Anda di halaman 1dari 29

HISTOPLASMOSIS (Histoplasma capsulatum)

Dosen Pengampu :

Disusun Oleh :
Fitriyani Dwi Ningsih (18334702)
Siti Nur Weni
Intania Anjani Putri (18334739)

KELAS :M

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada ALLAH SWT. yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepadanya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mengenai
Histoplasmosi ini. Makalah ini berisi mengenai tentang penyakit yang disebabkan oleh jamur
parasit atau khususnya membahas tentang Histoplasma capsulatum.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua. Saya
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan olehkarena iitu kritik dan saran dari
semua pihak yang ber sifat membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir, semoga ALLAH SWT. Senantiasa
meridhoi segala usaha kita. amin.

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
A. Latar belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................
A. Histoplasma capsulatum...............................................................................3
B. Toksonomi ...................................................................................................3
C. Morfologi dan Identifikasi ...........................................................................3
D. Distribusi Geografik......................................................................................7
E. Epidemologi..................................................................................................7
F. Struktur Antigen............................................................................................8
G. Patogenesis dan Patologi...............................................................................9
H. Gejala Klinik.................................................................................................9
I. Diagnosis.....................................................................................................12
J. Prognosi......................................................................................................13
K. Pengobtatan.................................................................................................14
L. Pencegahan..................................................................................................21
M. Studi kasus..................................................................................................22
BAB III PENUTUP..................................................................................................
A. Kesimpulan.................................................................................................25
B. Saran............................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Jamur merupakan organisme uniseluler maupun multiseluler (umumnya
berbentuk benang disebut hifa, hifa bercabang-cabang membentuk bangunan seperti
anyaman disebut miselium, dinding sel mengandung kitin, eukariotik, tidak berklorofil.
Jamur hidup secara heterotrof dengan jalan saprofit (menguraikan sampah organik),
parasit (merugikan organisme lain), dan simbiosis. Berdasarkan kingdomnya, fungi
(jamur) dibedakan menjadi lima divisi yaitu, Zigomycotina (kelas Zygomycetes),
Ascomycotina, Basidiomycotina, dan Deuteromycotina. Sedangkan Obat antijamur
adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang disebabkan oleh jamur
(Anonim, 2007).
Penyakit yang disebabkan oleh jamur biasanya akan tumbuh pada daerah-daerah
lembab pada bagian tubuh kita, diantaranya seperti pada bagian ketiak, lipatan daun
telinga, jari tangan dan kaki dan juga bagian lainnya. Penyakit kulit karena jamur bisa
menular karena kontak kulit secara langsung dengan penderitanya.Gejala dari penyakit
ini adalah warna kulit yang kemerahan, bersisik dan adanya penebalan kulit. Dan yang
jelas akan disertai dengan rasa gatal pada kulit yang sudah terifeksi jamur tersebut.
Salah satu penyakit yang disebabkan oleh jamur parasite adalah Histoplasmosis.
Histoplasmosis adalah infeksi yang disebabkan karena menghirup spora dari jamur yang
sering ditemukan di kotoran burung dan kelelawar. Penyakit ini sering kali menyebar
ketika spora mencemari udara, sering kali selama pembersihan atau pembongkaran
proyek. Tanah yang terkontaminasi oleh kotoran burung atau kelelawar juga dapat
menyebarkan histoplasmosis, sehingga petani, tukang bangunan, dan pekerja lapangan
berisiko tinggi untuk tertular penyakit ini.Kebanyakan orang yang menderita kondisi ini
tidak pernah mengalami gejala dan tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi. Namun,
untuk beberapa orang, terutama bayi dan orang dengan gangguan sistem kekebalan
tubuh, histoplasmosis bisa jadi kondisi serius. Pengobatan efektif tersedia bahkan untuk
bentuk histoplasmosis yang paling parah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Histoplasma capsulatum ?
2. Apa saja penyakit yang disebabkan oleh Histoplasma capsulatum?
3. Apa saja penyebab terjadinya penyakit oleh Histoplasma capsulatum ?
4. Apa gejala klinik yang terjadi oleh penyakit tersebut ?

1
5. Apa saja pengobatan untuk penyakit tersebut ?
6. Bagaimana cara pencegahan penyakit tersebut?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu Histoplasma capsulatum
2. Untuk mengetahui penyakit dan penyebabkan terjadinya penyakit oleh Histoplasma
capsulatum
3. Untuk mengetahui gejala klinik yang terjadi oleh penyakit tersebut
4. Untuk mengetahui pengobatan untuk penyakit tersebut
5. Untuk mengetahui cara pencegahan penyakit tersebut

BAB II
PEMBAHASAN

HISTOPLASMA CAPSULATUM

2
A. Histoplasma capsulatum
Histoplasma capsulatum adalah saprofit tanah dimorfik yang menyebabkan
histoplasmosis, infeksi mikotik di paru yang sering terjadi pada manusia dan hewan. Di
alam, H. capsulatum tumbuh sebagai kapang berhubungan dengan tanah dan habitat
burung, diperkaya oleh substrat alkali nitrogen pada kotoran hewan. H. capsulatum dan
histoplasma dan histoplasmosis, yang dimulai dengan inhalasi konidia, terjadi di seluruh
dunia. Namun insidennya sangat bervariasi dan kebanyakan kasus terjadi di Amerika
Serikat. H. capsulatum mendapatkan nama tersebut dari gambaran sel ragi pada potongan
histopatologik; namun, baik protozoa maupun saprofit tersebut tidak mempunyai kapsul.

B. TAKSONOMI JAMUR Histoplasma capsulatum


Taksonomi jamur Histoplasma capsulatum adalah sebagai berikut.
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Ascomycotina
Class : Ascomycetes
Order : Onygenales
Family : Onygenaceae
Genus : Ajellomyces (Histoplasma)
Species : Histoplasma capsulatum

C. MORFOLOGI DAN IDENTIFIKASI


1. Ciri dan Morfologi Jamur Histoplasma capsulatum
Jamur Histoplasma capsulatum merupakan jamur yang bersifat dimorfik bergantung
suhu. Pada suhu 35 – 37oC jamur ini membentuk koloni ragi sedangkan pada suhu lebih
rendah/suhu kamar (25 – 30oC) membentuk koloni filamen (kapang) berwarna coklat
tetapi gambarannya bervariasi. Banyak isolat tumbuh lambat dan spesimen memerlukan
inkubasi selama 4 - 12 minggu sebelum terbentuk koloni. Hialin hifa bersepta
menghasilkan mikrokonidia (2 – 5 µm) dan makrokonidia berdinding tebal berbentuk
sferis yang besar dengan penonjolan materi dinding sel pada daerah perifer (8 – 16 µm)
(Gambar 1).

3
Gambar 1. Histoplasma capsulatum.

Dalam jaringan atau in vitro pada medium kaya pada suhu 37 oC, hifa dan konidia
berubah menjadi sel ragi kecil, oval (2 x 4 µm). Dalam jaringan, merupakan parasit
intraseluler fakultatif Di laboratorium, dengan strain perkawinan yang tepat, siklus
seksual dapat diperlihatkan, menghasilkanAjellomyces capsulatus, suatu telomorf yang
menghasilkan askospora.

2. Siklus Hidup
Fungi ini termasuk fungi dimorfik. Fungi dimorfik adalah fungi yang dapat
memiliki dua bentuk, yaitu kapang dan yeast. Fungi ini termasuk kedalam Ascomycota
parasit yang dapat menghasilkan spora askus (spora hasil reproduksi seksual). Jamur ini
berkembang biak secara seksual dengan hifa yang bercabang-cabang ada yang
berkembang menjadi askogonium (alat reproduksi betina) dan anteridium (alat reproduksi
jantan), dari askegonium akan tumbuh saluran untuk menghubungkan keduanya yang
disebut saluran trikogin. Dari saluran inilah inti sel dari anteridium berpindah ke
askogonium dan berpasangan. Kemudian masuk ke askogonium dan membelah secara
mitosis sambil terus tumbuh cabang yang dibungkus oleh miselium dimana terdapat 2 inti
pada ujung-ujung hifa. Dua inti itu akan membelah secara meiosis membentuk 8 spora
dan disebut spora askus yang akan menyebar, jika jatuh di tempat yang sesuai maka akan
tumbuh menjadi benang hifa yang baru, demikian seterusnya (lihat Gambar 2).

4
Gambar 2. Siklus hidup jamur Histoplasma capsulatum

Histoplasmosis adalah infeksi oportunistik (IO) yang umum pada orang HIV-positif.
Infeksi ini disebabkan oleh jamur Histoplasma capsulatum. Jamur ini berkembang dalam
tanah yang tercemar dengan kotoran burung, kelelawar dan unggas, sehingga ditemukan
dalam di kandang burung/unggas dan gua. Infeksi menyebar melalui spora (debu kering)
jamur yang dihirup saat napas, dan tidak dapat menular dari orang yang terinfeksi. Jamur
ini dapat tumbuh dalam aliran darah orang dengan sistem kekebalan tubuh yang rusak,
biasanya dengan jumlah CD4 di bawah 150. Setelah berkembang, infeksi dapat menyebar
pada paru, kulit, dan kadang kala pada bagian tubuh yang lain. Histoplasmosis adalah
penyakit yang didefinisi AIDS

3. Identifikasi Jamur Histoplasma capsulatum


a. Spesimen
Spesimen biakan termasuk sputum, urine, kerokan dari lesi superficial, aspirat
sumsum tulang dan sel darah buffy coat. Preparat darah, preparat sumsum tulang, dan
specimen biopsy dapat diperiksa secara mikroskopik. Pada histoplasmosis diseminata,
biakan sumsum tulang sering positif.

b. Pemeriksaan Mikroskopik
Sel ovoid kecil dapat diamati dalam makrofag pada potongan histology yang
diwarnai dengan pewarnaan fungi (missal, perak metenamin Gomori, Schiff-asam
periodic atau calcofluor white) atau pada apusan sumsum tulang atau darah yang
diwarnai Giemsa.

5
c. Biakan
Spesimen biakan dalam medium yang kaya, seperti agar darah glukosa sistein pada
suhu 37 oC dan agar Sabouraud atau agar kapang inhibitorik pada suhu 25 – 30 oC
(Gambar 6). Pada plat agar darah (37oC), tumbuh sebagai fase budding yeast (bentuk
yeast like),berupa koloni berkeriput (wrinkled), seperti adonan (pasty). Pada saboroud
dextrose agar (25oC), tumbuh dengan koloni putih,seperti kapas (cottony) yang dapat
berubah kuning atau coklat sesuai penuaan. Miselium di hasilkan dengan 2 macam spora :
1) Macroconidia bulat,kecil,halus,muncul pada cabang lateral pendek, atau melekat
langsung pada dasar.
2) Microconidia atau clamydosphore bulat, berdinding tebal dan tertutup oleh
projeksi (tuberculate) menyerupai knop (knop like projection).
Biakan harus diinkubasi minimal selama 4 minggu. Harus hati-hati terhadap hasil
laboratorium jika mencurigai histoplasmosis karena metode biakan darah khusus, seperti
medium kaldu fungi atau sentrifugasi lisis, dapat digunakan untuk meningkatkan
penemuan H. capsulatum.

Gambar 3. Kultur jamur H. capsulatum pada media agar Sabouraud

d. Serologi
Uji Compelment Fixation (CF) untuk antibody terhadap histoplasmin atau sel ragi
menjadi positif dalam 2 – 5 minggu setelah infeksi. Titer CF meningkat selama penyakit
progresif kemudian turun sampai kadar sangat rendah ketika penyakit tidak aktif. Titer
yang lebih besar atau sama dengan 1 ; 32 merupakan petunjuk kuat adanya infeksi ; titer

6
1 ; 8 atau 1 ; 16 merupakan isyarat adanya infeksi. Peningkatan titer empat kali lipat atau
lebih antara serum akut dan konvalesen merupakan bukti infeksi yang meyakinkan.
Pada uji imunodifusi (ID), prespitin terhadap dua antigen spesifik H.
capsulatum terdeteksi; Adanya antibody terhadap antigen H sering menandakan
histoplasmosis aktif, sementra antibody terhadap antigen M dapat timbul dari uji kulit
berulang atau pajanan di masa lalu. Salah satu uji paling sensitive
adalah radioassay atau immunoassay enzim untuk antigen H. capsulatum dalam sirkulasi.
Hampir semua pasien dengan histoplasmosis diseminata menunjukkan uji positif untuk
antigen dalam serum atau urine; kadar antigen turun setelah pengobatan yang sukses dan
timbul kembali saat relaps. Walaupun terjadi reaksi silang dengan mikosis lain. Uji untuk
antigen ini lebih sensitive daripada uji antibody konvensional pada penderita AIDS
dengan histoplasmosis.

e. Uji Kulit
Uji kulit histoplasmin menjadi positif segera setelah infkesi tetap positif selama
bertahun-tahun. Uji tersebut dapat menjadi negative pada histoplasmosis diseminata
progresif. Uji kulit berulang merangsang antibody serum pada individu yang sensitive,
yang menganggu interpretasi diagnostik uji serologi.

D. DISTRIBUSI GEOGRAFIK
Jamur Histoplasmosis capsulatum ditemukan di seluruh dunia termasuk di Indonesia,
namun lebih banyak ditemukan di Amerika Utara dan Amerika tengah. Histoplasmosis
endemis disepanjang lembah sungai Mississipi dan sungai Ohio. Jamur ini pertama kali
diisolasi oleh Emmons dari tanah pada tahun1949. Kemudian di Negara lain juga dilaoprkan
penemuan jamur tersebut di tanah yang mengandung kotoran ayam, kelelawar dan burung. Di
Indonesia dilaporkan kasus histoplasmosis dan jamur dapat diisolasi dari kelelawar pada
tahun 1968. Histoplasmosis duboisii atau histoplasmosis Afrika sampai saat ini penyebaran
geografisnya terbatas di Afrika.

E. EPIDEMIOLOGI
Di alam H. capsulatum hidup sebagai saprofit di tanah yang banyak mengandung
nitrogen dengan konsentrasi tinggi. Misalnya tanah yang tercemar tinja ayam atau burung.
Unggas tidak terinfeksi namun paruh dan kakinya dapat membawa jamur tersebut.
Kontaminasi tanah oleh H. capsulatum dapat bertahan lama meskipun kandang ayam tersebut

7
telah bertahun-tahun tidak digunakan. Kelelawar dapat terinfeksi dan menebarkan jamur
melalui tinjanya.
Insiden histoplasmosis paling tinggi di Amerika Serikat, yang merupakan daerah endemik
meliputi negara bagian tengah dan timur dan terutama lembah sungai Ohio dan sebagian
lembah sungai Mississipi. Sejumlah wabah histoplasmosis akut disebabkan oleh pajanan
banyak orang dengan inokulum konidia yang besar. Keadaan tersebut dapat terjadi bila
habitat alami H. capsulatum terganggu, yaitu tanah yang bercampur dengan kotoran burung
(missal, tempat ertengger burung jalak, kandang ayam( atau kotoran kelelawar (goa). Burung
tidak terinfeksi, tetapi kotorannya memberikan kondisi biakan yang baik bagi pertumbuhan
fungi. Konidia juga menyebar melalui angin dan debu. Wabah urban histoplasmosis terbesar
terjadi di Indianapolis.
Pada beberapa daerah yang sangat endemic, 80 – 90% penduduk mempunyai hasil uji
kulit yang positif pada awal masa dewasa. Banyak penduduk akan mengalami kalsifikasi
miliar di paru. Histoplasmosis tidak menular dari orang ke orang. Penyemprotan formaldehid
pada tanah yang terinfeksi dapat membasmi H. capsulatum. Di Afrika, selain patogen yang
lazim, terdapat varian yang stabil, H. capsulatum var duboisii, yang menyebabkan bagian
paru yang terkena lebih sedikit da lebih banyak lesi pada kulit dan tulang dengan sel raksasa
dalam jumlah besar yang mengandung ragi, berbentuk lebih besar dan lebih sferis.

F. STRUKTUR ANTIGEN
Histoplasmin adalah antigen filtrate biakan kaldu miselium kasar. Setelah infeksi awal,
yang bersifat asimtomatik pada lebih dari 95% individu, diperoleh uji kulit tipe lambat yang
positif terhadap histoplasmin. Antibodi terhadap ragi dan antigen miselium dapat diukur
secara serologis (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Ringkasan uji Serologis Antibodi Terhadap Patogen Fungi Dimorfik Sistemik

Sensivitas dan Nilai


Mikosis Uji Antigen Keterangan
Diagnosis Prognosis

8
Histoplasmosis CF H ≤ 84% kasus Perubahan Reaksi silang pada
positif (titer ≥ titer empat pasien
1 ; 8) kali lipat blastomikosis,
kriptokokosis,
asperigilosis, titer
dapat disokong uji
kulit dengan
histoplasmin
CF Y ≤ 94% kasus Perubahan Rekativitas silang
positif (titer ≥ titer empat kurang daripada
1 ; 8) kali lipat dengan histoplasmin
ID H ≥ 85% kasus Hilangnya h Uji kulit dengan
positif, yaitu histoplasmindapat
pita m atau m meningkatkan
dan h jumlah pita m; lebih
spesifik daripada uji
CF

G. PATOGENESIS DAN PATOLOGI


Inhalasi mikrokonidia merupakan stadium awal infeksi manusia. Konidia mencapai
alveoli, bertunas, dan berproliferasi sebagai ragi. Infeksi awal adalah bronkopneumonia.
Ketika lesi paru awal bertambah usianya. terbentuk sel raksasa disertai dengan pembentukan
granuloma dan nekrosis sentral. Pada saat pertumbuhan spora, sel ragi masuk ke dalam
sistem retikuloendotelial melalui sistem limfatik paru dan limfonodi hilus. Penyebaran
dengan keterlibatan limpa khas menyertai infeksi paru primer. Pada hospes normal, respons
imun timbul pada sekitar 2 minggu. Lesi paru awal sembuh dalam 2 sampai 4 bulan tetapi
dapat mengalami kalsifikasi menyerupai kompleks Ghon tuberkulosis, atau mungkin
ditemukan kalsifikasi buckshot yang melibatkan paru dan limpa. Tidak seperti tuberkulosis,
reinfeksi dengan H. capsulatum terjadi dan dapat menimbulkan respons hospes yang
berlebihan pada beberapa kasus.

H. GEJALA KLINIK
Jamur ini dapat tumbuh dalam aliran darah orang dengan sistem kekebalan tubuh yang
rusak, biasanya dengan jumlah CD4 di bawah 150. Setelah berkembang, infeksi dapat

9
menyebar pada paru, kulit, dan kadang kala pada bagian tubuh yang lain. Histoplasmosis
adalah penyakit yang didefinisi AIDS. Secara umum histoplasmosis tanpa gejala dan hanya
ditandai dengan gejala hypersensitive terhadap histoplasmin. Berupa tumor pernafasan akut
yang jinak, dengan variasi mulai dari penyakit yang ringan pada saluran pernafasan sampai
dengan tidak dapat melakukan aktivitas karena tidak enak badan, demam, kedinginan, sakit
kepala, myalgia, nyeri dada dan batuk nonproduktif, kadang-kadang timbul erythema
multiforme dan erythema nodosum. Ditemukan adanya pengapuran kecil-kecil tersebar pada
paru-paru, pengapuran pada kelenjar limfe, hiler dan limpa merupakan gejala lanjut dari
penyakit ini.
Infeksi terjadi dengan inhalasi spora, terutama mikrokonidia, spora yang cukup kecil
untuk mencapai alveoli pada inhalasi, yang kemudian berlanjut dengan bentuk budding.
Dengan berlanjutnya waktu, reaksi granuloma terjadi. Nekrosis perkijuan atau kalsifikasi
dapat menyerupai tuberkulosis. Diseminasi transien dapat meninggalkan granuloma
kalsifikasi pada limpa. Pada orang dewasa, massa bulat atau jaringan parut dengan atau tanpa
kalsifikasi sentral dapat menetap pada paru, yang disebut histoplasmoma. Dapat pula
terbentuk infiltrat paru dan pembesaran kelenjar hilus. Bila infeksi terjadi dengan jumlah
spora yang besar maka terdapat gambaran yang mirip dengan tuberkulosis miliaris. Infeksi ini
biasanya sembuh dengan atau tanpa meninggalkan perkapuran dalam paru. Pada beberapa
keadaan, dapat berlangsung progresif hingga mengenai sebagian atau seluruh paru,
deseminata, dengan atau tanpa riwayat histoplasmosis primer akut paru, potensial fatal
hingga dapat menyebabkan kematian. Infeksi kedua kali dapat menimbulkan reaksi jaringan
yang lebih kuat sehingga menimbulkan rongga atau kaverna dengan gejala batuk darah.
Kebanyakan orang yang terinfeksi tidak memiliki gejala-gejala. Saat gejalannya datang,
sangat bermacam-macam gejalanya, tergantung kepada bentuk dari penyakitnya. Infeksi
paru-paru dapat menjadi short-term (acute) dan relatif ringan, atau dapat juga menjadi long-
term (kronis) dan serius. Gejala-gejala infeksi paru-paru akut adalah kelelahan, demam,
dingin, sakit di dada, dan batuk kering. Infeksi paru-paru kronis dapat seperti tuberculosis dan
terjadi di sebagian besar orang yang telah sakit paru-paru. Hal ini dapat berkembang
berbulan-bulan atau bertahun-tahun dan melukai paru-paru. Gejala yang ditimbulkan tidak
khas dan menyerupai gejala penyakit paru lain seperti demam, batuk, sesak napas, dan lain-
lain. Penyakit yang menahun mirip dengan gejala tuberkulosis shingga sulit dibedakan dari
penyakit tersebut. Di alat dalam lain, gejala yang ditimbulkan juga tidak khas dan
menyerupai penyakit pada alat tersebut sehingga seringkali penyakit ini tidak dapat dikenal
secara dini.

10
Dari paru, jamur dapat menyebar secara hematogen ke alat lain, terutama sistem
retikulo-endotel, sehingga menimbulkan pembengkakan hati, limpa, dan kelenjar getah
bening. Walaupun demikian, pada Histoplasmosis diseminata, penderita tidak selalu
menunjukkan gejala paru ataupun sangat minimal, seperti juga yang terjadi pada pasien ini.
Suatu bentuk infeksi yang akut dan fatal serta cepat dijumpai pada anak-anak dan penderita
imunosupresi, termasuk penderita AIDS. Demam, anemia, leukopesia, berat badan menurun,
sering dijumpai pada penyebaran H. capsulatum diseminata. Jika tidak terdiagnosa, dapat
menimbulkan kematian. Penyakit paru fulminan dapat menyerupai infeksi pneumonia oleh
Pneumocystis carinii. Fungemia sering dijumpai dan kadang organisme intraselular ini dapat
terlihat bersirkulasi pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi biasa di dalam monosit1,2,3.
Secara klinis histoplasmosis terbagi menjadi histoplasmosis asimptomatik,
histoplasmosis pulmoner akut, histoplasmosis pulmoner kronik dan histoplasmosis
diseminata.
1) Histoplasmosis Asimptomatik
Histoplasmosis asimptomatik biasanya terjadi di daerah endemis. Sebanyak 50 –
85% orang yang tinggal di daerah endemis pernah terinfeksi jamur tersebut.

2) Histoplasmosis Pulmoner Akut


Bentuk yang paling sering ditemukan, dapat primer (infeksi awal atau sekunder
(infeksi Wang). Bentuk primer seringkali asimptomatik, masa tunasnya pada bayi dan
anak kecil ialah 10 - 23 hari, banyak dijumpai di daerah endemis. Satu-satunya tanda
infeksi adalah uji kulit histoplasmin positif. Bila timbul gejala akan menyerupai
influenza yaitu panas mendadak, malaise, nyeri otot sakit kepala, batuk nonproduktif,
dapat disemi rhonkhi yang difus dan hepatosplenomegali ringan. Pemeriksaan
radiologis menunjukkan infiltrat kecil-kecil tersebar di paru dan pembesaran kelenjar
pada hilus. Kelainan ini bersifat ringan dan sembuh sendiri.
Pada anak-anak berlangsung tidak lebih dari tiga minggu. Bentuk sekunder,
gejalanya serupa dengan yang primer, pada pemeriksaan radiologis tampak nodul-nodul
milier tersebar di paru menyerupai tuberkulosis miliaris. Dalam beberapa bulan
kelainan ini dapat menghilang sendiri dengan atau tanpa perkapuran. Uji tuberkulin
negatif sedangkan uji kulit histoplasmin positif.

3) Histoplasmosis Pulmoner Kronik

11
Dijumpai pada orang dewasa setengah umur, perokok dan mempunyai riwayat
penyakit obstruksi paru kronis, belum pernah ditemukan pada anak-anak. . Gejalanya
demam, batuk kronik dengan produksi sputum, malaise, lelah, berat badan turun, nyeri
dada dan hemoptisis. Pada pemeriksaan radiologis paru terlihat kavitasi pada lobus atas
dan fibrosis yang progresif pada bagian bawah paru.

4) Histoplasmosis Diseminata
Suatu penyakit yang akut pada bayi, anak kecil dan penderita dengan imunospresi.
Morbiditas dan mortalitas tinggi. Bentuk yang fatal ini jarang terjadi. Kelainan dimulai
dengan infeksi paru akut, demam, batuk, sesak napas dan cepat menjadi progesif serta
menyerang banyak organ. Penderita tampak sakit berat, mual, muntah, sakit perut dan
diare. Ditemukan rhonkhi, limfa- denopati, hepatosplenomegali, anemia, leukopenia
dan trombositopenia. Bila tidak diobati, kelainan akan memburuk dan dapat terjadi
kegagalan pernapasan, perdarahan gastro-intestinal yang tidak dapat dikontrol,
koagulasi intravaskuler diseminata (DIC) dan/atau sepsis, akhimya dapat menimbulkan
kematian. Gambaran radiologis paru terlihat infiltrate interstitial difus atau bentuk
retikulonodular yang dengan cepat menjadi acute respiratory distress syndrome.
Kelainan ini dapat dijumpai pula pada penderita leukemia atau keganasan sistem
limfatik dan hemopoetik lainnya, path pemberian kemoterapi, obat imunosupresif atau
steroid, serta pada penderita AIDS yang menunjukkan gejala demam yang tidak dapat
diterangkan sebabnya disertai hepatosplenomegali dan pansitopeniat. Kelainan yang
bersifat subakut atau kronis dapat di tern ukan pada penderita dewasa, biasanya dengan
gejala ulserasi pada mulut, faring, laring dan saluran pencernaan, insufisiensiadrenal,
endokarditis, osteomielitis, arthritis dan meningitis.

I. DIAGNOSIS
Diagnosis histoplasmosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan
laboratorium mikologi. Pemeriksaan laboratorium mikologi dilakukan dengan
pemeriksaan secara langsung dan membiakkan specimen klinik yang berasal dari pasien
yang diduga terinfeksi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan pemeriksaan serologi
untuk mendeteksi antigen dan antibody yang sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis.
Bahan klinik yang dibutuhkan unutk pemeriksaan laboratorium mikologi tergantung
pada organ yang terkena. Pada histoplasmosis patu dapat dilakukan pemeriksaan sputum

12
baik secara langsung dengan pulasan Giemsa dan menanam sputum pada agar Sabouraud
dekstrosa (ASD). Bahan klinik lain yang dapat digunakan pada histoplasmosis paru
adalah bilasan bronkus, yang cara pemeriksaannya sama dengan pemeriksaan sputum.
Pada histoplasma diseminata bahan klinik yang digunakan untuk pemeriksaan
laboratorium dalah darah, cairan otak, usap ulkus, kerokan kulit dan bahan biopsi
jaringan. Perlakuan terhadap bahan klinik di atas sama dengan pemeriksaan sputum yaitu
diwarnai dengan pulasan Giemsa dan dibiakkan pada media ASD. Pemeriksaan bahan
biopsi juga dapat dilakukan dengan membuat sediaan tekan jaringan dan memulasnya
dengan Giemsa dan HE.
Bahan klinik yang paling sering memberikan hasil positif baik pada pemeriksaan
langsung maupun biakan adalah biopsy jaringan sumsum tulang. Biakan darah juga
memberikan hasil positif yang tinggi. Pemeriksaan langsung dapat dilakukan dengan
mewarnai bahan klinik dengan pulasan Giemsa atau dengan memeriksa sediaan
histopatologi yang diwarnai HE, atu GMS. Pada pemeriksaan langsung dengan pulasan
Giemsa dan pulasan HE, H. capsulatum tampak sebagai sel ragi intraseluler yang
dikelilingi oleh halo hialin yang tidak terwarnai dan sitoplsma yang terpulas di dalams el
makrofag/monosit. Pada biakan specimen klinik pada ASD yang diinkubasi pada suhu
kamar jamur tumbuh sebagai koloni filament/kapang dan membentuk mikrokonida dan
makrokonidia yang penting sebagai petanda identifikasi. Untuk menumbuhkan jamur
dalam bentuk ragi, inkubasi biakan dilakukan pda suhu 37 oC. Pertumbuhan jamur H.
capsulatum pada biakan memerlukan waktu yang lama karena pertumbuhannya lambat.
Biakan dinyatakan negative setelah ditemukan pertumbuhan dalam waktu
enam minggu. Karena itu hasil pemeriksaan langsung menjadi sangat penting. Bila
pemeriksaan langsung memberikan hasil positif maka pengobatan dapat segera dimulai.
Deteksi antigen penting untuk membantu menegakkan diagnosis pada histoplasma
akut, terutama pada penderita AIDS. Bahan klinik yang dapat digunakan adal serum,
cairan otak, urin dan bilasan bronkus. Urin merupakan bahan klinik yang paling sering
memberikan hasil positif, sedangkan BAL positif sering ditemukan pada penderita AIDS.
Deteksi antibodi berperan penting dalam menegakkan diagnosis histoplasmosis. Dengan
menggunakan teknik imuno difusi, dapat dideteksi antigen M dan H. Antigen M dibentuk
pada infeksi akut namun juga sering ditemukan pada infeksi kronik. Antigen dapat
bertahan selama bertahun-tahun. Antigen H jarang ditemukan, biasanya ditemukan
bersama antigen M.

13
J. PROGNOSIS
Prognosis histoplasmosis tergantung kondisi penyakit pada saat diagnosis
ditegakkan. Diagnosis dini mempunyai prognosis yang lebih baik, namun diagnosis
sering kali terlambat ditegakkan secara klinis histoplasmosis memiliki gejala yang mirip
dengan penyakit lain. Pada histoplasmosis diseminata pemberian pengobatan yang tepat
dengan induksi dan terapi supresif untuk mencegah relaps memperbaiki prognosis.

K. PENGOBATAN
1. Pada Manusia
Pengobatan histoplasmosis dibedakan antara pengobatan pada penderita
imunokompeten non AIDS dan pengobatan pada penderita AIDS. Pada kelompok non
AIDS pengobatan juga dibedakan antara histoplasmosis diseminata yang mengancam
nyawa dan bentuk yang lebih ringan. Pada bentuk diseminata yang mengancam
nyawa pengobatan dimulai dengan pemberian amfotersin B secara intravena dengan
dosis 0,7 – 1 mg/hari tiap hari selama 1 – 2 minggu. Dosis total diberikan sebanyak
2500 mg untuk orang dewasa. Untuk anak-anak disesuaikan dengan umur dan berat
badan. Kemudian diteruskan dengan itrakonazol 200 – 400 mg/hari sampai paling
sedikit 6 bulan. Pada bentuk yang lebih ringan dapat diberikan itrakonazol 200 – 400
mg selama paling sedikit 6 bulan. Pada histoplasmosis paru kronik dengan kavitas
diperlukan pengobatan selama lebih dari satu tahun untuk mencegah relaps.
Pada penderita AIDS dengan histoplasmosis ringan sampai sedang dapat diberikan
itrakonazol 200 mg tiga kali/hari untuk tiga hari pertama dilanjutkan denga 2 x 200
mg selama 12 minggu. Prinsip pengobatan histoplasmosis diseminata adalah
pemberian terapi induksi untuk mendapatkan perbaikan klinis diikuti terapi supresif
untuk mencegah relaps. Terapi induksi menggunakan amfoterisin B 0,5 – 1
mg/kgBB/hari selama 3 hari – 2 minggu tergantung respons penderita. Kemudian
diikuti terapi supresif dengan itrakonazol 400 mg/hari selama kurang lebih 3 bulan.

2. Pada Hewan
Pada kasus terjadinya Epizootic Lymphangitis pada kuda, pengobatn yang dapat
dilakuakan yaitu dengan pemberian Iodide Sodium secara intravena, atau dengan
pemberian Potassium Iodide secara peoral, namun terjadinya penyakit terulang kembali
atau kambuh pada beberapa bulan kemudian dapat terjadi. Secara invitro sensitifitas
organisme terhadap Amphotericin B, Nystatin, dan Clotrimazole telah dilaporkan. Pada

14
kebanyakan kasusu hewan yang terinfeksi oleh penyakit ini tidak diijinkan untuk
dilakukan pengobatan, dan hewan yang terinfeksi segera dimusnahkan dengan eutanasia.

3. Obat Anti Jamur Untuk Penderita Histoplasmosis


a. Amfoterisin B
Amfoterisin B yang ditemukan dan diisolasi dan strain Str.nodosus pada tahun 1956
merupakan antibiotika kelompok makrolida poliena yang memiliki 7 ikatan rangkap
konyugasi pada posisi trans dan 3-amino-3,6-dideoksimanosa yang berhubungan
melalui ikatan glikosida. Sesuai dengan namanya sifat amfoter diberikan oleh gugus
karboksil pada cincin utama dan gugus amino pada mikosamin.Kelarutannya dalam air
yang kecil pada pH netral menyulitkan pemberian per iv hingga perlu solubilisasi
melalui dispersi koloid dalam deoksikolat atau pembentukan derivat N-asil maupun
ester dan gugus karboksi.

1) Aktivitas
Amfoterisin B aktif terhadap Candida sp., Cryptococcus neoformans,
Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum,Torulopsis glabrata, Coccidiodes
immitis, Paracoccidiodes braziliensis, Aspergillus sp, dan hanya aktif terbatas
terhadap protozoa, Leishimania braziliensis dan Naegleria fowleriserta tidak memiliki
aktivitas anti bakteri.
Aktivitasnya sebagian bergantung pada ikatannya pada lingkungan steroid,
khususnya ergosterol, yang ada dalam membran sel jamur yang peka sehingga
meningkatkan permeabilitas membran dan pada oksidasi sel-sel jamur; sedangkan
resistensi umumnya terjadi karena mutan yang terbentuk memiliki kadar ergosterol
yang berkurang dalam membran selnya dan strain tertentu memiliki kadar prazat
ergosterol yang meningkat tetapi dengan affinitas lebih rendah terhadap antibiotika
poliena. Kepekaan bervariasi antar spesies tetapi hampir seragam dalam suatu spesies
dan MIC yang tepat bergantung pada metoda penetapannya.

2) Absorpsi, distribusi dan ekskresi


Absorpsi amfoterisin B dan saluran pencernaan hamper tidak ada, infus iv 0,5
mg/kg bobot badan berulang menghasilkan kadar plasma 1-1,5 μg/ml pada akhirnya
dan kemudian menurun menjadi 0,5-1,0 μg/m1 dalam 24 jam berikutnya. Obat
dilepaskan dan bentuk kompleks dengan deoksikolat dalam aliran darah dan dalam

15
plasma Iebih dan 90% terikat pada protein khususnya B-lipoprotein. 2-5% dosis
dikeluarkan dalam urine pada terapi harian dan eliminasi tidak berubah pada penderita
anefrik atau hemodialisis. Kadar dalam cairan tubuh lebih kurang 2/3 kadar plasma
dengan waktu paruh eliminasi I.k. 15 hari. Setelah terapi dihentikan amfoterisin B
masih ada dalam serum selama 7-8 minggu karena dilepaskan perlahan dari depot
jaringan. Dosis efektif bergantung pada tipe dan berat infeksi, biasanya dosis uji 1
mg/20 ml dextrosa 5% per iv selama 20-30 menit. Sementara itu suhu, denyut
jantung, laju respirasi dan tekanan darah harus direkam. Bila fungsi jantung dan paru
baik serta tidak ada reaksi samping yang berarti, maka dosis dapat dinaikkan menjadi
0,3 mg/kg bobot badan per iv selama 2-24 jam.

3) Efek samping
Sejumlah besar efek tidak diharapkan bisa timbul dan yang paling umum adalah
demam (biasanya berkurang meskipun pemakaian dilanjutkan) dan azotemia serta
didahului oleh dyspnea dan takikardia. Kemampuannya untuk membebaskan
interleukin-1 dan faktor nekrosis tumor dari monosit dan makrofag murine invitro
dapat menerangkan mekanisme pirogenitasnya. Azotemia terjadi pada 80% kasus
mikosis dalam yang diberikan amfoterisin B dan toksisitas bergantung pada dosis,
bersifat sementara dan meningkat pada pemakaian bersama obat nefrotoksis lain
seperti aminoglikosida atau siklosporin. Meskipun demikian gangguan fungsional
permanen tidak lazim pada fungsi ginjal yang awalnya normal, kecuali dosis melebihi
3-4 g untuk dewasa. Selama dan beberapa minggu setelah terapi mungkin terjadi
asidosis tubular dan ekskresi ion kalium dan magnesium, sehingga biasanya
dibutuhkan suplemen tambahan pada terapi jangka panjang serta pemantauan
elektrolit serum minimal 2 x seminggu. Heparin 10 mg sering ditambahkan ke dalam
infus dalam upaya mengurangi flebitis. Amfoterisin B dapat berinteraksi dengan
glikosida digitalis sehingga menimbulkan keracunan digitalis melalui mekanisme
penurunan kalium darah.

4) Penggunaan
Terapi sistemik hanya diberikan untuk penderita di bawah pengawasan ketat
dengan mikosis fatal progresif yang disebabkan oleh jamur yang peka dan harus
dilanjutkan untuk waktu yang cukup, biasanya 2-4 bulan, untuk mencegah

16
kekambuhan. Sedangkan pemakaian dalam kehamilan harus sangat berhatihati
meskipun belum ada bukti teratogenitas.
Cara penyimpanan, penyiapan dan pemakaian amfoterisin B harus diperhatikan
benar-benan karena ketidak-stabilannya terhadap misalnya panas dan pH rendah,
sedangkan dosis harus diindividualisasi atas dasar beratnya penyakit dan toleransi
penderita. Pemakaian iv utama untuk penatalaksanaan mukormikosis, aspergillosis
invasif, sporotrikosis ekstrakutan dan kriptokoksosis.
Meskipun imidazol dan triazol bermanfaat pada blastomikosis, histoplasmosis,
koksidioidomikosis dan parakoksidioidomikosis, lebih disukai amfoterisin B bila
perkembangan penyakit sangat cepat seperti pada kasus imunitas menurun atau bila
menyangkut susunan saraf pusat. Amfoterisin B juga cfapat digunakan untuk
neutropenia dan demam yang tidak memberikan respons terhadap antibakteri
spektrum lebar dan pemakaian topikal hanya bermanfaat pada kandidiasis kulit.

b. Imidazol dan Triazol


Berbeda dengan amfoterisin B yang diproduksi secara alamiah, kelompok antijamur
azol merupakan senyawa sintetik yang diklasifikasi sebagai imidazol (mikonazol dan
ketokonazol) atau triazol (itrakonazol dan flukonazol) bergantung kepada jumlah
kandungan atom nitrogennya ada 2 atau 3. Struktur kimia dan profil farmakologis
ketokonazol dan itrakonazol sama, flukonazol unik karena ukuran molekulnya yang kecil
dan lipofilisitasnya yang lebih kecil.
Efek antijamur azol terutama ditujukan pada ergosterol yang merupakan sterol utama
dalam membran sel jamur. Inhibisi sin- tesis sterol melalui interaksi dengan demetilase
C14A suatu enzim yang bergantung pada sitokrom P-450 yang dibutuhkan untuk
pengubahan lanosterol menjadi ergosterol. Kekurangan ergosterol menyebabkan fluiditas
membran sehingga menurunkan aktivitas enzim yang berkaitan dengan membrane dan
mengakibatkan peningkatan permeabilitas serta hambatan pertumbuhan dan perbanyakan
sel. Efek antijamur lain dan azol mencakup inhibisi respirasi endogen, interaksi toksin
dengan fosfolipia membran dan transfer morfigenetik ragi menjadi bentuk misel. Sebagai
perbandingan amfoterisin B terikat irreversibel pada ergosterol dan flusitosin
menghambat sintesis protein.
Interaksi azol dengan demetilase C14A dalam sel jamur juga menyokong efek toksis
utama azol pada sel mammalia, misalnya secara klinis ketokonazol menyebabkan
kelainan endokrin pada manusia karena inhibisi enzim sitokrom P-450 yang dibutuhan

17
untuk sintesis hormon steroid adrenal dan gonad. Akan tetapi efek tidak diharapkan ini
malah dimanfaatkan untuk mengurangi produksi hormon steroid pada sindroma Cushing
atau kanker prostat. Suatu perbedaan penting antara imidazol dan triazol adalah affinitas
triazol yang lebih besar terhadap enzim sitokrom P-450 dan jamur dibandingkan dengan
dan manusia.

1) Farmakologi
Ketokonazol dan itrakonazol hanya tersedia per oral dan merupakan basa lemah yang
membutuhkan lingkungan asam untuk solubilisasi dan absorpsi yang optimal
(penggunaan penyekat reseptor histamin H2 menurunkan absorpsi). Variabilitas makanan
mengurangi absorpsi dan ketersediaan-hayati ketokonazol, sebaliknya untuk itrakonazol
malah meningkat 2 sampai 3 kali bila bersama makanan dibandingkan dengan perut
kosong. Variasi ambang plasma puncak setelah dosis tunggal 200 mg ketokonazol dan
itrakonazol lebih kurang 0,3-3,0 μg/ml. Kadar plasma puncak itrakonazol, tetapi tidak
ketokonazol, 3-5 x lebih besar setelah 7-14 hari terapi dibandingkan dengan setelah
pemakaian dosis tunggal. Untuk mempersingkat waktu mencapai keadaan setimbang pada
infeksi serius dianjurkan dosis 200 mg 3 dd itrakonazol; absorpsinya tidak berubah oleh
adanya makanan atau keasaman lambung. Kadar plasma puncak hampir sama dengan
dosis dicapai dalam 2-4 jam setelah pemakaian oral serta 2-2,5 kali lebih besar pada
keadaan setimbang (yang dicapai dalam 6-10 hari setelah terapi dimulai) dibandingkan
setelah dosis tunggal.
Ketokonazol dan itrakonazol terikat kuat pada protein plasma (>99%)tetapi obat yang
bebas terdistribusi baik ke semua jaringan. Karena lipofilisitasnya kadar keduanya,
khususnya itrakonazol, dalam urine dan cairan serebrospinal lebih kecil dan 1,0 μg/ml.
Kadan itrakonazol dalam tulang, hati, eksudat radang, sputum dan jaringan adiposa serta
keratin mencapai 5 μg/ml pada pemakaian 200-400 mg sehani. Flukonazol mirip dengan
non-azol, flusitosin, dalam hal kelanutannya yang besar dalam air, sedikit terikat pada
protein plasma dan volume distribusi mendekati air tubuh total. Kadar flukonazol dalam
hampir semua jaringan dan cairan > 50% kadar plasmanya dan khususnya tinggi dalam
urine dan cairan otak. Kadar puncak dalam cairan serebrospinal pada meningitis fungal
mendekati 70-90% kadan puncak plasma, demikian pula kadarnya dalam urine mungkin>
100 μg/ini dan jauh lebih tinggi dan pada oral azol lainnya.
Metabolisme ketokonazol dan itrakonazol terutama di hati dan dikeluarkan hampir
seluruhnya dalam feces dan urine. Dari lebih 30 metabolit itrakonazol yang diketahui,

18
hanya hidroksiitrakonazol yang memiliki aktivitas antijamur dan dikeluarkan lebih cepat
dan pada itrakonazol sendiri meskipun kadar plasma metabolit ini pada keadaan
setimbang hampir dua kali lipat dari senyawa induknya. Oleh karena itu kadar plasma
itrakonazol yang diukur dengan cara spesifik seperti HPLC jauh lebih rendah
dibandingkan dengan cara biologis. Waktu paruh terminal ketokonazol dan itrakonazol
pada keadaan setimbang 7-10 jam dan 24-42 jam serta akan meningkat dengan naiknya
dosis dari 100 menjadi 400 mg sehani yang menunjukkan bahwa jalur metabolisme dalam
hati sudah jenuh dalam rentang dosis terapi.
Karena hanya sedikit itrakonazol dan ketokonazol dikeluarkan dalam urine, maka
diperlukan penyesuaian dosis pada gagal ginjal. Berbeda halnya pada metabolisme
flukonazol yang sedikit, 80% dosisnya dikeluarkan dalam bentuk utah dalam urine
dengan waktu paruh eliminasi terminal meningkat dari l.k. 30 jam pada fungsi ginjal
normal menjadi 98 jam pada gagal ginjal serius (kecepatan filtrasi glomerulus <20
ml/mt).

2) Aktivitas dan resistensi


Baik imidazol maupun triazol aktif terhadap Cryptococcus neoformans, C.
albicans, dan jamur dimorf yang umum seperti Coccidioides brasiliensis dan Sporothrix
schenckii. Kekecualian yang nyata adalah ketidak-aktifan mikonazol terhadap
B. dermatidis. Itrakonazol lebih aktif dan yang lain terhadapAspergillus sp. Sampai saat
ini timbulnya resistensi terhadap azol yang klinis penting meskipun setelah terapi jangka
panjang jarang, tetapi kegagalan terus meningkat pada kasus HIV.

3) Efek samping
Ketokonazol, flukonazol dan itrakonazol lebih ditolerir daripada antijamur yang lebih
tua. Gejala gastrointestinal yang berkaitan dengan dosis paling umum, tetapi hingga dosis
400 mg sehari jarang sampai mengharuskan penghentian terapi. Meskipun sebagian besar
penderita dengan induksi kenaikan kadar aminotransferase plasma bersifat asimptomatik,
ketokonazol dan lebih jarang lagi triazol mungkin menimbulkan hepatitis yang klinis
penting atau fatal. Studi fungsi hati, khususnya penentuan aminotransferase plasma, harus
dilakukan sebelum pengobatan dan secara berkala sesudahnya dan karena umumnya
kasus hepatitis akibat azol terjadi dalam beberapa bulan tahap awal terapi, waktu ini
pemantauan sangat penting.

19
Terapi selalu harus dihentikan bila hepatitis simptomatik atau ada bukti lab disfungsi
hati yang persisten atau progresif. Ruam kulit eksfoliatif termasuk sindrom Steven
Johnson yang fatal dijumpai pada penerima flukonazol yang menderita AIDS
dan multiple drug therapy.
Perbedaan utama toksisitas potensial antana ketokonazol dan triazol yang Iebih banu
adalah efeknya terhadap steroidogenesis. Pada dosis> 400 mg sehani ketokonazol secana
reversible menghambat sintesis testosteron (dan karena itu estradiol) dan kortisol yang
mengakibatkan berbagai gangguan endokrin seperti ginekomastia, oligospermia,
berkurangnya libido, impotensi, ketidak-teraturan menstruasi dan kadang insuffisiensi
adrenal. Sebaliknya flukonazol dan itrakonazol dalam dosis yang dianjurkan tidak
menghambat steroidogenesis.

4) Interaksi obat
Interaksi azol dengan obat lain seperti fenobarbital, HCT, metilprednisolon,
klordiazepoksid dan karbamazepin tidak begitu pénting dan diketahui jelas. Sebagian
besar interaksi terjadi melalui mekanisme inhibisi absorpsi azol yang menyebabkan
penurunan ketersediaan hayati atau interferensi aktif enzim mikrosom hati yang
mengubah metabolisme dan kadar plasma azol atau obat yang berinteraksi atau keduanya.
Tingkat interaksi dengan enzim hati bervariasi antar penderita, dosis azol dan obat yang
bersangkutan.
Ketokonazol invitro memiliki efek inhibisi jauh lebih besar daripada flukonazol dan
itrakonazol terhadap sitokrom P450 katalis pengubahan siklosporin menjadi metabolit
utamanya, tetapi ketiga azol tersebut meningkatkan nyata kadar plasma sikiosporin pada
transpiantasi organ sehingga pemberian bersama obat lain yang dapat berinteraksi
membutuhkan pemantauan cermat kadar plasma azol maupun obat yang berkaitan.

5) Penggunaan
Sampai kini peran azol oral dalam penatalaksanaan kandidemia atau kandidiasis yang
menyebar belum jelas, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa flukonazol dan
amfoterisin B sama efektifnya untuk terapi kandidemia (khususnya infeksi karena kateter)
pada penderita tanpa neutropenia. Untuk kandidiasis ginjal atau kandiduria karena
kadarnya dalam bentuk aktif yang tinggi dalam urine, flukonazol sangat bermanfaat dan
lebih disukai daripada flusitosin yang juga dikeluarkan cepat melalui saluran urine karena
lebih ditolerir dan jarang menimbulkan resistensi. Flukonazol juga merupakan alternative

20
efektif dan aman dan amfoterisin B untuk penatalaksanaan kandidiasis serius pada
penerima transplantasi organ, khususnya yang menggunakan siklosprorin.
Flukonazol merupakan azol paling baik untuk meningitis akibat kriptokokus karena
penetrasinya yang tinggi ke dalam cairan serebrospinal dan sebanding dengan amfoterisin
B sebagai terapi primer termasuk pada kasus AIDS yang membutuhkan terapi
pemeliharaan seumur hidup untuk mencegah kambuhan. Setelah perbenihan cairan
serebrospinal negatif, flukonazol lebih unggul daripada amfoterisin B karena kambuhan
dan efek samping yang lebih sedikit.
Sejak dikenalnya ketokonazol tahun 1981, antijamur azol makin penting perannya
dalam penatalaksanaan mikosis endemic (blastomikosis, koksidiodomikosis,
histopiasmosis). Untuk blastomikosis maupun histoplasmosis dibutuhkan 400-800 mg
ketokonazol atau 200-400 mg itrakonazol sehari sebagai alternatifdari amfoterisin B,
sedangkan untuk koksidiomikosis yang relatif paling sulit diatasi azol yang lebih baru
memberikan keuntungan dalam hal toleransi yang lebih baik, khususnya untuk pemakaian
jangka panjang dibandingkan dengan amfoterisin B atau mukonazol yang harus
digunakan per iv dengan dosis total tinggi. Sediaan parenteral mikonazol dalam minyak
jarak polietoksi per iv atau intratekal sudah jarang digunakan dengan berkembangnya
obat yang lebih baru.

L. PENCEGAHAN
Sulit untuk mencegah pajanan terhadap jamur yang menyebabkan histoplasmosis,
terutama di daerah di mana penyakit tersebar luas. Beberapa langkah yang dapat dilakukan
untuk menghindari terjadinya Histoplasmosis antara lain :
1. Hindari tempat yang berkembangnya jamur, terutama daerah yang dipenuhi dari
ekskresi burung dan kelelawar.
2. Mengeluarkan atau membersihkan koloni kelelawar atau kandang burung dari gedung
ataupun perumahan.
3. Melakukan desinfeksi pada daerah yang mengalami kontaminasi.
4. Meminimalisir terbangnya debu yang kemungkinan terkontaminasi dengan spora jamur
dengan cara menyemprotkan dengan air daerah yang berpotensi sebagai sumber
penularan penyakit, seperti kandang ayam sebelum dibersihkan dilakukan
penyemprotan dengan air untuk menghindari terbangnya debu yang mengandung spora
jamur.

21
5. Saat bekerja di tempat yang beresiko sebagai tempat penyebaran penyakit, pekrja
hendaknya menggunakan pakaian khusus dan menggunakan masker wajah yang
berfungsi untuk menyaring debu yang masuk saat bernafas, sebaiknya gunakan masker
dengan diameter kurang lebih 1 milimicron.

M. STUDI KASUS PENYAKIT HISTOPLASMOSIS


Histoplasmosis adalah penyakit jamur sistemik yang terutama menyerang sistem
retikuloendotel. Penyebabnya ialah Histoplasma capsulatum. Histoplasmosis diseminata
adalah bentuk klinis yang paling berat dan sering fatal. Penyakit ini banyak ditemukan di
Amerika, dijumpai juga di negara-negara beriklim sedang dan tropis, termasuk Indonesia.
Gejala klinisnya tidak khas dan sering tersamar dengan penyakit lain, sehingga diagnosis
baru ditegakkan setelah penderita meninggal. Akan dilaporkan dua kasus histoplasmosis
diseminata pada dua saudara sekandung, tinggal di Sukabumi (Jawa Barat) yang dirawat di
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Rumah Sakit Sumber Waras pada tahun 1985 dan 1988. Dua
kasus tersebut dapat diselamatkan dengan pemberian amfoterisin B.

1. Kasus 1
Seorang anak laki-laki, bangsa Indonesia, umur 11 tahun, dirawat di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak, RS Sumber Waras, pada tanggal 2 Juli 1985, dengan keluhan panas, pucat
dan perut membesar. Penderita tinggal di Sukabumi, sebelah rumah ada perternakan ayam.
Selama dua bulan sebelum dirawat, penderita dirawat di RS Sukabumi karena lemas, pucat,
satu bulan menderita sakit kepala dan suhu badannya panas naik turun, diagnosis kerja pada
saat itu ialah tifus abdominalis. Hasil pemeriksaan ultrasonografi pada tanggal 19 Juni 1985
ialah tersangka sirosis hepatis stadium 1. Penderita dirujuk ke RS Sumber Waras.
Pada pemeriksaan fisik waktu masuk didapatkan penderita tampak sakit berat, eompos
mentis, gizi kurang, lemah, pueat, berat badan 24 kg, suhu badan 36,5°C. Jantung dan paru
tidak ada kelainan, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening maupun tanda-tanda
perdarahan, hati teraba (1/4 — 1/4) dan limpa S.II.
Hemogram: hemoglobin 6,2 g/dl, leukosit 2800/mm'. Sediaan sumsum tulang
menunjukkan jumlah sel eukup, gambaran polimorf, banyak sel mieloblast, eritropoesis
hipoplastis, granulopoesis masih aktif, umlah megakariosit kurang.
Diagnosis kerja pada saat itu ialah aleukemik mieloblastik leukemia dan gizi kurang.
Penderita diberi Baetrium®(TM-SMZ), prednison dan transfuse packed cell. Selama

22
perawatan, hati membesar (1/2—1/2), limpa menjadi S. III, tampak gambaran pembuluh vena
membesar pada dinding perut, suhu badan masih temp naik turun dan timbul epistaksis. Foto
Rontgen toraks menunjukkan hilus kiri membesar, tidak tampak infiltrat di kedua paru,
jantung normal. Pada pemeriksaan biopsi had, pungsi limpa dan sediaan sumsum tulang
diperiksa ulang, ditemukan sel-sel ragi berukuran 1—5 mikron dalam set makrofag,
gambaran ini sesuai dengan histoplasma eapsulatum. Pemeriksaan serologi (uji imunodifusi)
dengan histoplasmin menunjukkan basil positif dan biakan darah tumbuh koloni
H. capsulatum.
Pengobatan dengan amfoterisin B segera diberikan secara infus dalam 500 ml glukosa 5%
selama 6 jam setiap hari selama lima hari, mulai 5 mg amfoterisin B, kemudian dosis
dinaikkan 5 mg setiap hari sampai mencapai 25 mg, kemudian diberikan 25 mg seminggu
tiga kali sampai tereapai dosis total 1250 mg. Saw jam sebelum infus, diberikan premedikasi
berupa antihistamin dan antipiretik. Seminggu sekali diperiksa faal ginjal, hemoglobin,
leukosit dan trombosit. Reaksi obat yang timbul ialah demam dan menggigil beberapa kali,
tetapi tidak terjadi gagal ginjal. Pada akhir pengobatan hati dan limpa mengeeil, basil uji
serologik dan biakan darah negatif, sediaan sumsum tulang menunjukkan gambaran yang
aktif dan normal, tidak ditemukan lagi sel-sel ragi H. capsulatum.Penderita pulang tanggal 22
November 1985 dalam keadaan baik.
Lima bulan setelah pulang, keadaan umum penderita baik, berat badan naik, hati dan
limpa tidak teraba lagi, uji serologic dan biakan darah tiga bulan berturut-turut negatif. Faal
ginjal sampai tiga bulan setelah pengobatan dihentikan adalah normal. Pada pemeriksaan
beberapa sampel tanah yang diambil secara acakdari petemakan ayam sebelah rumah
penderita di Sukabumi tidak ditemukan H.capsulatum.

2. Kasus 2
Adik kandung kasus 1, seorang anak laki-laki umur 12 tahun dirawat di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak, RS Sumber Waras, pada tanggal 6 Mei 1988, dengan keluhan batuk selama
satu bulan, perut bagian kanan membesar, berat badan menurun, badan lamas dan cepat lelah.
Penderita pernah sakit kuning ketika berumur 4 tahun. Selma satu bulan sebelum dirawat,
penderita batuk terus dan mengeluarkan banyak dahak, waktu diperiksa oleh dokter di
Sukabumi teraba benjolan di bagian kanan perut.
Foto Rontgen toraks menunjukkan gambaran bronkhitis. Selama itu tidak demam, berat
badan menurun, merasa lamas dan lelah. Karena batuknya tidak sembuh-sembuh serta

23
mengingat riwayat penyakit kakaknya, orang tua penderita menjadi curiga dan membawanya
ke Jakarta. Penderita dirujuk ke RS Sumber Waras dengan hepatomegali dan pansitopenia.
Pada pemeriksaan fisik waktu masuk didapatkan penderita compos mantis, tampak sakit
sedang, gizi sedang, pucat, tidak ikterik, berat badan 28 kg, suhu badan 36°C. Jantung dan
paru normal. Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, hati teraba 1/2-1/2 dan limpa S. II.
Hemogram: hemoglobin 9,7 g/dl, leukosit 2800/mm', hitung jenis dalam batas normal,
trombosit 38.000/mm', SGOT 40 U/1, SGPT 22 U/l. Tuberkulin test negatif. Foto Rtntgen
toraks normal.
Diagnosis kerja pada saat itu ialah observasi hepatitis. Mengingat pada penderita
ditemukan hepatosplenomegali dan pansitopeni perifer sama seperti yang dijumpai pada
kakaknya waktu masuk dahulu, maka dicurigai kemungkinan histoplasmosis pula.
Pemeriksaan sediaan menunjukkan gambaran normal dan ditemukan gambaran mikroskopik
yang sesuai dengan H. capsulatum. Hasil uji imunodifusi dengan histoplasmin ialah positif
dan biakan darah tumbuh koloni H. capsulatum.
Pengobatan amfoterisin B diberikan dengan dosis dan cam yang sama seperti pada kasus
1. Pada hari ke 22 perawatan, keadaan umum penderita eukup baik, jantung dan paru normal,
hati dan limpa mengecil (teraba berturut-turut 1 cm dan 0,5 cm di bawah arkus kosta),
penderita selanjutnya berobat jalan. Selama pengobatan, beberapa kali timbul demam dan
menggigil serta muntah, tidak terjadi kegagalan ginjal. Pada akhir pengobatan keadaan umum
penderita baik, hati dan limpa tidak teraba lagi, uji serologik dan biakan darah adalah negatif,
faal ginjal dan hati normal. Penderita pulang tanggal 31 Agustus 1988.

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Histoplasma capsulatum adalah saprofit tanah dimorfik yang menyebabkan
histoplasmosis, infeksi mikotik di paru yang sering terjadi pada manusia dan hewan. Di
alam, H. capsulatum tumbuh sebagai kapang berhubungan dengan tanah dan habitat
burung, diperkaya oleh substrat alkali nitrogen pada kotoran hewan. H. capsulatum dan
histoplasma dan histoplasmosis, yang dimulai dengan inhalasi konidia, terjadi di seluruh
dunia. Namun insidennya sangat bervariasi dan kebanyakan kasus terjadi di Amerika
Serikat. H. capsulatum mendapatkan nama tersebut dari gambaran sel ragi pada potongan
histopatologik; namun, baik protozoa maupun saprofit tersebut tidak mempunyai kapsul.
Obat yang digunakan untuk penyakit histoplasmosis antara lain amfoterisin B,
imidazole dan triazol. Selain itu, adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk
menghindari terjadinya Histoplasmosis antara lain :
1. Hindari tempat yang berkembangnya jamur, terutama daerah yang dipenuhi dari
ekskresi burung dan kelelawar.
2. Mengeluarkan atau membersihkan koloni kelelawar atau kandang burung dari
gedung ataupun perumahan.
3. Melakukan desinfeksi pada daerah yang mengalami kontaminasi.
4. Meminimalisir terbangnya debu yang kemungkinan terkontaminasi dengan spora
jamur dengan cara menyemprotkan dengan air daerah yang berpotensi sebagai
sumber penularan penyakit, seperti kandang ayam sebelum dibersihkan dilakukan
penyemprotan dengan air untuk menghindari terbangnya debu yang mengandung
spora jamur.
5. Saat bekerja di tempat yang beresiko sebagai tempat penyebaran penyakit, pekrja
hendaknya menggunakan pakaian khusus dan menggunakan masker wajah yang
berfungsi untuk menyaring debu yang masuk saat bernafas, sebaiknya gunakan
masker dengan diameter kurang lebih 1 milimicron.

25
B. Saran
Semoga paper ini dapat menjadi bahan acuan dan referensi bagi para pembaca,
Semoga kedepannya dapat dibuat lebih banyak informasi mengenai Histoplasmosis yang
diperlukan oleh mahasiswa farmasi ataupum masyarakat secara umum.
DAFTAR PUSTAKA

Anoninim.2011. Infeksi Jamur ;Histoplasmosis.Tersedia di;


http://wandywardani.blogspot.com/2011/02/infeksi-jamur histoplasmosis.html
Anonim. 2011. Histoplasmosis. Jakarta; Yayasan Spiritia
Herman, Max Joseph. 1996. Antijamur Sistemik. Cermin Dunia Kedokteran No. 108 tahun
1996. Jakarta; Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI
Jawetz, Melnick dan Adelberg. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta; EGC
Noegroho, S. Setijo. 1992. Histoplasmosis di Rumah Sakit Sumber Waras. Jurnal; Cermin
Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81. 1992
Salvo, Arthur Di. 2008. Dimorphic Fungi USA; University of South Carolina
Sacher R.A dan Richard A. McPherson. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Jakarta ; EGC
Staf Pengajar Departemen parasitologi. Buku Ajar; Parasitolgi Kedokteran. Jakarta; FKUI
http://www.rightdiagnosis.com/phil/html/histoplasmosis/3954.html
http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Histoplasma_capsulatu

26

Anda mungkin juga menyukai