Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lebih dari 80% penderita trauma yang datang ke rumah sakit selalu disertai
cedera kepala. Sebagaian besar penderita trauma kepala disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas,berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan
penyeberang jalan yang ditabrak. Sisanya disebabkan oleh jatuh dari
ketinggian,tertimpa benda (ranting pohon,kayu,dll), olahraga, korban kekerasan
(misalnya: senjata api,golok,parang,batang kayu,palu,dll)
Kontribusi paling banyak terhadap trauma kepala serius adalah ada
kecelakaan sepeda motor,dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan
helm atau menggunakan helm yang tidak memadai (>85%). Dalam hal ini
dimaksud dengan tidak memadai adalah helm yang terlalu tipis dan penggunaan
helm tanpa ikatan yang memadai,sehingga saat penderita terjatuh,helm sudah
terlepas sebelum kepala membentur lantai.

Penanganan yang kurang tepat pada pasien trauma kepala akan berdampak
fatal dan bahkan sampai pada kematian. Dalam pengambilan diagnose
keperawatanpun haruslah tepat sehingga pasien dapat ditolong dengan cepat
dan tepat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian tentang trauma kepala ?


2. Bagaimana etiologi trauma kepala ?
3. Apa saja jenis trauma kepala ?
4. Bagaiman patofisiologi trauma kepala ?
5. Apa saja komplikasi trauma kepala ?
6. Apa saja pemeriksaan diagnostik trauma kepala ?
7. Bagaimana penatalaksanaan trauma kepala ?
8. Bagaimana konsep keperawatan trauma kepala ?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang pengertian trauma kepala
2. Untuk mengetahui tentang etiologi trauma kepala
3. Untuk mengetahui tentang jenis trauma kepala
4. Untuk mengetahui tentang patofisiologi trauma kepala
5. Untuk mengetahui tentang komplikasi trauma kepala
6. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan diagnostik trauma kepala
7. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan trauma kepala
8. Untuk mengetahui tentang konsep keperawatan trauma kepala

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Medis Penyakit

2.1.1 Pengertian Trauma Kepala

Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).

Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu


kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006)

2.1.2 Etiologi Trauma Kepala

Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma


kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak
20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan
kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan
penyebab utama trauma kepala.

Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien
trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per 100.000 populasi. Kekerasan
adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak
7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat. Penyebab utama terjadinya
trauma kepala adalah seperti berikut:

1. Kecelakaan Lalu Lintas

3
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan
atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.

2. Jatuh

jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan


cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun
sesudah sampai ke tanah.

3. Kekerasan

kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan seseorang atau


kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).

2.1.3 Jenis Trauma Kepala

Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area) dimana terjadi
trauma. Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu
secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala
tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh
pada kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009,
mengatakan trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat
pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan
tengkorak.

Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus
sampai kepada dura mater. Kemungkinan kecederaan atau trauma adalah
seperti berikut:

a) Fraktur

Menurut American Accreditation Health Care Commission , terdapat 4 jenis


fraktur yaitu

4
simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture, compound
fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut:

· Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit

· Linear or hairline : retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa
depresi, distorsi dan ‘ splintering’.

· Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.

· Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak.


Selain retak terdapat juga hematoma subdural.

Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak atau
kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium.
Hal ini memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium.
Insidensi kasus ini sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami
trauma kepala berat (Graham and Gennareli, 2000; Orlando Regional
Healthcare, 2004). Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis
kranii yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan
gejala raccoon’s eye

(penumpukan darah pada orbital mata). Tulang pada foramen magnum bisa
retak sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur
basis kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media dan posterior.

Fraktur maxsilofasial adalah retak atau kelainan pada tulang maxilofasial yang
merupakan tulang yang kedua terbesar setelah tulang mandibula. Fraktur pada
bagian ini boleh menyebabkan kelainan pada sinus maxilari.

b) Luka memar (kontosio)

Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana n


pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan
sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.
Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak. Biasanya
terjadi pada ujung otak seperti pada frontal, temporal dan oksipital. Kontusio

5
yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI ( Magnetic Resonance Imaging
) seperti luka besar. Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami
pembengkakan yang di sebut edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat
mengubah tingkat kesadaran.

Umumnya,individu yang mengalami cidera luas mengalami fungsi motorik


abnormal,gerakan mata abnormal,dan peningkatan TIK yang merupakan
prognosis buruk.

c) Cedera kepala ringan (Komosio)

Setelah cidera kepala ringan,akan terjadi kehilangan fungsi neurologis


sementara dan tanpa kerusakan struktur. Komosio ( commotio ) umumnya
meliputi suatu periode tidak sadar yangberakir sselama beberapa detik sampai
beberapa menit. Kedaaan komosio ditunjukan dengan gejala pusing atau
berkunang-kunang. Dan terjadi kehilangan kesadaran penuh sesaat. Jika
jaringan otak dilobus frontal terkena klien akan berperilaku sedikit
aneh,sementara jika lobus temporal yang terkena maka akan menimbulkan
amnesia dan disoreintasi.

Penatalaksanaan meliputi kegiatan:

· Mengobservasi klien terhadap adanya sakit kepala,pusing,peningkatan


kepekaan terhadap rangsang dan cemas.

· Memberikan informasi,penjelasan,dan dukungan terhadap klien tentang


dampak paskacomosio

· Melakukan perawatan 24 jam sebelum klien dipulangkan klien dipulangkan

· Memberitahukan klien/keluarga untuk segera membawa klien kerumah sakit


jika ditemukan tanda-tanda sukar bangun,konvulsi (kejang),sakit kepala
berat,muntah,dan kelemahan pada salah satu sis tubuh

· Mengajurkan klien untuk melakukan untuk melakukan kegiatan normal


perlahan dan bertahap.

6
d) Laserasi (luka robek atau koyak)

Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau
runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda bermata
tajam dimana lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila
terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Luka ini
biasanya terjadi pada kulit yang ada tulang dibawahnya pada proses
penyembuhan dan biasanya pada penyembuhan dapat menimbulkan jaringan
parut.

e) Abrasi

Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa
mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan
subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang
rusak.

e) Avulsi

Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,tetapi
sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak
kulit pada kranial terlepas setelah kecederaan.

1. Perdarahan Intrakranial

a. Perdarahan Epidural (Hematoma Epidural)

Setelah cedera kepala ringan, darah terkumpul diruan epidural (ekstradural)


diantara tengkorak dan durameter. Keadaan ini sering diakibatkan karena
terjadinya fraktur tulang tengkorank yang menyebabkan arteri meningeal
tengah putus atau rusak (laserasi)-dimana arteri ini berada diantara dura meter
dan tengkorak menuju bagian tipis tulang temporal-dan terjadi hemoragik
sehingga terjadi penekanan pada otot.

Penatalaksanaan untuk hematoma epidural dipertimbangkan sebagai keadaan


darurat yang ekstrem,dimana deficit neurologis atau berhentinya pernafasan
dapat terjadi dalam beberapa menit. Tindakan yang dilakukan terdiri atas

7
membuat lubang pada tulang tengkorak (burr),mengangkat bekuan dan
mengontrol titik pendarahan.

b. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural adalah pengumpulan darah pada ruang diantara dura


meter dan dasar otak,yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hematoma
subdural paling dering disebabkan karena trauma,tetapi dapat juga terjadi
akibat kecenderungan pendarahan yang serius dan aneurisma. Hematoma
subdural lebih sering terjadi pada venadan merupakan akibat dari putusnya
pembuluh darah kecilyang menjebatani ruang subdural. Hematoma subdural
bisa terjadi akut,subakut,dan kronis tergantung padaukuran pembuluh darah
yang terkena dan jumlah pendarahan yang terjadi.

2. Perdarahan subdural akut

Hematomasubdural akut dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang


meliputi kontusio atau laserasi. Biasanya klien dalam keadaankomaatau
mempunyai keadaan klinis yang sama dengan hematoma epidural tekanan
darah meningkat dan frekuensi nadi lambat dan pernafasan cepat sesuai dengan
peningkatan hematoma yang cepat.

· Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan,


respon yang lambat, serta gelisah.

· Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.

3. Perdarahan subdural subakut

Hematoma subdural subakut adakah sekuel dari kontusio sedikit berat dan
dicurigai pada klien dengan kegagalan untuk meningkatkan kesadaran setelah
trauma kepala.

Tanda-tanda dan gejalanya hampir sama pada hematoma subdural akut yaitu:

· Nyeri kepala

8
· Bingung

· Mengantuk

· Menarik diri

· Berfikir lambat

· Kejang

· Oedema pupil

4. Perdarahan subdural kronis

Hematoma subdural kronis menyerupai kondisi lain yang mungkin dianggap


sebagai stroke. Pendarahan sedikit menyebar dan mungkin dapai kompresi
pada intracranial. Darah dalam otak mengalami perubahan karakter dalam 2-4
hari,menjadi kental dan lebih gelap. Dalam beberapa minggu bekuan
mengalami warna serta konsistensi seperti minyak mobil. Otak beradaptasi
pada invasi benda asing ini,tanda serta gejala klinis klien berfluktuasi seperti
terdapat sering sakit kepala hebat,kejang fokal.

Tindakan terhadap hematoma subdural kronis terdiri atas bedah pengangkatan


bekuan dengan dengan menggunakan penghisap dan pengirigasian area
tersebut. Proses ini dapat dilakukan melalui pembuatan lubang (burr) ganda
atau kraniotomi yang dilakukan untuk lesi massa subdural yang cukup besar
yang dapat dilakukan melalui pembuatan lubang (burr).

2.1.4 Patofisiologi Trauma Kepala

Adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya


kerusakan pada paremkim otak, kerusakan pembuluh darah,perdarahan, edema
dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat,perubahan
permeabilitas faskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat di golongkan menjadi
2 yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer
merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat
kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera kepala

9
primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat
benturan terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat ( fokal ) local, maupun
difus. Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian
tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian relative tidak terganggu. Kerusakan
difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan
umumnya bersifat makroskopis.

Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat
hipoksemia, iskemia dan perdarahan.Perdarahan cerebral menimbulkan
hematoma, misalnya Epidoral Hematom yaitu adanya darah di ruang Epidural
diantara periosteum tengkorak dengan durameter,subdural hematoma akibat
berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan sub arakhnoit dan
intra cerebal hematom adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral
(Tarwoto, 2007).

2.1.5 Komplikasi Trauma kepala

Komplikasi akibat dari trauma kepala, antara lain: (Engram 1998, Ginsberg
2008)

1. Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK)

2. Hematoma subdural kronik yang dapat terjadi pada trauma kepala ringan,
dan epilepsi pasca trauma terjadi terutama pada pasien yang mengalami
kejang awal (dalam minggu pertama setelah cidera), amnesia pascatrauma
yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur depresi kranium, atau hematoma
intrakranial

3. Pasien dengan fraktur basis cranii beresiko mengalami kebocoran CSF dari
hidung (rinorea) atau telinga (otorea) yang dapat memberikan kemungkinan
terjadinya meningitis. Selain terapi infeksi, komplikasi ini membutuhkan
reparasi bedah untuk robekan dura. Bedah eksplorasi juga diperlukan
apabila terjadi kebocoran CSF persisten

4. Sindrom pascakonkusi yaitu sindrom dengan beberapa gejala: nyeri kepala,


vertigo, depresi, dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan setelah

10
trauma kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat terdapat trauma pada
vestibular.

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik Trauma Kepala

Pemeriksaan diagnostik dan penunjang pada trauma kepala, yaitu:


(Baughman & Hackley 2000, Grace & Borley 2007, Muttaqin 2012)

1. Rontgen tengkorak: AP, lateral, dan posisi towne


2. CT scan / MRI: menunjukkan kontusio, hematoma, hidrosefalus, dan
edema serebral
3. Cerebral angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi odema, perdarahan dan trauma
4. Serial EEG: melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/odema), fragmen tulang
6. BAER: mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET: mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF dan lumbal punksi: dapat dilakukan jika dicurigai terjadi perdarahan
subarachnoid.
2.1.6 Penatalaksanaan Trauma Kepala

Terdapat bebeapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan dalam trauma


kepala, yaitu: (Grace & Borley 2007; Muttaqin 2012)Mempertahan fungsi
ABC (airway, breathing, circulation)

1. Menilai status neurologis (disabilitas dan pajanan)

2. Penurunan resiko iskemi serebri, dapat dibantu dengan pemberian oksigen


dan glukosa meskipun pada otak yang mengalami trauma relatif
memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah

3. Mengontrol kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial


(TIK) yang diakibatkan edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan

11
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan TIK dapat dilakukan
dengan menurunkan PaCO2 melalui hiperventilasi yang menurunkan
asidosis intraserebral dan meningkatkan metabolisme intraserebral.

2.2 Konsep Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

1. Primary Survey

a. Airway

Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan nafas pasien.

L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya


retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran

L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan

F =Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan


menggunakan pipi perawat

b. Breathing

kelainan pada pernafasan misalnya dispnea, takipnea, bradipnea,


ataupun Kaji ada atau tidaknya sesak.Kaji juga apakah ada suara
nafas tambahan seperti snoring, gargling, rhonki atau
wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas pasien.

c. Circulation

Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak


jantung misalnya takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya
sianosis dan capilarrefil.Kaji juga kondisi akral dan nadi pasien.

d. Disability

12
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan
refleks, pupil anisokor dan nilai GCS.Menilai kesadaran dengan
cepat, apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau sama
sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara
yang cukup jelas dan cepat dengan metode AVPU.Namun sebelum
melakukan pertolongan, pastikan terlebih dahulu 3A yaitu aman
penolong, aman korban dan aman lingkungan.
A = Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
V= Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara
keras di telinga korban, pada tahap ini jangan sertakan dengan
menggoyang atau menyentuh pasien, jika tidak merespon lanjut ke
P.
P = Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling
mudah adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal
kuku), selain itu dapat juga dengan menekan bagian tengah tulang
dada (sternum) dan juga areal diatas mata (supra orbital).
U = Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih
tidak bereaksi maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.
Menurut Arif Mansjoer. Et all. 2000 penilaian GCS
beerdasarkan pada tingkat keparahan cidera :

1.) Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah) Ciri :

a. Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan


orientatif)
b. Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
c. Tidak ada intoksikasi alkoholatau obat terlarang
d. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e. Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit
kepala
f. Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.

13
2.) Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang) dengan ciri

a. Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)


b. Konkusi
c. Amnesia pasca trauma
d. Muntah
e. Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata
rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan
serebrospinal).

3.) Cidera kepala berat (kelompok resiko berat) dengan ciri :

a. Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)


b. Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c. Tanda neurologis fokal
d. Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.
e. Exposure of extermitas

Mengkaji ada tidaknya peningkatan suhu pada pasien,


adanya deformitas, laserasi, contusio, bullae, atau abrasi.

2. Secondary survey
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang.
Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai
stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok
telah mulai membaik.

1.) Anamnesis

Pasien.Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah


kesehatan sekarang, riwayat medis, Pemeriksaan data subyektif
didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan
bagian penting dari pengkajian riwayat keluarga, sosial, dan

14
sistem.(Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian
riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari
pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau
kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota
keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat
kejadian.

Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan


memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita.
Beberapa contoh:
a. .Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk
pengaman: cedera wajah, maksilo-fasial, servikal, toraks,
abdomen dan tungkai bawah
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial,
fraktur servikal atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan
CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa
didapat dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing
Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan,
plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti
sedang menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis,
jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti
penyakit yang pernah diderita, obatnya apa, berapa
dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga
periode menstruasi termasuk dalam komponen ini)

15
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera
(kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama)

Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri


pada pasien yang meliputi :

1. Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? apa yang


membuat nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya
lebih buruk? apa yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri
itu membuat anda terbangun saat tidur?
2. Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah
seperti diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram,
kolik, diremas? (biarkan pasien mengatakan dengan kata-katanya
sendiri)
3. Radiates: apakah nyerinya menyebar? menyebar kemana? apakah
nyeri terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
4. Severity : seberapa parah nyerinya? dari rentang skala 0-10
dengan 0 tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
5. Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau
lambat? berapa lama nyeri itu timbul? apakah terus menerus atau
hilang timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini
sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya
atau berbeda?

Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah


pemeriksaan tanda-tanda vital.Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi,
frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat badan, dan
skala nyeri.
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa
menurut Emergency Nurses Association(2007).

16
Komponen Nilai normal Keterangan
Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk mengukur
suhu inti menggunakan kateter
arteri pulmonal, kateter urin,
esophageal probe, atau monitor
Suhu 36,5-37,5
tekanan intracranial dengan
pengukur suhu. Suhu dipengaruhi
oleh aktivitas, pengaruh
lingkungan, kondisi penyakit,
infeksi dan injury.
Dalam pemeriksaan nadi
Nadi 60-100x/menit perlu dievaluais irama jantung,
frekuensi, kualitas dan kesamaan.
Evaluasi dari repirasi
meliputi frekuensi, auskultasi suara
nafas, dan inspeksi dari usaha
bernafas. Tada dari peningkatan
Respirasi 12-20x/menit
usah abernafas adalah adanya
pernafasan cuping hidung, retraksi
interkostal, tidak mampu
mengucapkan 1 kalimat penuh.
Saturasi oksigen di monitor
melalui oksimetri nadi, dan hal ini
penting bagi pasien dengan
Saturasi gangguan respirasi, penurunan
>95%
oksigen kesadaran, penyakit serius dan
tanda vital yang abnormal.
Pengukurna dapat dilakukan di jari
tangan atau kaki.

17
Tekanan darah mewakili
dari gambaran kontraktilitas
jantung, frekuensi jantung, volume
sirkulasi, dan tahanan vaskuler
Tekanan perifer. Tekanan sistolik
120/80 mmHg
darah menunjukkan cardiac output,
seberapa besar dan seberapa kuat
darah itu dipompakan. Tekanan
diastolic menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler perifer.
Berat badan penting
diketahui di UGD karena
berhubungan dengan keakuratan
dosis atau ukuran. Misalnya dalam
Berat badan
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi lain
yang tergantung dengan berat
badan.

2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita
yang datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di
lantai yang berasal dari bagian belakang kepala penderita.
Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah
untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur
dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta
adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).

b. Wajah

Ingat prinsip look-listen-feel.Inspeksi adanya kesimterisan


kanan dan kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar

18
mata jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di
mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya
menjadi sulit. Reevaluasi tingkat kesadaran dengan skor
GCS.
1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak,
ukuran pupil apakahisokor atau anisokor serta
bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami
miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata
(macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya
anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal,
ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta
diplopia
2) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan
nyeri, penyumbatan penciuman, apabila ada deformitas
(pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
3) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus,
pembengkakan, perdarahan, penurunan atau hilangnya
pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan
membrane timpani atau adanya hemotimpanum
4) Rahang atas :periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa
terhadap tekstur, warna, kelembaban, dan adanya lesi; amati
lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah tosil
meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan
apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri,
inspeksi amati adanya tonsil meradang atau tidak
(tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri.

c. Vertebra servikalis dan leher

19
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi,
edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan)
dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan
pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap
jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal.Jaga airway, pernafasan, dan
oksigenasi.Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.

d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosis, bekas luka,
frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada,
penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah
terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (Lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)

e. Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat


kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sendorik.Perubahan
dalam status neurologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS.Adanya paralisis
dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer.Imobilisasi
penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi
dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal.Kesalahan yang sering
dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja,
sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu.Jelaslah
bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi.Bila ada trauma kepala,
diperlukan konsultasi neurologis.Harus dipantau tingkat kesadaran penderita,
karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial.Bila terjadi penurunan

20
kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan
ventilasi (ABC).Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau
fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,


hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia (kesukaran dalam
mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan
respon sensori

3. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium (darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas darah)


2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak)
3. MRI: digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif
4. Cerebral Angiopathy: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral,
seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan
trauma.
5. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak
maupun thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi: dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. ABGs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit
sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial (Musliha, 2010).

21
3. Diagnosa Keperawatan Diagnosa Keperawatan Sesuaikan dengan
keadaan px di IGD hanya 8 jam

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas bd akumulasi secret, sisa muntahan


2. Ketidakefektifan pola nafas bd spinal cord injury, trauma kepala
3. Nyeri akut bd trauma jaringan dan reflex spasme otot sekunder
4. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral bd edema cerebral,
peningkatan TIK
5. Resiko kekurangan volume cairan bd mual muntah dan perdarahan
6. Resiko infeksi bd tempat masuknya organisme sekunder akibat trauma

2.2.3 Intervensi

VVV

22
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

Dengan penulisan makalah ini semoga dapat memberikan pengetahuan


tentang asuhan keperawatan gawat darurat dengan Trauma Kepala dalam
keperawatan anak kepada pembaca dan khususnya pada kami selaku
penyusun. Kami sadar makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dalam
penyampaian maupupun penulisannya. Sehingga kami mengharap kritik dan
saran yang dapat membangun dalam memperbaiki makalah ini.

23
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C., JoAnn C. Hackley. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah:


Buku Saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC

Engram, barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah Vol.3.


Jakarta: EGC

Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Edisi 8. Jakarta: Erlangga

Muttaqin, Arif. 2012. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta:Salemba Medika

Aritonang,S.2007.Trauma Kepala.Artikel.eprints.undip.ac.id/29403/3/Bab_2.pdf

MakalahCederaKepala.pdf.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21501/4/
Chapter%20II.pdf

24

Anda mungkin juga menyukai