Anda di halaman 1dari 14

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN Desember 2018

HIPERSENSITIVITAS TIPE IV

Oleh :

Dhiyaul Athifah M.Jasri


C014172087

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................
DAFTAR ISI ................................................................................................. 1
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi ........................................................................................ 3
B. Klasifikasi hipersensitivitas ......................................................... 3
C. Etiopatogenesis hipersensitivitas tipe 4 ....................................... 4
D. Manifestasi Klinis hipersensitivitas tipe 4 ................................... 8
2.5 Diagnosis hipersensitivitas tipe 4 ................................................ 11
BAB III KESIMPULAN .............................................................................. 12
DAFTAR PUSTKA ...................................................................................... 13

1
BAB 1

PENDAHULUAN

Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik merupakan mekanisme


yang dipergunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai
perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam
lingkungan hidup. Imunitas merupakan semua mekanisme fisiologis yang
membantu untuk mengenal benda asing (self/non-self), menetralkan dan
mengeliminasi benda asing, memetabolisme benda asing tanpa menimbulkan
kerusakan jaringan sendiri. Sistem imun memliki beberapa fungsi bagi tubuh
diantaranya sebagai homeostatis untuk mempertahankan keseragaman dari jenis
sel tertentu untuk memenuhi segala kebutuhan umum organismemultiseluler.
Kemudian fungsi pengawasan untuk memonitor pengenalan sel-sel abnormal
(mutan). Serta sebagai proteksi dari invasi mikroorganisme dan bendah asing
lainnya yang dapat membahyakan tubuh. Secara umum, respon imun ini
membrikan banyak keuntungan bagi tubuh. tetapi pada keadaan tertentu dimana
terjadi ketidakseimbangan respon imun dalam menanggapi suatu bahay bagi
tubuh, maka akan memnyebabkan suatu kelainan. salah satunya adalah
hipersensitivitas.
Hipersensitivitas adalah peningkitan reaktivasi atau sesnsitivitas terhadap
antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas
terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai
cara. Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah sama
dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Definisi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah peningkitan reaktivasi atau sesnsitivitas terhadap
antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi
hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat
dibagi menurut berbagai cara.

B. Klasifikasi Hipersensitivitas
Ada beberapa kalsifikasi/pembagian reaksi hipersensitivitas, yaitu menurut
waktu timbulnya dan menurut gell dan coombs
 Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi
 Reaksi Cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam.
Ikatan silang anatar alergen dengan IgE pada permukaan sel mast
menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat
berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal
 Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam
24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan
kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen dan atau sel natural
killer/antibody dependent cell (mediated) cytotoxicity. Manifestasi reaksi
intermediet dapat berupa:
i. Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik
autoimun.
ii. Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness,
vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, artritis rheumatoid dan LES
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang
disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK.
 Reaksi lambat

3
Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan
dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH (delayed type
hipersensitivity), sitokin yang dilepaskan sel T mengaktifkan sel efektor
mekrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat
adalah dermatitis kontak, reaksi M. tuberkulosis dan reaksi penolakan
tandur.
 Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs
Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH gel (1963)
dibagi dalam 4 tipe reaksi.

C. Etiopatogenesis Hipersensitivitas Tipe 4


Baik CD4+ maupun CD8+ berperan dalam reaksi tipe IV. Sel T melepas
sitokin, bersama dengan produksi sel mediator sitotoksik lainnya menimbulkan

4
respon inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat.
Contohnya dermatitis kontak yang diinduksi oleh neomisin, anestesi lokal,
antihistamin topikal dan steroid topikal.
Dewasa ini reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi menjadi DTH
yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell mediated cytolisys yang terjadi
melalui sel CD8+.

 Delayed type hipersensitivity tipe IV


Reaksi tipe Iv merupakan hipersensitivitas granulomatosis. Biasanya
terjadi terhadap bahan yang tidak dapat disingkirkan dari rongga tubuh
seperti talkum dalam rongga peritoneum dan kolagen sapi dari bawah kulit.
Ada beberapa fase pada respon tipe IV yang dimulai dengan fase sensitisasi
yang membutuhkan 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen.
Dalam fase itu, Th diaktifkan oleh APC melalui MHC-II.
Reaksi khas DTH seperti respon imun lainnya mempunyai 2 fase yang
dapat dibedakan yatitu fase sensitisasi dan fase efektor.
Berbagai APC seperti sel Langerhans (SD kulit) dan makrofag yang
menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk
dipresentasikan ke sel T. Sel T diaktifkan pada umumnya adalah sel CD4+
terutama Th1, tetapi pada beberpa waktu sel CD8+ dapat juga diaktifkan.
Pajanan ulang dengan antigen menginduksi sel efektor.

5
Pada fase efektor, sel Th1 melepas berbagai sitokin yang
mengerahkan dan mengaktifkan makrofag dan sel inflamasi nonspesifik
lainnya. Gejala biasanya muncul 24 jam sesudah kontak kedua dengan
antigen. Makrofag merupakan efektor utama respon DTH. Sitokin yang
dilepas sel Th1 menginduksi monosit menempel ke endotel vaskular ,
bermigrasi dari sirkulasi darah ke jeringan sekitar.
Influks makrofag yang diaktifkan berperan pada DTH terhadap parasit
dan bakteri intraselular yang tidak dapat ditemukan oleh antibodi. Enzim
litik yang dilepas makrofag menimbulkan destruksi nonspesifik patoge
intraselular yang hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan. Pada
beberapa hal, antigen tidak mudah dibersihkan sehingga respon DTH
memanjang dan dapat merusak jaringa pejamu dan menimbulkan reaksi
granuloma. Granuloma terbentuk bila makrofag terus-menerus diaktifkan
dan menempel satu dengan lainnya yang kadang berfusi membentuk sel
datia multinuklear yang disebut sel datia. Sel datia tersebut mendorong
jaringan normal dari tempatnya, membentuk nodul yang dapat diraba dan
melepas sejumlah besar enzim litik yang merusak jaringa sekitar. Pembuluh
darah dapat dirusak dan menimbulkan nekrosis jaringan
Respon terharap M. tuberkulosis merupakan repon DTH yang bermata
dua. Imunitas terhadap M. tuberkulosis menimbulkan respon DTH yang
mengaktifkan makrofag untuk memasang batasan kuman dari paru, kuman
diisolasi dalam lesi granuloma yang disebut tuberkel. Enzim litik yang
sering dilepas makrofag yang diaktifkan dalam tuberkel merusak jaringan
paru sehingga terjadi kerusakan jaringan yang lebih besar dibanding
keunungan yang diperoleh dari DTH. Granuloma terbentuk pada
tuberkulosis, lepra, skistosomiasis, lesmaniasis dan sarkoidosis.

6
 Sitokin yang berperan pada DTH
Diantara sitokin yanh diproduksi, sel Th1 berperan dalam menarik dan
mengaktifkan makrofag ke tempat infeksi. IL-3 dan GM-CSF (Granulocyte
monocyte colony stimulating factor) menginduksi hematopoiesis lokal dari
sel garis granulosit-monosit. IFN- dan TNF- beserta sitokin asal makrofag
(TNF- dan IL-1) memacu sel endotel untuk menginduksi sejumlah
perubahan yang memudahkan extravasasi sel seperti monosit dan sel
nonspesifik lainnya. Neutrofil dan monosit dalam sirkulasi menempel pada
molekul adhesi sel endotel dan bergerak kerluar dari vaskular menuju
rongga jaringan. Neutrofil tampak dini pada reaksi, memuncak pada 6 jam.
Infiltrasi monosit terjadi antara 24-48 jam setelah pajanan dengan antigen.

7
Monosit yang masuk jaringan menjadi makrofag yang ditarik ke tempat
DTH oleh kemokin seperti MCP-1 (Monocyte chemoattractant protein).
MIF (Macrofag inhibiting factor) mencegah makrofag untuk bermigrasi
keluar dari lokasi reaksi DTH.
IFN- dan TNF- yang diproduksi oleh CD4+ Th1 mengaktifkan
makrofag lebih aktif berperan sel efektor dan sebagai APC yang melepas
IL-12. Yang pada akhirnya menginduksi Th1 dan lebih efektif memproduksi
IFN- yang menekan aktivitas sel Th2 dan mengaktifkan makrofag yang
menginduksi inflamasi. Pada DTH, kerusakan jaringan disebabkan oleh
produk makrofag yang diaktifkan seperti enzim hidrolitik, oksigen reaksi
intermediet, oksida nitrat dan sitokin proinflamasi. IL-18 adalah sitokin lain
yang diproduksi makrofag yang bersama IL-12 memacu Th1 untuk lebih
banyak memproduksi IFN-. Respon yang sifatnya menetap itu merupakan
pisau bermata dua anatar respon proteksi yang menguntungkan dan respon
yang merusak yang ditandai kerusakan jaringan.

D. Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe 4


 Dermatitis kontak
Dermatitis kontak adalah penyakit CD4+ yang dapat terjadi akibat
kontak dengan bahan yang tidak berbahaya, merupakan contoh reaksi
DTH. Kontak dengan bahan seperti formaldehid, nikel, berbagai bahan
aktif dalam cat rambut yang menimbulkan dermatitis kontak melalui sel
Th1.

8
 Hipersensitivitas tuberkulin
Hipersensitivitas tuberkulin adalah bentuk alergial bakterial spesifik
terhadap produk filtrat biakan M.tuberkulosis yang bila disuntikkan ke
kulit, akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat tipe IV. Yang
berperan dalam reaksi ini adalah sel limfosit CD4+ T. Setelah suntikan
extrakutan elstrak tuberkulin atau derivat protein (PPD), daerah kemerahan
dan indurasi timbul ditempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu
yang pernah kontak dengan M.tuberkulosis, kulit bengkak terjadi pada hari
ke 7-10 pasca induksi. Reaksi dapat dipindahkan melalui sel T.

9
 Reaksi jones mote
Reaksi jones mote merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV
terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil
mencolok di kulit di bawah dermis. Reaksi juga disebut rekais
hipersensitivitas kutan. Dibandingkan dengan hipersensitivitas IV lainnya,
reaksi ini adalah lemah dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan
protein dalam jumlah kecil. Tidak terjadi nekrosis dan reaksi dapat
diinduksi dengan suntikan antigen larut seperti ovalbumin dengan ajuvan
Freund.
 T cell mediated cytolisis (penyakit CD8+)
Dalam T cell mediated cytolisys, keruskan terjadi melalui sel
CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit yang
ditimbulkan hipersensitivitas seluler cenderung terbatas kepada beberapa
organ saja dan biasanya tidak sistemik. Pada penyakit virus hepatitis, virus
sendiri tidak sitopatik, tetapi kerusakan ditimbulkan oleh respon CTL
terhadap hepatosit yang terinfeksi.

Sel CD8+ yang spesifik untuk antigen atau sel autologus dapat
membunuh sel secara langsung. Pada banyak penyakit autoimun yang
terjadi melalui mekansme seluler, biasanya ditemukan baii sel CD4+
maupun CD8+ spesifik untuk self-antigen dan kedua jenis sel tersebut
dapat menimbulkan kerusakan.

10
E. Diagnosis Hipersensitivitas tipe 4
Banyak zat, baik yang alami maupun yang diproduksi, menyebabkan
peradangan ketika dimasukkan ke dalam jaringan hidup. Beberapa senyawa
menyebabkan reaksi inflamasi lokal pada semua individu yang terpapar dan
sering disebut reaksi toksik atau iritan. Pengujian kulit dengan senyawa lain
menyebabkan respons peradangan pada sejumlah kecil subjek. Reaksi-reaksi
yang terjadi berdasarkan respons imun spesifik disebut reaksi hipersensitivitas,
dan individu yang merespons dikatakan hipersensitif terhadap antigen itu.
Pengujian kulit intradermal dapat menginduksi empat atau lebih jenis
reaksi hipersensitivitas kulit pada manusia:
1. reaksi whare and flare langsung yang terkait dengan keberadaan
imunoglobulin E (IgE) antigen spesifik pada kulit
2. reaksi fase akhir yang dimediasi IgE yang mengikuti wheal dan flare,
dimulai beberapa jam setelah injeksi, dan memuncak pada 12 hingga 24
jam
3. reaksi vaskulitis lokal memuncak pada 12 hingga 24 jam yang dihasilkan
dari interaksi antibodi pelengkap komplemen dan antigen di tempat injeksi
(reaksi Arthus); dan
4. reaksi hipersensitivitas tertunda limfosit dan macrophage-dependent.
Eritema dan indurasi pada titik injeksi mencapai 48 jam setelah injeksi.
Reaksi terakhir adalah subjek dari artikel ini.

11
BAB 3

KESIMPULAN

Respon imun bagi tubuh memberikan banyak keuntungan, salah satu yang
paling penting adalah menjadi barier pertahanan dari invasi mikroorganisme dan
benda asing lainnya. Namun, apabila respon imun terjadi secara berlebihan maka
akan menimbulkan suatu hipersensitivitas atau peningkattan sensitivitas terhadap
benda asing yang mengganggu tubuh.
Hipersensitivitas menurut Gelll dan Coombs dibagi menjadi 4 tipe.
Hipersensitivitas tipe 4 adalah rekasi hipersensitivitas tipe lambat yang dimediasi
oleh sel T. Gejala klinis yang dapat timbul pada hipersensitivitas tipe 4 yaitu
dermatitis kontak,hipersensitivitas tuberkulin, reaksi jones mote, T cell mediated
cytolisis).

12
Daftar Pustaka

1. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Badan Penerbit Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. 2014.
2. Actor Jk, Ampel NM. Hypersensitivity: T Lymphocyte-mediated (Type IV).
Ensiclopedia of Life Science 2009.
3. Darwin E. Dasar Hipersesnsitivitas dan Autoimunitas. Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas.
4. Yater AB, deshazo RD. Delayed Hipersensitivity Skin Testing. Department
of Pediatrics Division of Allergy and Immunology University of Mississippi
2001. Vol. 12 No. 2.
5. David M, et al. Hipersensitivity Reaction and Methods of Detection. NCBI.
6. Pitsios C, Stefanaki EC, Helbling A. Type IV delayed-type hypersensitivity
of the respiratory tract due to budesonide use: report of two cases and a
literature review. Primary Care Respiratory Journal (2010); 19(2): 185-188.
7. Posadas SJ and Pichler WJ. Delayed drug hypersensitivity reactions – new
concepts. Clinical and Experimental Allergy2007. Vol. 37 No.7
8. Flynn JL and Chan J. Immunology of tuberculosis. Annual Review of
Immunology. 2001. Vol. 9
9. North RJ and Jung YJ. Immunity to tuberculosis. Annual Review of
Immunology 2004. Vol. 22.
10. Kumar V, Abbas AK, FaustoNand MitchellRN. Diseases of the immune
system. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N and Mitchell RNM (eds) Robbins
Basic Pathology, 8th edn, pp. 128–135. Philadelphia: Saunders.

13

Anda mungkin juga menyukai