Anda di halaman 1dari 34

PEMROSESAN JARINGAN

Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
SITOHISTOLOGI

Disusun oleh:
NURJANAH UCU
NIM P17334119534

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
tentang pemrosesan jaringan ini dengan lancar.
Kami sebagai penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Ibu Wiwin Wiryanti, S.Pd, M.Kes selaku dosen matakuliah
Sitohistologi yang telah membimbing kami dengan sangat baik dan perhatain,
ucapan terimaksaih juga buat semua pihak yang telah ikut membantu baik secara
materil maupun moril,sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
baik segi penyusunan, bahasa maupun penulisannya. Oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca
sehungga penulis bias melakukan perbaikan makalah ini menjadi lebih baik .
Akhir kata kami selaku penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pembaca.

Cimahi , 17 Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
DAFTAR TABEL...........................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................1
1.2 Rumusan masalah.............................................................................1
1.3 Tujuan..............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pemrosesan Sediaan Jaringan..........................................................2
2.1.1 Fiksasi..................................................................................2
2.1.2 Triming................................................................................12
2.1.3 Dehidrasi.............................................................................13
2.1.4 Clearing atau Penjernihan...................................................16
2.1.5 Infiltrasi...................................................................................18
2.1.6 Penanaman (Embedding)....................................................19
2.1.7 Cutting (Sectioning)............................................................20
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan......................................................................................27
3.2 Saran.................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Formulasi larutan fiksatif................................................................9
Tabel 2.2 Penyebab kegagalan proses memotong dan solusinya.................22
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Perbedaan kualitas sediaan antara fiksasi yang baik(kiri)
dan yang buruk (kanan)...............................................................3
Gambar 2.2 Proses Triming.............................................................................13
Gambar 2.3 Jaringan yang sudah ditriming dan dimasukan ke dalam
tissue Casset................................................................................13
Gambar 2.4 Tisue Processor............................................................................16
Gambar 2.5 Embedding secara manual...........................................................20
Gambar 2.6 Mikrotom sederhana....................................................................21
Gambar 2.7 Hasil pemotongan halus yang baik..............................................24Y
Gambar 3.1 Tahapan pemrosesan jaringan.....................................................27
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Histologi adalah cabang  ilmu biologi  yang mempelajari tentang
struktur jaringan secara detail menggunakan mikroskop pada sediaan jaringan
yang dipotong/diiris tipis. Irisan tersebut nantinya akan memperlihatkan bentuk,
ukuran dan lapisan yang beragam yang terdiri dari struktur seluler, fibrosa dan
tubuler. Histologi diperlukan dalam mempelajari struktur jaringan normal suatu
organ atau alat tubuh lain baik struktur anatomi maupun fisiologi. Hal yang sangat
penting dalam mengenali suatu kondisi patologi sebagai akibat suatu penyakit dan
perubahan-perubahan seluler juga membantu mendiagnosis penyakit karena salah
satu pertimbangan dalam penegakan diagnosis melalui hasil pengamatan terhadap
jaringan yang diduga terganggu dengan diambil sampel organ. Struktur histologi
dapat terlihat dengan jelas sehingga memudahkan pembacaan jaringan.
Kebanyakan jaringan didapati tidak berwarna, sehingga tidak banyak yang
dapat dilihat dibawah mikroskop. Agar dapat dilihat dibawah mikroskop, sediaan
harus diwarnai terlebih dahulu. Proses pewarnaan histologis terdiri dari lima tahap
utama yaitu fiksasi, pemrosesan jaringan, pemasangan jaringan, pemotongan
jaringan dan pewarnaan jaringan. Untuk mendapatkan preparat yang berkualitas,
harus dipastikan setiap tahapan dilakukan dengan baik. Disini akan diuraikan
secara singkat teknik pembuatan atau pemrosesan sediaan jaringan yaitu: Fiksasi,
Triming, Dehidrasi,Clering, infiltrasi, Embedding, Cutting

1.2 Rumusan masalah


Tahapan-tahapan apa saja yang harus dilakukan untuk mendapatkan
preparat histologi yang baik ?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui tahapan-tahapan pemrosesan jaringan sehingga
mendapatkan preparat histologi yang baik.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pemrosesan Jaringan


Histoteknik adalah metode pembuatan sediaan dari spesimen
tertentu melalui suatu rangkaian proses hingga menjadi preparat histologi
yang baik dan siap untuk dianalisa. Preparat yang baik dapat memberikan
hasil yang akurat, untuk itu preparat harus dapat memberikan gambaran
tentang bentuk, besar dan susunan sebagaimana sel/jaringan itu hidup.
Kebanyakan jaringan didapati tidak berwarna, sehingga tidak banyak yang
dapat dilihat dibawah mikroskop. Agar dapat dilihat dibawah mikroskop,
sediaan harus diwarnai terlebih dahulu.
Proses pewarnaan histologis terdiri dari lima tahap utama yaitu
fiksasi, pemrosesan jaringan, pemasangan jaringan, pemotongan jaringan
dan pewarnaan jaringan. Untuk mendapatkan preparat yang berkualitas,
harus dipastikan setiap tahapan dilakukan dengan baik.
2.1.1 Fiksasi
a. Pengertian Fiksasi
Fiksasi adalah langkah dasar dibalik studi patologi dan sangat penting
untuk mencegah autolisis dan degradasi jaringan serta komponen jaringan
sehingga mereka dapat diamati baik secara anatomis dan mikroskopis.
Untuk membuat preparat histologi yang baik, sel dan jaringan yang
akan diamati diharapkan sangat mirip dengan kondisi ketika masih hidup.
Oleh karena itu bagian terpenting dari teknik pembuatan preparat histologi
dan sitologi adalah bagaimana caranya agar sel dan jaringan dapat tetap
terjaga secara alami. Untuk mencapai keadaan ini, maka jaringan yang
diambil dari tubuh atau sel yang dibuat dengan teknik apusan harus segera
diawetkan pada suatu cairan yang disebut dengan teknik fiksasi. Walaupun
pada kasus-kasus apusan, teknik fiksasi dapat dilakukan dengan
mengeringkan di suhu ruangan atau dengan pemanasan.
Proses fiksasi biasanya merupakan tahap pertama dalam pembuatan
sediaan histopatologi , Fiksasi adalah berbagai perlakuan yang dapat melindungi
struktur sel dan komposisi biokimianya. Kualitas fiksasi adalah kunci untuk
semua tahap selanjutnya yang penting dalam pembuatan sediaan histopatologik,
oleh karena itu pengawetan sel dengan perubahan morfologi yang minimal dan
secara kasat mata tanpa adanya kehilangan molekul sangat penting dalam
pengolahan jaringan. Fiksasi diharapkan dapat melindungi spesimen biologi dari
efek denaturasi dehidrasi dan semua proses pengolahan jaringan.

b. Tujuan Fiksasi
Tujuan utama fiksasi adalah untuk menjaga sel dan
komponen jaringan pada keadaan “life-like state”. Selama proses fiksasi
dan tahap-tahap yang menyertainya terdapat perubahan substansial pada
komposisi dan penampakan sel serta komponen jaringan dan keadaan ini
dapat mengubah keadaan dari “life-like state” yang ideal. Fiksasi yang
baik akan menghasilkan kualitas sediaan yang baik untuk dinilai oleh
patolog. Fiksasi juga bertujuan untuk mencegah atau menahan proses
degeneratif yang dimulai segera setelah jaringan kehilangan pasokan
darah.

Gambar 2. Perbedaan kualitas sediaan antara fiksasi yang baik(kiri) dan yang buruk
(kanan).
Ada empat tujuan dari fiksasi jaringan yaitu:
1. Menghentikan autolisis jaringan dengan inaktivasi enzim hidrolisis dari
lisosom dan dengan demikian dapat memberikan morfologi seluler yang
lebih baik untuk dianalisis serta menstabilkan struktur baik di dalam
maupun di antara sel dengan membuat molekul menjadi resisten terhadap
disolusi air dan cairan lainnya.
2. Mengimobilisasi jaringan dan antigen seluler untuk imunolabelling dari
antigen.
3. Persiapan yang lebih baik dalam pemotongan sampel histopatologi dengan
cara memadatkan dan mengeraskan jaringan.
4. Mencegah proses pembusukan yaitu proses penghancuran jaringan yang
diakibatkan oleh aktifitas bakteri dan biasanya dengan pembentukan gas.

c. Mekanisme Fiksasi
Secara garis besar terdapat dua mekanisme yang penting dalam fiksasi
kompleks protein yaitu denaturasi dan cross-linking atau gabungan
keduanya.
1. Denaturasi
Efek denaturasi paling umum disebabkan oleh dehidran seperti alkohol
dan aseton contohnya adalah larutan Carnoy’s dan Methacam. Reagen ini
mengubah komposisi jaringan dan menstabilkan jaringan dengan
menghilangkan ikatan H- pada kelompok tertentu dalam molekul protein
seperti ikatan carboxyl bebas, hydroxyl, amino, amido dan imino dari
protein yang menyebabkan perubahan pada struktur tersier protein dengan
mendestabilisasi ikatan hidropobik. Hal ini akan menyebabkan perubahan
pada solubilitas protein dimana protein yang larut dalam air menjadi tidak
larut, koagulasi protein dan penyusutan sel. Larutan fiksatif Carnoy’s
menambahkan chloroform dan acetic acid ke dalam campuran yang dapat
melawan efek penyusutan sel oleh etanol dan mengakibatkan terfiksasinya
jaringan melalui ikatan hidrogen sedangkan pada larutan Methacam,
dimana etanol digantikan oleh metanol yang bekerja dengan cara yang
sama.
2. Cross-Linking
Larutan fiksatif ini secara kimiawi bereaksi dengan protein serta
komponen sel dan jaringan dimana suatu ikatan kimia larutan fiksatif
diambil dan menjadi bagian dari jaringan dengan cara mengisi dan
membentuk cross-link inter-molekul atau intra-molekul. Zat fiksatif ini
adalah senyawa reaktif yang dapat mengikat berbagai komponen kimia di
jaringan sehingga sering mempengaruhi komponen pada tempat ia
berikatan. Hal ini mempunyai efek pada karakteristik pewarnaan
berikutnya dari partikel protein sehingga mengganggu konformasi molekul
dan kelarutannya. Reaksi utama dari cross-link terjadi antara bagian
kelompok amino dari lysine yang akan membentuk methylene bridges.
Hasil dari ikatan cross-linking ini adalah perubahan konformasi pada
struktur protein dan selanjutnya inaktivasi dari enzim. Kompleks yang
baru terbentuk berbeda dari protein yang tidak terdenaturasi pada profil
antigenik dan kimia. Menurut definisi, fiksatif mengubah komposisi kimia
yang asli dari jaringan yang terlibat serta menyebabkan perubahan fisik
pada komponen seluler dan ekstraseluler. Sel yang viable dilapisi oleh
membran yang impermeabel. Fiksasi merusak barier ini dan
memungkinkan molekul yang besar untuk melakukan penetrasi atau
melepaskan diri, selanjutnya sitoplasma menjadi permeabel untuk
makromolekul dan membentuk jaringan protein yang cukup berpori untuk
memungkinkan penetrasi molekul besar lebih lanjut.

d. Zat Fiksatif
Karakteristik cairan fiksatif yang baik adalah murah dan mudah didapat,
stabil, aman, mempunyai daya penetrasi yang kuat, dapat memfiksasi secara
keseluruhan, menghambat dekomposisi bakteri dan autolisis, memproduksi
kerutan yang minimal pada jaringan dan bekerja cepat dalam melakukan penetrasi
jaringan. Formaldehid menjadi fiksatif yang paling mendekati ciri-ciri tersebut
walaupun sampai saat ini belum ada larutan fiksatif yang sempurna.
Berdasarkan komposisi dan cara kerjanya, fiksatif dibagi menjadi :
1. Aldehid
a. Formaldehid
Formaldehid (CH2O) adalah satu-satunya aldehid gas dan
mengandung polimer larut yang akan mengalami depolimerisasi pada
saat diencerkan. Untuk fiksasi, satu bagian formalin biasanya
diencerkan dengan sembilan bagian air atau buffer. Ini menghasilkan
larutan formalin 10% yang mengandung sekitar 4% formaldehid w/v,
sebuah konsentrasi optimal untuk fiksasi.
Larutan formalin tanpa buffer secara perlahan akan mengalami
oksidasi menjadi asam formik sehingga akan menurunkan pH
larutan.17 Kondisi ini menyebabkan asam formik akan bereaksi
dengan hemoglobin forming acid formaldehyde hematin, sebuah
artefak pigmen granular berwarna coklat-kehitaman yang dideposit
pada jaringan yang mengandung banyak darah. Pigmen ini dapat
meragukan dengan mikroorganisme atau pigmen patologis lainnya.
Pigmen ini dapat dihilangkan dengan saturated aqueous picric acid
sebelum pewarnaan, tapi sebaiknya hal tersebut dihindari dari awal.
Pencegahan hal tersebut dan karena formaldehid bereaksi paling
efektif pada pH netral, penambahan buffer diperlukan untuk menjaga
agar pH mendekati netral (6,8 – 7,2) dan tekanan osmotik hampir sama
dengan cairan ekstraseluler atau yang lebih dikenal dengan neutral
buffer formalin (NBF).
b. Glutaraldehid
Fiksasi jaringan menggunakan glutaraldehid akan lebih ekstensif
melakukan crosslinked daripada formalin sehingga menyebabkan efek
yang kurang baik pada pewarnaan imunohistokimia tapi ia dapat
memfiksasi sangat cepat serta memberi detail terbaik pada sitoplasma
dan inti dan menjaga ultrastruktural dengan sangat baik sehingga
digunakan sebagai fiksatif utama untuk mikroskop elektron.
Glutaraldehid sangat buruk dalam penetrasi dan direkomendasikan
pada jaringan dengan ketebalan pemotongan < 1 mm.7 Glutaraldehid
secara perlahan akan terurai membentuk asam glutarik dan akan
berpolimerisasi menjadi bentuk cyclic dan oligomerik. Glutaraldehid
biasanya ditambahkan buffer yang sesuai pada pH 7,2 – 7,4 (biasanya
cacodylate, phospate atau maleate) menghasilkan konsentrasi larutan
glutaraldehid 3%.
2. Merkuri Chlorida
Merkuri Chlorida (HgCl2) adalah salah satu reagen yang digunakan
pertama kali untuk fiksasi jaringan. Ada beberapa kelemahan
menggunakan larutan fiksatif yang mengandung merkuri yaitu harganya
yang lebih mahal dibandingkan larutan fiksatif lainnya, sangat korosif,
sangat toksik, diabsorbsi kulit dan berakumulasi menjadi racun.
3. Zinc Salt
Zinc sulphate (ZnSO4) dan zinc chloride (ZnCl2) telah digunakan sebagai
pengganti untuk merkuri chlorida. Garam ditambahkan ke larutan
formalin 10% dengan konsentrasi sekitar 1%, tapi terdapat beberapa
masalah yang dilaporkan terkait dengan presipitasi dari zinc atau garam
buffer selama persiapan. Zinc salts akan bereaksi dengan grup akhir dari
jaringan meliputi amino, carboxyl dan sulphydryl, membentuk produk
reaksi reversibel yang dapat dihilangkan dengan sitrat atau EDTA. Zinc
dikatakan dapat meningkatkan fiksasi dan pewarnaan, khususnya inti sel
dengan cara yang mirip dengan merkuri klorida. Zinc diklaim memiliki
keunggulan dalam menjaga immuno-reaktivitas bila dibandingkan dengan
formalin saja dalam menghindari kebutuhan untuk pengambilan antigen
pada beberapa epitop.
4. Acrolein
Acrolein atau acrylic aldehid (H2C=CH.CHO) bereaksi dengan molekul
makro seperti formaldehid melakukan cross-links yang reversibel.
Acrolein bereaksi dengan asam lemak melalui ikatan ganda. Penetrasi
acrolein ke jaringan secara cepat, tapi jarang dipakai sebagai larutan
fiksatif karena tidak nyaman digunakan, pH alkaline yang tidak stabil dan
siap membentuk polimer. Acrolein biasanya digunakan untuk enzim
histokimia dan untuk fiksasi tanaman.
5. Glyoxal
Glyoxal bereaksi hampir sama dengan formaldehid menghasilkan
gambaran morfologi yang sama. Glyoxal dianggap sebagai pengganti
formalin karena dianggap kurang toksik dibandingkan formaldehid.
Larutan ini harus ditambahkan buffer sampai pH sekitar 4 agar stabil dan
mengandung sedikit metanol yang dapat mengkatalisis reaksi glyoxal
dengan protein.
Larutan glyoxal yang paten biasanya digunakan untuk histologi secara
umum dan imunohistokimia. Ada beberapa perbedaan glyoxal dengan
formaldehid (NBF) yaitu glyoxal dapat menekan pewarnaan pada jaringan
dengan protein arginin yang banyak, hanya sedikit menguap pada suhu
kamar karena mempunyai tekanan uap yang sangat rendah pada suhu
kamar dan biodegradable sehingga lebih mudah terurai dibandingkan
formalin.
6. Oxidizing Agent
Oxidizing agents meliputi larutan fiksatif permanganate (potassium
permanganate), dichromate (potassium dichromate) dan osmium tetroxide.
Mereka merupakan fiksatif cross-links tapi menyebabkan denaturasi yang
ekstensif.
7. Picric Acid
Picric acid sebagai larutan fiksasi yang selalu digunakan secara kombinasi
dengan agen fiksatif lainnya (contohnya larutan Bouin’s dan Hollande’s).
Picric acid adalah fiksatif koagulan yang mengubah muatan pada rantai
protein yang berion dan mengganggu elektrostatis dan ikatan hidrogen.
Hal tersebut akan membentuk garam (picrates) dengan grup utama dari
protein yang mengakibatkan koagulasi. Picric acid tidak digunakan untuk
lipid atau karbohidrat tapi direkomendasikan sebagai komponen fiksatif
untuk mempertahankan glikogen.
8. Alkohol
Etanol (CH3CH2OH) dan metanol (CH3OH) adalah fiksatif koagulan
yang mendenaturasi protein. Mereka mengganti ikatan air pada jaringan
sehingga mengganggu ikatan hidropobik dan hidrogen kemudian
mengekspos bagian hidropobik internal dari protein dan mengganggu
stuktur tersiernya dan solubilitasnya di air. Fiksasi dimulai dari konsentrasi
50-60% untuk etanol dan >80% untuk metanol.7 Keduanya tidak
digunakan secara rutin untuk jaringan karena mereka menyebabkan
jaringan menjadi terlalu rapuh dan keras.14 Etanol kadangkadang
digunakan untuk menjaga glikogen tapi akan menyebabkan kerusakan
pada detail inti dan sitoplasma. Metanol biasanya digunakan untuk fiksasi
blood film dan kultur sel sedangkan etanol 95% digunakan sebagai fiksatif
untuk apusan sitologi tetapi biasanya dikombinasikan dengan reagen lain
ketika digunakan sebagai fiksatif untuk spesimen jaringan (contoh :
larutan Carnoy dan Methacam).
9. Aseton
Aseton direkomendasikan sebagai fiksasi untuk histokimia dengan suhu
yang rendah (4oC). Karena sangat mudah menguap dan mudah terbakar
umumnya tidak digunakan pada pengolahan jaringan otomatis.
10. Asam Asetat
Asam asetat ( CH3COOH ) adalah koagulan yang bereaksi dengan asam
nukleat tetapi umumnya tidak memfiksasi protein. Umumnya aseton
tergabung dalam larutan fiksatif lainnya untuk membantu mencegah
hilangnya asam nukleat dan karena dapat membuat kolagen membengkak,
asam asetat digunakan untuk mengurangi penyusutan yang disebabkan
oleh bahan-bahan lain seperti etanol. Asam asetat penetrasinya sangat
cepat tapi fiksatif ini dapat melisiskan eritrosit.
Tabel 2. Formulasi larutan fiksatif

Larutan Fiksatif Komposisi Waktu Rekomendasi penggunaan


Fiksasi
Phosphate  40% formaldehyde: 100 ml 12-24 jam Paling banyak digunakan untuk
buffered formalin  Distilled water: 900 ml pemeriksaan rutin histopatologi
 Sodium dihydrogen phosphate
monohydrate: 4 g
 Disodium hydrogen phosphate
anhydrous 6.5 g
 pH of 6.8
Formal calcium  40% formaldehyde: 100 ml 12-24 jam Untuk mempertahankan lipid terutama
 Calcium chloride: 10 g fosfolipid
 Distilled water: 900 ml
Formal Saline  40% formaldehyde: 100 ml 12-24 jam Campuran formaldehid di dalam
 Sodium chloride: 9 g isotonik saline, biasa digunakan pada
 Distilled water: 900 ml pemeriksaan histopatologi rutin dan
membentuk pigmen formalin
Zinc formalin  Zinc sulphate: 1 g 4-8 jam Dirancang sebagai alternatif larutan
(tanpa buffer)  Deionised water: 900 m mercuri klorida. Larutan ini dikatakan
 Aduk sampai larut kemudian memberikan hasil yang lebih baik
tambahkan 40 % formaldehid : dengan imunohistokimia
100 ml
Larutan Zenker’s  Distilled water: 950 ml 4-24 jam Baik dalam pengawetan inti sel tapi
 Mercuric chloride: 50 g melisis sel darah merah karena adanya
 Potassium dichromate: 25 g acetic acid. Direkomendasikan untuk
 Glacial acetic acid: 50 ml spesimen padat dan memberikan hasil
yang baik dengan pewarnaan Ptah dan
trichrome
Methacam  Methanol absolute: 60 ml 1-4 jam Sifat yang mirip dengan Carnoy tetapi
 Chloroform: 30 ml kurang menyebabkan pengerasan dan
 Acetic acid glacial: 10 ml penyusutan jaringan
Larutan Carnoy  Ethanol absolute: 60 ml 1-4 jam Bereaksi cepat, mempertahankan inti
 Chloroform: 30 ml sel dengan baik dan menahan glikogen.
 Acetic acid glacial: 10 ml Melisis eritrosit dan melarutkan lipid.
Menghasilkan pengerasan berlebihan
dan penyusutan
Larutan Bouin’s  Picric acid saturated aqueous 4-8 jam Memberikan hasil yang sangat baik
solution. (2.1%): 750 ml untuk jaringan yang akan diwarnai
 40% formaldehyde: 250 ml dengan trichrome.Mempertahankan
 Acetic acid glacial: 50 ml glikogen tapi biasanya melisis eritrosit.
Kadang-kadang dianjurkan untuk biopsi
saluran gastro intestinal, embrio hewan
dan kelenjar endokrin
Larutan  Copper acetate: 25 g 4-8 jam Direkomendasikan untuk spesimen
Hollande’s  Picric acid: 40 g saluran gastro -intestinal dan fiksasi
 40% formaldehyde: 100 ml jaringan endokrin . Menghasilkan lisis
 Acetic acid: 15 ml yang lebih sedikit dari Bouin . Memiliki
 Distilled water: 1000 ml beberapa sifat dekalsifikasi. Fiksatif
 Larutkan bahan dalam distilled harus dicuci dari jaringan jika akan
water tanpa panas dimasukkan ke dalam fosfat buffered
formalin pada mesin pengolahan karena
akan membentuk endapan fosfat yang
tidak larut
Larutan B5  Stok Larutan: 4-8 jam untuk fiksasi jaringan hematopoietik
 Mercuric chlorida: 12 g dan limfoid . Ini menghasilkan detil inti
 Sodium acetate anhydrous 2,5g yang sangat baik, dan
 Distilled water ; 200 ml direkomendasikan untuk
 Larutan yang disiapkan segera imunohistokimia
sebelum digunakan:
 B-5 larutan stok : 20ml
 40% formaldehid ; 2 ml
Larutan Clarke’s  Ethanol (absolute): 75 ml 3-4 jam Digunakan untuk frozen section dan
 Acetic acid glacial: 25 ml smear. Mempertahankan asam nukleat
tetapi mengekstrak lipid. Jaringan dapat
ditransfer langsung ke etanol 95%
Alcoholic  40% Formaldehyde: 100 ml 12 - 24 jam Kombinasi fiksatif denaturasi dengan
formalin  95% Ethanol: 900 ml aditif dan. Kadang-kadang digunakan
 0.5 g calcium acetate can be added selama pengolahan jaringan untuk
to ensure neutrality menyempurnakan fiksasi. Dapat
digunakan sebagi fiksatif atau post
fiksatif untuk spesimen besar yang
berlemak (contohnya mammae) karena
akan memudahkan KGB untuk
dideteksi
Formol acetic  Ethanol absolute: 85 ml 1-6 jam Kadang-kadang digunakan untuk
alcohol  40% formaldehyde: 1 – 6 hours 10 diagnostik potongan cryostat. Jika
ml digunakan sebagai fiksatif uataadapat
 Acetic acid glacial: 5 ml dipindahkan langsung ke etanol 95%
untuk pengolahan jaringan
Helly’s fixative  Distilled water: 1000 ml 4 – 24 jam Bagus untuk sumsum tulang,
 Potassium dichromate: 25 g hematopoiesis ekstramedular dan diskus
 Sodium sulphate: 10 g interkalaris otot jantung. Menghasilkan
 Mercuric chloride: 50 g pigmen merkuri yang harus dihapus
 Ditambah 40% formaldehyde: 50 sebelum pewarnaan. Dapat
ml sebelum digunakan menghasilkan pigmen krom jika
jaringan tidak dicuci dalam air sebelum
pengolahan, setelah dicuci, jaringan
harus disimpan dalam etanol 70 %.
Karena pH rendah pigmen formalin
dapat terbentuk

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses fiksasi


1. Konsentrasi ion hidrogen (pH)
Fiksasi sebaiknya dilakukan dengan pH netral, sekitar 6-8. Hipoksia pada
jaringan dapat menurunkan pH, sehingga harus ada fungsi buffering pada
cairan fiksatif untuk mencegah keasaman yang berlebihan. Keasaman
dapat mempengaruhi pembentukan pigmen formalin-heme yang muncul
sebagai warna hitam yang dideposit dalam jaringan. Buffer yang umum
digunakan meliputi fosfat, bikarbonat, cacodylate dan veronal. Formalin
yang biasa digunakan menggunakan buffer dengan fosfat pada pH 7.
Fiksatif yang hipertonik akan menyebabkan sel menjadi menyusut
sedangkan fiksatif hipotonik akan mengakibatkan pembengkakan sel.
2. Temperatir fiksasi
Peningkatan suhu pada semua reaksi kimia, akan meningkatkan kecepatan
fiksasi dan akan meningkatkan dilusi dari agen fiksatif ke dalam jaringan.
Fiksasi untuk mikroskop cahaya secara rutin dilakukan pada suhu kamar
dan ini harus dilanjutkan dengan fiksasi selanjutnya pada suhu sampai
45oC selama pengolahan jaringan.
3. Kemampuan penetrasi (penetration rate) dan ketebalan pemotongan
Penetrasi jaringan tergantung pada kemampuan berdifusi dan berat
molekul dari setiap cairan fiksatif, dimana formalin dan alkohol
mempunyai kemampuan penetrasi terbaik dan glutaraldehid yang terburuk.
Mercuri dan yang lainnya berada di antara keduanya. Salah satu cara untuk
mengatasi masalah ini dengan pemotongan jaringan tipis (2 sampai 3 mm).
Penetrasi pada potongan tipis akan terjadi lebih cepat daripada bagian
tebal. Ketebalan sebuah spesimen tidak boleh lebih dari 4 mm. Idealnya
spesimen dengan tebal 3 mm dapat menghasilkan fiksasi dan pengolahan
jaringan yang baik.
4. Konsentrasi Larutan
Konsentrasi larutan fiksatif harus disesuaikan sampai ke tingkat serendah
mungkin, karena dapat menghemat dalam pembuatan cairan fiksatif
tersebut. Formalin adalah yang terbaik di 10 %, glutaraldehid umumnya
0,25% - 4% dan etanol pada konsentrasi 70%.9 Konsentrasi terlalu tinggi
dapat mempengaruhi jaringan dan menghasilkan artefak serupa dengan
panas yang berlebihan.
5. Volume fiksasi
Rasio yang tinggi antara larutan fiksatif dengan jaringan akan memastikan
proses fiksasi yang baik. Rasio optimal volume larutan fiksasi dengan
jaringan adalah 20:1. Dalam praktek sehari-hari masih didapatkan rasio
yang lebih rendah dari ini. Dalam hal ini, yang terbaik adalah untuk
mengganti cairan fiksatif secara periodik beberapa kali selama proses
fiksasi.
6. Durasi fiksasi
Fiksasi dilakukan secepatnya setelah jaringan di eksisi. Waktu fiksasi
optimal tergantung pada beberapa faktor dan bervariasi tergantung dengan
jenis agen fiksatif yang digunakan, contohnya: ketebalan spesimen
jaringan dan sebagian besar fitur yang disebutkan di atas dari proses
fiksasi (suhu, kapasitas buffering, penetrasi zat fiksatif, rasio volume).
Fiksasi berkepanjangan dapat menyebabkan dari hilangnya reaktivitas
antigen, penyusutan dan pengerasan spesimen.

2.1.2 Triming
Triming berarti mengiris-iris jaringan menjadi lebih kecil yang bertujuan
agar bisa dimasukkan ke dalam tissue cassete untuk proses dehidrasi. Dalam
melakukan triming sangat penting diperhatikan bagian jaringan yang mana yang
akan dipilih, sehingga menunjang akurasi diagnosa.

Gambar 2. Proses Triming

Gambar 2. Jaringan yang sudah ditriming dan dimasukan ke dalam tissue Casset
2.1.3 Dehidrasi
a. Pengertian
Dehidrasi adalah proses menghilangkan air dan zat fiksatif dari komponen
jaringan. Reagen dehidrasi bersifat hidrofilik (suka air), memiliki kutub yang kuat
berinteraksi dengan molekul air dengan cara mengikat hidrogen. Dehidrasi harus
dilakukan secara perlahan. Jika gradien konsentrasi reagen terlalu berlebihan,
maka arus difusi melintasi membran sel dapat meningkatkan kemungkianan
terjadi kerusakan pada sel. Oleh karena itu, spesimen diproses menggunakan
reagen dengan konsentrasi meningkat. Dehidrasi berlebihan dapat menyebabkan
jaringan menjadi keras, rapuh dan kusut. Dehidrasi yang tidak sempurna akan
mengganggu penetrasi reagen pembening ke dalam jaringan, sehingga
spesimennya lunak dan tidak bisa dilakukan proses infiltrasi. Hal yang penting
lainnya yaitu, sebelum dilakukan proses ini, jaringan harus dipastikan sudah
difiksasi dengan baik sehingga tidak terjadi artifak oleh karena terjadi fiksasi
alkohol.

b. Tujuan Dehidrasi
Tujuan dehidrasi adalah mengeluarkan air dari jaringan dan mencegah
terjadinya pengerutan jaringan. Beberapa tanda bahwa dehidrasi telah berhasil
dilakukan, antara lain:
1. Tidak terlihatnya lagi aliran perpindahan larutan ketika dimasukkan ke
dalam larutan dehidrasi terakhir
2. Warna yang dihasilkan dari jaringan tersebut terlihat berwarna abu-abu
atau pucat
3. Tekstur lunak dan rapuh

c. Proses dehidrasi
proses dehidrasi meliputi perendaman dalan larutan :
Larutan Lama perendaman
Alkohol 70 % 2 jam
Alkohol 80% 2 jam
Alkohol 90% 2 jam
Alkohol 96% 2 jam
Alkohol Absolut I 2 jam
Alkohol Absolut II 2 jam
Toluena I 2 jam
Toluena II 2 jam
Xylol 1 2 jam
Xylol 2 2 jam
Parafin cair I 2 jam
Parafin Cair II 2 jam

d. Jenis-jenis Cairan Dehidrasi


Reagen yang dapat digunakan untuk dehidrasi adalah Etanol, Etanol
Aseton, Metanol, Isoprofil, Butanol, Glikol dan Alkohol terdenaturasi.
1. Ethanol (C2H5OH)
Pemilihan yang sering dilakukan untuk larutan dehidrasi adalah etanol.
Hal ini dikarenakan etanol bisa memastikan dehidrasi terjadi secara total.
Etanol bersifat bening, tidak berwarna, mudah terbakar. Etanol bersifat
hidrofilik, tercampur dengan air dan pelarut organik lainnya, bekerja cepat
dan stabil. Konsentrasi etanol yang digunakan untuk dehidrasi dilakukan
secara berdegradasi (meningkat konsentrasinya). Dehidrasi pertama yang
sering dilakukan dengan cara merendam jaringan di dalam 70% etanol,
kemudian dilanjutkan ke larutan 95% dan 100% (Absolut). Namun untuk
kasuk-kasus tertentu awal dari tahap dehidrasi dapat dilakukan dengan
menaikkan atau menurunkan konsentrasi larutan etanol. Untuk jaringan
keras dapat dimulai dari alcohol 95 sedangkan untuk jaringan halus
dianjurkan agar pengolahannya mulai dari etanol 30%.
2. Aseton (CH3COCH3)
Aseton merupakan pilihan kedua dari larutan dehidrasi. Aseton bersifat
bening, tidak berwarna, dan mudah terbakar. Aseton dapat bercampur
dengan air, etanol dan juga sebagian pelarut organik. Aseton cepat
bereaksi, namun memiliki penetrasi yang buruk dan menyebabkan
kerapuhan dalam jaringan jika penggunaannya terlalu lama. Aseton
menghilangkan lipid dari jaringan selama proses dehidrasi.
3. Metanol (CH3OH)
Metanol adalah cairan yang bening, tidak berwarna dan mudah terbakar.
Metanol dapat bercampur dengan air, etanol dan sebagian pelarut organik.
metanol sangat toksik, tetapi dapat diganti dengan etanol sebagai dehidran.
4. Isopropil Alkohol (CH3CHOHCH3)
Isopropil alkohol dapat larut dengan air, etanol dan sebagian pelarut
organik. Reagen ini digunakan jika pemrosesan menggunakan microwave.
Isopropil alkohol tidak menyebabkan penyusutan jaringan.
5. Butil Alkohol (butanol) (C4H9OH)
Digunakan terutama untuk histologi tanaman dan hewan. Butil alkohol
adalah dehidran yang lambat sehingga menyebabkan penyusutan dan
pengerasan jaringan lebih sedikit.
6. Alkohol terdenaturasi
Cairan ini memiliki sifat fisik yang sama seperti etanol. Alkohol
terdenaturasi terdiri dari etanol, dengan penambahan metanol (sekitar 1%),
isopropil alkohol atau kombinasi alkohol. Untuk keperluan pengolahan
jaringan digunakan dengan cara yang sama seperti etanol

Gambar 2. Tisue Processor

2.1.4 Clearing atau Penjernihan


a. Pengertian Clearing
Clearing adalah metode yang digunakan untuk mengeluarkan alkohol dari
jaringan dan menggantikannya dengan suatu larutan yang berikatan dengan
parafin. Proses clearing ini sangat penting karena apabila di dalam jaringan masih
tersisa alkohol walaupyn sedikit, parafin tidak akan bisa masuk ke dalam jaringan,
sehingga tidak akan sempurna pada saat pembuatan blocking, pemotongan dan
pewarnaan.

b. Tujuan Clearing
Tujuan clearing adalah untuk menggantikan larutan alkohol atau aseton
dengan larutan yang dapat melarutkan parafin yang akan dimasukkan ke dalam
jaringan.

c. Cairan Clearing
Cairan Clearing harus memiliki kemampuan penetrasi jaringan yang cepat,
penghapusan reagen dehidrasi cepat, mudah digantikan oleh cairan infiltrasi,
menimbulkan kerusakan jaringan yang minimal, sifat mudah terbakar yang
rendah, toksisitas rendah dan murah. Sebagian besar cairan clearing adalah cairan
yang mudah terbakar, sehingga dalam penggunaannya harus berhati-hati. Cairan
clearing memiliki titik didih yang rendah sehingga umumnya lebih mudah
digantikan dengan lelehan parafin. Pemaparan cairan clearing yang terlalu lama
dapat menyebabkan jaringan menjadi rapuh. Oleh karena itu, harus dilakukan
pemantauan terhadap waktu saat berlangsungnya proses clearing.
Macam-macan cairan claering yang biasa digunakan adalah :
1. Xilol
Xilol adalah cairan yang mudah terbakar dan tidak berwarna dengan
aroma khas minyak bumi, larut dengan sebagian pelarut organic dan lilin
parafin. Cocok digunakan untuk dijadikan cairan pembening pada blok
dengan ketebalan kurang dari 5 mm dan cepat menggantikan alkohol dari
jaringan. Xilol dapat mengeraskan jaringan. Xilol paling sering digunakan
di laboratorium histologi rutin.
2. Toluen
Toluen memiliki sifat yang mirip dengan xilol, tetapi jaringan tidak rusak
meskipun waktu perendaman jaringan berlangsung lama. Toluen lebih
mudah terbakar dan mudah menguap darpada xilol.
3. Kloroform
Kloroform lebih lambat beraksi daripada xilol dan menyebabkan
kerapuhan yang kurang. Jaringan yang ketebalannya lebih dari 1 mm bisa
diolah. Kloroform tidak membuat jaringan menjadi bening dan tembus
cahaya. Kloroform tidak mudah terbakar tapi mempunya toksisitas yang
tinggi dan menghasilkan gas fosgen beracun ketika dipanaskan. Kloroform
biasanya paling sering digunakan untuk mengolah spesimen system saraf
pusat.

4. Xilol Substitusi
Xilol Substitusi adalah hidrokarbon alifatik yang ada dalam bentuk rantai
panjang dan rantai pendek. Dibedakan dalam jumlah atom karbon dalam
rantai karbonnya. Alifatik rantai pendek memiliki sifat penguapan yang
sama seperti xilol, dan tidak memiliki afinitas terhadap air. Alifatik rantai
panjang tidak menguap dengan cepat dan dapat menyebabkan kontaminasi
terhadap lilin parafin pada pematangan jaringan.
5. Citrus Fruit Oil (Reagen Limonene)
Reagen limonene adalah ekstrak dari kulit jeruk dan lemon. Reagen ini
tidak beracun dan mudah bercampur dengan air. Kelemahan reagen ini
adalah memiliki bau tajam yang menyebabkan sakit kepala dan juga
endapan mineral kecil seperti tembaga atau kalsium dapat larut dan
terlepas dari jaringan. Reagen limonene ini sangat berminyak dan tidak
bisa didaur ulang.

2.1.5 Infiltrasi
a. Pengertian Infiltrasi
Infiltrasi merupakan suatu proses memasukkan materi/filtrat ke dalam
jaringan sehingga jaringan tersebut dapat mengeras akibat filtrat tersebut di suhu
ruang. Mekanisme masuknnya filtrate ini kedalam sel adalah dengan
menggantikan cairan clearing dengan tingkat kelarutannya. Parafin adalah filtrate
yang paling banyak digunakan untuk infiltrasi dan embedding. Parafin yang
digunakan tersedia dalam berbagai bentuk dengan berbagai suhu lelehnya dan zat
penambahnya untuk bisa menghasilkan potongan jaringan yang berkualitas.
Beberapa praktisi menganjurkan menggunakan parafin yang mempunyai titik
leleh yang rendah dalam mempercepat proses infiltrasi. Reagen Infiltrasi
mempertahankan fungsi dari sel dan komponen ultrastruktural selama proses
pemotongan.
b. Reagen Infiltrasi
Lilin parafin adalah media yang paling sering digunakan untuk infiltrasi
dan penanaman jaringan di laboratorium histopatologi. Lilin parafin adalah
campuran hidrokarbon berantai panjang yang diproduksi dari pemecahan minyak
mineral. Sifatnya bervariasi tergantung dari titik lebur yang digunakan, berkisar
antara 47 sampai 640C. Lilin parafin meresapi jaringan dalam bentuk cair dan
membeku dengan cepat saat didinginkan. Jaringan dibenamkan dalam parafin,
kemudian membentuk matriks, hal ini mencegah kerusakan struktur jaringan
selama pemotongan. Lilin parafin yang mempunyai titik leleh lebih tinggi baik
digunakan untuk jaringan yang lebih keras misalnya Tulang, dapat
memungkinkan pemotongan yang lebih tipis, namun kesulitan pada saat proses
pembuatan pita. Lilin parafin yang mempunyai titik leleh yang rendah akan lebih
lembut namun tidak dapat mendukung untuk jaringan yang keras. Lebih sulit
mendapatkan pemotongan yang tipis namun lebih mudah membuat pita. Parafin
murah, mendukung kualitas potongan, dan mudah beradaptasi untuk semua
kegunaan. Parafin cocok digunakan untuk pewarnaan rutin, khusus dan
imunohistokimia.

2.1.6 Penanaman (Embedding)


a. Pengertian Embedding
Embeddinga adalah proses penanaman jaringan kedalam media paraffin
setelah proses infiltrasi dengan paraffin cair.
b. Tujuan Embedding
Untuk mempermudah dalam melakukan proses pemotongan atau
pengirisan sampel.
c. Reagen Embedding
Lilin parafin adalah media yang paling sering digunakan untuk penanaman
jaringan di laboratorium histopatologi.
d. Proses Embedding
Idealnya harus dilakukan dengan tahapan penanaman jaringan
sebagai berikut:
1. Tuangkan paraffin cair secukupnya ke dalam base mold
2. Posisikan jaringan sesuai dengan yang diharapkan
3. Dinginkan dasar dari base mold sehingga posisi tidak terjadi perubahan
4. Tutup dengan kaset jaringan
5. Tuangkan paraffin cair kembali hingga batas maksimal
6. Dinginkan dengan kondisi alas basemold dingin

Gambar 2. Embedding secara manual

Beberapa hal yang harus diperhatikan:


1. Perhatikan jaringan yang hendak ditanam, cek terlebih dahulu berapa buah
jaringan yang hendak ditanam pada keterangan di formulir atau di kaset
2. Pastikan sebelum menutup base mold dengan kaset, posisi jaringan benar-
benar kuat
3. Pastikan kaset yang hendak digunakan untuk tutup base mold dalam
kondisi panas sehingga paraffin dipastikan mengalir melalui seluruh celah
4. Lakukan teknik penanaman jaringan secara cepat sehingga parafin tidak
membeku.
2.1.7 Cutting (Sectioning)
Untuk mendapatkan pita jaringan yang baik harus melalui dua tahap
pemotongan yang harus dilakukan secara berurutan. Tahap tersebut ialah, tahap
potong kasar dan potong halus. Kedua tahap ini harus dilakukan secara teliti jika
tidak dapat menyebabkan artefak pada pita jaringan yang dapat mempersulit
proses pengamatan.

Gambar 2. Mikrotom sederhana

a. Potong Kasar
Proses potong kasar atau trimming merupakan proses awal pemotongan
blok jaringan yang bertujuan untuk membuang kelebihan paraffin yang menutupi
jaringan sehingga permukaan jaringan dapat terbuka dan bisa dihasilkan pita
jaringan yang utuh. Dikatakan potong kasar, dikarenakan pada proses ini
mikrometer diatur pada ketebalan yang cukup tinggi yaitu pada 15-30µm. Pada
proses ini perlu dilakukan dengan teliti karena jika tidak dapat mengakibatkan
artefak pada pita jaringan. Pastikan blok jaringan sudah
diseting di belakang pisau sehingga blok tidak langsung terpotong tebal,
karena dapat menyebabkan blok pecah dan merusak jaringan di dalamnya.

b. Potong Halus
Proses potong halus ini bertujuan untuk menghasilkan pita jaringan dengan
ketebalan tertentu. Blok jaringan yang akan dipotong harus didinginkan terlebih
dahulu untuk memberikan suhu yang stabil pada blok paraffin dan jaringan.
Ketebalan pita jaringan untuk jaringan hasil pembedahan rutin ialah 3-4µm.
Idealnya hasil pemotongan yang baik akan saling menempel satu sama lain
membentuk pita dengan ketebalan yang sama. Namun pita yang terbentuk dapat
memiliki ketebalan yang bervariasi meskipun dipotong pada skala yang sama.
Variasi ketebalan pita jaringan ini dipengaruhi banyak factor seperti suhu, sudut
penempatan pisau, dan kecepatan pemotongan, juga pengalaman teknisi. Perlu
dilakukan pelatihan berulang-ulang untuk dapat konsisten meghasilkan pita
jarigan yang baik secara dan efisien.
Tabel 2. Penyebab kegagalan proses memotong dan solusinya

Kegagalan Penyebab Solusi


Pita/potongan paralel 1. Potongan tidak tersambung 1. Potong blok hingga paralel
menggulung 2. Pisau tumpul 2. Ganti pisau atau geser pada bagian
yang berbeda
3. Kelebihan Parafin 3. Potong kasar kelebihan parafin
4. Adanya listrik statis pada pita 4. Lembabkan udara sekitar area
sehingga pita menggulung ke atas pemotongan, hindari penyebab
listrik statis, tempatkan lembaran
pengering dekat mikrotom
Potongan yang tebal 1. Parafin terlalu lembek untuk 1. Dinginkan blok atau tanam ulang
dan tipis jaringan jaringan pada parafin yang lebih
keras (paraplastin)
2. Sudut pemotongan kurang tepat 2. Atur ulang sudut pemotongan

3. Pisau atau blok longgar saat dijepit 3. Perkuat penjepit


4. Kegagalan mekanisme mikrotom
4. Lakukan perawatan, lumasi dan
kalibrasi ulang mikrotom
Potongan tidak 1. Parafin terlalu keras untuk 1. Tanam ulang pada titik leleh
membentuk pita dipotong parafin yang lebih rendah
2. Robek tengah pita 2. Bersihkan pisau dari sisa parafin
dengan kain yang diberi sedikit
xylol
3. Sudut pemotongan kurang tepat 3. Atur ulang sudut pemotongan
Jaringan tidak 1. Proses impregnasi jaringan dengan 1. Ulangi proses bloking
terpotong sempurna parafin tidak sempurna
2. Jaringan ditanam pada posisi yang 2. Ulangi proses penanaman,
salah posisikan jaringan dengan tepat
3. Jaringan ditanam pada posisi yang 3. Ulangi proses penanaman,
salah posisikan jaringan dengan tepat
4. Jaringan hanya terpotong 4. Posisikan ulang blok, potong lebih
dipermukaan dalam
Potongan lebih sering 1. Pisau tumpul 1. Gunakan pisau yang baru
menggulung 2. Sudut pemotongan tidak tepat 2. Atur ulang posisi pisau
dibandingkan pita yang 3. Potongan terlalu tebal 3. Kurangi ketebalan pemotongan
datar

c. Persiapan sebelum pemotongan


Sebelum memulai proses pemotongan perlu diperhatikan beberapa hal
berikut:
1. Pastikan fiksasi dilakukan dengan tepat.
Proses fiksasi yang kurang sempurna dapat menimbullkan kesulitan proses
pemotongan dan akan menghasilkan kelainan morfologi.
2. Pastikan proses jaringan dilakukan dengan tepat.
Hasil proses jaringan yang tidak baik (terlalu cepat atau terlalu lama) akan
menimbulkan kesulitan pemotongan jaringan.
3. Letakkan mikrotom dan waterbath pada posisi yang sesuai. Posisikan
mikrotom pada permukaan yang datar, stabil, tidak licin, terlindung dari
aliran udara berlebih, jauh dari tempat lalu-lalang orang, diletakan pada
posisi yang ergonomis dan minim menimbulkan kecelakaan kerja.
4. Pergunakan fitur pengaman dengan benar.
Hati-hati saat memasang atau mengatur pisau. Gunakan pinset atau kuas
untuk mengambil pita jaringan dari pisau atau blok jaringan. Pastikan
semua penjepit pada posisi yang baik dan kunci pengaman pada posisi
yang benar.
5. Atur sudut pemotongan pisau
Pisau yang dipakai harus tajam dan bersih serta harus diposisikan pada
sudut optimum, berkisar pada 35° Sudut yang tepat dapat mengurangi
kegagalan dan artefak pada pita jaringan.
6. Maksimalkan usia pemakaian pisau
Bersihkan pisau secara berkala, dan gunakan setiap bagian pisau dari satu
ujung ke ujung lainnya. Hindari kontak dengan benda keras seperti pinset
dan kuas.
7. Tempatkan kaset jaringan pada posisi yang tepat.
Posisikan jaringan pada posisi yang dapat meminialisir terbentuknya
lipatan.
8. Water bath yangdigunakan untuk meletakan pita jaringan hasil
pemotongan dan akan ditempelkan pada kaca objek harus dijaga suhu
airnya. Suhu air harus berkisar pada 10°C dibawah titik leleh paraffin. Air
yang digunakan harus bersih dan bebas gelembung.
9. Pastikan blok jaringan dalam keadaan dingin.
Blok yang dingin akan mengerasan blok dan mempermudah untuk
menghasilkan pita jaringan yang tipis. Sedikit air akan masuk kedalam
jaringan, membuat jaringan sedikit membengkak dan lebih mudah
dipotong.
10. Penjepit harus terpasang kuat, namun tidak terlalu kencang karena dapat
menimbulkan artefak pada pita jaringan.
11. Pastikan mikrotom dank aca objek yang digunakan dalam keadaan bersih
Gambar 2. Hasil pemotongan halus yang baik

d. Langkah-langkah pemotongan
1. Pasang dan jepit kaset jaringan, pastikan roda pemutar dalam keadaan
terkunci
2. Pasang dan atur sudut kemiringan pisau, kencangkan.
3. Potong kasar:
- Tempatkan blok jaringan pada posisi yang tepat dengan mengatur
tuas pemotong kasar.
- Buka pengunci tuas pemutar.
- Gerakan roda pemutar secar perlahan sampai blok jaringan sedikit
mengenai permukaan pisau.
- Tekan tuas pemotong kasar
- Mulai proses pemotongan dengan memutar roda pemutar searah
jarum jam.
- Hentikan proses pemotongan ketika permukaan jaringan sudh
terbuka.
- Lepaskan tuas pemotong kasar.
4. Potong halus
- Atur ketebalan jaringan yang diinginkan dengan memutar knop
pengatur ketebalan dan memperhatikan skala ketebalan.
- Gunakan sisi pisau yang berbeda untuk proses potong kasar dan
otong halus dengan menggeser posisi pisau, pastikan pisau sudah
terpasang dengan kuat.
- Mulai proses pemotongan dengan memutar roda pemutar searah
jarum jam.
- Ambil pita jaringan yang terbentuk dengan pinset sesuai
kebutuhan dan pindahan ke atas waterbath untuk selanjutnya
ditempelkan pada kaca objek.
- Posisikan kembali blok jaringan ke belakang pisau, kunci tuas
pemutar.
- Lepaskan blok jaringan dari penjepit, dang anti dengan blok lain
yang akan dipotong

e. Perawatan mikrotom
Untuk menghasilkan pita jaringan yang baik harus dilakukan perawatan
berkala agar mikrotom dapat terus bekerja dengan baik. Beberapa diantaranya
adalah:
1. Lepaskan blok jaringan dari penjepit blok, pastikan tuas dalam
keadaan terkunci sebelum hal ini dilakukan.
2. Lepaskan dan bersihkan pisau yang telah digunakan dari sisa jaringan
yang masih tertinggal, simpan pada kotak pisau.
3. Bersihkan bak penampung sisa jaringan.
4. Bersihkan mikrotom dengan lap kering dan halus.
5. Tutup mikrotom dengan kain atau plastic agar tidak terkena debu.
6. Lumasi bagian gerak mikrotom secara berkala.
7. Lakukan pemeriksaan berkala minimal satu tahun sekali oleh teknisi.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Gambar 3. Tahapan pemrosesan jaringan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tahapan pemrosesan


jaringan terdiri dari lima tahap utama yaitu fiksasi, pemrosesan jaringan,
pemasangan jaringan, pemotongan jaringan dan pewarnaan jaringan.
Preparat yang baik dapat memberikan hasil yang akurat, untuk itu preparat
harus dapat memberikan gambaran tentang bentuk, besar dan susunan
sebagaimana sel/jaringan itu hidup. Untuk mendapatkan preparat yang baik,
harus dipastikan setiap tahapan proses dilakukan dengan baik dan benar.
pemasangan jaringan, pemotongan jaringan dan pewarnaan jaringan.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terhadap hasil sediaan yang
baik. Terutama dalam proses fiksasi antara lain konsentrasi ion hidrogen (pH
netral), temperatur fiksasi (suhu kamar), kemampuan penetrasi (penetration
rate) dan ketebalan pemotongan (3-4 mm), konsentrasi larutan, volume fiksasi
(20:1) dan durasi fiksasi. Pemilihan larutan fiksatif yang digunakan tergantung
kepada jenis pewarnaan dan jenis molekul yang ingin dilindungi. Saat ini
larutan netral buffer formalin merupakan fiksatif yang paling baik dipakai
untuk pemeriksaan histopatologik.

3.2 Saran
Setiap tahap pemrosesan jaringan harus dilakukan dengan baik dan benar,
karena semua tahapan akan mempengaruhi terhadap hasil akhir.
DAFTAR PUSTAKA

Bancroft J.D., Gamble M. 2008. Theory and Practice of Histological Techniques.


Philadhelphia: Elsivier.
Carson, F.L., Hadik, C.,. 2009. Histotechnology : A self-instructional text. 3rd
Edition. Hongkong: American Society for Clinical Pathology Press.
Erick K., Dewi I. 2017. Sitohistoteknologi .Jakarta : PPSDMK.
Rupinder, Shubra and Kanwal. 2013. Rehydration of Air-Dried Smears versus
Wet Fixation: A CrossSectional Study.Acta Cytol. 57(4):364-8.
Tri Harjana, MP. 2011. Buku Ajar Histologi. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Srinivasan M, Sedmak D,Jeweii S. Effect of fixatives and tissue processing on the
content and integrity of nucleic acids. AM J Pathol. 2001;161(6):1961-71
Treuting P.M, Dintzis S.M. 2012. Comparative Anatomy and Histology. United
States of America: Elsivier.
Zulda M., Salmiah A. 2018.Proses Fiksasi pada Pemeriksaan Histopatologik.
Padang : Jurnal Kesehatan Andalas. 7(3).

Anda mungkin juga menyukai