Anda di halaman 1dari 12

INOKULASI VIRUS PADA TELUR AYAM BEREMBRIO

Oleh :
Nama : Annisa Aulia
NIM : B1J013003
Kelompok :2
Rombongan : IV
Asisten : Uli Nurjanah

LAPORAN PRAKTIKUM VIROLOGI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2015
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Virus adalah parasit intraselular, berukuran sangat kecil yang dapat


menginfeksi sel organisme hidup. Ukuran virus sangat bervariasi, namun ukuran virus
jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan bakteri. Virus hanya dapat dilihat dibawah
mikroskop elektron dan tidak dapat dilihat dengan mikroskrop cahaya biasa, kecuali
pox virus (Radji, 2010). Awal tahun penelitian virus, menggunakan binatang atau
hewan percobaan harus dilakukan untuk dapat mengenal virus dan hasil-hasil yang
kuantitatif serta cepat, sering sulit diperoleh. Saat ini, banyak virus telah dapat
dibiakan dalam biakan jaringan atau dalam telur berembrio dengan keadaan
lingkungan yang dapat dikendalikan secara ketat. Walaupun demikian pertumbuhan
virus pada hewan percobaan masih tetap digunakan untuk isolasi primer virus tertentu
dan untuk penelitian patogenesis virus. Virus adalah penyebab infeksi terkecil
berdiameter 20-300 nm. Genom virus hanya mengandung satu macam asam nukleat
yaitu RNA/DNA. Asam nukleat virus terbungkus dalam suatu kulit protein yang dapat
dikelilingi oleh selaput yang mengandung lemak. Seluruh unit infektif disebut virion.
Virus hanya bereplikasi dalam sel hidup. Replikasinya dapat intranuklear atau
intrasitoplasmik (Jawetz, 1996).
Virus tidak dapat melakukan sintesis sendiri komponen genetik dan struktural
sel virus karena sangat tergantung pada perangkat replikasi selnya. Proses replikasi
virus menggunakan komponen makromolekular dan energi sel hospes sehingga
mengganggu fungsi sel hospes yang mengakibatkan kerusakan sel hospes dan penyakit
infeksi. Efek sitopatogenik merupakan salah satu kelainan sel hospes yang disebabkan
oleh terjadinya replikasi virus. Efek patogenis yaitu perubahan bentuk sel dan
pelepasan dari sel-sel yang berdekatan atau dari tempat perkembangbiakannya.
Paramyxovirus menyebabkan terbentuknya sel berinti banyak yang sangat besar (giant
cell) yang disebut sinsitium. Sinsitium dapat terdiri dari 4-100 nukleus dalam
sitoplasma (Radji, 2010).
Telur ayam berembrio telah lama merupakan sistem yang telah digunakan
secara luas untuk isolasi. Embrio dan membran pendukungnya menyediakan
keragaman tipe sel yang dibutuhkan untuk kultur berbagai tipe virus yang
berbeda. Membran kulit telur yang fibrinous terdapat di bawah kerabang. Membran
membatasi seluruh permukaan dalam telur dan membentuk rongga udara pada sisi
tumpul telur. Membran kulit telur bersama dengan cangkan telur membantu
mempertahankan intregitas mikrobiologi dari telur, sementara terjadinya difusi gas
kedalam dan keluar telur. Distribusi gas di dalam telur dibantu dengan pembentukan
CAM yang sangat vaskuler yang berfungsi sebagai organ respirasi embrio (Senne,
1989).
B. Tujuan

Tujuan praktikum inokulasi virus pada telur berembrio adalah untuk


memberikan pemahaman tentang macam-macam inokulasi virus, mengetahui
bagaimana cara menginokulasikan virus pada telur ayam berembrio, dan mengetahui
ciri-ciri embrio ayam yang terinfeksi Newcastle disease virus (NDV).
II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah senter, pensil, tissue,
jarum pentul, cawan petri, pinset, baki, dan spuit injeksi,
Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah 3 buah telur ayam
yang berumur 9-12 hari, serum NDV, dan alkohol 70%.

B. Metode

1. Telur ayam umur 9-12 hari sebanyak 2 butir disiapkan.


2. Telur diteropong untuk menentukan batas antara kantung udara dengan letak
kepala embrio, kemudian diberi tanda dengan pensil.
3. Tissue yang sebelumnya telah diolesi alkohol dioleskan pada daerah kantung
udara.
4. Telur ditusuk terlebih dahulu dengan jarum pentul.
5. Serum diinokulasikan ke dalam ruang korioalantois (melewati batas kantung
udara) dengan cara menusuk telur dengan spuit injeksi ¾ inci dengan sudut 45oC
dan diinjeksikan sebanyak 0,1 cc, 0,2 cc dan 0,3 cc.
6. Bagian yang berlubang ditutup dengan lilin.
7. Telur diinkubasi suhu 39oC selama 4 hari.
8. Telur diamati pada hari ke-4 dan dibandingkan dengan telur yang tidak
diinokulasikan virus.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 1. Hasil pengamatan pengaruh inokulasi Newcastle disease Virus (NDV)


pada telur ayam berembrio
Perubahan
Volume Lesi pada Lesi pada
Kelompok warna hijau
virus (cc) embrio otot dan bulu
pada kaki
1 0,1 - - -
2 0,1 - +++ -
3 0,2 - - -
4 0,2 - ++ -
5 0,3 - +++ -
6. 0,3 - +++ -

Keterangan :
Negatif (-) = Tidak Nampak
Positif (+) = Terbentuk lesi atau memar pada embrio
(+) = Ada gejala
(++) = Sedang
(+++) = Banyak

Gambar 1. Embrio Ayam Kontrol Gambar 2. Embrio Ayam yang di


Inveksi NDV dengan Volume 0,1 cc
B. Pembahasan

Newcastle disease Virus (NDV) merupakan salah satu penyakit infeksi yang
penting untuk dikaji dalam peternakan. Newcastle disease virus juga dikenal dengan
nama sampar ayam atau tetelo. Deteksi yang cepat dan identifikasi dari virus ini
merupakan tahap yang paling efektif untuk mengontrol pertumbuhan penyakit ini
(Smietanka et al., 2006). Newcastle Disease Virus merupakan anggota pertama dari
genus Paramyxovirus (PMV) yang diisolasi dari unggas pada tahun 1926. Newcastle
Disease Virus biasanya berbentuk bola dengan diameter 100–300 nm. Genome dari
NDV adalah suatu rantai tunggal RNA. NDV mempunyai amplop yang mengandung
dua protein yaitu protein hemaglutinin neuraminidase (HN) dan protein peleburan.
Kedua protein ini bersifat penting dalam menentukan keganasan dan infektivitas virus.
Protein HN melaksanakan dua fungsi, yaitu hemaglutinin mengikat selaput sel inang
dan bagian neuraminidase dilibatkan di dalam pelepasan virus dari selaput sel inang.
Protein peleburan digunakan untuk peleburan amplop virus kepada selaput sel inang,
sehingga genom dari virus dapat masuk sel. Untuk melaksanakan fungsi ini, protein
peleburan perlu dibelah oleh suatu protease sel inang (Yuan et al., 2011). Klasifikasi
dari Newcastle disease virus dalam Adi et al. (2008) adalah sebagai berikut:
Group : Group V ( (-) ssRNA)
Order : Mononegavirales
Family : Paramyxoviridae
Genus : Avulavirus
Species : Newcastle disease virus
NDV menyerang alat pernapasan, susunan jaringan syaraf, serta alat-alat
reproduksi telur dan menyebar dengan cepat serta menular pada banyak spesies unggas
yang bersifat akut, epidemik (mewabah) dan sangat patogen. NDV dibagi dua tipe
yakni tipe Amerika dan tipe Asia. Pembagian ini berdasarkan keganasannya dimana
tipe Asia lebih ganas dan biasanya terjadi pada musim hujan atau musin peralihan,
dimana saat tersebut stamina ayam menurun sehingga penyakit mudah masuk (Adi et
al., 2008). Ayam yang pernah terinfeksi Newcastle Disease Virus (NDV) dan tidak
mengalami kematian akan memiliki kekebalan selama 6-12 bulan terhadap NDV.
Demikian juga dengan kekebalan yang diperoleh dari vaksinasi. Sifat spesifik NDV
antara lain mempunyai kemampuan untuk mengaglutinasi dan melisikan eritrosit
ayam. Selain eritrosit ayam, NDV juga mampu mengaglutinasi eritrosit mamalia dan
unggas lain serta reptilia. Newcastle Disease Virus bila dipanaskan pada suhu 56 ºC
akan kehilangan kemampuan untuk mengaglutinasi eritrosit ayam, karena protein
hemaglutininnya rusak. Selain itu juga akan merusak infektivitas dan imunogenesitas
virus (Alexander, 1989). Sumber infeksi untuk NDV dapat berasal dari unggas yang
terinfeksi atau pakan dan air yang terkontaminasi, sebagian besar transmisi virus NDV
melalui aerosol. Tinja dan telur yang terkena penyakit klinis, dan semua bagian dari
bangkai selama infeksi akut dan pada saat kematian juga dapat bertindak sebagai
sumber infeksi. Ayam yang terinfeksi virulen NDV mungkin mati tanpa menunjukkan
tanda-tanda penyakit klinis, meskipun ayam muda lebih rentan dan menunjukkan
tanda lebih cepat dari yang lebih tua. Sebagian besar penyebaran ND mungkin dapat
melalui agen manusia (Anebo et al., 2014).
Patogenesis dan imunitas NDV adalah pada mulanya virus bereplikasi pada
epitel mukosa dari pembuluhan pernapasan bagian atas dan pembuluhan pencernaan,
segera setelah terinfeksi virus menyebar lewat aliran darah ke ginjal dan sumsum
tulang belakang yang menyebabkan viremia sekunder, inilah yang menyebabkan
viremia sekunder menimbulkan infeksi pada organ sasaran yaitu paru-paru, usus, dan
system saraf pusat. Kesulitan bernafas dan sesak napas timbul akibat penyumbatan
paru-paru dan kerusakan pada pusat pernapasan di otak. Perubahan pasca mati meliputi
perdarahan echomose pada laryngs, trakea, oesofagus, dan di sepanjang usus. Lesi
histologi yang paling menonjol adalah nekrosis terpusat pada mukosa usus dan
jaringan limfe dan perubahan hyperemia di sebagian besar organ termasuk otak
(Alexander, 1989).
Menurut Zuckerman et al., (2000) pengujian yang dilakukan terhadap adanya
penularan virus dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, yaitu:
a. Pembiakan virus dengan hewan percobaan (In vivo)
Pembiakan virus dengan hewan percobaan digunakan untuk isolasi primer
virus tertentu, untuk penelitian patogenesis virus dan onkogenesis virus. Jenis
hewan percobaan, umur, jenis kelamin, serta cara penyuntikannya berbeda-beda
tergantung jenis virus. Virus yang sering diteliti secara in vivo pada binatang
percobaan antara lain virus polio, virus rabies dan virus dengue.
b. Pembiakan virus pada kultur jaringan (In vitro)
Biakan sel yang dapat digunakan untuk membiakan virus secara in vitro
adalah biakan primer dan biakan sel yang dapat hidup terus menerus. Biakan sel
primer adalah biakan yang diambil dalam keadaan segar dari binatang. Biakan
yang berasal dari embrio ayam akan menghasilkan sel jenis fibroblast.
c. Pembiakan virus dalam telur berembrio (In ovo)
Telur juga merupakan perbenihan virus yang sudah steril dan embrio telur yang
tumbuh didalamnya tidak membentuk zat anti yang dapat mengganggu
pertumbuhan virus. Cara pembiakan virus pada telur berembrio adalah sebagai
berikut:
1. Menyuntikan virus pada lapisan luar selaput korioalantois telur berembrio 10
hari. Cara penanaman ini berguna untuk isolasi virus yang menyebabkan
kelainan dermatotropik seperti virus variola, virus vaccinia dan virus herpes.
2. Menyuntikan virus ke dalam ruang amnion telur berembrio yang berumur 10-
15 hari. Cara ini terutama untuk isolasi virus influenza dan virus parotitis
karena virus ini tumbuh di dalam sel epitel paru-paru embrio yang sedang
berkembang.
3. Menyuntikan virus pada kantung kuning telur berembrio 9-12 hari. Teknik
penanaman ini menggunakan penyuntikan langsung melalui lubang kecil pada
kulit telur ke dalam kantung kuning telur (Adi et al., 2008).
Telur ayam berembrio telah lama merupakan sistem yang telah digunakan
secara luas untuk isolasi. Embrio dan membran pendukungnya menyediakan
keragaman tipe sel yang dibutuhkan untuk kultur berbagai tipe virus yang
berbeda. Membran kulit telur yang fibrinous terdapat di bawah kerabang. Membran
membatasi seluruh permukaan dalam telur dan membentuk rongga udara pada sisi
tumpul telur. Membran kulit telur bersama dengan cangkang telur membantu
mempertahankan intregitas mikrobiologi dari telur, sementara terjadinya difusi gas
kedalam dan keluar telur. Distribusi gas di dalam telur dibantu dengan pembentukan
CAM yang sangat vaskuler yang berfungsi sebagai organ respirasi embrio (Adi et al.,
2008).
Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan inokulasi pada embrio ayam
menurut (Williamson et al., 1953) adalah sebagai berikut:
1. Rute Inokulasi
Inokulasi pada embrio dimana virus akan segera mendapatkan tempat untuk
menginfeksi organ. Hasil paling baik adalah ketika embrio mengalami abnormal
organ sejak 24 jam setelah inokulasi.
2. Strain virus
Strain virus menentukan efek infeksi pada masing-masing embrio yang
diinokulasikan virus. Strain yang paling virulen merupakan strain yang paling baik
untuk digunakan pada uji in ovo karena mudah terlihat gejalanya.
3. Titer Virus
Banyaknya titer virus yang diinokulasikan merupakan hal yang penting untuk
mencapai keberhasilan inokulasi dan akan menyebabkan efek infeksi yang terlihat
jelas pada embrio yang diujikan dengan kontrolnya.
4. Tahapan perkembangan embrio
Perkembangan embrio yang sudah mengalami tahap dewasa akan lebih
resisten terhadap virus karena sudah dibekali sistem imun pada tubuhnya,
sebaliknya embrio dengan umur yang lebih muda akan lebih rentan terkena virus
karena sistem imunnya belum berkembang.
Praktikum ini menggunakan telur yang diberi perlakuan berbeda. Ada telur
kontrol dan telur uji, telur uji diinokulasikan dengan serum NDV sebanyak 0,1 cc, 0,2
cc dan 0,3 cc. Berdasarkan hasil praktikum yang diperoleh oleh kelompok 1-6, embrio
ayam tidak ada yang mengalami perubahan warna kehijauan pada kaki dan lesi pada
otot dan bulu, sedangkan lesi pada emrio dijumpai pada embrio ayam kelompok 2 yang
diinokulasi serum NDV 0,1 cc, kelompok 4 yang diinokulasikan NDV 0,2 cc,
kelompok 5 dan kelompok 6 yang diinokulasi serum NDV 0,3 cc. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar embrio mengalami lesi pada embrio, namun tidak
mengalami perubaha warna kehijauan pada kaki dan lesis pada otot dan bulu setelah
diinokulasi serum NDV. Hal ini kurang sesuai dengan pernyataan Kaleta dan
Neumann (1975), embrio yang diinokulasikan NDV akan mengalami reduksi pada
organ-organ tertentu misalnya hati, trakhea, serta pembuluh darah. Menurut Smietanka
et al. (2006), NDV yang disuntikkan ke dalam embrio ayam akan bermigrasi ke dalam
berbagai organ yang baru terbentuk dan merusak organ tersebut, misalnya rusaknya
organ hati, paru-paru, ginjal dan usus pada embrio ayam. Hal ini tergantung virulensi
masing-masing strain virus ini. Sedangkan menurut Beard & Hanson (1984), ciri-ciri
embrio ayam yang terinfeksi NDV berupa kematian embrio, lesi pada embrio berupa
kekerdilan, hemoragi cutaneus, pembesaran hati dan lien, perkembangan otot dan buku
yang abnormal, pembentukan lesi pada CAM, perubahan warna kehijauan pada kaki.
Perubahan mikroskopis yang terjadi berupa hiperemi, edema, hemorrhagi, trombosis,
dan nekrosis pembuluh darah. Hiperplasia sel-sel reticulohistiositik dan nekrosis
multifokal pada hati.
Organ dari embrio ayam yang diduga digunakan sebagai tempat replikasi
virus antara lain kulit, paru-paru, usus, hati, ginjal dan jantung. Lesi mikroskopis yang
diakibatkan oleh virus ND isolat Salatiga berupa kongesti dan hemoragi pada paru-
paru, kongesti pada usus, ginjal, hati, jantung juga kongesti kulit yang disertai radang.
Lesi tersebut berbeda dengan lesi mikroskopis yang diakibatkan oleh virus ND strain
lentogenik dalam hal ini virus ND La Sota berupa kongesti pada paru-paru, kulit, ginjal
dan jantung. Embrio ayam yang tidak diinfeksi oleh virus ND (kontrol negatif) terlihat
normal. Organ-organ dari embrio tersebut secara mikroskopis terlihat tidak mengalami
perubahan (Putra et al., 2012).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan


sebagai berikut :
1. Inokulasi Newcastle Disease Virus yang mendapatkan hasil positif adalah pada
perlakuan inokulasi 0,1 cc, 0,2 cc dan 0,3 cc, yang ditandai dengan adanya lesi pada
embrio (kekerdilan).
2. Ada tiga cara perkembangbiakan virus yaitu dengan hewan percobaan (in vivo),
cara kultur jaringan (in vitro) dan telur bertunas (in ovo).
3. Cara pembiakan virus pada telur berembrio dapat melalui penyuntikan pada lapisan
luar selaput korioalantois, ruang amnion dan kantung kuning telur.

B. Saran

Saran untuk praktikum ini adalah sebaiknya telur yang dipakai untuk
praktikum umurnya sama dan berasal dari induk yang sama yaitu dengan cara
memesan terlebih dahulu dua minggu sebelumnya ke peternak atau warga yang
memelihara ayam. Sebaiknya juga adanya embrio telur ayam yang sehat sebagai
kontrol agar dapat dengan dibandingkan dan dilihat perbedaannya dengan embrio yang
terinveksi NDV.
DAFTAR REFERENSI

Adi, A., Astawa., Ketut., dan Yasunobu M. 2008. Deteksi Virus Penyakit Tetelo Isolat
Lapangan dengan Metode Nested Reverse Transcriptase- Polymerase Chain
Reaction. Jurnal Veteriner, 9 (3) : 128-134.
Alexander, D. J. 1989. Newcastle Disease. Dalam : Purchase, H. G., Arp, L. H.,
Domermuth, C. H., Pearson, J. E. (eds). A Laboratory Manual for the Isolation
and Identification of Avian Pathogens. Kendall/Hunt Publishing Company,
Iowa. Hal.: 114-121.
Anebo, Z. G., Teklemichael, K. BelachewBacha, Habte, T., and Hunde, A. 2014.
Evaluation of the newcastle disease antibody level after vaccination regimes
in chickens in Debrezeit Agricultural Research Center, Ethiopia. Journal of
Veterinary Medicine and Animal Health, 6(1) : 7-12.
Beard, C.W. and Hanson. 1984. Newcastle Disease in Disease of Poultry, 8th ed. Iowa
State University Press, Armes Iowa. USA.
Jawetz, E. 1996. Mikrobiologi Klinik. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Putra, H. H., Wibowo, M. H., Untari, T. dan Kurniasih. 2012. Studi Lesi Makroskopi
dan Mikroskopis Embrio Ayam yang Diinfeksi Virus Newcastle Disease Isolat
Lapang yang Virulen. Jurnal Sain Veteriner, (30)1 : 57-67.
Radji, M., 2010. Imunologi dan Virologi. PT Isfi Penerbitan. Jakarta.
Senne, D. A. 1989. Virus Propagation in Embryonating Eggs. Dalam : Purchase, H.
G., Arp, L. H., Domermuth, C. H., Pearson, J. E. (eds). A Laboratory Manual
for the Isolation and Identification of Avian Pathogens. Kendall/Hunt
Publishing Company, Iowa. Hal: 176-181.
Smietanka, K., Minta, Z. dan Blicharz, K. D. 2006. Detection of Newcastle Disease
Virus in Infected Chicken Embryos and Chicken Tissues by RT-PCR. Bull Vet
Inst Pulawy, 50 : 3-7.
Williamson, A. P., Blattner, R. J. dan Robertson, G. G. 1953. Factors Influencing the
Production of Developmental Defects in the Chick Embryo Following
Infection with Newcastle Disease Virus. The Journal of Immunology, 71: 207-
213.
Yuan, P., Swanson, K. A., Leser, G. P., Paterson, R. G., Lamb, R. A., and Jardetzky,
T. S. 2011. Structure of the Newcastle Disease Virus Hemagglutinin-
neuraminidase (HN) Ectodomain Reveals a Four-helix Bundle Stalk. PNAS, 36
(108) : 12-16.
Zuckerman, A. J., Banatvala, J. E., dan Pattison, J. R. 2000. Principles and Practice
of Clinical Virology. John Wiley and Sons. New York.

Anda mungkin juga menyukai