Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH SITOHISTOLOGI

PREPARAT SITOLOGI

Dosen Pengampu : Misbahul Huda, M.Kes

DISUSUN OLEH KELOMPOK 6:

1. AYU ANISA 1813353015


2. NURUL FADILA 1813353018
3. ZULAICHA ZAIN 1813353024
4. PUTRI KOMALA S 1813353031
5. NOVREZA DINANTA 1813353032
6. SA’DIATUL MUNIROH 1813353033

JURUSAN ANALIS KESEHATAN


POLTEKKES KEMENKES TANJUNGKARANG
TAHUN PELAJARAN 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-
Nya maka kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
“Preparat Sitologi”.
Penulisan makalah merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah
Hematologi 3 jurusan analis kesehatan. Dalam Penulisan makalah ini kami merasa
masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat
akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini,
khususnya kepada :
1. Ibu Misbahul Huda, M.Kes yang sudah memberikan tugas dan petunjuk
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
2. Teman-teman semua yang sudah membantu khususnya kelompok 6
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini. Kami berharap semoga
Allah memberikan imbalan dan rahmatNya pada mereka yang telah
memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai
ibadah, Aamiin.

Bandar Lampung, 27 Juli 2020

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul ..................................................................................... i
Kata Pengantar ..................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................... iii
BAB I Pendahuluan ............................................................................. 1
BAB II Pembahasan ............................................................................. 2
BAB III Penutup................................................................................... 19
Daftar Pustaka....................................................................................... 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Histologi merupakan cabang ilmu biologi yang mempelajari
tentang struktur jaringan secara detail menggunakan mikroskop pada
sediaan jaringan dengan irisan tipis. Irisan tersebut nantinya akan
memperlihatkan bentuk, ukuran dan lapisan yang beragam yang terdiri
dari struktur seluler, fibrosa dan tubuler (Eroschenko, 2008; Jusuf, 2009;
Zulham, 2009).
Histologi diperlukan dalam mempelajari struktur jaringan normal
suatu organ atau alat tubuh lain baik struktur anatomi maupun fisiologi.
Hal yang sangat penting dalam mengenali suatu kondisi patologi sebagai
akibat suatu penyakit dan perubahan-perubahan seluler juga membantu
mendiagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam penegakan
diagnosis melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang diduga
terganggu dengan diambil sampel organ (Suntoro, 1983; Jhonson, 1994 )
Struktur jaringan normal atau abnormal dapat dipelajari dengan
mikroskop dalam bentuk preparat jaringan. Preparat ini dibuat melalui
proses pengolahan jaringan sampai didapatkan preparat yang telah
diwarnai. Struktur histologi dapat terlihat dengan jelas sehingga
memudahkan pembacaan jaringan. Pembuatan preparat sediaan histologi
dilakukan melalui beberapa tahap yaitu persiapan, pemrosesan, pengirisan
dan pewarnaan jaringan (Suntoro, 1983; Leeson, 1996).
Seorang paramedik veteriner di laboratorium mempunyai tugas
untuk membuat sajian yang baik, agar hasil preparat dapat memberikan
hasil akurat dan permasalahan yang diteliti dapat terjawab. Pemahaman
mulai dari persiapan sebelum pembuatan preparat seperti anastesi,
eutanasia, nekropsi, fiksasi sampai pemotongan ukuran kecil atau
trimming. Pemrosesan jaringan yang dimulai dari dehidrasi, penjernihan,
infiltrasi parafin, pengeblokan, pemotongan slide preparat, pewarnaan
hingga perekatan. Tahap pembuatan preparat jaringan harus diperhatikan
agar tidak terjadi kerusakan akibat kesalahan pemrosesan seperti sobekan,

1
goresan, lipatan, penumpukan warna dan penyaringan larutan yang kurang
bersih sehingga akan dapat menyebabkan kesalahan dalam penafsiran
diagnosis.

B. Tujuan
Tujuan adalah untuk mengetahui dan memahami langkah-langkah
pembuatan sediaan preparat histologi

C. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
dunia pengetahuan pada umumnya dan Ahli Madya pada khususnya dalam
prosedur pembuatan sediaan preparat histologi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Histoteknik merupakan proses membuat sajian histologi dari


spesimen tertentu melalui suatu rangkaian proses hingga menjadi sajian
yang siap untuk diamati atau dianalisa. Sediaan histologi dapat berupa
irisan datar yang tipis dari jaringan atau organ yang telah difiksasi dan
diwarnai di atas object glass. Tujuan dari pembuatan sajian adalah untuk
membuat preparat permanen sehingga dapat dipelajari struktur serta fungsi
dari sel dan organisasinya dalam jaringan. Sajian histologi yang baik dapat
digunakan untuk riset, guna mempelajari perubahan jaringan dan organ
tubuh hewan coba yang mendapat perlakuan tertentu atau mempelajari
pertumbuhan dan perkembangan jaringan atau organ tubuh tertentu
(Hammersen, 1990; Leeson dkk., 1996; Jusuf, 2009; Peckham, 2014).
Irisan datar tersebut nantinya akan memperlihatkan bentuk, ukuran dan
lapisan yang beragam yang terdiri dari struktur seluler, fibrosa dan tubuler
(Eroschenko, 2008).
Rangkaian proses pembuatan sajian histologi dimulai dari
pengambilan organ setelah hewan dilakukan eutanasi kemudian organ
dimasukan dalam larutan garam fisiologis dan selanjutnya organ
dimasukan dalam larutan fiksatif (Suntoro, 1983). Rangkaian proses
pembuatan preparat histologi melalui beberapa tahapan diantaranya
persiapan seperti euthanasia, nekropsi, fiksasi, trimming dilanjutkan tahap
pemrosesan jaringan seperti dehidrasi, penjernihan, infiltrasi parafin,
pengeblokan, pemotongan, pewarnaan, perekatan dan pelabelan (Jusuf,
2009).
Sitologi adalah ilmu yang mempelajari morfologi sel-sel cairan
tubuh. Cairan itu bisa kita dapat dengan dua cara tergantung pada tujuan
pemeriksaan :
1. Cairan-cairan yang sudah keluar lepas dari organ tubuh dan sewaktu-
waktu bisa kita siapkan dengan mudah. Contoh : Urine, Sputum.
2. Cairan-cairan yang didapat secara aspirasi pada organ tubuh yang
dicurigai.Contoh : FNAB,C.ascites,C.pleura,Pap smear dll.

3
Pemeriksaan sitologi merupakan cara yang mudah, murah,
sederhana dan hasilnyacukup akurat.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan


pemeriksaan sitologi
1. Ketepatan pengambilan
2. Metode fiksasi yang benar
3. Cara pengepakan dan pengiriman sampel
4. Prosesing sitologi terutama pewarnaan sel.
No. 1. dilaksanakan oleh dokter.
No. 2-4 dilaksanakan oleh teknisi laboratorium
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan sitologi dan
fiksasinya.
1. Kaca objek harus benar-benar bersih, diberi label supaya tidak
tertukar.
2. ¾ dari luas kaca objek memanjang, kita isi apusan yang rata
tidak terlalu tebal atau terlalu tipis.
3. Lakukan fiksasi sesuai dengan prosedur pewarnaan yang
dikehendaki ( Papanicolaou dan Giemsa ).
4. Larutan yang telah digunakan untuk pewarnaan Papanicolaou
sebaiknya diganti setiap 2 minggu atau tergantung banyaknya
sediaan.
5. Tanda larutan pewarna rusak, yaitu apabila warna menjadi keruh.
6. Larutan pewarna harus selalu ditutup rapat untuk mencegah
penguapan.
7. Larutan Haematoxylin Harris sebaiknya disaring setiap hari.
8. Pada pemasangan kaca penutup kaca objek cairan xylol terlebih
dahulu di buang karena dapat terjadi rongga-rongga udara
9. Supaya kaca melekat dengan erat dapat dilakukan pemanasan
ditempat penghangat atau oven temperatur 37 oC

4
Eutanasia
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yang berarti “good death”.
Euthanasia berarti tindakan dokter secara sadar untuk mengakhiri hidup
seseorang yang menderita secara fisik tanpa rasa sakit. Tidak semua orang
bisa melakukan praktik ini.
Euthanasia hanya untuk pasien yang sakit parah dan hampir tidak
memiliki harapan hidup. Misalnya mereka sudah koma selama beberapa
bulan dan hanya bergantung pada alat yang menempel di tubuhnya.
Eutanasia bisa juga dilakukan untuk membunuh hewan dengan
meminimalkan rasa sakit serta mempermudah kematian hewan yang
menderita penyakit berat. Prosedur eutanasi yaitu hewan kehilangan
kesadaran dalam waktu cepat, efek fisiologis rendah dan sesuai syarat dan
tujuan penelitian. Eutanasia bisa dilakukan dengan cara fisik dan zat
anastesi dengan inhalasi serta gas – gas bersifat non anastetik (Isbagio,
1992).

Nekropsi

Nekropsi adalah teknik untuk mengetahui penyebab kematian,


mengetahui pengaruh suatu penelitian yang dilakukan terhadap organ
coba. Nekropsi dilakukan segera setelah kematian hewan untuk mencegah
degenerasi jaringan setelah kematian (Hedrich, 2004). Menurut Clifton
(2011), prosedur nekropsi terdiri dari observasi perubahan mikroskopik
jaringan dan organ secara in situ yaitu dengan melihat keadaan utuh organ
dan melakukan koleksi organ serta jaringan untuk diteliti lebih lanjut.

Fiksasi (Fixation)
Fiksasi adalah usaha manusia untuk mempertahankan elemen-
elemen sel ataujaringan agar tetap pada tempatnya dan tidak mengalami
perubahan bentuk maupun ukuran.
Fiksasi merupakan proses pengawetan protoplasma sehingga
struktur jaringan tetap stabil dan tidak mengalami perubahan paska mati
seperti autolisis yang disebakan enzim proteolitik dan pembusukan yang
disebabkan oleh kuman pembusuk dari luar tubuh. Fiksasi juga berfungsi

5
memberikan konsistensi keras sehingga jaringan dapat diiris tipis serta
pengaruh terhadap pewarnaan dan diferensiasi optik. Jaringan yang telah
difiksasi selama 24 jam akan tahan dengan perlakuan berikutnya. Larutan
fiksasi yang disebut fiksatif memiliki kemampuan mengubah indeks bias
bagian – bagian sel sehingga dapat dilihat di mikroskop (Suntoro, 1983;
Paulsen, 2000; Jusuf, 2009; Peckham, 2014).
Bahan/larutan fiksatif yang sering digunakan dalam sitologi antara
lain Alkohol ( Etanol ) dan Metanol ( Methyl Alkohol ).
Cara fiksasi ada 2 :
1. Fiksasi langsung
Ialah fiksasi pada sediaan smear / apusan
Contohnya :
 Pap smear
 FNAB yang langsung dibuat smear / apusan.
 Apusan endapan cairan yang sudah disentrifuge.
2. Fiksasi tidak langsung
Ialah fiksasi yang dilakukan pada bahan/cairan yang tidak segera di
buat sediaan.
Contohnya : C. ascites, C.pleura dsb difiksasi dengan alkohol 50 %
perbandingan 1:1, kecuali untuk sputum difiksasi dengan alkohol 70 %
perbandingan 1:1.
a. Pewarnaan Papanicolaou
Preparat apus difiksasi langsung ke alkohol 95 % tanpa menunggu
kering. Untuk Pap smear dan FNAB minimal 15 menit, sedangkan untuk
apusan cairan minimal 1 jam.
b. Pewarnaan Giemsa
Preparat apus harus benar-benar kering, kemudian difiksasi
minimal 5 menit.
 Larutan Formalin 10%
Larutan fiksatif yang lazim digunakan adalah formalin 4% - 10%
dari pengenceran formaldehida 37% atau 40%. Formaldehida akan
berikatan dengan beberapa protein membentuk ikatan silang serta

6
mendenaturasi protein lain tetapi tidak pada lipid sehingga jaringan akan
mengalami pengerasan dan menginaktivasi enzim untuk mencegah
jaringan terdegradasi. Formaldehida memiliki sifat asam sehingga dapat
dinetralkan dengan basic magnesium carbonate. Formaldehida akan lebih
baik jika dicampurkan calcium chloride untuk mempertahankan bentuk
mitokondria dan apparatus golgi. Formaldehida sangat bagus untuk fiksatif
inti sel, tapi tidak untuk kromosom. Formaldehida menyebabkan iritasi
mata dan hidung karena gas yang sangat keras. Formulasi untuk membuat
formalin 10% adalah dengan mencampurkan 10 cc Formaldehida 40%
dengan 90 cc Akuades (Suntoro, 1983; Peckham, 2014).

 Larutan Posphat Buffer Saline - formalin (PBS-formalin)


Larutan fiksatif yang biasa digunakan adalah Posphat Buffer Saline
- formalin (PBS-formalin) yang merupakan larutan fisiologis yang bisa
digunakan dalam prosedur immunohistokimia. Formalin dikombinasikan
dengan PBS yang direkomendasi sebagai pilihan agen fiksatif terbaik
(Buchwalow, 2010). Kelebihan yang dimiliki larutan PBS Formalin ini
adalah jaringan dapat disimpan lebih lama dan meminimalkan proses
autolysis. Larutan bersifat isotonik dan tidak beracun terhadap sel serta
bertujuan untuk menjaga kadar pH dan mempertahankan osmolalitas sel.
Jaringan direndam di larutan fiksatif selama 24 jam. Jika suatu sel difiksasi
menggunakan larutan fiksatif dengan sifat hipertonik maka sel akan
mudah menyusut, sedangkan jika difiksasi dengan larutan fiksatif dengan
sifat hipotonik maka sel akan mudah mengembang, sehingga dianjurkan
menggunakan PBS Formalin sebagai larutan fiksatif yang baik dan
fleksibel (Medicago, 2011)
Karakteristik yang dimiliki formalin adalah mampu menembus dan
memfiksasi jaringan dengan cepat, menyimpan dan mempertahankan
lemak, mielin, serabut-serabut saraf, amiloid, homosiderin dan komponen
alat tubuh lainnya (Salim 2010).

 Larutan Bouin

7
Larutan bouin adalah larutan yang dapat menembus sediaan
jaringan dengan cepat dan fiksatif yang baik untuk sediaan sitologi. Lama
waktu fiksasi dengan larutan bouin adalah 1 – 12 jam tergantung tebal
tipisnya jaringan. Larutan boin seharusnya tidak digunakan untuk fiksasi
jaringan biopsi ginjal (Warsito dan Wuryastuti, 2014).

Pemotongan (Trimming)
Trimming merupakan pemotongan sampel organ menjadi ukuran
yang lebih kecil sehingga memudahkan tahap pembuatan preparat
selanjutnya (Pratomo, 2011). Jaringan yang telah difiksasi selama 24 jam
ditiriskan pada saringan kemudian dipotong menggunakan pisau scalpel
dengan ketebalan 1x1 cm disusun ke dalam tissue cassete dan diberi label
(Muntiha, 2001).

Dehidrasi (Dehydration)
Dehidrasi merupakan tahap pembenaman jaringan kedalam
beberapa larutan etanol dengan konsentrasi bertingkat. Tujuan dari
peggunaan alkohol bertingkat adalah agar tidak terjadi perubahan yang
tiba – tiba pada sel jaringan (Suntoro 1983; Jhonson, 1994). Dehidrasi
bertujuan untuk mengeluarkan seluruh cairan yang terdapat dalam jaringan
yang telah difiksasi sehingga dapat diisi dengan parafin atau zat lain untuk
membuat blok preparat. Setiap sel pada jaringan hidup mengandung 85%
air sehingga parafin tidak bisa masuk kedalam sel karena terhalang oleh
air.
Proses dehidrasi harus dilakukan dengan benar agar tidak ada
molekul air yang tertinggal sehingga parafin bisa menempati posisi dalam
jaringan agar didapatkan irisan jaringan yang utuh dan baik. Reagen yang
sering digunakan dalam proses dehidrasi ini adalah etanol karena tidak
menyebabkan pengerasan jaringan dan membuat jaringan menjadi getas
terhadap pemotongan yang tipis. Alkohol absolut memiliki kemampuan
memperkeras jaringan, sehingga jaringan tidak boleh terlalu lama ditinggal
di dalam alkohol absolut (Suntoro, 1983; Hariono, 2009). Proses dehidrasi

8
dilakukan dengan merendam jaringan dalam larutan alkohol bertingkat
dimulai dari etanol 70%, 80%, 90%, 95% masing – masing selama 3 jam,
dan etanol absolut I, II, III masing – masing 1 jam (Pratomo, 2011).

Penjernihan (Clearing)
Penjernihan merupakan tahapan membuat jaringan menjadi jernih
dan transparan menggunakan pelarut organik seperti xilene atau toluene.
Tahap ini bertujuan untuk mengeluarkan alkohol dari jaringan dan
digantikan dengan parafin. Proses mengeluarkan alkohol dari jaringan ini
sangat krusial karena bila di dalam jaringan masih tertinggal sedikit
alkohol maka parafin tidak bisa masuk ke dalam jaringan sehingga
jaringan tidak sempurna dalam proses blocking, pemotongan dan
pewarnaan (Junqueira dan Carneiro, 1992; Peckham, 2014). Proses
clearing dapat menggunakan larutan penjernih misalnya xilene atau xilol
dan toluene yang masing – masing memiliki kekurangan dan kelebihan.
Xilol memiliki kelebihan yaitu proses penjernihan cepat, mudah didapat
dan harga tidak terlalu mahal. Kekurangan dari xilol adalah jaringan tidak
begitu jelas dikarenakan perendaman yang terlalu lama dan akibat dari
perendaman pada alkohol absolut sebelumnya. Jaringan yang terlalu lama
direndam dalam xilol menyebabkan mudah rapuh, mengkerut dan sulit
untuk diiris. Penjernihan menggunakan toluene memiliki kelebihan yaitu
mudah, cepat, jaringan akan menjadi jernih atau transparan bila prosesnya
telah selesai dan tidak akan mengkerut walaupun jaringan direndam lama.
Kekurangannya adalah harga lebih mahal dan jaringan cepat keras dan
sukar untuk diiris jika terlalu lama direndam di toluene (Suntoro, 1983;
Jusuf, 2009). Proses penjernihan dilakukan dengan mencelupkan jaringan
dalam larutan xylen I, II dan III masing – masing selama 40 menit
(Pratomo, 2011).
Infiltrasi Parafin (Embedding)
Infiltrasi parafin yaitu proses perendaman jaringan dalam parafin
yang dicairkan pada suhu 58 – 60℃ selama 30 menit sampai 6 jam dalam
inkubator bertujuan untuk mengeluarkan cairan pembening (clearing

9
agent) dari jaringan dan diganti dengan parafin selain itu juga membuat
jaringan tahan terhadap pemotongan (Junqueira dan Carneiro, 1992).
Parafin dipilih sebagai media karena dapat memberikan konsistensi
keras, irisan yang didapat lebih tipis daripada metode beku atau seloidin
yaitu mencapai rata – rata 6 mikron, irisan seri dan pemrosesan lebih cepat
dan mudah. Kekurangan parafin adalah jaringan menjadi keras, mengkerut
dan mudah patah, jaringan yang digunakan harus kecil, dan sebagian
enzim akan ikut larut (Suntoro, 1983).
Proses pembenaman dilakukan dengan merendam jaringan dalam
parafin I, II dan III masing – masing selama 30 - 60 menit dalam
inkubator. Tujuan digunakan parafin bertingkat adalah untuk mencegah
tertahannya sejumlah zat penjernihan di dalam jaringan, karena akan
membuat jaringan lunak dan sukar diiris (Suntoro, 1983).

Pengeblokan (Blocking)
Pengeblokan adalah proses pembuatan blok preparat agar dapat
dipotong dengan mikrotom menggunakan parafin. Pengeblokan bertujuan
mengganti parafin cair disertai dengan pengerasan jaringan. Penggunaan
parafin sebagai media untuk membuat jaringan keras memang didesain
untuk preparat yang diamati di mikroskop cahaya, sedangkan media
pembenam monomer plastik digunakan untuk mikroskop elektron atau
TEM (Transmission Electron Microscopy ) (Hammersen dan Sobotta,
1985; Jhonson, 1994).
Parafin yang digunakan untuk pengeblokan titik cairnya sama
dengan parafin yang digunakan untuk infiltrasi parafin. Proses
pengeblokan ini dilakukan dengan menuangkan sedikit cairan parafin ke
dalam cetakan berbahan plastik atau piringan logam bentuk L. Secepatnya
jaringan dimasukkan dengan menggunakan pinset yang telah dipanaskan
(agar parafin tak beku) dan diatur posisinya di dalam cetakan. Parafin cair
kemudian dituangkan kembali hingga menutupi seluruh cetakan tersebut
(Suntoro, 1983).

10
Pemotongan (Sectioning)
Sectioning adalah proses pemotongan blok preparat dengan
menggunakan mikrotom. Tujuan dari pemotongan blok adalah untuk
mendapatkan potongan jaringan yang tipis dengan ketebalan 3 – 8 µm.
Mikrotom adalah alat yang dapat mengiris potongan blok dengan tipis dan
sesuai dengan ukuran ketebalan yang diinginkan. Terdapat berbagai jenis
mikrotom misalnya yaitu sliding microtome, rotary microtome dan
freezing microtome (Suntoro, 1983; Paulsen, 2000).
 Mikrotom geser (sliding microtome)
Mikrotom geser adalah mikrotom yang bekerja dengan pisau yang
bergerak sedangkan jaringan tetap berada pada tempatnya. Pada umumnya
jaringan yang akan dipotong dengan mikrotom geser adalah jaringan tanpa
penanaman (embedding) terlebih dahulu sehingga tidak akan terjadi irisan
pita jaringan. Jaringan yang akan diiris diwarnai dengan pewarnaan
tunggal ataupun tanpa pewarnaan terlebih dahulu. Mikrotom geser banyak
digunakan untuk pengirisan jaringan tumbuh – tumbuhan. Jaringan yang
diiris, pisau mikrotom dan kuas untuk mengambil pita diusahakan tetap
basah dengan air (Suntoro, 1983)
 Mikrotom putar (rotary microtome)
Mikrotom putar adalah mikrotom yang paling sering digunakan
karena memiliki banyak keuntungan dan jenisnya paling cocok dengan
metode blok parafin. Mikrotom ini juga dapat memotong jaringan yang
sangat besar dan tingkat kesulitan yang besar. Blok jaringan yang
disimpan dalam freezer suhu -20℃ diambil untuk dilakukan pemotongan
dengan mikrotom ketebalan 3 – 8 µm. Potongan diambil hati – hati dan
diletakkan di waterbath berisi air dengan suhu 46℃. Potongan slide dalam
waterbath diambil menggunakan object glass untuk kemudian diletakkan
di hotplate yang selanjutnya akan diwarnai (Muntiha, 2001; Steven dkk,
2013).
 Mikrotom beku (freezing microtome)
Mikrotom beku beku adalah mikrotom yang digunakan dalam
pembuatan sediaan irisan dengan metode beku. Cara kerja alat ini dengan

11
menghubungkan tabung berisi CO2 dingin melalui pipa karet. Pisau
mikrotom bergerak ke depan dan belakang sedangkan jaringan tetap
berada di tempatnya. Jaringan yang dipotong dengan mikrotom ini dapat
difiksasi terlebih dahulu atau tidak perlu difiksasi terlebih dahulu karena
fiksasi dapat dilakukan setelah pemotongan dan sebelum pewarnaan
(Suntoro, 1983).
Evaluasi preparat
Evaluasi preparat setelah tahap pemotongan dilakukan untuk
melihat preparat jaringan baik atau tidak sebelum dilakukan proses
selanjutnya. Preparat jaringan yang berada di object glass diamati di
bawah mikroskop dan dilihat ada tidaknya kerusakan yang terjadi
misalnya jaringan retak, tergores atau terlipat sebelum dilakukan proses
pewarnaan. Tahap ini bertujuan untuk mengurangi kerugian akibat
kerusakan jaringan selama pemrosesan jaringan (Suntoro, 1983; Jusuf,
2009).
Pewarnaan (Staining)
Pewarnaan adalah teknik memberikan warna pada komponen
seluler dengan tujuan membedakan antar sel pada jaringan (Waheed,
2012) . Warna adalah persepsi dari mata yang dapat dibedakan
berdasarkan panjang gelombang. Teknik pewarnaan ini membantu dalam
menghasilkan kontras dimana setiap warna memiliki afinitasnya masing –
masing (Steven dkk, 2013). Jenis – jenis zat pewarna yang dapat
digunakan dalam pewarnaan antara lain pewarna ada Alcian Blue (AB),
van gieson, ‘azan’ azocarmine-anilin blue’ dan Hematoksilin Eosin.
Alcian Blue (AB)
Pewarna Alcian Blue (AB) digunakan mendeteksi
mukopolisakarida atau karbohidrat yang bersifat asam yang terwarnai biru
didalam sel – sel acinus yang mensekresikan mucus yang terdapat dalam
sel atau jaringan dengan mengikat gugus hidroksil pada pH 2,5, sedangkan
nukleus diwarnai kontra dengan “Nuclear Fast Red” (Hammersen 1990;
Kiernan 1990).
Pewarnaan van Gieson

12
Pewarnaan van Gieson adalah pewarnaan dengan teknik trikrom
lain yang jelas mendiferensiasi antara serat – serat kolagen (berwarna
merah) dan seluruh cytoplasma (bewarna kuning). Metode pewarnaan ini
mendeteksi peningkatan jumlah serat – serat jaringan ikat dengan cepat
yang timbul dalam keadaan patologik seperti fibrosis dan sclerosis
(Hammersen 1990).
Pewarna ‘azan’ azocarmine-anilin blue’
Pewarna ‘azan’ azocarmine-anilin blue’ adalah teknik pewarnaan
yang memperlihatkan serat – serat jaringan ikat (serat kolagen dan
retikular) maupun zat mukosa dalam berbagai warna biru sehingga
berbeda jelas dengan dari nuclueus dan komponen cytoplasma yang
bewarna kemerahan (Hammersen 1990).
Pewarna hematoksilin
Pewarna hematoksilin adalah jenis pewarna inti yang paling umum
digunakan yang berasal dari ekstrak pohon logwood (Haematoxylin
camphianum). Hematoksilin digunakan sebagai pewarna dalam bentuk
oksidasinya yaitu hematein (sehingga larutan hematoksilin yang baru
dibuat harus dibiarkan “matang” atau “tua” dulu agar terjadi oksidasi baru
digunakan). Hematoksilin merupakan pewarna inti yang mengikat inti sel
secara lemah, kecuali bila ditambahkan senyawaan lainnya seperti
alumunium, besi, krom dan tembaga. Proses oksidasi hematoksilin dapat
dipercepat prosesnya dengan menambahkan senyawa yang bertindak
sebagai oksidator seperti merkuri oksida, hidrogen peroksida, potassium
permanganat dan sodium iodat (Leeson, 1996; Jusuf, 2009; Peckam,
2014).
Pewarna eosin
Pewarna eosin adalah salah satu jenis pewarna dengan sifat asam
dan bermuatan negatif yang dipakai untuk mewarnai sitoplasma. Eosin
memberikan warna merah atau merah muda ketika berikatan dengan
struktur basa dalam sel. Struktur sel yang terpulas meliputi sebagian besar
protein dalam sitoplasma dan beberapa serabut ekstraseluler (Peckam,
2014; Leeson,1996).

13
Hematoksilin dan eosin
Hematoksilin dan eosin adalah metode pewarnaan yang berfungsi
ganda. Fungsi pertama memungkinkan pengenalan komponen jaringan
tertentu dengan cara memulasnya secara differensial. Fungsi kedua adalah
dapat mewarnai dengan tingkat atau derajat warna berbeda yang
menghasilkan kedalaman warna yang berbeda (Peckam, 2014).
Perekatan (Mounting)
Perekatan preparat berfungsi untuk mengawetkan jaringan yang
telah diwarnai menggunakan entelan sehingga jaringan akan awet lebih
dari 5 tahun. Proses perekatan ini dilakukan dengan objek glass berisi pita
preparat ditetesi canada balsam kemudian ditutup dengan cover glass
(Jusuf, 2009).
Entelan DPX cocok untuk semua teknik pewarnaan yang
kompatibel dengan penggunaan alkohol dan aromatik (xylene atau
toluena) sebagai agen clearing. DPX jelas, tidak berwarna dan tidak akan
menghitam preparat meski disimpan lama. DPX mengandung antioksidan
yang menghambat warna preparat memudar. spesimen slide dalam bentuk
cair. Entelan DPX memiliki indeks reflektif mirip dengan kaca sehingga
preparat jaringan dapat dilihat di bawah mikroskop. DPX adalah campuran
dari distyrene, plasticizer yang dilarutkan dalam toluena atau xilen
(Anonim, 2017).
Canada balsam merupakan media perekatan untuk preparat
jaringan alami yang diperoleh dari pohon balsam cemara. Sifat optikyang
dihasilkan hampir sama dengan kaca sehingga preparat jaringan dapat
dilihat di bawah mikroskop. Slide jaringan yang dipasang permanen
dengan Canada balsam telah disimpan selama lebih dari satu abad. Canada
balsam terdiri dari terpenes, carboxylic acid dan estersnya (Anonim,
2017).

14
Pelarut
 Reverse osmosis (RO) water
RO water adalah air yang diperoleh dari proses pemurnian air yang
secara efektif dapat memisahkan air dari berbagai macam komponen yang
tidak diinginkan seperti komponen organik, non organik, bakteri, virus,
ion terlarut dan partikulat sehingga didapatkan air dengan tingkat
kemurnian tinggi. Sistem RO telah terbukti sangat efektif mengatasi
permasalahan kualitas air dibandingkan metode pemurnian yang lain
seperti karbon aktif, water softener, distilasi, UV, dan netralisasi
(Clemson, 1990; Kamrin dkk., 1999; William, 2003).
Prinsip dasar reverse osmosis adalah memberi tekanan hidrostatik
yang melebihi tekanan osmosis larutan sehingga pelarut dalam hal ini air
dapat berpindah dari larutan yang memiliki konsentrasi zat terlarut tinggi
ke larutan yang memiliki konsentrasi zat terlarut rendah. Sistem RO juga
dikenal sebagai media filter yang memiliki pori paling kecil dibandingkan
filter-filter yang lain yaitu 0.0001 mikron (William, 2003).
 Akuades
Akuades adalah air yang dimurnikan dengan cara destilasi,
perlakuan menggunakan penukar ion, osmosis balik, atau proses lain yang
sesuai prosedur. Akuades dibuat dari air yang memenuhi persyaratan air
minum dan tidak mengandung zat tambahan lainnya (DepKes RI, 1995).
Akuades juga digunakan sebagai pelarut. Air dapat berinteraksi dengan
obat-obat dan eksipien lain yang rentan terhadap hidrolisis pada suhu
tinggi, bereaksi dengan logam alkali dan oksidannya seperti kalsium
oksida dan magnesium oksida. Akuades juga bereaksi dengan 19 garam
anhidrat untuk membentuk hidrat dari berbagai komposisi, dan dengan
bahan organik tertentu dan kalsium karbida (DepKes RI, 1979).
Pengamatan hasil preparat sebelum pewarnaan
Pengamatan preparat jaringan di mikroskop tidak selalu
mendapatkan hasil yang normal secara histologi atau histopatologi.
Pemrosesan jaringan yang panjang dari mulai pengambilan organ sampai
tahap perekatan atau mounting sering kali mengalami kecacatan dan

15
kerusakan preparat yang bisa menyebabkan kesalahan dalam diagnosis
histopatologi (Bindhu dkk, 2014).
Preparat histologi yang baik memiliki ciri – ciri seperti nukleus
bewarna biru tua, sitoplasma dan serat terwarnai merah muda, sel – sel
lemak tidak bewarna, sel – sel lemak akan menghilang ketika pemrosesan
jaringan dilakukan dengan benar, tidak memiliki artefak seperti lipatan,
goresan, presipitasi pewarnaan, robekan, dan terlihat kotoran akibat
penyaringan larutan yang tidak bersih (Bacha dan Bacha, 1990; Aughey
dan Frue, 2001).
 Jaringan sobek (separation)
Jaringan sobek terjadi karena tekanan yang berlebihan, ketegangan
atau penyusutan dalam proses pengolahan menyebabkan pemisahan dalam
jaringan. Sobekan bisa terjadi karena suhu waterbath yang tinggi atau
pisau mikrotom yang tumpul karena masa pakai yang lama (Bacha dan
Bacha, 1990; Khan dkk., 2014).
 Jaringan pecah (crackling)
Jaringan dengan banyak seluler akan sering mengalami pecahan
atau retakan. Pisau mikrotom yang kurang tajam dan infiltrasi parafin yang
kurang baik sehingga menyebabkan jaringan pecah segala arah dan
terdapat gelembung antara object glass dengan potongan jaringan saat
diletakkan di slide warmer (Bindhu dkk., 2014; Khan dkk., 2014).
 Lipatan jaringan (folding)
Jaringan terlihat tumpang tindih dan tidak dalam fokus yang tajam.
Lipatan jaringan dapat terjadi karena suhu weaterbathkurang panas atau
jaringan yang tidak dibiarkan mengembang dengan baik saat berada di
waterbath. Proses pemotongan yang kurang sempurna seperti pisau
mikrorom tumpul atau terdapat sisa – sisa parafin di mata pisau serta
pemotongan yang terlalu tipis (Bacha dan Bacha, 1990).
 Pewarnaan kurang (stain precipitate)
Stain precipitate bisa disebabkan karenan penggunaan larutan
pewarna yang kadaluarsa sehingga sebagian warna tidak terwarnai.
Akumulasi pengendapan yang menempel pada permukaan jaringan selama

16
pemrosesan jaringan. Larutan pewarna yang dipakai tidak disaring terlebih
dahulu (Samuelson, 2007).
 Potongan tidak teratur (knife marks)
Infiltrasi parafin yang tidak benar, mata pisau yang tumpul,
mikrotom yang rusak dapat menyebabkan adanya patahan atau goresan
pada jaringan yang menyebabkan pita melipat dan sobekan sepanjang
jaringan (Samuelson, 2007).
 Jaringan berlubang
Jaringan berlubang disebabkan terdapatnya lubang pada jaringan
disebabkan oleh proses fiksasi, dehidrasi dan media embedding yang
kurang sehingga didapat sampel yang tidak sama rata. Embedding yang
tidak cocok menyebabkan terjebaknya udara di sekitar jaringan, sehingga
jaringan bergetar dan jatuh ketika proses pemotongan sehingga terjadi
artefak (Bindhu dkk., 2014).

Biopsi aspirasi jarum halus / FNAB Pemeriksaan


FNAB dapat dilakukan di unit rawat jalan setiap rumah sakit
maupun praktek. Walaupun akurasi hasil pemeriksaan FNAB masih di
bawah pemeriksaan histopatologi dari biopsi terbuka, tetapi dengan
panduan data dari pemeriksaan klinis, radiologi dan laboratorium
diharapkan hasil pemeriksaan yang cukup baik dengan biaya yang relatif
lebih murah.

 Alat yang diperlukan untuk FNAB


Peralatan dasar yang diperlukan untuk melakukan FNAB sederhana terdiri
dari :
 Sebuah syringe holder atau syring pistol / Terumo syring : 3 cc, 5
cc, 10 cc
 Jarum / Needle disposible ukuran 21- 25 G
 Kaca objek untuk pembuatan preparat apus dari aspirat jaringan
dan telah diberi nomor / kode sitologi
 Kapas alkohol

17
 Botol / kotak kaca berisi alkohol 95 % ( untuk fiksasi )
 Sarung tangan steril
 Botol penampung cairan aspirat
 Plester
 Ethyl chloride spray
 Tissue

 Pembuatan sediaan apus hasil FNAB


Untuk pembuatan preparat apus, digunakan kaca objek yang bersih
yang sudah diberi label nomor /kode sitologi sesuai dengan nomor yang
ada di formulir permintaan FNAB. Prosedur pembuatan apusan hasil
aspirasi adalah sebagai berikut :
 Setiap kaca objek yang sudah di beri nomor di tetesi dengan 1-2
tetes aspirat
 Aspirat diapuskan dengan merata pada kaca objek dengan
menggunakan kaca objek yang lainnya.
 Sediaan apus tersebut segera difiksasi dalam alkohol 95 % untuk
pewarnaan Papanicolaou, sedangkan untuk pewarnaan Giemsa
difiksasi dalam metanol setelah dikeringkan terlebih dahulu.

18
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Teknik yang digunakan dari kedua laboratorium hampir sama,
perbedaan hanya dibeberapa alur proses, penggunaan alat dan beberapa
reagen.
Keuntungan pemakaian alat dalam pengerjaan preparat histologi
adalah hasil cepat dan hemat tenaga.
Hasil evaluasi preparat jaringan mengalami sobek, tergores, pecah,
lipatan, pewarnaan yang kurang, atau sebagian jaringan ada yang hilang,
dan terdapat spot hitam pada preparat jaringan

19
DAFTAR PUSTAKA

http://analiskesehatand3.blogspot.com/2016/11/preparat-sitologi.html
Aughey, E dan Frye, F.L. 2001. Comporative Veterinary Histology : with
Clinical Correletes. London : Manson Publishing.
Bacha, W.J., dan Bacha, L.M. 1990. Color Atlas of Veterinary histology. 1
Philadephia, London : Lea and Febiger.
Bindhu, P.R., Krishnapillai, R., Thomas, P dan Jayanti, P. 2013. Facts in
Artifacts. Jurnal of Oral and Maxillofacial Pathology. 17(3): 397–401
Buchwalow, I.B., dan Bocker, W. 2010. Immuno-histochemistry. Basic
and Metods. Springer Heidelberg Dorddrecht London New York.
Buzgo, M., Chanderbali AS., Zheng., Oppenheimer, D., Soltis, PS dan
Soltis, DS. 2007. Histology Protocol, Suplementary Data. International
Journal Of Plant Sciences.
Clemson, E. 1990. Home Water Treatment Systems. Bulletin of Water
Quality, The Clemson University Cooperative Extension Service.
Clifton, N.J. 2011. Necropsy and Sampling Procedures in Rodent. Article
in Metods in Moleculer Biology. Pp: 39-67.
Eroschenko,V.P. 2008. Difiore’s Atlas Of Histology With Functional
Correlation. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hammersen, F dan
Sobotta, J. 1985. Histologi, Atlas Berwarna Anatomi Mikroskopik.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hariono, B. 2009. Mikroskopi Elektron Pengenalan dan Teknik Preparasi.
Yogyakarta : Kanisisus.
Hendrich, H. 2004. The laboratory Mouse. Amsterdam, Netherland :
Elsevier. Isbagio, D.W. 1992. Eutanasia Pada Hewan Coba. Media
Litbangkes Vol.11No.01/1992
Junqueira, L.C dan Carneiro, J. 1992. Histologi Dasar (Basic Histology).
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

20

Anda mungkin juga menyukai