Anda di halaman 1dari 12

Nama: Rahma Adellia

Nim: 04011181722028
Learning Issues

1. Corynebacterium diphteriae

Corynebacterium diptheriae adalah jenis bakteri gram (+) yang tidak bergerak, tidak
berkapsul, tidak membentuk spora. Bakteri ini mengandung spot tipis pada dinding sel nya
yang akan mengalami dekolorisasi ketika pewarnaan gram dan menghasilkan reaksi yang
bervariasi. Pada dinding sel nya mengandung gula yaitu arabinosa, galaktosa, and mannosa.

Gambar 1.1 Corynebacterium diphteriae dengan


pewarnaan Methylen Blue

Secara umum dikenal 3 tipe C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius & mitis.
Ketiga jenis ini menghasilkan toxin yaitu exotoxins, dimana exotoxin ini ditransmisikan dari
bakteri ke bakteri lain. Tipe intermedius ini bertanggung jawab terhadap perluasan sistemik
pada penyakitnya dan yang paling sering berkaitan dengan exotoxin. Sedangkan tipe gravis
disebut sebagai paling berbahaya karena tipe gravis ini dapat menghasilkan eksotoksin yang
menyebar invasif baik lokal maupun sistemik. Infeksi bakteri gravis ini biasanya terjadi di
daerah saluran napas yaitu tonsil faring dan laring karena bisa menyebabkan pembengkakan
jaringan lunak di leher sehingga menyebabkan sumbatan jalan napas sehingga gagal napas
dan menimbulkan kematian.

Table 1.1 tipe Corynebacterium diphtheriae


Corynebacterium diphtheria menyebar melalui droplet, sekresi atau kontak langsung.
Bakteri ini biasanya menyerang bagian pernafasan atas dan bisa menyebabkan komplikasi
lain yang lebih parah jika tidak ditangani.

Gambar 1.2

2. Difteri
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh karena
toxin dari bakteri Corynebacterium Diphteriae yang dengan ditandai pembentukan
pseudomembran pada kulit dan atau mukosa. Orang yang paling mungkin terserang
infeksi ini adalah orang yang menjalani imunisasi tidak lengkap atau orang yang memiliki
antibody lemah dan carrier atau orang dengan penyakit lainnya. Carrier adalah orang
yang secara tubuh positive difteri namun tidak menunjukkan gejala.

2.1. Epidemiologi

Sebelum vaksinasi, setidaknya 200.000 terjadi pertahun di Amerika Serikat.


Difteri endemic di beberapa tempat saat tahun 1970, muncul dengan laju yang lebih
besar sekitar 1 per juta populasi di Alaska, Arizona, Montana, New Mexico, South
Dakota, and Washington. Kebanyakan infeksi terjadi karena vaksinasi yang tidak
lengkap. Di Amerika Serikat, difteri saat ini jarang terjadi bahkan laporan terbaru
telah bebas, kebanyakan terjadi pada penduduk asli, orang dengan social ekonomi
yang rendah dan pecandu alcohol.
Berdasarkan World Health Organization (WHO), difteri menjadi ancaman di
Negara berkembang. Penyebaran terbesar dilaporkan saat tahun 1990-1195, ketika
difteri muncul di federasi Rusia dan menyebar ke Negara bagiannya. Dari 1995-2002,
17 kasus difteri cutaneous disebabkan toxigenic dilaporkan di United Kingdom.
Sepenuhnya laju infeksi di Eropa telah berkurang dari 2000 sampai 2009, menurut
Diphtheria Surveillance Network. Meskipun demikian vaksinasi tetap digencarkan
karena ketika ada 1 orang yang terkena difteri di suatu daerah, maka daerah itu
termasuk darurat difteri dan bisa menyebar.

2.2. Patogenesis dan patofisiologis


C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan bakteri ini melekat pada sel epitel
dimana exotoxin yang dilepaskan oleh endosomes, menyebabkan reaksi inflamasi yang
diikuti oleh penghancuran jaringan dan necrosis. Toxin yang mulai memproduksi toksin
yang akan menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek
toksin pada jaringan tubuh manusia adalah menghambat pembentukan protein dalam sel.
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah
diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian
asam amino ini ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai
dengan cetakan biru RNA, maka diperlukan proses translokasi. Proses translokasi ini
memerlukan enzim translokase (elongation factor-2) yang aktif. Toksin difteria mula-
mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A
akan masuk dan menyebabkan inaktivitasi enzim translokase sehingga proses traslokasi
tidak berjalan dan tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel
akan mati.

Nekrosis tampak jelas di tempat bakteri berkoloni. Sebagai respons terjadi inflamasi
local, bersama dengan jaringan nekrotik akan membentuk bercak eksudat yang semula
mudah dilepas. Namun karena produksi toksin semakin banyak, maka daerah infeksi
semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin dan membran yang melekat erat berwarna
kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran
juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan
terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.

Gangguan pernafasan terjadi karena perluasan penyakit kedalam laring atau cabang
trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada
setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh
pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila
toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat
masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya
terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu.

2.3. Manifestasi Klinis


Manifestasi penyakit ini bisa bervariasi mulai tanpa gejala sampai suatu
keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas
seseorang terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae, dan
lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik
penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria
mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya datang untuk berobat setelah
beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan
keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.

2.3.1. Difteri Saluran Pernapasan


Setelah sekitar masa inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang
local karena adanya reaksi inflamasi yang menyebabkan terjadinya demam.

2.3.1.1. Difteri Hidung

Difteri hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan
tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi)
menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membran.
Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan
tampak membrane putih pada daerah septum nasi.

2.3.1.2 Difteri Tonsil Faring

Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorokan merupakan gejala awal yang umum,
tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala.
Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat berwarna putih kelabu, injeksi
faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang
meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior,
hipofaring dan daerah glottis. Membran inilah yang biasanya menyebabkan gangguan
saluran pernafasan.

Edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan


gambaran “bull neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan
luas membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat
terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan
regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.

Gambar 2.1 selaput membrane putih Gambar 2.2 Bullneck, ciri khas pada difteri

2.3.1.3. Difteri Laring

Difteri laring terjadi karena telah mengalami perluasan. Penderita dengan difteri
laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan lepasan
epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria faring primer gejala toksik
kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah
dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok.
Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti
nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada kasus berat,
membrane dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi
sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran
gejala obstruksi dan toksemia.

2.3.2. Difteri Kulit

Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada dasarnya,
kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif lamban
yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan
membrane coklat keabu-abuan. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari, luka
goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder. Tungkai lebih
sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema, dan eksudat khas.
Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim.

2.3.3. Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga

C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-tempat


lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif), dan
saluran genital (vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis, ulserasi,
pembentukan membrane dan perdarahan submukosa membantu membedakan difteri dari
penyebab bakteri dan virus lain.

2.4. Diagnosis

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin


sangat mempengaruhi prognosa penderita. Karena preparat smear kurang dapat dipercaya,
sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat
adalah dengan identifikasi secara Flourescent antibody technique, namun untuk ini
diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C diphtheriae dengan pembiakan
pada media loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo(marmot) dan in-
vitro (tes Elek). Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk
difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi
membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna membran pada
difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat
dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat terjadi perdarahan. Biasanya dimulai dari
tonsil dan menyebar ke uvula.

2.5. Komplikasi

Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas
eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi tumpangan oleh
bakteri lain, obstruksi jalan nafas akibat membran, sistemik; karena efek eksotoksin
terutama ke otot jantung, syaraf, dan ginjal. Keluhan demam tinggi biasanya didapat pada
penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan streptococcus. Obstruksi jalan nafas,
disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membran difteria atau oleh karena edema
pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servical.

Neuropati toksik, komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi primer dan
pada mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang
orofaring, sering terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle. Kelemahan nervus
faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat menyertai, menyebabkan suara kualitas
hidung, sukar menelan, dan resiko kematian karena aspirasi. Neuropati cranial khas
terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan paralisis okulomotor dan paralisis siliaris,
yang nampak sebagai strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi.
Polineuropati simetris mulainya 1 hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring dan
terutama menyebabkan deficit motor dengan hilangnya refleks tendon dalam. Kelemahan
otot proksimal tungkai menyebar ke distal dan lebih sering. Tanda-tanda klinis dan cairan
serebrospinal pada yang kedua tidak dapat dibedakan dari tanda-tanda klinis dan cairan
serebrospinal polineuropati sindrom Landry-Guillain-Barre. Paralisis diafragma dapat
terjadi.

2.6. Pengobatan Dan Penatalaksanaan

Pengobatan umum Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet
yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan
kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain
dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus
pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan nebulizer.

B. Pengobatan Khusus

1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)

Antitoksin diberikan setelah pasien dinyatakan (+) difteri. Uji kulit dilakukan dengan
penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil
positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan
meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain
diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis
pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan
cara desentisasi (Besredka). Bila uji hiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus
diberikan sekaligus secara intravena.

2. Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh


bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah penularan organisme pada
kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin,
eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap
eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang
dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada
penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring.

3. Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria.
Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat
penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak
terbukti. Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat
selama 14 hari.

9. Pencegahan

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan


tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita
difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan
pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap,
mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap
organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria
dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteri ringan. Toksoid difteri dipersiapkan
dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam
alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Formulasi toksoid potensi yang lebih
tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun
karena imunogenitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7
tahun dan yang lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar
toksoid difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dan karena semakin kadar toksoid
difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.

Rencana (Jadwal) :

Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-
difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah
bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis
booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan pada
umur 4 tahun). · Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis
0,5 mL yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8
minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua. · Untuk anak yang imunisasi
pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td. Mereka yang mulai dengan DTP atau DT
pada sebelum usia 1 tahun harus mengalami lima dosis vaksin yang mengandung difteri
(D) 0,5 mL pada usia 6 tahun.
Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga
dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6
tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.

3. Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan ini menggunakan tekhnik Mikroskop. Karena bakteri biasanya kan
menunjukkan warna yang tak bisa dilihat namun bisa jelas dilihat dari mikroskop.
Jenis pemeriksaan mikrobiologi yang paling sering digunakan adalah pewarnaan
gram, yang digunakan untuk membedakan gram positive dan gram negative. Prosedur
ini berdasarkan kemampuan mikroorganisme mempertahankan warna selama
pewarnaan gram, tergantung komponen yang ada di dinding sel masing-masing.
Gram(-) akan terdekolorisasi oleh alcohol sehingga melepaskan warna utama yaitu
ungu sedangkan gram (+) tidak terdekolorisasi oleh alcohol dan tetap
mempertahankan warna ungu.
1. Gram positive
Bakteri ini akan mempertahankan warna ungu yang disebut Kristal violet pada
dinding sel. Contohnya staphylococcus aureus
2. Gram negative
Bakteri ini akan mengikat warna merah/pink yang disebut safranin. Contoh:
Escherichia Coli

Gambar 4.1 Positive gram staining Gambar 4.2 Negative gram staining

Morfologi Bakteri

Bakteri adalah microorganism uniseluler yang memiliki berbagai bentuk:

1. Coccus (pleural: Cocci):


Berbentuk bulat; ada yang sepasang (diplococci), kelompok yang terdiri dari 4
(tetracocci), bentuk seperti anggur (Staphylococci), rantai (Streptococci) atau
kubus yang tersusun 4 atau lebih(sarcinae). contoh: Staphylococcus aureus,
Streptococcus pyogenes
2. Bacillus (pleural: Bacilli):
Berbentuk batang; umumnya single tapi bisa sepasang (diplo-bacilli) atau
seperti rantai (streptobacilli). Contoh: Bacillus cereus, Clostridium tetani
3. Spirillum (pleural: Spirilla):
Berbentuk spiral. Contoh: Spirillum, Vibrio, Spirochete species.

Bentuk lain dari bakteri


Coccobacilli: berbentuk seperti telur
Filamentous: Berbentuk seperti benang
Fusiform: Berbentuk batang yang ujungnya meruncing

Gambar 4.3 bentuk bakteri

Pewarnaan Gram
1. Dinding sel Gram positive
Bakteri gram positive mengandung peptidoglikan yang tebal (50-9-% dari dinding
sel), yang berwarna ungu. Peptidoglikan adalah polisakarida yang tersusun dari 2 subunit
yaitu N-acetyl glucosamine dan N-acetyl muramic acid. Lapisan peptidoglikan yang
bersebelahan dihubungkan oleh rantai pendek peptide tepatnya enzim transpeptidase.
Peptidoglikan tebal dari gram positive mengizinkan organisme ini mempertahankan crystal
violet-iodine dan sel berwarna ungu.
Asam Lipoteichoic adalah komponen lain dari dinding sel bakteri ini yang menempel
pada lapisan peptidoglikan. Berfungsi sebagai regulator enzim dinding autolitik.

2. Gram Negative
Bakteri gram negative memiliki lapisan peptidoglikan yang tipis (10% dari dinding sel)
dan melepaskan crystal violet iodine selama dekolorisasi dengan alcohol tapi mengikat
safranin sehingga berwarna merah atau pink. Bakteri ini juga memiliki lapisan luar yang
mengandung lemak, yang dipisahkan dari dinding sel tepatnya periplasmic space.
Bakteri gram negative sering dianggap sebagai factor virulensi bakteri pathogen yang
menyebabkan penyakit. Virulensi bakteri ini berkenaan dengan komponen pada dinding sel
nya yaitu lipopolisakarida atau endotoxin. Pada manusia toxin ini menyebabkan produksi
sitokin dan aktivasi system imun. Inflamasi terjadi sebagai hasil dari produksi sitokin yang
juga bisa menghasilkan racun pada host.

Gambar 4.4 bakteri gram positive gambar 4.5 bakteri gram negative

4 langkah dasar pewarnaan gram

1) Application of the primary stain Crystal Violet (CV)


CV akan memisahkan cairan menjadi ion CV⁺ dan Cl¯. Ion ini kemudian akan
penetrasi melalui dinding sel dan membral sel dari sel gram (+) dan gram (-). Ion CV⁺ akan
berinteraksi secara negatively dengan komponen bakyteri dan berwarna ungu.

2) Addition of Gram’s Iodine.


Iodine (I or I3) bertindak sebagai mordant and agen Iodine (I – or I3 –) acts as a mordant
dan agen trapping. Mordant adalah substansi yang meningkatkan kemampuan dinding sel
untuk mengikat warna primer, ini akan membentuk kompleks yang terjerat pada dinding sel.
Pada pewarnaan gram, crystal violet dan iodine akan membentuk Insoluble compllec (CV-I)
yang berubah menjadi warna ungu gelap. Pada tahap ini, semua sel akan berwarna Ungu

3) Decolorization with 95% ethyl alcohol.


Alcohol atau acetone melarutkan lapisan luar membrane dari bakteri gram (-), ini
akan membuat lapisan peptidoglikan terbuka dan meningkatkan penyerapan dinding sel. CV-
I Complex kemudian dicuci. Di sisi lain, alcohol mempengaruhi dehidrasi pada dinding sel
dari bakteri gram positive yang menyebabkan pori dinding sel mengerut. CV-I mengikat
secara erat pada multilayer dan memberi warna ungu. Langkah dekolorisasi harus dilakukan
hati-hati, karena dekolorisasi berlebihan dapat terjadi. Waktu nya pun harus tepat karena
cristal violet akan dihapus dari bakteri gram positive.
4) Counterstain with Safranin
Bakteri gram positive akan mengikat safranin dan berwarna merah atau pink.

3. Immunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara
aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut
tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan. Vaksin adalah antigen berupa
mikroorganisme yang sudah mati, masih hidup tapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya,
yang telah diolah, berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid, protein
rekombinan yang apabila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik
secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu.

Gambar 4.1 sistematika skrining pemberian imunisasi

1. Imunisasi Dasar
Imunisasi ini biasanya diberikan pada bayu berumur 0-1 tahun.
1.1 Vaksin BCG
Vaksin BCG merupakan vaksin beku kering yang mengandung
Mycrobacterium bovis hidup yang dilemahkan. Vaksin ini memberikan
kekebalan aktif terhadap tuberculosis. Vaksin ini diberikan ketika bayi berusia
1 bulan.

1.2 Vaksin DTP-HB-Hib


Vaksin DTP-HB-Hib digunakan untuk pencegahan terhadap difteri, tetanus,
pertusis (batuk rejan), hepatitis B, dan infeksi Haemophilus influenzae tipe b
secara simultan.

1.3 Vaksin Hepatitis B


Vaksin virus recombinan yang telah diinaktivasikan dan bersifat non-
infecious, berasal dari HBsAg. Vaksin diberikan saat bayi berumur 0-24 jam.

1.4 Vaksin Campak


Vaksin ini untuk mencegah penyakit campak dan diberikan saat bayi berusia 9
bulan.

1.5 Vaksin Folio


Vaksin Polio Trivalent yang terdiri dari suspensi virus poliomyelitis tipe 1, 2,
dan 3 (strain Sabin) yang sudah dilemahkan. Vaksin ini memberi kekebalan
aktif terhadap poliomyelitis. Dapat diberikan secara oral maupun injeksi.

2. Imunisasi Lanjutan
Imunisasi lanjutan merupakan imunisasi ulangan untuk mempertahankan
tingkat kekebalan atau untuk memperpanjang masa perlindungan. Imunisasi lanjutan
diberikan kepada anak usia bawah tiga tahun (Batita), anak usia sekolah dasar, dan
wanita usia subur.
Vaksin DPT-HB-Hib terbukti aman dan memiliki efikasi yang tinggi, tingkat
kekebalan yang protektif akan terbentuk pada bayi yang sudah mendapatkan tiga
dosis Imunisasi DPTHB-Hib.Walau Vaksin sangat efektif melindungi kematian dari
penyakit difteri, secara keseluruhan efektivitas melindungi gejala penyakit hanya
berkisar 70-90 %. Penyakit lain yang membutuhkan imunisasi lanjutan adalah
Campak. Tingkat efikasi campak in sekitar 85%.

Table 4.1 imunisasi lanjutan

Daftar Pustaka

- Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi
Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18 2.
- Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 173-176
- Gram Stain Technique http://vlab.amrita.edu/?sub=3&brch=73&sim=208&cnt=1
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Buku Ajar Imunisasi
- PMK No. 12 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi
- Samuel, Baron. Medical Microbiology 4th Edition. University of Texas Medical
Branch at Galveston. Texas.
- https://www.cdc.gov/vaccines/schedules/hcp/imz/child-adolescent.html
- https://www.webmd.com/children/vaccines/dtap-and-tdap-vaccines#1
- http://www.who.int/vaccine_safety/initiative/tools/DTP_vaccine_rates_informatio
n_sheet.pdf
- https://emedicine.medscape.com/article/782051-overview

Anda mungkin juga menyukai