1102016023
Andhika faisal
1102016023
1.5 Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan O2 dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan O2, Jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa. Sebagai bahan
bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 75% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat
otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan melalui proses metabolic
anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada komosio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam. Lalu hal ini akan menyebaban asidosis
metabolic.
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis tergantung
pada besar dan kekuatan benturan, arah dan tempat benturan, serta sifat dan keadaan kepala
sewaktu menerima benturan. Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka
dapat mengakibatkan lesi otak berupa : lesi bentur (Coup), lesi antara (akibat pergeseran
tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak peregangan dan robeknya pembuluh
darah dan lain-lain=lesi media), dan lesi kontra (counter coup).21 Berdasarkan hal tersebut
cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder
a. Kerusakan Primer
Kerusakan primer adalah kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat
dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat
bersifat fokal ataupun difus. Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan
bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung kepada mekanisme trauma yang terjadi
sedangkan kerusakan difus adalah suatu keadaan patologis penderita koma (penderita
yang tidak sadar sejak benturan kepala dan tidak mengalami suatu interval lucid)
tanpa gambaran Space Occupying Lesion (SOL) pada CT-Scan atau MRI.
b. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia,pembengkakan.
1.6 Dx/DD
DIAGNOSIS
Pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum,
pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang
harus ditanyakan adalah mekanisme trauma. Sedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana,
kapan waktu terjadinya kecelakaan yang dialami pasien. Selain itu perlu dicatat pula tentang
kesadarannya, luka-luka yang diderita, muntah atau tidak, adanya kejang. Keluarga pasien
ditanyakan apa yang terjadi.
Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi, pupil
(besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil
pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat
perburukan salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.
Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS). Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi:
• GCS 13-15 : cedera kepala ringan
• GCS 9-12 : cedera kepala sedang
• GCS 3-8 : pasien koma dan cedera kepala berat.
Pemeriksaan Penunjang:
a Foto Rontgen polos
Pada trauma kapitis perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna vertebralis servikalis.
Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di daerah oksipital,
buatkan foto anterior-posterior dan bila lesi pada kulit terdapat di daerah frontal buatkan
foto posterior-anterior. Bila lesi terdapat pada daerah temporal, pariental atau frontal
lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto lateral dari kanan ke kiri. Kalau
diduga ada fraktur basis kranii, maka dibuatkan foto basis kranii dengan
kepalamenggantung dan sinar rontgen terarah tegak lurus pada garis antar angulus
mandibularis (tulang rahang bawah). Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-
posterior dan lateral untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos
tengkorak mungkin dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan
intrakranial yang tinggi mungkin menimbulkan impressions digitae.
c Angiografi
Angiografi untuk menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti pergeseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan dan trauma
DIAGNOSIS BANDING
Jika riwayat trauma kurang jelas dan pasien tidak sadar, kita harus membedakan cedera
kepala tertutup dengan penyebab lainnya, seperti: koma diabetik, koma alkoholik, CVD atau
epilepsy (jika pasien kejang).
1.7 Tatalaksana
Penanganan pertama kasus cidera kepala di UGD :
Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart yang telah
ditetapkan dalam ATLS (Advanced trauma life support) yang meliputi, anamnesa sampai
pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik meliputi:
Airway
Breathing
Circulasi
Disability
Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekuensinya normal
antara 16 – 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas
buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO 2 antara 28 –
35 mmHg karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya
edema serebri sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan menyebabkan vaso konstriksi yang
berakibat terjadinya iskemia., periksa tekanan oksigen (PO2) 100 mmHg jika kurang beri
Oksigen masker 8 liter/ menit.
Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara
melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti Skull foto, foto thorax, foto
pelvis, CT Scan dan pemeriksaan tambahan yang lain seperti pemeriksaan darah
(pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama).
B Secondary survey
Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.
C Pemeriksaan Neurologis
• Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan
terdiri dari :
- GCS
- Reflek cahaya pupilGerakan bola mata
- Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
• Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita
dilakukan sedasi atau paralisis
• Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
• Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) IV
• Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon
motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang
terbaik
• Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
• Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
• Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan
pasien.
B Hyperventilasi
- Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat
menurunkan PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
otak
- HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak
menurun
- PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah
- Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
C Manitol
- Dosis 1 gram/kg BB bolus IV
- Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal,
kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
- Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia
D Furosemid
- Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis
- Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV
E Steroid
- Steroid tidak bermanfaat
- Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan
F Barbiturat
- Bermanfaat untuk menurunkan TIK
- Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena
barbiturat dapat menurunkan tekanan darah
G Anticonvulasan
- Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah
terjadinya epilepsi pasca trauma
- Phenobarbital &Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I
- Obat lain diazepam dan lorazepam
PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN
2 Peningkatan TIK
Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan
herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir
dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. yang merupakan komplikasi
serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta
kematian.
3 Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut. Perawat
harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan
spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien,
juga peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya
mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya
tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam
merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan
secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama
pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 1999) pada
cedera kepala meliputi:
a Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini
penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife
state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang
sembuh.
b Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang- kurangnya
sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun
demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
c Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf
yang lain.
d Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
e Penyakit Alzheimer dan Parkinson.
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer
tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung
frekuensi dan keparahan cedera.
1.9 Pencegahan
Kejadian yang dapat menyebabkan cedera kepala berat cenderung terjadi secara tiba-tiba
sehingga sulit untuk sepenuhnya dicegah. Meski demikian, ada beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya cedera di bagian kepala. Hal-hal tersebut
meliputi:
Gunakan perlengkapan keamanan diri ketika mengendarai kendaraan bermotor dan saat
berolahraga.
Hindari mengendarai kendaraan di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan yang dapat
memengaruhi tingkat kewaspadaan.
Pastikan rumah bebas dari benda-benda yang bisa membuat Anda terjatuh, seperti barang
yang berserakan di lantai atau karpet yang licin.
Pastikan rumah aman untuk anak-anak, misalnya dengan memastikan jendela atau balkon
jauh dari jangkauan anak-anak.
1.10 Prognosis
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi, sisanya dirawat secara konservatif. Prognosis pasien cedera
kepala lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.
Brill Hematom
Batle’s sign
Lesi nervus cranialis yang paling sering N I, NVII, dan N VIII
2.4 Patofisiologi
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah
dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari
benturan pada wajah atau mandibula; atau efek ‘remote’ dari benturan pada kepala
(‘gelombang tekanan’ yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi
foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture
komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit
lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera
batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar
tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan
dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala
(sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada
pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan
sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan
gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum,
beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi
akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke
superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah
occiput atau mandibula.
Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis cranii
akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah non-kranial,
yang disajikan dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan.
Para peneliti menemukan fraktur basis cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area
wajah saja.
2.5 Dx/DD
Pemeriksaan Lanjutan
Studi Imaging :
Radiografi
Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria panel
memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis cranii.
Foto x-ray skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.
CT scan
CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis skull
fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital,
bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam
menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.
MRI
MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan untuk
kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang jauh
lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan4.
Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF,
dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah
tersebut pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang
melingkari darah, maka disebut “halo” atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF juga dapat
dibuktikan dengan menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin.
2.6 Tatalaksana
Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural neurologis tidak
memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dan
kembali jika muncul gejala. Sementara itu, pada bayi dengan simple fraktur linier harus
dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status
neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara
conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika
disertai rupture membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis pada bayi
ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik
membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang
dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika
terkontaminasi, mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole
direkomendasikan pada kasus ini.
Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan stabilisasi
leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.
Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan
open fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk
mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari
adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear
dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya. Kadang kadang, craniectomy
dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema.
Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah
dini adalah fraktur condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan
arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan
ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal.
Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan
atau jika membrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran
CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi
kebocoran sebelum intervensi bedah dilakukan.
2.7 Komplikasi
Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan
rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis
cranii dibahas di bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3
pasca trauma adalah akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan
responsif terhadap steroid, dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba
pada saat bersamaan terjadinya fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan
prognosis buruk.
2.8 Prognosis
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera nervus
cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar jenis fraktur adalah
jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan hematom epidural. Sebagian
besar fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium tidak memerlukan tindakan operasi.
Stroke Iskemik
Stroke iskemik memiliki onset yang cenderung perlahan dan terjadi pada kondisi pasien yang
sedang tenang (tidak beraktivitas), dapat juga disebabkan oleh fibrilasi atrium yang
menimbulkan stroke kardioemboli.
Kerusakan reperfusi akibat terapi trombolitik stroke iskemik akut juga dapat menjadi
diagnosis banding dari perdarahan intrakranial. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan
aliran darah serebral ipsilateral yang melebihi kebutuhan jaringan otak.
Ensefalitis
Ensefalitis dapat disebabkan oleh virus herpes simpleks, Japanese encephalitis, measlesdan
rabies. Gejala biasanya diawali dengan adanya demam, malaise, dan mual yang diikuti
dengan gejala letargis, kebingungan, dan delirium.
Sindrom Diseksi
gejala diseksi paling sering berupa gejala iskemia dan dapat dipastikan dengan CT-angiografi
yang menunjukkan adanya flap lapisan intima atau gambaran lumen double-barrel.
Hidrosefalus
Gejala hidrosefalus pada pasien dewasa biasanya mual, kepala pasien membesar pada
pemeriksaan fisik, dan ditemukan adanya akumulasi cairan serebrospinal.
Penyakit Moyamoya
Penyakit Moyamoya merupakan penyakit pembuluh darah otak oklusif yang terjadi pada
sirkulus Willisi, arteri otak, dan batang otak, dapat dilihat pada hasil CT-angiografi otak.
Penyakit ini banyak terjadi pada orang Jepang.
Epilepsi
Epilepsi ditandai dengan kejang dan dipastikan dengan elektroensefalografi (EEG).
Empiema Subdural
Empiema subdural merupakan pengumpulan massa abses pada lapisan subdural. Gejala yang
ditimbulkan akan menyerupai gejala peningkatan tekanan intrakranial. Selain itu, dapat
ditemukan kaku kuduk serta kelainan pada cairan serebrospinal.
Malaria Serebral
Pada malaria serebral, tanda dan gejala utama adalah adanya penurunan kesadaran (koma)
dan syok. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan apus darah berupa adanya
gambaran hiperparasitemia yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum.
3.3 Tatalaksana
Penatalaksanaan Awal di UGD
Beberapa langkah awal yang dilakukan pada pasien dengan perdarahan intrakranial, antara
lain:
Melakukan intubasi untuk memastikan jalan nafas pasien, terutama pada pasien
dengan penurunan kesadaran. Lakukan pemeriksaan neurologis sebelum memberikan
agen sedasi dan paralisis
Menurunkan tekanan darah dengan perlahan hingga target mean arterial
pressure (MAP) < 130 mmHg. Tekanan darah tinggi berhubungan dengan ekspansi
hematoma dan prognosis yang buruk
Stabilisasi tanda vital
CT Scan Emergensi
Pada pasien dengan perdarahan intrakranial, terutama yang mengalami penurunan
kesadaran, CT Scan kepala perlu dilakukan segera untuk menentukan perlu tidaknya merujuk
pasien ke bedah saraf, lokasi dan volume perdarahan, serta risiko cedera otak sekunder.
Penatalaksanaan Lanjutan
Setelah kondisi pasien dan tanda vital sudah stabil, lakukan reduksi tekanan intrakranial
untuk menjaga cerebral perfussion pressure (CPP), koreksi koagulopati, penanganan kejang,
serta menjaga homeostasis pasien.
Reduksi Tekanan Intrakranial
Reduksi tekanan intrakranial dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini:
Elevasi kepala 15-30 derajat. Walau demikian, studi terkini menunjukkan kontroversi
antara posisi supinasi dan elevasi kepala
Hiperventilasi pada pasien yang sudah diintubasi untuk mencapai target pCO2 30-35
mmHg
Pemberian cairan saline hipertonik hingga target serum natrium 155-160 mEq/L.
Cairan hipertonik terbukti lebih efektif dibandingkan mannitol dalam menurunkan
tekanan intrakranial. Mannitol dapat digunakan sebagai alternatif dengan dosis 0,25-1
gram/kgBB
Intervensi pembedahan berupa pemasangan monitor tekanan darah intrakranial,
drainase ventrikular eksternal, kraniotomi, evakuasi bekuan darah pada perdarahan
epidural, serta kraniektomi dekompresi
Koreksi Koagulopati
Pasien end-stage liver disease atau pasien yang mendapat warfarin dapat ditangani dengan
pemberian vitamin K sedangkan pasien yang mendapat heparin dapat diberikan protamine.
Pada koagulopati terkait trauma, pasien dapat diberikan platelet dan fresh frozen
plasma (FFP).
Penanganan Kejang
Profilaksis kejang tidak lagi disarankan pada perdarahan intrakranial. Pasien perdarahan
intrakranial yang mengalami kejang perlu diberikan benzodiazepines seperti diazepam, serta
antikonvulsan seperti phenytoin.
Menjaga Homeostasis
Pasien harus dipantau suhu, status cairan dan gula darahnya untuk memastikan kondisi pasien
tidak mengalami hipertermia, dan terjaga tetap euglikemia dan euvolemia
Penatalaksanaan Definitif: Pembedahan
Pembedahan pada perdarahan intrakranial tidak diperlukan pada pasien dengan defisit
neurologis yang minimal atau volume perdarahan < 10 mL. Tindakan pembedahan pada
pasien perdarahan intrakranial perlu dilakukan pada pasien berikut :
Ukuran perdarahan > 3 cm
Perdarahan intrakranial yang berhubungan dengan kerusakan struktural pembuluh
darah
Pasien usia muda dengan perdarahan bagian lobar
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum pembedahan, antara lain :
Perjalanan penyakit dan timing: pembedahan optimal dilakukan dalam 48-72 jam
awal, namun dapat dilakukan hingga 2 minggu setelah onset jika memang harus
menunggu kondisi pasien stabil
Usia pasien dan kondisi komorbid pasien: pada orang tua dengan kondisi komorbid
yang banyak, tindakan operatif dapat memperburuk kondisi pasien
Penyebab perdarahan: penyebab perdarahan perlu diketahui agar tindakan operatif
dapat dengan tepat dilakukan dan luaran pasien maksimal
Lokasi hematoma: lokasi hematoma yang sulit dijangkau mungkin memerlukan
teknik operatif yang berbeda
Efek massa (mass effect) dan pola drainase. Efek massa adalah fenomena adanya lesi
fokal ataupun kontusio yang menyebabkan jaringan dan struktur otak mengalami
penekanan dan kerusakan
Kemungkinan pasien untuk dapat kembali pulih setelah tindakan pembedahan
Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan, antara lain adalah perbaikan aneurisma,
penanganan malformasi arteriovenosa, serta kraniotomi dekompresi.
Perbaikan Aneurisma
Perbaikan aneurisma dilakukan dengan memasang clamp pada dasar aneurisma untuk
mencegah perdarahan. Perbaikan aneurisma juga dapat dilakukan dengan embolisasi coilyang
dimasukkan menggunakan kateter.
Penanganan Malformasi Arteriovenosa
Malformasi arteriovenosa dapat diatasi menggunakan pembedahan, radiologi intervensi
(digital substraction angiography), maupun embolisasi. Pertimbangan pemilihan modalitas
didasarkan pada usia pasien, lokasi, dan ukuran malformasi.
Kraniektomi Dekompresi
Tindakan ini dilakukan ketika nyawa pasien terancam oleh peningkatan tekanan intrakranial,
tindakan ini bergantung pada lokasi perdarahan, usia dan kondisi medis pasien.
4.Trias cushing
Tanda cushing (disebut dengan cushing’s triad) mengacu pada presentasi klasik
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang disebabkan oleh perdarahan intrakranial.
Cushing’s triad diidentifikasi dengan adanya hipertensi, bradikardi dan depresi pernapasan.
Hal ini terjadi setelah TIK pasien meningkat selama beberapa waktu sehingga sangat
membutuhkan tatalaksana yang lebih cepat dan agresif. Cushing’s triad dapat menyebabkan
defisit neurologis fokal yang berkembang dari perdarahan atau herniasi.
[Sumber: Adriman, S. Et al. 2015]