Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN RESMI KULTUR JARINGAN

“Kultur Sel Embrio Ayam”

Disusun Oleh :
Kelompok 1
Inarotun Nufus (17030244040)
Nilam Cahya Ningrum (17030244048)
M. Wierdan Syafriliansah (17030244054)
Vira Maulida Wijaya (17030244055)

Biologi 2017 E

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kultur sel merupakan salah satu cabang dari ilmu biologi molekuler.
Kultur sel diperoleh dari sel-sel yang diambil dari jaringan asli yang diuraikan
secara enzimatis, mekanis atau disosiasi kimiawi dan dapat juga berasal dari
kultur primer (Freshney, 1994). Umumnya, teknik kultur sel dapat digunakan
untuk mempelajari perilaku sel secara in vitro(Puspitasari dkk, 2008). Kultur
sel berkaitan dengan proses yang kompleks mengenai isolasi sel dari
lingkungan aslinya (in vivo) maupun dalam kondisi lingkungan yang
dikontrol (in vitro)(Khumairoh, 2017).Pada kultur sel, sel dapat berproliferasi
dan berdiferensiasi. Proses proliferasi berhubungan dengan pertumbuhan sel,
sehingga faktor yang berperan dalam pertumbuhan utamanya nutrisi dalam
media kultur sangat diperlukan (Puspitasari dkk, 2008).
Perkembangan dalam teknologi kultur sel berkembang pesat seiring
dengan berkembangnya pembuatan media yang merupakan komponen
penting dalam kultur sel.Media yang dibutuhkan untuk sel bervariasi
tergantung pada sel yang akan dikultur (Syahidah, 2016). Sel dapat terus
membelah dan berkembang apabila media kultur dan lingkungan sesuai
dengan kondisi aslinya (Trenggono, 2009).Salah satu media yang digunakan
dalam kultur sel diantaranya adalah DMEM (Dulbecco’s Modified Eagle’s
Medium). Media DMEM ini merupakan modifikasi dari Basal Medium Eagle
(BME) yang mengandung konsentrasi tinggi asam amino dan vitamin, dan
komponen tambahan lainnya (Rohanova, et al., 2014). Media DMEM sebagai
media dasar terdiri dari vitamin, asam amino, garam, glukosa dan indikator
pH. Media DMEM tidak mengandung protein sehingga perlu ditambahkan
adanya serum sebanyak 5-10% (Djati, 2006).
Kultur sel embrio merupakan kultur yang paling sering digunakan
dalam percobaan karena memilikikemampuan tumbuh yang sangatbaik
dengandoublingtimeberkisarantara 18–24 jam,sehingga menjadiselyang
paling diminatiuntukkultursel. Kultur sel embrio dilakukan dengan proses
enzimatis menggunakan tripsin atau koleganase sebelum ditumbuhkan dalam
media kultur. Kultur sel embrio dari embrio ayam memiliki kemampuan
tumbuh dan berkembang dengan cepat (Kurniawati dkk, 2015).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan sel-sel embrio eksplan yang berasal dari
embrio ayam umur 4 hari saat diamati di bawah mikroskop inverter?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi perkembangan sel-sel embrio
eksplan yang berasal dari embrio ayam umur 4 hari saat diamati di bawah
mikroskop inverter?

C. Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perkembangan sel-sel embrio eksplan yang berasal
dari embrio ayam umur 4 hari saat diamati dibawah mikroskop inverter.
2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perkembangan sel-sel
embrio eksplan yang berasal dari embrio ayam umur 4 hari saat diamati
dibawah mikroskop inverter.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kultur Sel Hewan


Kultur jaringan merupakan pembiakan jaringan secara buatan dalam
lingkungan yang terkontrol yang bertujuan untuk mempelajari berbagai sifat
jaringan tubuh dalam kondisi yang lebih sederhana dan terkontrol di luar
tubuh (Malole, 1990). Kultur jaringan berdasarkan komposisi sel yang
ditumbuhkan dibagi ke dalam tiga jenis yaitu kultur organ, kultur eksplan
primer, dan kultur sel (Freshney, 2005). Kultur sel adalah kultur sel-sel yang
berasal dari organ atau jaringan yang telah diuraikan secara mekanis atau
enzimatis menjadi suspensi sel. Suspensi sel tersebut kemudian dibiakkan
menjadi satu lapisan jaringan (monolayer) di atas permukaan yang keras
(botol, tabung, atau cawan) atau menjadi suspensi sel dalam media penumbuh
(Malole, 1990).Kultur sel telah ditandai sebagai perubahan mayor dalam
penelitian sejak dekade terakhir karena fleksibilitas studi dan uji coba
lapangan yang diterapkan(Syahidah, 2016).
Teknik kultur sel berawal dari akhir abad-19 ketika Wilhelm Roux
berhasil mempertahankan sel hidup di pelat saraf yang berasal dari embrio
ayam dalam buffer salin selama beberapa hari. Pada tahun 1907, Ross
Granville Harrison melakukan kultur sel saraf dan mengawasi perkembangan
serat-serat saraf. Pada tahun 1910, Montrose Burrows mengadaptasi metode
hanging drop pada jaringan darah panas yaitu digunakan bekuan plasma
ayam sebagai pengganti getah bening. Kemudian bersama-sama dengan
Alexis Carrel, mereka mengkultur embrionik dan jaringan dewasa anjing,
kucing, ayam, tikus dan babi menggunakan plasma segar yang berasal dari
sumber yang sama yaitu jaringan yang dikultur. Di awal 1940 kultur sel
berkembang dengan desain dan perkembangan media kultur sintetis untuk sel
hewan dan tumbuhan. Earle memperoleh sel line pertama yang ditetapkan
yang mengandung fibroblas yang disesuaikan dengan pertumbuhan di media
kultur. Pada tahun 1956, kelompok Earle mengembangkan media bebas
protein untuk sel L , dan Eagle mengembangkan Medium Esensial dan
Dulbecco’s Modified Eagle’sMedium dengan penambahan asam amino
essensial dan non-essensial (Rodrigez-Hernandezet al., 2014).

B. Eksplan dalam Kultur Sel Hewan


Eksplan untuk kultur sel hewan dapat diperoleh secara langsung dari
jaringan hewan maupun secara tidak langsung yaitu dari koleksi kultur (cell
banks). Pemilihan sumber eksplan sel ini didasarkan pada tujuan dan metode
penelitian yang digunakan(Butler 2004).Sel dapat diisolasi dari jaringan lalu
sel dibiakkan selama berhari-hari bahkan sampai berminggu-minggu
(Khumairoh, 2017).Penumbuhan sel yang berasal dari isolasi langsung dari
jaringan memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan dengan sel yang
berasal dari koleksi kultur. Selain itu, sel lestari (cell line) yang berasal dari
koleksi kultur (cell banks) yang memiliki karakteristik yang baik dalam hal
pertumbuhan, asal, dan genetik (Butler 2004).

C. Kelebihan dan Keterbatasan Kultur Sel Hewan


Teknik kultur sel hewan tentu saja memiliki kelebihan dan
keterbatasan. Kelebihan teknik kultur sel antara lain adalah kultur yang telah
mapan melalui beberapa fase akan terdiri dari sel-sel homogen sehingga
variasi yang dihasilkan akibat pengulangan perlakuan dalam penelitian dapat
ditekan semaksimal mungkin. Selain itu, lingkungan tempat sel ditumbuhkan
dapat dikontrol melalui pengaturan pH, temperatur, osmolaritas, dan
konsentrasi gas baik gas O2 maupun gas CO2. Penelitian dengan kultur sel
juga lebih ekonomis dibandingkan penelitian dengan menggunakan hewan
coba karena hanya diperlukan sedikit reagen yang akan diuji, sedangkan
jikamenggunakan hewan coba sebagian besar reagen akan hilang melalui
ekskresi tubuh hewan (Freshney, 2005).
Keterbatasan teknik kultur sel antara lain media yang digunakan untuk
menumbuhkan kultur sel sangat cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme
seperti bakteri, kapang, dan ragi yang tingkat pertumbuhannya lebih cepat
dari sel kultur itu sendiri sehingga sangat rentan terhadap kontaminasi (Yadav
dan Tyagi, 2005). Dalam pembuatan kultur sel memerlukan keahlian dan
keterampilan khusus yang menjamin bahwa seluruh mata rantai prosedur
pembuatannya terkontrol secara aseptis. Selain itu, biaya yang dibutuhkan
untuk melakukan kultur jaringan relatif lebih mahal dibandingkan mengambil
sel dari jaringan hewan hidup karena mahalnya media untuk pertumbuhan
dan peralatan yang digunakan (Freshney, 2005).

D. Media Kultur Sel Hewan


Medium yang umum digunakan dalam kultur sel mamalia adalah
media DMEM (Dulbecco’s modified Eagle’s medium). Media DMEM ini
merupakan modifikasi dari Basal Medium Eagle (BME) yang mengandung
konsentrasi tinggi asam amino dan vitamin, dan komponen tambahan lainnya.
DMEM mengandung empat kali lebih banyak vitamin dan asam amino dari
formula asli dan dua sampai empat kali lebih banyak kandungan glukosanya.
Formula asli dari DMEM yang pertama kali dilakukan pada kultur sel
embrionik tikusadalah 1000 mg/L glukosa. Media ini berkembang semakin
jauh dengan penambahan 4500 mg/L glukosa optimal untuk penanaman tipe
sel tertentu (Rohanovaet al., 2014).
Medium DMEM merupakan medium kultur berupa buffer bikarbonat
yang didesain untuk pH 7,2-7,4 pada keadaan 5% CO2 dan 95% udara.
Nutrisi yang terkandung di dalam DMEM adalah garam-garam anorganik
(kalsium klorida, ferri nitrat, kalium klorida, magnesium sulfat, natrium
bikarbonat, natrium klorida, dan natrium phosphat), D’glukosa, phenol red,
dan asam amino (L-Arginin Hidroklor, LCystein.2HCl, L-Glutamin, Glycine,
L-Histidin.HCl.H2O, L-Isoleusin, L-Lysine Hidroksiklorida, L-Methionin, L-
Phenilalanin, L-Serin, L-Treonin, L-Triptofan, L-Tyrosin.2Na.2H2O dan L-
Valine), vitamin (D-Kalsium Pentothenate, Koline klorida, asam folat, L-
Inositol, Niacinamide, Pyridoxin HCl, Riboflavin dan Thiamine Hidroklorin)
(Mather dan Roberts, 1998). Pemenuhan kebutuhan nutrisi sel selama
pertumbuhan dengan ditambahkan serum atau ekstrak embrio ke dalam
medium. Penambahan serum atau ekstrak embrio ini sangat beresiko terhadap
kontaminasi sehingga perlu dilakukan penambahan antibiotik seperti penisilin
atau streptomisin ke dalam medium untuk mencegah terjadinya kontaminasi
(Yadav dan Tyagi, 2005). Serum berfungsi untuk menyediakan nutrient yang
esensial, hormon dan faktor pertumbuhan, pengikatan protein, perlindungan,
dan faktor ekstensi dan adherent. Penisilin dan streptomisin sebagai antibiotik
untuk mencegah kontaminasi bakteri. Karbon dioksida terlarut dalam media,
membuat kesetimbangan dengan HCO3, ion yang menurunkan pH (Syahidah,
2016).

E. Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Sel Hewan


Berikut aspek-aspek penting yang harus ada dalam medium kultur
untuk pertumbuhan dan pemeliharaan sel-sel hewan yang mempengaruhi
berhasil tidaknya kultur sel yang dilakukan, antara lain:
a. Substrat. Substrat harus memungkinkan terjadinya adhesi dan proliferasi
sel dengan baik. Pada umumnya, substrat yang sering digunakan adalah
kaca dan plastik untuk karakteristik optik (Freshney, 2008).
b. Oksigen. Umumnya banyak sel yang membutuhkan untuk respirasi in
vivo, walaupun beberapa sel bisa anaerobik. Oksigen tetap dibutuhkan
dengan konsentrasi yang bervariasi bergantung pada jenis kulturnya
(Freshney, 2008).
c. pH. Umumnya sel hewan optimal tumbuh pada pH antara 7,0 hingga 7,4
(Chaudry, et al., 2009).
d. Buffer, karbon dioksida dan bikarbonat. Karbon dioksida terlarut dalam
media, membuat kesetimbangan dengan HCO3, ion yang menurunkan
pH. Walaupun kapasitas buffer buruk pada pH fisiologis, bikarbonat
biasa digunakan karena toksisitas rendah dan menguntungkan nutrisi
untuk kultur. pH media kultur bisa disangga dengan 2 tipe kondisi,
terbukanya wadah, dimana CO2 yang masuk dapat meningkatkan pH;
CO2 dan produksi asam karena konsentrasi sel yang tinggi dapat
menyebabkan penurunan pH (Freshney, 2008).
e. Osmolaritas. Kebanyakan kultur sel memiliki toleransi terhadap tekanan
osmotik yang luas. Pada prakteknya, osmolaritas antara 260 mOsm/kg
dan 320 mOsm/kg diterima oleh banyak sel, tetapi baiknya dijaga
konstan pada ±10 mOsm/kg (Freshney, 2008).
f. Suhu. Suhu tubuh hewan pada penetuan suhu optimal untuk sel kultur
dan variasi anatomi pada kulit dan testikel biasanya lebih rendah dari
tubuh (Lee, 2013).
g. Viskositas. Viskositas media kultur dipengaruhi oleh kandungan serum
(Freshney, 2008).
h. Asam amino dan vitamin. Asam amino esensial yang dibutuhkan untuk
kultur sel adalah sistein, 30 arginin, glutamin dan tirosin. Tetapi
kebutuhan asam amino bervariasi dari satu sel ke tipe lain(Syahidah,
2016).
i. Ion dan glukosa. Na+, K+, Mg2+, Ca2+, Cl-, SO42-, PO43-, dan HCO3-
membantu osmolaritas media (Kwong, et al., 2012).
j. Antibiotik dan antifungi. Untuk mengurangi jumlah kontaminasi oleh
bakteri dan fungi (Freshney, 2008).
k. Suplemen organik. Media bisa ditambahkan beberapa komponen seperti
protein, peptida, nukleosid, asam sitrat, piruvat dan lipid (Freshney,
2008).
l. Serum. Serum yang terdapat faktor pertumbuhan dapat meningkatkan
proliferasi sel (Mojica-Henshaw, etal., 2013).

F. Embrio Ayam
Perkembangan embrio ayam dimulai dari fertilisasi, blastulasi,
gastrulasi, neurolasi dan organogenesis (Murphy, 2013). Fertilisasi
merupakan penggabungan sel kelamin jantan dan sel kelamin betina
membentuk zigot. Tahap selanjutnya adalah pembelahan secara mitosis pada
zigot. Blastula merupakan lanjutan dari stadium pembelahan berupa massa
blastomer membentuk dasar calon tubuh ayam, pada tahap ini terbentuk
blastoselom. Gastrula adalah proses kelanjutan stadium blastula, tahap akhir
proses gastrulasi ditandai dengan terbentuknya gastroselum dan sumbu
embrio sehingga embrio mulai tumbuh memanjang Tubulasi merupakan
kelanjutan dari proses stadium gastrula. Embrio pada stadium ini disebut
neurula karena pada tahap ini terjadi neurulasi yaitu pembentukan bumbung
neural. Organogensis merupakan tahap selanjutnya yaitu perkembangan dari
bentuk primitif embrio menjadi bentuk definitif yang memiliki bentuk dan
rupa yang spesifik dalam satu spesies (Huettner, 1957).Telur ayam akan
menetas setelah 21 hari inkubasi melalui serangkaian perkembangan embrio
secara kompleks (Smith et al., 2004).
Dalam kultur jaringan hewan, embrio ayam dapat digunakan sebagai
salah satu eksplan karena termasuk jaringan ikat yang bersifat totipotensi.
Umumnya ekplan embrio yang digunakan dalam kultur jaringanhewan yaitu
embrio yang berumur 7 hari. Embrio ayam pada hari ke-7 nampak cairan
yang makin mengencer dan di bagian leher sehingga menampakkan
perpisahan antara bagian kepala dan bagian badan, terjadi pembentukan paruh
dan nampak pula otak pada bagian kepala yang ukurannya lebih kecil di
bandingkan dengan embrio. Embrio yang sudah berumur 7 hari organnya
sudah berkembang cukup lengkap, paruh tumbuh lebih prominent dengan
papilla selera pada bagian dorsal, sayap dan kaki sudah berkembang lengkap,
folikel bulu tumbuh pada permukaan dorsal tubuh mulai dari brachial hingga
lumbo-sacral (Kusumawati dkk, 2016).
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat


Praktikum kultur sel embrio ayamdilakukan pada hari Selasa, 23 April
2019. Pengamatan dilakukan setiap hari hingga tanggal 30 April 2019.
Praktikum dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung C9 Jurusan
Biologi FMIPA Unesa.

B. Alat dan Bahan


Alat:
1. Tabung reaksi plastik
2. Cawan petri
3. Tabung penampung darah
4. Syringe ukuran 5 dan 10 ml
5. Botol medium
6. Cawan kultur
7. Membrane milipore ukuran 0,22 µm
8. Gunting
9. Pinset
10. Kapas
11. Hand sprayer
12. Gelas beker 100 ml, 250 ml, dan 500 ml
13. Pembakar Bunsen, kaki tiga
14. Termometer
15. Sarung tangan, masker
16. Kain kasa steril
17. Magnetic stirrer
18. Laminar Air Flow (LAF)
19. Mikroskop inverted
20. Sentifius
21. Inkubator
22. Timbangan elektrik
23. Lemari es
24. Hemositometer
Bahan:
1. Media DMEM
2. Darah ayam segar
3. NaOH
4. HCl
5. Phosphat Buffer Solution (PBS)
6. Alkohol 70%
7. Telur ayam berembrio umur 4 hari
8. Zat antikoagulan
9. Penisilin
10. Streptomisin
11. Tripsin
12. Aquabides
13. Air DO (deionize water) atau air untuk infus
14. Kertas indikator pH

C. Langkah Kerja
1) Sterilisasi Peralatan
a. Membersihkan semua peralatan dari bahan-bahan yang menempel
dengan menggunakan air mengalir
b. Merendam semua peralatan dengan sabun tidak berbau (teepol)
semalam
c. Menggosok dan membilas dengan air mengalir sebanyak 5 x
d. Merebus dengan air panas selama 5 menit
e. Membilas dengan air DO/aquabides steril sebanyak 2x
f. Mengeringkan peralatan
g. Melakukan sterilisasi kering untuk peralatan dari gelas di dalam oven
h. Melakukan sterilisasi basah atau di UV untuk peralatan dari plastik
2) Pembuatan Serum dari Plasma Darah (dari darah ayam segar)
a. Menyediakan botol steril dan diberi zat antibeku darah di sekitar
dinding botol
b. Mengambil darah ayam segar
c. Memasukkan darah segar ke dalam botol
d. Segera dibawa ke Lab
e. Menyentrifus darah segar dengan kecepatan 5000 rpm (3-4 x), sampai
terlihat bening kekuningan pada lapisan atas
f. Mengambil supernatan
g. Menambahkan antibiotik penstrep
h. Melakukan sterilisasi dengan menggunakan membrane milipore di
LAF
3) Pembuatan Media DMEM
a. Mencampurkan 1 kemasan media DMEM; penisilin 1 g; streptomisin
1 g dalam gelas beker ukuran 1000 ml
b. Menambahkan air DO/air infuse sebanyak 800 ml
c. Menghomogenkan larutan dengan menggunakan magnetic stirrer.
d. Setelah homogen, menambahkan air DO sampai volume larutan
menunjukkan 1000 ml
e. Membagi media DMEM kepada masing-masing kelompok dengan
volume 250 ml tiap kelompok
f. Memeriksa pH media dengan menggunakan kertas lakmus, apabila pH
terlalu rendah menambahkan NaOH, apabila terlalu tinggi
menambahkan HCl.
g. Menambahkan serum 10% dari plasma darah, menghomogenkan.
h. Melakukan filtrasi dengan menggunakan membranemilipore pada
masing-masing kelompok, menampung pada botol medium steril
i. Menyimpan media yang sudah steril pada lemari es
4) Proses Preparasi Sel
a. Melakukan sterilisasi LAF
b. Mengambil telur ayam berembrio
c. Membersihkan kotoran yang menempel pada cangkang dengan
menggunakan sabun dan air mengalir, kemudian melakukan sterilisasi
dengan menyemprotkan alkohol 70% pada cangkang
d. Membuka telur dengan pinset, mengambil embrio ayam dan
meletakkan di cawan petri berisi PBS
e. Segera mematikan embrio dengan cara menggunting bagian leher
dengan segera
f. Membuang bagian kepala, ekstremitas, memindahkan ke cawan petri
lain yang berisi PBS
g. Mengambil bagian daging/ototnya saja, memotong kecil-kecil dengan
gunting
h. Memindahkan potongan otot ke cawan petri yang lain untuk dicuci
dengan PBS
i. Memasukkan ke dalam botol medium beserta larutan PBSnya,
menambahkan larutan tripsin
j. Menghangatkan di water bath suhu 37o C selama 10 menit
k. Melakukan proses tripsinasi di atas magnetic strirrer selama 5 menit
l. Menghangatkan lagi di water bath suhu 37o C selama 10 menit
m. Melakukan proses tripsinasi lagi di atas magnetic strirrer selama 5
menit
n. Melakukan sentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit
o. Membuang supernatan
p. Mengambil endapan sel, menambahkan media kultur sambil
dihomogenkan, menyaring dengan kain kasa steril berlapis 4-5
q. Menampung hasil saringan di cawan kultur
r. Melakukan inkubasi
s. Sebagian melakukan penghitungan sel dengan menggunakan
hemositometer
t. Mengamati pertumbuhan dibawah mikroskop inverted setiap hari
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Hasil dan Analisis


Dari praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil sebagai berikut
Tabel 1. Data perhitungan jumlah sel embrio ayam.
No. Tanggal Pada Media DMEM Pada Media Serum
1 23 April 2019 - Inokulasi - Inokulasi
- Perhitungan sel embrio - Perhitungan sel embrio
ayam dengan ayam dengan
Haemocytometer Haemocytometer
40 5
x 100% = 88,8 % x 100% = 25 %
45 20
2 24 April 2019 Σ sel hidup = 13 (sel Σ sel hidup = 1 (sel terlihat
bercahaya) bercahaya)
Sel berbentuk bulat Sel berbentuk bulat dengan
dengan inti ditengah , inti ditengah , dikelilingi
dikelilingi membran membran transparan
transparan
3 25 April 2019 Σ sel hidup = 14 (sel Σ sel hidup = 1 (sel terlihat
bercahaya) bercahaya)
Sel berbentuk bulat Sel berbentuk bulat dengan
dengan inti ditengah , inti ditengah , dikelilingi
dikelilingi membran membran transparan
transparan
4 26 April 2019 Σ sel hidup = 20 (sel Σ sel hidup = 3 (sel
bercahaya) bercahaya)
Sel berbentuk bulat Sel berbentuk bulat dengan
dengan inti ditengah , inti ditengah , dikelilingi
dikelilingi membran membran transparan
transparan
5 29 April 2019 Σ sel hidup = 24 (sel Σ sel hidup = 4 (sel
bercahaya) bercahaya)
Sel berbentuk bulat Sel berbentuk bulat dengan
dengan inti ditengah , inti ditengah , dikelilingi
dikelilingi membran membran transparan
transparan
6 30 April 2019 Σ sel hidup = 28 (sel Σ sel hidup = 4 (sel
bercahaya) bercahaya)
Sel berbentuk bulat Sel berbentuk bulat dengan
dengan inti ditengah , inti ditengah , dikelilingi
dikelilingi membran membran transparan
transparan
7 2 Mei 2019 30 6
x 100% = 42,8 % x 100% = 21 %
70 28

B. Pembahasan
Dalam kultur jaringan hal-hal yang mendukung untuk keberhasilkan
dipengaruhi oleh substrat, suhu, pH, pengunaan serum, sterilisasi dan
pengerjaan serta Media yang digunakan. Dalam prosesnya kultur jaringan
memerlukan lingkungan yang mendukung sama seperti lingkungan aslinya
atau in vivo (Hedaryono dan Wijayani, 1994)
Media kultur jaringan merupakan salah satu faktor yang penting untuk
pertumbuhan sel hewan. Media didesain keadaanya mirip seperti pada
lingkungan in vivo sel, agar sel dapat hidup, berkembang, berdiferensiasi.
Dalam pratikum ini media yang digunakan adalah DMEM (Dulbecco’s
modified Eagle’s medium) dan serum. Media DMEM merupakan medium
kultur berupa buffer bikarbonat yang didesain untuk pH 7,2-7,4 pada keadaan
5% CO2 dan 95% udara. Nutrisi yang terkandung di dalam DMEM adalah
garam-garam anorganik (kalsium klorida, ferri nitrat, kalium klorida,
magnesium sulfat, natrium bikarbonat, natrium klorida, dan natrium
phosphat), D’glukosa, phenol red, dan asam amino (L-Arginin Hidroklor,
LCystein.2HCl, L-Glutamin, Glycine, L-Histidin.HCl.H2O, L-Isoleusin, L-
Lysine Hidroksiklorida, L-Methionin, L-Phenilalanin, L-Serin, L-Treonin, L-
Triptofan, L-Tyrosin.2Na.2H2O dan L-Valine), vitamin (D-Kalsium
Pentothenate, Koline klorida, asam folat, L-Inositol, Niacinamide, Pyridoxin
HCl, Riboflavin dan Thiamine Hidroklorin) (Mather dan Roberts, 1998).
Media serum berfungsi untuk menyediakan nutrient yang esensial, hormon
dan faktor pertumbuhan, pengikatan protein, perlindungan, dan faktor
ekstensi dan adherent. Penisilin dan streptomisin sebagai antibiotik untuk
mencegah kontaminasi bakteri. Karbon dioksida terlarut dalam media,
membuat kesetimbangan dengan HCO3, ion yang menurunkan pH (Syahidah,
2016). Pemenuhan kebutuhan nutrisi sel selama pertumbuhan dengan
ditambahkan serum atau ekstrak embrio ke dalam medium. Penambahan
serum atau ekstrak embrio ini sangat beresiko terhadap kontaminasi sehingga
perlu dilakukan penambahan antibiotik seperti penisilin atau streptomisin ke
dalam medium untuk mencegah terjadinya kontaminasi (Yadav dan Tyagi,
2005).
Kecepatan perkembangan atau pertumbuhan seldalam kultur jaringan
dipengaruhi berbagai faktor: jenis sel yang dikultur, usia sampel, cara
pengerjaan dan kontaminasi (Rizki, dkk., 2010). Menurut Ma’at (2011),
perlekatan antara sel dan substrat dibantu oleh moleku-molekul protein
membran tertentu. Focal contact ditemukan pada sel-sel yang hidup dalam
kondisi in vitro. Setelah beberapa waktu suspensi sel diteteskan ke dalam
cawan, sel – sel mulai menempel pada permukaan cawan yang menjadi
substratnya. Penempelan ini akan dilanjutkan dengan pembentukan juluran-
juluran sel. Terbentuknya juluran sel yang semakin memanjang kemudian sel
akan memipih dan melebar diatas permukaan substrat. Pada tahap ini, disebut
juga fase eksponensial. (Rizki, dkk., 2010).
Penumbuhan sel pada media serum akan menghasilkan sel yang lebih
banyak jika dibandingkan pada media DMEM. Hal ini dikarenakan pada
media serum menyediakan nutrient yang esensial, hormon dan faktor
pertumbuhan, pengikatan protein, perlindungan, dan faktor ekstensi dan
adherent, penisilin dan streptomisin sebagai antibiotik untuk mencegah
kontaminasi bakteri, karbondioksida terlarut dalam media, membuat
kesetimbangan dengan HCO3, ion yang menurunkan pH (Syahidah, 2016).
Namun dalam praktikum yang dilakukan menunjukkan hasil yang tidak
sesuai dengan teori yaitu pada media DMEM menghasilkan jumlah sel yang
lebih banyak dibandingkan pada media serum. Hal ini dikarenakan adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur sel hewan. Faktor-
faktor itu diantaranya ialah : substrat; oksigen; buffer, karbon dioksida dan
bikarbonat; osmolaritas; viskositas; antibiotik dan antifungi; suplemen
organik (Freshney, 2008); pH (Chaudry, et al., 2009); suhu (Lee, 2013); asam
amino dan vitamin (Syahidah, 2016); serta ion dan glukosa (Kwong, et al.,
2012).
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Dari praktikum yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Pada media serum menghasilkan jumlah sel yang lebih banyak
dibandingkan dengan media DMEM, namun data menunjukkan hasil yang
sebaliknya dikarenakan beberapa faktor.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sel-sel embrio eksplan
yang berasal dari embrio ayam umur 4 hari yaitu : substrat; oksigen;
buffer, karbon dioksida dan bikarbonat; osmolaritas; viskositas; antibiotik
dan antifungi; suplemen organik; pH; suhu; asam amino dan vitamin;
serta ion dan glukosa.

B. Saran
- Dalam melakukan metode kultur jaringan secara in vitro dapat dilakukan
dengan cara yang aseptik dan steril.
- Perlunya kehati-hatian dalam pembuatan media sampai tahapan isolasi
agar faktor kontaminan dapat dicegah.
DAFTAR PUSTAKA

Butler M. 2004. Animal Cell Culture & Technology 2nd ed. London: Bios
Scientific Publisher, Taylor & Francis Group.
Chaudry, M.A., Bowen, B.D., Piret, J.M. 2009. Culture pH and Osmolirity
Inffluence Proliferation and Embryoid Body Yields of Murine Embryonic
Stem Cells. Biochemical Engineering Journal, 45:126-135.
Djati, M.S. 2006. Teknologi Manipulasi dan Kultur Sel Jaringan Hewan. Malang:
Universitas Brawijaya Press.
Freshney, R.I. 1994. Culture of AnimalCells : A Manual Of BasicTechnique. New
York. A John Wiley & Sons, Inc. Publication.
Freshney, R.I. 2005. Culture of AnimalCells : A Manual Of BasicTechnique 5th
Edition. New York. A John Wiley & Sons, Inc. Publication. Pp. 175-216.
Freshney, R.I. 2008. Culture of AnimalCells : A Manual Of BasicTechnique And
SpecializedAplications6thEdition. WileyBlackwell. New York. page 200-
204.
Huettner, A.F. 1957. Fundamental of Comparative Embriology of the Vertebrates.
The Masmalillah Company. New York.
Khumairoh, Ika, Irma M, Puspitasari. 2017. Kultur Jaringan. Jurnal Farmaka. Vol 14
(2).
Kurniawati, Yuli., dkk. 2015. Kultur Primer Fibroblas: Penelitian Pendahuluan.
Artikel Penelitian. MKA Vol. 28 (01) : 33-40.
Kusumawati, dkk. 2016. Perkembangan Embrio dan Penentuan Jenis Kelamin DOC
(Day-Old Chicken) Ayam Jawa Super. Jurnal Vereriner. Vol 34(1).
Kwong, P.J., Abdullah, R.B., Khadijah, W.E.W. 2012.Increasing glucose in basal
medium on culture Day 2 improves in vitro development of cloned caprine
blastocysts produced via intraspecies and interspecies somatic cell nuclear
transfer.Theriogenology. 78:921 - 929.
Lee, W.Y., et al. 2013. Establishment and in vitro culture of porcine
spermatogonial germ cells in low temperature culture conditions. Stem
Cell Research, 11:1234-1249.
Malole, M.B.M. 1990. Kultur Sel dan Jaringan Hewan. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Mather JP., Roberts PE. 1998. Introduction to Cell and Tissue Culture Theory and
Technique. New York: Plenium Press.
Mojica-Henshaw, M.P., et al. 2013. Serum-converted platelet lysate can substitute
for fetal bovine serum in human mesenchymal stromal cell cultures.
Cytotherapy. 5(12):1458- 1468.
Murphy. P. 2013. The First Steps to Forming a New Organism Descriptive Embryo.
Developmental Biology. (Online)
http://www.tcd.ie/Biology,,,Teaching,,,Centre/assets/pdf/by1101. Diakses
pada 1 Mei 2019.
Puspitasari, R. L., C. T. Sardjono, B. Setiawan dan F. Sandra. 2008. Kultur
Embrionic Stem Cell menjadi Sel Neuron dengan Medium Bebas Serum.
CDK 35 (6) : 342-344.
Rodrigez-Hernandez, C.O., Torres-Garcia, S.E., Olvera-Sandoval, C., Ramirez-
Castillo, F.Y., Muro, A.L., Avelar-Gonzalez, F.J., et al. 2014. Cell
Culture: History, Development and Prospects. International Journal of
CurrentResearch and Academic Review, 2(12), 188-200.
Rohanova, D., Boccaccini, A.R., Horkavcova, D., Bozdechova, P., Bezdicka, P.,
Castoralova, M. 2014. Is Non-buffered DMEM solution a suitable medium
fot invitro bioactivity tests?. Journal ofMaterials Chemistry B, 2: 5068-
5076.
Smith, T., et al. 2004. Avian Embryo. Mississippi State University. Hal 4-10.
Syahidah, Hasna Nur., dkk. 2016. Review Artikel: Media yang Digunakan pada
Kultur Sel. Jurnal Farmaka. Vol 14 (3).
Trenggono, Bambang, S. 2009. Metode Dasar Kultur Jaringan Hewan. Jakarta :
Universitas Trisakti.
Yadav, V.R., Sahdeo, P., Bokyung, S., Ramaswamy, K., dan Bharat, B.A. 2010.
Review: Targetting Inflammatory Pathways by Triterpenoids for Prevention
and Treatment of Cancer. Toxins. 2(1): 2428-2466.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai