen jaringan ikat lamina propria menunjukkan perubahan yang
paling menonjol. Terdapat reaksi inflamasi yang masif dengan sejumlah besar
sel polimorfonuklear dan mononuklear. Baru-baru ini, Rudack, et al. menyelidiki
profil sitokin dari mukosa sinus dan memastikan adanya korelasi antara pola
sitokin tertentu dengan perbedaan jenis rinosinusitis. Konsentrasi interleukin-8
(IL-8) secara bermakna lebih tinggi pada mukosa sinus pasien dengan sinusitis
akut dibanding subyek kontrol. IL-8 adalah kemoatraktan neutrofil yang poten
dan telah terbukti secara terus-menerus disintesis di mukosa hidung. Hal ini
menunjukkan bahwa masuknya neutrofil ke dalam mukosa sinus yang
mengalami inflamasi diregulasi oleh aktivitas kemotaktik IL-8. Penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk menentukan sitokin dan kemokin spesifik yang terlibat
dalam pengerahan limfosit. Eosinofil yang memegang peran utama dalam
sinusitis kronis kurang penting dalam inflamasi akut karena jarang ditemukan
pada mukosa sinus pasien dengan sinusitis akut. Inflamasi kadang kala
membentuk agregat padat sel-sel inflamasi dan bahkan mikroabses. Dalam
kasus yang lebih lanjut dan berat dengan selulitis orbita atau meningitis,
peristiwa ini terlihat lebih intens. Terdapat juga bukti trombosis vena yang diduga
bertanggung jawab terhadap perluasan proses inflamasi ke dalam struktur yang
berdekatan, serta pembentukan nekrotis fokal yang terletak secara dalam.
Analisis imunohistokimia menunjukkan bahwa pada mukosa sinus normal,
limfosit T tersebar di seluruh lamina propria, namun lebih banyak berada pada
144
lapisan superfisial daripada profunda; di samping itu, jumlahnya jauh lebih
banyak daripada limfosit B. Temuan ini sesuai dengan pengamatan Igarashi, et
al. yang melaporkan pola distribusi limfosit T yang sama dalam mukosa konka
inferior terhadap kontrol normal dan juga jumlah limfosit B lebih sedikit dibanding
limfosit T. Meskipun demikian, data kami menjelaskan jumlah dan distribusi sel-
sel ini dalam keadaan inflamasi akut. Kami mengamati bahwa, meskipun pola
distribusi difus limfosit T tetap tidak berubah, terjadi peningkatan jumlah limfosit
T yang cukup besar dibanding keadaan yang tidak mengalami inflamasi (1003
159/mm2 Vs 306 76/mm2; P = 0.02). Selain itu, peningkatan populasi limfosit
B pada sinusitis akut juga bermakna (384 61/mm2 Vs 123 37/mm2; P =
0.024). Berkenaan dengan distribusinya, beberapa limfosit B tersebar difus pada
jaringan ikat, tetapi yang lainnya banyak yang berkumpul di dalam kelompok
kecil dan padat pada tiga lokasi: di bawah epitel, lebih dalam dan berdekatan
dengan kelenjar seromucous, dan di sekitar venula kecil. Cara penyusunan
limfosit B ini mungkin merujuk pada asal dan peran mereka terhadap sinusitis
akut. Kehadiran agregat ini di sekitar pembuluh darah mungkin menunjukkan
bahwa limfosit B diperoleh dari darah dan bukan dari proliferasi lokal. Pada
akhirnya limfosit B tersebut bermigrasi ke lokasi tujuan mereka, baik ke daerah
kelenjar, dimana limfosit B berubah menjadi sel-sel plasma yang memproduksi
dan mensekresi antibodi-antibodi immunoglobulin A (IgA) ke dalam sekresi
kelenjar serosa, ataupun ke bagian bawah epitel, dimana limfosit B berubah
menjadi sel-sel plasma yang memproduksi dan mensekresi antibodi-antibodi
imunoglobulin G (IgG).
Perlu dicatat bahwa data yang disebutkan di atas dibuat berdasarkan
penilaian kualitatif dan kuantitatif mikroskopis. Studi ini menyediakan informasi
terkait mengenai histologi sinus normal dan ciri patologis khas dari sinusitis akut.
Studi ini juga memberikan tinjauan dasar mengenai jumlah relatif berbagai sel
inflamasi. Temuan ini sebagian besar didukung oleh data yang diperoleh dari
penghitungan sel kuantitatif, yang didasarkan pada metode stereologik dan
morfometrik standar dari sampling sistematis yang menjadikan analisis sampel
yang lebih akurat dan komprehensif.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, Marks mengungkapkan adanya
agregat atau folikel limfoid yang berbeda di seluruh mukosa sinus pada kelinci
kontrol. Folikel-folikel ini, tampaknya terkadang langsung menuju ke permukaan
145
mukosa, membuat celah atau pori-pori pada epitel bersilia. Pada sinusitis akut
yang dipicu secara eksperimental, folikel limfoid menjadi hipertrofi dan
melepaskan leukosit melalui pori-pori epitel ke dalam lumen sinus. Terbukti,
kehadiran folikel limfoid tidak terbatas secara khusus untuk hewan saja.
Beberapa peneliti juga telah mengamati kehadiran mereka dalam mukosa sinus
pasien dengan sinusitis kronis. Namun, asal usul limfosit yang terkandung dalam
folikel ini masih belum jelas, karena metode imunohistokimia tidak digunakan
dalam studi-studi ini. Berbeda halnya dengan usus dan submukosa bronkus,
serta struktur-struktur berdekatan seperti adenoid, tuba eustachius (tonsil
Gerlach), dan permukaan nasofaring dari palatum molle, dalam keadaan normal
mukosa hidung tidak mengandung agregat limfoid. Kami hanya menemukan
agregat limfosit B dalam sinus-sinus yang mengalami inflamasi akut, namun
pada potongan-potongan yang berasal subyek kontrol normal maupun kelompok
pasien dengan sinusitis kronis tidak menunjukkan peristiwa ini.

KESIMPULAN
Penelitian ini adalah yang pertama yang memberikan gambaran ciri patologis
dan imunohistokimia sinusitis akut pada manusia dan menemukan hal-hal
berikut: 1) adanya reaksi inflamasi yang nyata di dalam lamina propria yang
ditandai dengan edema dan infiltrasi sel polimorfonuklear dan mononuklear yang
masif dengan pembentukan mikroabses dan nekrosis; 2) keterlibatan lapisan
epitel yang relatif moderat di dalam reaksi inflamasi; 3) peningkatan jumlah
limfosit T secara difus tersebar di seluruh submukosa; dan 4) peningkatkan
jumlah limfosit B terutama berkumpul di dalam agregat di sekitar vena-vena
kecil, dekat dengan kelenjar seromucous, dan di bawah epitel. Pengamatan
akhir memberikan anggapan bahwa peningkatan populasi limfosit B diperoleh
dari darah.

146
Peran Oksidan dan Antioksidan terhadap Tonsilitis Kronik dan
Hipertrofi Adenoid pada Anak-Anak

Ringkasan
Tujuan: Untuk menentukan peran oksidan dan antioksidan yang mungkin dalam
patogenesis tonsilitis kronik (CT) dan hipertrofi adenoid (AH) pada anak-anak.
Metode: Acak, prospektif, terkontrol. Kelompok penelitian terdiri dari anak-anak
dengan tonsilitis kronik dan hipertrofi adenoid yang menjalani tonsilektomi dan
adenoidektomi. Kelompok kontrol terdiri dari anak-anak sehat lain dengan hasil
pemeriksaan THT yang normal. Kadar antioksidan dalam darah (retinol, -
karoten, -tokoferol, likopen, asam askorbat, superoksida dismutase, glutation
peroksidase, GSH) dan produk peroksidasi (malondialdehid) ditentukan sebelum
dan 1 bulan setelah operasi pada kelompok penelitian dan hanya sekali pada
kelompok kontrol. Antioksidan dan produk peroksidasi ini juga diukur pada
jaringan tonsil dan adenoid yang didapat selama operasi. Hasil: Pada kelompok
penelitian, kadar antioksidan dan oksidan dalam darah sebelum dan setelah
operasi berbeda secara bermakna bila dibandingkan dengan kelompok kontrol
(p<0.05). Pada kelompok penelitian, kadar antioksidan darah meningkat dan
kadar oksidan menurun secara bermakna setelah operasi (p<0.05). Kadar-kadar
ini setelah operasi tidak pernah mencapai kadar seperti pada kelompok kontrol.
Kesimpulan: Oksidan dan antioksidan berperan secara bermakna di dalam
patogenesis tonsilitis kronik dan hipertrofi adenoid pada anak-anak. Anak-anak
tersebut mengalami stres oksidatif bermakna. Tonsilektomi dan adenoidektomi
secara bermakna mengurangi stres oksidatif pada pasien-pasien ini, namun
prosedur tersebut tidak mampu menormalkan keadaan seutuhnya. Penelitian
lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengevaluasi peran terapeutik yang mungkin
dalam mencegah tonsilitis berulang dan mengobati pasien paska operatif untuk
membantu menormalkan kadar antioksidan dalam darah mereka. Kata Kunci:
Tonsil; Adenoid; Stres oksidatif; Antioksidan
Pendahuluan
Tonsilitis kronik (CT) dengan atau tanpa hipertrofi adenoid (AH) merupakan
penyakit yang sangat sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit tersebut
mengakibatkan serangan berulang dari nyeri tenggorokan, demam, disfagia, dan
malaise. Penyakit tersebut sering menyebabkan ketidakhadiran di sekolah dan
147
merupakan penyebab tersering obstructive sleep apnea syndrome pada anak-
anak. Hal ini berdampak negatif terhadap kualitas tidur dan prestasi sekolah
anak-anak. Gizi, pertumbuhan, perkembangan dan kehidupan sosial anak-anak
turut dipengaruhi secara negatif oleh penyakit ini. Antibiotik dan berbagai obat
tambahan yang digunakan untuk mengobati penyakit ini menyebabkan banyak
efek samping pada anak-anak. Beban ekonomi dari pengobatan medis dan
operasi penyakit ini besar sekali.
Radikal bebas dapat didefinisikan sebagai tiap spesies yang mengandung satu
atau lebih elektron tidak berpasangan. Karena molekul ini sangat reaktif, mereka
dapat menyebabkan kerusakan jaringan terutama pada membran sel dengan
cara bereaksi dengan lipid, protein, nukelotida dan karbohidrat selular. Dalam
keadaan normal, efek potensial yang merusak dari radikal bebas ini dibatasi oleh
sejumlah antioksidan dalam tubuh. Selain enzim antioksidan, yang disebut
katalase, superoksida dismutase, glutation peroksidase dan glukosa-6-fosfat
dehidrogenase, darah dan beberapa jaringan lain mengandung antioksidan non-
enzimatik, yang disebut -tokoferol, -karoten, retinol, dan asam askorbat, dan
lain-lain. Antioksidan dalam sel, membran sel, dan cairan ekstraselular dapat di-
upregulated dan dimobilisasi untuk menetralkan pembentukan radikal bebas
yang berlebihan dan tidak sesuai. Demi mempertahankan keseimbangan redoks
terhadap kondisi oksidan, darah memiliki peran sentral karena darah
memindahkan dan mendistribusikan kembali antioksidan ke setiap bagian tubuh.
Produk oksidasi dihasilkan dalam sel selama berbagai reaksi selular. Substansi
kimia, obat, radiasi, oksigen, penuaan selular, dan fagosit menyebabkan
produksi oksidan. Molekul ini dapat dinetralkan oleh antioksidan. Jika tidak dapat
dinetralkan, oksidan akan bereaksi dengan protein selular dan asam nukleat
untuk mengeleminasi reaksi mereka. Sebagai akibatnya, cedera selular dan
kematian mungkin dapat terjadi. Cedera selular dapat menyebabkan berbagai
penyakit. Antioksidan diketahui mampu menghalangi efek destruksif oksidan
pada tingkat selular dan juga berperan signifikan dalam pengobatan penyakit
terkait oksidan.
Produk oksidasi dihasilkan selama proses inflamasi dan terlibat dalam cedera
jaringan akibat inflamasi tersebut. Antioksidan berperan dalam menetralisasi
efek destruktif produk oksidasi ini. Oleh karena CT dan AH merupakan penyakit
inflamasi kronik pada orofaring dan nasofaring, terdapat kemungkinan bahwa
148
keseimbangan antara produk oksidasi dan antioksidan terlibat terhadap
keberadaan dan kronisitas penyakit ini pada faring. Namun, peran oksidan dan
antioksidan pada patogenesis CT dan AH belum begitu jelas.
Terdapat beberapa studi yang meneliti peran oksidan dan antioksidan terhadap
CT dan AH dalam literatur medis. Namun, studi-studi tersebut hanya mengukur
beberapa parameter saja. Pada penelitian ini, kami memeriksa 9 parameter
berbeda di dalam darah, jaringan tonsil dan adenoid untuk menentukan apakah
antioksidan terkait dengan CT dan AH ditinjau dari literatur terbaru.

Metode
Penelitian ini dilakukan di pusat rujukan tersier selama musim panas tahun 2001
dan telah disetujui oleh komite etik institusional. Informed consent didapat dari
orang tua semua anak-anak.
Kelompok kontrol terdiri dari 23 anak-anak yang sehat tanpa adanya keluhan di
daerah kepala dan leher, tanpa ada infeksi dan penyakit sistemik lain.
Kelompok penelitian terdiri dari 38 pasien yang telah direncakan menjalani
tonsilektomi dan adenoidektomi dengan diagnosis CT dan AH. Pasien terdiri dari
anak-anak berusia 2-14 tahun tanpa ada penyakit sistemik maupun riwayat
operasi tonsil dan adenoid.
CT dan AH didiagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan THT dan pemeriksaan
endoskopik. Serangan berulang tonsilitis dan adenoiditis, obstruksi pernapasan
akibat pembesaran tonsil dan adenoid, serta tonsil dan adenoid yang
terinflamasi secara kronik dengan debris putih pada kripta tonsil dianggap
sebagai indikasi untuk tonsilektomi dan adenoidektomi. Operasi dilakukan
dengan anestesi umum.
Selain pemeriksaan darah rutin preoperatif pada kelompok penelitian, 8cc darah
diambil dari pasien sebelum operasi. Darah disimpan pada suhu -700C setelah
dilakukan pemisahan serum dari sel-sel darah (1500 rpm; 10-15 menit).
Spesimen tonsilektomi dan adenoidektomi juga disimpan pada suhu -700C. Satu
bulan setelah operasi, spesimen darah lain diambil dari kelompok penelitian dan
disimpan dengan cara yang sama. Spesimen darah dari kelompok kontrol hanya
diambil sekali saja.
Antioksidan berikut ditentukan dalam serum anak-anak pada kelompok kontrol
dan penelitian: retinol, -karoten, -tokoferol, likopen dan asam askorbat. Pada
149
plasma mereka, aktivitas superoksida dismutase (SOD), aktivitas glutation
peroksidase dan glutation tereduksi (GSH) juga diperiksa sebagai antioksidan.
Produk peroksidasi malondialdehyde-thiobarbituric acid (MDA) diperiksa pada
plasma. Pengukuran yang sama juga dilakukan pada jaringan tonsil dan
adenoid. Namun, kadar asam askorbat ditemukan terlalu rendah saat diukur
pada jaringan adenoid.
Pengukuran biokimia dilakukan di laboratorium Departemen Gizi dan Diet.
Pengukuran retinol, -karoten, -tokoferol, dan likopen dalam serum dilakukan
dengan menggunakan high pressure liquid chromatography (HPLC). HPLC juga
digunakan untuk mengukur kombinasi produk peroksidasi MDA dalam plasma.
Kadar asam askorbat serum didapat secara kalorimetrik dengan menggunakan
spektrofotometer Unicam 8700 dengan bantuan larutan kromogen 2,6-
diklorofenol-indofenol. Aktivitas glutation peroksidase plasma didapat melalui
pengamatan perubahan NADPH dengan menggunakan Unicam 8700 pada
panjang gelombang 340 nm setelah dilakukan stimulasi dengan hidrogen
peroksida. Analisis glutation tereduksi dan superoksidase dismutase dalam
plasma dilakukan secara spektrofotometrik dengan Unicam 8700.
Kadar retinol, -karoten, -tokoferol, likopen, asam askorbat dan glutation
tereduksi dalam darah dinyatakan dalam satuan mol/l, kadar glutation
peroksidase dan superoksida dismutase dinyatakan dalam satuan U/ml,
malondialdehid-TBA dinyatakan dalam satuan mol/ml. Kadar retinol, -karoten,
-tokoferol, likopen, asam askorbat dan glutation tereduksi dalam jaringan
dinyatakan dalam satuan mol/g, glutation peroksidase dan superoksidase
dismutase dinyatakan dalam satuan U/mg dan kadar MDA dinyatakan dalam
satuan mol/mg.
Jaringan tonsil dan adenoid awalnya dihomogenisasi terlebih dahulu dengan
menggunakan apparatus homogenisasi IKA T-25. Setelah itu, antioksidan dan
produk oksidasi diukur dengan menggunakan metode yang telah disebutkan di
atas.
Setelah operasi, pasien di-follow up secara berkala. Satu bulan paska operasi,
jumlah darah yang sama diambil dari pasien dan kadar antioksidan serta produk
oksidasi diukur kembali seperti yang telah dijelaskan.
Pembuatan kelompok kontrol untuk pengukuran terhadap jaringan tonsil guna
membandingkan nilai-nilainya secara statistik terhadap kelompok penelitian tidak
150
dapat diterima secara etis. Kadar antioksidan dan produk oksidasi pada jaringan
adenoid pasien dengan CT dan AH dibandingkan dengan pasien otitis media
efusi (OME) yang menjalani insersi tuba ventilasi bilateral dan adenoidektomi.
Nilai-nilai ini didapat dengan cara yang serupa terhadap pasien dengan OME.
Kadar antioksidan dan produk oksidasi dalam darah preoperatif dan
paskaoperasi secara statistik dibandingkan dengan satu sama lain dan
kelompok kontrol dengan menggunakan Students t-test. Analisis statistik
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan SPSS 10.0 untuk Windows
dengan tingkat kemaknaan p=0.05.

Hasil
Kelompok penelitian terdiri dari 14 perempuan dan 24 laki-laki dengan rerata
usia 6.7 tahun. Kelompok kontrol terdiri dari 14 perempuan dan 9 laki-laki
dengan rerata usia 7.1 tahun. Perbedaan antara distribusi jenis kelamin dan
rerata usia kedua kelompok bermakna secara statistik (p>0.05).
Kadar antioksidan dan produk oksidasi dalam darah preoperatif dan paska
operasi pada kelompok penelitian dapat dilihat pada tabel 1. Perbedaan antara
kadar untuk semua bahan yang diperiksa dalam darah preoperatif dan
paskaoperatif bermakna secara statistik (Students t-test untuk sampel
dependen, p<0.05). Rerata kadar antioksidan dan produk oksidasi dalam darah
dari kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 2. Perbedaan antara kadar untuk
semua bahan yang diperiksa dalam darah preoperatif dari kelompok penelitian
dan dari kelompok kontrol bermakna secara statistik (Students t-test untuk
sampel independen, p<0.05) (tabel 3).
Perbedaan antara kadar untuk semua bahan yang diperiksa dalam darah paska
operasi dari kelompok penelitian dan dari kelompok kontrol bermakna secara
statistik (Students t-test untuk sampel independen, p<0.05), kecuali untuk kadar
MDA (p>0.05) (tabel 4).
Kadar antioksidan dan produk oksidasi pada jaringan tonsil pasien dengan CT
dan AH yang menjalani operasi tonsilektomi dan adenoidektomi dapat dilihat
pada tabel 5.
Kadar antioksidan dan produk oksidasi pada jaringan adenoid pasien dengan CT
dan AH yang menjalani operasi tonsilektomi dan adenoidektomi dibandingkan
dengan pasien OME yang menjalani adenoidektomi dan insersi tuba ventilasi.
151
Perbedaan ditemukan tidak bermakna secara statistik untuk semua bahan
diperiksa (tabel 6, Students t-test untuk sampel independen, p>0.05).

Diskusi
Serangan tonsilitis dan adenoiditis akut serta hipertrofi tonsil dan adenoid
merupakan masalah kesehatan penting pada anak-anak berusia sebelum
sekolah maupun usia sekolah. Morbiditas sosial dan fisik yang ditimbulkan akibat
penyakit-penyakit tersebut bersifat signifikan. Jika penyakit-penyakit tersebut
tidak respon terhadap pengobatan medis dan mengganggu kehidupan penderita
secara bermakna, pilihan pengobatannya adalah operasi. Meski frekuensi dan
morbiditas yang ditimbulkan cukup signifikan, namun patogenesis mereka tidak
diketahui dengan jelas.
Selama proses inflamasi kronik, kadar antioksidan berkurang secara perlahan
saat kadar stres oksidatif yang dapat dinetralisasi berlebihan. Kadar antioksidan
yang rendah dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit kronik. Kerusakan oleh
radikal bebas pada membran lipid leukosit menyebabkan terjadinya peningkatan
permeabilitas dan selanjutnya mengurangi fungsi imun mereka. Kerusakan DNA
oleh radikal bebas dapat mempengaruhi leukosit di dalam mengurangi sintesis
faktor-faktor penting tertentu dan mengurangi kapasitas reproduksinya.
Rendahnya kadar antioksidan dalam darah dapat membuat anak-anak mudah
terkena infeksi saluran pernapasan atas dengan cara mempengaruhi sistem
imun mereka secara negatif.
Temuan antioksidan dan produk oksidasi pada jaringan tonsil dan adenoid
pasien dengan adenotonsilitis kronik mengindikasikan hubungan mereka
terhadap penyakit ini.
Kadar antioksidan dan oksidan pada jaringan adenoid dari pasien dengan otitis
media dengan efusi dan tonsilitis kronik ditemukan serupa pada penelitian kami.
Hal ini menunjukkan patogenesis adenoiditis yang serupa pada kedua kondisi
klinis. Kami juga berspekulasi bahwa inflamasi yang terjadi dalam jaringan
adenoid pada OME dan tonsilitis kronik hampir identik dan proses inflamasi ini
menghasilkan produk oksidasi dan menghabiskan antioksidan pada jaringan
adenoid. Namun masih belum jelas, mengapa sebagian anak-anak ini
mengalami OME dan hanya sebagian adenoiditis.

152
Shukla, dkk menyatakan bahwa pada remaja dengan tonsilitis kronik, kadar
MDA dalam darah paska operasi menurun serta kadar SOD dan katalase
meningkat. Hasil yang kami dapatkan sejalan dengan temuan mereka. Pada
pasien kami dengan tonsilitis kronik, tingginya kadar produk oksidasi (MDA)
darah menurun dan rendahnya kadar antioksidan darah meningkat paska
operasi.
Westerveld, dkk menemukan lebih rendahnya kadar glutation dan asam urat
pada mukosa sinus pasien dengan sinusitis bila dibandingkan dengan subyek
yang sehat. Hasil ini mengindikasikan adanya konsumsi antioksidan saat
inflamasi pada mukosa sinus.
Pada pasien dengan CT yang mengalami komplikasi atau yang menderita
serangan berat terbukti memiliki kadar vitamin B dan C yang lebih rendah dalam
darah dibandingkan orang sehat. Pasien ini juga memiliki penurunan aktivitas
sistem imun selular dan kemotaksis leukosit.
Hasil kami menunjukkan penurunan kadar vitamin dan enzim antioksidan
preoperatif dalam darah secara bermakna meningkat paska operasi, dan
peningkatan kadar produk oksidasi MDA preoperatif dalam darah secara
bermakna berkurang paska operasi. Namun, kadar-kadar ini tidak pernah
mencapai kadar seperti layaknya kelompok kontrol. Stres oksidatif pada jaringan
tonsil jelas mempengaruhi seluruh tubuh. Kami menyimpulkan bahwa kapasitas
antioksidan kelompok penelitian meningkat namun tidak menjadi normal selama
1 bulan setelah operasi dan proses stres oksidatif berkurang namun masih
berlanjut. Efek berbahaya stres oksidatif terhadap seluruh tubuh juga berkurang.
Mungkin 1 bulan tidak cukup lama untuk stres oksidatif atau kapasitas
antioksidan menjadi normal. Namun, perbaikan bermakna paska operasi
sehubungan dengan stres oksidatif mengindikasikan bahwa operasi sangat
membantu dalam hal ini. Tonsilektomi dan adenoidektomi menyingkirkan sumber
mikroba pada anak-anak dalam kelompok penelitian dan oleh sebab itu turut
mengurangi stres oksidatif secara umum. Operasi-operasi ini juga telah
membantu sistem imun dari anak-anak ini.
Ozdemir, dkk menemukan berkurangnya aliran darah tonsil pada pasien dengan
CT dan meningkatnya aliran darah pada tonsil hipertrofik. Hasil kami
menunjukkan lebih rendahnya kadar antioksidan dalam tonsil yang didapat dari
diet (vitamin) dan lebih tingginya kadar antioksidan yang diproduksi secara lokal
153
dalam tonsil (SOD, glutation peroksidase dan GSH) dan produk oksidasi MDA
dibandingkan dengan kadar dalam darah mereka. Temuan ini mengindikasikan
bahwa antioksidan dalam darah yang mencapai tonsil lebih sedikit akibat
berkurangnya aliran darah maupun antioksidan tersebut dikonsumsi secara lokal
akibat inflamasi, atau antioksidan dan produk oksidasi lipid diproduksi lebih
banyak secara lokal akibat inflamasi dan berkumpul dalam jaringan tonsil akibat
berkurangnya aliran darah tonsil.
Sebagai kesimpulan, rendahnya kadar antioksidan darah dan jaringan serta
tingginya kadar produk oksidasi darah dan jaringan pada pasien CT dan AH, dan
kecenderungan kadar mereka dalam darah untuk menjadi normal setelah
operasi mengindikasikan bahwa antioksidan dan produk oksidasi terlibat di
dalam patogenesis CT dan AH. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk
mengevaluasi peran terapeutik yang mungkin dalam mencegah tonsilitis rekuren
dan mengobati pasien paska operasi untuk membantu menormalkan kadar
antioksidan darah.

154
THE ROLE OF BOUGIENAGE IN THE MANAGEMENT OF ACHALASIA
Muhammad Reza, Abdul Rachman Saragih

Introduction
The esophagus is a muscular tube connecting the pharynx to the
stomach, acting as a channel for the transport of foods and liquids. However, its
structure and function is much more complex. A thorough understanding of this
anatomy and physiology is essential in understanding esophageal disease
states.1
Knowledge of the motility, inflammatory and neoplastic in esophagus
disorders is a key component to diagnosis and management of otolaryngologic
complaints. Disorders of esophageal motility may be classified as hyperkinetic
and hypokinetic. Both classes of motility disorders can lead to dysphagia, globus
pharyngeus, regurgitation and/or noncardiac chest pain. The mainstay of
esophageal function testing is esophageal manometry.2
Achalasia is an esophageal motility disorder of unknown cause,
characterized by aperistalsis of the esophageal body and impaired lower
esophageal sphincter (LES) relaxation. The first description of achalasia is
reported by Thomas Willis, an English physician who in 1674 described a man
who vomited "whatsoever he had eaten", and its name came into use after the
publication by Sir Arthur Frederick Hurst in 1929. Patients present at all ages,
primarily with dysphagia for solids/liquids and bland regurgitation.3,4
The diagnosis is suggested by barium esophagram and confirmed by
esophageal manometry. Achalasia cannot be cured. Instead, our goal is to
relieve symptoms, improve esophageal emptying and prevent the development
of megaesophagus. The most successful therapies are graded esophageal
dilation and surgical myotomy. The overall success rate of graded esophageal
dilation is 78%. Laparoscopic myotomy, usually combined with a partial
fundoplication, has an overall success rate of 87%. The prognosis for achalasia
patients to return to near normal swallowing is good, but the disease is rarely
cured with a single procedure and intermittent touch-up procedures may be
required.5

155
Case Report
A 36-year old man presented to the outpatient clinic of ENT-HNS
Department at Haji Adam Malik General Hospital on January 24, 2017
complaining difficulty swallowing solid foods and liquids for the last month. Some
of the swallowed foods and liquids would be regurgitated and the patient also
suffered from a persistent sensation of something stuck in his throat and chest
pain during the swallowing process. No corrosive material ingestion was
encountered according to the history taking. All the physical and
otorhinolaryngologic examinations result were normal. We performed barium
esophagogram which then revealed narrowing of the distal esophagus,
resembling a bird's beak or rat-tail appearance, but dilated, barium-filled
esophagus proximal to it (Fig. 1).

Figure 1. Barium Esophagogram

(Note: the red circle identifies narrowing of the distal esophagus)

We diagnosed this patient with achalasia. Preoperative laboratory


findings, chest X-ray, and ECG were all normal. The patient was scheduled for
esophagoscopy and esophageal dilation under general anesthesia on January
31, 2017.
Patient was lied down supinely on the operating table with intravenous
(IV) line and endotracheal tube (ETT) attached. Desinfection on the operating
area was performed with povidone iodine and alcohol 70% (Fig. 2). Rigid

156
esophagoscope was held by its proximal end in the right hand after being
lubricated with jelly. The left middle and ring finger both were used to open the
mouth. Afterward, the esophagoscope was inserted into the mouth vertically at
the middle of the tongue base. The esophagoscope was further advanced gently
by the left thumb and index finger. Uvula was first identified, followed by the
posterior pharyngeal wall, then the ETT tube until arytenoids, and all of these
were marked as the guidance to sinus piriformis. With a steady rate of insertion,
the tip of esophagoscope was guided easily into the esophagus (Fig. 3). We
detected the narrowing of distal esophagus and inserted the esophagoscope,
approximately 37 cm from the upper central incisors. Maloney tapered Tungsten-
filled esophageal bougie was inserted via rigid esophagoscope, starting
gradually from number 12, 14, 16, 18, 20, until 22 (Fig. 4). Each and every single
bougie was held steadily at the constriction part for approximately 10 minutes
(Fig. 5). Afterward, the esophagoscope was withdrawn slowly. No bleeding was
detected and the distal part of esophagus became more dilated. At the end of
surgery, nasogastric tube (NGT) was inserted.

Figure 2. Desinfection on the operating area Figure 3. The insertion of


esophagoscope

157
Figure 4. Tungsten-filled esophageal bougies Figure 5. The bougie was held
steadily 10 mins

After the surgery, antibiotic, steroid, analgetic, and histamine-2 blocker


were administered intravenously, combined with oral calcium channel blocker.
On February 3, 2017, the patient was discharged from the hospital since his
ability to swallow foods and liquids improved.

Discussion
Achalasia is defined as a primary esophageal motor disorder
characterized by manometric findings of incomplete LES relaxation and
esophageal aperistalsis. Achalasia is of unknown etiology and the most common
of all esophageal motility disorders. The anatomical defect appears to be a
decrease or loss of inhibitory nonadrenergic, noncholinergic ganglion cells in the
esophageal myenteric plexus. It is well-known that esophageal peristalsis and
relaxation of the LES are mediated and coordinated by myenteric neurons.
However, in achalasia, these myenteric neurons are decreased in number or
absent. Most likely, the myenteric neurons disappear because of chronic
ganglionitis.3,4
Achalasia can be generally classified as primary (idiopathic) and
secondary. The latter occurs due to systemic diseases such as: diabetes,
connective tissue disorders, dermatomyositis, scleroderma, amyloidosis,
alcoholism, Chagas disease and neoplasms of various sorts (most commonly
adenocarcinoma). Achalasia affects both sexes equally, typically presenting
between the ages of 20 and 50, although it can occur in all ages. Patients
presents primarily with dysphagia for solids/liquids and bland regurgitation,

158
accompanied by globus pharyngeus and/or noncardiac chest..3-7 In our case, the
patient was a 36-year old man complaining difficulty swallowing solid foods and
liquids for the last month. Some of the swallowed foods and liquids would be
regurgitated and the patient also suffered from a persistent sensation of
something stuck in his throat and chest pain during the swallowing process.
A barium esophagram is typically the first imaging study used in the
evaluation of dysphagia. The classical appearance of achalasia on a barium
study is the "birds beak" tapering of the distal esophagus with a variable
proximal esophageal dilation. Esophageal manometry is the gold standard for
confirming the diagnosis of achalasia. The recent advances of high-resolution
manometry have allowed for assessment of esophageal pressure along the
entire pharynx, upper esophageal sphincter, esophageal body, and LES. The
manometric features proposed for a diagnosis of classic achalasia are: 1)
incomplete relaxation of the LES, and 2) aperistalsis in the body of the
esophagus.6,7 In our case, the barium esophagogram of the patient revealed
narrowing of the distal esophagus, resembling a bird's beak or rat-tail
appearance, but dilated, barium-filled esophagus proximal to it. We did not
conduct esophageal manometry due to its unavailability in our hospital.
Achalasia cannot be cured. Instead, our goal is to relieve symptoms,
improve esophageal emptying and prevent the development of megaesophagus.
The most successful therapies are esophageal dilation and surgical myotomy.
The overall success rate of graded esophageal dilation is 78%, with women and
older patients responding best.8,9

Table 1. Three Major Classes of Esophageal Dilators

159
There are three major classes of dilators available for the treatment of
achalasia (Table 1). Dilation with mercury-filled latex-coated bougies is the oldest
and simplest technique. However, over time, the latex covering of the
esophageal dilator tubing can become brittle and cracked, even a small crack in
the sheath of the bougie could result in leakage of the entire quantity of mercury
out of the bougie which may lead to a mercury release. If mercury enters the
bloodstream, it can cause mercury poisoning and result in a fatality. 10,11
The principal object of the exclusive invention is to provide an esophageal
dilation bougie which is similar in performance to a mercury-filled bougie, but
utilizes Tungsten particles, a non-toxic flowable material in its core, instead of
mercury. Rusch bougies, for esophageal dilation, are available in both Hurst and
Maloney styles, possessing a distal and proximal end (tip), comprising a hollow,
flexible, tubular sheath having a core of material containing Tungsten particles
(mercury free), which are suspended in a fluid silicone material consisting of a
mixture of liquid silicone rubber and silicone fluid. Its sheath is made of a silicone
rubber (latex free) for easy insertion when wetted with sterile water (slippery) and
the dry areas of the casing remain tacky (non-slip) to allow for a sure grip. These
bougies can be sterilized via steam, unlike mercury-filled bougies, and are
virtually radiopaque throughout entire length due to Tungsten particles in the
core. Maloney dilators have superseded Hurst dilators because their tapered,
flexible tip allows better guidance of the dilators into the narrowing lumen,
whereas Hurst dilators have rounded (blunt) distal tips. The end cap has a
permanent size marking for easy identification.11,12 In this case, we used
Maloney tapered Tungsten-filled esophageal bougies via rigid esophagoscope,
starting gradually from number 12, 14, 16, 18, 20, until 22, instead of wire-guided
polyvynil bougies and ballon dilators due to the lack of such instruments in our
hospital. Each inserted bougie was held steadily at the constriction part for
approximately 10 minutes. The small, flexible tip is easily introduced. Once the
tip is through the involved area, the tapered end allows the single bougie to dilate
this portion of the esophagus to its maximum limit.
One of the theoretical advantages of balloon dilators is that the dilating
force is applied in a radial direction only, in contrast with bougie dilation which
applies an additional longitudinal force on the esophagus. The balloon must be
160
inflated slowly and with small increments in pressure to diminish the perforation
risk.9,10 If the esophageal dilation is successful, the patient can go home and
begin to eat near-normally the next day. Balloons are more effective in certain
individuals, for example, individuals older than 40 years of age (probably
because it is easier to tear the esophagus of these patients due to their lower
muscle mass). However, with laparoscopic Heller myotomy, the patients remain
in the hospital for 2-3 days and return to work in approximately 2 weeks.11
Although esophageal dilation is the most common first-line therapy for the
treatment of achalasia, Hellers myotomy is the procedure of choice in the
management of achalasia in young patients or children, especially men.
Laparoscopic myotomy, usually combined with a partial fundoplication, has an
overall success rate of 85%, but can be complicated by the sequelae of severe
acid reflux disease.5 It is most effective and long-lasting compared with balloon
dilation12,13 and generally provides high rates of symptomatic relief, although this
has to be balanced against operative risks and the problem of long-term reflux.
The appropriate treatment for patients who present with recurrent dysphagia
following esophageal myotomy is a topic of debate. Repeat myotomy may be an
option for some. However, many patients who develop recurrent dysphagia
present with weight loss and a dilated esophagus and are not amenable to
preservation of the esophagus. Resection or esophagectomy is generally
recommended for these patients.8,14
Medical treatment has limited efficacy in patients with achalasia. It is
recommended only to patients as a bridge to more definitive treatment or to
those in whom other treatments are contraindicated. Calcium channel blockers
inhibit cellular calcium uptake and as calcium is necessary for contraction,
relaxation occurs. Nifedipine given at a dose of 20 mg reduces the LES pressure
by 30 to 40%. Nitric oxide is the measure neurotransmitter release from the
myentric neurons that induces swallow and esophageal distension induced LES
relaxation. Nitrate acts by compensating for the decrease in the inhibitory
neurotransmitter. Isosorbide dinitrate are given sublingually 30 to 60 minutes
before meals.15
Botulinum toxin (BTox) injection into the lower esophageal sphincter and
smooth muscle relaxants are usually reserved for older patients or those with co-
morbid illness. Btox cleaves the SNAP-25 molecule of the presynaptic
161
membrane, thus blocking acetylcholine (ACH) release. Locally injected BTox
might reduce the LES pressure and improve passive esophageal emptying.
Usually, 80 to 100 units of BTox are injected in each quadrant of the LES in 0.5
to 1ml aliquots.15
The prognosis for patients with achalasia to return to near-normal
swallowing and good quality of life are excellent. However, esophageal cancer is
often detected at a late stage in achalasia patients resulting in a poor
prognosis.16,17

Conclusion
We report a case of a 36-year old man complaining difficulty swallowing
solid foods and liquids. We diagnosed the patient with achalasia through history
taking and barium esophagogram. Esophageal dilation by using Maloney
tapered Tungsten-filled esophageal bougies was performed via rigid
esophagoscope for this patient. After the surgery, his ability to swallow foods and
liquids improved.

162
References
1. Cummings CW. The Esophagus: Anatomy, Physiolog and Disease. In:
Otolaryngology Head & Neck Surgery. Vol 2. 4th Edition. Elservier. United
States Of America. 2005. p. 1849-51.
2. Lintzenich CR. Esophageal Disorders. In: Bailey BJ. Head & Neck Surgery-
Otolaryngology. Vol 1. 5th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Baltimore.
2014. p. 852-5.
3. Simic A, Raznatovic Z, Skrobic O, Pesco P. Primary Esophageal Motility
Disorders. ACI Vol. LIII. Serbia. 2008. p. 9-17.
4. Boeckxstaens GE, Zaninotto G, Richter JE. Achalasia. Lancet 2014: 383. p.
83-93.
5. Richter JE. Update on The Management of Achalasia: Ballon, Surgery and
Drugs. Expert Rev. Gastroenterol. Hepatol. 2(3). Philadelphia. 2008. p. 435-
445.
6. Goshal U, Daschakraborty SB, Singh R. Pathogenesis of Achalasia Cardia.
World J Gastroenterol. 2012. p. 3050-7.
7. Francis DL, Katzka DA. Achalasia: Update on the Disease and Its Treatment.
J Gastro. Minnesota. 2010. p. 369-74.
8. Riley SA, Etwood SEA. Guidelines on the Use of Esophageal Dilatation in
Clinical Practice. Gut 2004; 53 (Suppl): i1-i16.
9. Cox JGC, Winter RK, Maslin SC, Jones R, Buckton GK, Hoare RC, Sutton
DR, Bennet JR. Balloon or Boogie Dilatation of Benign Esophageal Stricture?
An Interim Report of A Randomised Controlled Trial. Gut 1988. 29. p. 1741-7.
10. Blount KJ, Lamber DL, Shaffer HA, de Lange EE. Fluoroscopically Guided
Balloon Dilation of The Esofagus. Semin Intervent Radiol. 2010; 27 (2). p.
232-440.
11. Richter JE. Recent Research on Pneumatic Dilatation Versus Laparoscopic
Heller Myotomy for Achalasia Treatment. Gastroenterol Hepatol. New York.
2012. 8(5). p. 330-2.
12. Torab FC, Hamchou M, Ionescu G, Al-Salem AH. Familial Achalasia in
Children. Pediatr Surg Int. 2012. p. 1229-33.
13. Corda L, Pacilli M, Clarke S, Fell JM, Rawat D, Haddad M. Laparoscopic
Oesophageal Cardiomyotomy Without Fundoplication In Children With
Achalasia. Surg Endosc. 2010. 40-4.
163
14. Stephen M, Glatz J, Richardson D. Esophagectomy for End Stage Achalasia.
J Gastrointest Surg (2007) 11: 1134-7.
15. Ahmed A, Achalasia: What Is The Best Treatment?. Annals of African
Medicine. Vol. 7. No. 3. 2008. p.141-8.
16. Boeckxstaens GEE. Achalasia. Best Practice and Research. Vol 21.
Amsterdam. 2007. p. 595-608.
17. Richter JE, Boeckxstaens GEE. Management of Achalasia. Gut. 2011. 869-
76.

164
Otorhinolaryngologic Manifestations of Granulomatosis with Polyangiitis
Muhammad Reza, Abdul Rachman Saragih

Introduction
Granulomatosis with polyangiitis (GPA), previously known as Wegeners
granulomatosis (WG), was first described by Heinz Klinger in 1931 and
subsequently by Frederich Wegener in 1936. It is a rare form of vasculitis,
thought to be an autoimmune inflammatory process of unknown etiology
(attributed to genetic predisposition combined with exposure to an inciting factor)
affecting endothelial cells within small- to medium-sized blood vessels,
characterized by necrotizing granulomatous inflammation. The pathologocial
hallmark is the coexistence of vasculitis and granulomas, classically involves a
triad of airway, lung and renal disease.1-4
The prevalence of GPA ranges between 3 cases per 100.000 inhabitants in
the USA and 16 cases per 100.000 inhabitants in southern Sweden.5,6
Epidemiological studies conducted in Galicia described an incidence of 2.95 new
cases per 1.000.000 inhabitants/year, whereas in Norway (12 per 1.000.000
inhabitants/year) and UK (8.4 per 1.000.000 inhabitants/year).7-9
The most common ages of presentation of GPA are the sixth and seventh
decades of life, peaks between the ages of 35 - 55, but it may appear at any age,
with similar frequency between genders in adult age.10
GPA is a multisystem disease that can affect many parts of the body, thereby
its clinical manifestations can be also very heterogeneous, categorized by the
ELK classification: most commonly presents with lesions in the upper respiratory
tract (E, indicating ears/nose/throat, almost 100%), lungs/lower respiratory tract
(L, most patients) and kidneys (K, > 75%). Many other areas of the body may
also be affected, with joint inflammation (occurring in 25 - 50% of all cases),
sinuses, eyes and skin.1-4
Localized forms of the disease in the head and neck region are not
exceptional.11,12 Formerly believed to be a multisystem disease, a localized form
is now recognized as a distinct subtype with no renal or pulmonary involvement
detected at the presentation or during follow-up.3
The diagnosis of GPA is complex, contributing to a delay in its confirmation
and start of treatment. This often results in significant sequelae secondary to
165
tissue destruction in affected areas of the head and neck.13 Once the diagnosis is
made, immediate therapy with glucocorticoids and various cytotoxic agents is
initiated to control the progression of the disease, prevent disease-related
damage, limit the extent and severity of permanent organ damage, induce
remission, minimize the short-term and long-term morbidities that often result
from therapy.14-19
Herein, we report a case of GPA limited to the facial region and upper airway
mucosa, lacking systemic involvement detected at the presentation or during and
after a prolonged follow-up but showing a locally aggressive behaviour, leading
to septal and palatal perforation, treated by a combination of cyclophosphamide
and high-dose glucocorticoids.

Case Report
A 22-year-old male presented with repetitive complaints of nasal discharge
and congestion, occasional nosebleed and headache since 2003 which urged
him to seek treatment from an otorhinolaryngologist in Rantau Prapat. Within the
same year, his symptoms remained unsolved, persuading him to receive further
intervention at Haji Adam Malik General Hospital. Nasobiopsy was carried out
due to the thickening of nasopharyngeal wall revealed by nasopharyngoscopy,
showing an impression of chronic infection histopathologically, insisting the
necessity to re-nasobiopsy. However, the histopathologic results still remained
the same. Few months later, he was referred to a dermato-venereologist due to
the sudden appearance of extensive black necrotic crusting, resembling a mass
of dried clotted blood filling the nasal cavity and nose surface. Tissue biopsy was
performed later, revealing Wegeners granulomatosis histopathologically.
Unknown injection was administered as many as 10 times and the patient went
back to his hometown after the black necrotic crusting was completely removed.
In 2015, the patient suffered more severe nosebleed accompanied by similar
black necrotic crusting but eroding the septum and hard palate. He was admitted
to Permata Bunda Hospital but then referred to Murni Teguh Hospital and tissue
re-biopsy was perfomed, showing a similar impression of Wegeners
granulomatosis histopathologically. Later, the patient was admitted to Columbia
Asia Hospital in order to receive further treatments from June 29, 2015 until July
08, 2015.
166
Otoscopy revealed intact but retracted tympanic membranes. During
inspection, a mass of dried clotted blood filling the nasal cavity were observed
accompanied by septal perforation and saddle-nose deformity [Fig. 1(a), (b)].
Oropharyngeal examination detected palatal perforation [Fig. 1(c)] without
palpable enlargement of lymph nodes. Chest X-ray demonstrated no
abnormality. However, Computed Tomography Scan (CT-Scan) of the paranasal
sinuses showed pansinusitis [Fig. 2].

(a) (b) (c)


Figure 1. Clinical Manifestations of The Patient

Figure 2. CT-Scan of The Paranasal Sinuses

167
Laboratory tests detected deficiency of hemoglobin (8.8 g/dl) and platelets (86
x 103/L) with elevated white blood cells (21.40 x 103/L), liver enzymes (AST =
227 U/L; ALT = 221 U/L), kidney function (urea = 69 mg/dl; creatinine = 3.4
mg/dl), serum IgA (619 mg/dl), but lowered electrolytes (sodium = 119 mmol/L;
potassium = 2.9 mmol/L; chloride = 91 mmol/L; calcium = 7.5 mmol/L).
Rheumatology profiles revealed elevated CRP quantitative (7.0 mg/L), positive
ANA IF and positive ASTO but negative pANCA (MPO) IgG and cANCA
(protease 3) IgG both, whereas his urinalysis indicated hematuria (3+) and
proteinuria (2+). Microbial culture and sensitivity tests revealed a non-
fermentative aerobic gram-negative bacillus (Acinetobacter lwoffii) growth on
culture of his nasal discharge, which was only sensitive to Amoxicillin/Clavulanic
Acid and Imipenem, accompanied by fungal infection.
Patient was commenced on cyclophosphamide 2 mg/kg/day therapy
administered orally (BW = 80 kg; dose = 160 mg/day) three times a day divided
into three doses (2 1 1 / 100 mg 50 mg 50 mg, total = 200 mg/day)
combined with high-dose methylprednisolone 16 mg four times a day orally and
other supportive treatments. Within one-week initiating treatment, significant
improvement in his general condition was dramatically achieved and at his own
parents request, he was discharged from the hospital on July, 8, 2015 due to
financial issue.
One week after (July 16, 2015), he was admitted to Haji Adam Malik General
Hospital due to massive bleeding streaming down his nose and oropharynx
continuously, inflicting severe shortness of breath. Unfortunately, a few hours
during emergency intervention, he began gasping for air, losing consciousness
and eventually died.

Discussion
GPA is one of the most common forms of the anti-neutrophil cytoplasm
antibody (ANCA)-associated vasculitides, a group of disorders characterized by
variable patterns of small blood vessel inflammation producing a markedly
heterogeneous clinical phenotype. While any vessel in any organ may be
involved, distinct but often overlapping sets of clinical features have allowed the
description of four subtypes associated with the presence of circulating ANCA,
namely granulomatosis with polyangiitis (GPA, formerly known as Wegeners
168
Granulomatosis), microscopic polyangiitis (MPA), renal-limited vasculitis (RLV),
and eosinophilic granulomatosis with polyangiitis (eGPA, formerly known as
Churg-Strauss syndrome).20-25
While much more common in whites when compared to blacks, the disease
shows no gender affinity with 1:1 male to female ratio. Presentation before
adolescence is uncommon, and the mean age of onset is approximately 40
years, but it can be found at any age.7-11 Although there is no clear sex linkage,
some data indicate phenotypic differences in the presentation of male and
female patients, with males more likely to have severe disease and females
more likely to have less severe disease.25 It was consistent with our case where
the patient was a 22-year-old male, lacking systemic involvement but showing a
locally aggressive behaviour.
The cause of GPA is unknown. It is considered to be a hypersensitivity
disorder because granulomatous inflammation, tissue eosinophilia, vasculitis,
and glomerulonephritis are all characteristic of hypersensitivity states. This
concept of hypersensitivity as a pathogenic factor is supported by a study of
prevalence of allergies in patients with systemic vasculitis, which revealed that
45 of 60 patients (73%) had a history of at least one type of allergy, which was
significantly higher compared to controls. The higher incidence in winter
suggests an infective etiology, but the data are inconclusive. GPA has been
linked to parvovirus B19 infection and chronic nasal carriage of Staphylococcus
aureus. The involvement of the upper airways in this condition has led to the
search for possible inhaled allergens, although none has yet been positively
identified. It is interesting to hypothesize that, in patients with circulating ANCA,
these antibodies interact with neutrophils that have been primed by an infection
or other inflammatory process. Although it is possible that the rising incidence is
due to improved detection of illness, it has been hypothesized that an increase in
industrial pollutants may be also responsible. Other studies have linked GPA
with multiple exogenous factors, including cadmium, silica, which is usually in the
form of sand dust, and volatile hydrocarbons. A recent study suggests exposures
acquired through farming in England are etiologic to systemic vasculitides,
including GPA. Another study found that first-degree relatives had a moderately
increased risk of developing any autoimmune/inflammatory disease, including
specific associations with, for example, multiple sclerosis, Sjgren's syndrome
169
and seropositive rheumatoid arthritis.26-29 In our case, we investigated that the
patient possessed allergy to dust and smoke, often helped his father run the farm
for years in Rantau Prapat, and his laboratory test of rheumatology profiles
revealed elevated CRP quantitative (7.0 mg/L), positive ANA IF and positive
ASTO which were suggestive of rheumatoid disease.
Two forms of GPA have been described: (1) the classical generalized
systemic or diffuse form (fulminant, active, disseminated) that always involves
the kidney and causes necrotizing glomerulonephritis, also affects various other
organs, resulting in articular, cutaneous (palpable purpura, ulcers, subcutaneous
nodules) or neurological (mononeuritis multiplex, peripheral neuropathy,
meningitis) symptoms and constitutional syndrome (fever, asthenia, anorexia
and weight loss); (2) the localized or the limited form (indolent, initial,
locoregional) without the involvement of lower respiratory tract or kidney. The
presence of ENT involvement in patients with GPA ranges between 72.3% and
99% of cases depending on the performance or not of systematic head and neck
studies upon suspicion or diagnosis of disease, as well as periodic reassessment
of new outbreaks.30-32 These figures are similar to that found in our case. ENT
manifestations were the first symptom of the disease in our case, without any
other organs involvement, labelling it as the localized form of GPA, whereas in
other series, these manifestations were the first symptom of the disease in
between 63% and 72% of cases.33
Otological manifestations appear in between 6% and 56% of patients with
GPA, may be in the form of serous otitis media, chronic otitis media,
sensorineural or mixed hearing loss, vertigo and facial palsy. Acute otitis media
or chronic otitis media, which develop as a result of the presence of granulation
tissue affecting the Eustachian tube, middle ear or nasopharynx, are less
frequent.30 In our case, otoscopy revealed intact but retracted tympanic
membranes with no evidences of serous otitis media, chronic otitis media,
sensorineural or mixed hearing loss, vertigo and facial palsy.
Typically, patients refer non-specific symptoms such as, nasal congestion,
nasal discharge, epistaxis, pain, and smell disorders. Physical examination
usually reveals the presence of nasal crusts and occasionally, perforation of the
anterior nasal septum (caused by vasculitis of the Kiesselbach area) and saddle-
nose deformity (may occur in advanced stages as a result of extensive necrosis
170
of the septal cartilage area) and palatal perforation. The appearance of chronic
sinusitis due to obstruction of the drainage ostium is also a frequent. 18-21
According to one study, sinonasal manifestations are the most frequent in the
head and neck region, in which 52% of patients developed sinonasal symptoms.
More than 80% of patients with this diagnosis experience rhinological morbidity
at some point during their life.33 In our case, the patient suffered from nasal
discharge and congestion, nosebleed, smell disorders and symptoms of chronic
rhinosinusitis. Physical examination revealed the presence of nasal crusts,
perforation of the anterior nasal septum and saddle-nose deformity as well as
palatal perforation.
Performing computerised tomography (CT) or magnetic resonance imaging
(MRI) may be indicated in some patients according to location of involvement
and clinical manifestations. The most common findings on CT scans of the
paranasal sinuses are the presence of mucosal oedema with bone thickening or
destruction or sclerotic changes in the walls of the affected sinuses. Simmons et
al. using CT found that patients with sinonasal involvement have bilateral sinus
opacification, septal perforation, and mucosal inflammation. Maxillary sinus
involvement is mostly seen.33-34 In our case, the CT findings were similar to those
of literatures.
Up to 8% of patients may develop a retro-orbital tumour, sometimes by
extension of sinus lesions or else by the appearance of primary granulation
tissue in that area. In 2% of patients, GPA may initially appear as secondary
proptosis. Oral manifestations are rare in GPA, with strawberry gingival
hyperplasia being the most characteristic in this disease. Deep oral ulcers can
also appear in the oropharynx or oral cavity (buccal mucosa, gums and tongue).
Hypertrophy of the parotid and submandibular glands is very rare. There has
been 1 case report of submandibular gland hypertrophy as the only
manifestation of GPA. Laryngotracheal manifestations are rare, with subglottic
stenosis being the most common. These appear in 8% - 23% of patients
throughout their evolution, representing the first manifestation of the disease in
between 1% and 6% of cases.35-38 However, all those findings above were not
demonstrated in our patient.

171
The diagnosis of GPA is performed based on suggestive clinical symptoms,
and is confirmed by a compatible histological study including: presence of small
vessel vasculitis and necrotizing granulomatous inflammation with giant
multinucleated cells. These may occur together or in isolation. However, the
typical necrotizing granulomas and vasculitis may be missed by the pathologists
either in the early stage of the disease or in small fragments of tissue.
Consequently, the diagnosis may be a challenge when the typical histological
features are absent or when lungs and kidneys are not involved in disease or
even the patient refers to an oncologically oriented department. A biopsy
specimen is frequently difficult to make a definitive histological diagnosis on this
alone. More recently it has been said that a typical or a complete
histopathological picture is not always essential for diagnosis of GPA. If the
clinical picture is suggestive of the diagnosis, a less typical histological picture
can be acceptable. Moreover, the radiological findings (i.e., CT scan and PET)
may lead to an erroneous diagnosis because of the overlap features with other
diseases including malignancies. Thus, unusual clinical presentation together
with nonspecific radiological and histological features may delay the correct
diagnosis leading to an erroneous therapeutic approach with dramatic clinical
consequences. According to the American College of Rheumatology, at least two
of four criteria must be present: oral ulcers or nasal discharge, nephritic urinary
sediment, abnormal chest X-ray or granulomatous inflammation on biopsy. The
presence of two or more criteria has a sensitivity of 88% and a specificity of
92%.39-40 In our case, three of four criteria were present: nasal discharge,
nephritic urinary sediment (hematuria and proteinuria, detected by urinalysis)
and the histopathological features from his biopsy specimen were suggestive of
GPA, with no abnormality found in his chest X-ray.
Once GPA is suspected, ANCA (antineutrophil cytoplasmic antibody) levels
should be performed. Two ANCA patterns may be seen with indirect
immunofluorescence of ethanol fixed neutrophils, a cytoplasmic pattern (c-
ANCA) and a perinuclear pattern (p-ANCA). ANCA has been demonstrated to be
highly specific for GPA. Levels of ANCA correlate well with the disease activity.
Although the determination of serum ANCA can assist in the diagnosis of GPA,
but ANCA positivity is not always conclusive for diagnosis, and the negativity for
ANCAs is not sufficient to reject the diagnosis. In GPA, ANCA test is positive in
172
95% of cases with generalized active disease. This sensitivity falls to 60% with
localized disease. The c-ANCA is found with a lower frequency in localized GPA
(39%) as compared to generalized GPA (86%). p-ANCA positive patients have
fewer organ involvement than those with c-ANCA.40-42 In our case, c-ANCA and
p-ANCA were both normal as the patient suffered the localized form of GPA.
GPA is a potentially fatal disease. Failure to undertake treatment leads to
death in a short time the mean survival time for untreated patients is estimated
at 5 months. The first-year mortality rate is 82%, whereas in the first two years it
is 90%. The first medications used in the GPA treatment were
glucocorticosteroids, which extended survival time by only 12.5 months,
however, mortality resulting from infections increased and disease control was
not achieved. Since then, an appropriate, effective GPA treatment schedule has
been sought, with numerous attempts to combine several cytotoxic agents with
each other or with glucocorticosteroids. In 1972, Fauci and Wolff revolutionized
treatment of the disease introducing their experience with a regimen that
combined cyclophosphamide 2 mg/kg/day (should generally not exceed
200mg/day) and prednisone, which significantly extended survival time and
reduced mortality in the GPA. There is data on survival time of 9 patients, of
whom 8 survived 3 - 12.5 years. The efficacy of cyclophosphamide treatment
was spectacular, poor results were reported only for cases of extremely
advanced disease.40-42
Long-term experience with cyclophosphamide provided even greater
evidence for its efficacy in which an 80% survival rate was seen, with 91% of
patients having significant improvement and 75% achieving complete remission.
However, extended follow-up also demonstrated that disease relapse occurred in
at least 50% of patients and that 42% experienced morbidity solely as a result of
treatment. These observations showed that while cyclophosphamide was life-
saving, it did not prevent relapse and was associated with significant toxicity
such that safer means to induce remission needed to be pursued, its use should
be limited strictly to the duration necessary to bring about significant disease
improvement or remission, which is typically 3 months to no longer than 6
months. After this time, cyclophosphamide should be stopped and switched to a
maintenance agent, which includes primarily methotrexate or azathioprine (2
mg/kg/day). When using cyclophosphamide in GPA the use of an induction
173
maintenance approach should be considered the standard of care, as longer
durations of cyclophosphamide offer no advantage and are associated with
enhanced potential for toxicity.42-44 In our case, the patient showed a good
respond to cyclophosphamide 2 mg/kg/day therapy administered orally (BW = 80
kg; dose = 160 mg/day) three times a day divided into three doses (2 1 1 /
100 mg 50 mg 50 mg, total = 200 mg/day) combined with high-dose
methylprednisolone 16 mg four times a day orally and other supportive
treatments. Within one-week initiating treatment, significant improvement in his
general condition was dramatically achieved. However, at his own parents
request, he was discharged from the hospital due to financial issue before
accomplishing his treatment period completely.
In general, head and neck manifestations of patients with early diagnosis of
GPA usually respond well to early initiation of immunosuppressive therapy
(cyclophosphamide or methotrexate) associated with glucocorticoids for several
months in phases of disease activity which goes a long way in reducing the
morbidity and mortality associated with the disease. Subsequently, patients
require maintenance therapy in quiescent phases, with methotrexate and
azathioprine being useful, as well as frequent boluses of glucocorticoids to
control reactivations.18 Monoclonal antibodies against CD20 (rituximab) can also
be useful.30 Surgical treatment does not change the course of the disease, but it
can contribute to ameliorate the consequences of tissue destruction in the head
and neck region. Caution should be exercised before conducting surgical
indications in reactivation phases of the disease which may subsequently lead to
greater sequelae. Generally, surgical treatment is not recommended in cases of
septal perforation. However, saddle nose deformity can be operated in the
remission phase with good results.21-25
Prognosis of GPA depends mainly on early diagnosis and prompt initiation of
medical treatment. Localized form of GPA has been discussed as a subtype of
GPA with a better prognosis and the previous literatures have been reviewed on
this subject.45-46 However in our case, unfortunately, since the patient was
discharged from the hospital due to financial issue before accomplishing his
treatment period completely, his disease relapsed one week after as massive
bleeding streaming down his nose and oropharynx continuously, inflicting severe

174
shortness of breath, urging him to seek emergency help, but it was already too
late and he eventually died in few hours.

Conclusion
We report a case of localized GPA suffered by a 22-year-old male with
otorhinolaryngologic manifestations as the primary symptoms since 2003,
lacking systemic involvement but showing a locally aggressive behaviour. The
diagnosis was reached based on suggestive clinical symptoms, confirmed by
histopathological study (showing an impression of GPA), and ANCA test.
However, ANCA test was negative. GPA is a fatal disease with high mortality
and initial treatment should be administered. The patient was commenced on
cyclophosphamide 2 mg/kg/day orally three times a day combined with
methylprednisolone 16 mg four times a day orally and other supportive
treatments, resulting in significant improvement. However, due to financial issue,
he was discharged from the hospital. Unfortunately, one week later, he was
admitted to Haji Adam Malik General Hospital due to massive bleeding
streaming down his nose and oropharynx continuously, inflicting severe
shortness of breath and he eventually died.

175
References

1. Falk RJ, Gross WL, Guillevin L, Hoffman GS, Jayne DR, Jennette JC, et al.
Granulomatosis with polyangiitis (Wegenes): an alternative name for
Wegeners granulomatosis. Arthritis Rheum. 2011;63:863-4.
2. Holle JU, Laudien M, Gross WL. Clinical manifestations and treatment of
Wegeners granulomatosis. Rheum Dis Clin N Am. 2010;36:507-26.
3. Cotch MF, Hoffman GS, Yerg DE, Kaufman GI, Targonski P, Kaslow RA. The
epidemiology of Wegeners granulomatosis. Estimates of the five-year period
prevalence, annual mortality, and geographic disease distribution from
population-based data sources. Arthritis Rheum. 1996;39:87-92.
4. Mohammad AJ, Jacobsson LT, Mahr AD, Sturfelt G, Segelmar KM.
Prevalence of Wegeners granulomatosis, microscopic polyangiitis,
polyarteritis nodosa and Churg---Strauss syndrome within a defined
population in southern Sweden. Rheumatology. 2007;46:1329-37.
5. Watts RA, Lane SE, Scott DG, Koldingsnes W, Nossent H, Gonzlez-Gay MA,
et al. Epidemiology of vasculitis in Europe. Ann Rheum Dis. 2001;60:1156-7.
6. Gonzlez-Gay MA, Garca-Porrua C, Guerrero J, RodrguezLedo P, Llorca J.
The epidemiology of the primary systemic vasculitides in northwest Spain:
implications of the Chapel Hill Conference definitions. Arthritis Rheum.
2003;49: 388-93.
7. Koldingsnes W, Nossent H. Epidemiology of Wegeners granulomatosis in
northern Norway. Arthritis Rheum. 2000;43: 93-9.
8. Watts RA, Al-Taiar A, Scott DG, Macgregor AJ. Prevalence and incidence of
Wegeners granulomatosis in the UK general practice research database.
Arthritis Rheum. 2009;61:1412-26.
9. Gonzlez-Gay MA, Garca-Porra C. Epidemiology of the vasculitides. Rheum
Dis Clin North Am. 2001;27:729-49.
10. Tsuzuki K, Fukazawa K, Takebayashi H, Hashimoto K, Sakagami M.
Difficulty of diagnosing Wegeners granulomatosis in the head and neck
region. Auris Nasus Larynx. 2009;36:64-70
11. Garca-Porrua C, Amor-Dorado JC, Gonzlez-Gay MA. Unilateral
submandibular swelling as unique presentation of Wegeners granulomatosis.
Rheumatology (Oxford). 2001;40:953-4.
176
12. Hernndez-Rodrguez J, Hoffman GS, Koening CL. Surgical interventions
and local therapy for Wegeners granulomatosis. Curr Opin Rheumatol.
2010;22:29-36.
13. Hoffman GS, Kerr GS, Leavity RY, Hallahan CW, Lebovics RS, Travis
WD, et al. Wegener granulomatosis: an analysis of 158 patients. Ann Intern
Med. 1992;116:488-98.
14. Reinhold-Keller E, Beuge N, Latza U, de Groot K, Rudert H, Nlle B, et al.
An interdisciplinary approach to the care of patients with Wegeners
granulomatosis: long-term outcome in 155 patients. Arthritis Rheum.
2000;43:1021-32.
15. Seo P, Stone JH. The antineutrophil cytoplasmic antibodyassociated
vasculitis. Am J Med. 2004;117:39-50.
16. McDonald TJ, DeRemee RA. Head and neck involvement in Wegeners
granulomatosis. In: Gross WL, editor. ANCAassociated systemic vasculitis:
immunological and clinical aspects. New York: Plenum Press; 1993. p. 309-
13.
17. Srouji IA, Andrews P, Edwards C, Lund VJ. Patterns of presentation and
diagnosis of patients with Wegeners Granulomatosis. ENT aspects. J
Laryngol Otol. 2007;121:653-9.
18. Erickson VR, Hwang PH. Wegeners granulomatosis: current trends in
diagnosis and management. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg.
2007;15:170-6.
19. Takagi D, Nakamaru Y, Maguchi S, Furuta Y, Fukuda S. Otologic
manifestations of Wegeners granulomatosis. Laryngoscope. 2002;112:1684-
90.
20. Rassmusen N. Management of the ear, nose, and throat manifestations of
Wegener granulomatosis: an otorhinolaryngologists perspective. Curr Opin
Rheumatol. 2001;13:3-11.
21. Cannady SB, Batra PS, Koening C, Lorenz RR, Citardi MJ, Langford C, et
al. Sinonasal Wegener granulomatosis a single-institution experience with 120
cases. Laryngoscope. 2009;119:757-61.
22. Knight JM, Hayduk MJ, Summerlin DJ, Mirowski GM. Strawberry gingival
hyperplasia: a pathognomonic mucocutaneous finding in Wegener
granulomatosis. Arch Dermatol. 2000;136:171-3.
177
23. Heintz H, Ullrich S, Holl-Ulrich K, Shultz H, Gross WL, ReinholdKeller E.
Parotitis as first presentation of localized (initial phase) and generalized
Wegeners granulomatosis. Sarcoidosis Vasc Diffuse Lung Dis. 2005;22:236-
7.
24. Gluth MB, Shinners PA, Kasperbauer JL. Subglottic stenosis associated
with Wegeners granulomatosis. Laryngoscope. 2003;13:1304-7.
25. Finley JC, Bloom DC, Thiringer JK. Wegener granulomatosis presenting
as an infiltrative retropharyngeal mass with syncope and hypoglossal paresis.
Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2004;130:361-5.
26. Bosch X, Guilabert A, Font J. Antineutrophil cytoplasmic antibodies.
Lancet. 2006;368:404-18.
27. Jennette JC, Falk RJ, Andrassy K, Bacon PA, Churg J, Gross WL, et al.
Conference. Arthritis Rheum. 1994;37:187-92.
28. Del Buono EA, Flint A. Diagnostic usefulness of nasal biopsy in
Wegeners granulomatosis. Hum Pathol. 1991;22:107-10.
29. Bermoudiba F, Marson-Dupuch K, Hadj Rabia M, Cabbanne J, Bobin S,
Lasjaunias P. Sinonasal Wegeners granulomatosis. CT characteristics.
Neuroradiology. 2003;45:95-9.
30. Holle JU, Dubrau C, Herlyn K, Heller M, Ambrosch P, Noelle P, et al.
Rituximab for refractory granulomatosis with polyangiitis (Wegeners
granulomatosis): comparison of efficacy in granulomatosis versus vasculitic
manifestations. Ann Rheum Dis. 2012;71:327-33.
31. Knight A, Askling J, Granath F, Sparen P, Ekburn A. Urinary bladder
cancer in Wegeners granulomatosis: risk and relation to cyclophosphamide.
Ann Rheum Dis. 2004;63:1307-11.
32. Srouji IA, Andrews P, Edwards C, Lund VJ. Patterns of presentation and
diagnosis of patients with Wegener's granulomatosis: ENT aspects. J
Laryngol Otol 2007;121: 6538.
33. Devaney KO, Ferlito A, Hunter BC, Devaney SL, Rinaldo A. Wegener's
granulomatosis of the head and neck. Ann Otol Rhinol Laryngol
1998;107:439445.
34. Lund V, Cambridge G. Immunological aspects of Wegener's
granulomatosis. In: Passali D, Veldman JE, Lim DJ, editors. New frontiers in
immunobiology. The Netherlands: Kugler Publications; 2000. p.195207.
178
35. McCaffrey TV, McDonald TJ, Facer GW, DeRemee RA. Otologic
manifestations of Wegener's granulomatosis. Otolaryngol Head Neck Surg
1980;88:58693.
36. Takagi D, Nakamaru Y, Magachi S, Faruta Y, Fukuda S. Otologic
manifestations of Wegener's granulomatosis. Laryngoscope 2002;112:1684
90.
37. Bradley PJ. Wegener's granulomatosis of the ear. J Laryngol Otol
1983;97:6236.
38. Fenton JE, O'Sullivan TJ. The otological manifestations of Wegener's
granulomatosis. J Laryngol Otol 1994;108: 1446.
39. Macias JD, Wackym PA, Mccabe BF. Early diagnosis of otologic
Wegener's granulomatosais using the serologic C-ANCA. Ann Otol Rhinol
Laryngol 1993;102:33741.
40. Banerjee A, Armas JM, Dempster JH. Wegener's granulomatosis:
diagnostic dilemma. J Laryngol Otol 2001;115:467.
41. Carrie S, Hughes KB, Watson MA. Negative ANCA in Wegeners
granulomatosis. J Laryngol Otol 1994;108: 4202.
42. Schonermarck U, Lamprecht P, Csernok E, Gross WL. Prevalence and
spectrum of rheumatic diseases associated with proteinase 3-antineutrophil
cytoplasmic antibodies (ANCA) and myeloperoxidase-ANCA. Rheumatology
2001;40:17884.
43. Dagum P, Roberson Jr JB. Otologic Wegener's granulomatosis with facial
nerve palsy. Ann Otol Rhinol Laryngol 1998;107:5559.
44. Kornblut AD, Wolff SM, Fauci AS. Ear disease in patients with Wegener's
granulomatosis. Laryngoscope 1982;92: 7137.
45. Hern JD, Hollis LJ, Mochloulis G, Montgomery PQ, Tolley NS. Early
diagnosis of wegener's granulomatosis presenting with facial nerve palsy. J
Laryngol Otol 1996;110:45961.
46. Moussa AE, Abou-Elhmd KA. Wegener's granulomatosis presenting as
mastoiditis. Ann Otol Rhinol Laryngol 1998;107:5603.

179
ENDOSCOPIC MANAGEMENT OF PEDIATRIC CHRONIC RHINOSINUSITIS
WITH ANTROCHOANAL POLYP

Muhammad Reza, Andrina Yunita Murni Rambe

Introduction
Rhinosinusitis is a very common disease worldwide and specifically in the US
population with upper respiratory tract infections. It is still often underdiagnosed
in pediatric practice. In a study of 1- to 5-year-old children with persistent upper
respiratory symptoms, chronic rhinosinusitis was found in 19% of children with
more than 12 weeks of upper respiratory symptoms (Ramadan, 2011;
Poachanukoon, Nanthapisal and Chaumrattanakul, 2012).
The antrochoanal polyp, also known as Killians polyp, is a benign, solitary,
polypoidal lesion that arises from the maxillary sinus and grows by extension
through the natural or accessory maxillary ostium into the middle meatus and
then to the choana and nasopharynx. It was first described in a case report by
Paefyn in 1713. Killian, however, is widely credited with the first detailed
description of this entity in 1906. Antrochoanal polyps are more frequent in
children and young adults. They represent approximately 4% to 6% of all nasal
polyps in the general population. In children, this number appears to be closer to
33% of all nasal polyps in the pediatric population (Al-Mazrou, Bukhari and Al-
Fayez, 2009; Yaman, et al., 2010).
Antrochoanal polyps are usually unilateral and can be diagnosed easily with
the nasal endoscope. The patient usually presents with unilateral nasal
obstruction and other symptoms like mucopurulent rhinorrhea, postnasal drip,
headache, hyposomia, hyponasal voice, mouth-breathing, epistaxsis snoring and
sleep disorders. On physical examination, there may be a unilateral polypoidal
nasal and/or rhino-pharyngeal mass visible. In computerized tomography (CT), a
solid well-delineated mass appears emerging from the maxillary sinus, and
approaching the choana (Frosini, Picarella and De Campora, 2009).
Since 1906, when Killian described the maxillary sinus as the site of origin for
the polyp, many surgical techniques have been proposed. More recently,
endoscopic excision has become the procedure of choice because of its shorter
recovery time and fewer side effects. Complete removal of the maxillary portion

180
of the polyp is necessary to decrease recurrence rates (Al-Mazrou, Bukhari and
Al-Fayez, 2009).

Case Report
A 7-year old girl presented to the outpatient clinic of ENT-HNS Department at
Haji Adam Malik General Hospital Medan, accompanied by her mother on
January 28, 2015, complaining nasal stuffiness for the past 2 years. Other
symptoms like colored-nasal discharge, headache, facial pain, and the sensation
of mucous accumulation dripping downward from the back of nose to throat were
also encountered from this patient. Her mother notified that her daughter tended
to sneeze repeatedly during the night and early morning or during cold- and dust-
exposures. Her past medical history was negative nor prior history of surgery
was narrated.
The patient was a healthy-appearing, yet uncooperative girl. At first, the ENT
routine examinations were arduous to perform due to her temper tantrum and it
took a bit to calm her down before she finally agreed to be examined but only for
anterior rhinoscopy. Anterior rhinoscopy showed a gray-white, smooth-surfaced,
gigantic soft mass occupying the right nostril without palpable mass on the neck
region. CT scan of her paranasal sinuses revealed soft tissue mass in her right
nasal cavity extending to the choana and nasopharynx accompanied by the
opacification of both maxillary, ethmoid, sphenoid sinuses, and right frontal sinus
[Fig.1(a), (b) and (c)], however nasoendoscopy was unable to be carried out.

Figure 1(a). Axial plane of CT scan revealed soft tissue mass in right nasal cavity
extending to the coana and nasopharynx (yellow arrow)

181
Figure 1(b). Sagittal plane of CT scan confirmed the extension of soft tissue
mass towards the coana and nasopharynx (yellow arrow)

Figure 1(c). Coronal plane of CT scan showed the opacification of right frontal
sinus, both maxillary, ethmoid and sphenoid sinuses (red arrow)

182
Chronic rhinosinusitis with antrochoanal polyp was diagnosed for this
patient. Chest x-ray and laboratory findings were normal. She was scheduled for
polypectomy with Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) under general
anesthesia on February 5, 2015.
Prior to surgery, both nasal cavities were evaluated with 0 telescope
revealing a gray-white, smooth-surfaced, soft mass in right nasal cavity
extending to the choana with its stalk arising from maxillary sinus (Fig. 2). Local
anesthetic with 2% pantocaine and epinephrine 1:100.000 soaked in sterile
gauzes to both nasal cavities were applied with cotton applicator covering the
surface of mass for 15 minutes and withdrawn afterwards.

Figure 2. The appearance of antrochoanal polyp in right nasal cavity

The antrochoanal polyp in right nasal cavity was extracted by forceps


through clamping its stalk, pulling it out slowly with right-to-left swing and
rotational movement until the whole mass was fully removed (Fig. 3). Afterwards,
we evaluated the right nasal cavity using a 00 telescope towards the
nasopharynx in order to ensure no remaining mass left detected (Fig. 4).
Subsequently, the surgical specimen was sent for histopathologic examination.

183
Figure 3. The extraction of antrochoanal polyp

Figure 4. No remaining mass left detected while being evaluated after the
extraction

The right middle turbinate was gently medialized, carefully using the
curved portion of the Freer elevator in order to either avoid mucosal injury to the
turbinate and forceful medialization and fracture of the turbinate. Pehacaine was
then infiltrated on the right uncinatus process and we performed uncinectomy via
an incision with the sharp end of sickle knife, conducted at the most anterior
portion of the uncinate process. Then, a Blakesley forceps was used to grasp the
free uncinate edge and remove it. The backbiting forceps directly used to take
down the uncinate process [Fig. 5(a)].
The sinus ostium was identified and enlarged with an upturned Blakesley
forceps at an anterior-inferior direction. Next, the right maxillary sinus cavity was
evaluated with a 30o telescope and drained, followed by irrigation of the right

184
maxillary sinus using a bent suction. Similar procedures were carried out for the
left maxillary sinus [Fig. 5(b)].

Figure 5. Uncinectomy using backbiting forceps to take down: (a) right uncinate
process; (b) left unciante process

The bulla wall of right ethmoid was punctured inferiomedially using the tip
of the straight Blakesley forceps and suction. The anterior wall of bulla was
removed with an upturned Blakesley forceps and cleaned afterwards. A
retrograde ethmoidectomy was performed, with a dissection from posterior to
anterior of the right ethmoid using an upturned Blakesley forceps or a J curette
(Fig. 6).

Figure 6. Endoscopic ethmoidectomy

185
After all the procedures above, we rinsed both nasal cavities with 3%
hydrogen peroxide and normal saline solution. Anterior packing were applied for
both nasal cavities (Fig. 7).

Figure 7. The insertion of anterior packing post-operatively

After the surgery, antibiotic, corticosteroid, analgetic, and antihemorrhagic


agents were administered intravenously. Anterior packing were both removed 2
days after. On day 3, nasal irrigation was performed and we evaluated the nasal
cavity by endoscopic assistance (Fig. 8). The outcome was satisfying and the
patient was discharged from the hospital on day 4 and assigned for post-
operative follow-up visit on day 6, but we still detected apparent discharged and
crusting in both nasal cavities. Nasal irrigation and crusting removal were then
performed. On day 8, her post-operative histopathologic finding revealed
eosinophil-dominated polyp.

Figure 8. Endoscopic examination post-operatively (day 3)

186
Discussion
Chronic rhinosinusitis is defined as inflammation of the nose and the
paranasal sinuses characterized by two or more symptoms, one of which should
be either nasal blockage or obstruction or congestion or nasal discharge
(anterior, posterior nasal drip), with facial pain or pressure with reduction or loss
of smell sensation and either endoscopic signs of nasal polyps and or
mucopurulent discharge primarily from the middle meatus and/or edema or
mucosal obstruction primarily in middle meatus, and/or CT scan showing
mucosal changes within the osteomeatal complex and/or sinuses. Diagnosis of
CRS requires the presence of at least 2 important symptoms for at least 12
weeks, plus objective documentation of sinus inflammation with endoscopy or
CT scan (Fokkens, et al., 2012).
Antrochoanal polyps in children occur at a higher rate than in the adult
population, reported to represent one third of all nasal polyps in children.
Although some noted a slight male preponderance (male-female ratio = 1.2 : 1),
others have noted a female preponderance (Al-Mazrou, Bukhari and Al-Fayez,
2009).
Various pathogenic mechanisms have been proposed to explain the
development of antrochoanal polyp, however, the cause is still largely unknown
and a topic of major debate (Eladl and Elmorsy, 2011). Chronic sinusitis, allergy,
cystic fibrosis and aspirin-sensitive asthma triad have been implicated (Yaman,
et al., 2010; Mandour, 2017). Lee and Huang determined that 65% of the
patients with antrochoanal polyp had chronic sinusitis. Antrochoanal polyp, which
could develop from an expanding intramural cyst in the maxillary sinus, may
result in maxillary sinusitis and ostiomeatal complex disease when the polyp
expands to impede the maxillary sinus ostium or hinder the mucociliary function
of the sinus mucosa. Chronic maxillary sinusitis, instead of being the cause of
antrochoanal polyp, could be the result of an obstruction of the maxillary sinus
ostium by antrochoanal polyp (Yaman, et al., 2010).
Some authors have found a statistically significant association of
antrochoanal polyp with allergic diseases. Cook, et al. reported allergic rhinitis in
approximately 70% of their patients with antrochoanal polyp. Similarly, Chen, et
al. detected that allergic disease plays a significant role in antrochoanal polyp
(Yaman, et al., 2010). In their review of antrochoanal polyp in the pediatric
187
population, Chen and his colleagues reported that 50% of the patients in their
series had allergic diatheses (Al-Mazrou, Bukhari and Al-Fayez, 2009).
Interestingly, familial type was reported. Children have unique clinical and
pathological features compared to adults, as allergic antrochoanal polyp was
more common than inflammatory antrochoanal polyp in children (2.8 : 1) as
compared to adults (Eladl and Elmorsy, 2011).
Taking a careful history, a complete physical examination, nasal
endoscopy and radiological examinations are necessary for diagnosing and
planning treatment of antrochoanal polyp (Yaman, et al., 2010). The more
common manifestation of ACP is unilateral nasal obstruction, but may
sometimes be (20-25% of cases) bilateral, depending upon the blockage of the
nasopharynx. Other clinical manifestations are rhinorrhoea, bleeding, snoring,
foreign body sensation, halitosis, headache, post nasal drip and loss of sense of
smell. There are occasional reports of cases starting with epistaxis, dyspnoea,
with extension to the mouth producing dysphagia and speech disorders,
obstructive sleep apnoea and cachexia (Frosini, Picarella and De Campora,
2009; Chmielik, Ryczer and Chmielik, 2011).
In our case, the patient was a 7-year old girl complaining nasal stuffiness
for the past 2 years. Other symptoms like colored-nasal discharge, headache,
facial pain, and the sensation of mucous accumulation dripping downward from
the back of nose to throat were also encountered from this patient. Her mother
notified that her daughter tended to sneeze repeatedly during the night and early
morning or during cold- and dust-exposures suggesting an allergic disease.
Anterior rhinoscopy usually reveals an intranasal polypoidal mass. A
larger polyp may extend into the nasopharynx and the polyp may be seen by
posterior rhinoscopy or in the mouth. Nasal endoscopy and CT are the main
diagnostic techniques. Antrochoanal polyp typically appears as a smooth, bluish
or yellowish mass on nasal endoscopy. On CT scan, it is seen as a soft tissue
mass (hypodense mass) that occupy the opacified maxillary sinus and extend
through the natural or accessory maxillary ostium into the nasal cavity between
the middle turbinate and the lateral nasal wall without bone erosion or expansion,
and they may extend posteriorly toward the choana into the nasopharynx. In
some case series, CT scanning revealed bilateral maxillary sinus involvement
(Al-Mazrou, Bukhari and Al-Fayez, 2009; Yaman, et al., 2010).
188
In our case, her anterior rhinoscopy showed a gray-white, smooth-
surfaced, gigantic soft mass occupying the right nostril. CT scan of her paranasal
sinuses revealed soft tissue mass in her right nasal cavity extending to the
choana and nasopharynx accompanied by the opacification of both maxillary,
ethmoid, sphenoid sinuses, and right frontal sinus. However, nasoendoscopy
was unable to be carried out due to her uncooperative behaviour.
Surgery is the only feasible option for treatment of antrochoanal polyp.
Several surgical techniques have been described in the literature. Functional
endoscopic sinus surgery (FESS) is, currently, the gold standard technique. As
compared to conventional technique, the endoscopic approach proves to be
superior. This technique consists of resection of the nasal part of the polyp and
its cystic antral part with its attachment to the maxillary wall via the middle
meatus. Identifying and removing the origin of the polyp in the maxillary antrum
together with the main bulk of the polyp, are cornerstones to successful
treatment of antrochoanal polyp (Frosini, Picarella and De Campora, 2009; Eladl
and Elmorsy, 2011; El-Sharkawy, 2013). Complete removal of the antrochoanal
polyp is necessary to decrease recurrence rates (Al-Mazrou, Bukhari and Al-
Fayez, 2009).
In our case, polypectomy with Functional Endoscopic Sinus Surgery
(FESS) under general anesthesia was performed. The antrochoanal polyp was
extracted by forceps through clamping its stalk, pulling it out slowly with right-to-
left swing and rotational movement until the whole mass was fully removed.
Histologically, there is essentially no difference between antrochoanal
polyp and inflammatory nasal polyp. Significant association between
antrochoanal polyp and allergy status was found in 33 cases, confirmed by
history and by in vivo/in vitro diagnostic tests. Histopathological specimens
revealed that allergic polyps (abundant eosinophils) were significantly more
common than inflammatory polyps (abundant neutrophils) among children (2.8 :
1). While in adults, inflammatory polyps were more common than allergic polyps
(0.8 : 1) (Al-Mazrou, Bukhari and Al-Fayez, 2009). In our case, post-operative
histopathologic finding of this patient revealed eosinophil-dominated polyp.

189
Conclusion
We report a case of pediatric chronic rhinosinusitis with antrochoanal
polyp managed by polypectomy with functional endoscopic sinus surgery and the
outcome is favourable.

190
References

Al-Mazrou, K.A., Bukhari, M. and Al-Fayez, A.I. 2009. Characteristics of


Antrochoanal Polyps in the Pediatric Age Group. Ann Thorac Med,
4(3), pp.133-6.

Chmielik, L.P., Ryczer, T. and Chmielik, M. 2011. The Clinical Analysis of


Antrochoanal Polyps in Children. New Medicine, 4, pp.111-2.

Eladl, H.M. and Elmorsy, S.M. 2011. Endoscopic Surgery in Pediatric


Recurrent Antrochoanal Polyp, Rule of Wide Ostium. International
Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, 75, pp.1372-5.

El-Sharkawy, A.A. 2013. Endoscopic Management of Paediatric


Antrochoanal Polyp: Our Experience. Acta Otorhinolaryngologica
Italica, 33, pp.107-11.

Fokkens, W.J., Lund, V.J., Mullol, J., Bachert, C., Alobid, I., Baroody, F.,
Cohen, N., Cervin, A., Douglas, R., Gevaert, P., Georgalas, C.,
Goossens, H., Harvey, R., Hellings, P., Hopkins, C., Jones, N., Joos,
G., Kalogjera, L., Kern, B., Kowalski, M., Price, D., Riechelmann, H.,
Schlosser, R., Senior, B., Thomas, M., Toskala, E., Voegels, R.,
Wang de, Y. and Wormald, P.J. 2012. EPOS 2012: European position
paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. A summary for
otorhinolaryngologists. Rhinology, 50(1), pp.1-12.

Frosini, P., Picarella, G. and De Campora, E. 2009. Antrochoanal Polyp:


Analysis of 200 Cases. Acta Otorhinolaryngologica Italica, 29, pp.21-
6.

Mandour, Z.M. 2017. Antrochoanal Polyp in Pediatric Age Group.


Egyptian Journal of Ear, Nose, Throat and Allied Sciences, 18, pp.17-
21.

Poachanukoon, O., Nanthapisal, S. and Chaumrattanakul, U. 2012.


Pediatric Acute and Chronic Rhinosinusitis: Comparison of Clinical
Characteristics and Outcome of Treatment. Asian Pac J Allergy
Immunol, 30(2), pp.146-51.

Ramadan, H.H. 2011. Chronic Rhinosinusitis in Children. International


Journal of Pediatrics, 2012, pp.1-5.

Yaman, H., Yilmaz, S., Karali, E., Guclu, E. and Ozturk, O. 2010.
Evaluation and Management of Antrochoanal Polyps. Clinical and
Experimental Otorhinolaryngology, 3(2), pp.110-4.

191
192
TYMPANOMASTOIDECTOMY:
THE MANAGEMENT OF ACTIVE MUCOSAL CHRONIC OTITIS MEDIA

M. Reza, M. Pahala Hanafi Harahap

Introduction
Chronic suppurative otitis media (CSOM) is a commonly encountered
infection of the middle ear and one of the most common diseases of the ear of all
age groups. It is a disease of the poor and a major health problem in developing
countries causing serious local damage and threatening complications. CSOM is
defined as chronic inflammation of middle ear and mastoid cavity that may
present with recurrent ear discharges or otorrhoea through a tympanic
perforation, usually classified into two types, tubotympanic (safe or benign type)
and attico-antral (unsafe or dangerous type) depending on whether the disease
process affects the pars tensa or pars flaccida of the tympanic membrane
(Viswanatha, et al., 2014).
Earlier CSOM term has now been replaced by chronic otitis media (COM)
as it can also exist without suppuration and thus it is classified as Active COM
(earlier CSOM), Inactive COM and Healed COM. With the advent of
Otomicroscopy, the older anatomical classification into tubo-tympanic and attico-
antral types has also been replaced by mucosal COM and squamous COM,
respectively. The earlier denomination of safe and unsafe type is also considered
obsolete as complications can occur in any type of COM (Viswanatha, et al.,
2014).
Based on the presence or absence of cholesteatoma, COM is also
classified as noncholesteatomatous or cholesteatomatous. The term chronic
noncholesteatomatous disease is applied here to encompass 3 types of chronic
otitis media (COM): active mucosal COM, inactive mucosal (dry tympanic
perforation or quiescent COM), and inactive squamous (tympanic retraction or
atelectasis) (Trinidade, Page and Dornhoffer, 2016).
Active and inactive mucosal COM are considered part of a spectrum of
otomastoiditis due to the anatomical connection of the middle ear cleft with the
mastoid air cell system. This concept is supported by histopathological evidence
that diseased mucosa, osteitis, and micro-abscess formation are commonly

193
observed in temporal bone specimens that have been severely affected by
chronic ear disease in life. Phenomena such as granulation tissues and air cell
effusions are regularly encountered as well. Radiologically, severely diseased
chronic ears frequently demonstrate evidence of diffuse mastoid air cell
opacification and indicators of mastoiditis even when the ear has been made dry
and temporarily stable clinically. These factors have led many otologists to
perform therapeutic mastoidectomy in addition to tympanic membrane repair in
an attempt to eliminate chronic tympanomastoid infection (Trinidade, Page and
Dornhoffer, 2016).
Herein, we report a case of active mucosal COM suffered by a 26-year old
woman and managed by therapeutic mastoidectomy in addition to tympanic
membrane repair.

Case Report
A 26-year old woman presented to the outpatient clinic of ENT-HNS
Department at Haji Adam Malik General Hospital Medan on October 16, 2015,
complaining bilateral aural discharge for the past 2 weeks, exhibited as a thick,
whitish, odorless discharge. Bilateral hearing impairment and headache were
also encountered, with no dizziness reported by her. According to the history
taking, she practices swimming on a regular basis and often suffers from
common cold. The patient has also experienced similar symptoms in 2007,
urging her to seek treatment.
Otoscopy revealed a thick, whitish discharge filling her both external
auditory canals and subtotal perforation on her tympanic membranes. CT scan of
her temporal bones demonstrated the opacification and destruction in the
pneumatisation of bilateral mastoid air cells, accompanied by soft tissue mass
within, intact auditory ossicles and no visible intracranial infiltration [Fig. 1(a),
(b)]. Pure tone audiogram revealed bilateral moderate conductive hearing loss
with right ear possessed a bit better hearing threshold (50 dB) than the
contralateral one (55 dB).
We diagnosed the patient with bilateral active mucosal COM, treated by
aural toilet (3% hydrogen peroxide) and ofloxacin eardrops, combined with 500
mg/125 mg amoxicillin/clavulanic acid and 4 mg methylprednisolone orally.

194
On November 16, 2015, she represented to the outpatient clinic for follow-
up visit. Her bilateral aural discharge already decreased in quantities but not
completely dry yet. Headache and hearing impairment still persisted. She was
then scheduled for canal wall-up tympanomastoidectomy on the left ear under
general anesthesia on December 14, 2015. Her preoperative chest radiograph,
electrocardiogram, and laboratory findings were all normal.

(a)

(a)

(b)

Figure 1. CT scan of temporal bones: (a) right; (b) left, revealed the
opacification and destruction in the pneumatisation of bilateral mastoid air
cells, accompanied bysoft tissue mass within (red circles), intact auditory
ossicles, no intracranial infiltration

The patient was lied down on operating table with IV line and ETT attached.
Desinfection on the operating area (left ear) was performed with povidone iodine
and alcohol (Fig. 2). A landmark was created 0.5 cm from left retroauricular
195
sulcus, initially from helical rim to mastoid tip, followed by the infiltration along the
landmark, towards external auditory canal and within external auditory canal.
The incision was then conducted with regard to the landmark, layer by layer until
temporal muscle fascia was visibly detected (Fig. 3), followed by tangential
incision towards external auditory canal and graft was harvested from superficial
and deep temporal muscle fascia (Fig. 4).

Figure 2. Operating area Figure 3. Landmark-guided incision Figure 4. Graft


disinfection harvesting

A T-shaped incision was performed on linea temporalis to mastoid tip and


mastoid bone was released using raspatorium, exposing mastoid cortex (Fig. 5).
The skin within posterior external auditory canal was released from the wall of
external auditory canal. External auditory canal was incised and fixated by
packing strips outwards wrapping drapery.

196
Figure 5. Exposing mastoid Figure 6. Mastoid bone drilling Figure 7. Absorbable
cortex by raspatorium haemostatic gelatin
sponge insertion

Later, we performed the refreshing within the edge of perforated tympanic


membrane while creating tympanomeatal flap. Mastoidectomy was carried out by
initially identifying McEwens triangle and bone drilling afterwards (Fig. 6).
Granulation tissues were visibly detected in antrum, aditus ad antrum and attic
areas, covering incus. Granulation tissues were removed, as clean as possible,
along with infected mastoid air cells, followed by 0.9% sodium chloride irrigation.
The graft was embedded via underlay method, and absorbable haemostatic
gelatin sponge were applied to tympanic cavity and medial part of the graft (Fig.
7). Next, external auditory canal were filled with sofratulle pieces. Postoperative
wound was sutured layer by layer (Fig. 8), covered with gauze and wrapped by
elastic bandage. General condition was favourable postoperatively.
Antibiotic, steroid, analgetic, ranitidine, and antihemorrhagic were
intravenously administered for the patient. The bandage was removed on day 2
after surgery and the patient was then discharged. All therapies were replaced
with 500 mg ciprofloxacin b.i.d and 500 mg paracetamol t.i.d orally. The patient
took her first follow-up visit to the outpatient clinic on December 18, 2015 to
change her gauze (Fig. 9). On the next follow-up visit (December 22, 2015), we
performed suture removal on her postoperative wound (Fig. 10).

197
Figure 8. Wound suturing Figure 9. Gauze changing on Figure 10. Suture
1st follow-up visit removal on 2nd
follow-up visit

Her tamponade in external auditory canal was released on December 30,


2015. Otomicroscopy examination revealed clean, spacious external auditory
canal. The graft was favourably embedded, visibly seen in reddish appearance
(Fig. 11). She was then assigned a weekly follow-up visit to the outpatient clinic
while taking oral medication and ofloxacin eardrops. Her otomicroscopy
examination during next follow-up visit on January 29, 2016, demonstrated
satisfying recovery, the graft was still appropriately embedded and visibly seen in
less reddish appearance (Fig. 12). Post-operatively, her hearing impairment on
the left ear already became better than before and she did not encounter any
symptoms of aural discharge, tinnitus, headache nor dizziness and we also
found no signs of facial nerve paralysis.

198
Figure 11. Otomicroscopic appearance of graft Figure 12. Otomicroscopic
on 3rd follow-up visit appearance of graft
on 4th follow-up visit

Discussion
Essentially, COM is a permanent abnormality on the tympanic
membrane following a longstanding middle ear infection emanating from
previous AOM. It may be actively discharging or not, and therefore in most texts,
COM is referred to as chronic suppurative otitis media or chronic non-
suppurative otitis media. However, for reasons earlier cited, current suggestions
are that active, inactive or healed COM depending on the clinical disease
condition are the preferred terms. Pathologically, this disease entity is further
subdivided into mucosal and squamous COM based on the histologic features
of the middle ear mucosa and the edges of the perforated TM. Furthermore,
COM was previously classified as tubotympanic safe and atticoantral
unsafe based on the anatomical location of the TM perforation. Whereas
marginally located TM perforations, especially at the pars flaccida, were initially
regarded as unsafe and central perforations as safe based on their propensity
toward formation of cholesteatoma, evidence-based information has shown that
cholesteatoma could form in either condition, thereby nullifying the previous
classification (Ibekwe and Nwaorgu, 2011).
Active mucosal COM is a longstanding infection of a part or whole of
mucoperiosteal lining of middle ear cleft characterized by painless ear discharge
199
and a permanent perforation with hearing loss. A perforation becomes
permanent when its margins are covered by squamous epithelium and it does
not heal spontaneously (Gopalakrishnan and Kumar, 2012; Muhadharaty, 2016).
The most commonly isolated microorganisms associated with COM are
Pseudomonas aeruginosa and Staphylococcus aureus. P. aeruginosa has been
particularly implicated in the causation of bony necrosis and mucosal disease
(Morris, 2013).
Alabbasi, Alsaimary and Najim (2010) found that COM was most
commonly seen in infants and children (60%) with male-to-female ratio of (1.2 :
1). Lubis, et al. (2016) found that the majority of patients with COM were in the
age group of 22-31 years old (38.7%). The patient with COM is usually afebrile,
with a history of prolonged or recurrent ear discharge in active COM with varying
characteristic features of the otorrhea. Copious mucopurulent otorrhea is usually
a feature of active mucosal COM, whereas scanty, foul-smelling, and sometimes,
sanguineous varieties are seen in active squamous COM (cholesteatoma). This
may be unilateral or bilateral. Otalgia is not a common feature except in
complicated conditions. Hearing loss, of conductive type and sometimes mixed
(conductive and sensorineural), is also a common feature of COM (Ibekwe and
Nwaorgu, 2011).
In this case, the patient was a 26-year old woman presented with bilateral
aural discharge for the past 2 weeks, but she also experienced similar discharge
8 years ago and her otoscopic examination revealed a thick, whitish, odorless
discharge filling her both external auditory canals and subtotal perforation on her
tympanic membranes, suggesting an active mucosal COM. Bilateral hearing
impairment and headache were also encountered, with no dizziness reported by
her.
Appropriate views of radiological imaging (X-rays, CT scan) are essential
for the grading of the degree of disease and to provide guidance during
surgeries, where indicated. Radiologically, severely diseased chronic ears
frequently demonstrate evidence of diffuse mastoid air cell opacification and
indicators of mastoiditis even when the ear has been made dry and temporarily
stable clinically (Trinidade, Page and Dornhoffer, 2016).

200
In regards to our case, CT scan of her temporal bones demonstrated the
opacification and destruction in the pneumatisation of bilateral mastoid air cells,
accompanied by soft tissue mass within, intact auditory ossicles and no visible
intracranial infiltration.
Active mucosal COM could be managed via aural toileting and
appropriate antibiotics (topical and systemic), nasal decongestants and vitamin
supplements (vitamins C and A) to enhance healing. Once total disease
eradication and dryness is achieved, the level of function loss is assessed to
decide whether there is a need for further surgical intervention (e.g.
myringoplasty and tympanoplasty) or not (Ibekwe and Nwaorgu, 2011).
The perforation may close spontaneously in an unknown portion of cases,
but it persists in others, leading to mild to moderate hearing impairment (about a
26- to 60-dB increase in hearing thresholds). In many developing countries,
COM represents the most common cause of moderate hearing loss (40 to 60 dB)
(Morris, 2013).
Audiological investigations (pure tone audiogram) to assess the types and
levels of hearing losses are imperative as these serve as a predictor to the mode
of rehabilitation and management of choice. The principles of management entail
eradication of disease and restoration of function to as near normal as possible.
Here, treatment could be medical, surgical or both (Ibekwe and Nwaorgu, 2011).
These factors have led many otologists to perform therapeutic mastoidectomy in
addition to tympanic membrane repair in an attempt to eliminate chronic
tympanomastoid infection (Trinidade, Page and Dornhoffer, 2016)
In this case, we first treated the patient with aural toileting (3% hydrogen
peroxide) and ofloxacin eardrops, combined with 500 mg/125 mg
amoxicillin/clavulanic acid and 4 mg methylprednisolone orally. Her bilateral
aural discharge already reduced in quantities on her next follow-up visit, but
headache and hearing impairment still persisted as her pure tone audiogram
revealed bilateral moderate conductive hearing loss with right ear possessed a
bit better hearing threshold (50 dB) than the contralateral one (55 dB). Thus, we
performed canal wall-up tympanomastoidectomy on her left ear first, in order to
eliminate chronic mastoid infection as well as to improve her hearing level on left
ear.

201
An otic, or aural, polyp is a benign proliferation of chronic inflammatory
cells and granulation tissue that is usually lined with benign reactive epithelium.
These lesions arise in response to a long-standing inflammatory or infectious
process of the middle ear (Thompson, 2012). The entire specimen is usually
processed in order to rule out a concurrent cholesteatoma. Pathologic
examination will reveal a granulation-type tissue with edematous stroma and a
high density of capillaries associated with chronic inflammatory cells, including
plasma cells, lymphocytes, histiocytes, and eosinophils (Thompson, 2012).
The most prominent pathological feature of active mucosal COM is the
presence of different degrees of granulation tissues . A nodular inflammatory
lesion arises from the attic region of the middle ear mastoid cavity with consistent
stimulation of the mucous membrane. Immature connective tissues are enriched
with capillaries, which are primarily composed of compact mononuclear
phagocytes and fibroblasts. In the early stages of granulation formation,
macrophages infiltrate into tissues and release a variety of inflammatory
mediators such as platelet-derived growth factor, fibroblast growth factor,
transforming growth factor-, tumor necrosis factor (TNF) and interleukin-1
(IL-1); and further recruit and stimulate hyperplasia of fibroblasts and capillaries.
Gradually, granulation tissues become mature as indicated by the absorbed
moisture, reduction and disappearance of inflammatory cells, and capillary
occlusion or reduction; and eventually the maturity of connective tissues and
scar tissues (Wang, Cheng and Xu, 2016).
In regards to our case, following the mastoidectomy, granulation tissues
were visibly detected in antrum, aditus ad antrum and attic areas, covering incus.
Granulation tissues were then removed, as clean as possible, along with infected
mastoid air cells, followed by 0.9% sodium chloride irrigation. We sent the
granulation specimens to anatomical pathology laboratory and the
histopathologic finding revealed a tissue creating crypts among stroma with
normal nuclei and the stroma consists of fibrocollagen connective tissues,
infiltrated by lymphocytes inflammatory cells accompanied by fibrosis and
capillary proliferation with no malignancy detected, suggesting non-specific
chronic inflammatory process with fibrosis.

202
Conclusion
We report a case of active mucosal COM suffered by a 26-year old
woman and managed by therapeutic mastoidectomy in addition to tympanic
membrane repair and the outcome is favourable.

203
References

Alabbasi, A. M., Alsaimary, I. E. and Najim, J. M. 2010. Prevalence and patterns


of chronic suppurative otitis media and hearing impairment in Basrah city.
Journal of Medicine and Medical Sciences, 1(4), pp.129-33.

Gopalakrishnan and Kumar, 2012. A study on chronic otitis media active


mucosal type with sinusitis as focal sepsis. Otolaryngology Online Journal,
2(4), pp.1-11.

Ibekwe, T. S. and Nwaorgu, O. G. B. 2011. Classification and management


challenges of otitis media in a resource-poor country. Nigerian Journal of
Clinical Practice, 14(3), pp.262-9.

Lubis, Y. M., Dharma, A., Chaidir, Z., Refilda, Fachrial, E. 2016. Profile of chronic
suppurative otitis media patients with positive fungal culture in Medan,
Indonesia. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research, 8(1), pp.23-
6.

Muhadharaty. 2016. Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM). [online] Available


at: <https://www.muhadharaty.com/files/lectures/007/file6588.pdf>
[Accessed 10 June 2017].

Morris, P. 2013. Chronic Suppurative Otitis Media. American Family Physician,


88(10), pp.694-6.

Thompson, L. D. R. 2012. Otic Polyp. Ear Nose Throat Journal, 91(11), pp.474-
5.

Trinidade, A., Page, J. C. and Dornhoffer, J. L. 2016. Therapeutic


Mastoidectomy in the Management of Noncholesteatomatous Chronic Otitis
Media: Literature Review and Cost Analysis. Otolaryngology-Head and
Neck Surgery, 155(6), pp.914-22.

Viswanatha, B., Durganna, S., Ravikumar, R., Vijayashree, M. S. and Vincent, P.


2014. Bacteriology of Active Squamous Type of Chronic Otitis Media with
Complications. Research in Otolaryngology, 3(2), pp.9-15.

Wang, B., Cheng, Y. and Xu, M. 2016. Characterization of the T-cell


subpopulations in the granulation tissues of chronic suppurative otitis
media. Biomedical Reports, 4, pp.694-8.

204

Anda mungkin juga menyukai