Anda di halaman 1dari 24

Andhika faisal

1102016023
Andhika faisal
1102016023

1.MM Trauma kepala


1.1 Definisi
Menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit
kepala, tengkorak dan otak, sedangkan Doenges, (1999) cedera kepala adalah cedera
kepala terbuka dan tertutup yang terjadi karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar serebri,
kontusio memar, leserasi dan perdarahan serebral subarakhnoid, subdural, epidural,
intraserebral, batang otak. Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma
langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan
otak (Pierce & Neil. 2006). Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America
(2009), cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik.
1.2 Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah
karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena
disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan
akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala
(Langlois, Rut land-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma
kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab
ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi
di Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya trauma
kepala adalah seperti berikut
a) Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan
kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan
atau kecederaan kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).
b) Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah
dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun
sesudah sampai ke tanah.
c) Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan)
1.3 Klasifikasi
Cedera pada kepala dapat mengakibatkan fraktur pada tulang tengkorak (tertutup,
terbuka atau tertekan) dan/atau cedera otak. Cedera otak dikategorikan menjadi 3 C yaitu:
 Concussion (konkusi): cedera otak paling ringan yang ditandai dengan hilangnya fungsi otak
yang bersifat sementara.
 Contusion (kontusi): otak mengalami memar – fungsi otak terganggu selama beberapa jam
atau hari, atau bahkan minggu.
 Compression (kompresi): diakibatkan oleh otak yang bengkak atau timbulnya hematom
epidural/subdural. Jika kompresi akibat bekuan darah, perlu pembedahan darurat
[Sumber: https://www.ichrc.org/934-cedera-kepala]
1.4 Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
 Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
 Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
 Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
 Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
 Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)


a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih lama
setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau hahkan
koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang
otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.

3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)


a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka, fraktur
tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.

1.5 Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan O2 dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan O2, Jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa. Sebagai bahan
bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 75% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat
otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan melalui proses metabolic
anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada komosio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam. Lalu hal ini akan menyebaban asidosis
metabolic.
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis tergantung
pada besar dan kekuatan benturan, arah dan tempat benturan, serta sifat dan keadaan kepala
sewaktu menerima benturan. Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka
dapat mengakibatkan lesi otak berupa : lesi bentur (Coup), lesi antara (akibat pergeseran
tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak peregangan dan robeknya pembuluh
darah dan lain-lain=lesi media), dan lesi kontra (counter coup).21 Berdasarkan hal tersebut
cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder
a. Kerusakan Primer
Kerusakan primer adalah kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat
dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat
bersifat fokal ataupun difus. Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan
bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung kepada mekanisme trauma yang terjadi
sedangkan kerusakan difus adalah suatu keadaan patologis penderita koma (penderita
yang tidak sadar sejak benturan kepala dan tidak mengalami suatu interval lucid)
tanpa gambaran Space Occupying Lesion (SOL) pada CT-Scan atau MRI.
b. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia,pembengkakan.
1.6 Dx/DD
DIAGNOSIS
Pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum,
pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang
harus ditanyakan adalah mekanisme trauma. Sedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana,
kapan waktu terjadinya kecelakaan yang dialami pasien. Selain itu perlu dicatat pula tentang
kesadarannya, luka-luka yang diderita, muntah atau tidak, adanya kejang. Keluarga pasien
ditanyakan apa yang terjadi.

Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi, pupil
(besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil
pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat
perburukan salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.

Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS). Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi:
• GCS 13-15 : cedera kepala ringan
• GCS 9-12 : cedera kepala sedang
• GCS 3-8 : pasien koma dan cedera kepala berat.

Pemeriksaan Penunjang:
a Foto Rontgen polos
Pada trauma kapitis perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna vertebralis servikalis.
Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di daerah oksipital,
buatkan foto anterior-posterior dan bila lesi pada kulit terdapat di daerah frontal buatkan
foto posterior-anterior. Bila lesi terdapat pada daerah temporal, pariental atau frontal
lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto lateral dari kanan ke kiri. Kalau
diduga ada fraktur basis kranii, maka dibuatkan foto basis kranii dengan
kepalamenggantung dan sinar rontgen terarah tegak lurus pada garis antar angulus
mandibularis (tulang rahang bawah). Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-
posterior dan lateral untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos
tengkorak mungkin dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan
intrakranial yang tinggi mungkin menimbulkan impressions digitae.

a Compute Tomografik Scan (CT-Scan)


CT. Scan untuk menentukan hemoragi, ukuran ventrikel, pergeseran jaringan otak. CT-
Scan diciptakan oleh Hounsfield dan Ambrose pada tahun 1972. Dengan pemeriksaan ini
kita dapat melihat ke dalam rongga tengkorak. Potongan-potongan melintang tengkorak
bersama isinya tergambar dalam foto dengan jelas.43 Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada
penderita trauma kapitis :

a SKG < 15 atau terdapat penurunan kesadaran


b Trauma kapitis ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak c
Adanya tanda klinis fraktur basis kranii
d Adanya kejang
e Adanya tanda neurologis fokal f
Sakit kepala yang menetap.

b MRI (Magnetic Resonance Imaging)


MRI dapat memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan lebih jelas.
Beberapa keuntungan MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : lebih baik dalam
menilai cedera sub-akut, termasuk kontusio, shearing injury, dan sub dural hematoma,
lebih baik dalam menilai dan melokalisir luasnya kontusio dan hematoma secara lebih
akurat karena mampu melakukan pencitraan dari beberapa posisi, dan lebih baik dalam
pencitraan cedera batang otak. Sedangkan kerugian MRI dibandingkan dengan CT-Scan
yaitu : membutuhkan waktu pemeriksaan lama sehingga membutuhkan alat monitoring
khusus pada pasien trauma kapitis berat, kurang sensitif dalam menilai perdarahan akut,
kurang baik dalam penilaian fraktur, perdarahan subarachnoid dan pneumosefalus
minimal dapat terlewatkan.

c Angiografi
Angiografi untuk menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti pergeseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan dan trauma

DIAGNOSIS BANDING
Jika riwayat trauma kurang jelas dan pasien tidak sadar, kita harus membedakan cedera
kepala tertutup dengan penyebab lainnya, seperti: koma diabetik, koma alkoholik, CVD atau
epilepsy (jika pasien kejang).

1.7 Tatalaksana
Penanganan pertama kasus cidera kepala di UGD :
Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart yang telah
ditetapkan dalam ATLS (Advanced trauma life support) yang meliputi, anamnesa sampai
pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik meliputi:
 Airway
 Breathing
 Circulasi
 Disability

Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara :


• Kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya benda asing
• Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi
atauipun rotasi.
• Semua penderita cidera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera
vertebrae cervikal sampai terbukti sebaliknya, maka perlu dipasang collar brace.
Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen minimal saturasinya diatas 90 %, Jika tidak
usahakan untuk dilakukan intubasi dan suport pernafasan.

Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekuensinya normal
antara 16 – 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas
buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO 2 antara 28 –
35 mmHg karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya
edema serebri sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan menyebabkan vaso konstriksi yang
berakibat terjadinya iskemia., periksa tekanan oksigen (PO2) 100 mmHg jika kurang beri
Oksigen masker 8 liter/ menit.

Pada pemeriksaan sistem sirkulasi :


• Periksa denyut nadi/jantung, jika (-) lakukan resusitasi jantung.
• Bila shock (tensi < 90 dan nadi > 100 atasi dengan infus cairan RL, cari sumber
perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa hampir
tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala
meningkatkan angka kematian 2 X
• Hentikan perdarahan dari luka terbuka

Pada pemeriksaan disability / kelainan kesadaran:


• Periksa kesadaran : memakai Glasgow Coma Scale
• Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya
langsung maupun konsensual./tidak langsung
• Periksa adanya hemiparese/plegi
• Periksa adanya reflek patologis kanan kiri
• Jika penderita sadar baik tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi luhur
misal adanya aphasia

Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara
melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti Skull foto, foto thorax, foto
pelvis, CT Scan dan pemeriksaan tambahan yang lain seperti pemeriksaan darah
(pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama).

I. CEDERA KEPALA RINGAN (GCS = 14-


15)
 Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit
kepala hebat.
 3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak
 Klinis :
a Keadaan penderita sadar
b Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya
c Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat Pembuktian
kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh obat-obatan /
alkohol.
d Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan
 Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi
adanya fractur dasar tengkorak meliputi :
a Ekimosis periorbital
b Rhinorea
c Otorea
d Hemotimpani
e Battle’s sign
 Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi :
a Fractur linear/depresi
b Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah
c Batas udara – air pada sinus-sinus
d Pneumosefalus
e Fractur tulang wajah
f Benda asing
 Pemeriksaan laboratorium :
a Darah rutin tidak perlu
b Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik / medikolagel
 Therapy :
a Obat anti nyeri non narkotik
b Toksoid pada luka terbuka
 Penderita dapat diobservasi selama 12 – 24 jam di Rumah Sakit

II. CEDERA KEPALA SEDANG (GCS = 9-13)


 Pada 10 % kasus :
a Masih mampu menuruti perintah sederhana
b Tampak bingung atau mengantuk
c Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis
 Pada 10 – 20 % kasus :
a Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma
b Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.
 Tindakan di UGD :
a Anamnese singkat
b Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
c Pemeriksaan CT. scan
 Penderita harus dirawat untuk diobservasi
 Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :
a Status neulologis membaik
b CT-scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang
memerlukan pembedahan
 Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK. Berat.
 Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

III. CEDERA KEPALA BERAT (GCS 3-8)


• Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status
kardiopulmonernya telah distabilkan
• CK. Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi
• Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan
• Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita CK. Berat harus dilakukan
secepatnya.

A Primary survey dan resusitasi


Di UGD ditemukan :
 30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg )
 13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg )  Mempunyai mortalitas 2
kali lebih banyak dari pada tanpa hypotensi
 12 % Anemia ( Ht < 30 % )

1 Airway dan breathing


- Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena
terjadi apnoe yang berlangsung lama
- Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera
kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %
- Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi
sementara asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah
dilatasi dan penurunan kesadaran
- PCo2 harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg
2 Sirkulasi
- Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi
- Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada kasus multiple
truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade jantung dan tension
pneumothorax
- Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk mengganti cairan
yang hilang
- UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut abdomen

B Secondary survey
Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.

C Pemeriksaan Neurologis
• Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan
terdiri dari :
- GCS
- Reflek cahaya pupilGerakan bola mata
- Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
• Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita
dilakukan sedasi atau paralisis
• Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
• Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) IV
• Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon
motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang
terbaik
• Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
• Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
• Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan
pasien.

TERAPY MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA


Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap
otak yang telah mengaalami cedera
A Cairan Intravena
- Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik
- Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih
- Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan
hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yangn cedera
- Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl
- Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan
hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara
agresig

B Hyperventilasi
- Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat
menurunkan PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
otak
- HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak
menurun
- PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah
- Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.

C Manitol
- Dosis 1 gram/kg BB bolus IV
- Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal,
kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
- Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia

D Furosemid
- Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis
- Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV

E Steroid
- Steroid tidak bermanfaat
- Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan

F Barbiturat
- Bermanfaat untuk menurunkan TIK
- Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena
barbiturat dapat menurunkan tekanan darah
G Anticonvulasan
- Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah
terjadinya epilepsi pasca trauma
- Phenobarbital &Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I
- Obat lain diazepam dan lorazepam

PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN

A. Luka Kulit kepala


- Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan
mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan
- Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang
tidak adekuat
- Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan
dapat dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi
pembuluh besar dan penjahitan luka
- Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada
luka menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf
- Lakukan foto teengkorak / CT Scan
- Tindakan operatif

B. Fractur depresi tengkorak


- Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di
dekatnya
- CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya
perdarahan di intra kranial atau adanya suatu kontusio

C. Lesi masa Intrakranial


- Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat
mengancam jiwa dan untuk mencegah kematian
- Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara
cepat dan tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang
diberikan.
- Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi
endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol.
1.8 Komplikasi
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala
addalah;
1 Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal
dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema
paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan
tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat
tekanan darah sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah
keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan
frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan
memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg,
yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih banyak
darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan
pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan
karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.

2 Peningkatan TIK
Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan
herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir
dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. yang merupakan komplikasi
serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta
kematian.

3 Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut. Perawat
harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan
spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien,
juga peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya
mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya
tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam
merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan
secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama
pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.

4 Kebocoran cairan serebrospinalis


Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges,
sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau
dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga. Instruksikan
klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.

Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 1999) pada
cedera kepala meliputi:
a Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini
penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife
state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang
sembuh.
b Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang- kurangnya
sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun
demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
c Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf
yang lain.
d Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
e Penyakit Alzheimer dan Parkinson.
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer
tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung
frekuensi dan keparahan cedera.

1.9 Pencegahan
Kejadian yang dapat menyebabkan cedera kepala berat cenderung terjadi secara tiba-tiba
sehingga sulit untuk sepenuhnya dicegah. Meski demikian, ada beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya cedera di bagian kepala. Hal-hal tersebut
meliputi:
 Gunakan perlengkapan keamanan diri ketika mengendarai kendaraan bermotor dan saat
berolahraga.
 Hindari mengendarai kendaraan di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan yang dapat
memengaruhi tingkat kewaspadaan.
 Pastikan rumah bebas dari benda-benda yang bisa membuat Anda terjatuh, seperti barang
yang berserakan di lantai atau karpet yang licin.
 Pastikan rumah aman untuk anak-anak, misalnya dengan memastikan jendela atau balkon
jauh dari jangkauan anak-anak.

1.10 Prognosis
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi, sisanya dirawat secara konservatif. Prognosis pasien cedera
kepala lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.

2.MM Fraktur basis kranii


2.1 Definisi
Basis cranii dibagi menjadi tiga yaitu: fossa cranii anterior,media dan posterior. Otak
dan medulla spinalis dibungkus oleh tiga membran atau meninges: dura mater, arachnoidea
mater dan pia mater. Fraktur basis kranii secara klinis dapat dilihat berdasarkan tampilan
klinis berupa ekimosis periorbital (Racoon’s eyes atau brill hematome) dan rinorre pada
fraktur bagian anterior, dan Battle Sign serta otorre untuk fraktur basis fossa media.
[Kamarullah, ibrahim. 2009]
2.2 Klasifikasi
Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor Cerebro Spinal
(LCS) bersama darah keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita; dari luar disekitar
mata tampak kelopak mata berwarna kebiru biruan . Bila satu mata disebut Monocle
Hematoma, bila dua mata disebut Brill Hematoma /  Raccoon’s eyes.
Fraktur melintas Lamina Cribrosa
Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman (Nervus
Olfactorius) sehinggan dapat terjadi gangguan penciuman mulai berkurangnya penciuman
(hyposmia) sampai hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek dura mater dan
arachnoid sehingga LCS bercampur darah akan keluar dari rongga hidung (Rhinorrhoea).
Fraktur Os Petrossum
Puncak (Apex) os. petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam
rongga telinga tengah dan memecahkan membrana tympani; dari telinga keluar LCS
bercampur darah (otorrhoea).
Fraktur Sella Tursica
Diatas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars
anterior dan pars posterior (Neuro Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa terganggu
adalah pars posterior sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone) yang
menyebabkan Diabetes Insipidus.
Sinus Cavernosus Syndrome.
Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan
Arteri Carotis Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan
langsung arteri – vena (disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan Sinus
Cavernosus –> Carotid – Cavernous Fistula).
Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit, conjunctiva berwarna merah.
Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar suara
seperti air mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca BRUI ).
Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus Cavernosus ,
yang terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva yang terbendung
(berwarna merah) serta terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus Syndrom.
Fraktur melintas os petrosum
Fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os mastoid,
menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid
sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga , disebut Battle’s Sign.
Fraktur melintas Foramen Magnum
Di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan
merusak Medula Oblongata , menyebabkan kematian seketika.
2.3 Manifestasi Klinis
 Bloody otorrhea.
 Bloody rhinorrhea
 Liquorrhea

 Brill Hematom
 Batle’s sign
 Lesi nervus cranialis yang paling sering N I, NVII, dan N VIII
2.4 Patofisiologi
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah
dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari
benturan pada wajah atau mandibula; atau efek ‘remote’ dari benturan pada kepala
(‘gelombang tekanan’ yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).

Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi
foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture
komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit
lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera
batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar
tengkorak.

Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan
dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala
(sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada
pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan
sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan
gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum,
beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi
akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke
superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah
occiput atau mandibula.

Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis cranii
akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah non-kranial,
yang disajikan dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan.
Para peneliti menemukan fraktur basis cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area
wajah saja.

2.5 Dx/DD
Pemeriksaan Lanjutan
Studi Imaging :
Radiografi
Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria panel
memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis cranii.
Foto x-ray skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.
CT scan
CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis skull
fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital,
bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam
menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.
MRI
MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan untuk
kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang jauh
lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan4.

Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF,
dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah
tersebut pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang
melingkari darah, maka disebut “halo” atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF juga dapat
dibuktikan dengan menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin.
2.6 Tatalaksana
Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural neurologis tidak
memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dan
kembali jika muncul gejala. Sementara itu, pada bayi dengan simple fraktur linier harus
dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status
neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara
conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika
disertai rupture membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis pada bayi
ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik
membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang
dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika
terkontaminasi, mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole
direkomendasikan pada kasus ini.
Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan stabilisasi
leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.
Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan
open fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk
mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari
adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear
dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya. Kadang kadang, craniectomy
dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema.
Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah
dini adalah fraktur condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan
arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan
ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal.
Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan
atau jika membrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran
CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi
kebocoran sebelum intervensi bedah dilakukan.
2.7 Komplikasi
Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan
rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis
cranii dibahas di bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3
pasca trauma adalah akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan
responsif terhadap steroid, dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba
pada saat bersamaan terjadinya fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan
prognosis buruk.
2.8 Prognosis
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera nervus
cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar jenis fraktur adalah
jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan hematom epidural. Sebagian
besar fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium tidak memerlukan tindakan operasi.

3.MM perdarahan intracranial


3.1 Definisi
Perdarahan intrakranial merupakan perdarahan atau akumulasi darah dalam rongga
intrakranium yang dapat terjadi pada parenkim otak dan pada ruang meninges sekitarnya.
Perdarahan intrakranial dapat disebabkan oleh kejadian traumatik maupun nontraumatik.
Perdarahan yang terjadi pada ruang meninges dapat berupa perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dan perdarahan subaraknoid. Perdarahan pada parenkim otak dapat meluas hingga
ke ventrikel otak, disebut sebagai perdarahan intraventrikular. Perdarahan pada parenkim
otak ini akan menyebabkan terjadinya stroke hemorrhagik pada pasien.
3.2 Dx/DD
Diagnosis perdarahan intrakranial dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
mengenai gejala dan tanda perdarahan intrakranial, misalnya nyeri kepala, kejang, kaku
kuduk, dan penurunan kesadaran. Namun, diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan pencitraan otak, berupa CT Scan, CT Angiografi, dan MRI.
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara cepat guna menemukan gejala serta tanda perdarahan
intrakranial. Gejala akut perdarahan intrakranial sering kali sulit dibedakan dari stroke
iskemik. Beberapa gejala yang sering ditemukan, antara lain :
 Nyeri kepala
 Mual, muntah
 Kejang
 Gejala neurologis fokal dan generalisata
 Koma
Jika tanda-tanda di atas ditemukan, maka pasien cenderung mengalami perdarahan
intrakranial dan bukan stroke iskemik. Namun diagnosis pasti hanya ditegakkan melalui
pencitraan otak.
Untuk perdarahan intrakranial traumatik, perlu juga ditanyakan mengenai mekanisme trauma,
ada tidaknya perubahan tingkat kesadaran atau hilang kesadaran, serta riwayat penggunaan
antikoagulan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik terpenting untuk dilakukan adalah penilaian Glasgow coma scale (GCS)
untuk menilai seberapa parah cedera kepala (jika ada) yang terjadi pada pasien. Selain itu,
dilakukan beberapa pemeriksaan fisik lain, seperti :
 Tekanan darah: untuk memastikan adanya hipertensi dan peningkatan tekanan
diastolik yang berhubungan dengan perdarahan intrakranial
 Kaku kuduk: jika ditemukan, dapat dicurigai adanya kelainan pada selaput meninges.
Pemeriksaan kaku kuduk sebaiknya ditunda pada kasus trauma kepala sampai
vertebra servikal dipastikan aman
 Perdarahan pada retina subhialoid
 Anisokoria pupil
 Defisit neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada perdarahan intrakranial, antara lain:
 Pencitraan otak: CT Scan, MRI, dan CT- / MR- angiografi
 Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, prothrombin time (PT), activated partial
thromboplastin time (aPTT), kimia darah, toksikologi, dan skrining kelainan darah,
infeksi, dan vaskulitis
 Pemeriksaan lain: elektrokardiografi dan pungsi lumbal
Pencitraan Otak
Pencitraan otak yang biasanya dilakukan:
CT Scan Kepala
CT Scan kepala merupakan standar diagnosis perdarahan intrakranial, dapat menggambarkan
fraktur tengkorak serta adanya hematoma dan edema perihematoma dengan baik.
CT Scan lebih dianjurkan untuk dilakukan pada pasien yang diduga mengalami perdarahan
intrakranial. CT Scan memiliki waktu pemeriksaan yang lebih cepat, dan hasil yang cukup
akurat. Hasil yang lebih akurat dan gambaran yang lebih jelas dapat dicapai dengan
penggunaan kontras. Penggunaan CT Scan dengan atau tanpa kontras didasari pada
kebutuhan klinisi, misalnya untuk melihat perdarahan aktif, kontras akan dapat menunjukkan
sumber serta lokasi perdarahan yang terjadi pada pasien.
Teknik CT Scan lain berupa CT-angiografi dapat bermanfaat untuk diagnosis aneurisma,
malformasi arteriovenosa, serta stroke iskemik.
MRI Otak
MRI otak: mendeteksi malformasi arteriovena dan angioma kavernosus sekitar hematoma,
lebih baik dalam menggambarkan jaringan lunak dibandingkan CT Scan dan dapat
membedakan perdarahan hiperakut hingga kronis
 Angiografi atau Digital Subtraction Angiography / DSA: dilakukan pada pasien yang
dicurigai menderita penyakit Moyamoya, malformasi arteriovena, aneurisma, dan
emboli. Selain tujuan diagnostik, pada pasien emboli dan aneurisma pemeriksaan ini
juga memiliki tujuan terapeutik
USG Doppler Transkranial
Pemeriksaan ultrasonografi Doppler transkranial dapat digunakan untuk memeriksa penyakit
Moya-Moya
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak bersifat diagnostik untuk perdarahan intrakranial, tetapi
dapat bermanfaat untuk menilai adanya faktor risiko perdarahan. Beberapa pemeriksaan
laboratorium yang dapat dilakukan :
 Trombosit: melihat adanya risiko perdarahan
 Prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT): menilai
fungsi koagulasi darah. Pada pasien yang mendapat enoxaparin atau novel oral
anticoagulants (NOACs) seperti rivaroxaban dan apixaban, PT dan aPTT akan tetap
normal
 Gula darah dan elektrolit: kadar gula darah perlu dipertahankan tetap normal.
Hiponatremia diasosiasikan dengan perdarahan intrakranial dan perlu dikoreksi
 Pemeriksaan kimia darah dan elektrolit: memastikan adanya kelainan metabolik dan
memonitor osmolaritas darah selama diuresis. Kontrol gula darah dan natrium 
 Pemeriksaan toksikologi: mengukur kadar alkohol darah jika dicurigai adanya
intoksikasi alkohol. Mengingat intoksikasi alkohol merupakan risiko perdarahan
intrakranial, penurunan kesadaran tidak boleh dianggap sebagai hanya akibat
intoksikasi alkohol hingga diagnosis perdarahan intrakranial dapat
disingkirkan[3,8,14]
Elektrokardiografi
Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan terjadinya aritmia. Gambaran EKG yang dapat
ditemukan pada perdarahan intrakranial di antaranya sebagai berikut:
 Gambaran gelombang T inversi dalam
 Pemanjangan interval QT
 Gelombang J atau gelombang U
 Sinus bradikardia atau sinus takikardia
 Atrial fibrilasi
 Ventricular tachycardia
 Kompleks atrium dan ventrikel prematur
 Gambaran pacemaker atrium
 Atrioventricular block (AV block)
Perlu diingat bahwa hasil EKG ini tidak bersifat diagnostik untuk perdarahan intrakranial.
Gambaran EKG di atas hanya menunjukkan bahwa kelainan EKG tidak selalu diakibatkan
oleh masalah pada jantung tetapi dapat juga diakibatkan oleh perdarahan intrakranial.
Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal dulunya dilakukan untuk mendiagnosa perdarahan subaraknoid pada
perdarahan akut dengan hasil CT scan negatif. Walau demikian, studi menunjukkan bahwa
hasil CT scan saat ini superior dibandingkan dengan pungsi lumbal dan lebih tidak berisiko
sehingga pungsi lumbal tidak lagi disarankan untuk diagnosis perdarahan subaraknoid.
Pungsi lumbal juga dapat mendeteksi kondisi lain / penyakit penyerta yang tidak dapat
ditemukan melalui pencitraan, seperti meningitis.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding perdarahan intrakranial antara lain stroke iskemik, ensefalitis herpes
simpleks, sindrom diseksi, hidrosefalus, penyakit Moyamoya, epilepsi, dan empiema
subdural.

Stroke Iskemik
Stroke iskemik memiliki onset yang cenderung perlahan dan terjadi pada kondisi pasien yang
sedang tenang (tidak beraktivitas), dapat juga disebabkan oleh fibrilasi atrium yang
menimbulkan stroke kardioemboli.
Kerusakan reperfusi akibat terapi trombolitik stroke iskemik akut juga dapat menjadi
diagnosis banding dari perdarahan intrakranial. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan
aliran darah serebral ipsilateral yang melebihi kebutuhan jaringan otak.
Ensefalitis
Ensefalitis dapat disebabkan oleh virus herpes simpleks, Japanese encephalitis, measlesdan
rabies. Gejala biasanya diawali dengan adanya demam, malaise, dan mual yang diikuti
dengan gejala letargis, kebingungan, dan delirium.

Sindrom Diseksi
gejala diseksi paling sering berupa gejala iskemia dan dapat dipastikan dengan CT-angiografi
yang menunjukkan adanya flap lapisan intima atau gambaran lumen double-barrel.

Hidrosefalus
Gejala hidrosefalus pada pasien dewasa biasanya mual, kepala pasien membesar pada
pemeriksaan fisik, dan ditemukan adanya akumulasi cairan serebrospinal.

Penyakit Moyamoya
Penyakit Moyamoya merupakan penyakit pembuluh darah otak oklusif yang terjadi pada
sirkulus Willisi, arteri otak, dan batang otak, dapat dilihat pada hasil CT-angiografi otak.
Penyakit ini banyak terjadi pada orang Jepang.

Epilepsi
Epilepsi ditandai dengan kejang dan dipastikan dengan elektroensefalografi (EEG).

Empiema Subdural
Empiema subdural merupakan pengumpulan massa abses pada lapisan subdural. Gejala yang
ditimbulkan akan menyerupai gejala peningkatan tekanan intrakranial. Selain itu, dapat
ditemukan kaku kuduk serta kelainan pada cairan serebrospinal.

Malaria Serebral
Pada malaria serebral, tanda dan gejala utama adalah adanya penurunan kesadaran (koma)
dan syok. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan apus darah berupa adanya
gambaran hiperparasitemia yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum.

3.3 Tatalaksana
Penatalaksanaan Awal di UGD
Beberapa langkah awal yang dilakukan pada pasien dengan perdarahan intrakranial, antara
lain:
 Melakukan intubasi untuk memastikan jalan nafas pasien, terutama pada pasien
dengan penurunan kesadaran. Lakukan pemeriksaan neurologis sebelum memberikan
agen sedasi dan paralisis
 Menurunkan tekanan darah dengan perlahan hingga target mean arterial
pressure (MAP) < 130 mmHg. Tekanan darah tinggi berhubungan dengan ekspansi
hematoma dan prognosis yang buruk
 Stabilisasi tanda vital
CT Scan Emergensi
Pada pasien dengan perdarahan intrakranial, terutama yang mengalami penurunan
kesadaran, CT Scan kepala perlu dilakukan segera untuk menentukan perlu tidaknya merujuk
pasien ke bedah saraf, lokasi dan volume perdarahan, serta risiko cedera otak sekunder.
Penatalaksanaan Lanjutan
Setelah kondisi pasien dan tanda vital sudah stabil, lakukan reduksi tekanan intrakranial
untuk menjaga cerebral perfussion pressure (CPP), koreksi koagulopati, penanganan kejang,
serta menjaga homeostasis pasien.
Reduksi Tekanan Intrakranial
Reduksi tekanan intrakranial dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini:
 Elevasi kepala 15-30 derajat. Walau demikian, studi terkini menunjukkan kontroversi
antara posisi supinasi dan elevasi kepala
 Hiperventilasi pada pasien yang sudah diintubasi untuk mencapai target pCO2 30-35
mmHg
 Pemberian cairan saline hipertonik hingga target serum natrium 155-160 mEq/L.
Cairan hipertonik terbukti lebih efektif dibandingkan mannitol dalam menurunkan
tekanan intrakranial. Mannitol dapat digunakan sebagai alternatif dengan dosis 0,25-1
gram/kgBB
 Intervensi pembedahan berupa pemasangan monitor tekanan darah intrakranial,
drainase ventrikular eksternal, kraniotomi, evakuasi bekuan darah pada perdarahan
epidural, serta kraniektomi dekompresi
Koreksi Koagulopati
Pasien end-stage liver disease atau pasien yang mendapat warfarin dapat ditangani dengan
pemberian vitamin K sedangkan pasien yang mendapat heparin dapat diberikan protamine.
Pada koagulopati terkait trauma, pasien dapat diberikan platelet dan fresh frozen
plasma (FFP).
Penanganan Kejang
Profilaksis kejang tidak lagi disarankan pada perdarahan intrakranial. Pasien perdarahan
intrakranial yang mengalami kejang perlu diberikan benzodiazepines seperti diazepam, serta
antikonvulsan seperti phenytoin.
Menjaga Homeostasis
Pasien harus dipantau suhu, status cairan dan gula darahnya untuk memastikan kondisi pasien
tidak mengalami hipertermia, dan terjaga tetap euglikemia dan euvolemia
Penatalaksanaan Definitif: Pembedahan
Pembedahan pada perdarahan intrakranial tidak diperlukan pada pasien dengan defisit
neurologis yang minimal atau volume perdarahan < 10 mL. Tindakan pembedahan pada
pasien perdarahan intrakranial perlu dilakukan pada pasien berikut :
 Ukuran perdarahan > 3 cm
 Perdarahan intrakranial yang berhubungan dengan kerusakan struktural pembuluh
darah
 Pasien usia muda dengan perdarahan bagian lobar
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum pembedahan, antara lain :
 Perjalanan penyakit dan timing: pembedahan optimal dilakukan dalam 48-72 jam
awal, namun dapat dilakukan hingga 2 minggu setelah onset jika memang harus
menunggu kondisi pasien stabil
 Usia pasien dan kondisi komorbid pasien: pada orang tua dengan kondisi komorbid
yang banyak, tindakan operatif dapat memperburuk kondisi pasien
 Penyebab perdarahan: penyebab perdarahan perlu diketahui agar tindakan operatif
dapat dengan tepat dilakukan dan luaran pasien maksimal
 Lokasi hematoma: lokasi hematoma yang sulit dijangkau mungkin memerlukan
teknik operatif yang berbeda
 Efek massa (mass effect) dan pola drainase. Efek massa adalah fenomena adanya lesi
fokal ataupun kontusio yang menyebabkan jaringan dan struktur otak mengalami
penekanan dan kerusakan
 Kemungkinan pasien untuk dapat kembali pulih setelah tindakan pembedahan
Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan, antara lain adalah perbaikan aneurisma,
penanganan malformasi arteriovenosa, serta kraniotomi dekompresi.
Perbaikan Aneurisma
Perbaikan aneurisma dilakukan dengan memasang clamp pada dasar aneurisma untuk
mencegah perdarahan. Perbaikan aneurisma juga dapat dilakukan dengan embolisasi coilyang
dimasukkan menggunakan kateter.
Penanganan Malformasi Arteriovenosa
Malformasi arteriovenosa dapat diatasi menggunakan pembedahan, radiologi intervensi
(digital substraction angiography), maupun embolisasi. Pertimbangan pemilihan modalitas
didasarkan pada usia pasien, lokasi, dan ukuran malformasi.
Kraniektomi Dekompresi
Tindakan ini dilakukan ketika nyawa pasien terancam oleh peningkatan tekanan intrakranial,
tindakan ini bergantung pada lokasi perdarahan, usia dan kondisi medis pasien.

4.Trias cushing
Tanda cushing (disebut dengan cushing’s triad) mengacu pada presentasi klasik
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang disebabkan oleh perdarahan intrakranial.
Cushing’s triad diidentifikasi dengan adanya hipertensi, bradikardi dan depresi pernapasan.
Hal ini terjadi setelah TIK pasien meningkat selama beberapa waktu sehingga sangat
membutuhkan tatalaksana yang lebih cepat dan agresif. Cushing’s triad dapat menyebabkan
defisit neurologis fokal yang berkembang dari perdarahan atau herniasi.
[Sumber: Adriman, S. Et al. 2015]

Anda mungkin juga menyukai