PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuntutan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia telah
mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang kemudian diikuti oleh Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000
mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dimaksudkan untuk menjawab
berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran hak
asasi manusia berat.
Delapan belas (18) perkara yang telah dihadapkan ke pengadilan hak
asasi manusia, yang terdiri atas Dua belas (12) perkara pelanggaran hak asasi
manusia berat di Timor-Timur, empat (4) Perkara peristiwa Tanjung Priok dan
dua (2) Perkara pelanggaran hak asasi manusia berat di Abepura ,Papua tidak
menghasilkan keputusan yang memuaskan rasa keadalan khususnya bagi para
korban pelanggaran hak asasi manusia berat tersebut.
Pengadilan hak asasi manusia terbentuk tidak terlepas dari dinamika
politik yang terjadi saat itu, baik politik nasional maupun internasional. 1Dinamika
politik yang terjadi pada saat itu menghendaki agar pelanggaran hak asasi manusia
berat yang terjadi di Indonesia diselesaikan dengan pengadilan hak asasi manusia.
Pembentukan undang-undang tersebut merupakan perwujudan tanggung
jawab bangsa Indonesia sebagai anggota perserikatan bangsa-bangsa, serta
sebagai tanggung jawab moral dan hukum dalam melaksanakan Deklarasi
1 Farijmei A.Gofar, Asinergisitas Pemeriksaan pendahuluan Perkara
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, ,Dignitas Jurnal Hak Asasi
Manusia , Elsam, Volume IV No I Tahun 2006.hlm 105.
1
asasi manusia
untuk
pelanggaran
hak
asasi
manusia
di
mandat untuk
Indonesia,
dengan
dilihat dari proses bergulirnya kasus pelanggaran HAM dari proses penyelidikan
di Komnas HAM sampai dengan putusan pengadilan HAM di Pengadilan.
Tahapan penyelidikan dalam pelanggaran hak asasi manusia adalah
kewenangan Komnas HAM
diartikan bahwa dalam tuntutan Jaksa tidak melihat adanya pelanggaran hak asasi
manusia berat yang dilakukan oleh Adam Damiri dalam kasus Timor-Timur, yang
sekalipun dituntut bebas oleh Jaksa, tetapi Hakim pada pengadilan tingkat pertama
menjatuhkan hukum 3 tahun atas tuntutan bebas jaksa, yang kemudian dalam
proses banding di Pengadilan Tinggi dibatalkan dan Adam Damiri dinyatakan
bebas dari segala tuduhan.
Pengadilan Hak Asasi Manusia sendiri dalam berbagai tingkatan kemudian
membebaskan semua terdakwa yang diadili di Pengadilan HAM ad hoc dengan
kesemuanya dinyatakan tidak bersalah dan dinyatakan bebas dari segala tuduhan.
Pada sisi lain penyelesaian persoalan melalui komisi kebenaran dan
persahabatan yang laporan akhirnya dinamakan Per Memoar A Spem yang berarti
melalui kenangan menuju harapan dipandang mengabaikan prinsip-prinsip dalam
penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia.
Hal yang juga mendorong penulis untuk menulis disertasi ini adalah
adanya pengakuan pelanggaran hak asasi manusia berat dalam laporan akhir
komisi kebenaran dan persahabatan , tetapi tanggung jawab terhadap pelanggaran
hak asasi manusia berat tersebut diambi alih oleh negara. Bagaimana meletakan
tanggung jawab pidana pada negara, sebagai contoh dalam
hal terjadinya
sehingga komisi hanya menyatakan adanya tanggung jawab negara dalam kasus
Timor-Timur 1999 tersebut.
Sehingga seandainya persoalan Timor-Timur sudah selesai bagi kedua
negara yaitu Republik Indonesia dengan Timor Leste, maka tidak ada tanggung
jawab individu, berarti kedua belah pihak telah memulai suatu babak dalam
hubungan kedua negara kedepan dengan menerapkan impunitas dengan tidak
meminta pertanggungjawaban terhadap individu pelaku
kejahatan terhadap
negara, dalam
kaitannya dengan sangsi pidana yang harus diiberikan pada individu yang
melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter tersebut.
Dalam hukum internasional, timbulnya tanggung jawab negara apabila
terdapat internationally wrongful act , sebagaimana yang terdapat dalam pasal 1
Rancangan tentang Tanggung Jawab Negara atas Tindakan-Tindakan
Salah
Dalam hal adanya internasionally wrongful act maka negara bertanggung jawab
atas kesalahan tersebut.
Akan tetapi menjadi tidak lazim dalam hukum internasional apabila
tanggung jawab yang seharusnya melekat pada individu diambil alih oleh negara,
dengan meniadakan tanggung jawab pidana pada individu.
Dalam hal negara meniadakan tanggung jawab pidana pada individu, maka
negara telah melakukan impunity, yaitu ketidak mampuan negara untuk
menghukum pelaku pelanggaran hukum khususnya hukum humaniter dan hukum
hak asasi manusi.
Pada sisi lain apabila negara memutuskan untuk bertanggung jawab secara
pidana terhadap pelanggaran hukum humaniter yang terjadi , maka bagaimana
menghukum negara secara pidana. Bukankah personifikasi negara terletak pada
individu-individu yang bertanggung jawab atas pelanggaran hukum humaniter
tersebut.
Katakanlah sebagai wujud tanggung jawab negara, negara melakukan
berbagai hal seperti kompensasi, rehabilitasi dan restitusi terhadap korban
pelanggaran hukum humaniter, bagaimana dengan sangsi pidana yang umumnya
terdapat dalam hukum pidana, baik hukum pidana nasional
maupun hukum
pidana internasional seperti hukuman penjara. Sudah pasti negara tidak dapat
dipenjara, keculai individu-individu yang merupakan personifikasi negara yang
bisa bertanggung jawab di depan hukum baik hukum pidana nasional, maupun
hukum pidana internasional.
datang di
10
sedikit warga sipil terpisah, atau (2) diarahkan terutama terhadap lawan
militer yang sah namun terdapat beberapa warga sipil yang terbunuh dalam
suatu insiden yang acak dan terpisah, maka ini tidak digolongkan sebagai
pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun
di Timor Timur tahun 1999 dimensi politik konflik dan fokusnya pada
jajak pendapat, jenis-jenis kejahatan dan status para korban, terutama
penargetan warga sipil yang dipandang memiliki hubungan dengan
keyakinan atau tujuan politik tertentu, secara jelas menunjukkan bahwa
serangan terhadap penduduk sipil telah terjadi. Komisi berkesimpulan
bahwa bukti mengenai hal ini sangat banyak dan definitif.
Selain temuan Komisi bahwa terjadi serangan terhadap penduduk sipil,
penting juga untuk menentukan bahwa serangan tersebut bersifat meluas
atau sistematis. Istilah meluas mencakup dimensi kuantitatif, cakupan,
dan sifat serangan. Istilah sistematis terutama berkaitan dengan aspek
kualitatif serangan dengan mengindikasikan misalnya, bahwa serangan
tersebut bukan terdiri dari tindak kekerasan yang acak, terpisah dan
individual, namun mencakup banyak tindakan dengan jumlah atau skala
korban yang signifikan, atau terdapat pengorganisasian, perencanaan,
koordinasi, atau kegiatan terpola. Di sini sekali lagi Komisi berkesimpulan
bahwa bukti secara kuat menunjukkan serangan terhadap penduduk sipil di
Timor Timur terjadi secara meluas maupun sistematis. Bukti ini
mengindikasikan bahwa jumlah korban dan insiden, juga skalanya, cukup
besar.
Bukti juga menunjukkan bahwa serangan sering menjadikan sasaran
orang-orang yang dipandang memiliki afiliasi politik tertentu dan serangan
ini terjadi berulang kali dalam rentang waktu, pada banyak tempat, serta
mengikuti pola perbuatan yang terorganisasi.
dengan latar belakang yang penulis sampaikan diatas dalam pandangan penulis
sistem perdilan pidana Indonesia tidak mampu menjangkau pelanggaran HAM
berat yang terjadi di Indonesia yang terlihat dari tidak adanya satupun terdakwa
dari kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia yang dijatuhi
sanksi pidana.
Bebasnya seluruh terdakwa kasus pelanggaran HAM berat khususnya
yang terjadi di Timor-Timur, mendorong segenap komponen masyarakat
Indonesia khususnya
13
14
E. Kerangka Pemikiran
Sebagai negara yang berdasarkan hukum, dimana salah satu pola yang
harus ada didalam negara berdasarkan hukum adalah adanya penghormatan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia, selain dari adanya mekanisme
kelembagaan negara yang demokratis, adanya suatu tertib hukum dan adanya
kekuasaan kehakiman yang bebas.7 Indonesia juga mengatur hak asasi manusia
7 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum, Ghalia
Indonesia, 1983, hlm 9.
15
Indonesia dalam
mengatur hak asasi manusia baik dalam Konstitusinya ataupun dalam peraturan
perundang-undangan yang lain, idealnya sebagai konsep yang diikuti oleh
peraturan perundang-undangan yang mengatur secara teknis mengenai hak asasi
manusia, atau terjadi perubahan konsep dalam pengaturan yang terdapat pada
peraturan perundang-undangan yang mengatur HAM.
Hak asasi manusia adalah suatu konsep yang sifatnya universal, idealnya
Konstitusi dan peraturan perundang-undangan di Indonesia juga menggunakan
konsep yang bersifat universal, tetapi peraturan perundang-undangan seringkali
menjadi sumber
tentang
16
Kamus
Badudu Zain
asasi manusia
asasi
sebagaimana
keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas Negara antara :
1. Negara dengan Negara
2. Negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum
bukan negara satu sama lain.18
Dengan demikian Negara telah menerima konsep universalitas itu sebagai
suatu konsep yang berlaku
pandangan yang lebih moderat dan menafsirkan kecenderungan global lebih luas
yang mencakup pula pelbagai resolusi badan-badan PBB, model perjanjian
(model treaties), code of conduct, guidelines, basic principles, safeguard, standar
16 Muladi, Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat di Era
Demokrasi, Jurnal Demokrasi & HAM, Vol 1, Mei-Agustus 2000, hlm 38
17 Pasal 38 ayat 1 Statuta International Court of Justice
18 Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta
Bandung, Cetakan ketujuh 1990, hlm.3.
21
bahwa
pemerintah-pemerintah
hendaknya
menggabungkan
hak
asasi manusia
memiliki sifat
kultural dan historis suatu bangsa atau masyarakat dalam penerapan hak asasi
manusia, nampak pada contoh sebagai berikut:
The Jakarta message (1992) butir 18 antara lain menegaskan bahwa No
country, however, should use its power to dictate its concept of
democracy and human rights or impose conditionalities on others.
Namun demikian tidak ada negara yang dapat menggunakan kekuasaannya
untuk mendiktekan konsep-konsep demokrasi dan hak asasi manusianya atau
menerapkan persyaratan-persyaratan pada negara-negara lain.
Deklarasi Kuala Lumpur (1993) tentang hak asasi manusia yang
dirumuskan oleh ASEAN Inter Parliamentary Organization (AIPO) antara lain
menegaskan :
the people of ASEAN accept that human rights exist in a dynamic and
evolving context and that each country has inherent historical
experiences, and changing economic, social, political and cultural and
value system which should be taken into account.21
Deklarasi Bangkok 1993 yang dirumuskan oleh negara-negara Asia yang
menyatakan bahwa:
While Human Rights are Universal in nature, they must be considered
in the context of a dynamic and evolving process of international norms
setting, bearing in mind the significance of national and regional
peculiarities and various historical, cultural and religious background.22
Deklarasi Wina dan Program Aksi (1993) yang dihasilkan oleh konferensi
dunia tentang Hak asasi manusia yang merumuskan bahwa:
21 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di
Indonesia,The Habibie Center, Jakarta 2002, hlm.56.
22 Final Declaration of the Regional Meeting For Asia of the World
Conference on Human Rights yang dikenal dengan Bangkok
Declaration 1993.
23
pemikiran mengenai
negara di bawah
tatanan hukum yang adil yang berkembang di Eropa pada abad 19 hingga
permulaan abad ke 20, yang pada saat itu tercatat perkembangan pemikiran
mengenai konsep negara, dari konsep negara hukum klasik (negara hukum dalam
arti sempit) menuju konsep negara hukum formal.27
Konsep Negara Hukum dapat dibedakan menurut konsep negara hukum
yang berkembang di negara-negara Eropa kontinental yang dikenal dengan
Rechtsstaat, dan konsep negara hukum yang berkembang di negara-negara Anglo
Saxon yang dikenal dengan Rule of Law.
Hak-hak manusia
Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu
Pemerintah berdasarkan Peraturan-Peraturan.
Peradilan administrasi dalam perselisihan.28
Konsep rule of law berkembang secara evolusioner,29 dibangun
berdasarkan sistem hukum common law.30 Istilah the rule of law mulai populer
dengan terbitnya sebuah buku dari A.V.Dicey tahun 1885
dengan judul
27
penyeimbang
atas
kekuasaan
yang
sewenang-wenang,
dan
merupakan
bukanlah sumber
tetapi
pengadilan.
Menurut Mas Bakar perwujudan supremasi hukum (supremacy of law) di
negara-negara Anglo Saxon sedikit berbeda dengan apa yang terjadi di negaranegara kontinental yang menganut konsep rechtstaat.32 Supremasi hukum menurut
rechtsstaat adalah menempatkan negara sebagai subyek hukum, sehingga
konsekuensinya hukumnya dapat dituntut di pengadilan. Negara-negara Anglo
Saxon dalam konsep rule of law, tidak menempatkan sebagai subyek hukum,
Teori hak asasi manusia sebagai Middle Range Theory dalam Penelitian
ini dikarenakan hak asasi manusia Human Rights could be generally defined as
those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as
human beings yang artinya bahwa hak asasi manusia secara umum diartikan
sebagai hak yang melekat pada diri manusia yang tanpa adanya hak-hak tersebut
manusia tidak dapat hidup sebagai manusia.37
Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 :
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.38
Dalam Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia:
Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri
manusia secara kodrati,universal, dan abadi sebagai Anugerah Tuhan Yang
Maha Esa.39
Dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia:
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum,pemerintah,dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.40
37 United Nation, Human Rights Question and Answer, New York,
United Nations Department of Public Informations, 1993.
38 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia
39 Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia, Pembukaan alinea kedua
40 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 26 Tahun 2000
30
Majelis
Permusyawaratan
Republik
Indonesia
Nomor
Asasi Manusia
berikut :
bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut
menghormati hak -hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi
Universal Hak -hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta
berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak -hak
asasi
manusia.42
41 Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia
42 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1988 tentang Hak -Hak Asasi Manusia Bagian Konsiderans,
Butir C
31
Universal, terlebih lagi dengan pengaturan hak asasi manusia dalam UndangUndang Dasar 1945 yang juga menunjukkan pengakuan hak asasi manusia yang
universal.
Teori hukum pembangunan dipergunakan dikarenakan sebagai akibat dari
Indonesia
berdasarkan
hukum,
maka
hukum
berperan
sebagai
sarana
pembangunan hak asasi manusia dalam bentuk membuat peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia, tetapi juga melakukan
perbaikan terhadap kondisi hak asasi negara, dengan melakukan penegakan
hukum yang salah satunya dengan proses peradilan yang bermuara pada
pembentukan hukum dalam proses peradilan yang tidak saja melibatkan tatanan
sollen, tetapi juga sein.
Dalam pelaksanaan hal yang demikian tentunya harus dipahami konsep
hak asasi manusia yang dipergunakan dalam sistem hukum Indonesia serta
bagaimana implementasi konsep sistem hukum tersebut dalam sistem hukum
Indonesia.
Berbeda dengan dunia barat yang menganut hak asasi manusia sebagai
hak asasi individual, Indonesia menganut hak asasi sebagai warga negara,
yaitu seorang warga negara juga memiliki kewajiban-kewajiban asasi
untuk menghormati hak -hak asasi warga negara lain, hak asasi manusia
di Indonesia bukanlah hak asasi orang yang terlepas dan bersifat
individual yang sebebas-bebasnya. Sri Edi Swasono menjelaskan, berbeda
dengan dunia barat yang negara dibentuk berdasarkan kesepakatan
individual, Indonesia pada masa terbentuknya tidaklah demikian. Dalam
32
Negara tahun 1983 bidang hukum yang isinya antara lain bahwa hukum dapat
berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Pembahasan masalah pembangunan hukum juga terdapat dalam UndangUndang No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 20002004 dimana dalam Bab II Prioritas Pembangunan Nasional pada point B.2
untuk Mewujudkan Supremasi Hukum dan Pemerintahan yang baik, serta pada
Bab III secara khusus
peningkatan
55 Idem, hlm.14.
56 Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum Mengingat
Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung 2004,
hlm 156.
38
secara
konsep merupakan suatu kebulatan yang utuh dari bangsa Indonesia, dimana
masing masing sila saling berkaitan dengan diawali oleh Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Konsep hak asasi manusia yang tertuang dalam sistem hukum Indonesia
tidak dapat dilepaskan dari
yang
4
5
6
Sistem yang dipergunakan untuk menunjuk suatu hipotesis atau suatu teori
(yang dilawankan dengan praktek);
Sistem yang dipergunakan dalam arti metode atau tata cara
Sistem yang digunakan untuk menunjuk pengertian skema atau metode
pengaturan organisasi atau susunan sesuatu atau mode tatacara. Dapat pula
berarti suatu bentuk atau pola pengaturan, pelaksanaan atau pemrosesan, dan
juga dalam pengertian metode pengelompokan, pengkodifikasian dan
sebagainya
Adapun West Churchman, sebagaimana dikutip oleh H.R. Otje Salman S,
berpendapat bahwa:59
1
Pendekatan sistem bermula terjadi jika mula-mula ada yang memandang dunia
ini dari kacamata orang lain;
c
d
e
62 Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003, Makalah Disampaikan Pada
Seminar Pembangunan Nasional VII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan
Berkelanjutan diselenggarakan Oleh: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen KeHakiman
dan Hak Asasi Manusia Denpasar 14-18 Juli 2003.
42
Sistem hukum terbentuk oleh sistem interaksi antara ketujuh unsur di atas
itu, sehingga apabila salah satu unsurnya saja tidak memenuhi syarat, tentu
seluruh sistem hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Atau apabila
salah satu unsurnya berubah maka seluruh sistem dan unsur-unsur lain juga harus
berubah.
Menyitir teori H.L.A. Hart tentang apa yang disebut dengan primary rules
dan secondary rules, dikatakan bahwa primary rules menekankan
kepada
Dasar 1945 yang harus selalu dituangkan dalam sistem hukum Indonesia.
Dengan melihat apa yang dijelaskan oleh Lawrence Friedman sistem
hukum meliputi pertama, Struktur Hukum (legal Structure) yaitu bagian
bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang
ada dan disiapkan dalam sistem, seperti Pengadilan,Kejaksaan. Kedua
63 Otje Salman, op.cit, hlm 90
43
oleh
struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum, dalam kaitannya dengan
sistem hukum nasional kita apakah dalam pembangunan sistem hukum kita sudah
memiliki struktur, substansi dan budaya hukum yang tangguh, sekali lagi
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan satu pedoman untuk
menghadapi berbagai permasalahan hukum di Indonesia, terlebih lagi dengan
berpedoman pada semangat yang terdapat pada alinea ketiga.
Saat ini ini Indonesia mengalami keterpurukan di berbagai bidang,
ekonomi, politik, sosial, hukum dan bidang-bidang lainnya, termasuk tuntutan
terhadap perbaikan di bidang hak asasi manusia, dengan kondisi yang demikian
ada 4 (empat) masalah mendasar yang mendesak dan harus segera diselesaikan
yaitu: 65
a Reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan berasal dari hukum lokal
(hukum adat dan hukum Islam) ke dalam sistem hukum nasional. Namun
demikian didalam mereaktualisasi hukum-hukum lokal kedalam hukum
nasional diperlukan juga suatu penghalusan hukum sehingga proses
reaktualisasi tersebut berjalan dan sesuai dengan perkembangan hukum dan
kebutuhan masyarakat modern.
b Penataan Kelembagaan, dimana reformasi birokrasi yang selama 30 tahun
lebih merupakan kanjeng dalam struktur pemerintahan, kini sudah saatnya
berubah menjadi abdi dalem yang siap melayani masyarakat setiap diperlukan,
sehingga masyarakat merasa nyaman dan aman dalam kehidupan sehari-hari.
c Pemberdayaan Masyarakat, baik dalam bentuk meningkatkan akses
masyarakat kedalam kinerja pemerintahan, maupun upaya untuk
64 Ibid, hlm 154
65 Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan
Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada kursus Sespim,
September 2005, hlm.5.
44
71 Loc.cit.
72 Ilhami Bisri,Loc.cit, hlm 126.
47
penelitian ini metode pendekatan yuridis normatif yaitu mengkaji secara logis
yuridis teori-teori hukum hak asasi manusia yang dapat digunakan sebagai acuan
mendapatkan jawaban mengenai bagaimanakah konsep hak asasi manusia yang
dipergunakan dalam
konsep yang
manusia dalam pelanggaran hak asasi manusia berat dihubungkan dengan sistem
peradilan pidana di Indonesia, maka penelitian ini selain mengkaji peraturan
perundang-undangan
dalam
sistem
hukum
nasional
Indonesia,
juga
Keputusan Pengadilan
dan
implementasi instrumen hak asasi manusia dalam pelanggaran hak asasi manusia
berat dihubungkan dengan sistem peradilan pidana di Indonesia.
Penelitian ini peneliti menggunakan data sekunder yaitu data-data yang
diperoleh dari bahan pustaka.74 Di dalam penelitian hukum, data sekunder
meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
1
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari:
a
b
i
Peraturan Dasar :
Batang Tubuh Undang Undang Dasar 1945. data didapatkan dari
pengaturan dan konsep hak asasi manusia yang terdapat dalam Pasal-
didapatkan dengan
menemukan
50
51
Bahan Hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku
seperti, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang merupakan terjmahan
yang secara yurididis formal bersifat tidak resmi dari Wetboek van
Strafrecht )
sistem hukum nasional Indonesia, dan hasil penelitian dari para ahli hukum hak
asasi manusia, serta berbagai upaya yang dilakukan oleh Indonesia untuk
memperbaiki hak asasi manusia dengan berpedoman pada perjanjian internasional
dan hukum kebiasaan internasional.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode studi kepustakaan, yaitu
memperoleh data sekunder yang dapat berupa bahan primer dan bahan sekunder.
Seluruh data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan
metode yuridis kualitatif.
53
Perpustakaan ELSAM
54
BAB II
NEGARA HUKUM,HAK ASASI MANUSIA TEORI HUKUM
PEMBANGUNAN ,SISTEM HUKUM PIDANA DAN SISTEM
PERADILAN PIDANA
A. Negara Hukum dan Hak Asasi manusia
Sebagai Negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia
Indonesia mengatur hak asasi manusia didalam Konstitusinya yaitu undangundang dasar 1945, sebagaimana halnya juga konstitusi negara-negara didunia.76
Dalam hal pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi Negara
Republik Indonesia disini terlihat suatu bentuk tanggung jawab hak asasi manusia
oleh Negara yang diatur dalam hukum dasarnya yang tertuang dalam hukum
dasarnya tetapi juga bagaimana implementasi dari ketentuan tersebut dalam
pemenuhan hak asasi dari warga negaranya.77
Konsep hak asasi manusia yang dituangkan dalam sistem hukum
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari situasi yang melingkupinnya pada saat itu
yang tidak dapat dilepaskan dari suasana untuk melepaskan diri dari kolonialisme
yang dimaksudkan untuk mendapatkan kemerdekaan sehingga Hak asasi manusia
yang mendasari hak asasi manusia lainnya yang terdapat dalam konstitusi
Indonesia adalah
dari Pembukaan
dimaksud bukanlah sekedar sebagai negara hukum dalam arti formil, apalagi
hanya sebatas sebagai negara penjaga malam yang hanya menjaga jangan
sampai terjadi pelanggaran atau menindak para pelanggar hukum.79
Pengertian negara hukum menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah
negara hukum dalam arti luas. Negara hukum dalam arti luas mengandung makna
bahwa: Pertama, negara dengan produk hukumnya bukan saja melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, tetapi juga harus
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa; kedua
dalam suatu negara hukum, konstitusi yang merupakan hukum dasar (yang
merupakan pedoman dalam penyelenggaraan negara baik aparatur negara maupun
warga negara, dalam menjalankan peran, hak dan kewajiban ataupun tugas dan
tanggung jawab masing-masing dalam bernegara) bisa berbentuk tertulis (UUD
1945) tetapi juga hukum dasar lain yang tidak tertulis yang timbul dan terpelihara
yang berupa nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam praktek
78 Ibid
79 Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Sistem
Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia Buku I Prinsip-Prinsip
Penyelenggaraan Negara, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 2003,
hlm 46.
56
sumber
menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiaptiap pikiran, tiap-tiap faham individualism dan liberalisme dari padanya.90
Supomo menolak dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal
Undang-Undang Dasar dengan alasan yang berbeda. Penolakan Supomo
didasarkan pada pandangannya mengenai ide negara integralistik (staatsidee
integralistik), yang menurutnya cocok dengan sifat dan corak masyarakat
Indonesia.91
Menurut paham tersebut negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya,
yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun. Dalam
negara yang demikian itu, tidak ada pertentangan antara susunan hukum staat dan
susunan hukum individu, karena individu tidak lain ialah suatu bagian organik
dari Staat. Makanya hak individu menjadi tidak relevan dalam paham negara
integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada negara. Paham
inilah yang mendasari argumen Supomo.
Sebaliknya,
mengapa
Hatta
dan
Yamin
bersikeras
menuntut
R.M.A.B.Kusuma. Sebagaimana dikutip dalam Rona K.Smith et al, Hukum Hak Asasi
Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII),
Yogyakarta,2008,hlm.238Sebagaimana dikutip dalam Rona K.Smith et al, Hukum Hak
Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM
UII), Yogyakarta,2008,hlm.238
61
argumen yang membela tidak dicantumkannya hak warga negara dalam UndangUndang Dasar. Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam
Undang-Undang Dasar seluas-luasnya, menolak segala alasan-alasan yang
dimajukan untuk tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan
dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan
kemerdekaan, yang
mengucapkan pidatonya pada sidang BPUPKI. Pendapat kedua pendiri bangsa ini
didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian, yang mengusulkan
perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers, onschendbaarheid van
92 Dikutip dari Pidato Hatta Tanggal 15 Juli 1945 di BPUPKI berdasarkan naskah yang
62
kekosongan
berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan lain
sebagainya, bisa masuk di dalam konstitusi tersebut, Kalau ditelusuri lebih
mendalam substansi nilai HAM ini jelas terkait dan mendasari seluruh
gerak perjuangan kemerdekaan. Seperti muncul secara dominan saat
perumusan Deklarasi Universal HAM ( Universal Declaration of Human
Rights) tahun 1948, primus interpares hak-hak asasi manusia adalah
dignity of man, kemuliaan manusia.97
Padanan kata Inggris dignity didalam bahasa Indonesia adalah derajat
atau yang lebih tepat adalah martabat. Martabat adalah sesuatu yang melekat
dalam diri manusia. Oleh sebab itu kalau kita perhatikan seluruh konvensi dan
atau kovenan internasional berikut protokolnya tampak bahwa seluruh hak-hak
yang masuk dalam hak asasi manusia terkait dan dirumuskan dalam kerangka
(melindungi, menghormati atau meninggikan) martabat manusia.
Masalah martabat dan inti kemuliaan manusia itu sudah dipikirkan sejak
abad ke 12, bahkan lebih subur lagi mulai abad ke 15 dan 16 dalam sejarah Eropa.
Tumbuh suburnya pemikiran ini terkait dengan absolutisme kekuasaan raja-raja
yang menindas dan sewenang-wenang. Kesepakatan internasional tentang HAM
yang termuat dalam DUHAM dicapai karena adanya keprihatinan bersama
mengenai terinjak-injaknya martabat manusia dalam dua kali perang dunia,
terutama dalam Perang Dunia II. Sebaliknya, terhina-dinakannya martabat
manusia Indonesia terkait dengan kejamnya penguasa kolonial yang dimulai abad
ke-15, justru pada saat di Eropa, negara asal para penjajah dunia ketiga, sedang
tumbuh pemikiran mengenai hak-hak alamiah manusia untuk memuliakan
manusia.
97 Adnan Buyung Nasution,Implementasi Perlindungan Hak Asasi
Manusia dan Supremasi Hukum, Dalam Seminar Pembangunan
Nasional VII/ Denpasar Bali 14-18 Juli 2003
65
66
Sejak itu dengan meminjam judul buku Tan Malaka, sejarah perjuangan bangsa
adalah tidak lain merupakan perjuangan menuju republik.
Dicapainya Proklamasi Kemerdekaan tanggall 17 Agustus 1945 dapat
dipandang sebagai puncak dari tumbuh-berkembangnya cita-cita bangsa tersebut.
Para pendiri bangsa itu sendiri, menandai peristiwa monumental itu sebagai pintu
gerbang bagi proses pemerdekaan bangsa Indonesia. Mengacu kepada pikiran
Bung Karno,proses pemerdekaan ini mencakup kedalam maupun keluar.
Pemerdekaan kedalam mengandung arti sebagai proses pemerdekaan rakyat
Indonesia dalam rangka memanusiakan setiap individu manusia Indonesia agar
menjadi manusia yang sederajat dengan manusia-manusia dari bangsa lain. Proses
memerdekakan manusia Indonesia dimaksudkan agar setiap orang
Indonesia,
apapun suku bangsa, agama, keturunan, ras, warna kulit ataupun latar belakang
sosial dan budayanya, semuanya harus dipandang, diakui dan dihormati sama
kedudukan dan martabatnya. Dengan lain perkataan proses pemerdekaan manusia
Indonesia adalah upaya untuk membebaskan rakyat Indonesia dari segala bentuk
penindasan penghinaan dan pelecehan dari siapapun atau oleh siapapun, tidak
terkecuali diri pemerintah negaranya sendiri sehingga mereka menjadi tuan di
negaranya sendiri yang dihormati oleh semua orang.
Pemerdekaan keluar berarti proses peningkatan harga diri bangsa
Indonesia dalam pergaulan Internasional melalui berbagai upaya diplomatik,
sehingga diterima sebagai bangsa bermartabat dan masuk dalam jajaran bangsabangsa beradab didunia. Upaya-upaya untuk mewujudkan kesederajatan sebagai
sebuah bangsa ini penting dilakukan agar bangsa Indonesia diterima dan
67
68
segala konstitusi yang telah berhasil memasukkan hak asasi manusia itu ke dalam
Konstitusi 98
Dalam masa pemberlakuan UUDS, krisis yang terjadi sepanjang tahun
1950-1959, melakukan pembentukan pengganti UUDS. Setelah melalui Dekrit
Presiden 1959, Soekarno yang saat itu kecewa dengan hasil sidang Dewan
Konstituante, memberlakukan kembali UUD 1945 dan menyatakan adanya
Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy), dengan jalan yang sesungguhnya
inkonstitutional. Pemberlakukan kembali UUD 1945 yang diharapkan
memberikan proses demokratisasi dan penopang jaminan hak-hak asasi manusia,
sangat berat dilakukan, karena banyak sekali praktek penyalahgunaan kekuasaan
yang justru diawali dari sang pemimpin itu sendiri.
Uraian di atas, ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian sebagai catatan
perkembangan hak-hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia. Pertama, bahwa
senyatanya pengaturan hak asasi manusia dalam UUD yang dibuat tahun 1945
memang dibuat sangat cepat untuk memanfaatkan momentum kemerdekaan,
sehingga hanya hak-hak tertentu yang menurut pembentuk/perumus UUD 1945
penting dimasukkan, atau dalam arti lain belum semua hak tercantum dalam
pasal-pasalnya. Ini adalah suatu kewajaran alias kelaziman, bahwa tiada negara
yang baru lahir bisa menghasilkan kesempurnaan hukum-hukum yang mengatur,
jadi pastilah terjadi kekurangan di sana-sini. Ini pulalah yang nampak terjadi
dalam pasal-pasal tentang hak-hak asasi manusia dalam UUD yang dibuat tahun
1945. Kedua, bahwa pengaturan hak-hak asasi manusia, bila dibandingkan dan
98 Koentjoro Poerbopranoto,Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila
Dasar Negara Republik Indonesia,Groningen.J.B
Wolters,Jakarta,1953,hlm.92.
69
dipersandingkan dengan yang dimiliki Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 yang
jauh lebih lengkap, adalah sangat wajar. Kedua konstitusi terakhir ini diyakini
lebih dipengaruhi oleh diskursus hak-hak asasi manusia yang mendunia pasca
ditetapkannya Universal Declaration of Human Rights 1948 oleh United Nations
(Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia/DUHAM 1948, Perserikatan BangsaBangsa/PBB). Hal ini pula sangat dimungkinkan oleh suasana politik
internasional saat itu, yang mana isu tuntutan jaminan hak asasi manusia memang
sangat mengemuka di negara manapun sebagai upaya mengakhiri perang dunia
ke-2. Oleh sebab itu, pandangan hak asasi manusia yang lebih liberal cukup
kelihatan dalam dua konstitusi tertulis di Indonesia tersebut (1949-1950). Ketiga,
bahwa konstitusi yang kurang atau belum lengkap mewadahi pasal-pasal tentang
hak-hak asasi manusia, sangat berpotensi membuka ruang tafsir penguasa untuk
melindungi kepentingan-kepentingannya dibandingkan perlindungan hak-hak
rakyatnya.
Pasca amandemen UUD 1945, tujuan negara yang termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945, tetap tidak mengalami pengubahan dalam amandemen IIV yang dilakukan sejak tahun 1999-2002. Artinya, meskipun pasal-pasal atau
dulu disebut batang tubuh UUD 1945 mengalami banyak perubahan, bahwa
konsepsi tujuan negara tersebut tetap dipergunakan sebagai landasan setiap
penyelenggaran kehidupan negara dan bangsa Indonesia. Tetapi, dalam pasalpasalnya, pengaturan hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945
pasca amandemen mengalami banyak sekali perubahan dan tambahan, yang
70
diwujudkan
dengan
dikeluarkannya
Ketetapan
MPR
Nomor
71
75
mendukung bagi
perkembangan hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode. Presiden B.J.
Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum proses
amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan Rancangan
Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas.
Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama
dan pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan
undang-undang tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
memuat pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin
di dalamnya mencakup mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik,
hak-hak ekonomi,sosial dan budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak
kelompok seperti anak,perempuan dan masyarakat adat (indigenous people).
76
77
dibentuk paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah berlakunya
undang-undang tersebut (Bab IX).
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana status Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 ini setelah keluarnya Amandemen Kedua tentang Hak
Asasi Manusia? Apakah tetap berlaku atau tidak? Kaidah ketentuan yang baru
menghapus ketentuan yang lama jelas tidak dapat diterapkan di sini. Kaidah
tersebut hanya berlaku untuk norma yang setingkat. Karena kedudukan kedua
ketentuan tersebut tidak setingkat, dan sejalan dengan stuffenbau theorie des
rechts (hierarchy of norm theory), normakonstitusi lebih tinggi daripada undangundang. Maka Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 itu tetap berlaku dan dapat
dipandang sebagai ketentuan organik dari ketentuan hak asasi manusia yang
terdapat pada amandemen kedua.
Sampai saat ini Indonesia baru meratifikasi 8 (delapan) instrumen
internasional hak asasi manusia dari 25 (dua puluh lima) instrumen internasional
pokok hak asasi manusia. Delapan instrumen internasional hak asasi manusia
yang diratifikasi itu meliputi: (i) Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Politik
Perempuan; (ii) Konvensi Internasional tentang Hak Anak; (iii) Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan; (iv) Konvensi Internasional tentang Anti Apartheid di Bidang Olah
Raga; (v) Konvensi Internasional tentang (Anti?) Menentang Penyiksaan; (vi)
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial;
(vii) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik; dan (viii) Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
78
79
sebagai salah satu unsur yang harus terdapat di dalamnya. Hak asasi manusia di
Indonesia terus berkembang sejak Undang-Undang dasar 1945, Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Serikat, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 hingga
Undang-Undang 1945 Amandemen, yang tentunya berkembang sesua dengan
kondisi yang terjadi ketika Undang-Undang Dasar itu berlaku, tetapi pengaturan
hak asasi manusia
Declaration of Human
103 Chandra Muzaffar, Hak Asasi Manusia dalam Tata Dunia baru,
Menggugat Dominasi Global Barat, bandung,Mizan,1993,hlm.21.
.Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang Perdana Wiratraman,
Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005.
81
hidup damai dalam keberagaman yang bisa menghargai satu dengan yang lainnya,
serta membangun toleransi sesama manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pluralisme sosial, termasuk di dalamnya keragaman budaya dan hukum-hukum
lokal, menjadi identitas peradaban tertentu yang sangat berharga dalam
mengemban amanat saling menjaga dan mendorong upaya kebersamaan untuk
hidup berdampingan, khususnya manusia sebagai sesama makhluk ciptaan Allah.
Penghormatan terhadap manusia, bukanlah sekedar pekerjaan individual manusia,
tetapi juga dalam kolektiva-kolektiva lebih luas seperti dalam kehidupan
masyarakat maupun bernegara. Sehingga kewajiban untuk menghormati manusia
sebagai manusia tersebut merupakan tanggungjawab hak-hak asasi manusia. Oleh
sebabnya, dengan adanya prinsip ini maka tidak mungkin praktik yang
memperkenankan
siapapun
untuk
melakukan
eksploitasi,
memperbudak,
menyiksa, ataupun bahkan membunuh hak-hak hidup manusia. Dalam prinsip ini
setiap orang harus menghargai manusia tanpa membeda-bedakan umur, budaya,
keyakinan,
etnisitas,
ras,
gender, orientasi
seksual,
bahasa,
komunitas
yang
ketiga,
non-diskriminasi.
Prinsip
non-diskriminasi
82
merendahkan martabat atau harga diri komunitas tertentu, dan bila dilanggar akan
melahirkan pertentangan dan ketidakadilan di dalam kehidupan manusia.
Prinsip yang keempat, equality atau persamaan. Prinsip ini bersentuhan
atau sangat dekat dengan prinsip non-diskriminasi. Konsep persamaan
menegaskan pemahaman tentang penghormatan untuk martabat yang melekat
pada setiap manusia. Hal ini terjelaskan dalam pasal 1 DUHAM 1948, sebagai
prinsip hak-hak asasi manusia: Setiap orang dilahirkan merdeka dan mempunyai
martabat serta hak-hak yang sama. Konsekuensi pemenuhan persamaan hak-hak
juga menyangkut kebutuhan dasar seseorang tidak boleh dikecualikan. Persamaan,
merupakan hak yang dimiliki setiap orang dengan kewajiban yang sama pula
antara yang satu dengan yang lain untuk menghormatinya. Salah satu hal penting
dalam negara hukum, adalah persamaan di muka hukum, merupakan hak untuk
memperoleh keadilan dalam bentuk perlakuan dalam proses peradilan.
Prinsip yang kelima, indivisibility. Suatu hak tidak bisa dipisah-pisahkan
antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini terkait dengan pandangan yang
menyesatkan tentang membeda-bedakan atau pengutamaan hak-hak tertentu
dibandingkan hak-hak lain. Hak sipil dan politik, sangat tidak mungkin dipisahkan
dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya, karena keduanya satu kesatuan, tidak
bisa dilepaskan satu dengan yang lainnya.
Prinsip yang keenam, inalienability. Pemahaman prinsip atas hak yang
tidak bisa dipindahkan, tidak bisa dirampas atau dipertukarkan dengan hal
tertentu, agar hak-hak tersebut bisa dikecualikan. Misalnya, hak pilih dalam
pemilu, tidak bisa dihilangkan hanya dengan dibeli oleh orang yang mampu dan
83
kemudian menggantikan posisi hak pilih. Atau juga hak atas kehidupan yang
layak, tidak bisa dipertukarkan dengan perbudakan, meskipun dibayar atau
diupahi. Manusia sebagai makhluk yang memiliki hak-hak asasi tidak bisa
dilepaskan dari hak-hak tersebut.
Prinsip yang ketujuh, interdependency (saling ketergantungan). Prinsip ini
juga sangat dekat dengan prinsip indivisibility, dimana setiap hak-hak yang
dimiliki setiap orang itu tergantung dengan hak-hak asasi manusia lainnya dalam
ruang atau lingkungan manapun, di sekolah, di pasar, di rumah sakit, di hutan,
desa maupun perkotaan. Misalnya, kemiskinan, dimana dalam situasi tidak
terpenuhinya hak atas pendidikan, juga sangat bergantung pada penyediaan hakhak atas pangan atau bebas dari rasa kelaparan, atau juga hak atas kesehatan yang
layak, dan hak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak. Artinya, hak yang satu
dengan yang lainnya sangat tergantung dengan pemenuhan atau perlindungan hak
lainnya.
Prinsip yang kedelapan, tanggung jawab (responsibility). Prinsip
pertanggungjawaban hak-hak asasi manusia ini menegaskan bahwa perlunya
mengambil langkah atau tindakan tertentu untuk menghormati, melindungi dan
memenuhi hak-hak asasi manusia, serta menegaskan kewajiban-kewajiban paling
minimum dengan memaksimalkan sumberdaya yang ada untuk memajukannya.
Pertanggungjawaban ini menekankan peran negara, sebagai bagian dari organ
politik kekuasaan yang harus memberikan perlindungan terhadap warga
negaranya. Termasuk mempertanggungjawabkan setiap langkah atau tindakan
yang diambil sebagai kebijakan tertentu dan memiliki pengaruh terhadap
84
kelangsungan hak-hak rakyat. Peran negara menjadi vital, bukan soal mengambil
tindakan
tertentu
(by
commission),
tetapi
negara
juga
bisa
dimintai
hak-hak
asasi
manusia,
baik
terhadap
tekstualitas
maupun
Sedangkan pasal
konsepsi
baik
dalam
pembentukan
sarana-sarana
kelembagaan
yang
86
instrumentasi hukum hak asasi manusia internasional, yakni pasal 2 ayat (1)
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966
(selanjutnya
Konsepsi achieving progressively the full realization dan by all
appropriate means including particularly the adoption of legislative
measures, merupakan konsepsi yang hampir sama dengan konstruksi
hukum yang diatur dalam pasal 28I ayat (4) dan (5) UUD 1945. Dalam
UU HAM, juga sama dengan kontruksi hukum yang ada dalam UUD
1945, yakni mendayagunakan kewenangan dan sarana-sarana hukum, baik
pembentukan lembaga dan hukum baru, review perundang-undangan atau
kebijakan, atau juga ratifikasi aturan hukum internasional.105
Secara konsepsional, tanggung jawab negara yang dimiliki dalam UUD
1945 pasca amandemen dengan hukum HAM internasional masih kurang lengkap,
sehingga faktor ini pulalah yang menyebabkan banyak permasalahan HAM. Oleh
sebab itu, kegagalan negara dalam mewujudkan hak-hak asasi manusia
sesungguhnya telah dimulai dalam kerangka hukum normatifnya dalam konstitusi
yang lemah dan tidak lengkap.
Salah
satu
pemahaman
(dari
banyak
varian
konsep)
terhadap
sebagai tindak kriminal maka akan diselesaikan melalui proses peradilan umum.
Dalam perspektif perlindungan publik atas kebijakan atau keputusan administratif
pemerintah, maka perlindungan hak asasi manusia bisa diselesaikan melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara. Ketiga lembaga peradilan tersebut merupakan
sarana perlindungan hak-hak asasi manusia yang dikenal dalam konteks sistem
ketatanegaraan di Indonesia.
lembaga non-peradilan yang dibentuk pemerintah untuk melakukan upaya
perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia, antara lain Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas
Anak), dan Komisi Ombudsman Nasional. Kelembagaan non-peradilan yang juga
terkait langsung dengan upaya perlindungan hak asasi manusia secara koordinatif
membangun komunikasinya dengan lembaga atau departemen pemerintah
lainnya, termasuk institusi kepolisian dan TNI.108
Meskipun demikian, pandangan terhadap sarana-sarana perlindungan hak
asasi manusia tidak bisa dikerdilkan hanya pada lembaga peradilan dan lembaga
non-peradilan yang disebutkan di atas, tetapi haruslah lintas departemen, dan
menjadi tanggung jawab seluruh jajaran pemerintahan mulai dari Presiden hingga
unit pemerintahan terkecil di bawah tanpa terkecuali. Bahkan bilamana diperlukan
sarana-sarana tersebut membuka terhadap kerjasama internasional untuk
mendukung upaya perlindungan hak-hak asasi manusia, sehingga permasalahan
pelanggaran HAM akan dapat tercegah dan diselesaikan secara komprehensif,
108 Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab
Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika
Vol. 20.No 1 Januari 2005.
90
91
110 Attamimi ( 1990 : 50-64), dalam Satjipto Rahardjo, Manusia Indonesia dalam
Hukum Indonesia, diambil dari Kumpulan Tulisan,Sisi-Sisi Lain dari dari Hukum di
Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Desember 2003,hlm. 39. .Sebagaimana
dikutip dalam R Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari
2005.
111 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI), Jakarta, 1988,hlm.175.
93
demikian luas bagi studi-studi ketatanegaraan yang bisa dikembangkan lebih jauh,
yang perkembangannya sejalan dan berdampingan dengan dinamika sosial
politiknya.
Bagaimanapun, pengaturan selengkap mungkin dan pokok-pokok hak-hak
asasi manusia diperlukan sebagai dasar perlindungan rakyat secara menyeluruh,
karena pergulatan pemikiran yang baik dan dipenuhi optimisme (sebagaimana
tergambar oleh fikiran salah satu pendiri bangsa, Drs. Soekarno, dalam merespon
UUD Tahun 1945) tidak selalu berbanding lurus dengan komitmen politik yang
baik dari generasi rezim yang satu ke rezim berikutnya.
Sebagaimana dikatakan oleh Daniel S Lev, bahwa perlulah diingat tanpa
harus mengatakan apa yang biasanya memang tak pernah dikatakan, bahwa
konstitusionalisme bukanlah suatu solusi yang jelas bagi banyak masalah serius
yang mendesak yang dihadapi oleh umat manusia. Konstitusionalisme tidak bisa
menghapuskan masalah kemiskinan ekonomi, atau diskriminasi sosial, atau
penyalahgunaan
kekuasaan
politik,
begitu
juga
tidak
bisa
mengatasi
yakni
soal
kewajiban
bertindak
dan
kewajiban
95
untuk
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Alinea ini mengungkapkan suatu dalil obyektif yang meyakini bahwa
penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh
karenanya penjajahan harus ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa
di dunia ini dapat menjalankan kemerdekaannya yang merupakan hak
asasi kolektifnya. Selain itu, alinea ini mengandung pernyataan subyektf,
yaitu sebagai wujd dai aspirasi bangsa Indonesia sendiri untuk
membebaskan diri dari penjajahan.Hal ini berarti bahwa setiap hak atau
sifat yan bertentangan atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan juga harus secara sadar ditentang oleh bangsa Indonesia.114
Apa yang disampaikan oleh Bagir Manan di atas tentunya sifat yang
bertentangan atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan
merupakan sesuatu yang secara universal dapat diterima sebagai suatu hak asasi
manusia yang bersifat universal. Alinea ke-4 dari Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi :
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
Tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah Kemerdekaan,Kebangsaan, Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berdasarkan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pembukaan alinea keempat menunjuka penghormatan terhadap HAM
yang tersurat dalam sila-sila dari Pancasilan yang ada dasarnya menunjukan
bahwa nilai-nilai partikular yang dianut oleh bangsa indonesia sejalan dengan
Undang dasar 1945 Indonesia juga memiliki Piagam Hak Asasi Manusia yang
terdapat dalam TAP MPR No XVII Tahun 1998 serta Undang-Undang No 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam pandangan penulis dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999,
sekalipun dalam Bab III mengenai Hak Asasi Manusia dan Kebebasan dasar
98
Manusia, tetapi pada Bab II, yang berisikan Azaz-Azaz Dasar, menurut pandangan
Penulis juga berisikan apa saja Hak Asasi Manusia, yang semakin menunjukan
pentingnya Hak Asasi Manusia dalam negara hukum.
HAM
sebagai
bagian
dari
hukum
internasional
pada
saat
Article 55
With a view to the creation of conditions of stability and well-being
which are necessary for peaceful and friendly relations among nations
based on respect for the principle of equal rights and self-determination
of peoples, the United Nations shall promote:
a. higher standards of living, full employment, and conditions of
economic and social progress and development;
b. solutions of international economic, social, health, and related
problems;
c. international cultural and educational co-operation; and
d. universal respect for, and observance of, human rights and
fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex,
language, or religion.117
Article 56
All Members pledge themselves to take joint and separate action in cooperation with the Organization for the achievement of the purposes set
forth in Article 55;118
Artinya:
Pasal 55
Dengan maksud terciptanya stabilitas dan keamanan yang diperlukan untuk
hubungan yang damai antar negara berdasarkan pronsop-prinsip persamaan hak
dan hak menentukan nasib sendiri, PBB harus mendukung:
a. Standar kehidupan yang lebih tinggi, pekerjaan, serta kondisi ekonomi dan
kemajuan sosial serta pembangunan;
b. Solusi atas masalah ekonomi internasional, sosial dan kesehatan;
c. Kerjasama budaya dan pendidikan; dan
d. Penghargaan universal dan pengamatan terhadap hak asasi manusia dan
kebebasan fundamental tanpa membedakan ras, kelamin, bahasa atau
agama.
Pasal 56
Seluruh Anggota berikrar untuk berpartisipasi dan mengambil tindakan
bekerjasama dengan Organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55.
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human
rights) yang merupakan kejahatan internasional, maka prinsip-prinsip dan
pedoman yang tercantum dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to A
Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human
117 Article 55 United Nations Charter
118 Artice 56 United nation Charter
101
Artinya:
Pasal 15 menyebutkan:
Reparasi yang cukup, efektif dan segera ditujukan untuk mendorong
keadilan dengan memulihkan pelanggaran berat atas hukum hak asasi
manusia internasional atau pelanggaran serius atas hukum humaniter
internasional. Reparasi harus dibuat proporsional antara pelanggaran dan
penderitaan yang dialami. Sesuai dengan hukum nasionalnya dan
kewajiban hukum internasional, sebuah Negara harus memberikan reparasi
kepada korban atas tindakan atau penghilangan tindakan yang dapat
dipertanggungjawabkan Negara dan mengandung pelanggaran berat atas
hukum hak asasi manusia internasional atau pelanggaran serius atas
hukum humaniter internasional. Dalam kasus dimana seseorang, subyek
hukum, atau entitas lainnya bertanggung jawab atas reparasi kepada
seorang korban, pihak tersebut harus memberikan reparasi kepada korban
atau memberi kompensasi kepada Negara jika Negara telah memberikan
reparasi kepada korban tersebut.
Pasal 17:
States shall, with respect to claims by victims, enforce domestic
judgements for reparation against individuals or entities liable for the
harm suffered and endeavour to enforce valid foreign legal judgements for
reparation in accordance with domestic law and international legal
obligations. To that end, States should provide under their domestic laws
effective mechanisms for the enforcement of reparation judgements.122
Artinya:
Pasal 17 menyebutkan:
Terkait dengan klaim oleh para korban, Negara-negara harus
melaksanakan putusan-putusan domestik untuk reparasi terhadap individu
atau entitas yang bertanggung jawab atas penderitaan yang dialami and
berupaya untuk melaksanakan putusan hukum asing yang sah untuk
reparasi sesuai dengan hukum domestik dan kewajiban hukum
internasional. Untuk tujuan tersebut, Negara harus mengatur dalam hukum
domestiknya mengenai mekanisme yang efektif untuk pelaksanaan
putusan reparasi.
Penerapan dan interpretasi atas Prinsip-prinsip dan Pedoman-pedoman ini
harus konsisten dengan hukum hak asasi manusia internasional dan hukum
humaniter internasional serta tanpa diskriminasi atau alasan apapun, tanpa
pengecualian. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 25 Basic Principles and
122 Article 17 Basic Principles and Guidelines on the Right to A
Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International
Human Rights Law and Serious Violations
104
lainnya terhadap setiap tindakan diskriminasi rasial yang melanggar hakhak asasi manusia dan kebebasan mendasarnya yang bertentangan
dengan Konvensi ini, serta hak atas ganti rugi yang memadai atau
memuaskan dari pengadilan tersebut atas segala bentuk kerugian yang
diderita akibat perlakuan diskriminasi itu126.
Penjelasan UU No. 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi
Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi Rasial dinyatakan, negara pihak juga
harus menjamin perlindungan dan perbaikan yang efektif bagi setiap orang yang
berada di bawah yuridiksinya terhadap setiap tindakan diskriminasi rasial serta
hak atas ganti rugi yang memadai dan memuaskan atas segala bentuk kerugian
yang diderita akibat perlakuan diskriminasi.
Pasal 39 Konvensi Hak Anak menyebutkan : Negara-negara pihak
harus mengambil semua langkah yang tepat untuk meningkatkan
penyembuhan fisik dan psikologis dan integrasi kembali sosial seorang
anak yang menjadi korban bentuk penelantaran apa pun, 127. Melalui
ratifikasi konvensi internasional di atas, secara otomatis negara
Indonesia telah mengakui hak atas pemulihan dan kewajiban negara
memberikan pemulihan. Dengan demikian, hak atas pemulihan (right to
reparation), yang terdiri dari kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
adalah hak yang melekat pada korban. Dalam hal ini, Negara
berkewajiban untuk memberikan pemulihan kepada korban pelanggaran
hak asasi manusia yang berat tanpa ada kaitannya apakah pelakunya
diberikan amnesti atau tidak. Bahkan tidak bergantung pula pada apakah
pelakunya dapat ditemukan atau tidak, hal ini sejalan dengan Basic
Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for
Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and
Serious Violations of International Humanitarian Law, C.H.R. Res.
2005/35, dikatakan bahwa Seseorang dipandang sebagai korban tanpa
bergantung pada apakah pelakunya teridentifikasi, ditahan, dituntut,
ataupun dinyatakan bersalah : (Pasal 9). Berikut bunyi teks asli
pasal tersebut:
A person shall be considered a victim regardless of whether the
perpetrator of the violation is identified, apprehended, prosecuted, or
109
[a]ny human rights violation gives rise to a right to reparation on the part
of the victim or his or her beneficiaries, implying a duty on the part of the
State to make reparation...130
Artinya:
pelanggaran hak asasi manusia apapun memberikan hak untuk reparasi
di sisi korban atau ahli warisnya, yang menyiratkan kewajiban pada sisi
Negara untuk membuat reparasi
dalam melaksanakan hak ini, mereka harus diberikan perlindungan
terhadap intimidasi dan kekerasan.
Amnesti tidak dapat disetujui untuk pelaku pelanggaran sebelum para
korban memperoleh keadilan dengan cara pemulihan yang efektif. Amnesti tidak
boleh memiliki efek hukum terhadap persidangan apapun yang diajukan korban
terkait hak atas reparasi,tidak boleh mengambil keuntungan dari hukum amnesty
khusus atau tindakan sejenis yang mungkin memiliki efek membebaskan mereka
dari persidangan pidana atau sanksi.
Beberapa Negara telah memberikan amnesty terkait tindakan penyiksaan.
Amnesti
secara
kewajiban
Negara untuk
130 Prinsip 31, the Updated Set of Principles for the Protectionand
Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity
tersebut mengenai the Right and Duties Arising Out of the Obligation
to Make Reparation,
110
131 Prinsip 32, the Updated Set of Principles for the Protectionand
Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity
tersebut mengenai the Right and Duties Arising Out of the Obligation
to Make Reparation,
111
115
b
c
Artinya;
Prinsip 24:
Walaupun bertujuan untuk membangun kondisi yang kondusif terhadap
perjanjian perdamaian atau untuk melindungi rekonsiliasi nasional,
amnesti dan tindakan pengampunan lainnya harus dijaga dalam batasanbatasan sebagai berikut:
(a) Pelaku kejahatan serius dalam hukum internasional tidak boleh
mendapatkan keuntukan dari tindakan tersebut sampai ketika Negara telah
memenuhi kewajibannya sesuai prinsip 19 atau pelaku telah dituntut di
pengadilan dengan yurisdiksi apakah internasional, yang
diinternasionalisasi atau nasional di luar Negara tersebut;
(b) Amnesti dan tindakan pengampunan lainnya tidak boleh mempengaruhi
hak korban atas reparasi, sesuai prinsip 31 sampai 34, dan tidak boleh
menyimpang dari hak untuk mengetahui;
(c) Sepanjang diinterpretasikan sebagai pengakuan atas kesalahan, amnesti
tidak boleh diberikan pada individu yang dituntut atau dihukum karena
tindakan terkait dengan pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat dan
ekspresi. Ketika mereka melaksanakan hak yang sah ini, sebagaimana
dijamin oleh Pasal 18 sampai 20 dari Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia dan pasal 18, 19, 21 dan 22 International Covenant on Civil and
Political Rights, hukum harus mempertimbangkan keputusan lainnya yang
136 Prinsip 24,Updated Set of Principles for the Protection and
Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity
(E/CN.4/2005/102/Add.1)
116
118
119
jurisdiction bagi tindak penyiksaan. Dengan melekatnya norma jus cogens ini
maka pelakunya dinyatakan sebagai hostis humanis generis atau musuh segala
umat manusia, serta menjadi kewajiban negara untuk melakukan penuntutan
(obligatio erga omnes).
Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Tahun 2004
telah gagal untuk memenuhi tugas Indonesia sebagai Negara dan gagal untuk
menghormati hak dari korban, keluarga dan juga masyarakat Indonesia
berdasarkan Hukum HAM Internasional. Hal ini ada 3 (tiga) cara:
1. Telah gagal menginvestigasi dan mengemukakan
Kasus manapun yang sehubungan
kebenaran tentang
120
mengetahui tentang kebenaran, serta memiliki hak untuk keadilan di dalam bentuk
penuntutan dan juga penghukuman terhadap pelaku. Selain itu investigasi
diharuskan untuk tuntas, efektif, dan bisa teridentifikasi.
Ruang lingkup dari pemulihan yang efektif itu harus termasuk di dalamnya
tidak saja hanya akses keadilan, tetapi harus meliputi 5 (lima) elemen:
1.
Restitusi, yaitu merupakan restitusi dari hak milik atau juga nama baik
dari si Korban;
2.
3.
4.
5. Jaminan, bahwa ini tidak akan terulang lagi atau non repetisi.
Pelanggaran umum yang ada di dalam Undang-Undang ini adalah masalah
penuntutan dan juga penghukuman.
121
terlepas dari apakah pelakunya ditemukan atau tidak dan Negara berkewajiban
untuk memenuhi hak korban tersebut.
C. Hak Asasi Manusia dan Hukum Pembangunan
Berbicara mengenai Pembangunan Hukum tidak dapat melepaskan diri
dari Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1973 bidang hukum, yang isinya
bahwa hukum tidak boleh menghambat proses modernisasi, dan Garis-Garis
Besar Haluan Negara tahun 1983 Bidang Hukum yang isinya antara lain bahwa
hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum tidaklah semata-mata
merupakan gejala normatif, tetapi juga merupakan gekala sosial, karena itu hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat ( living law ) .138Dalam suatu masyarakat yang berkembang, hukum
berfungsi sebagai sarana pembangunan ( Law as a tool of Social Engineering),
pengertiannya adalah sebagai berikut : (1) keteraturan atau ketertiban dalam
usaha pembangunan atau pembaharuan merupakan sesuatu yang diinginkan atau
bahkan dipandang perlu;(2) hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum bisa
berfungsi sebagai alat ( pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur
ke arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan
pembaharuan.
139
untuk Mewujudkan
mengatur
dalam Amandemen
126
Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang dikenal di Indonesia ini. 148 sebenamya
merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari "Criminal Justice System", yang
untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam
Criminal Justice Science dikarenakan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja
aparatur penegak hukum dan institusi penegakan hukum yang dibuktikan dengan
meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Dimana
pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum adalah pendekatan
hukum dan ketertiban (law and order approach) sedangkan penegakan hukum
dalam konteks pendekatannya dikenal dengan istilah law enforcement),149 yang
mengedepankan aspek hukum dalam melakukan penanggulangan kejahatan
dengan kepolisian sebagai pendukung utama. Artinya, efektivitas dan efisiensi
kerja
organisasi
kepolisian
sangat
menentukan
berhasil
atau
tidaknya
Dalam perkembangan kurun waktu akhir tahun 1960-an dan awal 1970,
criminal justice sebagai disiplin studi tersendiri telah menggeser posisi law
enforcement atau police studies, yang di Amerika Serikat dan di beberapa negara
Eropa menjadi model yang dominan dengan menitik beratkan pada the
administration of justice dan memberikan perhatian yang sama terhadap semua
komponen dalam penegakan hukum.
Dalam perkembangannya,
Sistem Peradilan
Pidana di indonesia
Sistem ini dianggap berhasil apabila pelaku kejahatan yang dilaporkan dan
dikeluhkan masyarakat dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan
ke muka pengadilan dan menerima pidana. Juga yang termasuk bagian tugas
sistem ini adalah:
(1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
(2) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
(3) Berusaha agar mereka yang pemah melakukan kejahatan tidak
rnengulangi lagi perbuatannya.154
Pemahaman tentang Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)
dapat dilihat dari elemen kata yang melekat di dalam Sistem Peradilan Pidana
(SPP) tersebut : Sistem, berarti suatu susunan atau jaringan, sebagai suatu susunan
ataupun jaringan tentunya pada sistem terdapat komponen-komponen yang
merupakan bagian atau sub-sub yang kemudian menyatu membentuk sistem.
Makna susunan ataupun jaringan tersebut dapat dikemukakan adanya suatu
keteraturan dan penataan yang hierarkhis dan sistimatis pada suatu sistem.
Samodra Wibawa, mengemukakan tentang sistem ini bahwa:sistem
merupakan hubungan antara beberapa unsur dimana unsur yang satu tergantung
kepada unsur yang lain. Bila salah satu unsur hilang, maka sistem tidak dapat
berfungsi.155
156 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
Alumni Bandung, 1993, hlm.437
157 Romli Atmasasmita System Peradilan Pidana Perspektif
Processes),
seperti
kepolisian,
kejaksaan
dan
pengadilan
dan
pemasyarakatan.
Menurut Romli Atmasasmita165 atas uraian tersebut terlihat aspek
penegakan hukumnya kurang menyentuh, oleh karena itu apabila SPP diartikan
sebagai alat penegakan hukum atau law Enforcement, maka di dalamnya harus
mengandung aspek hukum yang menitik beratkan kepada operasionalisasi
peraturan perundang-undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan untuk
mencapai adanya suatu kepastian hukum. Di Indonesia implementasi pengaturan
SPP ini, di samping didasarkan kepada peraturan peraturan yang merupakan
produk nasional166 juga didasarkan kepada peraturan-peraturan internasional yang
telah diratifikasi.167
BAB III
KONSEP HAK ASASI MANUSIA UNIVERSAL DAN KONSEP HAK
ASASI MANUSIA PARTIKULAR
Pasal 11
(1) Presiden dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyetakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(2) Presiden
dalam
membuat
perjanjian
internasional
lainnya
yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan
atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan
Perewakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan
undang-undang.
Pasal 20
(1) Dewan
undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan Undang-Undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut
ttidak disahkan oleh Presiden dalam waktu
139
Dengan melihat
mengesahkan perjanjian
Covenant and Civil and Political Rights. Demikian juga bagaimana melihat
hubungan antara Indonesia dengan Statuta Roma dikarenakan Indonesia tidak
meratifikasi Statuta Roma, dalam hal ini pentingnya pemahaman hubungan antara
hukum nasional dan hukum internasional.
Dalam kaitannya dengan hubungan antara hukum internasional dan hukum
nasional dikenal Teori Monisme, yaitu teori yang menyatakan bahwa hukum
internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek
hukum.172
Dalam hal ini berarti bahwa hukum internasional dan hukum nasional
merupakan satu kesatuan sistem hukum dimana hukum yang satu mendasari
hukum yang lain, dalam hal penelitian mengenai Konsep Hak Asasi Manusia dan
Implementasinya dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia dimana substansi hak
asasi manusia yang menjadi kerangka ilmunya, peneliti menggunakan Teori
Monisme dengan Primat Hukum Internasional dan Monisme dengan Primat
172 Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional ,Bina
Cipta, 1990hlm 42-43,
140
Hukum Nasional
hukum
nasional yang mendasari hukum internasional dalam hak asasi manusia, dan
apabila menggunakan monisme dengan primat hukum internasional maka hukum
internasional yang mendasari pengaturan hak asasi manusia dalam sistem hukum
nasional. Dengan demikian terdapat keterkaitan
142
penting itu, maka, Indonesia masuk dalam bagian dari sistem hukum
internasional HAM.
Selanjutnya, Pasal 2 dari kedua UU itu menyatakan, UU ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan. Oleh karena itu, dengan disahkannya kedua
konvensi internasional menjadi UU, maka dengan ini di Indonesia berlaku
selain UU no. 39/1999 tentang HAM, juga KIHESB (Kovenan
Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dan KIHSP
(Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik), yang sama-sama
merupakan UU yang bersifat induk atau lintas sektoral.
Jadi Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik merupakan Internasional
Bill of Rights yang bersifat induk atau lintas sektoral. Selain itu, kovenan
itu juga dipayungi oleh pasal-pasal HAM yang termuat di dalam UUD
1945.
Lalu bagaimana hubungan di antara kovenan itu dengan konstitusi?
Dalam teori hukum internasional, kita mengenal beberapa teori; pertama,
teori tentang dualisme. Teori tentang dualisme menegaskan bahwa
hukum internasional adalah hukum antar negara, sedangkan hukum
nasional berlaku dalam satu negara dan mengatur hubungan antar warga
negara dan warga negara dengan pemerintah.
Kedua, teori monisme. Teori ini berasal dari pemikiran Hans Kelsen yang
menegaskan supremasi hukum internasional atas hukum nasional. Hukum
internasional itu dilihat sebagai the best of available moderator of human
affairs dan juga sebagai kondisi yang logis dari eksistensi hukum negaranegara, dan karenanya, dia menjadi lebih utama dari hukum nasional.176
Dengan kata lain, hukum nasional itu bisa dikesampingkan bila
bertentangan dengan norma-norma hukum internasional atau bertentangan
dengan sistem hukum internasional. Walaupun teori ini sebenarnya
dibangun dari suatu konstruksi spekulasi intelektual, tetapi teori itu exist di
dalam literatur-literatur hukum internasional.
Ketiga, teori koordinasi, yang menyatakan bahwa dua sistem hukum,
yaitu sistem hukum internasional dan sistem hukum nasional itu tidak
berada dalam situasi konflik, karena dua sistem itu bekerja dalam
lingkungan yang berbeda. Masing-masing mempunyai supremasi di
lapangannya sendiri, tetapi memang dapat terjadi conflict of obligation
(konflik kewajiban).
Argumen dalam perspektif teori ini, bahwa ketidakmampuan negara untuk
bertindak sesuai dengan kewajiban internasionalnya, karena dengan kita
meratifikasi melalui UU dua kovenan internasional itu negara mempunyai
176 Abdul Hakim Garuda Nusantara http://www.komisihukum.go.id/newsletter.php?
143
dan
hukum
penghormatan terhadap
nasional,
khususnya
yang
berkaitan
dengan
Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan
Republik
Indonesia
Nomor
Asasi Manusia
berikut :
bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut
menghormati hak -hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi
Universal Hak -hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta
berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak -hak
asasi
manusia.179
Pada Bagian B mengenai Landasan dalam TAP MPR No XVII/MPR pada
butir 2 dengan tegas dituangkan pengakuan
Pada Piagam Hak asasi manusia Indonesia yang merupakan Bagian dari
TAP MPR NO XVII pada Pembukaan alinea keempat dikatakan :
Bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 telah mengeluarkan
Deklarasi Universal Hak asasi manusia (Universal Declaration of Human
Rights). Oleh Karena itu bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati ketentuan
dalam deklarasi tersebut.181
Dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 mengenai hak asasi manusia,
pada bagian menimbang pada butir d dikatakan:
bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengemban tanggungjawab moral dan hukum untuk menjungjung tinggi
dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak asasi manusia yang
ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrument
internasional lain yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.182
Hal senada juga terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang No 26 Tahun
2000 mengenai Pengadilan hak asasi manusia pada Bagian I Umum alinea 4
dikatakan :
Untuk melaksanakan amanat ketetapan MPR RI No XVII/MPR/ 1998
tentang Hak asasi manusia tersebut telah dibentuk Undang-Undang No 39
Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia. Pembentukan Undang-Undang
tersebut merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di samping hal tersebut, pembentukan
undang-undang tentang Hak asasi manusia juga mengandung suatu misi
mengemban tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan
melaksanakan Deklarasi Universal Hak asasi manusia yang ditetapkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrument
hukum lainnya yang mengatur hak asasi manusia yang telah disahkan dan
atau diterima oleh negara Republik Indonesia183
Universal, terlebih lagi dengan pengaturan Hak asasi manusia dalam UndangUndang Dasar 1945 yang juga menunjukkan pengakuan Hak asasi manusia yang
universal.
Konstitusi yang merupakan perwujudan ideologi bangsa, telah membatasi
kekuasaan pemerintah dan tidak sekadar memuat pelbagai rumusan bahasa yang
indah-indah, yang perumusannya sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang
berlaku pada bangsa tersebut.184
Tanggung jawab negara menurut hukum internasional timbul akibat dari
adanya pelanggaran terhadap hukum internasional, walaupun hukum nasional
mengganggap suatu perbuatan bukan merupakan pelanggaran hukum, namun
apabila hukum internasional menentukan sebaliknya maka negara harus tetap
bertanggungjawab.185
Dalam hal tanggungjawab terhadap norma hukum hak asasi manusia
Internasional negara pelaku tidak dapat lagi berlindung di balik kedaulatannya
untuk menghindari tanggungjawab kepada masyarakat internasional sebagaimana
dikatakan Hector Gros Espiel, The question of Human Rights is no longer the
preserve of the domestic jurisdiction of states, but is now recognized as being
184 Komisi Nasional Hak asasi manusia, Hak asasi manusia Dalam Perspektif Budaya
governed by
membicarakan
suatu pemahaman Konsep yang universal yang berarti suatu konsep yang bisa
diterima di semua tempat dan di semua waktu, atau dengan kata lain meskinya
dengan pemahaman konsep Universal dari hak asasi manusia, maka tidak akan
ada lagi pandangan yang berbeda mengenai hak asasi manusia karena konsepsi
hak asasi manusia yang universal berarti suatu pemahaman yang sama dalam
memandang hak asasi manusia.187
Hak asasi manusia dipandang sebagai suatu suatu standar Internasional
yang melintasi batas budaya dan merupakan sistem hukum internasioanl yang
berlaku dalam masyarakat negara.188 Melintasi batas budaya dalam hal ini
dimaksudkan bahwa seharusnya tidak ada lagi perbedaan dalam pengaturan dan
pelaksanaan hak
mempengaruhi berlakunya hak asasi manusia, karena Universalitas dari hak asasi
manusia.
186 Hestor Gross Espiell, Humanitarian Law and Human Rights,
dalam Januzy Symonides (editor), Human Rights: Concept and
Standards,Paris: UNESCO, 2000, hlm. 349
187 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Loc.Cit.
188 Sonia Haris Short, International Human Rights Law :
Imperialist,Inept and Ineffective?cultural Relativisme and the UN
Convention on the Rights of the child in Human Rights Quarterly, A
Comparative and International Journal of The Social Sciences,
Humanities, And Law, Volume 25 Number 1, February 2003, Hlm.131.
148
asasi
manusia yang berlaku di seluruh dunia. Dalam Websters Ninth New Collegiate
Dictionary, 191
150
yang
bahwa
pemerintah-pemerintah
hendaknya
menggabungkan
asasi
manusia.196
Muladi mengatakan sekalipun
hak
asasi manusia
memiliki sifat
kultural dan historis suatu bangsa atau masyarakat dalam penerapan hak asasi
manusia, nampak pada contoh sebagai berikut:
The Jakarta message (1992) butir 18 antara lain menegaskan bahwa No
country however, should use ist power to dictate its concept of democracy and
human rights or impose conditionalities on others.
Deklarasi Kuala Lumpur (1993) tentang hak asasi manusia yang
dirumuskan oleh ASEAN Inter Parliamentary Organization (AIPO) antara lain
menegaskan :
the people of ASEAN Accept that human rights exist in a dynamic and
volving context and that each country has inherent historical experiences,
and changing economic, social,political and cultural and value system
which should be taken into account.
Deklarasi Bangkok 1993 yang dirumuskan oleh negara-negara Asia yang
menyatakan bahwa:
196 Komisi Hak asasi manusia, Hak asasi manusia Dalam Perspektif Budaya, Makalah
153
asasi manusia
dalam peraturan
Barat, konsep hak asasi manusia dalam Perspektif Negara Maju, konsep hak
asasi manusia dalam Perspektif Negara Berkembang, yang kesemuanya itu pada
akhirnya membawa pembahasan pada universilitas dan partikularitas dari hak
asasi manusia.
Perdebatan mengenai universalitas dan relativitas selalu mengemuka apabila
berbicara mengenai hak asasi manusia.199 Satu hal yang juga harus dicatat bahwa
adalah salah satu hal yang dapat dipergunakan untuk menentukan persoalan
budaya dalam pemberlakuan hak asasi manusia, tetapi tidak dapat dikatakan
bahwa hak asasi manusia tidak sesuai untuk non barat dan ajaran-ajaran agama.200
Zehra F Kabaskal Arat, mengatakan bahwa dengan penerimaan masyarakat
internasional terhadap Universal Declaration of Human Rights
masyarakat
155
206 Final Declaration of the Regional Meeting For Asia of The World
Conference on Human Rights yang kemudian dikenal dengan Bangkok
Declaration 1993
207 Ibid
208 Ibid
209 Ibid
157
tertuang dalam
158
boleh dibatasi -- atas dasar kesepakatan, yang dicapai tanpa rasa keterpaksaan -oleh para warga itu sendir (atau oleh wakil atau kuasanya).
Kesepakatan seperti itu, yang dalam istilah teknisnya
kesepakatan
kontraktual, kemudian daripada itu harus dipositifkan dalam wujud kontrakkontrak perjanjian (manakala dalam kehidupan privat) atau akan berbentuk
undang-undang (manakala dalam kehidupan publik). Itulah suatu perkembangan
dalam kehidupan hukum,dari kehidupan dengan hukum yang tercipta oleh sumber
kekuasaan eksternal ke kehidupan baru dengan hukum yang tercipta oleh sumber
kekuasaan yang internal dari para manusia itu sendiri diidealkan seperti itu, maka
pada asasnya dan menurut doktrinnya hak-hak para warga yang asasi dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu juga pembatasannya dalan wujud
kewajiban-kewajiban -- mestilah berawal pula dari kesepakatan yang jujur dan
ikhlas. Tidaklah sekali-kali dibenarkan manakala hubungan atas dasar kesepakatan
itu terjadi karena suatu pemaksaan atau keterpaksaan, atau pula karena dikecoh
atau disesatkan lewat penipuan. Hak dan kewajiban yang menjadi dasar dari
seluruh tertib hukum di dalam kehidupan bernegara bangsa dan di dalam
kehidupan masyarakat warga itu tidaklah sekali-kali boleh bermula dari kehendak
sepihak yang dipaksakan : dipaksakan oleh dia yang tengah berkekuatan dan
berkekuasaan kepada dia yang tengah berada dalam posisi lemah dan kurang
berkeberdayaan Tatkala hak-hak asasi manusia dideklarasikan di New York atas
wibawa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948, deklarasi itu tak ayal lagi
adalah deklarasi yang pada dasarnya bertolak dari dan bertumpu pada ide, doktrin
159
dan seluruh ide dan doktrin yang mendasarinya itu juga bernilai universal Kalau
semula pada awalnya yang dimaksudkan dengan universalitas itu adalah
universalitas yang masih pada lingkup nasional, mengatasi partikularisme yang
lokal dan/atau etnik dan atau yang sektarian, kini yang dimaksudkan dengan
universalitas itu deklarasi itu secara resmi disebut The Universal Declaration of
Human Rights, dengan mengikutkan kata universal guna mengkualifikasi
deklarasi itu sebagai suatu pernyataan yang berkeniscayaan mesti berlaku umum
di negeri manapun, pada kurun masa yang manapun, untuk dan terhadap
sesiapapun dari bangsa manapun.Namun demikian, yang masih tetap akan
menjadi persoalan besar sampai pun saat ini ialah, apakah ide dan konsep dan
karena itu segala kebijakan dan upaya penegakan hak-hak asasi manusia di dalam
kehidupan yang telah berskala global itu harus bersifat demikian universalistik,
dalam artiannya yang mutlak? Ataukah, sekalipun deklarasi itu telah diterima oleh
banyak wakil negara bangsa di dunia ini, masihkah ada juga tempat untuk tafsirtafsir yang lebih bersifat partikularistik? Artinya, adakah hak-hak asasi manusia
itu harus ditegakkan kapan saja, di mana saja dalam pengertiannya yang sama
sebagaimana modelnya yang klasik dari Barat itu? Ataukah hak-hak asasi manusia
itu hanya bisa dipandang sebagai sesuatu yang
prinsipnya saja? Yang oleh sebab itu implementasinya -- demi pemajuan dan
160
pelaksanaan
penegakan hak-hak asasi manusia, namun dengan catatan sejauh hak-hak manusia
yang asasi itu tidak bertentangan dengan syariah Islam.Tentu saja statemenstatemen atau deklarasi-deklarasi yang selalu dinyatakan dalam rumusan-rumusan
umum itu dalam praktiknya yang konkrit nantinya masih menuntut penjabaran
lebih lanjut. Kesepakatan-kesepakatan, tidak hanya pada forum internasional akan
tetapi juga pada forum nasional itu sendiri, masih diperlukan. Banyak wacana
masih perlu dikembangkan orang untuk mempertanyakan dan menemukan jawab
mengenai luas-sempitnya hak-hak warga negara dalam eksistensinya sebagai
mahluk yang berkodrat dan bermartabat sebagai manusia.
210 Sutandyo wignjosubroto,Kursus Hak Asasi Manusia untuk
advokat,Elsam 2005,Hlm 18
161
normatifnya. Pada
prinsipnya, tak ayal lagi hak-hak asasi manusia itu tetap universal jugalah
sifatnya, sedangkan keragaman
terkesan masih sering bertahan pada saat ini -- hanyalah akibat pengalaman
cultural berbagai bangsa yang berbeda-beda dari masa lalu. Perbedaan tradisi yang
partikular dari suku ke suku dan dari bangsa ke bangsa tidaklah harus
menghalangi pengakuan bahwa pada prinsipnya hak-hak asasi manusia itu bersifat
kodrati dan universal.Lebih lanjut, bertolak dari kesepakatan Wina ini, orang
162
dapatlah menyimpulkan bahwa hanya dalam keadaan-keadaan dan kenyataankenyataan tertentu sajalah usaha merealisasi prinsip-prinsip yang universal itu
boleh ditangguhkan atau direservasi.
Apabila
berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
khusus
yang
164
165
Konsep
Pelanggaran
Berat
Hak Asasi
Manusia
dalam
Hukum
Internasional
Pelanggaran berat hak asasi manusia dalam hukum internasional berkaitan dengan
beberapa ketentuan yang berkembang pasca perang dunia kedua, yang bisa dilihat
dalam antara lain Nurenberg Trial yang meliputi genocide, War Crime, Crime
against humanity, diatur dalam International Criminal Tribunal for the former
Yugoslavia dan International Crriminal Tribunal for Rwanda yang meliputi war
crime, crime againt humanity dan genocide.
Seiring dengan berdirinya International Criminal Court sebagai pengadilan
internasional yang sifatnya permanen, yang mempunyai yurisdiksi atas 4 macam
kejahatan yang meliputi genocide,war Crime, Crime against humanity dan agresi
menegaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang termaksud diatas adalah kejahatankejahatan yang dikatagorikan dalam pelanggaran hak asasi manusia berat.213
Setelah perang dunia ke II yang dahsyat itu Hukum Internasional Hak
Asasi Manusia (HIHAM) mengalami perkembangan yang pesat dan signifikan
212 Idem,Hlm 20.
213 Abdul hakim garuda Nusantara, Penerapan Hukum Internasional Dalam Kasus
166
serta dengan sendirinya menjadi rujukan berbagai aktor seperti, negara, organisasi
internasional, nasional, dan individu ketika menanggapi banyak peristiwa
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hubungan antar bangsa di dunia
meliputi tidak saja kepentingan ekonomi, politik dan militer, tapi juga kepentingan
sosial dan budaya. Hubungan antar bangsa di berbagai bidang kegiatan itu tak
terelakkan wajib menghormati dan mematuhi HAM. Dalam konteks ini Piagam
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) secara umum menyebutkan, bahwa PBB
akan memajukan penghormatan dan kepatuhan terhadap HAM dan kebebasankebebasan dasar bagi semua bangsa tanpa pembedaan suku bangsa, kelamin,
bahasa atau agama. (Pasal 55 c Piagam PBB). Selain itu pada bulan Desember
tahun 1948 Majelis Umum PBB menerima dan mengesahkan Deklarasi Umum
HAM PBB (DUHAM PBB). DUHAM PBB memuat norma-norma HAM di
bidang-bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Norma-norma HAM itu
dinyatakan dalam suatu deklarasi dan berlaku sebagai standar atau baku
pelaksanaan HAM bagi semua bangsa dan semua negara.
Piagam dan DUHAM PBB tersebut di atas merupakan salah satu sumber
awal bagi lahirnya HIHAM seperti, Konvensi Pencegahan dan Penghukuman
Genosida tahun l948, Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi
Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Internasional
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, Konvensi Internasional
Penghapusan
Segala
Bentuk
Diskriminasi
Rasial,
Konvensi
Mengenai
167
ketentuan
Konvensi
yang
mengikat
negara
negara
untuk
168
Jaksa Spanyol yang menuduh Jenderal Pinochet telah melakukan genosida karena
membantai kelompok sayap kiri di Chili.
Sebagaimana telah disebutkan di atas tidak ada satu difinisi tunggal yang
memadai untuk menjelaskan perbuatan yang dapat dikatagorikan pelanggaran
HAM berat. Berbagai bentuk pelanggaran HAM berat tidak cukup diterangkan
dalam satu difinisi hukum. Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg
menyebutkan kejahatan yang dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran HAM berat
sebagai berikut:
1. Kejahatan terhadap perdamaian (Crimes against peace). Termasuk kejahatan
terhadap perdamaian ialah: merencanakan, mempersiapkan, memulai, atau
menjalankan perang agresi, atau perang yang melanggar perjanjian-perjanjian
internasional, persetujuan-persetujuan atau jaminan-jaminan; atau turut serta
di dalam rencana bersama atau komplotan untuk mencapai salah satu
daripada tujuan perbuatan-perbuatan tersebut di atas.
2. Kejahatan Perang (War Crimes). Termasuk kejahatan perang ialah:
pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang, seperti
pembunuhan (murder), perlakuan kejam terhadap penduduk sipil dengan
mengasingkan mereka, mengerjakan mereka secara paksa, atau di wilayah
pendudukan memperlakukan tawanan-tawanan perang dengan kejam,
membunuh mereka, atau memperlakukan orang di laut secara demikian;
merampas milik Negara atau milik perseorangan, menghancurkan kota atau
desa dengan secara berkelebihan atau semau-maunya, atau membinasakannya
tanpa adanya keperluan militer.
170
mengasingkan
dan
lain-lain
kekejaman
di
luar
membebaskan
orang
yang
melakukan
perbuatan
itu
dari
internasional,
khususnya
berkaitan
dengan
pencegahan
dan
penghukuman para pelaku pelanggaran HAM berat. Dalam hal ini tak dapat di
bantah bahwa idea perlunya pengadilan HAM yang khusus memeriksa dan
memutus pelanggaran HAM berat merupakan salah satu tujuan pendirian
Pengadilan Pidana Internasional.
Di Indonesia Undang-undang (UU) No. 26 Tahun 2000 menyatakan,
bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran HAM yang berat. Tak pula dapat dibantah konsep
pelanggaran HAM berat yang terkandung dalam UU tersebut mengadopsi
sebagian konsep pelanggaran HAM berat yang tertuang dalam Statuta Roma.
Menurut UU No. 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM berat meliputi: a. kejahatan
genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh UU Pengadilan HAM tersebut
genosida diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok;
175
176
177
178
melakukan tindak pidana dengan skala yang besar terhadap suatu kelompok
penduduk sipil, atau berulang-ulang dan terus menerusnya tindakan tidak
manusiawi yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya;
adanya persiapan dan penggunaan yang signifikan dari milik atau fasilitas
publik atau perorangan;
179
180
secara individual namun ada sebagai hasil dari aksi kolektif (Collective actionM Charief Bassioni, Crime Against Humanity in the International Law ).
Menurut Majelis Hakim Pengertian serangan yang sistematik berkaitan
dengan suatu kebijakan atau rencana yang mendasari atau melatar belakangi
terjadinya tindak pidana tersebut. Pengertian kebijakan tidak selalu berkonotasi
tertulis tetapi dapat merupakan tindakan yang berulang dan terus-menerus diikuti
dan telah menjadi pola yang diikuti oleh aparat negara;
Selanjutnya Majelis Hakim menyatakan, bahwa Pengertian serangan
yang sistematik adalah suatu serangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebijakan
yang telah disusun terlebih dahulu atau terencana (a systematic an attack means
carried out pursuant to a preconceive policy or plan - Arne Willy Dahl, Judge
Advocate General Norway);Berbeda dari Statuta Roma yang menganut asas nonretroactive, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM menerapkan asas
retroactive. Yang berarti pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum
diundangkannya UU tersebut, dapat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Ham
Ad Hoc. Pengadilan Ham Ad Hoc tersebut dibentuk atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
(Pasal 43 (1) (2)). Asas retroactive sebagaimana kita ketahui dianut oleh Piagam
Pengadilan Militer Internasional Nuremberg dan ICTY. Ini sekali lagi
menunjukkan pengaruh konsep dan praktek hukum interrnsional berkaitan dengan
pencegahan dan penghukuman pelanggaran HAM berat pada hukum yang sama di
Indonesia.
181
parahnya
pelanggaran yang dilakukan. Selain itu kata berat juga juga berhubungan dengan
jenis-jenis hak asasi manusia yang dilanggar.220 Pelanggaran
manusia terjadi apabila hak hak asasi manusia yang dilanggar adalah hak-hak
berjenis non derogable rights.221
Cecilia
berat Ham
kepada pelanggaran-pelanggaran,
Istilah pelanggaran berat HAM yang telah dikenal dan digunakan pada
saat ini belum dirumuskan secara jelas,baik di dalam resolusi,deklarasi maupun
dalam perjanjian HAM. Secara umum dapat diartikan sebagai pelanggaran secara
sitematis
terhadap
norma-norma
HAM
tertentu
yang
sifatnya
lebih
adanya
Dinah Shelton.224
International Human Rights Law,especially as developed within the
United Nation,recognizes a category of situation of gross and systematic
violation of human rights, Though never exactly defined, it constitutes the
jurisdictional threshold for consideration of human rights
complaints,submitted pursuant to Ecosoc Resolution 1503.
Menurut Peter Baehr, pelanggaran berat hak asasi manusia akan
menyangkut masalah-masalah yang meliputi the prohibition of slavery, the right
Publishers, 1988,p16. The term gross, systematic violation refers to
violation,instrumental to the achievement of Governmental policies,
perpetrated in such a quantity and in such a manner as to create a
situation in which the rights to life,to personal integrity or to personal
liberty of the population as whole or of one or more sectors of the
populations of a country are continuously infringed or treatened
223 H Victor Conde, A Handbook of International Human Rights
Terminology, Lincoln: University of Nebraska Press, 1999, hlm 52.
224 Shelton Dinnah, Remedies in International Human Rights Laws,
New York: Oxford University Press,1999 hlm 320.
184
dilakukan oleh negara,227 dikarenakan negara sebagai suatu otoritas yang berkuasa
disuatu wilayah mempunyai kewenangan untuk memasukkan hak yang melekat
dalam diri manusia yang tanpa itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia ke
dalam peraturan perundang-undangannya.228
Termasuk dalam hak asasi manusia adalah hak untuk hidup, hak untuk
tidak dianiaya, hak untuk tidak mendapatkan perlakuan yang merendahkan harkat
martabat manusia, dan hak untuk mendapatkan peradilan yang fair, hak untuk
bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat, serta hak untuk bebas berkumpul
berserikat dan mengeluarkan pendapat didalam aturan hukum nasional sehingga
dengan kata lain negara telah melaksanakan tanggungjawab melaksanakan hak
asasi manusia dengan mengatur dalam aturan hukum dalam ketentuan nasional
yang harus dipatuhi oleh individu warga negaranya. Sehingga apabila individu
warga negaranya melakukan pelanggaran aturan hukum yang di dalamnya termuat
hak asasi manusia maka negara yang akan melakukan tindakan hukum.
Persoalan baru timbul ketika aparatur negara sebagai personifikasi negara
melakukan
tindakan
yang
bertentangan
dengan
hukum
ketika
sedang
187
yang dilakukan oleh negara. Sekalipun hukum hak asasi manusia Internasional
adalah Hukum Internasional yang meletakan tanggung jawab pidana pada
individu, tetapi negara mempunyai kewajiban untuk menghukum pelaku
pelanggaran berat hak asasi manusia, sebagai sebuah kewajiban internasional.
Hukum Internasional telah memberikan landasan yang kokoh untuk
mengefektifkan penghukuman bagi pelaku pelanggaran berat hak asasi
manusia (gross violation of human rights) yang dikategorikan ke dalam
pertanggungjawaban pidana dan perdata. Kewajiban negara untuk
menghukum pelaku pelanggaran berat hak
asasi manusia telah
dikembangkan di dalam berbagai instrument hukum hak asasi manusia
baik internasional maupun regional. Bahkan hukum kebiasaan
internasional secara tegas melarang segala bentuk pembebasan hukuman
terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan secara
sistematis.
Berdasarkan konsep tanggung jawab negara, suatu negara bertanggung
jawab apabila melanggar kewajiban hukum internasional.Komisi Hukum
Internasional (International Law Commission) kemudian menyatakan
bahwa pelanggaran terhadap kewajiban negara yang digolongkan sebagai
International Wrongful Act, di dalamnya mencakup pelanggaran berat
terhadap hak asasi manusia, yang juga dikatagorikan sebagai kejahatan
internasional (international crimes).229
Penjelasan dari Rudi M Rizki peneliti menarik suatu pandangan bahwa
negara yang personalitasnya terwujud dalam individu-individu bertanggung jawab
atas pelaksanaan hak asasi manusia dalam hal ini pelaksanaan kewajiban
internasional dalam kaitannya dengan hak
mengatakan pelanggaran hak asasi manusia hanya bisa dibayangkan apabila unsur
negara terlibat sekalipun tanggung jawab pidana melekat pada individu.
Pada sisi lain selain dari apa yang telah dikemukakan di atas perlu
diketahui pula bahwa dalam hukum hak asasi manusia dikenal adanya hak negara
untuk membatasi hak asasi manusia apabila negara dalam keadaan bahaya. Akan
tetapi yang harus mendapatkan perhatian ialah sekalipun negara dalam keadaan
bagaimanapun ada hak yang tidak bisa dibatasi dalam segala keadaan yang pada
prinsipnya meliputi adalah hak untuk hidup, kebebasan dari tindakan penyiksaan,
bebas dari tindakan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat, kebebasan
dari perbudakan dan penghambaan, kebebasan dari undang-undang berlaku surut,
serta kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama.230
Artinya itulah hak asasi manusia yang utama yang tidak boleh hilang
dalam diri manusia dan hak inilah yang selalu dipertahankan dari diri manusia.
Pada sisi lain dalam kajian penulis terdapat pemahaman yang salah
tertuang dalam UU No 39 tahun 1999 dimana pada pasal 1 ayat 6 dikatakan
bahwa:
Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang
secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, atau membatasi, dan
atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.231
Peneliti menggaris bawahi pengertian
190
rekonsiliasi. Hal yang paling penting dalam penyelesaian sengketa melalu komisi
kebenaran dan rekonsilisi adalah adanya pengakuan terhadap kejahatan yang
dilakukan, dan adanya pemberian maaf dari pihak yang menjadi korban sehingga
kebenaran dapat terungkap dalam kasus pelanggaran ham berat tersebut.
Prinsip bahwa KKR sebagai pelengkap (complement) ini telah
berkembang secara internasional, dan ditegaskan kembali dalam Kumpulan
Prinsip Perlindungan Hak Asasi Manusia melalui Prinsip 8 The Updated Set of
Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to
Combat Impunity tentang Definition of Commissions Terms of Reference yang
berbunyi sebagai berikut:
To avoid conflicts of jurisdiction, the Commissions Terms of Reference
must be clearly defined and must be consistent with the principle that
Commissions of inquiry are not intended to act as substitutes for the civil,
administrative or criminal courts. In particular, criminal courts alone
have jurisdiction to establish individual criminal responsibility, with a
view as appropriate to passing judgement and imposing a sentence;233
233 Prinsip 8 The Updated Set of Principles for the Protection and
Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity
tentang Definition of Commissions Terms of Reference
191
proses
yudisial juga dinyatakan dalam Prinsip 23 point (1) Brussels Principles against
Impunity and for International Justice (Maret 2002), sebagai berikut:
Non-judicial commissions of inquiry (such as "truth and reconciliation"
commissions) and judicial procedures, far from excluding each other, are
mutually complementary in the fight against impunity and for
international justice. The constitution and activity of these commissions
cannot, however, replace judicial procedures.234
Bahwa menurut pendapat William A. Schabas, anggota Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi negara Sierra Leone, bahwa :
The TRC doesnt provide perpetrator with a forum to escape
procecution... The TRC counts on voluntary testimony from perpetrators,
including the big fish, and it has already found considerable
willingness from those involved to come forward and talk about what they
have done. 235
Bahwa menurut pendapat ahli hukum internasional Aryeh Neier, mantan Ketua
Human Rights Watch bahwa Truth Commissions can exist side by side with
prosecutions, as the case in Argentina until another president, President Menem,
pardoned those who had been convicted by the courts in Argentina and also
issued pardons to those who were still facing trial.
Pengalaman
Beberapa
Negara
dalam
hal
Komisi
Kebenaran
dan
Rekonsiliasi
Argentina
234 Prinsip 23 point (1) Brussels Principles against Impunity and for
International Justice (Maret 2002)
235 (Interview Human Rights Feature dengan Prof. William A. Schabas International
Commissioner, TRC Sierra Leone, TRC Does Not Provide a Forum to Escape
Procecution. http://www.hrdc.net/sahrdc/hrfchr59/Issue5/ impunity.htm)
192
Chili selama 17 tahun. Rezim ini memiliki kebijakan antikomunis yang fanatik
untuk menjustifikasi represinya, mencakup penangkapan massal, penyiksaan,
pembunuhan, dan penghilangan paksa.
Meski rezim Pinochet amat brutal, sebagian warga Chili tetap mendukung
penguasa, khususnya elemen-elemen kanan. Ketika Pinochet melakukan plebisit
pada 1988, harus meninggalkan tahta dengan kekalahan tipis. Penggantinya,
Patricio Aylwin resmi menjabat pada Maret 1999 di bawah batasan-batasan
demokrasi. Soalnya, Pinochet telah mengubah konstitusi pada 1980 untuk
menjamin kekuasaaannya, mempertahankan otonomi dan pengaruh politik militer;
termasuk melanggengkan posisinya sebagai panglima tertinggi militer hingga
1998, dan kemudian menjadi senator seumur hidup.
Amnesti tersebut mengerangkeng pilihan Aylwin dalam merespon
pelanggaran penguasa Pinochet. Menyadari sulitnya membatalkan amnesti,
Presiden Chili memerintahkan investigasi untuk menemukan kebenaran
pelanggaran masa lalu.
Hanya enam pekan setelah pelantikan dirinya, Aylwin membentuk Komisi
Nasional dan Rekonsiliasi melalui keputusan presiden. Aylwin menunjuk delapan
orang sebagai anggota Komisi. Empat di antaranya pendukung Pinochet, dan
lainnya oposan. Formasi ini menghindarkan persepsi mengenai bias kerja Komisi
yang diketuai mantan senator Raul Rettig.
Komisi mempunyai waktu kerja sembilan bulan. Komisi sangat terbantu
oleh peran ornop dan catatan detil ribuan kasus pelanggaran HAM yang dibawa
ke pengadilan pada rezim militer berkuasa.
194
237 Ibid.
195
tidak dicapai kesepakatan pada kasus penting. Akhirnya Komisi ini dibentuk dan
dikelola langsung oleh PBB.
Komisi memperoleh waktu enam bulan untuk menyelesaikan tugas, dengan
perpanjangan dua bulan untuk investigasi dan penyelesaian laporan. Anggota
Komisi diangkat oleh Sekjen PBB atas persetujuan kedua belah pihak. Komisi
diperkuat 20 staf yang bertugas mengumpulkan kesaksian dan investigasi,
ditambah 25 staf sementara pada bulan-bulan terakhir guna mempercepat proses
data entry dan proses informasi. Karena alasan objektivitas, tidak ada warga El
Salvador yang direkrut menjadi staf. Mandat Komisi ini menyelidiki tindak
kekerasan serius yang terjadi sejak tahun 1980, yang karena dampaknya kepada
masyarakat menuntut agar masyarakat mengetahuinya.
Komisi mengumpulkan kesaksian kurang-lebih 20 ribu korban dan saksi.
Juga melaporkan lebih 7.000 kasus pembunuhan, penghilangan, penyiksaan,
perkosaan, dan pembantaian. Komisi menyelidiki beberapa puluh kasus menonjol
atau representatif, dan mendatangkan tim antropolog dari Argentina untuk
menggali kembali sisa pembantai massal di kota El Mozote--yang menjadi pusat
kontroversi internasional.
Meskipun mendapat tekanan militer, Komisi membukukan kesimpulan kuat
bahwa penanggungjawab puluhan kasus kontroversial adalah orang penting di
tubuh angkatan bersenjata. Disebutkan lebih 40 perwira tinggi militer, hakim, dan
oposisi bersenjata sebagai penanggungjawab aksi kekerasan. Disimpulkan bahwa
95 persen pelanggaran HAM dilakukan pihak pemerintah dan militer.
196
238 Ibid.
197
tingkat yang lebih rendah hingga dekade 1990-an, hingga negosiasi yang dimotori
PBB akhirnya menghentikan peperangan.
Salah satu soal krusial dalam negosiasi mengenai bagaimana pelanggaran
HAM disikapi dalam masa transisi ke perdamaian. Negosiasi sudah dimulai ketika
laporan komisi kebenaran El Salvador diterbitkan pada awal 1993, dan contoh ini
menjadi titik awal referensi Guatemala dalam mempertimbangkan pembentukan
komisi kebenaran.
Kesepakatan membentuk komisi kebenaran dengan nama Komisi untuk
Klarifikasi Pelanggaran Hak Asasi dan Tindakan Kekerasan yang Berakibat
Penderitaan Rakyat Guatemala, ditandatangani di Oslo, Norwegia, pada Juni 1994
oleh pemerintah dan URNG. Namun, dibutuhkan tiga tahun lagi menuju
kesepakatan damai untuk penandatanganan kesepakatan komisi mulai bekerja.
Kesimpulan penting Komisi Klarifikasi, berdasar pola kekerasan di empat
wilayah negeri yang paling parah mengalami kekerasan, ''agen negara Guatemala
dalam kerangka operasi kontrainsurgensi selama 1981-1983, melakukan tindak
genosida terhadap kelompok bangsa Maya.'' Meskipun tidak menyebut nama,
Komisi menyimpulkan bahwa ''mayoritas pelanggaran HAM terjadi dengan
sepengetahuan atau atas perintah otoritas tertinggi negara.'
Afrika Selatan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan berhasil membongkar
pelanggaran berat HAM yang sebelumnya tak dibayangkan akibat kuatnya
cengkeraman kekuasaan absolut rezim Apartheid. Dan, gebrakan KKR belum
akan berakhir dalam mengungkap kebobrokan rezim.
198
199
apakah hanya untuk mencari kebenaran atas kejahatan di masa lalu? Atau apakah
juga mencari penyebab lebih jauh, mengapa kejahatan itu terjadi? Apakah juga
disertai tujuan untuk memberikan keadilan kepada para korban, dengan
menghukum para pelaku kejahatan? Dan, bagaimana rekonsiliasi bisa
diwujudkan 239
Soal yang sangat perlu diperhitungkan secara hati-hati, Van Zyl berpendapat,
melihat apakah proses transformasi menuju demokrasi sudah berjalan. Ini sangat
penting untuk menilai sejauh mana pihak militer, yang diduga sebagai pelaku
utama kejahatan HAM pada masa lalu, memberikan dukungan terhadap
pembentukan komisi semacam itu.
Mantan Presiden Afsel VW De Clerk, Wapres PW Botha, Kepala Angkatan
Bersenjata Afsel Magnus Malan, serta bekas petinggi rezim apartheid lainnya tak
urung menjadi sasaran pengusutan KKR. Setelah mengumpulkan bahan yang
sangat lengkap, komisi menyerahkan laporan ke Presiden Mandela waktu itu agar
menindaklanjuti temuan dengan mengadili petinggi tersebut.
Afsel memilih tipe rekonsiliasi yang berujung pada impunitas -- peniadaan
sanksi atas kejahatan yang terjadi. Tipe yang menuntut harga atas pemberian maaf
dan non-prosekusi setelah tercapai rekonsiliasi. Meski begitu, rakyat Afsel cukup
puas dengan memperoleh pengakuan tulus terbuka para tersangka pelanggaran
HAM. Para korban, keluarga, dan kerabatnya mendengar langsung cerita
pelanggaran HAM dari pelaku sekaligus permintaan maafnya.
Atas dasar pemberian maaf dari korban itulah, amnesti akhirnya diberikan.
Sementara korban ditawarkan reparasi, dalam bentuk kompensasi, restitusi,
239 Ibid.
200
201
ketat dengan masa lalunya? Sekarang Mandela turun tahta, tapi hingga kini di
benar sebagaian rakyat Afsel masih menempatkan tokoh yang kenyang di penjara
itu sebagai pemimpin negeri. Sementara pada saat yang sama Afsel tak lagi
dipimpin tokoh rekonsiliasi itu.
Farid Esack, salah seorang tokoh muda yang terlibat perwujudan rekonsiliasi
Afsel, optimis bahwa potensi kemunculan problem tersebut dapat diatasi melalui
tersusunnya konstitusi di negara itu. Esack dengan berani menilai kontitusi Afsel
terbaik di dunia. ''Sungguh, negara kami memiliki konstitusi paling baik di dunia.
Saya tak malu mengatakan hal ini,'' katanya. Persoalannya, sambung Esack,
konstitusi bukan sekadar baik di atas kertas saja, tetapi persoalan terpenting
adalah pengaktualisasiannya. 240
3. Konsep Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi dalam hukum Nasional
Dalam sistem hukum nasional kita Komisi kebenaran dan rekonsiliasi
pernah diatur dalam suatu undang-undang yaitu undang-undang No 27 tahun 2004
mengenai komisi kebenaran dan rekonsili, yang kemudian dibatalkan dengan
keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Dalam Undang-Undang No 27 tahun 2004 terdapat bebarapa ketentuan
yang tidak dapat diterima dalam tatanan hukum internasional yang meliputi ;
juga
asasi
manusia yang dipandang berbeda dengan konsep hak asasi manusia yang dikenal
dalam Hukum Internasional.
Beberapa pasal dalam Undang-Undang No 27 tahun 2004 mengenai
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dipandang bertentangan dengan konsep
hak asasi manusia yang Universal
Pasal 1 ayat 9
Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 27
Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 dapat
diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.
Pasal 44
Pelanggaran Hak asasi manusia yang berat telah diungkapkan dan
diselesaikan oleh komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada
pengadilan hak asasi manusia ad-hoc241
Apa yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut menimbulkan pertanyaan yang
penelitian apakah konsep yang dituangkan dalam Undang-Undang No 27 tahun
2004 telah sesuai dengan konsep Universal dari hak asasi manusia.
Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU KKR, dinilai
banyak kelemahan
kewajiban negara untuk menghormati hak -hak korban, keluarga dan masyarakat
241 Pasal 1 ayat 9, pasal 27, pasal 44, Undang-Undang No 27 Tahun
2004, tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
203
KKR
dipandang gagal
memenuhi kewajiban negara untuk menghormati hak -hak korban, keluarga dan
masyarakat berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional. Undang-undang
KKR dipandang
sejak
tanggal penerimaan permohon dipandang terlalu singkat dalam hal yang berkaitan
dengan kejahatan terhadap kemanusiaan,"
Terkait berlakunya pasal 27 UU KKR di mana kompensasi dan rehabilitasi
terhadap korban diberikan hanya bila permintaan amnesti diberikan, rehabilitasi
dan kompensasi bisa tidak diberikan ketika pelaku tidak teridentifikasi, atau tidak
berhasil mendapat amnesty, atau tidak dimaafkan oleh korban, maupun ketika
pelaku tidak diberi amnesti oleh Presiden dan DPR.
204
dalam
207
kebenaran
fakta-fakta,menyatakan
penyesalan
atas
perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban
yang merupakan ahli warisnya, pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dapat mengajukan amnesty kepada presiden.
Bahkan di dalam Pasal 29 ayat (3) UU Nomor 27 tahun 2004 secara
eksplisit menyatakan: Dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan
kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya maka pelaku
pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut kehilangan hak mendapat
amnesty dan diajukan ke pengadilan hak asasi manusia ad hoc. Bunyi pasal tsb
secara nyata menuntut adanya pengakuan bersalah dari pelaku pelanggaran hak
asasi manusia yang berat dan kemungkinan tidak tercapai rekonsiliasi dalam
artian tersebut akan diteruskan kepada proses penuntutan dan pemeriksaan
pengadilan HAM. Sedangkan prinsip pembentukan KKP tidak berujung kepada
proses penuntutan sehingga disinilah letak perbedaan mendasar dari kedua konsep
rekonsiliasi tersebut. Secara singkat proses rekonsiliasi versi UU Nomor 27 tahun
2004 tidak menganut sepenuhnya prinsip non-impunity sedangkan versi JD
208
tanggal 9 Maret 2005 menganut secara mutlak prinsip tsb dalam penyelesaian
kasus pelangggaran hak asasi manusia pasca jajak pendapat di Timor Leste tahun
1999.
Implikasi pembentukan KKP terhadap proses peradilan HAM Adhoc kasus
Timor Leste
Implikasi pembentukan KKP muncul ketika meneliti mukadimah dari TOR
KKP khususnya angka 8 dan 10 dihubungkan dengan prinsip yang
diletakkan dalam TOR huruf c dan d. Mukadimah TOR KKP angka 8
berbunyi sebagai berikut:
Based on and benefiting from our shared experience, and motivated by our
strong desire to move forward, we are determined to bring to a closure
chapter of our recent past through joint efforts. A definitive closure of the
issues of the past would further promote further bilateral relations.
Berangkat dari mukadimah (angka 8) di atas sangat gambling bahwa kedua
pemerintahan telah sepakat untuk menutup buku kasus pelanggaran hak
asasi manusia yang berat pasca jajak pendapat tahun 1999 di wilayah Timor
Leste. Yang menarik dari bunyi mukadimah tsb adalah premis-premis yang
dibangun untuk menuju kepada rumusan mukadimah tsb sebagaimana
dicantumkan dalam mukadimah angka 10 antara lain sebagai berikut:
Indonesia and Timor Leste have opted to seek truth and promote friendship
as a new and unique approach rather than the prosecutorial process.
Langkah kedua pemerintah ini sangat strategis dan cerdik dalam
menyelesaikan masalah bilateral antara kedua negara ybs. Namun kemudian
premise-premis yang dibangun tidak tepat karena kedua belah pihak telah
men-salah artikan pengertian istilah justice dalam konteks pelanggaran
hak asasi manusia yang berat karena secara langsung telah menyamakan
penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan kasus
kriminal yang bersifat biasa, sedangkan sudah ditegaskan dalam Undangundang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM bahwa pelanggaran
HAM yang berat adalah bersifat luar biasa (extra-ordinary crimes) bukan
kejahatan biasa (ordinary crimes). Pandangan dan persepsi yang dibangun
dalam TOR KKP jelas telah mengenyampingkan pendekatan hukum pidana
yang menitikberatkan kepada asas kesalahan dan pertanggungjawaban
pidana sebagai asas universal.
Kekeliruan pemahaman dan persepsi dalam menganalisis peristiwa
pelanggaran HAM berat yang nota bene berada dalam lingkup rezim hukum
pidana telah membuahkan premis-premis yang bersifat menyederhanakan
masalah (pelanggaran HAM berat) yang terbukti dari kalimat: True justice
can be served with truth and acknowledgement of responsibility. The
prosecutorial system of justice can certainly achieve one objective, which is
209
to punish the perpetrators; but it might not necessarily lead to the truth and
promote reconciliation (Mukadimah TOR KKP angka 10). Premis di atas
telah keliru mengartikan pengertian istilah justice dalam konteks criminal
justice karena tujuan hukum pidana sejak berabad yang lampau masiih
tetap, yaitu menemukan kebenaran materiel, bukan menghukum, karena
penghukuman itu hanya sebagai sarana (as a means) yang berfungsi baik
represif maupun preventif atau rekonsiliasi untuk menemukan keadilan (to
an ends).
Kekeliruan premise yang dibangun dalam proses pembentukan KKP
berdampak terhadap mandate yang diberikan kepada KKP sekalipun
ditegaskan dalam prinsip TOR (huruf e),antara lain , Does not prejudice
against the onging judicial process with regard to reported cases of human
rights violations in Timor Leste in 1999... Penegasan atas prinsip inipun
tidak ada artinya karena telah ditutup rapat oleh bunyi Mukadimah angka 8
khusus berkaitan dengan kalimat, a definitive closure of the issues of the
past sehingga kesepakatan kedua belah pihak (Indonesia dan Timor Leste)
ini telah menutup peluang proses penuntutan dan peradilan atas pelakupelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timor Leste tahun
1999. Pertanyaan mendasar yang diajukan sebagai konsekuensi logis dari
pembentukan KKP dengan prinsip-prinsip-prinsip yang dibangun serta
mandate yang harus diembannya, adalah, apakah proses penuntutan dan
peradilan terhadap para pelaku pelanggaran HAM di Timor Leste pasca jajak
pendapat masih relevan dan mendesak untuk terus dilanjutkan?244
Pada akhirnya semua
211
kekerasan terhadap sejumlah substansial warga sipil. Jika kekerasan (1) diarahkan
hanya terhadap sedikit warga sipil terpisah, atau (2) diarahkan terutama terhadap
lawan militer yang sah namun terdapat beberapa warga sipil yang terbunuh dalam
suatu insiden yang acak dan terpisah, maka ini tidak digolongkan sebagai
pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun di
Timor Timur tahun 1999 dimensi politik konflik dan fokusnya pada Jajak
Pendapat, jenis-jenis kejahatan dan status para korban, terutama penargetan warga
sipil yang dipandang memiliki hubungan dengan keyakinan atau tujuan politik
tertentu, secara jelas menunjukkan bahwa serangan terhadap penduduk sipil telah
terjadi. Komisi berkesimpulan bahwa bukti mengenai hal ini sangat banyak dan
definitif.246
Selain temuan Komisi bahwa terjadi serangan terhadap penduduk sipil,
penting juga untuk menentukan bahwa serangan tersebut bersifat meluas atau
sistematis. Istilah meluas mencakup dimensi kuantitatif, cakupan, dan sifat
serangan. Istilah sistematis terutama berkaitan dengan aspek kualitatif serangan
dengan mengindikasikan misalnya, bahwa serangan tersebut bukan terdiri dari
tindak kekerasan yang acak, terpisah dan individual, namun mencakup banyak
tindakan dengan jumlah atau skala korban yang signifikan, atau terdapat
pengorganisasian, perencanaan, koordinasi, atau kegiatan terpola. Di sini sekali
lagi Komisi berkesimpulan bahwa bukti secara kuat menunjukkan serangan
terhadap penduduk sipil di Timor Timur terjadi secara meluas maupun sistematis.
Bukti ini mengindikasikan bahwa jumlah korban dan insiden, juga skalanya,
cukup besar.
246 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan ,hlm 305
212
pelanggaran
HAM
berat
telah
terjadi.
Masing-masing
sumber
213
214
2. Instruksi, perintah, dan perencanaan para pemimpin yang diakui, atau para
komandan sebelum, selama dan setelah penyerangan, operasi sweeping, serta
patroli-patroli. Pengawasan dan distribusi senjata kepada anggota.
3. Serangan-serangan yang telah disusun rapih, menggunakan taktik bergaya
militer, bersama perwira TNI dan/atau komandan milisi mengkoordinasi atau
mengarahkan serangan-serangan tersebut.
4. Pemberian dukungan logistik termasuk transportasi, amunisi, dan makanan oleh
otoritas Indonesia.
5. Penargetan kategori korban tertentu menurut jender, persepsi afiliasi politik
atau kaitan dengan pendukung suatu kelompok politik.247
Kelompok pro-otonomi yang melakukan serangan terhadap prokemerdekaan tidak bertindak secara spontan atau sendiri. Mereka sering kali
bertindak dengan panduan dan dukungan lembaga-lembaga pemerintah. Komisi
telah menetapkan bahwa terdapat pelaku bersama pelanggaran HAM berat dari
anggota militer dalam sejumlah kasus tertentu, serta kepolisian dan pegawai
negeri sipil. Juga terdapat banyak kasus dimana pejabat militer Indonesia
merencanakan, mempersiapkan, atau mengarahkan operasi-operasi militer,
terkadang melibatkan anggota TNI dalam suatu operasi. Pada beberapa kasus
mereka juga memberi dukungan materiil lain dalam bentuk transportasi atau
penggunaan fasilitas militer setempat untuk penahanan ilegal atau bentuk-bentuk
penganiayaan lainnya terhadap warga sipil. Juga sering terdapat keanggotaan
bersama atau yang tumpang tindih pada tingkat operasional, antara milisi, pasukan
keamanan, dan pejabat pemerintahan sipil. Selain partisipasi bersama dengan
247 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,Hlm 305
215
Dalam semua serangan, korban adalah warga sipil pro-otonomi, termasuk mantan
anggota milisi. Pelanggaran oleh kelompok pro-kemerdekaan tahun 1999 telah
dilaporkan setidaknya terjadi di delapan kabupaten Timor Timur. Seranganserangan tersebut juga menunjukkan sejumlah unsur sistematis, yaitu:
1.
2.
3.
Banyaknya
pelanggaran
laporan
belum
tentu
menunjukkan
jumlah
definitif
(termasuk
Falintil)
dinyatakan
bersalah
atas
tindakan
pembunuhan warga sipil. Selain itu, beberapa laporan mengenai kejahatan oleh
pro-kemerdekaan yang ditelaah oleh Komisi secara mendalam berawal sebagai
penyelidikan internal dalam CNRT dan/atau Falintil, dan tampaknnya telah
diteruskan ke proses peradilan.
Dengan demikian, berdasarkan sejumlah kasus dimaksud terdapat dasar
untuk
menyimpulkan
bahwa
anggota
kelompok
pro-kemerdekaan
telah
melakukan pelanggaran HAM berat pada tahun 1999 dan setidaknya dalam
beberapa kasus telah dimintakan pertanggungjawaban. Namun, kemampuan
Komisi untuk secara tuntas menentukan hakikat, cakupan, dan penyebab
pelanggaran oleh kelompok prokemerdekaan serta afiliasi kelembagaan dan
hubungan mereka yang sesungguhnya.
Kerangka yang digunakan Komisi untuk mencapai temuan dan kesimpulan
mengenai pelanggaran HAM berat. Lebih khusus lagi, bagian tersebut merinci
218
kelembagaan, partisipasi atau pembiaran tersebut tidak bisa hanya terdiri dari
kejadian-kejadian yang terisolsasi atau yang terjadi sekali-kali,berskala kecil dan
hanya melibatkan sedikit anggota lembaga negara. Tanggung jawab kelembagaan
bersumber dari dukungan, pembiaran, atau keterlibatan langsung maupun tidak
langsung dalam pelanggaran oleh lembaga-lembaga yang terjadi secara sistematis
dan berulang, dalam suatu rentang waktu, di sejumlah tempat, serta mengikuti
suatu pola perbuatan reguler dan terorganisasi. Dalam keadaan seperti ini,
lembaga-lembaga dimaksud harus menerima tanggung jawab atas perilaku
anggota mereka karena tingkat hubungan kelembagaan dalam perbuatan
pelanggaran begitu besar sehingga tidak dapat dikatakan sebagai tindakan
terisolasi oleh sedikit individu atau oknum. Dalam menerapkan kerangka
250 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.307
219
adalah
apakah
bukti
mengenai
pola-pola
tersebut
juga
kejahatan oleh anggota satuan TNI yang beroperasi di dalam milisi dan di bawah
arahan operasional perwira yang hadir ketika kejahatan dilakukan.253
Konteks pola kerja sama antara milisi dan TNI melibatkan suatu praktik
kolaborasi yang terus berlangsung yang sudah ada jauh sebelum 1999 antara
milisi,
pasukan
pertahanan
sipil
dan
satuan-satuan
lokal
TNI
yang
223
224
apakah berbagai bentuk partisipasi atau dukungan ini telah mencukupi dari segi
durasi atau cakupan untuk menjadi dasar bagi kesimpulan mengenai tanggung
jawab kelembagaan.
Mengenai tanggung jawab kelembagaan kelompok-kelompok pro-kemerdekaan,
seperti yang telah dicatat, tidak adanya investigasi yang sistematis menimbulkan
kesulitan untuk mengenakan tanggung jawab kelembagaan atas penahananpenahanan ilegal yang dilakukan kelompok-kelompok tersebut. Terdapat bukti
yang cukup mengenai pola luas dari elemenelemen Falintil dan/atau CNRT yang
menahan orang yang dipandang sebagai anggota dan/atau mantan anggota milisi,
namun tidak mudah untuk mengenakan tanggung jawab tepat kepada institusiinstitusi spesifik bagi kejadian-kejadian individual pelanggaran. Analisis Komisi
atas bukti yang ada mengungkapkan bahwa penahanan ilegal tersebut dilakukan
dalam cara yang sistematis yang mencakup perintah resmi, laporan kepada
komandan, dan lain-lain. Atas dasar bukti ini, Komisi berkesimpulan bahwa
terdapat setidaknya suatu persetujuan institusional diam-diam bagi pola
penahanan ilegal pada Falintil dan/atau CNRT.
Terkait tanggung jawab kelembagaan pelanggaran HAM berat yang
dilakukan terhadap orang-orang yang diduga pendukung pro-kemerdekaan,
Komisi telah menganalisis banyak jenis bukti yang menghubungkan berbagai
institusi dengan kejahatan-kejahatan tersebut.
Seperti uraian di atas, Komisi berkesimpulan bahwa milisi-milisi prootonomi merupakan pelaku langsung utama kejahatan dimaksud.Pertanyaan
pokok mengenai tanggung jawab kelembagaan yang dihadapi Komisi adalah
225
pemerintah sipil menyediakan dana bagi milisi, bahkan setelah mereka jelas-jelas
mengetahui bahwa kelompok-kelompok milisi tersebut sudah melakukan berbagai
pelanggaran HAM berat. Muspida juga ikut memberi kontribusi dukungan kepada
kelompok-kelompok milisi. Pemerintah sipil dan Muspida mengetahui bahwa
kelompok-kelompok keamanan yang berafiliasi dengan militer dan kepolisian
terlibat dalam kegiatan-kegiatan pro-otonomi yang melanggar syarat netralitas
TNI dan Polri sesuai Kesepakatan 5 Mei 1999.
Komisi berkesimpulan bukti cukup kuat menunjukkan bahwa penyediaan
dana dan dukungan materil oleh militer dan pejabat pemerintah merupakan bagian
integral dari suatu hubungan kerja sama yang terorganisasi dan berkesinambungan
dalam mewujudkan tujuan politik bersama, yang bertujuan untuk membantu
kegiatan milisi yang akan mengintimidasi atau mencegah warga sipil mendukung
gerakan prokemerdekaan.
Hal-hal ini menjadi dasar bagi kesimpulan bahwa TNI dan pemerintah
sipil memiliki tanggung jawab kelembagaan atas pelanggaran HAM berat yang
dilakukan
terhadap
orang-orang
yang
diduga
sebagai
pendukung pro-
227
milisi, walaupun anggota TNI dapat ditunjukkan sering terlibat dalam dan/atau
ikut merencanakan serta mengarahkan serangan-serangan tersebut. Secara
keseluruhan, serangan-serangan ini merupakan suatu kampanye kekerasan yang
terorganisasi. Orang-orang dari milisi, kepolisian,pemerintah sipil setempat, dan
TNI berpartisipasi dalam berbagai tahap kampanye kekerasan dan tekanan politik
yang dilancarkan terhadap warga sipil yang diyakini memiliki hubungan dengan
gerakan pro-kemerdekaan. Kampanye ini mengikuti pola-pola tertentu yang
seringkali mencakup serangkaian kejadian yang saling terkait seperti intimidasi,
ancaman dan kekuatan nyata guna melemahkan dukungan penduduk sipil kepada
gerakan pro-kemerdekaan. Kampanye tersebut melibatkan serangan terorganisasi
atas desa-desa oleh milisi dan TNI. Serangan tersebut
mengakibatkan
bagi kesimpulan Komisi bahwa TNI, Polri dan pemerintah sipil bersama memikul
tanggung jawab kelembagaan atas kejahatankejahatan dimaksud.
Komisi telah mengidentifikasi tanggung jawab kelembagaan milisi prootonomi
dan
kelompok
pro-kemerdekaan.
Sejak Timor-Leste
mencapai
ke
depan
Komisi
dalam
merumuskan
kesimpulannya
dan
229
BAB IV
PENGATURAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A Tinjauan Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam
Perundang-Undangan di Indonesia
Istilah Pelanggaran HAM Berat
hukum
Indonesia dan dinyatakan sebagai kejahatan dalarn hukum nasional pada UU No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Penjelasan Pasal 104 UU No. 39
Tahun 1999 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM yang
berat adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau
diluar putusan pengadilan
penyiksaan,
terbentuknya
261
Indonesia
tidak mengadopsi kejahatan perang dan agresi sebagai bagian dari pelanggaran
HAM yang berat.
Ditemui pula adanya kesalahan menerjemahkan ketentuan dalam Statuta
Roma. Hal-hal tersebut mempunyai implikasi serius atas penafsiran ketentuan
tersebut. Akibatnya, pengaturan tentang kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan dalam UU No. 26 tahun 2000 dalam beberapa bagiannya
merupakan ketentuan yang tidak sesuai dengan maksud aslinya.
260 Sri Wiyanti Eddyono dan Zainal Abidin, Tindak Pidana Hak Asasi
Manusia dalam RKUHP,Penerbit ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi
KUHP, Juni 2007,hlm.25.
261 Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998.
232
kemanusiaan
dan
kejahatan
genosida.265
Ketiga,
tindakan
percobaan,
internasional. Hal itu dapat dibaca dalam penjelasan pasal 7 yang berbunyi ;
Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini
sesuai dengan Rome Statute of the Internastional Criminal Court ( Pasal 6 dan
pasal 7)
Namun demikian, bila melakukan perbandingan langsung dengan teks
dimaksud maka kita akan menemukan berbagai perbedaan. Pebedaan-perbedaan
yang sangat mengganggu itu diakibatkan oleh perbedaan dalam penerjemahan
maupun dalam perumusan, antara lain :
a
pembatasan
terhadap
munculnya
penafsiran
yang
235
No 26 tahun 2000 hal itu tidak dilakukan secara taat asas. Ada rumusan
yang dimasukkan dalam pasal undang-undang dan ada pula yang
dimasukkan dalam penjelasan undang-undang. Hal itu menimbulkan
kesimpangsiuran
berbagai
pengertian
standar
dari
elemen-elemen
kejahatan
b
langsung
di
hanya
236
tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 4 : Setiap orang adalah orang perseorangan,
kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggungjawb secara
individual. Tidak ada penjelasan lebih jauh dari pasal ini. Berbeda dengan
Undang-Undang No 26 tahun 2000, batasan atas pertanggungjawaban individual
ini diatur secara rinci dalam Statuta Roma pasal 33 memberikan pembebasan atas
tanggung jawab ini dalam keadaan tertentu yakni: bila ia terikat oleh kewjiban
hukum untuk mematuhi perintah, yang ia tidak tahu bahwa perintah tersebut
sebenarnya melanggar hukum atau perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum
Berbagai kekacauan rumusan itu dapat dengan mudah dipakai untuk kepentingan
kepentingan yang bertujuan untuk menghambat ditegakkannya keadilan.
269 Article 7 (g) Rome Statute Persecution means the intentional
and severe deprivation of fundamental rights contraryInternational
law by reasons of the identity of the Group or collectivity.
237
ketentuan Undang-
sebagai
berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang
berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif.
Dalam rumusan ini digunakan kata dapat ( could) bukannya akan (shall)
atau harus ( hould), yang memberikan indikasi bahwa dalam kasus pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang diatur dalam Undang-Undang No 26 tahun
2000, pertanggungjawaban komando bukanlah sesuatu yang sudah secara
otomatis berlaku. Pasal ini menguatkan
239
240
komando ABRI dalam kasus Timor-Timur, atau Jenderal Benny Moerdani dan
Jenderal Try Sutrisno dalam Kasus Tanjung Priok, sekalipun keduanya
direkomendasikan oleh Komnas HAM untuk diminta pertanggungjawabannya.
Praktik penuntutan terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat di
Indonesia telah dilakukan dalam memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran
HAM yang berat di Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura Papua. Perkara
yang diadili adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan sampai saat ini belum
ada perkara terkait dengan kejahatan genosida.
Hasil Pengadilan HAM jauh dari apa yang diharapkan karena hampir
kesemua terdakwa yang diajukan ke pengadilan dibebaskan dari hukuman.
Demikian pula dengan para korban tidak ada satupun yang sampai saat ini
mendapatkan reparasi (pemulihan) yakni adanya kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000. Selama
berlangsungnya pengadilan, perlindungan yang diberikan kepada saksi dan korban
juga jauh dari memadai di mana banyak korban yang takut untuk bersaksi di
pengadilan dan para saksi yang mengalami intimidasi selama memberikan
kesaksian di pengadilan.271
Berbagai analisis dan penelitian mengenai kegagalan pengadilan HAM ini
telah dilakukan dan menunjukkan sejumlah faktor yang membuat pengadilan
tersebut tidak mampu menghukum pelaku dan memberikan keadilan kepada
korban.272 Pengadilan ini gagal menghadirkan dua keadilan prinsipil dalam
271 Progress Report Elsam I-IX
272 David Cohen,Intended to Fail, The Trial Before the Ad Hoc Human
Rights Courts in Jakarta, International Center for Transitional Justice, Juli
2004.
241
sebagaimana
pengadilan
internasional
mengadili
kejahatan-
yang berbeda dengan pengaturan dalam tindak pidana umum sebagaimana diatur
dalam KUHP Ditinjau dari sisi hukum materialnya, masih banyak ketentuan yang
menimbulkan kerancuan dan ketidaklengkapan sehingga sulit diukur kepastiannya
dan cenderung multiinterpretasi. Dari sisi hukum acaranya, meskipun ada
pengecualian, tetapi masih mengacu pada hukum acara pidana biasa (KUHAP)
yang tidak sesuai dan menyulitkan pembuktian kasus-kasus dalam kategori
kejahatan yang bersifat "luar biasa". Kelemahan hukum formal dan material ini
berakibat peradilan tidak berjalan secara fair dalam implementasinya.
B Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia
Pendekatan dan proses penanganan berbagai kasus pelanggaran HAM
berat selama ini hanya berkutat pada penuntutan terhadap pelaku. Hal ini tentu
bukan sesuatu yang ditentang. Namun hal yang sering luput di samping
penuntutan terhadap pelaku adalah mengenai pemenuhan hak korban. Seringkali
pemenuhan hak korban ini dimengerti sebagai sesuatu yang akan terjadi setelah
proses hukum final. Sementara kita tahu bahwa hanya sedikit kasus pelanggaran
HAM berat yang bisa masuk dalam proses peradilan (Kasus Timor Timur,
Tanjung Priok, Abepura). Yang ada itu pun pada akhirnya tidak memuaskan rasa
keadilan karena para pelaku bebas. Alhasil, pemenuhan hak korban atas reparasi
pun menjadi hal yang tidak dianggap ada. Ini menunjukkan bahwa korban belum
menjadi bagian yang penting dalam proses penegakkan hukum di Indonesia.
Padahal perkembangan pendekatan HAM universal telah mengarah pada sikap
bahwa hak korban harus dipenuhi terlepas dari proses hukum atas kasus yang
243
246
kontek inilah kita bicara mengenai hubungan antara pengadilan nasional dan
internasional dalam mengadili kejahatan-kejahatan serius tersebut.
Seperti yang terdapat di Indonesia dengan UU No. 26/2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia) dapat dipandang sebagai usaha untuk memenuhi
kewajiban internasional yang digambarkan di atas. Dengan menyediakan
mekanisme remedi yang efektif di tingkat nasional--apakah dalam bentuk
menghadirkan pengadilan hak asasi manusia secara khusus, negara tersebut dapat
dipandang menunjukkan keseriusannya dalam menangani pelanggaran hak asasi
manusia di dalam negerinya. Hukum internasional mengenal prinsip exhaustion
of domestic remedies, yang mengharuskan penggunaan semaksimalnya semua
upaya hukum yang tersedia di tingkat nasional terlebih dahulu sebelum
menggunakan mekanisme remedi di tingkat internasional dan regional. Jadi
mekanisme remedi internasional hanya diperlukan bila mekanisme remedi
nasional tidak bekerja secara efektif, sehingga korban merasa belum mendapatkan
keadilan; korban dengan demikian boleh menggunakan mekanisme remedi ke
tingkat internasional. Karena itu menyediakan mekanisme remedi yang efektif di
tingkat nasional menjadi tanggung jawab setiap negara.
Pinsip
exhaustion
of
domestic
remedies
tersebut
sebetulnya
247
Paper,ELSAM.
248
Makanya
masyarakat internasional hingga saat ini masih terus mengamati dengan tekun
proses pertanggungjawaban yang sedang berlangsung di Pengadilan HAM ad hoc
Tim-Tim di Jakarta; apakah berjalan dengan standar internasional atau tidak?
Dengan melihat hubungan antara pengadilan (hak asasi manusia) nasional
dan internasional, terlihatlah bahwa proses pertanggungjawaban atas kejahatan
serius bukan hanya menjadi milik eksklusif suatu negara. Tetapi juga merupakan
tanggungjawab masyarakat internasional secera keseluruhan. Itu artinya jurisdiksi
pengadilan internasional tetap masih terbuka bagi Indonesia (meskipun Indonesia
secara khusus sudah memiliki Pengadilan HAM), sepanjang pengadilan (hak asasi
manusia) nasionalnya hanya sekedar dijadikan tameng bagi perlindungan bagi
para pelaku. Ukuran-ukuran yang sering dijadikan rujukan untuk menyatakan
suatu Negara gagal menjalankan kewajibannya adalah ketidakinginan mengadili
dan ketidakmampuan.
Tetapi harus pula segera ditambahkan disini, bahwa tidak mudah secara
politik untuk membentuk pengadilan hak asasi manusia internasional. Makanya
saat ini masyarakat internasional, PBB, lebih memilih membentuk pengadilan
campuran yang didalamnya terdapat unsur dalam negeri dan internasional seperti
terlihat di Timor Leste, Kosovo, dan Sierra Leonne. Pengadilan Internasional
seperti Rwanda dan Bekas Yugoslavia dipandang terlalu mahal dan sebagainya.
Dari sudut standard setting sepuluh tahun terakhir menunjukkan kemajuan
berarti dalam perlindungan dan pemajuan hak asasi. Perbaikan tekstual ini tampak
249
dalam amandemen UUD hingga aturan dan ratifikasi konvensi HAM. Telah pula
tersedia mekanisme untuk me-review berbagai kebijakan dan perangkat peraturan
perundangan. Berbagai persoalan perenial hak asasi seperti paham universalitas,
justiciability, dan agenda mematahkan impunitas mulai menemukan jalan
keluarnya. Meskipun demikian kapasitas dan kecepatan negara merespons
penyelesaian hukum berbagai kasus pelanggaran hak asasi masih sangat rendah.
Perumusan standar juga tidak diimbangi dengan penegakannya, terutama
dalam pengungkapan kebenaran maupun pemberian keadilan bagi korban. Alihalih memberi keadilan hak asasi seperti kehilangan daya yang mempunyai
kekuatan untuk menentukan kemendasarannya. Makna hak asasi telah dikikis
sehingga kehilangan nilai dan tujuannya. Dalam praktek hak asasi menjadi
komoditi politik elit kekuasaan di semua tingkatan.
Gagasan bahwa hak asasi akan terjamin dalam sistem politik demokratis
dan sebaliknya demokrasi harus dilandaskan pada hak asasi . Demokrasi pertamatama dan bahkan melulu dipraktekkan sebagai cara daripada tujuan dan nilai.
Aktor-aktor dominan memakai demokrasi bukan untuk mencapai keadilan dan
kemakmuran, melainkan lebih sebagai prosedur.
Sejak reformasi, jaminan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia
khususnya hak sipil dan politik mengalami kemajuan berarti dalam tataran
normatif dan institusional. Terdapat berbagai produk hukum yang dimaksudkan
untuk memberikan penghormatan dan perlindungan hak ini. Norma-norma umum
hak asasi manusia dapat ditemukan disamping pada Amandemen UUD 1945, Tap
250
MPR tentang hak asasi manusia adalah UU HAM dan Pengadilan HAM dan
ratifikasi instrumen pokok hak asasi internasional.
Supremasi hukum yang berkeadilan juga masih sangat lemah. Terdapat
jurang yang lebar antara yang normatif dan penegakannya. Praktik penyiksaan
masih tetap terjadi, bukan hanya di tempat-tempat penahanan/penghukuman akan
tetapi juga tempat-tempat lain. Disamping itu, selama hampir sepuluh tahun
terakhir sistem hukum dan jajaran aparatur negaranya tidak mampu menjawab
berbagai kasus pembunuhan dalam konflik-konflik horizontal dan vertikal serta
kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi masa lalu. Budaya impunitas terus
menjangkiti sistem hukum kita.
Diyakini bahwa berbagai kesenjangan ini terjadi antara lain karena,
pertama, upaya penegakan hak asasi manusia lebih menekankan formalisme
hukum daripada penataan ulang politik hak asasi manusia. Kedua, karena
monopoli akses atas sumber-sumber daya publik oleh modal dan birokrat, yang
pada gilirannya menghambat proses politik dan penegakan hukum demi
pemenuhan hak-hak asasi manusia. Ketiga, karena tidak tersedianya otonomi
asosiasional bagi hadirnya demokrasi substantif; yaitu peluang rakyat (terutama
lapisan bawah) mengorganisasikan diri demi mempertahankan kepentingan dan
identitas sendiri tanpa takut akan dicampuri atau diganggu oleh pemerintah.
Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu dilakukan dengan:
1
251
yang seharusnya
252
BAB V
ANALISIS TERHADAP IMPLEMENTASI PENGATURAN
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA DAN ANALISIS TERHADAP
KONSEP PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA DI
INDONESIA
253
254
255
256
luas dan rinci ini sudah seharusnya menjadi rujukan bagi rumusan pelanggaran
berat hak asasi manusia yang berat yang digunakan untuk pengadilan hak asasi
manusia.
Rumusan yang terdapat dalam Pasal 7 Undang-undang No 26 tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, ternyata membuat rumusan pelanggaran
hak asasi manusia yang berat, yang menyatakan pelanggaran hak asasi manusia
yang
berat
meliputi
a.kejahatan
genosida;b.
Kejahatan
terhadap
internasional. Hal itu dapat dibaca dalam penjelasan pasal 6 dan 7 yang berbunyi:
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini
sesuai dengan Rome Statute of the International Criminal Court.
Namun demikian, bila melakukan perbandingan langsung dengan teks
dimaksud maka kita akan menemukan berbagai perbedaan. Pebedaan-perbedaan
yang sangat mengganggu itu diakibatkan oleh perbedaan dalam penerjemahan
maupun dalam perumusan, antara lain :
a) Dalam Statuta Roma penjelasan unsur-unsur kejahatan yang menjadi
yurisdiksinya, dimuat dalam statuta secara jelas dalam pasal-pasal yang
memberikan
pembatasan
terhadap
257
munculnya
penafsiran
yang
berbagai
pengertian
standar
dari
elemen-elemen
kejahatan
b) Penerjemahan yang berbeda dari teks Statuta Roma, seperti Attack
directed against any civilian population (Statuta Roma, Pasal 7)
diterjemahkan menjadi serangan yang ditujkan secara langsung terhadap
penduduk sipil ( UU No 26 tahun 2000 Pasal 9). Seharusnya terjemahan
yang benar adalah ditujukan kepada populasi sipil. Kata langsung dapat
ditafsirkan bahwa serangan itu dilakukan oleh pelaku langsung
di
hanya
258
bahasa Inggris berarti assault. Hal itu dilakukan tanpa penjelasan dalam
undang-undang, yang kemudian membuat acuan yang dipakai adalah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berbagai tindakan
intimidasi ,teror yang sifatnya non fisik menjadi luput dari cakupan
penganiayaan. Padahal Persecution mencakup pengertian yang lebih luas
merujuk kepada perlakuan yang diskriminatif yang menghasilkan kerugian
mental, fisik maupun ekonomis.
d) Tidak dimasukkannya ayat 1 (k), pasal 7 Statuta Roma dalam pasal 9
Undang-Undang No 26 tahun2000 menyangkut bentuk-bentuk tindakan
yang tidak manusiawi, yang mempunyai tujuan untuk menimbukan
penderitaan berat atau melukai secara serius atas badan atau mental atau
kesehatan fisik.
Pertanggungjawaban individu dirumuskan dalam Undang-Undang No 26
tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 4 : Setiap orang adalah orang perseorangan,
kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggungjawb secara
individual. Tidak ada penjelasan lebih jauh dari pasal ini. Berbeda dengan
Undang-Undang No 26 tahun 2000, batasan atas pertanggungjawaban individual
ini diatur secara rinci dalam Statuta Roma pasal 33 memberikan pembebasan atas
tanggung jawab ini dalam keadaan tertentu yakni: bila ia terikat oleh kewjiban
hukum untuk mematuhi perintah, yang ia tidak tahu bahwa perintah tersebut
sebenarnya melanggar hukum atau perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum
259
ketentuan Undang-
260
261
tentang apa yang layak dan perlu dilakukan oleh penanggungjawab komando.
Pasal ini membawa implikasi pada pengadilan yang terpaksa menekankan
fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah
layak atau tidak , apakah perlu atau tidak. Hal itu secara otomatis mengabaikan
kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggungjawab komando
berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak, apakah perlu atau
tidak. Hal itu secara otomatis mengabaikan kenyataan apakah tindakan yang
diambil oleh penanggungjaab komando berhasil mencegah dan menghentikan
kejahatan atau tidak. Padahal selain harus bertanggungjawab, jika menjadi pelaku
langsung, penganjur atau penyerta, seorang atasan seharusnya bertanggungjawab
secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas dan kealpaan. Standar hukum
kebiasaan internasional untuk kelalaian dan kealpaan dalam arti yang luas
menyatakan bahwa seorang atasan bertanggungjawab secara pidana jika: (1) ia
277 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian
II, Pt Hecca Mitra utama, Jakarta,2004,hlm 15
262
terjadi, atau akan terjadi yang dilakukan oleh bawahannya; (2) ia mempunyai
kesempatan untuk mengambil tindakan; dan (3) ia gagal mengambil tindakan
korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu.
Pasal 7 ayat 3 Statuta Roma secara imperatif mencerminkan standar hukum
kebiasaan internasional ini.
Rujukan pada standar internasional
komando ABRI dalam kasus Timor-Timur, atau Jenderal Benny Moerdani dan
Jenderal Try Sutrisno dalam Kasus Tanjung Priok, sekalipun keduanya
direkomendasikan oleh Komnas HAM untuk diminta pertanggungjawabannya.
Mengenai pengahapusan pidana bagi bawahan yang melakukan tindakan atas
perintah jabatan. Yang menyatakan bahwa seseorang tidak dipidana karena
melakukan tindak pidana dalam melaksanakan perintah jabatan yang diberikan
oleh pejabat yang bewenang. Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang
tidak mengakibatkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan
dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang
dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Ketentuan penghapusan pidana bagi bawahan yang berisikan seorang
bawahan yang melakukan
263
tindak pidana
Oleh karena itu sangat sulit untuk diadili dimuka pengadilan yang adil dan
sungguh-sungguh. Dalam konteks Indonesia, kesulitan mengadilipun bisa dialami
dan pernah dialami. Dengan berlakunya beberapa proses pengadilan seperti
pengadilan umum dan pengadilan militer bersamaan dengan pengadilan HAM,
maka bisa jadi untuk menghindari diadili melalui peradilan HAM, para pelaku
kemudian diadili dengan pengadilan umum atau militer. Maka ketika peradilan
khusus HAM digelar, asas ne bis in idem digunakan oleh para pelaku untuk
menolak diadakan pengadilan terhadapnya.282
Sebagai kejahatan yang dikategorikan bersifat extra ordinary crimes
seharusnya kejahatan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan , membuka
peluang adanya pengecualian terhadap asas ne bis in idem dalam hal pengadilan
unable atau unwilling.
Kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan
memberikan
tidak dapat
dan
abolisi
memberikan
peluang
tidak
dilakukannya
285
untuk perlindungan saksi dan korban. Para korban kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan juga mendapatkan kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi, yang sebelumnya juga diatur dalam pasal 35 UU No. 26 tahun 2000
tentang Pengadilan HAM.
Kompensasi atas kerugian bagi korban sesungguhnya merupakan
kewajiban negara yang harus diberikan tanpa ketergantungan dengan pihak pelaku
apakah pelaku mau memberikan ganti rugi atau tidak.287 Konteks reparasi harus
diletakkan tidak semata-mata pada konsep ganti kerugian berupa uang tapi juga
bentuk lainnya misalnya non reccurence dan pemuasan (satisfaction). 288
Dari rumusan Undang-Undang No 26 tahun 2000 setidaknya ditemui dua
hal yang menjadi kelemahan dari Bab IX tentang Tindak Pidana Hak Asasi
Manusia; pertama, pengaturan atau rumusan yang dimasukkan tidak memadai,
baik karena tidak lengkap dan hanya mencomot bagian-bagian tertentu dari
norma-norma internasional, maupun karena penterjemahan yang tidak baik
sehingga istilah yang digunakan tidak tepat. Kedua, ada banyak istilah-istilah
yang digunakan tidak dijelaskan secara baik atau tidak ada penjelasannya.
Berdasarkan
kesesuaian
pengaturan
tentang
kejahatan
terhadap
Perumusan
dalam
Undang-Undang
No
26
tahun
2000
menghilangkan satu kata yang cukup penting yaitu kata "setiap" sebelum kata
"penduduk sipil". Seharusnya perumusannya adalah "setiap penduduk sipil" yang
merupakan terjemahan dari sumber yang diadopsinya yaitu Statuta Roma yakni
289 Pasal 7 Statuta Roma, attack directed against any civilian
population.
270
pengertian
"kebijakan
penguasa"
atau
"kebijakan
yang
271
Pengertian
penganiayaan
berdasarkan
jurisprudensi
merupakan perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa tidak enak, rasa
sakit, atau luka.
Kesalahan
pengertian
mengenai
kejahatan
`persecution"
harus
291
Padahal,
kedua hal ini penting untuk menunjukkan sifat khusus pada sifat kejahatan
terhadap kemanusiaan, di mana lebih jauh berimplikasi pada keterlibatan
kebijakan dan otoritas yang memegang kekuasaan dalam terjadinya pelanggaran.
Kondisi yang sama juga berlaku terhadap elemen "diketahui" (intention).
Ketidakjelasan definisi ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di
pengadilan.
Penjelasan yang cukup mendetail dan jelas menjadi penting mengingat
pemahaman bahwa jenis delik kejahatan dalam undang-undang ini adalah
kejahatan khusus yang memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan
pengaturan dalam hukum publik yang ada misalnya kejahatan biasa sebagaimana
diatur dalam KUHP Dalam hal ini kebutuhan terbesar adalah memberikan
rumusan yang cukup jelas untuk menunjukkan sifat khusus delik, misalnya
berkaitan dengan adanya unsur policy. Tanpa ada penjelasan dalam tiap unsurnya,
maka akan mengakibatkan sulitnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku
kejahatan terhadap kemanusiaan karena dakwaan jaksa penuntut umum akan
disusun secara sumir. Padahal dalam implementasinya, majelis hakim akan
banyak mendasarkan putusannya pada intepretasi atas rumusan pasal ini.
291 Statuta Roma tidak mempunyai penjelasan mengenai meluas dan
sistematik .
273
Oleh sebab itu perlu agar ketentuan tentang tindak pidana kejahatan (dan
juga tindak pidana lainnya) dilengkapi dengan rumusan unsur-unsur deliknya. Hal
ini dimaksudkan untuk memudahkan penerapan dari ketentuan atas jenis tindak
pidana yang bersangkutan.292
Ketidakjelasan dalam memberikan pengertian tentang aspek percobaan,
permufakatan jahat dan pembantuan dalam tindak pidana terhadap kemanusiaan
akan merancukan pertanggungjawaban pidana pelaku. Kejelasan ini misalnya bisa
mengacu pada ketentuan dalam Pasal 25 ayat (3) Statuta Roma tentang dapat
dipidana dan dikenai hukuman terhadap seseorang yang melakukan kejahatan.
Ketentuan dalam Statuta Roma ini akan memperjelas posisi pelaku langsung
maupun pelaku tidak langsung karena membedakan antara direct (pIysical)
perpretation, indirect perpetration dan co perpetration.
Dalam hal pelaku adalah seorang komandan militer atau atasan polisi atau
atasan sipil perlu ditentukan secara tegas bahwa para pelaku tersebut dipidana
dalam konteks melakukan tindak pembantuan, permufakatan jahat atau dalam
posisinya sebagai komandan sehingga dikenakan ketentuan mengenai tanggung
jawab komandan. Secara teoritis, penyertaan dan pembantuan atau sering
dipadankan dengan pengertian joint criminal enterprises sangat berbeda
maksudnya dengan dengan tanggung jawab komandan. Implikasi dari pembedaan
ini adalah dalam pembuktiannya, seorang komandan bisa saja dinyatakan bersalah
karena tidak melakukan tindakan yang layak pada anak buahnya yang melakukan
tindak pidana kemanusiaan, namun jika komandan didakwa dengan pembantuan
292 Telah ada buku Pedoman unsur-unsur Pelanggaran HAM yang Berat
dan Tanggung Jawab Komandan yang diterbitkan oleh Mahkamah
agung
274
maka sejak awal komandan memang sudah mengatahui dan ikut serta dalam
terjadinya tindak pidana kemanusiaan tersebut.
A. Prosedur Penyelesaian Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia
dalam
Mahkamah Agung
Tanggal 27
2.
3.
Resume kasus:
275
tindakan
276
terperinci tentang
tentang penyerangan itu, dan partisipasi TNI dalam penyerangan itu. Pengadilan
tidak
277
278
sebagian besar perkara yang membuat temuan minimal, sering tidak terinci atas
fakta-fakta esensial:
A. Pada tanggal 17 April 1999, sekitar 6000 orang menghadiri apel di lapangan
depan kantor Gubernur. Partisipan datang dari berbagai kabupaten di Timor
Timur, dan pejabat yang hadir dalam upacara itu, diantaranya adalah Muspida
Timor Timur, Gubernur Timor Timur Abilio Osorio Soares, Bupati Dili,
Walikota Dili.
B. Bupati Dili, Dominggus M.D. Soares, mengusulkan pada gubernur Timor
Timur untuk mengadakan upacara peringatan Pam Swakarsa di ibukota
propinsi Timor Timur. Atas panduan Gubernur, sebuah komite peringatan Pam
Swakarsa dibentuk
C. Kelompok-kelompok milisi terkait dengan militer, yang tujuannya adalah
mempertahankan integrasi. Militer mendukung (misalnya, senjata) kelompokkelompok yang memiliki hubungan khusus dengannya. Organisasi militer
yang mendukung milisi adalah Kopasus
D. Kodim atau polisi melatih pasukan Aitarak atau anggota PPI yang menjadi
anggota Pam Swakarsa, Hansip, atau Kamra, karena banyak yang tidak punya
pekerjaan. Pemerintah lokal membayar anggota Pam Swakarsa sebesar Rp.
150.000 dan 10 kg beras/ bulan.
E. Terdakwa memimpin pasukan Aitarak di Dili. Di antara partisipan apel
tersebut ada orang yang membawa senjata M 16 - mereka ini adalah anggota
TNI yang bergabung dalam kerumunan.
F. Selama pidato, tedakwa dan pimpinan PPI, serta kerumunan pengunjung itu
279
280
tertentu lebih dipercaya di bandingkan yang lain, nyaris tidak ada di perkaraperkara yang membebaskan terdakwa.
Berlandaskan pada temuan-temuan faktual, dan ditetapkannya kredibilitas
kesaksian serta pernyataan tersumpah sebelum pengadilan oleh para saksi korban,
maka pengadilan tidak kesulitan untuk mengkaitkan terdakwa dengan perbuatan
kejahatan
yang
didakwakan
padanya
dengan
menggunakan
doktrin
281
Pengadilan
Tinggi
Jakarta
dalam
Putusan
Nomor
Negeri
Jakarta
Pusat
tanggal
283
Agustus
2003
Nomor:
284
285
286
dan mengidentifikasi beberapa nama mereka. Rafael dos Santos juga memberi
kesaksian bahwa polisi melempar gas air mata ke dalam gereja.
Pihak jaksa penuntut, ketika meminta tuntutan bebas, tidak mencari
pembenaran mengapa Rafael dos Santos memilih untuk mengabaikan semua
bukti-bukti itu dan memberikan kredit pada kesaksian terdakwa dan personil TNI
yang dengan jelas untuk membenarkan diri sendiri.
Di dalam "analisis yudisial" nya, pihak penuntut menekankan beberapa pokok
yang jelas salah dan tidak akurat:
A. Kesaksian
saksi
ahli
bahwa
seorang
komandan
secara
moral
287
sipil." Konsep ini konsisten dengan penolakan jaksa untuk mengakui kehadiran
nyata milisi, yang bahkan belum lagi mempertimbangkan dukungan dari TNI dan
badan-badan negara lainnya (sebagaimaan dinyatakan dalam keputusan hakim
atas perkara Nur Muis). Akhirnya, mengenai elemen kebijakan dalam kejahatan
terhadap kemanusiaan, pihak penuntut membuat argumen seperti membuat
pembelaan. Memang ada perbedaan pendapat mengenai masalah kebijakan resmi
dalam ketetapan-ketetapan hukum di ICTY dan ICTR. Biasanya orang mengira
pihak penuntut akan bertahan pada pendapat bahwa tidak dibutuhkan suatu
kebijakan yang resmi tertuang untuk membuktikan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Pandangan ini akan melawan pandangan tim pembela yang
biasanya menuntut adanya kebijakan resmi. Tapi seperti sering terlihat di
pengadilan ini, dalam tuntutannya (requisitor) jaksa justru terlihat seperti
"pembela tersembunyi".295
Sudah cukup jelas bahwa strategi penuntutan diarahkan untuk mencegah
hakim memberi keputusan penghukuman bagi Adam Damiri. Tuntutan itu juga
mencuci bersih keterlibatan TNI dan pemerintah Indonesia dari tindakan
kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur. Pokok-pokok yang didaftar di
atas, yang ditekankan oleh pihak penuntut, secara bersamaan merupakan pokok
perseteruan
penting
antara
pemerintah
Indonesia
yang
menyangkal
289
senjata dari TNI. Jaksa tidak bertindak lebih jauh untuk mencari tahu sumbersumber persenjataan dan siapa yang menggunakannya. Implikasinya, sudah tentu
bahwa senjata itu merupakan senjata milisi dan tentunya tidak datang dari TNI.
Ketika hakim dan tim pembela mengambil kesempatan bertanya, jaksa terlihat
tidak sekalipun membuat catatan-catatan. Jaksa itu terlihat tidak punya perhatian,
terlihat bosan dan kadang-kadang terlihat terkantuk-kantuk. Menurut pendapat
pengamat internasional yang hadir saat itu, tampilannya dalam mengajukan
pertanyaan benar-benar tidak kompeten. Hakim, sebaliknya mengejar pertanyaan
dengan ketat. Mereka, sudah tentu, menghadapi masalah struktural dari semua
pengadilan ini - tidak hanya melimpahnya para saksi TNI, tetapi juga karena
terdakwa saling memberikan kesaksian di antara pengadilan yang berbeda.
menyelesaikan masalah ini.
Keputusan hakim Para hakim itu membuat keputusan bersalah terhadap
Adam Damiri. Dalam hal ini penting menganalisa landasan yang mereka pakai, di
tengah situasi jaksa yang justru meminta bebas karena tidak mampu membuktikan
semua tindak kejahatan yang didakwakan.
3
290
agar
Terpidana
segera
dilepaskan
dari
Lembaga
Pemasyarakatan ;
5. Menetapkan barang bukti sebagaimana tersebut dalam daftar barang bukti
diserahkan kepada Penuntut Umum untuk dijadikan bukti dalam perkara
lain;
6. Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat pengadilan kepada
Negara.
Adapun Abilio Suarez berdasarkan Pengadilan HAM Jakarta Pusat tanggal
14 Agustus 2002 No. 01/PID.HAM/AD HOC/2002/PH.JKT.PST, yang amar
lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1.
291
3.
4.
Menghukum Terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp. 5.000,(lima ribu rupiah).
Putusan Pengadilan Tinggi HAM Ad Hoc Jakarta tanggal 13 Maret 2003
2.
3.
Mahkamah
Agung
tanggal
April
2004
No.
04
292
Tuntutan: tuntutan Penuntut Umum pada tanggal 11 Juli 2002 yang adalah
sebagai berikut:
293
Kedua :
294
sehingga penilaian atas proses peradilan yang terjadi belum bisa dikatakan
lengkap.
Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain bebasnya para terdakwa,
juga tidak mampu memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. Hakhak korban yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sampai
saat ini tidak satupun yang diterima oleh korban. Padahal secara jelas bahwa para
korban pelanggaran HAM yang berat berhak mendapat kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi berdasarkan pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM.
Kegagalan pengadilan untuk melakukan proses penghukuman yang efektif
dan memberikan remedies kepada korban menyisakan banyak pertanyaan
mengenai proses pengadilan yang terjadi. Kegagalan pengadilan berakibat pada
tidak tercapainya keadilan bagi korban dan membuka kembali bahwa pengadilan
ini ternyata memiliki sejumlah kelemahan dan hambatan. Studi dan pengkajian
yang dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa kelemahanan proses
peradilan HAM terjadi dalam tahap mulai dari penyelidikan sampai dengan
pemeriksaan di pengadilan. Persoalan ketidak cukupan regulasi disebut-sebut
menjadi salah satu faktor yang mendorong kegagalan pengadilan. Faktor lainnya
yang juga diduga sebagai faktor yang memperlemah pengadilan HAM adalah
kapasitas para penegak hukumnya baik mulai tingkat penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan tidak terkecuali para hakim yang mengadili kasus-kasus
pelanggaran HAM yang berat ini. Pengadilan yang telah berjalan mempunyai
kelemahan, hambatan dan hasil berbeda satu sama lain.
296
297
298
panafsiran dari masing-masing majelis hakim, padahal kasus yang terjadi sangat
berkaitan satu sama lainnya.300
Putusan pengadilan juga tidak ada satupun yang memberikan keputusan
mengenai kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi kepada korban. Padahal
putusan pengadilan mengakui adanya kejahatan terhadap kemanusiaan dan adanya
korban dalam kejahatan tersebut. Diduga, tidak adanya keputusan kompensasi
kepada korban lebih disebabkan tidak adanya permohonan kompensasi, restitusi
maupun rehabilitasi yang diajukan ke pengadilan baik oleh penuntut umum
maupun korban.
Setelah proses pengadilan HAM ad Hoc berakhir yang membebaskan
semua terdakwa di pengadilan, maka pemerintah membentuk komisi kebenaran
dan persahabatan yang menyimpulkan adanya Pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat di timor-timur sebagaimana yang terdapat dalam kesimpulan yang ada
dalam laporan akhir komisi kebenaran dan persahabatan
Sejak tahun 2000, dengan diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang
pengadilan HAM, Indonesia mempunyai mekanisme untuk melakukan penuntutan
data kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida.
Hadirnya mekanisme ini membuka peluang dihadapkannya pelaku pelanggaran
HAM berat yang sebelumnya menikmati impunitas ke depan pengadilan.
saat ini tidak satupun yang diterima oleh korban. Padahal secara jelas bahwa para
korban pelanggaran HAM yang berat berhak mendapat kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi berdasarkan pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM.
Kegagalan pengadilan untuk melakukan proses penghukuman yang efektif
dan memberikan remedies kepada korban menyisakan banyak pertanyaan
mengenai proses pengadilan yang terjadi. Kegagalan pengadilan berakibat pada
tidak tercapainya keadilan bagi korban dan membuka kembali bahwa pengadilan
ini ternyata memiliki sejumlah kelemahan dan hambatan. Studi dan pengkajian
yang dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa kelemahanan proses
peradilan HAM terjadi dalam tahap mulai dari penyelidikan sampai dengan
pemeriksaan di pengadilan. Persoalan ketidakcukupan regulasi disebut-sebut
menjadi salah satu faktor yang mendorong kegagalan pengadilan. Faktor lainnya
yang juga diduga sebagai faktor yang memperlemah pengadilan HAM adalah
kapasitas para penegak hukumnya baik mulai tingkat penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan tidak terkecuali para hakim yang mengadili kasus-kasus
pelanggaran HAM yang berat ini.
Analisa umum putusan pengadilan HAM ini mencakup aspek-aspek pokok
yang berkaitan dengan terbuktinya perkara, pertanggungjawaban terdakwa,
pemidanaan, dan aspek reparasi kepada korban. Persoalan-persoalan pokok
tersebut pada prinsipnya saling terkait satu sama lain yang akan menunjukkan
hasil pengadilan HAM yang telah berjalan.
301
orang terbukti secara sah dan meyakinkan. Putusan pengadilan tingkat pertama,
meskipun dapat dibuktikan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, terdapat pola
pengungkapan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Pertama, terbukti ada
kejahatan terhadap kemanusiaan tetapi tidak mampu menunjukkan adanya
gambaran utuh mengenai pola dan keterkaitan antara milisi, aparat sipil, polisi
maupun militer.304 Kedua, majelis hakim menyatakan bahwa kebijakan
penyerangan yang mengakibatkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan
tersebut bukan hanya kebijakan organisasi masyarakat yang pro integrasi secara
mandiri tetapi terkait erat dengan kebijakan tertentu untuk memenangkan
kelompok pro integrasi dengan tujuan korban yang spesifik. Kejahatan terhadap
kemanusiaan yang terjadi meskipun dilakukan olah kelompok pro integrasi, tetapi
atas dukungan dan merupakan kelanjutan atas kebijakan pemerintah untuk
mendukung atau mempertahankan Timor-timur sebagai bagian dari negara
kesatuan Republik Indonesia.
Kelemahan terbesar dalam kasus Timor-Timur adalah tidak terbongkarnya
kejahatan yang dilakukan secara sistematik dan meluas, termasuk pembuktian atas
adanya unsur kebijakan negara. Hampir disemua putusan dalam pengadilan HAM
tidak mampu membuktikan bahwa kejahatan yang terjadi adalah bagian dari
kebijakan negara. Kasus Timor-Timur yang sampai akhir persidangan mampu
menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang berat berupa kejahatan terhadap
304 Terdapat dua putusan yang menunjukkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah serangan antara satu kelompok masyarakat dengan masyarakat lainnya yaitu yang
pro kemerdekaan dengan yang pro integrasi. Penyerangan ini melepaskan faktor
dukungan aparat birokrasi sipil, institusi militer maupun institusi polri dalam setiap pola
penyerangan yang dilakukan sehingga kebijakan penyerangan yang dilakukan adalah
kebijakan organisasional dari masyarakat tersebut.
303
304
didakwa dengan pasal 42 UU No. 26 tahun 2000. Pasal tersebut adalah pasal yang
mengatur tentang tanggung jawab Komando dan tanggung jawab atasan. Namun
dalam beberapa dakwaan lainnya, para terdakwa juga didakwa dengan pasal 55
ayat (1) KUHP tentang penyertaan.
Kegagalan untuk menghukum terdakwa dalam berbagai kasus putusan
banyak disebabkan karena tidak terbuktinya para terdakwa yang didakwa dengan
pasal 42 tersebut. Dalam kasus Timor-Timur, pada tingkat pertama, sebagian besar
putusan pengadillan HAM ad hoc kasus Timor-timur menyatakan bahwa pelaku
lapangan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah anggota milisi yang berada di
masing-masing lokasi
305
hukuman terhadap 6 terdakwa. Secara umum ada empat pola hubungan atas
pertanggungjawaban para terdakwa dikaitkan dengan terjadinya kejahatan
terhadap kemanusiaan. Pertama, terbuktinya bawahan terdakwa yang melakukan
pembiaran atas terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Kedua bahwa para
terdakwa tidak ada hubungan dengan pelaku pelanggaran HAM yang berat baik
de facto maupun de jure. Ketiga adalah adanya kelalaian yang dilakukan oleh
para terdakwa sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat.
Keempat, putusan pengadilan menunjukkan bahwa terdakwa bertanggungjawaban
karena sebagai komandan atas pelaku pelanggaran HAM yang berat. Namun pola
ini berubah pada pemeriksaan tingkat banding dan kasasi dimana hanya 2 (dua)
terdakwa dari kalangan sipil yang tetap dinyatakan bersalah. Dalam putusan
Peninjauan Kembali, Abilio JO Soares dan Eurico Guterres bahkan kemudian
dibebaskan karena mengajukan bukti baru yang mampu mengubah keputusan
Mahkamah Agung semula.306
Terbuktinya kejahatan terhadap kemanusiaan berpengaruh terhadap para
posisi terdakwa juga terlihat pada para terdakwa yang didakwa dengan pasal
306 Abilio dalam memori peninjauan kembalinya mengajukan dua
novum (bukti baru) yakni bahwa saat hasil jajak pendapat diumumkan
mulai terjadi kekacauan dan penembakan, dan saat itu pengendalian
keamanan diambil alih oleh Panglima Kodam IX Udayana Adam Damiri.
Bukti lain yang diajukan Abilio adalah sejak bulan Mei 1998 posisinya
sebagai gubernur mulai digoyang oleh ABRI, karena dianggap
menghambat upaya penyelesaian masalah Timtim dengan pendekatan
militer. Abilio juga pernah diminta oleh Panglima ABRI agar
mengundurkan diri sebagai gubernur, namun permintaan itu ditolak.
Posisi saya selaku gubernur digoyang oleh tentara. Tentara mulai
merekayasa perusakan mobil dinas gubernur oleh orang-orang suruhan
mereka. Abilio juga didemo sejumlah orang yang dipimpin Eurico
Guterres, yang menurut jaksa adalah anak buah Abilio.
306
tentang tanggung jawab komandan dan tanggung jawab atasan. Berdasarkan atas
keputusan yang dikaitkan dengan pertangungjawaban para terdakwa, terdapat
beberapa masalah yang muncul dalam keputusan tersebut. Pertama, adanya
ketidakjelasan pembedaan antara penggunaan pasal 42 UU No. 26 tahun 2000
dengan dengan pasal 55 ayat (1) kesatu tentang penyertaan. Tangung jawab
komando dan atasan dan tindakan penyertaan (joint criminal enterprise) adalah
berbeda. Penggunaan dan penerapan secara salah akan mengakibatkan kesulitan
pembuktian dan pertanggungjawaban terdakwa.
Kedua, terdapat ketidaksamaan dalam menafsirkan pengertian tentang
delik pembiaran (omission), dalam hal ini tidak melakukan tindakan yang layak
dan diperlukan untuk mencegah dengan ada atau tidaknya tindakan yang
dilakukan oleh komandan atau atasan. Kegagalan bertindak (failure to act) harus
diartikan dengan tidak melakukan tindakan sama sekali atau tidak melakukan
tindakan yang layak sehingga komandan harus bertanggung jawab. Hal ini untuk
dapat menentukan secara tegas tentang aspek-aspek pembelaan diri pasukan,
tindakan-tindakan yang proporsional dan tindakan-tindakan yang dikategorikan
dalam satu prosedur operasi.
Ketiga, tidak diajukannya pelaku lapangan ke pengadilan akan
mempengaruhi proses pembuktian kesalahan terdakwa yang didakwa dengan
pasal tentang tanggungjawab komandan atau atasan. Kasus Timor-timur
memperlihatkan bahwa terbuktinya pelanggaran HAM yang berat namun
dilakukan oleh pelaku yang tidak bisa dibuktikan adanya keterkaitan dengan
terdakwa menimbulkan tidak ada pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
307
308
309
dapat dikatakan sebagai ketentuan yang tidak berlaku dan telah menjadi preseden
bahwa ketentuan ini telah bisa disimpangi.
Pada bagian terakhir dari disertasi ini penulis ingin menyampaikan bahwa
Sebagai suatu negara hukum yang menghormati hak asasi manusia kondisi yang
disebutkan dalam uraian terdahulu seharusnya tidak terjadi, kegagalan dalam
memberikan keadilan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia dapat
dipandang sebagai kegagalan dalam memberikan penghormatan terhadap hak
asasi manusia sebagai salah satu unsur yang harus ada di dalam negara hukum,
demikian juga dengan teori hak asasi manusia dimana pelanggaran hak asasi
manusia berat merupakan suatu kejahatan yang luar biasa yang harus
mendapatkan hukuman sebagai pertanggungjawaban atas pelanggaran terhadap
hak asasi manusia tersebut. Dalam kaitannya dengan teori hukum pembangunan
tentunya hukum harus membangun masyarakat, akan tetapi dengan kegagalan
penyelesaiaan pelanggaran hak asasi manusia berat dan kegagalan dalam
memberikan keadilan bagi para korban maka hukum belum dapat
berperan
sebagai sarana pembangunan, dan tujuan dari sitem peradilan pidana yaitu untuk
menghukum pelaku kejahatan juga tidak tercapai, sedangkan dalam kaitannya
dengan pelanggaran hak asasi manusia berat, yang secara yuridis formal apabila
Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma yang berkaitan dengan pelanggaran hak
asasi manusia berat tersebut, maka Indonesia tidak terikat dengan Statuta Roma,
tetapi sebagai
310
311
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A Kesimpulan
Dengan apa yang diuraikan pada bab-bab terdahulu, maka kesimpulan yang
diambil dalam penelitian ini adalah :
1. Pengaturan tentang pelanggaran berat hak asasi manusia berat
Undang-Undang
dalam
memadai untuk
termasuk
B. Saran
312
1.
2.
sesuai hasil
313
Daftar Pustaka
A. Buku
Agustinus Edy Kristianto, A.Patra M.Zein, Panduan Bantuan Hukum Di
Indonesia Pedoman Anda memahami dan Menyelesaikan masalah Hukum ,
Ausaid,YLBHI,PSHK dan IALDF,Jakarta, 2009.
A.Masyur Effendi, Dimensi Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.
A. Prayitno,Et Al,
Pendidikan kebangsaan,Demokrasi dan Hak Asasi
Manusia,Penerbit Universitas Trisakti,Jakarta, 2001.
Abdul Manan, Demi Keadilan, catatan 15 tahun Elsam Memperjuangkan HAM,
Penerbit Elsam 2008.
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Indonesia, Studi
Sosio-Legal atas konstituante 1956-1959,Grafiti, Jakarta,1995.
Adnan Buyung Nasution, Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan
Supremasi Hukum, Dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII
,Denpasar,2003
_______, A.Patra M.Zein, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia,
Kelompok Kerja Ake Arif, Yayasan Obor Indonesia, Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 2006.
Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat HAM:
Indonesia, Timor Leste dan Lainnya, Grasindo, Jakarta 2005.
Allan McChesney, Memajukan dan Membela Hak - Hak
Budaya Insist Press, 2003.
Allison Morris dan Warrant Young, Reforming Criminal Justice: The Potential of
Restorative Justice, dalam Restorative Justice Philosophy to Practice, Edited
by Heather Strang and John Braithwaite, The Australian National University,
Asghate Publishing, Ltd, 2000.
Baderin Mashood A, International Human Rights and Islamic law, Oxfords
University Press,2003
Baehr Peter R., Human Rights Universality in Practise, Macmillan Press Ltd,
London, 1999.
Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945,FH.UII Press Yogyakarta,2004.
314
Human Rights
Terminology,
C.F.G. Sunaryati hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir abad ke-20,
Alumni,Bandung,1994.
315
Djoko Sutono, Hukum Tata Negara (materi kuliah yang dihimpun oleh harun Al
Rasjid), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.
Davidson Scott, Hak Asasi Manusia, Jakarta: Grafiti Pers, 1992.
David Cohen, Dimaksudkan Supaya Gagal, Proses Persidangan pada Pengadilan
Hak Asasi Manusia Ad Hoc di Jakarta, International Center for Transitional
Justice, Juli 2004.
Dewi Fortuna Anwar et al, Violent internal Conflict in Asia Pacifics,
Histories,Political Economies and Policies, yayasan Obor Indonesia, LIPI,
Lasema-CNRS,KITLV-Jakarta,2005.
Dicey.A.V., Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Ninth
Edition, Macmillan and Co Limited ST Martins Street, London 1952.
Djokosoetono, Hukum Tata Negara,Ind,Hill,Co,Jakarta, 2006.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat,Hak Asasi Manusia Miskin Dukungan
Politik, Catatan Awal Tahun 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat,
ELSAM, 2008.
---------, Kasus-Kasus Hukum yang Terkait dengan Pengadilan Pidana
Internasional Bagi Bekas Negara Yugoslavia, Elsam, 2004.
--------, Kasus-Kasus Hukum yang terkait dengan Pengadilan Pidana
Internasional Bagi untuk Rwanda, Elsam, 2006.
---------, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP, Position
Paper Advokasi RUU KUHP Seri3, 2005.
Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif Vis a Vis Peradilan Konvensional Dalam
Hukum Pidana Reorientasi Serta Prospeknya di Indonesia, Pidato
pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Hukum Pidana, Hukum Pidana
Ekonomi dan Tindak Pidana Khusus, Fakultas Hukum Universitas Trisati,
Jakarta,19 Agustus,2009.
E
Saefullah Wiradipradja,Tanggungjawab
Pengangkutan
Udara
Internasional
Liberty,Yogyakarta, 1989
Freeman
Mark,
Komisi-Komisi
Prosedural,ELSAM,Jakarta,2008.
Kebenaran
dan
Kepatutan
316
317
Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM dalam Perspektif KUHAP, Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan,1998.
IGM. Nurdjana, Sistem Hukum Piana dan Bahaya Laten Korupsi Perspektif
Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, Pustaka Pelajar,Yogyakarta,2009.
Jimly Asshiddiqie,Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,Serpihak
Pemikiran Hukum,Media, dan HAM,Editor Zainal A.M.Husein,Penerbit
Konstitusi Press,Jakarta,2005.
Joeniarto,Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, 1968.
Komnas perempuan dan Kelompok kerja Pengungkap Kebenaran,
Memperkenalkan Per Memoriam ad Spem Sosialisasi laporan Akhir Komisi
kebenaran dan persahabatan (KKP)-Indonesia Timor-Leste.
Kaligis, O.C., Peradilan (Politik ) HAM di Indonesia 1, Jakarta, OC Kaligis &
Associate, 2002.
----------------, Peradilan Politik HAM di Indonesia 2, Jakarta, OC Kaligis &
Associate, 2002.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kajian Perlindungan Hak Asasi Manusia
dalam RUU KUHPidana,Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2006.
Kuntjoro Purbopranoto,Hak-Hak
Paramita,Jakarta,1979.
Asasi
Manusia
dan
Pancasila,Pradnya
318
Ilmu
Politik,
Gramedia
Pustaka
319
Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung 2004.
Otje Salman dan Eddy Damian (Editor), Konsep-Konsep Hukum Dalam
pembangunan, Pusat studi Wawasan nusantara,Hukum dan pembangunan ,
Bekerjasam dengan PT Penerbit Alumni,Bandung,2002.
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum, Ghalia Indonesia,1983.
Paul S baut & Beny K Harman K, Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia,
Yayasan Lembaga bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1998.
Adnan Buyung Nasution, Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan
Supremasi Hukum, Dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII
,Denpasar,2003
Philipus M Jhon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu
Surabaya, 1987.
Piers Pigou, Menangis Tanpa Air Mata, Demi Keadilan dan Rekonsiliasi di Timor
Leste, Perspektif dan Harapan Komunitas, International Trasitional Justice,
2004.
Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia, diterbitkan
oleh Lembaga Kriminologi UI Program Penunjang bantuan Hukum di
Indonesia, 1983.
Ratner Steven R & Abrams Jason S, Melampaui Warisan Nuremberg,
Pertanggungjawaban untuk Kejahatan Terhadap Hak Asasi Manusia dalam
Hukum Internasional,ELSAM. 2008.
Robertus Robert, Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia, Sebuah
Refleksi Kritis, Elsam, 2008.
Romli Atmasasmita, Pengantar
Aditama,Bandung,2000.
Hukum
Pidana
Internasional,
Refika
dan
320
Rona K.M.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi
Manusia Universitas Islam Indonesia ( PUSHAM UII ), Yogyakarta, 2008
Robertson,Geofrey, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; Perjuangan Untuk
Mewujudkan Keadilan Global,Komnas HAM,Jakarta, 2002.
---------, Timor-Timur 1999 Kejahatan Terhadap Umat Manusia,Perkumpulan
HAK dan ELSAM, Universitas California Los Angeles, Juli,2003.
SAHRDC-HRDC,Komnas HAM & Prinsip-Prinsip Paris Sebuah Gugatan,
ELSAM 2001.
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transasi Politik Indonesia, Pusat
Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2003.
Sriwiyanti Eddyono dan Zainal Abidin, Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam
RKUHP, Penerbit ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP,
Jakarta,2007
Starke,JG. Pengantar Hukum Internasional 1, Sinar Grafika,Jakarta,1999.
------------, Pengantar Hukum Internasional 1, Sinar Grafika,Jakarta,1997.
Sinta Dewi dan Achmad Gusman Catur Siswandi (editor), Hukum dan
Perkembangan Masyarakat: Suatu Tinjauan kritis atas Perkembangan Hukum
di Indonesia, Tim Editor Kumpulan Karya Ilmiah Para Ahli hukum Dalam
Rangka Purna Bakti di Unpad dan Usia ke 70 Tahun Prof.Dr.H.E.Saefullah
Wiradipradja,SH.LLM.,Bandung 2008.
Soedjono Dirdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Citra Aditya
Bhakti,Bandung, 2002.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT RajaGrafindo Persada,1994.
Soerjono Soekanto, Pengantar penelitian Hukum,UI P-Press, Jakarta,1984.
Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, Penerbit Alumni bandung,1997.
Subhi Mahmassani, Konsep Dasar Hak Hak asasi manusia Studi Perbandingan
dalam Syariat Islam dan Perundang-Undangan Modern,Tirtama
Indonesia,Jakarta,1987.
321
322
323
324
325
326
327
328
329