Anda di halaman 1dari 17

Referat

PENYAKIT ANTRAKOSIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF IlmuKesehatan Masyarakat FakultasKedokteran
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Disusun oleh :
Khaziatun Nur
1807101030059

Dokter Pembimbing:
dr. Liza Salawati, M.Kes, FISPH,FISCM

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan referat
yang berjudul “Penyakit Antrakosis ”. Shalawat beriring salam penulis
sampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW atas semangat perjuangan dan
panutan bagi umatnya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Liza Salawati, M.Kes,
FISPH,FISCM yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan
bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini. Referat ini diajukan sebagai salah satu
tugas dalam menjalankan kepaniteraan klinik senior pada bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran
dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan kami terima dengan
tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa
mendatang.

Banda Aceh, Nov 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 6
A. Antrakosis ..................................................................... 6
B. Riwayat Alamiah Penyakit ............................................ 7
C. Pencegahan .................................................................... 9
D. Dignosis ........................................................................ 15
E. Pengobatan .................................................................... 15
BAB III KESIMPULAN........................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 17
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Antrakosis adalah penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh debu


batubara. Penyakit ini biasanya dijumpai pada pekerja-pekerja tambang batubara
atau pada pekerja yang banyak melibatkan penggunaan batubara, seperti
pengumpa batubara pada tanur besi, lokomotif (stoker) dan juga pada kapal laut
bertenaga batubara, serta pekerja boiler pada pusat listrik Tenaga Uap berbahan
bakar batubara.1
Penyakit paru dan pernafasan merupakan penyakit yang sering dijumpai di
tempat kerja. 8% kasus kematian terkain kerja diseluruh dunia. Banyaknya kasus
penyakit paru-paru dipengaruhi oleh mudah masuknya bahan berbahaya yang
berukuran sangat kecil kedalam rongga pernapasan. Penting penanganan penyakit
paru diakui dunia melalui NIOSH pada tahun 1983 dan 1990 yang menyatakan
bahwa penyakit paru akibat kerja termasuk penyakit akibat kerja ( Occupational
Diseases ), ILO pada tahun 2003 menyertakan penyakit paru akibat kerja dalam
Major Occupational Illnesses, dan pada daftar penyakit akibat kerja ILO.1,2
Pemerintah indonesia dalam keputusan Presiden RI No.22 tahun 1993
mengakui kehadiran penyakit paru akibat kerja yaitu dengan menyertakan
penyakit paru ke dalam penyakit akibat kerja ( occuparional Diseases). Berbagai
macam penyakit yang timbul akibat kerja, Organ paru dan saluran nafas
merupakan organ dan sistem tubuh yang paling banyak terkena oleh pajanan yang
berbahaya di tempat kerja. Penyakit paru akibat kerja merupakan penyakit atau
kelainan paru yang terjadi akibat terhirupnya pratikel, kabut, uap atau gas yang
berbahaya saat seseorang sedang bekerja.2
Penyakit saluran napas ditemukan secara luas dan berhubungan dengan
pajanan tertentu, misalnya debu. Hubungan antara pajanan debu batubara dengan
resiko terkena penyakit paru pada pekerja diketahui mulai tahun 1800an yang
disebut miner’s asthma (asma pekerja tambang), miner’s black lung atau
antrakosis. Hal itu terjadi karena pembakaran batu bara atau debu batubara
mengandung bahan kimia yang dapat mengakibatkan terjadinya penyakit pada
paru. Penyakit tersebut banyak muncul pada pekerja atau masyarakat yang berada
dilokasi tambang batubara, atau di kawasan yang dilalui pengangkut batubara,
karena menghirup debu batubara secara terus- menerus. 4 Data di Australia pada
tahun 1979- 2002 terdapat 6% pneumokoniosis batubara. Prevalensi
pneumokoniosis batubara di berbagai pertambangan di Amerika Serikat dan
Inggris bervariasi (2,4-30%) tergantung besarnya kandungan batubara pada daerah
pertambangan tersebut.2
Kemajuan dalam bidang industri sampai sekarang telah menghasilkan
sekitar 70.000 jenis bahan berupa logam, kimia, pelarut, plastik, karet,
pestisida, gas, dan sebagainya yang digunakan secara umum dalam kehidupan
sehari-harian memberikan kenyaman dan kemudahan bagi penduduk di seluruh
dunia. Namun di lain pihak, bahan-bahan tersebut menimbulkan berbagai dampak
seperti cedera dan penyakit. Cedera akibat kerja dapat bersifat ergonomik,
ortopedik, fisik, mengenai mata, telinga dan lainnya. Penyakit-penyakit akibat
pajanan dilingkungan kerja dapat berupa toksik, infeksi, kanker, gangguan hati,
saraf, alat reproduksi, kardiovaskular, kulit dan saluran napas.2
Ratusan juta tenaga kerja di seluruh dunia saat ini bekerja pada kondisi
yang tidak aman dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Menurut
International Labor Organization(ILO), setiap hari terjadi 1.1 juta kematian yang
disebakan oleh karena penyakit atau kecelakaan akibat hubungan pekerjaan. Dari
ata ILO tahun 1999, penyebab kematian yang berhubungan dengan pekerjaan
paling banyak disebabkan oleh kanker 34%. Sisanya terdapat kecelakaan
sebanyak 25 %, penyakit saluran pernapasaan 21%, dan penyakit kardiovaskuler
15%. Dari data-data tersebut dapat diketahui bahwa penyakit saluran pernapasaan
menempati peringkat ketiga.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Antrakosis
Antrakosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh debu
batubara. Penyakit ini biasanya dijumpai pada pekerja-pekerja tambang batubara
atau pada pekerja-pekerja yang banyak melibatkan penggunaan batubara, seperti
pengumpa batubara pada tanur besi, lokomotif (stoker) dan juga pada kapal laut
bertenaga batubara, serta pekerja boiler pada pusat Listrik Tenaga Uap berbahan
bakar batubara. Jika pada debu batubara terkadang juga terdapat debu silikat maka
penyakit antrakosis juga sering disertai dengan penyakit silicosis. Bila hal ini
terjadi maka penyakitnya disebut silikoantrakosis.3
Penyakit antrakosis ada tiga macam, yaitu penyakit antrakosis murni,
penyakit silikoantraksosis dan penyakit tuberkolosilikoantrakosis. Sebenarnya
antara antrakosis murni dan silikoantraksosi sulit dibedakan, kecuali dari sumber
penyebabnya. Sedangkan paenyakit tuberkolosilikoantrakosis lebih mudah
dibedakan dengan kedua penyakit antrakosis lainnya. Perbedaan ini mudah dilihat
dari fotothorax yang  menunjukkan kelainan pada paru-paru akibat adanya debu
batubara dan debu silikat, serta juga adanya baksil tuberculosis yang menyerang
paru-paru. Paru-paru hitam merupakan akibat dari terhirupnya serbuk batubara
dalam jangka waktu yang lama.3,4
Paru-paru hitam simplek biasanya tidak menimbulkan gejala. Tetapi banyak
penderita yang mengalami batuk menahun dan mudah sesak nafas karena mereka
juga menderita emfisema ( karena merokok ) atau bronkitis ( karena merokok
atau terpapar polutan industri toksik lainnya). Fibrosis masif progesif yang berat
juga menyebabkan batuk dan sesak nafas.5
Gambar 1. Histopatologis paru terpapar debu batubara
B. Riwayat alamiah penyakit

Riwayat alamiah penyakit merupakan proses perkembangan suatu penyakit


tanpa adanya intervensi manusia (campur tangan medis) dengan sengaja
(Fletcher). Perkembangan penyakit mulai dari sehat, sakit, sampai akhir
perjalanan penyakit (sembuh, kronik, cacad, mati). Maka gambaran riwayat
alamiah penyakit dimulai dengan proses prepatogenesis dimana pekerja dalam
tahap pajanan, kemudian patogenesis dimana mulai terjadi kesakitan pada pekerja,
dan yang terakhir pascapatogenesis yakni hasil akhir perjalanan penyakit atau
prognosis. Berikut gambaran riwayat alamiah penyakit antrakosis :6
 Prepatogenesis
Pada tahap ini debu batu bara masih bertebaaran di udara tempat kerja yang
dimana debu batu bara ini dapat dihasilkan dari peledakan dan proses lainnya
yang ada di lingkungan kerja industri batu bara tersebut. Dengan melihat ukuran
debu maka dapat diketahui sejauh mana debu atau partikel terebut berada. Debu
atau partikel yang berukuran kurang dari 5 mikron akan tertahan di saluran nafas
bagian atas, sedangkan partikel berukuran 3 sampai 5 mikron akan tertahan pada
saluran pernapasan bagian tengah. Partikel yang berukuran lebih kecil, 1 sampai 3
mikron, akan masuk ke dalam kantung udara paru-paru, menempel pada alveoli.
Partikel yang lebih kecil lagi, kurang dari 1 mikron, akan ikut keluar saat nafas
dihembuskan. Durasi pajanan pasien terhadap debu batu bara (biasanya selama 15
tahun atau lebih).6
 Inkubasi
Masa inkubasi penyakit ini antara 2 – 4 tahun. Seperti halnya penyakit
silicosis dan juga penyakit-penyakit pneumokonisosi lainnya, penyakit antrakosis
juga ditandai dengan adanya rasa sesak napas. Pada saat pekerja menarik nafas,
udara yang mengandung partikel akan terhirup ke dalam paru-paru. Ukuran
partikel (debu) yang masuk ke dalam paru-paru akan menentukan letak
penempelan atau pengendapan partikel tersebut. Jika daya tahan tubuh tidak kuat,
tentu penyakit akan berjalan terus yang mengakibatkan terjadinya gangguan pada
bentuk dan fungsi tubuh. Pada suatu saat penyakit makin bertambah hebat,
sehingga timbul gejalanya.6,7
Garis yang membatasi antara tampak dan tidak tampaknya gejala penyakit
disebut dengan horison klinik. Pada tahap ini dapat digambarkan bahwa debu batu
bara terinhalasi akan melekat pada permukaan mukosa saluran napas (bronkiolus
respiratorius, duktus alveoralis dan alveolus) karena tempat tersebut basah
sehingga mudah ditempati debu. Pada awalnya paru memberikan respon berupa
inflamasi dan fagositosis terhadap debu batu bara oleh makrofag alveolus.6
Makrofag memfagositosis debu dan membawa partikel debu ke
bronkiolus terminalis. Di situ dengan gerakan mukosiliar debu di usahakn keluar
dari paru. Sebagian partikel diangkut ke pembuluh limfe sampai limfonodi
regional di hillus paru. Bila paparan debu banyak, dimana gerak mukosiliar sudah
tidak mampu bekerja, maka debu / partikel akan tertumpuk di permukaan mukosa
saluran napas, akibatnya partikel debu akan tersusun membentuk anyaman
kolagen dan fibrin dan akibatnya paru (saluran napas) menjadi kaku sehingga
complien paru menurun.6
Serta gambaran patofisiologi yakni patikel debu batu bara yang
terakumulasi di dalam makrofag dan limfonodus jaringan paru tadi akan
menghasilkan penampilan kehitaman pada paru yang disebut dengan penyakit
antrakosis. Pada beberapa kasus antrakosis bisa disebabkan oleh Mycobacterium
tuberkulosis.9
 Dini
Ada tiga mekanisme penimbunan debu didalam paru-paru yaitu :6
- pengaruh inersia akan timbul kelembaban dari debu itu sendiri dimana pada
saat bergerak dan melalui belokan-belokan, maka akan lebih didorong oleh
aliran udara. Pada sepanjang jalan pernapasan yang lurus akan langsung ikut
dengan aliran lurus kedalam. Sedangkan partikel-partikel yang besar kurang
sempat ikut dalam aliran udara, akan tetapi mencari tempat-tempat yang
lebih ideal untuk menempel atau mengendap seperti pada tempat lekuk-
lekuk pada selaput lender dalam saluran napas.6
- pengaruh sedimentasi terjadi di saluran-saluran pernapasan dimana
kecepatan arus udara kurang dari 1 cm/detik, sehingga partikel-partikel
tersebut melalui gaya berat dan mengendap.6
- Yang terakhir, gerakan Brown berlaku untuk debu-debu berukuran kurang
dari 0.1 mikron dimana melalui gerakan udara dan permukaan partikel debu
yang masuk ke dalam tubuh khususnya, akan mengganggu alveoli kemudian
mengendap. Tahap penyakit dini dihitung mulai dari munculnya gejala-
gejala penyakit, pada tahap ini pejamu sudah jatuh sakit tetapi sifatnya
masih ringan. Umumnya penderita masih dapat melakukan pekerjaan sehari-
hari dan karena itu sering tidak berobat. Selanjutnya, bagi yang datang
berobat umumnya tidak memerlukan perawatan, karena penyakit masih
dapat diatasi dengan berobat jalan. Tahap penyakit dini ini sering menjadi
masalah besar dalam kesehatan masyarakat, terutama jika tingkat
pendidikan penduduk rendah, karena tubuh masih kuat mereka tidak datang
berobat, yang akan mendatangkan masalah lanjutan, yaitu telah parahnya
penyakit yang di derita, sehingga saat datang berobat sering talah terlambat.
Pada tahap ini biasanya penderita yang mengalami batuk menahun dan
mudah sesak nafas karena mereka juga menderita emfisema (karena
merokok) atau bronkitis (karena merokok atau terpapar polutan industri
toksik lainnya). Fibrosis masif progresif yang berat juga menyebabkan
batuk dan sesak nafas. Seperti halnya penyakit silicosis dan juga penyakit-
penyakit pneumokonisosi lainnya, penyakit antrakosis juga ditandai dengan
adanya rasa sesak napas dan batuk nonproduktif. Maka dapat dilakukan
penegakan diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan rontgen dada dan tes
fungsi paru-paru berupa Anamnesis (keluhan utama sesak napas), Riwayat
pekerjaan (paparan terhadap debu batu bara), Pemeriksaan penunjang
(gambaran radiologis berupa garis-garis) opasitas di lapangan bawah paru,
perubahan dan kerusakan pada pleura.6
 Lanjut
Penyakit antrakosis murni disebabkan debu batubara. Penyakit ini
memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjadi berat, dan relatif tidak begitu
berbahaya. Penyakit antrakosis menjadi berat bila disertai dengan komplikasi atau
emphysema yang memungkinkan terjadinya kematian. Kalau terjadi emphysema
maka antrakosis murni lebih berat daripada silikoantraksosis yang relatif jarang
diikuti oleh emphysema. Apabila penyakit makin bertambah hebat, penyakit
masuk dalam tahap penyakit lanjut. Pada tahap ini penderita telah tidak dapat lagi
melakukan pekerjaan dan jika datang berobat, umumnya telah memerlukan
perawatan.6,9
 Akhir
Prognosisnya bervariasi. Penyakit sederhana dan asimtomatik ini bersifat
self-limiting (bisa sembuh tanpa banyak intervensi), tetapi bisa berkembang ke
bentuk yang disertai komplikasi. Penyakit ini dengan komplikasi bisa membuat
penderitanya mengalami ketidakmampuan yang menyebabkan gagal napas berat
dan gagal jantung sisi kanan yang muncul setelah hipertensi pulmoner. Pada
beberapa antrakosis ditemukan limfonodi mediastinum mirip seperti tuberculosis
limfadenitis atau karsinoma.6
C. Pencegahan
Menurut Keputusan Presiden Nomor  22 tahun 1993 tertanggal 27 Februari
1993 pasal 2 Keputusan Presiden tersebut menyatakan bahwa mereka yang
menderita penyakit yang timbul karena hubungan kerja berhak memperoleh
jaminan kecelakaan kerja. Keputusan Presiden tersebut merujuk kepada Undang-
Undang RI No 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang pasal 1
nya menyatakan bahwa  kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi
berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yg timbul karena hub kerja,
demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah
menuju tempat kerja, dan pulang kerumah melalui jalan yg biasa atau wajar
dilalui. Dalam rangka pencegahan Penyakit Paru akibat Kerja diperlukan kerja-
sama sinergis antara tenaga kerja, Departemen K3, dokter perusahaan dan pihak
manajemen perusahaan. Kegiatan pencegahan meliputi kegiatan:9
1. Penerapan peraturan perundangan yang berlaku
Upaya perlindungan dan pencegahan terhadap akibat yang merugikan perusahaan
maupun tenaga kerja melalui penerapan Standart Operating Procedure ( SOP ),
Petunjuk dan cara kerja berdasar norma kerja berdasar Undang-undang dan
peraturan K3 yang berlaku seperti Nilai Ambang Batas Faktor Kimia di tempat
kerja.9
2. Identifikasi Potensi Bahaya dan penilaian risiko
Merupakan pengenalan terhadap kondisi lingkungan kerja, pekerjaan dan
beberapa faktor lingkungan kerja yang dapat mengakibatkan timbulnya penyakit
paru akibat kerja. Hasil dari pengenalan dapat digunakan bahan dalam melakukan
analisis risiko. Kedua hal tersebut sangat penting dalam upaya pencegahan.9
3. Pengujian dan pemantauan lingkungan kerja
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapat data mengenai faktor kimia maupun
biologis. Dari kegiatan ini akan didapatkan hasil kadar potensi bahaya yang ada.9
4. Pengujian Kesehatan Tenaga Kerja & Pemantauan Biologis
Pemeriksaan kesehatan sangat perlu dalam rangka penegakan diagnosis penyakit
akibat kerja. Pemeriksaan kesehatan tersebut meliputi pemeriksaan kesehatan
awal, berkala dan khusus.9
5. Teknologi Pengendalian
Berdasarkan hirarki pengendalian mulai darieliminasi, subtitusi, engineering
control, administrasi (menghindari debu batubara pada lingkungan kerja. Pekerja
tambang batubara harus menjalani pemeriksaan foto dada tiap 4-5 tahun sehingga
penyakit ini dapat ditemukan pada stadium awal. Jika ditemukan penyakit, maka
pekerja tersebut harus dipindahkan ke daerah dimana kadar debu batubaranya
rendah, untuk menghindari terjadinya fibrosis masif progresif) dan alat pelindung
diri. Berikut contoh nya teknologi terapan dalam mencegah permasalahan debu:9
a. Filter Udara
Filter udara dimaksudkan untuk yang ikut keluar pada cerobong atau stack,
agar tidak ikut terlepas ke lingkungan sehingga hanya udara bersih yang saja
yang keluar dari cerobong. Filter udara yang dipasang ini harus secara tetap
diamati (dikontrol), kalau sudah jenuh (sudah penuh dengan abu/ debu)
harus segera diganti dengan yang baru. Jenis filter udara yang digunakan
tergantung pada sifat gas buangan yang keluar dari proses industri, apakah
berdebu banyak, apakah bersifat asam, atau bersifat alkalis dan lain
sebagainya.9
b. Pengendap Siklon
Pengendap Siklon atau Cyclone Separators adalah pengedap debu / abu
yang ikut dalam gas buangan atau udara dalam ruang pabrik yang berdebu.
Prinsip kerja pengendap siklon adalah pemanfaatan gaya sentrifugal dari
udara / gas buangan yang sengaja dihembuskan melalui tepi dinding tabung
siklon sehingga partikel yang relatif “berat” akan jatuh ke bawah. Ukuran
partikel / debu / abu yang bisa diendapkan oleh siklon adalah antara 5 u – 40
u. Makin besar ukuran debu makin cepat partikel tersebut diendapkan.
Bentuk skematis sebuah pengendap siklon .9

Gambar 2. Pengendap Siklon

c. Filter Basah
Nama lain dari filter basah adalah Scrubbers atau Wet Collectors. Prinsip
kerja filter basah adalah membersihkan udara yang kotor dengan cara
menyemprotkan air dari bagian atas alt, sedangkan udara yang kotor dari
bagian bawah alat. Pada saat udara yang berdebu kontak dengan air, maka
debu akan ikut semprotkan air turun ke bawah. Untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik dapat juga prinsip kerja pengendap siklon dan filter basah
digabungkan menjadi satu. Penggabungan kedua macam prinsip kerja
tersebut menghasilkan suatu alat penangkap debu yang dinamakan.9

Gambar 3. Scrubbers atau Wet Collectors

d.Pegendap Sistem Gravitasi


Alat pengendap ini hanya digunakan untuk membersihkan udara kotor
yang ukuran partikelnya relatif cukup besar, sekitar 50 u atau lebih. Cara
kerja alat ini sederhana sekali, yaitu dengan mengalirkan udara yang
kotor ke dalam alat yang dibuat sedemikian rupa sehingga pada waktu
terjadi perubahan kecepatan secara tiba-tiba (speed drop), zarah akan
jatuh terkumpul di bawah akibat gaya beratnya sendiri (gravitasi).
Kecepatan pengendapan tergantung pada dimensi alatnya.8,9
Gambar 4. Pengedapan Sistem Gravitasi

e. Pengendap Elektrostatik
Alat pengendap elektrostatik digunakan untuk membersihkan udara yang
kotor dalam jumlah (volume) yang relatif besar dan pengotor udaranya
adalah aerosol atau uap air. Alat ini dapat membersihkan udara secara cepat
dan udara yang keluar dari alat ini sudah relatif bersih. Alat pengendap
elektrostatik ini menggunakan arus searah (DC) yang mempunyai tegangan
antara 25 – 100 kv. Alat pengendap ini berupa tabung silinder di mana
dindingnya diberi muatan positif, sedangkan di tengah ada sebuah kawat
yang merupakan pusat silinder, sejajar dinding tabung, diberi muatan
negatif. Adanya perbedaan tegangan yang cukup besar akan menimbulkan
corona discharga di daerah sekitar pusat silinder. Hal ini menyebabkan
udara kotor seolah – olah mengalami ionisasi. Kotoran udara menjadi ion
negatif sedangkan udara bersih menjadi ion positif dan masing-masing akan
menuju ke elektroda yang sesuai. Kotoran yang menjadi ion negatif akan
ditarik oleh dinding tabung sedangkan udara bersih akan berada di tengah-
tengah silinder dan kemudian terhembus keluar. 8,9
Gambar 5. Pengendap Elektrostatik
D. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan rotgen dada dan tes
fungsing paru.8
E. Pengobatan
Tidak ada pengobatan yang khusus untuk penyakit ini, selain untuk mengobati
komplikasi lainnya (gagal jantung kanan atau tuberkulosis paru ). Jika terjadi
gangguan pernafasan, maka diberikan bronkodilator dan ekspektoran. Dianjukan
untuk menghindari pemaparan lebih lanjut.8
BAB III
KESIMPULAN

Pekerja pada pertambangan batubara sebagian kecil dapat saja terkena


penyakit silikosis, tetapi lebih besar kemungkinannya menderita penyakit
antrakosis. Antrakosis mungkin ditemukan dalam 3 gambaran klinis, yaitu
antrakosis murni, silikoantrakosis, dan tubersilikoantrakosis. Klinis perjalanan
penyakit antrakosis mungkin berlangsung tahunan.
Kadang penderita tidak memperlihatkan gejala, walaupun gambaran rontgen
paru menunjukkan adanya kelainan. Untuk waktu yang lama gejala yang sangat
kelihatan kedepan hanya sesak nafas. Seringkali penderita batuk dengan
mengeluarkan dahak berwarna kehitaman, gejala tersebut disebut melanoptisis
yang dapat terjadi tahunan.
Penderita antrakosis memiliki gambaran histopatologis yang khas yaitu
seperti adanya akumulasi pigmen karbon serta debu yang tampak sebagai flek
hitam di bidang sayatan organ paru. Perubahan lain yang tampak selain adanya
flek hitam, secara mikroskopis terlihat juga emfisema, kongesti, edema, fibrosis,
hiperemi, serta hemoragi.
DAFTAR PURSTAKA

1. Noor, 2010, pengantar Epidemiologi penyakit menular, Jakarta, PT. Rineka


Cipta.
2. Bustan 2015, Epidemiologi Penyakit Tidak menular, Jakarta, PT.Rineka
Cipta.
3. Notoatmojo,2009, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar,
Jakarta, PT. Rineka Cipta.
4. Entjang, 2013, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti.
5. Amareh, M.F., M.R. Lashkarizadeh, A.H. Kardoost, and M. Shokoohi.
2010. Bronchial anthracosis and pulmonary tuberculosis. National
Research Institute of Tuberculosis and Lung Disease. 9(2):21-25..
6. Juwono, Sugeng. Riwayat Alamiah, Spektrum, Rantai Infeksi dan Kejadian
Epidemik penyakit.2011.
7. Lalusu, Yusnita Erni. Pengantar Epidemioligi. 2011.
8. Darmawan A. 2013. Penyakit Sistem Respirasi Akibat Kerja. Bagian Ilmu
Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Dan ilmu Kesehatan
Universitas Jambi. JMJ, Volume 1, Mei 2013, Hal:68-83.
9. Sholihah, Q. dan M.A. Widodo. 2008. Pembentukan radikal bebas akibat
gangguan ritme sirkadian dan paparan debu batubara. J. Kesehatan
Lingkungan. 4(2): 89-100.

Anda mungkin juga menyukai