Anda di halaman 1dari 111

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara hukum telah berkembang seiring dengan semakin besarnya

hasrat pencarian manusia tentang bagaimana negara yang ideal. Sebelumya

dasar pemikiran mengenai negara hukum telah dilangsir oleh banyak orang,

beberapa di antaranya adalah Plato dan Aristoteles sampai pada sebuah

konsep negara yang modern. Mengamati keberadaan lembaga modern, David

Held mengutip Skiner menerangkan “ Inti dari gagasan modern ialah suatu

tatanan konstitusional dan hukum yang impersonal dan mempunyai hak-hak

istimewa, yang membatasi suatu struktur otoritas bersama, yang menempatkan

sifat dan bentuk control,”.1 Dapat dikatakan gagasan tersebut di mulai dengan

adanya keinginan negara berlandaskan pada aturan-aturan. Telah dapat

ditangkap makna secara simbolik bahwa negara hukum seharusnya mampu

untuk memadukan hukum dan kekuasaan serta pelaksanaannya dan juga

pembatasannya, serta menjamin hak-hak warga negaranya.

Istilah Negara Hukum dalam bahasa Belanda disebut Rechtstaat, Prancis

Menggunakan istilah etat de droid, Jerman menggunakan istilah yang sama

dengan Belanda, yaitu rechtstaat. Istilah etat de droit dan rechtstaat yang

digunakan di Eropa Kontinental adalah istilah-istilah yang tidak tepat

digunakan dalam sistem hukum Inggris, meskipun ungkapan legal state atau

state according to the law atau the rule of Law mencoba mengungkapkan

1
David Held, Demokrasi & Tatanan Global (Terjemahan dari Democrachy and the Global Order,
From The Modern State to Cosmopoitan Governance) diterjemahkan oleh Damanhuri, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta. 2004 hlm 45
1
suatu ide yang pada dasarnya sama.2 Istilah Negara Hukum berkaitan dengan

paham rechtstaat dan the rule of law juga berkaitan dengan nomocrachy3 yang

berasal dari perkataan nomos dan cretos; nomos berarti norma dan cretos

adalah kekuasaan, ialah kekuasaan oleh norma atau kedaulatan hukum.

Selanjutnya Tahir Azhary mengklasifikasikan yang dimaksud dengan negara

hukum bukan saja rechtstaat dan rule of law tetapi juga nomokrasi Islam,

Negara Hukum Pancasila dan mungkin juga social legality.4

Beberapa pakar turut pula memeberikan pandangan mengenai apa yang

dimaksud dengan negara hukum. Mochtar Kusumaadmadja mengartikan

negara hukum sebagai negara yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan

tunduk pada hukum dan semua orang sama dihadapan hukum. Semantara itu

A Hamid S Attamimi mengartikan negara hukum sebagai negara yang

menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaann negara dan penyelenggaraan

negara berdasarkan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan

dibawah kekuasaan hukum. Askari Razak setelah menelaah uraian mengenai

prinsip-prinsip negara hukum menyimpulkan bahwa negara hukum adalah

negara dimana tindakan penyelenggaraan pemerintahan (pemerintah) maupun

rakyatnya harus didasarkan pada hukum, hal tersebut dimaksudkan untuk

mencegah tindakan sewenang-wenang pihak pemerintah (penguasa) dan

2
Aguslamim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah ,Ghalia Indonesia, Bogor 2007.hlm 20.
3
Anwar C, Teori dan Hukum Konstitusi, Paradiga Kedaulatan dalam UUD (Pasca Perubahan) ,
Imlikasi dan Iplementasinya Pada Lembaga Negara, Malang, 2011 hlm 46.
4
Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Study Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum
Islam, Implementasinya Pada Priode Negara Madinah dan Masa Kini, Pranenda Media, Jakarta
2004, Hlm 18.
2
tindakan rakyat yang dilakukan menurut kehendaknya sendiri.5 Untuk lebih

mendalami perihal negara hukum, maka upaya pengenalan terhadap ciri-

cirinya perlu untuk didekati secara sistemik berdasarkan klasifikasi dari

Negara hukum yang telah disebutkan diatas, yakni Rechtstaat, Rule of Law,

Sosial legality, nomocrachy dan negara hukum Pancasila.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sejarah Pengaturan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur dalam beberapa peraturan yaitu;

1) TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1996, 2) TAP MPR Nomor III/MPR/2009,

3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, 4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi

berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

(Perppu) yang didasarkan pada hal ihwal kegentigan yang memaksa

(noodverordeningsrecht van de president). Kewenangan tersebut melekat pada

Presiden dilandasi oleh pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Perpres

No.68/2005, Presiden memerintahkan penyusunan rancangan Perppu kepada

Menteri yang terkait dengan materi yang akan diatur dalam Perppu tersebut,

Menteri tersebut berkoordinasi dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia atau dengan Menteri / Pimpinan lembaga terkait setelah ditetapkan

Perppu oleh Presiden maka Menteri tersebut merancang Rancangan Uundang-

5
Askari Rasak, Hukum Pelayanan Publik, Arus Timur, Makassar 2013. hlm 26
3
Undang menjadi Undang-Undang. Perppu menurut Pasal 22 Undang-Undang

Dasar 1945 yaitu :

1. Dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan

peraturan pemerintah sebagai pengganti udang-undang.

2. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan

dalam pesidangan yang berikut.

3. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintahitu harus

dicabut.6

Sejak munculnya Amandemen ke-III Undang-Undang Dasar 1945

(Pasal 24C ayat 1), pada akhirnya Indonesia memiliki Lembaga Negara baru

yaitu Mahkamah Konstitusi yang menjalankan fungsi pengawasan konstitusi

(constitutional review). Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan oleh

negara yang salah satunya adalah dapat melakukan pengujian suatu Undang-

Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 serta dapat memberikan

keputusan hukum atas pengujian tersebut. Kewenangan konstitusional tersebut

pada dasarnya merupakan salah satu upaya untuk lebih menjamin legitimasi

dan supremasi hukum di Indonesia. Fungsi constitutional review pada

akhirnya dapat meminimalisir kesalahan konseptor hukum dalam membuat

peraturan perundang-undangan sehingga ketidakseimbangan asas manfaat dan

kepentingan antara kepentingan pemerintah dengan masyarakat dapat

berkurang (audi at alteram partem).

6
Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945
4
Namun, hadirnya Lembaga Mahakamah Konstitusi tidak serta merta

membuat para professional hukum Indonesia berpuas diri. Beberapa

sinkritisme hukum bermunculan seperti salah satunya adalah persoalan yang

cukup substansi yaitu bagaimana sikap Mahkamah Konstitusi dalam

menerapkan fungsi dan kewenangan Judicial Review terhadap Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Sebagaimana diketahui,

dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, secara eksplisit dijelaskan

bahwa Mahkamah Kontitusi berwenang untuk melakukan pengujian Undang-

Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak disebutkan adanya

pengujian terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Pasal

24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945). Sekalipun dalam hierarki

peraturan perundang-undangan, kedudukan Undang-Undang sejajar dengan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), ternyata tidak

menjamin Mahkamah Konstitusi dapat dengan berani menerapkan fungsi

pengawasan dan pengujian terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memiliki 4 (empat)

kewenangan dan satu kewajiban, adapun kewenangan tersebut yaitu:

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara

yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus

pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan

5
umum.7 Adapun kewajibannya yaitu Mahkamah Konstitusi wajib memberikan

putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan

pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang

Dasar.8

Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukannya, keberadaan

Mahkamah Konstitusi sendiri pada awalnya adalah untuk menjalankan

wewenang pengujian undang-undang. Munculnya kewenangan ini sendiri

dapat dipahami sebagai perkembangan hukum dan politik ketatanegaraan

modern.9 Mekanisme Pengujian Undang-Undang ini sendiri dimaksudkan

untuk melakukan pengujian suatu produk perundang-undangan terhadap

Undang-Undang yang lebih tinggi oleh lembaga peradilan tertentu. Untuk

pengujian suatu produk perundang-undangan terhadap konstitusi juga dikenal

dengan sebutan constitutional review, yakni menguji apakah undang-undang

tersebut tidak melenceng dari prinsip konstitusionalitas suatu negara dan

menjamin tidak adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara

yang dilanggar atas berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut.

Pengujian undang-undang (judicial review) sendiri di Indonesia dilaksanakan

oleh dua lembaga peradilan yang berbeda, yakni Mahkamah Konstitusi (MK)

dan Mahkamah Agung (MA). Mahkamah Konstitusi berwenang menguji

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan Mahkamah

7
Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
8
Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
9
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. hlm. 3
6
Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-

undang terhadap undang-undang.10

Di Indonesia sendiri, pengujian Undang-Undang terhadap Undang-

Undang Dasar yang subjek mengujinya diberikan kepada Mahkamah

Konstitusi lebih dikenal dengan istilah “judicial review” meskipun secara

konsep adalah “constitutional review” karena batu ujinya adalah Undang-

Undang Dasar 1945 (konstitusi negara Indonesia, selanjutnya disingkat UUD

1945). Maka untuk memudahkan penulisan ini, pengujian undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar yang kewenangannya diberikan kepada

Mahkamah Konstitusi dapat tetap disebut dengan istilah judicial review,

seperti pemahaman masyarakat awam pada umumnya.

Konsep constitutional review itu sendiri sebenarnya dapat dilihat

sebagai buah perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan

demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip

pemisahan kekuasaan (separation of powers), serta perlindungan dan

pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Ide

pengujian konstitusional (constitutional review) ini telah demikian luas

diterima dan dipraktikkan di dunia sebagai hasil perkembangan

ketatanegaraan di masing-masing negara termasuk Indonesia. Pengujian

konstitusional Undang-Undang dipandang sebagai barometer penegakan

konstitusi dalam rangka melindungi dan mengawal pelaksanaan hukum dan

konstitusi dalam praktik sehari-hari. Di Indonesia judicial review suatu

10
Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
7
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar telah sedikit banyak merubah

dan menghapus beberapa frasa, pasal, bab, bahkan keseluruhan undang-

undang itu yang oleh Mahakam Konstitusi dianggap inkonstitusional atau

tidak sesuai dengan prinsip dasar Undang-Undang Dasar 1945.

Perkembangan ketatanegaraan kita dewasa ini, pengujian

konstitusionalitas Undang-Undang yang merupakan satu-satunya mekanisme

penghapusan atau pembatalan undang-undang kini dianggap amat penting dan

mendesak untuk dilakukan. Hal ini disebabkan karena atas berlakunya suatu

Undang-Undang, maka bisa saja mengurangi atau menghilangkan hak

dan/atau kewenangan konstitusional warga negara, atau bahkan atas

berlakunya undang-undang tersebut dapat menciderai prinsip demokrasi

negara Indonesia. Untuk itu pegujian Undang-Undang yang dianggap

bertentangan dengan konstitusi ini sepatutnya harus segera diuji sejak

pemberlakuannya. Hal ini pun berlaku terhadap disahkannya suatu Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Perppu yang meskipun masa

berlakunya hanya sampai persidangan pembahasan di Dewan Perwakilan

Rakyat (jika tidak disetujui menjadi Undang-Undang), tetap saja dalam kurun

waktu yang sebentar itu jika dianggap tidak sejalan dengan maksud konstitusi

dan berpotensi merugikan hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin

oleh konstitusi, perppu itu cukup beralasan untuk diuji konstitusionalitasnya di

Mahkamah Konstitusi.

8
Mahkamah Konstitusi nyatanya sudah telah beberapa kali melakukan

pengujian Perppu terhadap Undang-Undang Dasar. Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang pengujian Perppu Nomor 4

Tahun 2009 tanggal 8 Februari 2010 adalah sejarah baru dalam praktik

ketatanegaraan kita, karena ternyata Mahkamah Konstitusi memutuskan

bahwa dirinya berwenang dalam menguji perppu tersebut. Meskipun amar

putusannya menyatakan permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk

verklaard) karena alasan para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum

(legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, tetapi setidaknya

Mahakam Konstitusi telah menyatakan keberwenangannya untuk memeriksa,

mengadili dan memutus permohonan pengujian Perpu terhadap Undang-

Undang Dasar.11

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 145/PUU-VII/2009 adalah

pengujian perppu kedua yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan

yang menguji Undang-Undang No. 6 Tahun 2009 dan Perppu No. 4 Tahun

2008 ini diputus pada tanggal 20 April 2010 yang juga menegaskan

keberwenangan Mahakamah Konstitusi dalam melakukan pengujian suatu

perppu.12 Kemudian pendaftaran pengujian perppu yang terbaru, pendaftaran

pengujian Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Perppu ini

didaftarkan oleh 5 pemohon berbeda, dengan masing-masing nomor perkara:

11
Putusa Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009
12
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 145/PUU-VII/2009
9
90/PUU-XI/2013, 91/PUU-XI/2013, 92/PUU-XI/2013, 93/PUU-XI/2013,

94/PUU-XI/2013.

Satu permohonan ditarik kembali, sedangkan empat lainnya diputus

dengan amar yang berbunyi “permohonan tidak dapat diterima”. Hal ini

karena Perpu No. 1 Tahun 2013 ini akhirnya dibahas di Dewan Perwakilan

Rakyat pada saat Mahkamah Konstitusi juga sedang menguji permohonan

pengujian perppu tersebut. Sehingga dengan hasil Sidang Paripurna Dewan

Perwakian Rakyat yang menyatakan menyetujui perpu tersebut menjadi

undang-undang, maka secara otomatis Mahkamah Konstitusi kehilangan objek

pengujian perkara a quo.

Pertimbangan mahkamah dalam putusan-putusan ini sekali lagi

menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi memang telah menganggap bahwa

kewenangan menguji Perppu merupakan kompetensi wilayah kewenangannya.

Hal ini menimbulkan polemik baru, dapatkah Mahkamah Konstitusi

melakukan pengujian terhadap suatu perppu? Pertanyaan dan problematika

tersebut seperti menurut istilah Malik ialah ibarat dua sisi mata uang,

membelah pendapat khalayak (khususnya para ahli) menjadi dua, ada yang

mengatakan Mahkamah Konstitusi berwenang dan ada juga yang lantang

mengatakan bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Perppu,

tentu dengan segala argumentasi dan perspektif hukumnya masing-masing.

Secara garis besar, dikotomi pendapat tersebut bertolak dari perbedaan dalam

menafsirkan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal pengujian Undang-

Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

10
Bagi yang berpendapat setuju bahwa Mahkamah Konstitusi dapat

menguji Perppu, alasan utamanya adalah melihat pada aspek kedudukan

(hierarki) Perppu yang dinilai sama dengan Undang-Undang, sehingga dengan

demikian maka Perppu masuk dalam cakupan kewenangan judicial review

oleh Mahkamah Konstitusi. Sementara di sisi yang lain, mengatakan bahwa

Mahkamah Konstitusi tidak berwenang menguji Perppu dengan alasan bahwa

secara eksplisit pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 sudah jelas dan tegas

menyebutkan objectum litis (objek perkara) dalam perkara pengujian Undang-

Undang di Mahkamah Konstitusi adalah Undang-Undang, bukan Perppu.

Mekanisme pengujian (review) terhadap Perppu sendiri sudah diatur dalam

Pasal 22 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,13

yaitu menjadi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membahas dan

menentukan nasibnya pada persidangan berikutnya. Perlu diketahui bahwa

pasal 1 ayat (3)Undang-Undang Dasar 1945 jelas mendorong penyelenggaraan

negara harus berdasarkan hukum,14 artinya the supremacy of law harus

ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk

membahas mengenai kewenangan pengujian suatu perppu di Mahkamah

Konstitusi dalam proposal yang berjudul: “Analisis Hukum Kewenangan

Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh

Mahkamah Konstitusi”.

13
Pasal 22 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
14
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
11
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat ditarik

beberapa poin rumusan masalah yang selanjutnya menjadi bahasan dalam

proposal ini, yaitu:

1. Apakah Kewenangan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perppu) oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan pasal

24C Ayat (1) Undang – Undang Dasar 1945 ?

2. Apakah berpotensi terjadi Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

terhadap Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perppu) oleh Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk:

1. Mengetahui Kewenangan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan pasal

24C Ayat (1) Undang – Undang Dasar 1945.

2. Mengetahui Potensi Sengketa Kewenangan Lembaga Negara terhadap

Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang oleh

Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat atau kegunaan yang diperoleh dalam penulisan proposal ini, antara

lain:

12
1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dan informasi bagi pengembangan Ilmu Hukum pada

umumnya serta mampu menambah dan mengembangkan khasanah

keilmuan khususnya dibidang Hukum Tata Negara.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan

literatur dalam kepustakaan mengenai Mahkamah Konstitusi terutama

dalam hal Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perppu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

c. Hasil penelitian ini nantinya dapat dipakai sebagai acuan bagi

penelitian-penelitian yang sejenis dan berkaitan.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan jawaban dan penjelasan atas permasalahan yang diteliti.

b. Menjadi sarana bagi penulis untuk mengembangkan kemampuan

penalaran serta membentuk pola pikir ilmiah.

c. Dapat menjadi bahan rujukan dan referensi lebih lanjut terhadapat

penulisan-penulisan proposal selanjutnya.

13
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Hukum Ketatanegaraan

1. Teori Negara Hukum

Negara hukum telah berkembang seiring dengan semakin besarnya

hasrat pencarian manusia tentang bagaimana negara yang ideal.

Sebelumya dasar pemikiran mengenai negara hukum telah dilangsir oleh

banyak orang, beberapa di antaranya adalah Plato dan Aristoteles sampai

pada sebuah konsep negara yang modern. Mengamati keberadaan lembaga

modern, David Held mengutip Skiner menerangkan “ Inti dari gagasan

modern ialah suatu tatanan konstitusional dan hukum yang impersonal dan

mempunyai hak-hak istimewa, yang membatasi suatu struktur otoritas

bersama, yang menempatkan sifat dan bentuk control….,”.15 Dapat

dikatakan Gagasan tersebut di mulai dengan adanya keinginan negara

berlandaskan pada aturan-aturan. Telah dapat ditangkap makna secara

simbolik bahwa negara hukum seharusnya mampu untuk memadukan

hukum dan kekuasaan serta pelaksanaannya dan juga pembatasannya,

serta menjamin hak-hak warga negaranya.

Istilah Negara Hukum dalam Bahasa Belanda disebut Rechtstaat,

Prancis Menggunakan Istilah etat de droid, jerman menggunakan istilah

yang sama dengan Belanda, yaitu rechtstaat. Istilah etat de droit dan

rechtstaat yang digunakan di Eropa Kontinental adalah istilah-istilah yang

15
David Held, 2004, Demokrasi & Tatanan Global (Terjemahan dari Democrachy and the Global
Order, From The Modern State to Cosmopoitan Governance) diterjemahkan oleh Damanhuri,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta. hlm 45
14
tidak tepat digunakan dalam sistem hukum Inggris, meskipun ungkapan

legal state atau state according to the law atau the rule of Law mencoba

mengungkapkan suatu ide yang pada dasarnya sama.16 Istilah Negara

Hukum berkaitan dengan paham rechtstaat dan the rule of law juga

berkaitan dengan nomocrachy17 yang berasal dari perkataan nomos dan

cretos; nomos berarti norma dan cretos adalah kekuasaan, ialah kekuasaan

oleh norma atau kedaulatan hukum. Selanjutnya Tahir Azhary

mengklasifikasikan yang dimaksud dengan negara hukum bukan saja

rechtstaat dan rule of law tetapi juga nomokrasi Islam, Negara Hukum

Pancasila dan mungkin juga social legality.18

Beberapa pakar turut pula memeberikan pandangan mengenai apa

yang dimaksud dengan negara hukum. Mochtar Kusumaadmadja

mengartikan negara hukum sebagai negara yang berdasarkan hukum,

dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama dihadapan

hukum. Semantara itu A Hamid S Attamimi mengartikan negara hukum

sebagai negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaann

negara dan penyelenggaraan negara berdasarkan kekuasaan tersebut dalam

segala bentuknya dilakukan dibawah kekuasaan hukum. Askari Razak

setelah menelaah uraian mengenai prinsip-prinsip negara hukum

menyimpulkan bahwa negara hukum adalah negara dimana tindakan

16
Aguslamim Andi Gadjong,2007,Pemerintahan Daerah ,Ghalia Indonesia, Bogor.hlm 20
17
Anwar C, 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Paradiga Kedaulatan dalam UUD (Pasca
Perubahan) , Imlikasi dan Iplementasinya Pada Lembaga Negara, Malang, hlm 46.
18
Tahir Azhary, 2004, Negara Hukum, Suatu Study Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya Pada Priode Negara Madinah dan Masa Kini, Pranenda Media,
Jakarta, hlm 18.
15
penyelenggaraan pemerintahan (pemerintah) maupun rakyatnya harus

didasarkan pada hukum, hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah

tindakan sewenang-wenang pihak pemerintah (penguasa) dan tindakan

rakyat yang dilakukan menurut kehendaknya sendiri.19 Untuk lebih

mendalami perihal negara hukum, maka upaya pengenalan terhadap ciri-

cirinya perlu untuk didekati secara sistemik berdasarkan klasifikasi dari

Negara hukum yang telah disebutkan diatas, yakni Rechtstaat, Rule of

Law, Sosial legality , nomocrachy , dan Negara Hukum Pancasila.

1. Konsep Rechtstaat ( Eropa Konstinental )

Lahirnya Konsep Negara Hukum adalah akibat dari sistem

pemerintahan absolutis pada negara-negara di benua Eropa. Pemikiran

yang reaktif ini lahir sebagi suatu sistem rasional yang menggantinkan

absolutism yang tiranik,20 oleh karena itu sifatnya revolusioner yang

bertumpu pada sistem hukum Konstinental , yang disebut cvil law.

Paham Rechtstaat dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat

Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Frederich Juluis

Stahl. Kant memahami negara hukum sebagai Nachtwaker staat atau

Nachwachterstaat (Negara Jaga Malam) yang tugasnya adalah

mejamin ketertiban dan keamanan masyarakat. Gagasan negara hukum

menurut Kant dinamakan negara hukum Liberal. bahkan dalam

19
Askari Rasak, Hukum Pelayanan Publik, Arus Timur,2013, Makassar . hlm 26
20
Van der pot oleh La Ode Muh.Taufik, 2016, Negara Hukum, Demokrasi dan Pemisahan
Kekuasaan,Umitoha Ukhuwah Grafika, Makassar, hlm 12
16
prespektif tersebut, Kant dianggap mencetuskan pronsip-prinsip negara

hukum formal.21

Unsur-unsur rechtstaat dikemukakan oleh Frederich Julius

Sthal dari kalangan ahli hukum eropa kontinental sebagai berikut:

a. Mengakui dan melindungi hak asasi manusia;

b. Untuk melindungi hak asasi manusia tersebut maka

penyelenggaraan negara harus berdasarkan pada teori Trias

Politika;

c. Dalam menjalankan tugasnya pemerintah berdasarkan undang-

undang (wetmatig bestuur);

d. Apabila dalam menjalankan tugasnya pemerintah melanggar hak

asasi (campur tangan pemerintrah dalam kehidupan pribadi

seseorang) maka ada peradilan administrasi yang akan

menyelesaikannya (onrechtmatige overheidsdaad), Jimly

Asshiddiqie menyebutnya Peradilan Tata Usaha Negara.22

Selanjutnya, Ni’matul Huda menjelaskan bahwa cirri-ciri

recthsstaat adalah sebagai berikut:

a. Adanya Undang-Undang Dasar atau Konstitusi yang memuat

ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.

b. Adanya pembagian kekuasaan Negara.

c. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.

Selain itu Scehltema, menguraikan empat prinsip rechtstaat adalah:

21
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern ( Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung.
Hlm 5
22
Jimly Asshiddiqie ,Konstitusi…,Op.Cit, hlm 152.
17
a. Kepastian Hukum.

b. Persamaan.

c. Demokrasi.

d. Pemerintahan yang melayani masyarakat, maka supremasi hukum

harus didukung oleh kepastian hukum, oleh karena itu, antara

supremasi hukum dan kepastian hukum selalu terdapat hubungan.23

Tentang Prinsip-Prinsip Kepastian Hukum meneurut

Scheltema, harus ada syarat-syarat yang perlu diperhatikan apakah

suatu negara telah menerapkan prinsip kepastian hukum itu. Syarat-

syarat tersebut:

a. Legalitas

b. Adanya Undang-Undang

c. Adanya jaminan bahwa suatu Undang-Undang dapat dibuat

d. Adanya pengaturan tentang hak asasi warga Negara

e. Adanya peradilan yang bebas24.

Mencermati pandangan-pandagan para ahli diatas mengenai

konsep rechtstaat, maka ada kesepakatan pemikiran bahwa unsur yang

tidak dapat dipisahkan dari konsep rechtstaat adalah adanya

pengakuan atas hak asasi manusia. Hal ini merupakan pola hubungan

yang erat antara rakyat sebagai unsur negara. Selain itu, mekanisme

pembatasan kekuasaan harus dilaksanakan menurut ketentuan undang-

undang guna mewujudkan agenda perlindungan atas hak asasi warga

23
Muin Fahmal, 2008, peranan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Bersih, Cetakan Kedua,Kreasi Total Media, Yogyakarta.hlm112.
24
Ibid Muin Fahmal hlm109-110
18
negara. Bahkan warga negara dapat mengajukan complaint terhadap

pemerintah manakala kebijakan pemerintah dinilai melanggar hak

asasinya atau terlalu mencampuri urusan pribadinya. Jika dilihat dari

sudut pandang filsafat, hal ini erat hubungannya dengan pahaman

kaum liberalis individualistic. Tentu hal ini wajar dan dapat diterima,

mengingat rechtstaat sangat didasarkan pada filsafat liberal yang

individualistic, maka cirri individualistic itu sangat menonjol dalam

pemikiran negara hukum menurut Konsep Eropa Konstinental .

2. Konsep Rule of Law (Anglo Saxon)

Pemikiran negara hukum (the rule of law) di Inggris

sebanarnya sejak Henry II yakni pada Tahun 1164 sudah menghasilkan

Konstitusi yang dikenal dengan Constitution of Clarendon yang

disusul dengan Magna Charta pada tahun 1215 sebagai cikal bakal

munculnya Bill of Rights yang dibuat pada masa William pada Tahun

1689. Dengan munculnya pembaharuan tersebut, dalam konteks

Inggris saat itu, jaminan kesamaan kedudukan bagi setia warga negara

telah diimplementasikan serta keharusan bagi raja untuk patuh

terhadap hukum. Paham The rule of Law mulai dikenal setelah Albert

Van Dicay pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Indtroduction to

Study of The Law of The Constitution. Paham the rule of law

perkembangannya terjadi secara evolusioner dan bertumpu pada

paham atau sistem hukum common law.

19
Dikatakan oleh A.V Dicay, bagwa ada tiga arti rule of Law ,

yaitu sebagai berikut:

a. Supremasi Absolut pada Hukum yang berarti supremasi atau

superirotas hukum regular yang mutlak bertentangan dengan

pengaruh kekuasaan yang sewenang-wenang, mencabut hak

prerogative atau bahkan kekuasaan bertindak yang besar dari pihak

pemerintah karena munculnya kesewenang-wenangan tersebut.

b. Kesetaraan dihadapan hukum atau kedudukan setara semua

kelompok masyarakat kepada hukum (aquality before the law)

yang dilaksanakan oleh ordinary court.

c. Konstitusi bukan merupakan sumber tetapi konsekuensi dari hak-

hak individu. Konstitusi merupakan hasil dari hukum umum

negara.25

Berdasarkan ciri tersebut dapat dikemukakan bahwa rule of law

mengandung arti yang dapat ditinjau dari tiga sudut. Pertama, rule of law

(pemerintahan oleh hukum) berarti supremasi yang mutlak atau keutamaan

yang absolute dari pada hukum sebagai lawan dari pengaruh kekuasaan

yang sewenang-wenang. Kedua, rule of law ketaatan yang sama dari

semua golongan kepada hukum negara, yang diselanggarakan oleh

pengadilan. Ketiga, rule of law diperhunakan sebagai formula untuk

merumuskan bahwa hukum konstitusi bukan sumber, melainkan

konsekuensi (akibat) dari hak-hak individu yang dirumuskan dan

25
A.V.Dicay, Pengantar Hukum Konstitusi (Terjemahan dari Introduction to The Study of The
Constitution) diterjemahkan oleh Nurhadi, Cetakan ke I, Nusa Media, Bandung, 2007. Hlm 264-
265
20
dipertahankan oleh pengadilan, sehingga konstitusi merupak hasil dari

hukum biasa di Inggris.26 Sistem Anglo Saxon yang menerapkan prinsip

Rule of Law peran control berada ditangan peradilan biasa melalui Judicial

Review .27 Sehingga kekudukan Konstitusi dalam rule of law dalam

beberapa hal mungkin saja tidak sama dengan Rectstaat.

Perkembangannya selanjutnya mengenai Konsep negara hukum

(rule of law) yang dikemukakan Dicay mengalami perluasan pengertian

dengan analisis yang mendalam oleh H.W.R. Wade yang mengidentifikasi

lima pilar negara hukum sebagai berikut:

a. Semua tindakan pemerintah harus menurut hukum

b. Pemerintah harus berperilaku didallam suatu bingkai yang diakui

peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip membatasi

kekuasaan diskresi.

c. Sengketa mengenai keabsahan (legality ) tindakan pemrintah akan

diputus oleh pengadilan yang murni, indeoenden dan ekslusif;

d. Harus seimbang ( even- hended) antara pemerintah dan warga negara;

e. Tidak seorang pun dapat dihukum kecuali atas kejahatan yang

ditegaskan menurut undang-undang.

Perumusan indicator negara hukum diatas baik rechtstaat maupun

rule of law ditemukan kesamaan bahwa dalam hal perlindungan terhadap

26
Iryanto A. Baso Ence. Op.Cit. hlm41-42. Lihat Juga Agus Salim Andi Gadjong ,Op.Cit, hlm24-
25. Agus Salim menjelaskan bahwa dalam Pengertian The Rule Of Law para pejabat negara
tidak bebas dari kewajiban untuk menaati hukum yang mengatur warga negara biasa atau dari
yuridiksi peradilan biasa. Dengan demikian tidak dikenal peradilan administrasi negara dalam
sistem Anglo Saxon.
27
Budiman N.P.D Sinaga, Hukum Tata Negara, Perubahan Undang-Undang Dasar,Cetakan
Pertama.Tata Nusa,Jakarta 2009. hlm 99
21
hak-hak sipil warga negara sebuah negara hukum wajib untuk

mengakomodirnya. Maka akbitanya peran pemerintah hanya sedikit sebab

disana ada dalil “Pemerintahan yang paling sedikit kekuasaanya paling

baik”. Karena sifatnya yang pasiif dan tunduk pada kemauan rakyat yang

liberalistic, maka maka negara diperkenalkann sebagai nacwtwachterstaat

(negara penjaga malam ).28 Jika dihubungkan dengan penjelasan

sebelumnya yang berkenaan dengan pokok pikiran Kant mengenai Negara

Hukum maka dinamika sedemikian merupakan konstruksi negara hukum

dalam artian formal atau Negara hukum Formal. Yang dimaksud dengan

negara hukum formil adalah menyangkut pengertian hukum yang bersifat

formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan

tertulis.29

Fase selanjutnya dalam perkembangan pemikiran terhadap negara

tidak lagi hanya dimaknai secara sempit atau dalam artian sebagai

Nachtwachterstaat saja melainkan negara juga dianggap harus

bertanggung jawab terhadap pemenuhan kesejahteraan bagi warga

negaranya khususnya di bidang ekonomi dan di bidang sosial. Gagasan

baru ini di sebut gagasan welfare state atau “Negara Hukum Material”

dengan ciri-ciri yang berbeda dengan yang dirumuskan dalam konsep

negara hukum klasik (formal). Oleh sebab itu, pandangan Negara hukum

menurut Sthal dan Dicay diperluas untuk meretas pandangan sempit.

International Commision of Jurist yang dilaksanakan di Bangkok pada

28
Anwar C,Op.Cit.hlm 48. lihat juga E.Utrecht,1960,Pengantar Hukum Adminsistrasi Negara,FH
PM UNPAD, Bandung, hlm 21.
29
E.Utrecth, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Jakarta, 2002. hlm153
22
Tahun 1965 menekankan bahwa disamping hak-hak politik warga negara

yang harus juga dipenuhi dan dijamin oleh negara adalah hak-hak social

dan eknominya dalam bentuk standar-standar dasar social ekonomi. Cirri-

ciri negara hukum (rule of law) yang dirumuskan oleh ICJ tersebut adalah:

1. Constitution protection human right (konstitusi melindungi hak-hak

individu secara procedural dan substansial).

2. An independent and impartial judiciary (prinsip pengadilan yang bebas

dan tidak memihak).

3. Recognition of the right to express an opinion (prinsip kekebasan

untuk menyatakan pendapat, kekebasan untuk berorganisasi dan

beroposisi)

4. Civic edication (prinsip pendidikan kewarga negaraan).30

Berdasarkan ciri-ciri negara hukum (material) diatas, Nampak

adanya perluasan makna negara hukum formil dan pengakuan peran

pemerintah yang lebih luas sehingga dapat menjadi rujukan bagi berbagai

konsep negara hukum.31 Perluasan peran negara hukum tersebut

mengisyaratkan bahwa negara diberikan wewenang untuk masuk

mengurusi kehidupan warga negaranya secara aktif dalam bentuk

penentuan procedural dengan dalih tanggung jawab atas terwujudnya nilai-

nilai social dan aspek ekonomi warga negara dalam sudut pandang welfare

state. Negara kesejahteraan tersebut melahirkan suatu konsekuensi pada

pemebrian wewenang yang luas kepada pemerintah melalui fres ermessen

30
Askari Razak, Op.Cit hlm 26.
31
Anwar C, Op.Cit. hlm 49.
23
atau pouvoir disrectionnaire yaitu untuk turut campur tangan dalam

berbagai kehidupan social masyarakat.32

Berpijak pada penjelasan diatas baik mengenai rectstaat ataupun

rule of law, sebuah negara hukum mengharuskan adanya pemisahan

kekuasaan. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan kekuasaan dapat

terkontrol dan dibatasi demi mencegah kemungkinan penyalahgunaan

kekuasaan atau kesewenang-wenangan. Disamping itu perlindungan hak

asasi bagi warga negara adalah keniscayaan, bukan saja dalam arti sempit

melainkan dibutuhkan wujud yang lebih nyata yakni ditentukannya

prosedur penjaminan hak–hak tersebut.

2. Teori Konstitusi

Mengenai istilah konstitusi dalam arti pembentukan, berasal dari

bahasa Perancis yaitu constituer, yang berarti membentuk. Yang dimaksud

dengan membentuk disini adalah membentuk suatu negara.33 Pengertian

konstitusi bisa dimaknai secara sempit maupun secara luas. Konstitusi

dalam arti sempit hanya mengandung norma-norma hukum yang

membatasi kekuasaan yang ada dalam Negara. Sedangkan Konstitusi

dalam arti luas adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau

hukum dasar, baik yang tertulis ataupun tidak tertulis maupun campuran

keduanya tidak hanya sebagai aspek hukum melainkan juga non-hukum.34

32
Askari Razak, OpCit. hlm 25.
33
Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Bandung, Yapemdo, 2000, hlm 17.
34
A. Himmawan Utomo, “Konstitusi”, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan
Kewarganegaran, Yogyakarta, Kanisius, 2007, hal 2.
24
Menurut Soemantri Martosoewignjo, istilah konstitusi berasal dari

perkataan Constitution, yang dalam bahasa Indonesia kita jumpai dengan

istilah hukum yang lain, yaitu Undang-Undang Dasar dan/atau Hukum

Dasar. Seragam dengan pendapat diatas, Nyoman Dekker mengemukakan

bahwa konstitusi didalam pemahaman Anglo-Saxon sama dengan Undang-

Undang Dasar.35 Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang

mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang

dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan

rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang

berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan

berlaku tidaknya suatu konstitusi, hal inilah yang disebut oleh para ahli

sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di

luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan

negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan

berlakunya suatu konstitusi.

Fungsi dasar konstitusi ialah mengatur pembatasan kekuasaan

dalam negara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Bagir Manan

bahwa konstitusi ialah sekelompok ketentuan yang mengatur organisasi

negara dan susunan pemerintahan suatu negara.36 Konstitusi didalam suatu

negara dianggap penting karena konstitusi tersebut merupakan aturan

dasar dari penyelenggaraan negara, oleh karena itu di Indonesia sudah

beberapakali melakukan perubahan pada kontitusinya.

35
Ibid Astim Riyanto, hal 25.
36
A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hal. 10.
25
C.F Strong menyatakan bahwa pada prinsipnya tujuan konstitusi

adalah untuk membatasi kesewenangan tindakan pemerintah, untuk

menjamin hak-hak yang diperintah, dan merumuskan pelaksanaan

kekuasaan yang berdaulat. Oleh karena itu setiap konstitusi senantiasa

memiliki dua tujuan, yaitu:37

1. Untuk memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan

politik,

2. Untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak para penguasa

serta menetapkan batas-batas kekuasaan bagi penguasa.

Konstitusi merupakan sarana dasar untuk mengawasi proses-proses

kekuasaan. Tujuan dibuatnya konstitusi adalah untuk mengatur jalannya

kekuasaan dengan jalan membatasinya melalui aturan untuk menghindari

terjadinya kesewenangan yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya

serta memberikan arahan kepada penguasa untuk mewujudkan tujuan

Negara. Jadi, pada hakikatnya konstitusi Indonesia bertujuan sebagai alat

untuk mencapai tujuan negara dengan berdasarkan kepada nilai-nilai

Pancasila sebagai dasar negara.

Kedudukan, fungsi, dan tujuan konstitusi dalam negara berubah

dari zaman ke zaman. Pada masa peralihan dari negara feodal monarki

atau oligarki dengan kekuasaan mutlak penguasa negara nasional

demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara

rakyat yang kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai

37
A. Himmawan Utomo, “Konstitusi”, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan
Kewarganegaran, Yogyakarta, Kanisius, 2007, hlm 12-13
26
alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa.

Sejak itu, setelah perjuangan dimenangkan oleh rakyat, kedudukan dan

peran konstitusi bergeser dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan

hidup rakyat terhadap kezaliman golongan penguasa, menjadi senjata

pemungkas rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak seseorang dalam

sistem monarki dan kekuasaan sepihak satu golongan oligarki serta untuk

membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan kepentingan bersama

rakyat.38

Berkenaan dengan penilaian terhadap pelaksanaan konstitusi, Karl

Loewenstein dalam bukunya Reflection on the Value of Constitutions in

our Revolusionary, berpendapat bahwa ada tiga jenis yang sekaligus

tingkatan ninali (value) konstitusi, yaitu nilai normatif, nilai nominal, dan

nilai semantik.39 Perihal nilai normatif konstitusi, Karl Loewnstein-

sebagaimana dikutip Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih dalam buku

mereka Ilmu Negara, mengatakan dalam setiap Undang-Undang Dasar ada

dua masalah, yaitu:

1. Sifat ideal dari Undang-Undang Dasar itu teori.

2. Bagaimana melaksanakan Undang-Undang Dasar itu praktek.

Peraturan hukum yang bersifat normatif ialah kalau peraturan

hukum itu masih dipatuhi oleh masyarakat , kalau tidak ia merupakan

peraturan yang mati dan/atau tidak pernah terwujud.40 Nilai nominal dari

suatu konstitusi diperoleh apabila ada kenyataan samapai dimana batas-

38
ibid Astim Riyanto, hlm 286
39
Ibid Astim Riyanto hlm 311
40
Ibid Astim Riyanto hlm 313-314.
27
batas berlakunya itu, yang dalam batas-batas berlakunya itulah yang

dimaksud dengan nilai nominal konstitusi. Bila konstitusi itu hanya

sebagian saja dilaksanakan karena untuk sementara tidak sesuai dengan

keperluan di lapangan, maka konstitusi tersebut disebut dengan konstitusi

nominal. Konstitusi dinilai sebagai nilai semantik apabila suatu konstitusi

disusun dengan sebaik-baiknya, dengan mencerminkan segala kepentingan

rakyat, tetapi tentang pelaksanaanya tidak sesuai dengan isi dari konstitusi

tersebut. Secara istilah (semantika) dan teori konstitusi seakan-akan

dijunjung tinggi, tetapi dalam prakteknya terjadi banyak penyimpangan,

sehingga bentuk demokrasi berubah menjadi diktator dan sebagainya.

Kalau konstitusi itu sama sekali tidak dilaksanakan, maka konstitusi itu

disebut dengan konstitusi semantik.41

Menurut Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang, fungsi

konstitusi merupakan sebagai akta pendirian negara (constitution as a

birth certificate). Konstitusi dijadikan bukti otentik tentang eksistensi dari

suatu negara sebagai badan hukum (rechstpersoon). Guna memenuhi

fungsi ini, maka setiap negara di dunia ini selalu berusaha mempunyai

konstitusi. Menyangkut dengan fungsi konstitusi dan hubungan negara

dengan konstitusi sekarang ini, G.S. Diponolo menyatakan: “Tiada orang

yang berbicara tentang organisasi negara dengan tiada berbicara tentang

konstitusi”.42

41
Ibid, Astim Riyanto hlm 315-316.
42
Ibid, Astim Riyanto hlm 344
28
Dengan demikian, bila dilihat dari segi waktu, fungsi konstitusi

dalam arti Undang-Undang Dasar itu adalah sebagai syarat berdirinya

negara bagi negara yang belum terbentuk, atau sebagai pendirian akte

pendirian negara bagi negara yang sudah terbentuk sebelum Undang-

Undang Dasar nya ditetapkan. Terlepas dari waktu ditetapkanya, sebelum

atau sesudah suatu negara negara terbentuk, yang jelas fungsi konstitusi itu

adalah sebagai dokumen formal nasional, dasar organisasi negara, dasar

pembagian kekuasaan negara, dasar pembatasan dan pengendalian

kekuasaan pemerintah, penjamin kepastian hukum dalam praktek

penyelenggara negara, pengaturan lembaga-lembaga, dan pengaturan

pemerintah.43

Mengenai isinya Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu terdiri dari

37 Pasal ditambah dengan empat pasal tambahan dengan empat pasal

Aturan Peralihan dan dua ayat Aturan Tambahan, yang mengandung

semangat dan merupakan perwujudan dari pokok-pokok pikiran yang

terkandung dalam Pembukaannya juga merupakan rangkaian pasal-pasal

yang bulat dan terpadu. Di dalamnya berisi materi yang pada dasarnya

dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu:44

1. Pasal-pasal yang berisi materi pengaturan sistem pemerintahan negara,

di dalamnya termasuk pengaturan tentang kedudukan, tugas,

wewenang dan saling berhubungan dari kelembagaan negara.

2. Pasal yang berisi materi hubungan negara dengan warga negara dan

penduduknya serta berisi konsepsi negara diberbagai bidang : politik,


43
Ibid Astim Riyanto, hlm 350.
44
Ibid, Astim Riyanto hlm 500-501.
29
ekonomi, sosial-budaya, hankam, dan lain-lain. Kearah mana negara

bangsa dan rakyat indonesia akan bergerak mencapai cita-cita

nasionalnya.

Menurut Leslie Wolf Philip dalam bukunya comparative

constitutions, The Macmillan Press Ltd, London, 1972 menyatakan

tinjauan yang berdasarkan atas subtansi kontitusi ini adalah tinjauan yang

bersifat modern, sedangkan tinjauan atas segi bentuk konstitusi merupakan

tinjauan tradisional. Melalui tulisan mengenai “Dewan Konstitusi di

perancis”, Bagir Manan mengemukakan:

“Kaidah-kaidah konstitusional ini memuat prinsip-prinsip tentang susunan


dan organisasi negara, alat-alat kelengkapan negara, tugas dan wewenang
serta hubungan antar organ negara satu dengan yang lain, hak dan
kewajiban warga negara atau rakyat pada umumnya, serta hubungan antar
pemerintah dan warga negara atau rakyat negara”.

Jadi isi, substansi, kandungan atau materi muatan Undang-Undang

Dasar itu secara luas mencangkup pengaturan hal-hal yang fundamental

mengenai susunan pemerintahan negara; kedudukan, tugas, wewenang,

dan hubungan dari lembaga negara; hubungan negara dengan warga

negara dan penduduknya; jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan

warga negara serta kewajiban warga negara; pemisahan/pembagian

pembatasan tugas ketatanegaraan; serta konsepsi negara dalam berbagai

bidang kehidupan ke arah mencapai cita-cita nasional suatu negara.45

45
ibid Astim Riyanto hlm 501
30
Konstitusi suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar

tertinggi yang memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan negara,

karenanya suatu konstitusi harus memiliki sifat yang lebih stabil dari pada

produk hukum lainnya. Terlebih lagi jika jiwa dan semangat pelaksanaan

penyelenggaraan negara juga diatur dalam konstitusi sehingga perubahan

suatu konstitusi dapat membawa perubahan yang besar terhadap sistem

penyelenggaraan negara. Adakalanya keinginan rakyat untuk mengadakan

amandemen dan/atau perubahan konstitusi merupakan suatu hal yang tidak

dapat dihindari. Hal ini terjadi apabila mekanisme penyelenggaraan negara

yang diatur dalam konstitusi yang berlaku dirasakan sudah tidak sesuai

lagi dengan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, konstitusi biasanya juga

mengandung ketentuan mengenai perubahan konstitusi itu sendiri, yang

kemudian prosedurnya dibuat sedemikian rupa sehingga perubahan yang

terjadi adalah benar-benar aspirasi rakyat dan bukan berdasarkan

keinginan semena-mena dan bersifat sementara atau pun keinginan dari

sekelompok orang belaka.

Pada dasarnya ada dua macam sistem yang lazim digunakan dalam

praktek ketatanegaraan. Sistem yang pertama adalah bahwa apabila suatu

konstitusi diubah, maka yang akan berlaku adalah konstitusi yang berlaku

secara keseluruhan (penggantian konstitusi). Sistem ini dianut oleh hampir

semua negara di dunia. Sistem yang kedua ialah bahwa apabila suatu

konstitusi diubah, maka konstitusi yang asli tetap berlaku. Perubahan

terhadap konstitusi tersebut merupakan amandemen dari konstitusi yang

31
asli tadi. Dengan perkataan lain, amandemen tersebut merupakan atau

menjadi bagian dari konstitusinya. Menurut C.F Strong ada empat macam

prosedur perubahan kosntitusi, yaitu:46

1. Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan

legislatif, akan tetap yang dilaksanakan menurut pembatasan-

pembatasan tertentu. Perubahan ini terjadi melalui tiga macam

kemungkinan, yaitu:

a. Pertama, untuk mengubah konstitusi, sidang pemegang kekuasaan

legislatif harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya sejumlah anggota

tertentu (kuorum) yang ditentukan secara pasti;

b. Kedua, untuk mengubah konstitusi maka lembaga perwakilan

rakyat harus dibubarkan terlebih dahulu dan kemudian

diselenggarakan pemilihan umum. Lembaga perwakilan rakyat

harus diperbaharui inilah yang kemudian melaksanakan

wewenangnya untuk mengubah konstitusi;

c. Ketiga, adalah cara yang terjadi dan berlaku dalam sistem majelis

dua kamar. Untuk mengubah konstitusi, kedua kamar lembaga

perwakilan rakyat harus mengadakan sidang gabungan. Sidang

gabungan inilah, dengan syarat-syarat seperti dalam cara pertama,

yang berwenang mengubah kosntitusi.

d. Perubahan konstitusi yang dilakukan rakyat melalui suatu

referendum. Apabila ada kehendak untuk mengubah kosntitusi

46
http://jakarta45.wordpress.com/2009/08/09/konstitusi-sejarah-konstitusi-indonesia/, diakses
pada tanggal 25 Agustus 2016, pukul 00:00 Wita.
32
maka lembaga negara yang diberi wewenang untuk itu mengajukan

usul perubahan kepada rakyat melalui suatu referendum atau

plebisit. Usul perubahan konstitusi yang dimaksud disiapkan lebih

dulu oleh badan yang diberi wewenang untuk itu. Dalam

referendum atau plebisit ini rakyat menyampaikan pendapatnya

dengan jalan menerima atau menolak usul perubahan yang telah

disampaikan kepada mereka. Penentuan diterima atau ditolaknya

suatu usul perubahan diatur dalam konstitusi.

2. Perubahan konstitusi yang berlaku pada negara serikat yang dilakukan

oleh sejumlah negara bagian. Perubahan konstitusi pada negara serikat

harus dilakukan dengan persetujuan sebagian terbesar negara-negara

tersebut. Hal ini dilakukan karena konstitusi dalam negara serikat

dianggap sebagai perjanjian antara negara-negara bagian. Usul

perubahan konstitusi mungkin diajukan oleh negara serikat, dalam hal

ini adalah lembaga perwakilannya, akan tetapi kata akhir berada pada

negara-negara bagian. Disamping itu, usul perubahan dapat pula

berasal dari negara-negara bagian.

3. Perubahan konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau

dilakukan oleh suatu lembaga negara khusus yang dibentuk hanya

untuk keperluan perubahan. Cara ini dapat dijalankan baik pada

Negara kesatuan ataupun negara serikat. Apabila ada kehendak untuk

mengubah konstitusi, maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku,

dibentuklah suatu lembaga negara khusus yang tugas serta

33
wewenangnya hanya mengubah konstitusi. Usul perubahan dapat

berasal dari pemegang kekuasaan perundang-undangan dan dapat pula

berasal dari pemegang kekuasaan perundang-undangan dan dapat pula

berasal dari lembaga negara khusus tersebut. Apabila lembaga negara

khusus dimaksud telah melaksanakan tugas serta wewenang sampai

selesai,dengan sendirinya lembaga itu bubar.

Menurut K.C. Wheare mengemukakan, bahwa konstitusi dapat

diubah dan berubah melalui 4 (empat) kemungkinan:

1. Pertama, melalui some primary forces;

2. Kedua, melalui formal amendment;

3. Ketiga, melalui judicial interpretation; dan

4. Keempat, melalui usages and conventions.

Perubahan konstitusi melalui formal amendment, dapat dilakukan

melalui empat kemungkinan, yaitu:

1. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar dapat diubah oleh badan yang

diberi wewenang untuk itu, baik melalui prosedur khusus, maupun

prosedur biasa;

2. Konstitusi dapat diubah oleh sebuah badan khusus, yaitu sebuah badan

yang kewenangannya hanya mengubah konstitusi;

3. Undang-Undang Dasar diubah oleh sejumlah negara-negara bagian

dengan prosedur khusus;

4. Undang-Undang Dasar dapat diubah dalam suatu referendum.

34
Mencermati uraian di atas, perubahan Undang-Undang Dasar

dalam proses perkembangan demokrasi haruslah dilakukan oleh sebuah

badan yang kewenangannya hanya mengubah konstitusi, sesuai dengan

ketentuan yang diatur dalam konstitusi. Perubahan tersebut yang dianut

oleh Negara Republik Indonesia yang tercantum dalam ketentuan Pasal 37

Undang-Undang Dasar Tahun 1945.47

3. Teori Pemisahan Kekuasaan

Pada prinsipnya, konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara

antara lain merupakan pencatatan (registrasi) pembagian kekuasaan

didalam suatu negara. Pembagian kekuasaan menurut fungsinya

menujukkan perbedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat

legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih dikenal sebagai Trias

Politika.48

Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas

tiga macam kekuasaan: Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan

membuat Undang-Undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule

making function); kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan

melaksanakan undang-undang (rule application function); ketiga

kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-

undang (rule adjudication function). Trias politika adalah suatu prinsip

47
http://jakarta45.wordpress.com/2009/08/09/konstitusi-sejarah-konstitusi-indonesia/, diakses
pada tanggal 25 Agustus 2016, pukul 00:00 Wita.
48
Beberapa literatur menerjemahkan konsep trias politica sebagai pemisahan kekuasaan
(separation of power). Lihat Jimly Asshiddiqie. Ibid., hlm. 30.
Sedangkan sebagian literatur lain menyebutnya dengan istilah pembagian kekuasaan
(division of power). Lihat Miriam Budiardjo, Ibid., hlm. 267.
35
normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (function) ini sebaiknya tidak

diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan

kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian hak-hak asasi

warga negara lebih terjamin.49

Pertama kali mengenai fungsi-fungsi kekuasaan negara dikenal di

Perancis pada abad ke-XVI, pada umumnya diakui lima yaitu:

1. Fungsi diplomacie;

2. Fungsi defencie;

3. Fungsi financie;

4. Fungsi justicie;

5. Fungsi policie .50

Oleh John Locke (1632-1704) dalam bukunya Two Treatises on Civil

Goverment (1690) kemudian konsepsi mengenai fungsi kekuasaan negara itu

dibaginya menjadi tiga, yaitu :

1. Fungsi Legislatif;

2. Fungsi Eksekutif;

3. Fungsi Federatif (hubungan luar negeri).

Yang masing-masing terpisah satu sama lain. Bagi John Locke, fungsi

peradilan tercakup dalam fungsi eksekutif atau pemerintahan. John Locke

49
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi,Cetakan Pertama, Gramedia,
Jakarta, 2008, hlm. 281-282.
50
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 29
36
memandang mengadili itu sebagai uittvoering, yaitu termasuk pelaksanaan

Undang-Undang.51

Pada tahun 1748, Montesquieu mengembangkan lebih lanjut

pemikiran John Locke yang ditulis dalam bukunya L’Esprit des Lois (The

Spirit of the Law). Alasan Montesquieu mengembangkan konsep Trias

Politika didasarkan pada sifat despotis raja-raja Bourbon, ia ingin menyusun

suatu sistem pemerintahan dimana warga negaranya merasa lebih terjamin

haknya. Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang,

yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.

Menurutnya ketiga jenis kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik

mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang

menyelenggarakannya. Terutama adanya kebebasan badan yudikatif yang

ditekankan oleh Montesquieu yang mempunyai latar belakang sebagai hakim,

karena disinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak asasi manusia perlu

dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurutnya adalah

kekuasaan untuk membuat Undang-Undang, kekuasaan eksekutif meliputi

penyelenggaraan Undang-Undang (diutamakan tindakan politik luar negeri),

sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran

Undang-Undang.

Montesquieu mengemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat

dijamin jika ketiga fungsi kekuasaan tidak dipegang oleh satu orang atau

badan tetapi oleh ketiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya

“kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu

51
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi,Cetakan Pertama, Gramedia, Jakarta,
2008, hlm. 282-283
37
orang atau dalam satu badan penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan, akan

menjadi malapetaka jika seandainya satu orang atau satu badan, apakah

terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahi

menyelenggarakan ketiga kekuasaan tersebut, yakni kekuasaan membuat

Undang-Undang, menyelenggarakan keputusan-keputusan umum, dan

mengadili persoalan-persoalan antara individu-individu”.

Sementara itu, C. Van Vollenhoven mengembangkan pandangan

yang tersendiri mengenai soal ini. Menurutnya, fungsi-fungsi kekuasaan

negara itu terdiri atas 4 (empat) cabang yang kemudian di Indonesia biasa

diistilahkan dengan catur praja, yaitu :

1. Fungsi regeling (pengaturan);

2. Fungsi bestuur (penyelenggaraan pemerintahan);

3. Fungsi rechtsspraak atau peradilan;

4. Fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan.

Sedangkan Goodnow mengembangkan ajaran yang biasa

diistilahkan dengan di praja, yaitu:

1. Policy making function (fungsi pembuatan kebijakan);

2. Policy executing function (fungsi pelaksanaan kebijakan).

Namun pandangan yang paling berpengaruh di dunia adalah seperti yang

dikembangkan oleh Montesquieu, yaitu adanya tiga cabang kekuasaan negara

yang meliputi fungsi Legislatif, Eksekutif, dan Yudisial.52

52
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hlm 29-30.
38
Teori pemisahan kekuasaan Montesquieu mengalami perkembangan

dan mendapat kritikan. Pemisahan kegiatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif

tidak dapat dipisahkan secara tajam satu dengan yang lain. Menurut E.

Utrecht, pemisahan mutlak yang dikemukakan oleh Montesquieu

mengakibatkan adanya badan negara yang tidak ditempatkan dibawah

pengawasan badan kenegaraan lainnya. Ketiadaan pengawasan ini

mengakibatkan terbukannya kemungkinan suatu badan kenegaraan

melampaui batas kekuasaannya. Jika dilihat dari fungsi negara pada negara

hukum modern, pembagian tiga fungsi kekuasaan negara tidak dapat

diterima secara mutlak, karena badan negara juga dapat diberi lebih dari

satu fungsi.53

Mariam Budiardjo menyatakan pada abad ke-20 dalam negara yang

sedang berkembangan dimana kehidupan ekonomi dan sosial telah menjadi

demikian kompleksnya serta badan eksekutif mengatur hampir semua aspek

kehidupan kehidupan masyarakat, Trias Politika dalam arti “pemisahan

kekuasaan” tidak dapat dipertahankan lagi.54 Selain itu, dewasa ini hampir

semua negara modern mempunyai tujuan untuk kesejahteraan bagi seluruh

rakyatnya (Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara dituntut

menjalan fungsi secara tepat, cepat, dan komprehensip dari semua lembaga

negara yang ada. Dengan kata lain persoalan yang dihadapai oleh negara

semakin kompleks dan rumit sehingga penanganannya tidak dapat

53
E.Utrech, Pengantar Hukum Administrasiu Negara Indonesia, Cetakan 4, 1960, hlm. 17-24
54
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi,Cetakan Pertama, Gramedia, Jakarta,
2008, hlm. 282
39
dimonopoli dan diselesaikan secara otonom oleh negara tertentu saja,

melainkan perlu adanya kerjasama antar lembaga negara yang ada.55

Dalam perkembangan sejarah, teori dan pemikiran tentang

pengorganisasian kekuasaan dan tentang organisasi negara berkembang

sangat pesat. Menurut Jimly Asshiddiqie, hal ini disebabkan tuntutan

keadaan dan kebutuhan nyata, baik faktor-faktor sosial, ekonomi, politik

dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus

lokalisme yang semakin kompleks menyebabkan variasi struktur dan

fungsi organisasi serta institusi kenegaraan berkembang dalam banyak

ragam dan bentuknya.56

Negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional

experimentation) melalui berbagai bentuk organ pemerintahan yang dinilai

lebih efektif dan efisien sehingga pelayanan umum (public services) dapat

benar-benar terjamin. Kelembagaan tersebut disebut dengan istilah dewan

(council), komisi (commission), komite (committee), badan (board), atau

otorita (authority).57 Sebagai akibat tuntutan perkembangan yang semakin

kompleks dan rumit, organisasi-organisasi kekuasaan yang birokratis,

sentralistis, dan terkonsentrasi tidak dapat lagi diandalkan. Oleh karena itu,

muncul gelombang deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, desentralisasi,

dan dekonsentrasi.

55
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Hubungan Kewenangan DPRD
dan Kepala Daerah), Alumni, Jakarta, 2006, hlm. 74
56
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hlm 1 dan 5.

40
Salah satu akibatnya, fungsi-fungsi kekuasaan yang biasanya

melekat dalam fungsi-fungsi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan

bahkan yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat

independen. Sehingga dimungkinkan adanya suatu lembaga negara baru

yang menjalankan fungsi yang bersifat campuran, dan masing-masing

bersifat independen (independent bodies) atau quasi independent. Terdapat

beberapa ahli yang mengelompokkan independent agencies (lembaga

independen) semacam ini dalam domain atau ranah kekuasaan eksekutif.

Ada pula sarjana yang mengelompokkannya secara tersendiri sebagai the

fourth branch of the government, seperti yang dikatakan oleh Yves Meny

dan Adrew Knapp.58

Menurut Crince le Roy terdapat kekuasaan lain disamping tiga

kekuasaan negara menurut Montesquieu yaitu sering disebut kekuasaan ke-

empat, tetapi para ahli sering tidak memberikan tempat bagi kekuasaan yang

ditemukan itu didalam pola kekuasaan undang-undang dasar. Akibatnya

terjadi ketegangan antar hukum tertulis dengan disatu pihak dengan kenyataan

dalam masyarakat dipihak yang lainnya. Meneliti hukum tatanegara Belanda

kekuasaan tersebut diberi istilah De Vierde Macht. Kekuasaan lainnya yakni

komisi-komisi independent, pers, aparat kepegawaian, kekuasaan,

kekuasaan pengawasan, komisi-komisi pelayanan masyarakat, rakyat yang

mempunyai hak pilih, kelompok-kelompok penekan dan partai-partai

58
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 20
41
politik.59 Badan-badan atau lembaga-lembaga independen yang

menjalankan fungsi regulasi dan pemantauan di Amerika serikat disebut

juga the headless fourth branch of the government.

Konsep Trias Politika yang disampaikan Montesquieu tidak relevan

lagi saat ini, mengingat tidak mungkin mempertahankan ketiga organisasi

tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi

kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan

antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan

bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain

sesuai dengan prinsip checks and balances.60

B. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

1. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Hukum dalam arti luas mencakup semua peraturan yang dibuat

oleh lembaga-lembaga tertentu sesuai dengan tingkat dan lingkup

kewenangannya yang biasanya disebut peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, peraturan perundang-undangan adalah berbagai jenis

peraturan tertulis yang dibentuk oleh berbagai lembaga sesuai tingkat dan

lingkupnya masing-masing.61

Dalam konteks dogmatika hukum Negara Indonesia, penentuan

jenis dan hierarki norma hukum pada tingkatan peraturan perundang-

undangan telah diatur secara khusus sampai sekarang. Kemudian pada

59
Crince le Roy, Kekuasaaan Ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh Soehardjo,
Semarang, 1981, hlm 21.
60
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hlm 31
61
Moh. Mahfud MD., MK dan Politik Perundang-Undangan Di Indonesia. Makalah diunduh di
situs web www.mahfudmd.com pada tanggal 14 Agustus 2016
42
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU/12/2011) tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hierarki peraturan

perundang-undangan sebagaimana ditentukan pada Undang-Undang

tersebut meliputi:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.62

Selain peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud di

atas, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini juga mengatur bahwa

peraturan perundang-undangan mencakup peraturan yang ditetapkan oleh

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan

Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan,

Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-

Undang atau peraturan pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang

setingkat. Peraturan perundang-undangan ini diakui keberadaannya dan

62
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
43
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk

berdasarkan kewenangan.63

2. Kewenangan Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang

Istilah peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang ini

sepenuhnya adalah ciptaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu

sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang

Dasar 1945 yang berbunyi, “dalam hal ikhwal kegentingan yang

memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai

pengganti undang-undang”. Dalam Pasal 22 ayat (2) -nya dinyatakan,

“Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat dalam persidangan yang berikut”, dan ayat (3)-nya menen-tukan,

“Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus

dicabut”.64

Dari kutipan-kutipan di atas dapat diketahui bahwa:

Pertama, peraturan tersebut disebut peraturan pemerintah sebagai

pengganti undang-undang, yang berarti bahwa bentuknya adalah Peraturan

Pemerintah (PP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-

Undang Dasar 1945. Pasal 5 ayat (2) ini menyatakan, "Presiden menetap-

kan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang

sebagaimana mestinya". Jika biasanya bentuk Peraturan Pemerintah itu

63
Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
64
Pasal 22 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945
44
adalah peraturan yang ditetapkan untuk menjalankan undang-undang atau

peraturan yang bersifat policy rules (beleids regels), maka dalam keadaan

kegentingan yang memaksa bentuk Peraturan Pemerintah dapat dipakai

untuk menuangkan ketentuan-ketentuan yang semestinya dituangkan

dalam bentuk Undang-Undang dan untuk menggantikan Undang-Undang

sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Hal

ini dimaksudkan karena dalam pembentukan Undang-Undang melalui

proses legislasi normal di Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan waktu

yang lama dan pembahasan yang berlarut-larut, sehingga tidak dapat

mengatasi kegentingan yang memaksa ini.65

Kedua, pada pokoknya, peraturan pemerintah sebagai pengganti

Undang-Undang itu sendiri bukanlah nama resmi yang diberikan oleh

Undang-Undang Dasar 1945. Namun, dalam praktik selama ini, peraturan

pemerintah yang demikian itu lazim dinamakan sebagai Peraturan

Pemerintah (tanpa kata 'sebagai') Pengganti Undang-Undang atau biasa

juga disingkat Perppu. Oleh karena itu, kelaziman itu kita terima saja apa

adanya sehingga produk hukum peraturan pemerintah sebagai pengganti

Undang-Undang itu dapat secara resmi disebut sebagai Perppu atau

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Penamaan demikian ini

sangat berbeda dari ketentuan yang terdapat dalam Konstitusi Republik

Indonesia Serikat 1949 dan Undang-Undang Dasar Serikat 1950. Kedua

65
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2010,
hlm. 282-283
45
Undang-Undang dasar ini sama-sama menggunakan istilah Undang-

Undang darurat untuk pengertian yang mirip atau serupa dengan Perppu.

Ketiga, Perppu tersebut pada pokoknya hanya dapat ditetapkan

oleh Presiden apabila persyaratan "kegentingan yang memaksa" itu

terpenuhi sebagaimana mestinya. Keadaan "kegentingan yang memaksa"

yang dimaksudkan di sini berbeda dan tidak boleh dicampur adukkan

dengan pengertian keadaan bahaya sebagaimana ditentukan oleh Pasal 12

Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 12 tersebut menyatakan Presiden

menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya

ditetapkan dengan undang-undang‖. Kedua ketentuan Pasal 12 dan Pasal

22 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut sama-sama

berasal dari ketentuan asli Undang-Undang Dasar 1945, yang tidak

mengalami perubahan pertama sampai perubahan keempat. Artinya norma

dasar yang terkandung di dalamnya tetap tidak mengalami perubahan.66

Oleh karena itu, sebagai dokumen historis uraian penjelasan atas

pasal-pasal ini dalam naskah Penjelasan (tentang) Undang-Undang Dasar

1945 dapat dijadikan bahan rujukan untuk memahami rumusan kedua

pasal ini, terutama Pasal 22 secara mendalam. Dalam penjelasan Pasal 22

itu dinyatakan:

“Pasal ini mengenai nood veror denings recht Presiden. Aturan sebagai ini
memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin
oleh pemerintah dalam keadaan yang genting yang memaksa pemerintah
untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak
akan lepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu,

66
JImly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang Di Indonesia, Cet.1, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006, hlm. 80-83
46
peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan
undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat”.67

Untuk menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan hal

ikhwal kegentingan yang memaksa, maka Jimly Ashiddiqie68, ketika

menguraikan tentang keadaan bahaya atau darurat, menyatakan bahwa ada

tiga unsur penting yang memberikan dasar logis untuk diberlakukannya

keadaan bahaya atau darurat, yaitu :

a) adanya kebutuhan hukum yang masuk akal (reasonable necessity);

b) karena faktor bahaya yang mengancam (dangerous threat); dan

c) dalam waktu atau kesempatan yang terbukti sangat terbatas

(limited time).

Dalam arti sempit, ancaman bahaya yang dimaksudkan itu tertuju

kepada keselamatan umum, integritas wilayah, atau ancaman terhadap

kedaulatan negara. Dalam arti yang lebih luas, ancaman bahaya itu dapat

tertuju kepada keselamatan jiwa, keselamatan harta benda, atau pun

keselamatan lingkungan hidup, baik dalam lingkup nasional, regional,

ataupun local tertentu. Atas kedua pengertian ini, Jimly Asshiddiqie

menganggap pengertian ancaman bahaya atas keselamatan umum,

integritas wilayah, kedaulatan negara, keselamatan jiwa, harta benda dan

keselamatan lingkungan hidup, dapat dikategorikan sebagai suatu

keadaan darurat atau keadaan bahaya.

67
Penjelasan atas Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (sebelum diamandemen)
68
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, hlm. 66
47
Lalu pengertian kegentingan yang memaksa menurut Jimly

Asshiddiqie memiliki arti ancaman yang lebih luas lagi, yaitu ancaman

keselamatan itu dapat pula tertuju kepada suatu ide, prinsip-prinsip, atau

nilai-nilai luhur tertentu atau yang tertuju kepada sistem administrasi atau

efektivitas bekerjanya fungsi-fungsi internal pemerintahan suatu negara.

Pengklasifikasian jenis ancaman ini kiranya dapat menjadi acuan kepada

seorang Presiden kapan ia harus mengeluarkan suatu perpu dan kapan ia

menyatakan keadaan bahaya yang keduanya diatur dalam bab berbeda

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

C. Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi

1. Kedudukan, Tugas, Fungsi, Visi dan Misi Mahkamah Konstitusi

Mengenai kedudukan, tugas, fungsi, visi dan misi Mahkamah

Konstitusi, penulis mengutip pada buku karangan Abdul Mukhtie Fadjar

yang berjudul “Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi”,69

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang

Dasar 1945 juncto Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah:

a. merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan

kehakiman;

b. merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka; dan

c. sebagai penegak hukum dan keadilan.

69
Abdul Mukhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jendral
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm,118-120.
48
Sedangkan tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi berdasarkan

penjelasan umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi adalah menangani perkara ketatanegaraan atau

perkara konstitusi tertentu dalam rangka menjaga konstitusi (Undang-

Undang Dasar 1945) agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai

dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah

Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara

yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan

ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap

konstitusi. Oleh karena itu, selain sebagai penjaga konstitusi (the guardian

of the constitution), Mahkamah Konstitusi juga merupakan penafsir

tertinggi konstitusi (the sole interpreter of constitution).

Atas dasar kedudukan, tugas, dan fungsi Mahkamah Konstitusi

tersebut, maka visi dan misi Mahkamah Konstitusi dirumuskan dalam Blue

Print Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:

a. Visi Mahkamah Konstitusi: Tegaknya konstitusi dalam rangka

mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan

kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.

b. Misi Mahkamah Konstitusi: Mewujudkan Mahkamah Konstitusi

sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang terpercaya, Membangun

konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi.

49
2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Untuk mengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi mempunyai

kewenangan menangani perkara-perkara konstitusi/ketatanegaraan tertentu

sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-

Undang Dasar 1945 sebagai berikut:70

a. menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945;

b. memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara;

c. memutus pembubaran partai politik;

d. memutus perselisihan hasil pemilihan umum;

e. memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan

pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (selanjutnya

disebut impeachment).

Dengan demikian, perkara-perkara ketatanegaraan lainnya, seperti

pengujian peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang

terhadap Undang-Undang, perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, dan

impeachment Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap kepala daerah

dan/atau wakil kepala daerah, tidak termasuk dalam kewenangan

Mahkamah Konstitusi, melainkan menjadi kewenangan Mahkamah

Agung, sebagaimana tercantum dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang

Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.71

70
Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
71
Ibid, Abdul Mukhtie Fadjar, hlm. 120-121.
50
3. Pelaksanaan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi

secara Rinci, Khususnya Kewenangan Pengujian Undang-Undang

Pelaksanaan kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi

dalam undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945:

a. Diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 60 Undang-Undang

Mahkamh Konstitusi dan telah dilengkapi dengan Peraturan

Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005;

b. Subyek hukum yang dapat menjadi pemohon adalah: i) perorangan

Warga Negara Indonesia (WNI), termasuk kelompok orang yang

mempunyai kepentingan sama; ii) kesatuan masyarakat hukum adat

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat

dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diatur

dalam Undang-Undang; iii) badan hukum publik atau privat; atau iv)

lembaga negara, yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan, yaitu hak/ kewenangan yang diberikan

oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Obyek permohonan adalah konstitusionalitas sebuah Undang-

Undang yang meliputi pengujian secara formil, yaitu pengujian mengenai

apakah pembentukan dan bentuk undang-undang sesuai atau tidak dengan

ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, dan pengujian secara materiil,

yaitu pengujian mengenai apakah materi muatan dalam ayat, pasal,

dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar 1945; Dalam kurun waktu dua tahun usia Mahkamah Konstitusi

51
telah dilakukan pengujian tidak kurang dari 65 Undang-Undang, dengan

putusan ada yang dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebagian, tidak

diterima, dan ada yang ditolak.

D. Konsep Judicial Review

Judicial review dapat dipandang sebagai salah satu instrumen untuk

menjamin ketepatan arah itu atau sebagai pengawal ketepatan isi dalam

pembuatan hukum. Judicial review adalah pengujian isi peraturan

perundang-undangan oleh lembaga yudisial yang dapat diberi pengertian

spesifik ke dalam judicial review dan constitutional review. Judicial review

secara umum adalah pengujian oleh lembaga yudisial atas peraturan

perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi (di sisni mencakup kompetensi Mahkamah Agung atau Mahkamah

Agung dan Mahkamah Konstitusi), sedangkan contitutional review adalah

pengujian oleh lembaga yudisial khusus untuk konsistensi Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar (di sini yang dimaksud khusus kompetensi

Mahkamah Konstitusi yang merupakan bagian khusus dari judicial review

dalam arti umum).72

Di dalam keinginan untuk membangun dan menegakkan sistem hukum

tertentu, setiap langkah pembentuka hukum dalam semua hierarkinya

(peraturan perundang-undangan) harus sesuai dengan desain tujuan negara

yang kemudian melahirkan sistem hukum itu. Dasar-dasar sistem hukum

tersebut biasanya diletakkan didalam Undang-Undang Dasar atau konstitusi.

72
Moh Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pres, Jakarta,
2011 hlm 124
52
Jika ada isi peraturan perundang-undangan yang salah atau menyimpang dari

Undang Undang Dasar, maka harus ada cara untuk membenarkannya. Salah

satu cara untuk membenarkan agar semua produk hukum sesuai dengan sistem

hukum yang hendak dibangun adalah judicial review, yakni pengujian oleh

lembaga yudisial atas suatu peraturan perundang-undangan, apakah ia sejalan

atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih

tinggi. Dan lembaga yudisial berhak meyatakan bahwa suatu peraturan

perundang-undangan atau dibatalkannya karena isinya bertentangan dengan

peraturan lebih tinggi. Disinilah letak judicial review didalam politik hukum

nasional.73

Pada prinsipnya, suatu judicial review yang dilakukan oleh badan

pengadilan (dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi) merupakan upaya

menafsirkan konstitusi oleh badan pengadilan tersebut, untuk kemudian hasil

tafsirannya diterapkan kedalam suatu fakta dalam suatu Undang-undang tau

tindakan dari parlemen atau pemerintahan. Apabila tindakan dari parlemen

atau pemerintahan dianggap bertentangan dengan konstitusi hasil tafsirannya,

maka tindakan dari parlemen atau pemerintah tersebut dibatalkan. Karena itu,

peran dari pihak yang memiliki kewenangan Judicial review dalam

menafsirkan konstitusi sangat penting.

73
Ibid Mahfud MD hlm 123
53
Penafsiran suatu Konstitusi tersebut dapat dilakukan dengan berbagai

metode dimana penggunaan masing-masing metode tersebut dapat

menghasilkan output yang berbeda-beda. Metode penafsiran konstitusi yang

dianggap benar sehingga dapat diakui adalah sebagai berikut:74

1. Penafsiran sesuai dengan maksud pihak pembuat konstitusi (intent of

framers).

2. Penafsiran secara tekstual, yaitu penafsiran yang sesuai teks dari

konstitusi.

3. Penafsiran yang sesuai dengan sejarah hukum.

4. Penafsiran yang sesuai dengan tradisi (precedent).

5. Penafsiran yang sesuai dengan asas-asas moral dan konsensus dalam

masyarakat.

6. Penafsiran sesuai dengan konsep-konsep hukum alam/keadilan universal.

1. Macam-Macam Pengujian 75

a. Pengujian Undang-Undang secara Formil

Pengujian seperti dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a

Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 ini secara kategori masuk

kedalam uji formil, artinya hakim konstitusi menguji dan menafsir

Undang-Undang dari segi prosedural sebagaimana telah ditentukan

oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pengujian Undang-Undang berkaitan dengan persoalan pembentukan

74
Munir fuady, Teori Negara Hukum Modern PT Refrika Aditama , Bandung , 2009 , hlm. 100
75
Ahmad Syahrizal Peradilan Konstitusi suatu studi tentang adjudikasi konstitusional
sebagai mekanisme penyelesaian sengketa normatif Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2006
hlm 280-282
54
Undang-Undang tidak memenuhi ketentuan seperti yang telah

ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, pengujian model ini pada hakikatnya tidak terkait

dengan suatu Pasal dan ayat tertentu. Oleh sebab itu, kerugian konkret

yang dialami secara individual bersifat obiter dikta. Dalam perkara

uji formil, hakim Konstitusi lebih memusatkan pandangan kepada

masalah-masalah yang terkait dengan kompetensi institusional.

Berdasarkan ketentuan uji formil yang berlaku dalam Undang-

Undang No 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, suatu

Undang-undang yang tidak memenuhi tata cara melahirkan Undang-

undang berdasarkan Undang-Undang Dasar, dapat berakibat pada

batalnya undang-undang tersebut secara keseluruhan. Karena itu,

dalam pengujian Undang-Undang secara formil, hakim konstitusi

tidak dapat mengarahkan pengujian secara materiil. Sebagai

perbandingan, misalnya, pada kontruksi pengujian norma abstrak

seperti yang berlaku di negara-negara eropa kontinental pengujian

Undang-Undang secara umum mencakup pengertian uji prosedur

maupun subtansi dari Undang-Undang tersebut.

b. Pengujian Undang-Undang secara Materiil

Bila dalam konstruksi pengujian formil kerugian

konstitusional yang dialami oleh pemohon secara individual

menempati posisi obiter dikta. (tidak esensial), tetapi sebaliknya pada

tahap menguji Undang-Undang secara materiil (konkret), kerugian

55
yang "telah dialami" oleh pemohon bersifat ratio decidendi (faktor

esensial). Aka artinya, kerugian konstitusional yang telah dialami oleh

pemoohon adalah bagian yang dianggap memiliki sifat menentukan.

Dengan demikian ratio decidendi adalah faktor-faktor sejati (materiil

fact) atau faktor- faktor esensial yang mempengaruhi putusan hakim.

Dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b Undang-Undang No 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi mensyaratkan bahwa permohonan oleh

pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.76 Selanjutnya, dilihat

dari segi pelaksanaannya, ada beberapa model dari judicial review ini,

antara lain terdapat enam model Mahkamah Konstitusi yang

dipraktikan di dunia ini , yakni :

1. Pola Austria, yang membentuk Mahkamah Konstitusi sendiri

disamping mahkamah agung (seperti di Indonesia).

2. Pola Perancis, yang membentuk Mahkamah Konstitusi, tetapi

tidak menyebutnya sebagai pengadilan. Di Perancis disebut

dengan dengan istilah Dewan Konstitusi (Counseil Constitutionel).

3. Pola Belgia, yang membentuk Mahkamah Konstitusi dalam

bentuk arbritase. Mahkamah Konstitusi di Belgia, dalam bahasa

inggris disebut dengan istilah "Constitutional Arbritage".

4. Pola Amerika Serikat, dimana fungsi dari Mahkamah Konstitusi

76
Munir fuady, Teori Negara Hukum Modern PT Refrika Aditama , Bandung , 2009 , hlm.282
56
dilaksanakan Oleh Mahkamah Agung.

5. Pola Umumnya Negara-Negara Amerika Latin, dimana trdapat

lembaga khusus Mahkamah Konstitusi, tetapi lembaga ini secara

organisasi berada dibawah Mahkamah Agung (merupakan organ

dari Mahkamah Agung).

6. Pola Supremasi Parlementer, seperti yang terdapat di Negara-

Negara yang berhaluan komunis. Dalam model ini, fungsi

Mahkamah Konstitusi dijalankan oleh Parlemen.77

77
Ibid Munir fuady hlm 83
57
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

normatif metode penelitian hukum (legal research), legal research dalam

bahasa Belanda rechtsonderzoek selalu normatif, dengan demikian penelitian

ini akan menganalisis kewenangan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi.

B. Metode Pendekatan

Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini

adalah antara lain :

1. Pendekatan Undang-Undang (statute approach) yang dilakukan dengan

menelaah semua aturan Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut

paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.78

2. Pendekatan kasus (case approach) yang dilakukan dengan cara melakukan

telaah terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum

tetap. Pokok kajian dalam pendekatan kasus pertimbangan pengadilan

untuk sampai kepada suatu putusan.

3. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yang beranjak dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu

hukum, sehingga penulis akan menemukan ide-ide yang melahirkan

78
Peter Mahmud Marzuki, Metode Penelitian Hukum, hlm. 134.
58
pengertian-pengertian, konsep-konsep, dan asas-asas hukum yang relevan

dengan isu yang dihadapi.

4. Pendekatan historis (historical approach) yang dilakukan dalam kerangka

pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu guna memahami

perubahan dan perkembangan filosofis yang melandasi aturan hukum.79

C. Sumber Bahan Hukum

Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua.

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini yaitu:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

c. Undang-Undang No. 12. Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undanagan

d. Undang-Undang Nomor. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana

e. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009.

f. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 145/PUU-VII/2009

g. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XI/2013

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari bahan yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli

79
Ibid, Peter Mahmud Marzuki hlm. 181.
59
hukum, jurnal-jurnal hukum, komentar-komentar atas putusan pengadilan,

dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian

ini.

D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini

adalah studi penelitian hukum (legal research) yaitu pengumpulan bahan

sesuai dengan pendekatan dalam penelitian hukum. Pengumpulan bahan

hukum yang sesuai dengan teknik pendekatan yang penulis gunakan dalam

penelitian ini yaitu dengan jalan membaca peraturan perundang-undangan,

putusan-putusan pengadilan mengenai isu hukum yang dihadapi, buku-buku

hukum, hasil-hasil penelitian hukum, artikel, website, majalah/jurnal-jurnal

hukum maupun pendapat para sarjana yang mempunyai relevansi dengan

judul penelitian yang dapat menunjang penyelesaian penelitian. Dari bahan

tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan penunjang di

dalam penelitian ini.

E. Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum yang dilakukan penulis yaitu dengan cara

melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan melalui pendekatan

perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach),

pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan historis

(historical approach) untuk menarik kesimpulan dan menjawab isu hukum

yang telah diajukan, setelah itu penulis akan memberikan preskripsi atas isu

hukum yang diajukan.

60
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kewenangan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perppu) oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan pasal

24C Ayat (1) Undang – Undang Dasar 1945

1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Berdasarkan Undang-Undang

Dasar 1945 dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Nomor 8

Tahun 2011

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang

melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan

pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Urgensi pembentukan

Mahkamah Konstitusi tidak lepas dari pengkajian pemikiran baik dari segi

politis-sosiologis, yuridis, filosofis, dan juga dari segi historis.

Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi,

keberadaan Mahkamah Konstitusi pada awalnya adalah untuk

menjalankan wewenang judicial review, sedangkan munculnya judicial

review itu sendiri dapat dipahami sebagai perkembangan hukum dan

politik ketatanegaraan modern.80

Keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah konsekuensi dari prinsip

supremasi konstitusi yang menurut Hans Kelsen untuk menjaganya

diperlukan pengadilan khusus guna menjamin kesesuaian aturan hukum

yang lebih rendah dengan aturan hukum di atasnya. Pandangan tersebut

80
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. hlm. 3
61
meruapakan konsekuensi dari dalilhierarki norma hukum yang berpuncak

kepada konstitusi sebagai the supreme law of the land.81 Pembentukan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat dipahami dari dua sisi,

yaitu dari sisi politik dan sisi hukum. Dari sisi politik ketatanegaraan,

keberadaan Mahkamah Konstitusi diperlukan guna mengimbangi

kekuasaan pembentuk undang-undang yang dimiliki oleh Dewan

Perwakilan Rakyat dan Presiden. Hal itu diperlukan agar Undang-Undang

tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di Dewan

Perwakilan Rakyat dan Presiden yang dipilih langsung oleh mayoritas

rakyat. Di sisi lain, perubahan ketatanegaraan yang menempatkan

lembaga-lembaga negara pada derajat yang sama memungkinkan muncul

sengketa kewenangan antar lembaga negara yang memerlukan forum

hukum untuk menyelesaikannya. Dan kelembagaan yang dianggap paling

sesuai adalah Mahkamah Konstitusi.

Dari sisi hukum, keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah salah

satu konsekuensi perubahan dari supremasi Majelis Permusyawaratan

Rakyat menjadi supremasi konstitusi, prinsip negara kesatuan, prinsip

demokrasi dan prinsip negara hukum.82 Pada pokoknya, pembentukan

Mahkamah Konstitusi perlu dilakukan karena bangsa kita melakukan

perubahan mendasar atas Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan tersebut

membuat bangsa kita telah mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem

ketatanegaraan, yaitu antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan „checks

81
Ibid,. Maruarar Siahaan., hlm. 4
82
Ibid,. Maruarar Siahaan., hlm. 7
62
and balances‟ sebagai penggganti sistem supremasi parlemen yang

berlaku sebelumnya. Sebagai akibat perubahan tersebut, maka perlu

diadakan mekanisme untuk memutus sengketa kewenangan konstitusional

yang mungkin terjadi; perlunya peranan hukum dan hakim yang dapat

mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik; dan juga perlu

mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan yang timbul yang

tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan yang biasa, seperti

sengketa hasil pemilu dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik.83

Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1

(satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945

2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Memutus pembubaran partai politik, dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

83
Jimly Asshiddiqie. Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia.
Makalah disampaikan pada kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret,
Surakarta, Kamis, 2 September 2004. Salinan kuliah umum diunduh dalam bentuk makalah di
web www.jimly.com diakses pada tanggal 7 Oktober 2016
63
Kewajiban

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat

Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden

diduga:

1. Telah melakukan pelanggaran hukum berupa

2. penghianatan terhadap negara;

a. korupsi;

b. penyuapan;

c. tindak pidana lainnya;

d. atau perbuatan tercela, dan/atau

3. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8

tahun 2011, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan

keputusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau

perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau

Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar

1945.

64
2. Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

a. Dasar Hukum Pengujian Perppu

Penerbitan Perppu oleh Presiden tidak mempunyai kriteria

yuridis selain berkaitan dengan hukum tata negara darurat yang

berpedoman pada frase “hal ihwal kegentingan yang memaksa”,

sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar

1945.84 Pasal ini lebih menekankan pada aspek kebutuhan hukum yang

bersifat mendesak atau urgent yang terkait dengan waktu yang terbatas.

Setidaknya dalam penerbitan Perppu ada 3 (tiga) syarat yang harus

diperhatikan dalam menentukan keadan “kegentingan yang memaksa”

yaitu;

1) Unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat)


2) Unsur kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity),
dan/atau
3) Unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia.85
Apabila ketiga unsur tersebut diatas terpenuhi maka penetapan

Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut.

Presiden dengan kewenangan konstitusional yang dimilikinya dapat

mengeluarkan Perppu untuk mengatur hal-hal yang diperlukan dalam

rangka menjalankan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara dan roda

pemerintahan yang dipimpinnya.86 Sedangkan menurut Maria Farida

Indrati S, dalam Irwansyah, mengemukakan mengenai syarat

84
Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945.
85
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negar., Op., cit. hlm. 207-208.
86
Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum., Op., cit., hlm. 96.
65
kegentingan yang memaksa berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-

Undang Dasar 1945, Perppu dibutuhkan apabila;

1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan

masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.

2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga

terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak

memadai.

3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara

membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan

memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang

mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.87

Berdasarkan ketiga ketentuan tersebut diatas adalah syarat

adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana yang dimaksud oleh

Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Jadi pengertian

kegentingan yang memaksa tidak dapat diartikan sebatas hanya adanya

keadaan bahaya sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 12 Undang-

Undang Dasar 1945. Secara konstitusional yang berwenang untuk

menilai atau menguji Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden ialah

lembaga politik Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi dengan adanya

yurisprudensi Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Perppu oleh

Mahkamah Konstitusi, maka terjadi suatu polemik mengenai otoritas

yang melakuan penilaian atau menguji Perppu dari Dewan Perwakilan

87
Irwansyah, Kedudukan Perppu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, The Phinisi Press,
Yogyakarta, 2015, hlm. 4.
66
Rakyat bertambah ke lembaga Mahkamah Konstitusi. Sehingga produk

hukum Presiden yang bernama Perppu tidak hanya akan dinilai secara

politik oleh Dewan Perwakilan Rakyat tetapi juga akan dinilai secara

hukum dari segi konstitusionalitasnya oleh lembaga peradilan yaitu oleh

Mahkamah Konstitusi.

b. Pengujian Perppu Oleh Mahkamah Konstitusi

Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi menimbulkan

sebuah perdebatan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pertanyaan

yang muncul kemudian adalah dapatkah Mahkamah Konstitusi

menguji Perppu?. Dalam praktiknya Mahkamah Konstitusi pernah

menguji Perppu Antara lain yaitu :

1) Perppu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);

Putusan Nomor: 138/PUU-VII/2009 perihal pengujian Perpu

Nomor 4 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar 1945

2) Perppu Bank Indonesia;

Putusan Nomor: 145/PUU-VII/2009 perihal pengujian Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu Nomor 2

Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia juncto Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia dan Perpu

67
Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan

terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

3) Perppu Mahkamah Konstitusi;

Putusan Nomor: 91/PUU-XI/2013 perihal pengujian Perpu Nomor

1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap

Undang-Undang Dasar 1945.

Adapun dasar hukum kewenangan Mahkamah Kostitusi dalam

menguji Perppu dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 138/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi mendalilkan

tentang kewenangannya untuk menguji Perppu, karena Perppu

melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru dapat

menimbulkan:88

a) Status hukum baru;


b) Hubungan hukum baru;
c) Akibat hukum baru.

Norma hukum tersebut lahir sejak Perppu disahkan dan nasib

dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat untuk menerima atau menolak norma hukum

Perppu, namun demikian sebelum adanya pendapat Dewan Perwakilan

Rakyat untuk menolak atau menyetujui Perppu, norma hukum tersebut

adalah sah dan berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena dapat

menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan

88
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.
68
Undang-Undang, maka terhadap norma yang terdapat dalam Perppu

tersebut Mahkamah Konstitusi dapat menguji apakah bertentangan

secara materiil dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian,

Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji Perppu terhadap

Undang-Undang Dasar 1945 sebelum adanya penolakan atau

persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan setelah adanya

persetujuan karena Perppu tersebut telah menjadi Undang-Undang.

Pengujian Perppu yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi

menimbulkan permasalahan baru terutama dalam bidang Hukum Tata

Negara. Permasalahan yang timbul kemudian ialah jika Putusan

Mahkamah Konstitusi keluar sebelum Dewan Perwakilan Rakyat

bersidang, lalu putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan Perppu

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka Perppu

tersebut akan berakhir pada saat itu juga. Permasalahannya kemudian

apakah Dewan Perwakilan Rakyat masih dapat bersidang untuk

membahas Perppu?. Selanjutnya, bagaimana pula jika Dewan

Perwakilan Rakyat menerima Perppu yang sudah ditolak oleh

Mahkamah Konstitusi?, Permasalahan ini tentu menjadi sebuah

perdebatan dalam sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia. Hal ini

harus mendapat perhatian khusus dan pengaturan yang jelas mengenai

pengujian (judicial review) terhadap Perppu agar tidak terjadi konflik

antar lembaga negara.

69
Pengujian Perppu yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi

berimplikasi pada kewenangan konstitusional Dewan Perwakilan

Rakyat untuk melakukan legislatif review terhadap Perppu. Hal ini

disebabkan karena sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final and

binding yang berakibat pada kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat

untuk membahas Perppu, namun terlebih dahulu sudah dibatalkan oleh

Mahkamah Konstitusi. Sehingga secara tidak langsung putusan tersebut

menghilangkan kewenangan konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat.

Polemik mengenai berwenang atau tidaknya Mahkamah

Konstitusi untuk menguji (judicial review) Perppu terhadap Undang-

Undang Dasar 1945. Secara konstitusional pengujian Perppu

merupakan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana

diamanatkan oleh konstitusi Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 yang

menyatakan bahwa :

1. Dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak

menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti Udang-

Undang.

2. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan

Perwakilan dalam pesidangan yang berikut.

3. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintahitu

harus dicabut.

70
Penulis berpendapat bahwa proses pembentukan Perppu sampai

dengan Perppu itu disetujui, telah diatur pada pasal 22 Undang-Undang

Dasar 1945 dimana lembaga yang berwenang untuk pembentukan dan

pengujiannya adalah Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, apabila

Mahkamah Konstitusi melibatkan diri untuk proses tersebut secara formil

maka akan bertentangan dengan pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945

yang merupakan pelanggaran konstitusioal terhadap kewenangan, lain

halnya ketika Perppu tersebut sudah menjadi Undang-Undang maka

kewenangan untuk menguji sudah jelas dimiliki oleh Mahkamah

Konstitusi.

Meskipun telah diketahui bahwa muatan materi yang terdapat

dalam Perppu adalah muatan Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi

tidak boleh menguji Perppu karena walaupun secara isi bahwa Perppu

merupakan Undang-Undang namun dari segi bahasa seni berhukum,

bajunya adalah peraturan pemerintah yang pengujiannya diberikan oleh

Dewan Perwakilan Rakyat, artinya selama produk hukum tersebut masih

berbentuk Perppu, belum menjadi Undang-Undang upaya kontrol hukum

(norm control) terhadap Perppu itu masih merupakan urusan Dewan

Perwakilan Rakyat, belum menjadi urusan Mahkamah Konstitusi, akan

tetapi kelak apabila Dewan Perwakilan Rakyat telah menyatakan

persetujuannya dan kemudian Perppu itu berubah status menjadi Undang-

Undang maka dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Alasannya adalah :

71
1. Perppu adalah produk presiden sedangkan Undang-Undang adalah

produk Dewan Perwakilan Rakyat.

2. Perppu dibuat untuk menangani keadaan genting dan memaksa oleh

Presiden, sementara Undang-Undang dibuat untuk memenuhi

kebutuhan hukum tapi tidak dalam keadaan genting dan memaksa.

Menurut penulis dalam keadaan genting dan memaksa pasal 22

Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden

untuk menerbitkan Perppu sebagai pijakan hukum bagi Presiden, dalam

penanganan keadaan genting dan memaksa. Perppu sebagai pijakan hukum

Presiden, tidak dapat di uji dalam masa penanganan keadaan genting dan

memaksa, karena diuji oleh Mahkamah Konstitusi lalu dibatalkan, maka

presiden kehilangan pijakan hukum dalam penanganan keadaan genting

dan memaksa.

Untuk itulah sehingga Pasal 22 ayat (2) memberikan kewenangan

kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberikan persetujuan terhadap

Perppu, nanti pada saat masa sidang berikutnya. Hal ini menunjukan

bahwa Dewan Perwakilan Rakyat menghormati kewenanagn Presiden

dalam penanganan keadaan genting dan memakasa, dengan alasan bahwa

tanggung jawab penyelenggaraan negara berada ditangan Presiden.

Selanjutnya persetujuan yang diberikan Dewan Perwakilan Rakyat

dimaknai sebagai bentuk pertanggung jawaban Presiden dalam

penanganan genting dan memaksa melalui Perppu tersebut.

72
Penulis kembali menegaskan bahwa ketika Perppu di uji oleh

Mahkamah Konstitusi maka Perppu itu sendiri akan kehilangan pijakan

hukum, karena Perppu adalah produk pemerintah sedang Undang-Undang

produk Dewan Perwakilan Rakyat, apabila Mahkamah Konstitusi menguji

Perppu yang juga sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat akan

memunculkan polemik bahwa pengujian Perppu sebenarnya berada pada

kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat atau Mahkamah Konstitusi?,

sehingga dapat menimbulkan pertanyaan di tatanan ketatanegaraan

Indonesia serta masyarakat pada umumnya, padahal jelas Undang-Undang

Dasar 1945 pada dasarnya telah memberikan rule terkait keluarnya Perppu

yang tertera pada pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945.

Dari pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 24C ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa tidak ada ketentuan

Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Perppu. Ketika itu terjadi akan

berakibat timbulnya kekacauan sistem ketatanegaraan. Dengan menguji

Perppu, Mahkamah Konstitusi bukannya menjaga agar konstitusi

ditegakkan dalam menjalankan aktivitas negara, malah mengacaukannya.

Negara akan tambah rusak ketika ditangani para pendukung sebagian

orang yang memiliki kepentingan, sesungguhnya kurang paham atas

segala dampak dan akibat dari suatu tindakan di bidang ketatanegaraan,

sehingga pengujian Perppu yang dilakukan Mahkamah Konstitusi sudah

jelas bertentangan dengan pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945.

73
B. Potensi Sengketa Kewenangan Lembaga Negara terhadap Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh

Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat

1. Obyek Sengketa Kewenangan Lembaga Negara terkait dengan

Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perppu)

Dalam pembahasan ini pertama akan dibahas mengenai eksistensi

atau keberadaan mengenai pembentukan Perppu oleh pemerintah. Undang-

Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan Pasal 5 mengatur bahwa dalam membentuk Peraturan

Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:89

Kejelasan tujuan;
Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
Dapat dilaksanakan;
Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
Kejelasan rumusan; dan
Keterbukaan.

Dalam pasal diatas terdapat tujuh asas yang harus dipenuhi dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan yang salah satunya adalah

“dapat dilaksanakan”. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 12 Tahun

2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 5 huruf

d, yang dimaksud dengan asas dapat dilaksanakan adalah bahwa harus

mempertimbangkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut


89
Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
74
dimasyarakat, baik secara filosofis, dan sosiologis, maupun yuridis.

Pembentukan Perppu ketika sudah ditetapkan oleh Presiden dan mengikat

secara umum seharusnya dapat dilaksanakan oleh subjek hukum di

masyarakat.

Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah fungsi dari

legislative namun dalam keadaan tertentu eksekutif bisa menjalankan

kewenangan legislative untuk menetapkan sebuah peraturan pemerintah

sebagai pengganti Undang-Undang. Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan harus memenuhi syarat mengenai materi muatan yang diatur

dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan Pasal 6 ayat (1) bahwa Materi muatan

Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:90

Pengayoman;
Kemanusiaan;
Kebangsaan;
Kekeluargaan;
Kenusantaraan;
Bhinneka tunggal ika;
Keadilan;
Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk

Undang-Undang dan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi,

fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.91 Pembahasan tentang

keberadaan pembentukan Perppu ini akan dikaitkan dengan kewenangan

90
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
91
Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
75
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menguji Undang-Undang.

Namun dalam prakteknya sudah pernah melakukan pengujian atas Perppu.

Presiden sebagai kepala dalam eksekutif berhak untuk menetapkan Perppu

dan dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat berikutnya jika

disetujui maka akan disahkan menjadi Undang-Undang. Presiden juga

berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk dibahas

bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal pembentukan

Perppu, Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasara 1945 menegaskan

bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak

menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”

Undang-Undang sebelum disahkan harus dibahas bersama antara Presiden

dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Berbeda dengan Perppu, Presiden berhak menetapkannya dan setelahnya

pada persidangan berikutnya dipertanyakan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat. Jika mendapatkan persetujuan maka Perppu tersebut

dinyatakan tetap berlaku dan bisa disahkan menjadi Undang-Undang. Agar

mencegah terjadinya pelanggaran konstitusi terkait kedudukan yang sama

antara Undang-Undang dan Perppu dalam hierarki peraturan perundang-

undangan. Namun apabila tidak mendapatkan persetujuan maka Perppu

harus segera dicabut.

Pembentukan Perppu sesuai dengan redaksi pasal dalam konstitusi

yaitu “hal ihwal kegentingan yang memaksa” dan tanpa persyaratan yang

jelas lainnya. Presiden dalam paradigmanya sendiri bisa menetapkan

76
Perppu. Ketentuan dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945

memberikan isyarat, Presiden tidak perlu menunggu akibat yang mungkin

masih lama akan terjadi atas kegentingan yang memaksa dan terpaksa.

Tidak perlu menunggu pemenuhan syarat tertentu dalam penetapan Perppu

oleh Presiden.92 Namun dalam sudut ini perlu dipertanyakan hal-hal yang

mendorong dan mendasari Presiden menetapkan Perppu tertentu.

Mengingat tidak ada syarat yang jelas secara hukum, konstitusi maupun

peraturan perundang-undangan lainnya tidak mengatur. Sehingga terdapat

kemungkinan Presiden memiliki unsur kepentingan dalam menetapkan

sebuah Perppu. Meski demikian unsur kepentingan tersebut tetap harus

dipahami apakah bisa dikategorikan sebagai wujud penyalahgunaan

kekuasaan (abuse of power) dan kesewenang-wenangan (arbitrary action).

Sehingga penetapan Perppu memungkinkan terjadinya pelanggaran asas

keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum yang merusak sistem

hukum. Jika demikian maka haruslah dinyatakan tidak sah dan tidak

berlaku.

Namun meskipun tidak perlu menunggu syarat-syarat tertentu yang

akan ditetapkan dalam Perppu. Syarat materiil penetapan Perppu yaitu:93

Ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak (reasonable


necessity);
Waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat kegetingan
waktu;
Tidak tersedia alternatif lain, dalam penalaran yang wajar (beyond
reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan tidak akan menjadi

92
Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945
93
Pendapat Jimly Asshiddiqie tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang.
77
problem solving, sehingga akhirnya penetapan Perppu menjadi satu-
satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut.

Proses perancangan sampai pengesahan Undang-Undang yang

memakan waktu yang lama memberikan kesempatan untuk menetapkan

Perppu sebagai solusi ketatanegaraan dalam keadaan genting dan

memaksa.“kegentingan yang memaksa” harus menunjukkan dua ciri yaitu:

1. Krisis (crisis)

Terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat

mendadak (agrave and sudden disturbunse)”.

2. Kemendesakan (emergency)

Terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya

dan menuntut tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan lebih

dahulu. ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang

wajar (reasonableness) apabila tidak diatur segera akan menimbulkan

gangguan bagi masyarakat maupun pemerintahan”.

Dengan pemahaman yang lebih mendalam atas Pasal 22 Undang-

Undang Dasar 1945, terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam

menetapkan Perppu, yaitu: Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,

Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti

Undang-Undang.94 Dalam rumusan pasal ini peraturan pemerintah

ditetapkan sebagai pengganti Undang-Undang. Dalam praktek, peraturan

pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang sering disebut Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang hingga akhirnya istilahnya resmi

94
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
78
dipergunakan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang sudah diubah dengan

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.

Pasal ini adalah salah satu rumusan pasal dalam konstitusi

Indonesia yang tidak mengalami perubahan pada saat amandemen.

Meski tidak ada penjelasan mengenai syarat untuk menetapkan Perppu

oleh Presiden, sebenarnya dalam interpretasi gramatikal terdapat syarat

tersirat untuk menetapkan Perppu. Jelas disebutkan hanya dalam “hal

ihwal kegentingan yang memaksa” maka Presiden berhak menetapkan

Perppu. Untuk mempermudah pemahaman atas setiap unsur kata dari

pasal tersebut perlu diketahui persamaan kata atau kandungan

maknanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)95, hal

memiliki pengertian “keadaan, peristiwa, kejadian; perkara, urusan, soal;

masalah; sebab; tentang, mengenai, soal.”

Sedangkan ihwal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

memiliki persamaan kata yaitu “hal dan perihal”. Sedangkan kalau perlu

merunut persamaan kata tersebut perihal dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) adalah “keadaan; hal; peristiwa; kejadian; tentang hal,

mengenai”, disebutkan pengertian dari:96

95
Suharso dan Ana Retnoningasih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta 2011. Hal. 161.
96
Dalam situs http://kamusbahasaindonesia.org/ yang diakses pada hari Kamis tanggal 13
Oktober 2016 pukul 08:52 Wita.
79
a. Genting

Salah satu pengertian kata “genting” yang berkaitan dengan

tulisan ini adalah tegang, berbahaya (tentang keadaan yang mungkin

segera menimbulkan bencana perang dan sebagainya), setelah

perundingan menemui jalan buntu, keadaan bertambah.

b. Memaksa

Kata memaksa berasal dari kata dasar “paksa” yang memiliki

pengertian yaitu mengerjakan sesuatu yang diharuskan walaupun

tidak mau dan waktu (saat atau kesempatan) yang baik. Jika

ditambahkan awalan me-, kata paksa berubah menjadi memaksa

yang berarti adalah proses memperlakukan, menyuruh, meminta

dengan paksa, berbuat dengan kekerasan (mendesak, menekan).

Sebagai standar untuk menetapkan Perppu maka Presiden harus

benar-benar merasakan dan mempertimbangkan beberapa hal yaitu: Kata

“dalam” dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 harus

dipahami juga maknanya karena terdapat original intent dalam

perumusan pasal tersebut dalam pembentukan Undang-Undang Dasar

1945. Karena sebagaimana disebutkan diatas bahwa pasal tersebut

adalah salah satu rumusan pasal dalam konstitusi Indonesia yang tidak

mengalami perubahan. Kata dalam memiliki pengertian yaitu

“mengandung arti, lingkungan atau daerah negeri sendiri, menandai

tempat yang mengandung isi, menandai sesuatu yang dianggap

mengandung isi (kiasan), menandai waktu dalam jangka tertentu, di

80
antara, dan dikalangan”. Maka hanya jika ada faktor dari “dalam” hal

ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden harus menetapkan peraturan

pemerintah tertentu sebagai pengganti Undang-Undang. Hanya jika ada

faktor dari “dalam” tetapi jika faktor dari luar hal ihwal kegentingan

yang memaksa, Presiden tidak bisa menetapkan sebuah peraturan

pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang.

Jika dalam keadaan kebakaran maka bisa ditetapkan sebuah

Perppu terkait kebakaran itu sendiri, sedangkan pengaturan segala

sesuatu diluar kebakaran itu tidak diatur dalam Perppu. “Hal ihwal

kegentingan yang memaksa” adalah segala sesuatu keadaan, peristiwa,

perkara, urusan, masalah yang memungkinkan terjadinya bahaya bahkan

bencana perang dan keadaan tersebut mengharuskan adanya tindakan

walaupun pihak yang mengalami masalah tidak mau melakukan suatu

tindakan tetapi harus dilakukan dengan paksa atau kekerasan meski tidak

diketahui apakah hasilnya akan lebih baik atau menghasilkan kerugian

yang lebih dan/atau masalah lain tetapi keadaan paksa tersebut justru

bisa menjadi waktu terbaik untuk menyelesaikan setiap masalah. Hal

ihwal kegentingan yang memaksa tersebutlah yang mendorong Presiden

berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-

Undang.

Perppu berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 itu

adalah peraturan pemerintah yang ditetapkan untuk menuangkan

81
ketentuan yang semestinya dituangkan dalam bentuk undang-undang,

dan untuk menggantikan undang-undang.97

Adapun bunyi Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 yaitu :

1. Dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak

menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti Udang-

Undang.

2. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan

Perwakilan dalam pesidangan yang berikut.

3. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintahitu

harus dicabut.

Dalam penjelasan Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 dapat

ditinjau dari teori kewenangan membuat Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (Perppu) oleh Presiden didasarkan pada Pasal 22 ayat

(1) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi “Dalam hal ihwal

kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan

pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang”.98

Kemudian dalam ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa “peraturan

pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

dalam persidangan berikut”.99 Sementara itu, untuk penyelenggaraan

negara dalam keadaan bahaya (darurat) maka pemerintah berhak atas

kuasa dan tanggung jawab sendiri untuk menetapkan Undang-Undang

97
Imam Anshori Saleh, Kandasnya Perppu dan Masa Depan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat
Jendral Komisi Yudisial RI, Jakarta, 2014 hlm. 19.
98
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
99
Pasal 22 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945.
82
darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaran pemerintahan yang

karena dalam keadaan-keadaan mendesak perlu diatur dengan segera.

Ketentuan mengenai keadaan darurat atau bahaya diatur dalam Pasal 12

Uundang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden

menyatakan keadaan bahaya. syarat-syarat dan akibatnya keadaan

bahaya diterapkan dengan Undang-Undang”.100 Ketentuan kedua pasal

tersebut mengisyaratkan apabila terjadi keadaan yang sifatnya genting

dan memaksa, maka tanpa harus menunggu adanya syarat-syarat yang

ditentukan terlebih dahulu oleh dan dalam suatu Undang-Undang.

Menurut Jimly Asshiddiqie istilah yang dipakai dalam kedua

pasal tersebut memiliki perbedaan:

Pertama, menggunakan istilah “keadaan bahaya” yang tidak lain sama

dengan pengertian keadaan darurat (state of emergency).

Kedua, memakai istilah “hal ihwal kegentingan yang memaksa”.101

Berhubungan dengan keadaan kegentingan yang memaksa.

Menurut Ni’matul Huda, harus menunjukkan dua ciri umum

yaitu;

Pertama, ada krisis (crisis), yaitu apabila terjadi suatu gangguan yang

menimbulkan keadaan genting yang sifatnya mendadak (a grave an

sudden disturbunse).

Kedua, kemendesakan (emergency) yaitu apabila terjadi berbagai

keadaan yang tidak dapat diduga akan terjadi (unpredictible) dan

100
Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945
101
Jimly Asshidiqqie, Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Pers, Jakarta 2008 hlm. 206.
83
membutuhkan suatu tindakan segera tanpa menunggu suatu

permusyawaratan terlebih dahulu.102

Sedangkan ihwal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

memiliki persamaan kata yaitu “hal dan perihal”.

Mengenai permasalahan judicial review Perppu oleh

Mahkamah Konstitusi, Refly Harun berpendapat bahwa:103

“Secara teori menurut saya bahwa Perppu tidak boleh diuji di


Mahkamah Konstitusi, karena penilaian Perppu adalah penilaian politik
yang sifatnya situasional. Oleh karena itu, Perppu hanya bisa diuji
melalui jalur politik dalam hal ini oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah Perppu disahkan menjadi Undang-Undang barulah kemudian
diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Sebab kalau Perppu di uji oleh
Mahkamah Konstitusi maka akan menghilangkan hak konstitusional
Dewan Perwakilan Rakyat. Permasalahan lainnya adalah kalau Perppu
tersebut dibatalkan sebagian sebelum meminta persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat, lalu Perppu mana yang akan disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat apakah Perppu versi putusan Mahkamah Konstitusi
ataukah Perppu versi Presiden?. selain itu, semisal Mahkamah
Konstitusi menyatakan Perppu tersebut konstitusional tetapi Dewan
Perwakilan Rakyat menolak tentu akan menimbulkan sebuah
permasalahan lagi. Jadi menurut saya, pengujian Perppu oleh
Mahkamah KonstitusI merupakan pelanggaran kewenangan
konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat. Kedepan sebaiknya
Mahkamah Konstitusi tidak menguji Perppu.”

Hal senada juga dikemukakan oleh Ni’matul Huda yang


memberikan pernyataan bahwa:104

“Secara konstitusional Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji


Perppu. Karena pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi
merupakan suatu pelanggaran konstitusional terhadap kewenangan

102
Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum. ,Op. cit, hlm. 96
103
Pendapat Refly Harun, dikutip dalam blog Jurnal Hukum pada tanggal 12 Oktober 2016 jam
17:40 Wita.
104
Pendapat Ni’matul Huda situs www.hukumonline.com pada tanggal 12 Oktober 2016. Jam
17:59 wita
84
yang sudah diamanatkan oleh konstitusi kepada Dewan Perwakilan
Rakyat.”

Di masa yang akan datang sebaiknya Mahkamah Konstitusi tidak lagi

menguji Perppu atau melepaskan kewenangan tersebut, sebab konstitusi

tidak memberikan kewenangan tersebut. Hal ini juga tidak ditemukan

dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, yang memberikan kewenangan kepada

Mahkamah Konstitusi untuk melakukan judicial review terhadap

Perppu.

Judicial review terhadap Perppu pada hakikatnya adalah

kewenangan konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan

legislatif review atau political check. Karena mengingat lahirnya Perppu

merupakan produk politik dari hak subyektif presiden yang diterbitkan

karena adanya keadaan kegentingan yang memaksa yang sifatnya

situasional. Sehingga Perppu yang dikeluarkan oleh presiden harus

mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk

penilaian terhadap subyektifitas Presiden. Sehingga Perppu yang

dikeluarkan oleh Presiden terlebih dahulu harus diuji oleh Dewan

Perwakilan Rakyat melalui politcal check. Dengan demikian, pengujian

Perppu merupakan kewenangan asli Dewan Perwakilan Rakyat yang

tidak dapat dibagi-bagi kepada lembaga manapun, sehingga ketika

Perppu diuji konstitusionalnya oleh Mahkamah Konstitusi maka

berpotensi terjadinya sengketa kewenangan lembaga negara.

85
Perppu merupakan produk hukum Presiden yang dikeluarkan

berdasarkan penilaian subjektif karena dianggap adanya suatu

kegentinagn yang memaksa. Hakikat lahirnya Perppu adalah untuk

mengantisipasi suatu keadaan yang sifatnya “genting dan memaksa”.

Karena keadaan tersebut maka Presiden berhak mengeluarkan Perppu

dan menetapkan atau menyatakan suatu keadaan bahaya dan darurat.

Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan dalam mengeluarkan

Perppu tidak memerlukan pertimbangan ataupun persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat atau lembaga lain terlebih dahulu, karena Perppu

sifatnya subjektif Presiden. Perppu kemudian akan berubah menjadi

objektif apabila Dewan Perwakilan Rakyat telah melakukan penilaian

berupa persetujuan atau penolakan.105 Apabila Perppu tidak mendapat

persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat maka Perppu tersebut harus

dicabut.

Dari penegasan Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut

dapat diketahui bahwa ada dua instansi lembaga negara yang diberi

amanah dalam konteks pemberlakuan Perppu (hukum darurat negara),

yakni Presiden untuk mengeluarkan Perppu dan Dewan Perwakilan

Rakyat untuk memberikan persetujuan atau menolak pemberlakuan

Perppu tersebut. Dengan demikian, jika Perppu sudah disahkan oleh

Presiden dan mengikat masyarakat, maka Dewan Perwakilan Rakyat

harus mengujinya apakah Perppu tersebut layak untuk disahkan menjadi

105
Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
86
Undang-Undang ataukah Perppu tersebut ditolak. Dengan demikian,

Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kewenangan konstitusional untuk

menguji Perppu melalui political review atau legislative review.

Perppu merupakan salah satu jenis peraturan perundang-

undangan dalam sistem norma hukum di Indonesia. Perppu

dikonsepsikan sebagai suatu peraturan yang dari segi isi seharusnya

ditetapkan dalam bentuk Undang-Undang, tetapi karena dalam keadaan

genting dan memaksa sehingga ditetapkan dalam bentuk peraturan

pemerintah.106 Karena apabila tidak diatur dengan segera akan

menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun pemerintahan.107

Jadi dikeluarkannya Perppu untuk menjaga agar tidak terjadi gejolak

dari masyarakat serta untuk menjaga kestabilan dalam pelaksanaan atau

penyelenggaraan pemerintahan.

Penerbitan Perppu dilakukan dalam kondisi pemerintahan tidak

normal atau tidak biasa dalam dimensi yang berbeda dengan keadaan

darurat perang atau darurat militer ataupun keadaan darurat karena

bencana alam. Karena keadaan-keadaan yang tidak normal atau tidak

biasa maka dibutuhkan pula pengaturan yang bersifat khusus yang perlu

dipahami secara cepat dan tepat oleh pemerintah. Dengan demikian,

negara dalam keadaan se-bahaya atau se-genting dan memaksa seperti

apapun yang terjadi dalam negara dapat diatasi tanpa merusak prinsip-

106
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara. Op., cit. hlm. 3.
107
Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum, Op. cit.
87
prinsip demokrasi dan cita negara hukum.108 Namun, dalam penerbitan

Perppu oleh Presiden seringkali menimbulkan perdebatan di kalangan

para pakar hukum dan politik serta kalangan legislatif. Perdebatan itu

disebabkan karena latar belakang penerbitan Perppu oleh Presiden

memiliki alasan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena ukuran

“kegentingan yang memaksa” selalu bersifat multitafsir dan besarnya

subyektifitas Presiden dalam menafsirkan keadaan “kegentingan yang

memaksa” sebagai dasar pertimbangan untuk mengeluarkan Perppu.

Oleh karena itu, Perppu harus mendapatkan persetujuan dari Dewan

Perwakilan Rakyat dalam masa persidangan berikut. Hal ini Mahkamah

Konstitusi dimaksudkan untuk menghindari kesewenang-wenangan

Presiden dalam mengeluarkan Perppu yang mungkin terjadi dalam

waktu singkat.

Dalam sistem hukum Indonesia dikenal ada dua hukum darurat

yaitu konstitusional subyektif dan ekstra konstitusional obyektif.

Hukum darurat ekstra konstitusional subyektif yaitu pertimbangan

subyektif penguasa (Presiden) yang berkaitan dengan Pasal 22 Undang-

Undang Dasar 1945, sedangkan ekstra konstitusional obyektif yaitu

adanya suatu peraturan atau memiliki kriteria terlebih dahulu, hal ini

berhubungan dengan Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945.109 Jika

berkaca pada praktek ketatanegaraan Indonesia maka kita akan

108
Jimly Asshiddiqie, Op., cit. hlm. 3.
109
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik. Op., cit., hlm. 108.
88
menemukan bahwa kebanyakan Perppu yang dikeluarkan selama ini

merupakan hukum darurat yang sifatnya ekstra konstitusional subyektif.

Jimly Asshiddiqie berpendapat “hal ihwal adalah isinya”.110

Dalam hal ini yang dimaksud isinya adalah, hal ihwal merupakan

substansi dari suatu keadaan yang menyebabkan terjadi suatu

kegentingan yang memaksa. Untuk mempermudah pemahaman atas hal

ini, bisa dicontohnya sebuah kebakaran yang disebabkan hubungan

pendek aliran listrik. Kebakarannya adalah keadaan sedangkan

hubungan pendek aliran listrik yang menyebabkan kebakaran tersebut

adalah isi/subtansi kebakaran tersebut.

Menurut Jimly Asshiddiqie,111 “segala hal ihwal kegentingan

yang mema ksa tidak selalu membahayakan kondisi kegentingan yang

memaksa itu lebih luas daripada keadaan bahaya.” Dalam hal ini yang

dimaksud tidak membayakan bukan berarti keadaan yang tidak ada

masalah sama sekali. Tetapi keadaan yang lebih luas dari sekedar hanya

bahaya saja. Keadaan bahaya dalam dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah “yang (mungkin) mendatangkan kecelakaan (bencana,

kesengsaraan, kerugian, dan sebagainya)”. Hal ihwal yang memaksa

tidak selalu akan mendatangkan peristiwa yang mungkin menyebabkan

bencana, kesengsaraan, kerugian, dan dampak buruk lainnya.

110
Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta 2005. Hlm. 158
111
Ibid. Jimly Ashiddiqie. Hlm. 208
89
Sedangkan Undang-Undang Nomor. 24 tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana Pasal 1 angka 1 menyebutkan pengertian dari

bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun

faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa

manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak

psikologis.112

Hal ihwal yang memaksa dimaksud dalam konstitusi lebih luas

dari sekedar rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan faktor alam,

non alam, dan/atau manusia yang menimbulkan korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Penjelasan tersebut menjadi standar awal untuk Presiden menetapkan

sebuah peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang.

Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikutnya Pasal 22 ayat (2)

Undang-Undang Dasar 1945.113

Terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji Perppu,

dalam hal ini jelas prosesnya agar bisa diuji oleh Mahkamah Konstitusi

maka “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan

ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.”

112
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
113
Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
90
sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam Undang-Undang No. 12

Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pasal 52 ayat (1). Sudah ditegaskan bahwa “Pengajuan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada

Pasal 52 ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan

Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang menjadi Undang-Undang.”, yang terdapat Undang-

Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan Pasal 52 ayat (2). Hanya dua pilihan yang dimiliki

oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sesuai dengan Undang-Undang No. 12

Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pasal 52 ayat (3) Dewan Perwakilan Rakyat hanya memberikan

persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang.114

Dengan pertimbangan yang jelas dan meyakinkan maka sesuai

dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan Pasal 52 ayat (4), “Dalam hal Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang mendapat persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-

Undang.” Sedangkan jika Dewan Perwakilan Rakyat punya

pertimbangan lain dan menyatakan tidak setuju dengan suatu Perppu,

114
Pasal 52 ayat (2) dan Ayat (3) UndangUndang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
91
dinyatakan dengan jelas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.”

Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan Pasal 52 ayat (5).115 Jika tidak

mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.116

Namun perlu diperhatikan bahwa meskipun suatu Perppu tidak

disetujui oleh Deawan Perwakilan Rakyat dan harus dinyatakan tidak

berlaku, pencabutan Perppu tersebut tetap dinyatakan dalam sebuah

Undang-Undang. Hal ini jelas ditegaskan, “Dalam hal Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus

dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Dewan

Perwakilan Rakyat atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-

Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang.”, sesuai dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 52 ayat (6).

Untuk Rancangan Undang-Undang mengenai pencabutan suatu

Perppu yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden,

terdapat syarat materi muatan yang harus dipenuhi Rancangan Undang-

Undang. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan Pasal 52 ayat (7) melanjutkan proses

atas pasal sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur

segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti

115
Pasal 52 ayat (5) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
116
Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
92
Undang-Undang.”. Sebagai proses akhir dari “hal ihwal kegentingan

memaksa” yang akhirnya dicabutnya sebuah Perppu. Undang-Undang

No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan Pasal 52 ayat (8) menyebutkan proses akhir yang harus

dijalankan yaitu Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana

dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang

Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam

rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).117

2. Pengujian Sengketa Lembaga Negara berdasarkan Undang-Undang

Mahkamah Konstitusi

Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara

yang bertugas mengawal dan menafsirkan konstitusi disebutkan

dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang

kemudian dijabarkan kembali dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 8

tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 12 Undang-Undang

No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 29

Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Setiap peradilan yang akan memeriksa suatu perkara

mempuyai asas-asas peradilan yang baik yang telah dianut dalam

undang-undang hukum acara, Undang-Undang kekuasaan

117
Pasal 52 ayat (5,6,7,8) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
93
kehakiman, yang telah diakui secara universal. Menurut Maruarar

Siahaan asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:

a. Persidangan terbuka untuk umum;

b. Independen dan imparsial;

c. Peradilan dilaksanakan secara sepat, sederhana, dan murah;

d. Hak untuk didengar secara seimbang ( Audi et alteram partem);

e. Hakim aktif dan pasif dalam proses persidangan;

f. Adanya Ius Curia Novit.118

Sedangkan menurut Fatkhurrahman dkk berpendapat bahwa

asas-asas hukum acara Mahkamah Konstitusi terbagi dalam

beberapa macam:

a. Asas putusan final;

b. Asas praduga rechtmatig;

c. Asas pembuktian bebas;

d. Asas keaktifan hakim konstitusi;

e. Asas putusan memiliki kekuatan hukum mengikat;

f. Asas non interfentif/indenpensi;

g. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya

ringan;

h. Asas objektifitas;

i. Asas sosialisasi.119

118
Maruarar Siahaan, Op., Cit, hlm 66
119
Fatkhurahman, Dian Aminudin, Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di
Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm 93
94
Sumber utama dalam mencari hukum acara adalah undang-

undang hukum acara yang dibuat khusus untuk itu. Akan tetapi

sebagaimana telah diketahui bahwa dikarenakan kurangnya waktu

untuk menyusun hukum acara menyebabkan hukum acara tersebut

menjadi kurang lengkap. Peraturan Mahkamah Konstitusi sendiri

yang dibentuk masih sangat terbatas karena perkembangan dalam

praktek yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi masih

bersifat dinamis. 120

Dalam praktek Mahkamah Konstitusi masih membutuhkan

hukum acara yang lain seperti hukum acara perdata, acara pidana,

dan acara Tata Usaha Negara (TUN) yang telah diakui karena dalam

proses persidangan Mahkamah Konstitusi memutus perkara tertentu

dengan mempertimbangkan aturan hukum acara tersebut. Oleh

karenanya yurisprudensi Mahkamah Konstitusi juga manjadi sumber

yang penting dan juga putusan-putusan Mahkamah Konstitusi

negara lain yang menyangkut sumber hukum acara dapat dijadikan

acuan.

Dari uraian diatas maka sumber hukum acara bagi Mahkamah

Konstitusi adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi;

b. Peraturan Mahkamah Konstitusi;

c. Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi;

120
Ibid. Fatkhurahman, Dian Aminudin, Sirajudin hlm. 70
95
d. Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Acara Pidana, dan Acara

Tata Usaha Negara (TUN);

e. Doktrin; dan

f. Hukum Acara dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi negara

lain.

Pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dengan

spesifik dalam Undang-Undang No. 8 tahun 2011, dimana dalam

menjalankan ketentuan sebagaimana diatur maka Mahkamah

Konstitusi membutuhkan mekanisme dalam beracara. Terkait hukum

acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 28

Undang-Undang No. 8 tahun 2011 menyebutkan bahwa Mahkamah

Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno

Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi,

kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim

konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.121

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24C Ayat (1) Undang-

Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa putusan Mahkamah

Konstitusi bersifat final dan mengikat. Maksud final dalam pasal

tersebut adalah tidak adanya upaya hukum lainnya yang dapat

ditempuh setelah putusan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi,

dan mengikat mengandung makna bahwa putusan Mahkamah

Konstitusi merupakan putusan yang mengikat bagi pemohon dan

121
Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang No. 8 tahun 2011
96
termohon sehingga adanya kewajiban untuk menaati putusan

tersebut. 122

Terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam

menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara, proses

beracara Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 61 Undang-

Undang No. 8 tahun 2011. Pihak dalam perkara sengketa

kewenangan lembaga negara dalam Undang-Undang No. 8 tahun

2011 disebut dengan pemohon dan temohon. Pasal 61 Ayat (1)

Undang-Undang No. 8 tahun 2011 menyebutkan bahwa;

“Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan


oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan
yang dipersengketakan”.123

Permasalahan yang kemungkinan muncul tidak akan berhenti

pada penafsiran-penafsiran tentang lembaga negara, namun jika

Mahkamah Konstitusi bersengketa dengan lembaga negara lainnya

itu juga merupakan masalah yang sangat berdampak besar, terhadap

penyelenggaraan negara dan kekuasaan kehakiman. Selain itu

peluang terjadi sengketa antara pemerintah pusat dengan pemerintah

daerah sangat mungkin terjadi, dan hal tersebut juga akan

menimbulkan masalah yang tidak kalah peliknya dengan masalah

122
Maruarar Siahaan, Op., Cit, hlm 55
123
Proses beracara Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kewenangan memutuskan/
menyelesaikan sengketa kewengan antar lembaga negara diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 8 /PMK/ Tahun 2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Proses
Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
97
lain yang kewenangan penyelesaiannya dimiliki oleh Mahkamah

Konstitusi.124

Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 8 Tahun

2006 menyebutkan bahwa lembaga negara yang dapat menjadi

pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan

konstitusional lembaga negara adalah:

a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);

d. Presiden;

e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);

f. Pemerintahan Daerah (Pemda); atau

g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar 1945.

Pernyataan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (1)

peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut menyebabkan kriteria

lembaga negara yang dapat menjadi legal standing pada Mahkamah

Konstitusi menjadi sempit. Hal ini menjadi kewenangan Mahkamah

Konstitusi dalam melakukan penafsiran tentang lembaga negara

yang dapat menjadi pihak bepekara pada Mahkamah Konstitusi.

124
Mahfudh MD, Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Makalah,
disampaikan pada diskusi public tentang wacana amandemen konstitusi yang diselenggarakan
oleh KHN di Jakarta, tanggal 12 Juni 2008, hlm 1
98
Majelis hakim berwenang untuk meminta penjelasan pemohon

terhadap materi permohonan yang mencakup legal standing atau

kedudukan hukum para pihak, meminta kepada para pihak baik

pemohon maupun termohon untuk menghentikan sementara waktu

kewenangan yang dipersengketakan tersebut. Dalam persidangan

Mahkamah Konstitusi dilakukan berdasarkan sifat terbuka untuk

umum. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan

mengikat berlaku sejak putusan dibacakan dan Mahkamah

Konstitusi wajib memberikan salinan keputusan tersebut kepada

Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan

lembaga lainnya yang dipandang perlu paling lambat selama 7

(tujuh) hari sejak keputusan dibacakan. Keputusan yang dibacakan

telah mempunyai kekuatan hukum tetap setelah dibacakan dalam

sidang pleno yang terbuka untuk umum. 125

Berdasarkan analisis penulis kewenangan Mahkamah Konstitusi

yang berlandaskan pada Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

memiliki 4 (empat) kewengan dan 1 (satu) kewajiban yaitu:

a. Kewenangan

1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945;

2. Mumutus sengketa kewenangan lembaga negara;

3. Memutus pembubaran partai Politik;

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

125
Pasal 67 Undang-Undang No. 8 tahun 2011
99
b. Kewajiban

Memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat

mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

menurut Undang-Undang Dasar 1945.

Bahwa pada hakekatnya Mahkamah Konstitusi berdasarkan pasal

24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelasakan tentang

kewajiban dan kewenanagnnya tidak adanya penjelasan bahwa Mahkamah

Konstitusi wajib menguji Perppu, perlu diketahui bahwa pada pasal 1 ayat

(3) Undang-Undang Dasar 1945 jelas mendorong penyelenggraan negara

harus berdasarkn hukum, artinya the supremacy of law harus ditegakan

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepastian hukum dibutuhkan

untuk mewujudkan negara hukum dalam bingkai demokrasi, bukankah

kita telah sepakat bahwa negara demokrasi wajib mengikuti mekanisme

jalannya negara melalui Undang-Undang Dasar 1945 karena Hukum

dibuat tidak untuk memuaskan satu orang akan tetapi hukum dibuat untuk

menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu penulis berpendapat ketika kewenangan menguji

Perppu dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang kewenanagan tersebut

adalah kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat maka selain bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar 1945 juga merusak sendi-sendi hukum

yang bisa menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat serta

mengguncang sistem yang berlaku di Indonesia. Meskipun pada

kenyataannya Dewan Perwakilan Rakyat dalam menangani Pengujian

100
Perppu kurang efisien, terkesan lambat dan menunda-nunda, Mahkamah

Konstitusi tidak boleh serta merta mengambil alih kewenangan pengujian

Perppu dikarenakan akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar

lembaga negara khususnya Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan

Rakyat sehingga berpotensi memicu adanya sengketa kewenangan

lembaga negara yang terjadi di antara Mahkamah Konstitusi dan Dewan

Perwakilan Rakyat.

Berdasarkan penjabaran pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah

Konstitusi nomor 08/PMK/2006 untuk selanjutnya disebut PMK 08 secara

formil Mahkamah Konstitusi tidak bisa menjadi obyek sengekta lembaga

negara, namun ketika permasalahan pengujian Perppu yang menjadi

tumpang tindih kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dan Dewan

Perwakilan Rakyat tidak menututkemungkinan dapat memicu terjadinya

sengketa kedua lembaga negara tersebut secara otomatis Mahkamah

Konstitusi tidak konsisten dengan aturan yang dikeluarkannya serta tidak

membatasi diri untuk menghindari konflik dengan lembaga negara lain.

Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi berpotensi

menimbulkan sengketa kewenangan lembaga negara oleh karena Pasal 22

ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Perppu harus

mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam masa sidang

berikutnya. Pasal ini menunjukan terhadap Perppu bahwa Dewan

Perwakilan Rakyat -lah yang memberikan persetujuan, persetujuan

101
dimaksud juga merupakan pengujian terhadap tindakan Presiden dalam

keadaan negara yang genting dan memaksa.

Penulis kembali menegaskan bahwa persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat juga merupakan bentuk pengujian terhadap Perppu

yang oleh Pasal 22 ayat (2) merupakan kewenangan Dewan Perwakilan

Rakyat. Jika Mahkamah Konstitusi mengguji Perppu dalam penafsiran

pasal tersebut berarti Mahkamah Konstitusi mengambil hak konstitusional

Dewan Perwakilan Rakyat untuk menguji Perppu.

Dalam proses penyelesaian tersebut tidak mudah, karena dibutuhkan

suatu instrumen hukum yang jelas untuk membatasi setiap kewenangan

lembaga negara, juga adanya lembaga yang dibentuk berdasarakan aturan

perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar 1945, untuk mengontrol proses penyelesaian sengketa tersebut, agar

tidak terjadi intervensi antar kedua lembaga negara yang bersengketa,

walaupun mengacu pada pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

yang bisa menangani penyelesaian sengketa lembaga negara adalah

Mahkamah Konstitusi tapi tidak menututkemungkinan ketika Mahkamah

Konstitusi bersengketa dengan lembaga negara lain khususnya Dewan

Perwakilan Rakyat, maka penyelesaiannya di Mahkamah Konstitusi,

sebab ada asas yang mengatakan bahwa Ius Curia Novit yang artinya ;

“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan


memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”.

102
Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi dapat diuntungkan dan pihak

Dewan Perwakilan Rakyat dirugikan, Mahkamah Konstitusi dapat

mengontrol dengan cara leluasa ketika proses penyelesaian sengketa ini

diselesaikan di Mahkamah Konstitusi. Dari pandangan tersebut, penulis

ingin menegaskan bahwa Ketika terjadi kebuntuan hukum, perlu

penerapan asas hukum yang sesuai dengan Undang - Undang Dasar 1945

agar setiap institusi bertindak sesuai dengan wewenangnya, sehingga

Mahkamah Konstitusi ketika membuat putusan diluar dari kewenangannya

maka batal demi hukum.

Berdasarkan problematik yang terjadi dalam ketatanegraan ini dan

terus mempertahankan sistem yang tidak sesuai dengan visi dan misi serta

nilai-nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 maka kita

tidak akan mendapatkan jalan keluar dalam belantara hukum ini, oleh

karenanya perlu ada solusi untuk memperbaiki sendi-sendi hukum

tersebut, maka dari itu penulis menginginkan adanya batasan-batasan

kewenangan yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang agar setiap

lembaga negara tidak bertindak diluar kewenangannya dalam menjalankan

setiap fungsi dan kewenangannya, yang sesuai dengan perintah Undang-

Undang Dasar 1945, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan

antara Mahkamah Konstitusi yang mengambil alih kewenangan Dewan

Perwakilan Rakyat dalam proses pengujian Perppu, sehingga mencegah

terjadinya inkonstitusional.

103
Selanjunya dalam proses penyelesaian hukum ini pelu adanya

dukungan berbagai pihak baik dari kalangan pemerintah, akademis,

maupun masayarakat guna menciptakan kestabilan dalam pelaksanaan

atau penyelenggaraan pemerintahan serta sistem ketatanegaran yang

selaras sehingga tidak menyisi dari bentuk dan kedaulatan negara,

kedaulatan hukum maupun kedaulatan rakyat.

104
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh

Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan pasal 24C ayat (1) oleh karena

Mahkamah Konstitusi hanya bisa menguji Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar 1945, sementara Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (Perppu) bukanlah Undang-Undang.

2. Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh

Mahkamah Konstitusi berpotensi menimbulkan sengketa kewenangan

lembaga negara, oleh karena Pasal 22 ayat (2) menyatakan bahwa

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) harus

mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam masa sidang

berikutnya. Persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dimaknai sebagai

pengujian terhadap Undang-Undang.

B. Saran

1. Perlu adanya batasan kewenangan yang diatur secara tegas dalam Undang-

Undang agar setiap lembaga negara tidak bertindak diluar kewenangannya

dalam menjalankan setiap fungsi dan kewenangannya yang sesuai dengan

perintah Undang-Undang Dasar 1945, sehingga tidak terjadi tumpang

tindih kewenangan antara Mahkamah Konstitusi yang mengambil alih

kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam proses pengujian Perppu,

juga mencegah terjadinya inkonstitusional.

105
2. Ketika terjadi kebuntuan hukum, perlu penerapan asas hukum yang sesuai

dengan Undang - Undang Dasar 1945 agar setiap institusi bertindak sesuai

dengan wewenangnya, sehingga Mahkamah Konstitusi ketika membuat

putusan diluar dari kewenangannya maka batal demi hukum.

3. Untuk menyelesaikan problematik ketatanegaraan di Indonesia perlu

adanya dukungan dari berbagai pihak baik dari kalangan pemerintah,

akademisi, maupun masayarakat guna menciptakan kestabilan dalam

pelaksanaan atau penyelenggaraan pemerintahan serta sistem

ketatanegaran yang selaras dan tidak menyisi dari bentuk dan kedaulatan

negara, kedaulatan hukum serta kedaulatan rakyat.

106
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mukhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta:


Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Ahmad Syahrizal Peradilan Konstitusi suatu studi tentang adjudikasi


konstitusional sebagai mekanisme penyelesaian sengketa normatif Jakarta:
PT Pradnya Paramita, 2006

Achmad Ruslan, Teori dan Panduan Praktik Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan di Indonesia, Rangkang Education, Yogyakarta, 2011.

Aguslamim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah ,Ghalia Indonesia, Bogor 2007.

Anwar C, Teori dan Hukum Konstitusi, Paradiga Kedaulatan dalam Undang-


Undang Dasar (Pasca Perubahan), Implikasi dan Iplementasinya Pada
Lembaga Negara, Malang 2011.

Arifin, Fimansyah dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar


Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN),
Jakarta.

Askari Rasak, Hukum Pelayanan Publik, Arus Timur, Makassar 2013.

Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Bandung, Yapemdo, 2000.

A.V. Dicay, Pengantar Hukum Konstitusi (Terjemahan dari Introduction to The


Study of The Constitution) diterjemahkan oleh Nurhadi, Cetakan ke I,
Nusa Media, Bandung, 2007.

A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Jogjakarta, Pustaka Pelajar,


2001.

107
A. Himmawan Utomo, “Konstitusi”, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Kewarganegaran, Yogyakarta, Kanisius, 2007.

Budiman N.P.D Sinaga, Hukum Tata Negara, Perubahan Undang-Undang


Dasar,Cetakan Pertama.Tata Nusa, Jakarta 2009.

Crince le Roy, Kekuasaaan Ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh


Soehardjo, Semarang, 1981

E.Utrecth, Pengantar Hukum Administrasi Negara, FH PM UNPAD, Bandung.

David Held, Demokrasi & Tatanan Global (Terjemahan dari Democrachy and the
Global Order, From The Modern State to Cosmopoitan Governance)
diterjemahkan oleh Damanhuri, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2004

Fatkhurahman, Dian Aminudin, Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah


Konstitusi Di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,

Irwansyah, Kedudukan Perppu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, The


Phinisi Press, Yogyakarta, 2015

Imam Anshori Saleh, Kandasnya Perppu dan Masa Depan Mahkamah Konstitusi,
Sekretariat Jendral Komisi Yudisial RI, Jakarta, 2014

JImly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang Di Indonesia, Cet.1, Sekretariat


Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta PT Rajawali Grafindo


Persada, 2007.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta Sinar


Grafika, 2010

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Sinar


Grafika 2010.

108
Jimly Asshiddiqie. Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia. Makalah disampaikan pada kuliah umum di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kamis, 2
September 2004. Salinan kuliah umum diunduh dalam bentuk makalah di
web www.jimly.com diakses pada tanggal 7 Oktober 2016 Jam 20:02 Wita

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Hubungan Kewenangan


DPRD dan Kepala Daerah), Alumni, Jakarta, 2006

Jurnal Konstitusi Volume 10 Nomor 4, Desember 2013.

Moh. Mahfud MD, Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah


Konstitusi, Makalah, disampaikan pada diskusi public tentang wacana
amandemen konstitusi yang diselenggarakan oleh KHN di Jakarta, tanggal
12 Juni 2008.

Moh Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali


Pres, Jakarta, 2011

Moh.Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi dan Politik Perundang-Undangan Di


Indonesia. Makalah diunduh di situs web www.mahfudmd.com pada
tanggal 14 Agustus 2016.

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.


Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Muin Fahmal, 2008, peranan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Cetakan Kedua,Kreasi Total
Media, Yogyakarta.

Munir fuady, Teori Negara Hukum Modern PT Refrika Aditama, Bandung, 2009.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi,Cetakan Pertama,

Gramedia, Jakarta, 2008.

109
Ni’matul Huda. Problematika Substantif Nomor 1 Tahun 2013 Tentang
Mahkamah Konstitusi.

Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan dan Gagasan


Penyempurnaan. Yogyakarta. FH UII Press/PP 2014.

Order, From The Modern State to Cosmopoitan Governance) diterjemahkan oleh


Damanhuri, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana 2014.

Suharso dan Ana Retnoningasih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta 2011.

Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Study Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat


dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Priode Negara Madinah
dan Masa Kini, Pranenda Media, Jakarta 2004.

Van der pot oleh La Ode Muh.Taufik, Negara Hukum, Demokrasi dan Pemisahan
Kekuasaan,Umitoha Ukhuwah Grafika, Makassar 2016.

Website

http://jakarta45.worDewan Perwakilan Rakyatess.com/2009/08/09/konstitusi-


sejarah-konstitusi- indonesia/, diakses pada tanggal 25 Agustus 2016, Jam
00:00 Wita.

http://kamusbahasaindonesia.org/ yang diakses pada hari Kamis tanggal 13


Oktober 2016 Jam 08:52 Wita.

Ni’matul Huda situs www.hukumonline.com pada tanggal 12 Oktober 2016. Jam


17:59 Wita

Refly Harun, dikutip dalam blog Jurnal Hukum pada tanggal 12 Oktober 2016
Jam 17:40 Wita.

110
Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 8 /PMK/ Tahun 2006 tentang Pedoman


Beracara Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan


Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi.

TAP MPR Nomor III/MPR/2000.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan.

Undang-Undang Nomor. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Putusan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 145/PUU-VII/2009

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XI/2013

111

Anda mungkin juga menyukai