Anda di halaman 1dari 18

WRAP UP SKENARIO 3

BLOK EMERGENSI

“KEMBUNG PADA ANAK ”

KELOMPOK A – 1

Ketua : Mohammad Jordan Fadhilla 1102015138

Sekretaris : Novia Reski Erianti 1102015169

Anggota : Afrizal Fazza 1102014004

Aindana Khoirunnisa 1102014009

Aliya Dewayanti 1102016017

Farah Rafidah Akmalia Muzakki 1102016066

Baiq Dwi Praptini Eva Fitri 1102016041

Desi Noviyanti 1102016050

MHD Habibi 1102016120

Arin Cahyaningtyas Widya 1102017038

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI

2021 – 2022
SKENARIO 3

KEMBUNG PADA ANAK

Seorang bayi perempuan berumur 6 bulan dibawa ibunya ke UGD dengan keluhan sejak
satu hari yang lalu BAB berupa lender bercampur darah tanpa feses sebanyak tiga kali dan
muntah berwarna hijau lima kali. Anak rewel dan sering menangis mengangkat kaki, tidak mau
makan dan minum, serta badan panas. Hasil pemeriksaan fisik keadaan tampak sakit sedang,
tekanan darah 100/60 mmHg; frekuensi nadi 150x/menit; frekuensi nafas 36x/menit; suhu 39oC.
Rectal toucher ditemukan ampula collaps dan tidak ditemukan feses. Darah positif lender current
jelly positif. Pemeriksaan penunjang BNO 3 posisi ditemukan adanya tanda-tanda step ladder
dan herring bone serta air fluid level. USG abdomen ditemukan donut sign positif.

Kata sulit
1. Current Jelly : adanya darah dan lendir yang keluar dari rectum.
2. Herring Bone : gambaran seperti tulang ikan pada radiologi yang menandakan
adanya penebalan pada dinding usus halus yang dilatasi.
3. Donut Sign : gambaran seperti donut atau bulse eye atau target pada usg yang
menandakan intususepsi.
4. Step Ladder : gambaran pola udara dalam rectum seperti anak tangga.
5. Ampulla Collaps : keadaan yang diakibatkan karena gerak peristaltic usus tetapi tidak
terdapat feses sehingga colaps.
6. Air Fluid Level : batas antara udara dan cairan merupakan gambaran yang menandakan
gangguan pada usus.

Pertanyaan
1. Mengapa saat rectal toucher terdapat ampula collaps ?
Karena adanya obstruksi pada bagian proksimal sehingga menyebabkan bagian distal collaps dan
tidak ada feses.
2. Apa diagnosis dari kasus tersebut ?
Ileus obstruksi at causa intususepsi.
3. Kenapa muntah berwarna hijau ?
Karena ada obstruksi usus sehingga makanan bercampur dengan cairan empedu.
4. Mengapa pada BAB tidak ditemukan feses ?
Ada blockade dibagian sebelum rectum
5. Mengapa BAB berdarah dan berlendir ?
Adanya jaringan yang inflamasi atau iskemik dan keluar melalui saluran pencernaan di colon.
6. Pemeriksaan penunjang apa yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis ?
Ada Analisa gas darah dan test lab specimen muntah.
7. Bagaimana tatalaksana pada kasus tersebut ?
Ngt, folley kateter dan infus cairan.
8. Apa etiologi dari kasus diatas ?
Bisa karena virus atau idiopatik.
9. Apa komplikasi yang dapat terjadi ?
Rupture,peritonitis, sepsis dan shock septik.
10. Apa saja pencegahan yang dapat dilakukan ?
Memberikan makanan yang sesuai dengan usia dan menerapkan pola hidup sehat.

Hipotesis
Virus dan kelainan idiopatik menimbulkan obstruksi ileus at causa intususepsi yang
menyebabkan timpulnya manifestasi seperti kolik dan muntah hijau. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan melakukan rectal toucher, USG, dan BNO 3 posisi, serta pemeriksaan penunjang dengan
Analisa gas darah dan test lab specimen muntah. Pada penyakit ini dapat di tatalaksana dengan
ngt, folley kateter dan infus cairan. Dan penyakit dapat dicegah dengan memberikan makanan
yang sesuai dengan usia dan menerapkan pola hidup sehat.

Sasaran belajar
1. Memahami dan Menjelaskan Ileus ( Obstruksi + Paralitik )
1.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi
1.2 Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi
1.3 Memahami dan Menjelaskan Etiologi
1.4 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi
1.5 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi
1.6 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi klinis
1.7 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding
1.8 Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana
1.9 Memahami dan Menjelaskan Pencegahan
1.10 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi
1.11 Memahami dan Menjelaskan Prognosis

1. Memahami dan Menjelaskan Ileus (obstruksi & paralitik)

1.1 Definisi
Ileus adalah oklusi atau kelumpuhan usus yang mencegah perjalanan isi usus untuk
maju, menyebabkan akumulasi proksimal ke tempat penyumbatan. (Vilz et al, 2017)

1.2 Epidemiologi
Berdasarkan Riskesdas 2007, ileus/hernia/obstruksi usus berada di peringkat ke-10 di
pedesaan dalam daftar 10 pola penyebab kematian bayi (0-11 bulan) menurut tipe daerah
(perkotaan/pedesaan). (Rachmawati et al, 2011)

1.3 Etiologi
Tiga penyebab obstruksi usus halus yang paling umum adalah perlengketan akibat
operasi perut sebelumnya, hernia, dan neoplasma. Berbeda dengan obstruksi mekanis,
penyebab ileus atau pseudoobstruksi biasanya tersembunyi dan multifaktorial. Pada pasien
kanker, penyebab paling umum termasuk penggunaan opioid, ketidakseimbangan
elektrolit, agen kemoterapi tertentu (seperti vincristine), dan gangguan metabolisme.
(Sinicrope, 2003)
Etiologi ini dapat dikelompokkan menjadi:
 Neurogenik : Pascaoperasi, kerusakan medula spinalis, keracunan timbal, kolik
ureter, iritasi persarafan splanknikus, pankreatitis
 Metabolik : Gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia), uremia,
komplikasi DM, penyakit sistemik seperti SLE, sklerosis multipel
 Obat-obatan : Narkotik, antikolinergik, katekolamin, fenotiazin, antihistamin
 Infeksi : Pneumonia, empiema, urosepsis, peritonitis, infeksi sistemik berat
lainnya
 Iskemia usus
(Djumhana & Syam, 2015)
Operasi perut bagian bawah, termasuk operasi usus buntu, operasi kolorektal, prosedur
ginekologi, dan perbaikan hernia, memberikan risiko lebih besar dari obstruksi usus kecil
perekat. Penyebab obstruksi yang kurang umum termasuk intususepsi usus, volvulus, abses
intra-abdominal, batu empedu, dan benda asing. (Jackson & Raiji, 2011)

1.4 Klasifikasi
Ileus digambarkan secara klinis sebagai obstruksi mekanis, dinamis
(obstruktif/mekanik) atau adinamik (paralitik/fungsional) dari usus. Ileus adinamik adalah
obstruksi patologis usus karena kegagalan otot polos untuk berkontraksi (tidak ada gerak
peristaltik). Ileus dinamis adalah obstruksi usus patologis karena kontraksi spastik
(kegagalan untuk berelaksasi) dari otot-otot sirkular di segmen usus (ada gerak peristaltik
dan/atau ada sumbatan). Obstruksi mekanis dan ileus adinamik dan dinamis disertai
dengan nyeri kolik yang parah, distensi abdomen, muntah, dan konstipasi. (Wood, 2012)
Berdasarkan kausa, ileus obstruktif dibagi menjadi intra-lumen (benda asing,
tumor/kanker usus) dan ekstra-lumen (hernia inkarserata, tumor intra-abdomen (ex: tumor
ovarium yang menekan usus). Sementara untuk obstruksi kolon, klasifikasinya berdasarkan
keadaan katup ileocaecal (pembatas antara ileum dan caecum). Tipe IA adalah tipe yang
dilatasi ususnya hanya sampai caecum (tidak merusak katup ileocaecal, ileum tidak
distensi), tipe IB adalah tipe yang dilatasi ususnya sudah mencapai ileum (>9 cm 🡪
perforasi), dan tipe II adalah tipe yang katup ileocaecalnya sudah rusak sehingga batas
antara ileum dan caecum sudah tidak bisa jelas terlihat (sudah dilatasi semua, mirip ileus
paralitik) (Bimo. 2021)

1.5  Patofisiologi
ILEUS OBSTRUKTIF

Proses patofisiologi pada obstruksi usus memiliki kesamaan antara obstruksi usus
mekanik maupun non mekanik. Hal yang dapat membedakan keduanya yaitu pada obstruksi non
mekanik, sejak awal peristaltik mengalami hambatan namun pada obstruksi mekanik sejak awal
peristaltik diperkuat, lalu intermitten, lalu perlahan menghilang. Kurang lebih 8 liter cairan
diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari dan akan diasorbsi sebelum menuju kolon.
Obstruksi usus terjadi karena adanya sumbatan pada lumen dan bakteri berkembang biak disana
sehingga mengakibatkan terjadinya akumulasi gas dan cairan (70% dari gas yang tertelan).
(Price, SA&Wilson, LM. 2006) 

Hal ini dapat terjadi di bagian proksimal atau distal usus. Saat akumulasi berada di bagian
distal mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intra abdomen dan intra lumen.
Peningkatan tekanan yang terjadi dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan
ekstravasasi air dan elektrolit di peritoneal. Terjadinya hal tersebut menyebabkan adanya retensi
cairan di usus dan rongga peritoneum sehingga sirkulasi dan volume darah mengalami
penurunan. (Price, SA&Wilson, LM. 2006)

Jika akumulasi terjadi di bagian proksimal akan mengakibatkan kolaps pada usus
sehingga terjadi distensi abdomen. Kemudian terjadi penekanan vena mesenterika yang
mengakibatkan kegagalan oksigenasi dinding usus sehingga menurunnya aliran darah ke usus
lalu iskemia dan terjadi nekrosis pada usus. Saat usus mengalami nekrosis akan terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan pelepasan bakteri dan toksin yang mengakibatkan
perforasi. Terjadinya perforasi menyebabkan bakteri akan masuk ke dalam sirkulasi sehingga
terjadi sepsis dan peritonitis. (Price, SA&Wilson, LM. 2006) 

Saat terjadi distensi abdomen , usus akan mengalami penurunan fungsi dan sekresi usus
akan meningkat sehingga terjadi penumpukan di dalam lumen secara progresif yang
menyebabkan terjadinya retrograde peristaltic sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit,
syok hipovolemik akan terjadi jika hal ini tidak ditangani. (Price, SA&Wilson, LM. 2006)

1.6. Manifestasi klinik


1. Distensi abdomen 
2. Muntah 
3. Nyeri konstan distensi 
4. Bising usus tenang atau tidak ada secara klasik dapat ditemukan tetapi temuan yang tidak
konsisten 
5. Pemeriksaan laboratorium sering kali normal
6. Foto polos memperlihatkan loop usus halus yang berdilatasi dengan batas udara-cairan 
7. Sulit dibedakan dengan ileus obstruktif tetapi distensi seluruh panjang kolon lebih sering
terjadi pada ileus paralitik.

1.7 Diagnosis dan Diagnosis banding


Untuk menegakkan diagnosis intususepsi didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik,
laboratorium dan radiologi.

Gejala klinis yang menonjol dari intususepsi adalah suatu trias gejala yang terdiri dari :
(1-5,7,13) 

 Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat hilang timbul. Nyeri
menghilang selama 10-20 menit, kemudian timbul lagi serangan baru.
 Teraba massa tumor di perut bentuk curved sausage pada bagian kanan atas, kanan
bawah, atas tengah, kiri bawah atau kiri atas.
 Buang air besar campur darah dan lendir yang disebut red currant jelly stool.
Bila penderita terlambat memeriksakan diri, maka sukar untuk meraba adanya tumor, oleh
karena itu untuk kepentingan diagnosis harus berpegang kepada gejala trias intususepsi.
Mengingat intususepsi sering terjadi pada anak berumur di bawah satu tahun, sedangkan
penyakit disentri umumnya terjadi pada anak-anak yang mulai berjalan dan mulai bermain
sendiri maka apabila ada pasien datang berumur di bawah satu tahun, sakit perut yang
bersifat kolik sehingga anak menjadi rewel sepanjang hari/malam, ada muntah, buang air
besar campur darah dan lendir maka pikirkanlah kemungkinan intususepsi . (13)

The Brighton Collaboration Intussuseption Working Group mendirikan sebuah diagnosis


klinis menggunakan campuran dari kriteria minor dan mayor. Strasifikasi ini membantu
untuk membuat keputusan berdasarkan tiga level dari pembuktian untuk membuktikan
apakah kasus tersebut adalah intususepsi .
(2)

Kriteria Mayor

 Adanya bukti dari obstruksi usus berupa adanya riwayat muntah hijau, diikuti dengan
distensi abdomen dan bising usus yang abnormal atau tidak ada sama sekali.
 Adanya gambaran dari invaginasi usus, dimana setidaknya tercakup hal-hal berikut ini:
massa abdomen, massa rectum atau prolaps rectum, terlihat pada gambaran foto
abdomen, USG maupun CT Scan.
 Bukti adanya gangguan vaskularisasi usus dengan manifestasi perdarahan rectum atau
gambaran feses “red currant jelly” pada pemeriksaan “Rectal Toucher“.

Kriteria Minor
 Bayi laki-laki kurang dari 1 tahun
 Nyeri abdomen
 Muntah
 Lethargy
 Pucat
 Syok hipovolemi
 Foto abdomen yang menunjukkan abnormalitas tidak spesifik.
 
Berikut ini adalah pengelompokkan berdasarkan tingkat pembuktian, yaitu :
A. Level 1 – Definite (ditemukannya satu kriteria di bawah ini)
 Kriteria Pembedahan – Invaginasi usus yang ditemukan saat pembedahan
 Kriteria Radiologi – Air enema atau liquid contrast enema menunjukkan invaginasi
dengan manifestasi spesifik yang bisa dibuktikan dapat direduksi
olehenema tersebut.
 Kriteria Autopsi – Invagination dari usus

B. Level 2 – Probable (salah satu kriteria di bawah)

 Dua kriteria mayor


 Satu kriteria mayor dan tiga kriteria minor

C. Level 3 – Possible
 Empat atau lebih kriteria minor

Pemeriksaan Fisik &


Ileus Obstruktif Ileus Paralitik
Penunjang
Distensi Abdomen  ✓ ✓
 Darm contour
 Darm steifung
Bising Usus  ↑ 🡪 metallic sound (+)  ↓ 🡪 (-)
 ↓ (pada prolonged  Perkusi timpani
obstruction)
Rectal Touche Ampulla recti kolaps Ampulla recti intak
Tanda Dehidrasi (+) (+)
Foto BNO 3 posisi Dilatasi usus dengan air-fluid Dilatasi usus difus (udara mengisi
level kolon dan rektum)

Foto Polos Abdomen 3 Posisi 🡪 supine, semierect/erect, left lateral decubitus (LLD) 🡪 u/
evaluasi distribusi udara
 Ileus Obstruktif

 Ileus Paralitik

DIAGNOSIS BANDING 

 Gastroenteritis, bila diikuti dengan intususepsi dapat ditandai jika dijumpai perubahan
rasa sakit, muntah dan perdarahan.
 Divertikulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.
 Disentri amoeba, disini diare mengandung lendir dan darah, serta adanya obstipasi, bila
disentri berat disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan demam.
 Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.
 Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali dan pada colok
dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit perianal, sedangkan pada
intususepsi didapati adanya celah.
1.8 Tata Laksana

Pada bayi maupun anak yang dicurigai intususepsi atau invaginasi,


penatalaksanaan lini pertama sangat penting dilakukan untuk mencegah komplikasi yang
lebih lanjut. Selang lambung (Nasogastric tube) harus dipasang sebagai tindakan
kompresi pada pasien dengan distensi abdomen sehingga bisa dievaluasi produksi
cairannya. Setelah itu, rehidrasi cairan yang adekuat dilakukan untuk menghindari
kondisi dehidrasi dan pemasangan selang catheter untuk memantau ouput dari cairan.
Pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit darah dapat dilakukan .
(2,16)

“Pneumatic” atau kontras enema masih menjadi pilihan utama untuk diagnosa maupun
terapi reduksi lini pertama pada intususepsi di banyak pusat kesehatan. Namun untuk
meminimalisir komplikasi, tindakan ini harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa
panduan. Salah satunya adalah menyingkirkan kemungkinan adanya peritonitis, perforasi
ataupun gangrene pada usus. Semakin lama riwayat perjalanan penyakitnya, semakin
besar kemungkinan kegagalan dari terapi reduksi tersebut .
(16)
Tindakan Non Operatif

Hydrostatic Reduction
Metode reduksi hidrostatik tidak mengalami perubahan signifikan sejak dideskripsikan
pertama kali pada tahun 1876. Meskipun reduksi hidrostatik dengan menggunakan barium di
bawah panduan fluoroskopi telah menjadi metode yang dikenal sejak pertengahan 1980-an,
kebanyakan pusat pediatrik menggunakan kontras cairan saline (isootonik) karena barium
memiliki potensi peritonitis yang berbahaya pada perforasi intestinal (16).

Berikut ini adalah tahapan pelaksanaannya :

 Masukkan kateter yang telah dilubrikasi ke dalam rectum dan difiksasi kuat diantara
pertengahan bokong.

 Pengembangan balon kateter kebanyakan dihindari oleh para radiologis sehubungan


dengan risiko perforasi dan obstruksi loop tertutup.

 Pelaksanaannya memperhatikan “Rule of three” yang terdiri atas: (1) reduksi hidrostatik


dilakukan setinggi 3 kaki di atas pasien; (2) tidak boleh lebih dari 3 kali percobaan; (3)
tiap percobaan masing-masing tidak boleh lebih dari 3 menit.

 Pengisian dari usus dipantau dengan fluoroskopi dan tekanan hidrostatik konstan
dipertahankan sepanjang reduksi berlangsung.

 Reduksi hidrostatik telah sempurna jika media kontras mengalir bebas melalui katup
ileocaecal ke ileum terminal. Reduksi berhasil pada rentang 45-95% dengan kasus tanpa
komplikasi.

 Selain penggunaan fluoroskopi sebagai pemandu, saat ini juga dikenal reduksi
menggunakan air (dilusi antara air dan kontras soluble dengan perbandingan 9:1) dengan
panduan USG. Keberhasilannya mencapai 90%, namun sangat tergantung pada
kemampuan expertise USG dari pelakunya . (4)

Teknik non pembedahan ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan reduksi
secara operatif. Diantaranya yaitu : penurunan angka morbiditas, biaya, dan waktu perawatan
di rumah sakit .
(2,16)

Pneumatic Reduction
Reduksi udara pada intususepsi pertama kali diperkenalkan pada tahun 1897 dan cara
tersebut telah diadopsi secara luas hingga akhir tahun 1980. Prosedur ini dimonitor secara
fluroskopi sejak udara dimasukkan ke dalam rectum. Tekanan udara maksimum yang aman
adalah 80 mmHg untuk bayi dan 110-120 mmHg untuk anak. Penganut dari model reduksi
ini meyakini bahwa metode ini lebih cepat, lebih aman dan menurunkan waktu paparan dari
radiasi. Pengukuran tekanan yang akurat dapat dilakukan, dan tingkat reduksi lebih tinggi
daripada reduksi hidrostatik. Berikut ini adalah langkah-langkah pemeriksaannya:
Sebuah kateter yang telah dilubrikasi ditempatkan ke dalam rectum dan direkatkan dengan
kuat.
Sebuah manometer dan manset tekanan darah dihubungkan dengan kateter, dan udara
dinaikkan perlahan hingga mencapai tekanan 70-80 mmHg (maksimum 120 mmHg) dan
diikuti dengan fluoroskopi. Kolum udara akan berhenti pada bagian intususepsi, dan
dilakukan sebuah foto polos.
Jika tidak terdapat intususepsi atau reduksinya berhasil, udara akan teramati melewati usus
kecil dengan cepat. Foto lain selanjutnya dibuat pada sesi ini, dan udara akan dikeluarkan
duluan sebelum kateter dilepas.
Untuk melengkapi prosedur ini, foto post reduksi (supine dan decubitus/upright views) harus
dilakukan untuk mengkonfirmasi ketiadaan udara bebas.
Reduksi yang sulit membutuhkan beberapa usaha lebih. Penggunaan glucagon (0.5 mg/kg)
untuk memfasilitasi relaksasi dari usus memiliki hasil yang beragam dan tidak rutin
dikerjakan.
Tindakan Operatif
Apabila diagnosis intususepsi yang telah dikonfirmasi oleh x-ray, mengalami kegagalan
dengan terapi reduksi hidrostatik maupun pneumatik, ataupun ada bukti nyata akan
peritonitis difusa, maka penanganan operatif harus segera dilakukan .
(16)

Prosedur operatif :
(20)

 Insisi
Antibiotik intravena preoperatif profilaksis harus diberikan 30 menit sebelum insisi
kulit.
Pasien diposisikan terlentang dan sayatan kulit sisi kanan perut melintang dibuat
sedikit lebih rendah daripada umbilikus (Gambar 12). Sayatan bisa dibuat sejajar, di
bawah atau di atas umbilikus, tergantung pada derajat intususepsi.

 
 Diseksi
Teknik pemisahan otot dimulai dari eksternal, obliqus internus, dan fascia
transversalis.
Usus yang mengalami intususepsi secara hati-hati dijangkau dari luka operasi dan
reduksi dilakukan dengan lembut, meremas usus distal ke apex bersamaan dengan
tarikan lembut dari usus proksimal untuk membantu reduksi (Gambar 13). Traksi
yang kuat atau menarik usus intususeptum dari intususipien harus dihindari, karena
ini dapat dengan mudah mengakibatkan cedera lebih lanjut pada usus besar.

Setelah reduksi, kondisi umum ileum terminal yang mengalami intususepsi harus dinilai
dengan hati-hati (Gambar 14).

Kadang-kadang, reseksi usus segmental diperlukan jika reduksi tidak dapat dicapai atau
usus nekrotik diidentifikasi setelah reduksi. Umumnya, ileum terminal yang direduksi
muncul kehitaman dan menebal pada palpasi. Penempatan spons yang hangat dan lembab
selama beberapa menit dapat meningkatkan perfusi jaringan lokal, sehingga, berpotensi
menghindari reseksi bedah yang tidak perlu.
Appendektomi standar dilakukan jika dinding cecal berdekatan adalah normal (Gambar
15).

 Menutup
Setelah reduksi dicapai atau reseksi dilakukan (jika diperlukan) dan hemostasis
dipastikan, penutupan fasia perut dilakukan di lapisan menggunakan benang
absorbable 3-0.
Kulit reapproximated dengan jahitan subcuticular 5-0 yang diserap.
Perawatan pasca Operasi(13)
Pada kasus tanpa reseksi, Nasogastric tube berguna sebagai dekompresi pada saluran
cerna selama 1-2 hari dan penderita tetap dengan infus. Setelah oedem dari intestine
menghilang, pasase dan peristaltik akan segera terdengar. Kembalinya fungsi intestine
ditandai dengan menghilangnya cairan kehijauan dari nasogastric tube. Abdomen
menjadi lunak, tidak distensi. Dapat juga didapati peningkatan suhu tubuh pasca operasi
yang akan turun secara perlahan. Antibiotika dapat diberikan satu kali pemberian pada
kasus dengan reduksi. Pada kasus dengan reseksi perawatan menjadi lebih lama.
1.9 Pencegahan
Permen karet adalah salah satu metode yang disarankan untuk pencegahan profilaksis
ileus. Studi tingkat I dalam literatur bedah umum telah menunjukkan bahwa tindakan
pengunyahan merangsang sirkuit cephalic-vagal yang mengarah pada peningkatan
motilitas GI dan penurunan tingkat ileus.
Secara farmakologis, alvimopan, antagonis reseptor -opioid selektif dengan afinitas
reseptor tinggi untuk reseptor GI, telah digunakan dan dipelajari sebagai obat pencegahan.
Percobaan terbaru telah menunjukkan kemanjurannya untuk mencegah ileus pasca operasi
pada pasien yang menjalani operasi perut
Alvimopan digunakan dalam kasus ini untuk mencegah perkembangan ileus pasca
operasi. Kemanjuran alvimopan untuk mencegah ileus setelah operasi usus
didokumentasikan dengan baik, dan efek sampingnya minimal termasuk kram perut, mual
dan perut kembung. Rasio bahaya untuk kembalinya fungsi usus dalam studi acak yang
membandingkan alvimopan dengan plasebo telah dilaporkan sebagai 1,45 hingga 2,29.
Meskipun sangat mungkin bahwa pasien ini tidak akan mengalami ileus setelah
prosedur tahap kedua, kasus ini menyoroti strategi yang dapat digunakan pada pasien
operasi tulang belakang yang berisiko tinggi mengalami ileus pasca operasi. Pasien
menjalani rawat inap yang lama di rumah sakit setelah operasi awalnya karena ileus pasca
operasi, tetapi ketika diberikan profilaksis dengan alvimopan 12 mg dua kali sehari setelah
operasi kedua, dia mengalami kembalinya fungsi usus secara spontan pada hari kedua
pasca operasi. Penggunaan narkotikanya serupa selama kedua rawat inap di rumah sakit.
Uji coba formal yang menyelidiki alvimopan dan keefektifannya untuk mencegah ileus
pada pasien bedah ortopedi dan tulang belakang dengan risiko tinggi ileus pascaoperasi
dapat membantu menjelaskan keuntungan dan kerugian potensial dari penggunaan obat ini
secara rutin. Jika tingkat ileus menurun dengan intervensi ini atau lainnya, angka
morbiditas dan mortalitas, selain biaya rawat inap yang berkepanjangan, dapat dikurangi.
(Shah et al, 2015).

1.10 Komplikasi
 Iskemia usus :Penekanan pada vena meyebabkan usus yang tidak mendapatkan
suplai oksigen yang cukup (iskemia), sehingga sel-selnya akan mati dan melepas
toksin ke sirkulasi. Ini juga menyebabkan bakteri mampu berpindah dari usus ke
sirkulasi.
 Perforasi :Distensi yang berlebih pada lumen usus (akibat
gas/makanan/cairan) akan menyebabkan perforasi, melepaskan isi usus ke
peritoneum yang dapat menyebabkan peritonitis.
 Sepsis :Bisa disebabkan karena perforasi dan diseminasi sistemik
(disebabkan oleh kematian sel di area usus) (Hasudungan, 2016)

1.11 Prognosis

Prognosis pada ke semua jenis ileus ini tergantung pada seberapa cepat penanganan
gejala dan penyebabnya. (Djumhana & Syam, 2015)
DAFTAR PUSTAKA

Vilz, T. O., Stoffels, B., Strassburg, C., Schild, H. H., & Kalff, J. C. (2017). Ileus in Adults. Deutsches
Arzteblatt international, 114(29-30), 508–518. https://doi.org/10.3238/arztebl.2017.0508 

Rachmawati, T., L., Turniani, N., H. Basuki. (2011). Pola Penyakit Penyebab Kematian Bayi di Pedesaan
dan Perkotaan, Kondisi Sosio Ekonomi pada Kejadian Kematian Bayi di Indonesia Hasil Riskesdas 2007.
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 14(2), 108–114

Sinicrope FA. Ileus and Bowel Obstruction. In: Kufe DW, Pollock RE, Weichselbaum RR, et al., editors.
Holland-Frei Cancer Medicine. 6th edition. Hamilton (ON): BC Decker; 2003. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK13786/

Djumhana A, Syam A. F. Ileus Paralitik. In: Setiati, S., et al., editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. Edisi VI. 2015. Jakarta: InternaPublishing.

Jackson PG, Raiji MT. Evaluation and management of intestinal obstruction. Am Fam Physician. 2011 Jan
15;83(2):159-65. PMID: 21243991. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21243991/

Wood, J. D. Chapter 22 - Integrative Functions of the Enteric Nervous System. In: Leonard R. Johnson,
Fayez K. Ghishan, Jonathan D. Kaunitz, Juanita L. Merchant, Hamid M. Said, Jackie D. Wood, editors.
Physiology of the Gastrointestinal Tract (Fifth Edition). Academic Press: 2012. p671-688. ISBN
9780123820266. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-382026-6.00022-1.
(https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780123820266000221)

Hasudungan, A. Bowel Obstruction – Causes and Pathophysiology (video). 2016.


https://www.youtube.com/watch?v=sBm12CkNtAo

Bimo, C. Ileus Obstruktif dan Paralitik Definisi, Perbedaan, Penyebab, Gambaran Radiologi, Cara
Membedakan (video). 2021. https://www.youtube.com/watch?v=6GNAVibL56s

Shah, K. N., Waryasz, G., DePasse, J. M., & Daniels, A. H. (2015). Prevention of Paralytic Ileus Utilizing
Alvimopan Following Spine Surgery. Orthopedic reviews, 7(3), 6087.
https://doi.org/10.4081/or.2015.6087

Anda mungkin juga menyukai