PENDAHULUAN
Penanganan yang kurang tepat pada pasien trauma kepala akan berdampak
fatal dan bahkan sampai pada kematian. Dalam pengambilan diagnose
keperawatanpun haruslah tepat sehingga pasien dapat ditolong dengan cepat
dan tepat.
1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang pengertian trauma kepala
2. Untuk mengetahui tentang etiologi trauma kepala
3. Untuk mengetahui tentang jenis trauma kepala
4. Untuk mengetahui tentang patofisiologi trauma kepala
5. Untuk mengetahui tentang komplikasi trauma kepala
6. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan diagnostik trauma kepala
7. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan trauma kepala
8. Untuk mengetahui tentang konsep keperawatan trauma kepala
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien
trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per 100.000 populasi. Kekerasan
adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak
7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat. Penyebab utama terjadinya
trauma kepala adalah seperti berikut:
3
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan
atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.
2. Jatuh
3. Kekerasan
Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area) dimana terjadi
trauma. Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu
secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala
tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh
pada kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009,
mengatakan trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat
pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan
tengkorak.
Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus
sampai kepada dura mater. Kemungkinan kecederaan atau trauma adalah
seperti berikut:
a) Fraktur
4
simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture, compound
fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut:
· Linear or hairline : retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa
depresi, distorsi dan ‘ splintering’.
Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak atau
kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium.
Hal ini memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium.
Insidensi kasus ini sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami
trauma kepala berat (Graham and Gennareli, 2000; Orlando Regional
Healthcare, 2004). Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis
kranii yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan
gejala raccoon’s eye
(penumpukan darah pada orbital mata). Tulang pada foramen magnum bisa
retak sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur
basis kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media dan posterior.
Fraktur maxsilofasial adalah retak atau kelainan pada tulang maxilofasial yang
merupakan tulang yang kedua terbesar setelah tulang mandibula. Fraktur pada
bagian ini boleh menyebabkan kelainan pada sinus maxilari.
5
yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI ( Magnetic Resonance Imaging
) seperti luka besar. Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami
pembengkakan yang di sebut edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat
mengubah tingkat kesadaran.
6
d) Laserasi (luka robek atau koyak)
Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau
runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda bermata
tajam dimana lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila
terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Luka ini
biasanya terjadi pada kulit yang ada tulang dibawahnya pada proses
penyembuhan dan biasanya pada penyembuhan dapat menimbulkan jaringan
parut.
e) Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa
mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan
subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang
rusak.
e) Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,tetapi
sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak
kulit pada kranial terlepas setelah kecederaan.
1. Perdarahan Intrakranial
7
membuat lubang pada tulang tengkorak (burr),mengangkat bekuan dan
mengontrol titik pendarahan.
b. Perdarahan Subdural
Hematoma subdural subakut adakah sekuel dari kontusio sedikit berat dan
dicurigai pada klien dengan kegagalan untuk meningkatkan kesadaran setelah
trauma kepala.
Tanda-tanda dan gejalanya hampir sama pada hematoma subdural akut yaitu:
· Nyeri kepala
8
· Bingung
· Mengantuk
· Menarik diri
· Berfikir lambat
· Kejang
· Oedema pupil
9
primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat
benturan terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat ( fokal ) local, maupun
difus. Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian
tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian relative tidak terganggu. Kerusakan
difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan
umumnya bersifat makroskopis.
Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat
hipoksemia, iskemia dan perdarahan.Perdarahan cerebral menimbulkan
hematoma, misalnya Epidoral Hematom yaitu adanya darah di ruang Epidural
diantara periosteum tengkorak dengan durameter,subdural hematoma akibat
berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan sub arakhnoit dan
intra cerebal hematom adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral
(Tarwoto, 2007).
Komplikasi akibat dari trauma kepala, antara lain: (Engram 1998, Ginsberg
2008)
2. Hematoma subdural kronik yang dapat terjadi pada trauma kepala ringan,
dan epilepsi pasca trauma terjadi terutama pada pasien yang mengalami
kejang awal (dalam minggu pertama setelah cidera), amnesia pascatrauma
yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur depresi kranium, atau hematoma
intrakranial
3. Pasien dengan fraktur basis cranii beresiko mengalami kebocoran CSF dari
hidung (rinorea) atau telinga (otorea) yang dapat memberikan kemungkinan
terjadinya meningitis. Selain terapi infeksi, komplikasi ini membutuhkan
reparasi bedah untuk robekan dura. Bedah eksplorasi juga diperlukan
apabila terjadi kebocoran CSF persisten
10
trauma kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat terdapat trauma pada
vestibular.
11
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan TIK dapat dilakukan
dengan menurunkan PaCO2 melalui hiperventilasi yang menurunkan
asidosis intraserebral dan meningkatkan metabolisme intraserebral.
2.2.1 Pengkajian
1. Primary Survey
a. Airway
b. Breathing
c. Circulation
d. Disability
12
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan
refleks, pupil anisokor dan nilai GCS.Menilai kesadaran dengan
cepat, apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau sama
sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara
yang cukup jelas dan cepat dengan metode AVPU.Namun sebelum
melakukan pertolongan, pastikan terlebih dahulu 3A yaitu aman
penolong, aman korban dan aman lingkungan.
A = Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
V= Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara
keras di telinga korban, pada tahap ini jangan sertakan dengan
menggoyang atau menyentuh pasien, jika tidak merespon lanjut ke
P.
P = Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling
mudah adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal
kuku), selain itu dapat juga dengan menekan bagian tengah tulang
dada (sternum) dan juga areal diatas mata (supra orbital).
U = Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih
tidak bereaksi maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.
Menurut Arif Mansjoer. Et all. 2000 penilaian GCS
beerdasarkan pada tingkat keparahan cidera :
13
2.) Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang) dengan ciri
2. Secondary survey
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang.
Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai
stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok
telah mulai membaik.
1.) Anamnesis
14
sistem.(Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian
riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari
pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau
kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota
keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat
kejadian.
15
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera
(kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama)
16
Komponen Nilai normal Keterangan
Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk mengukur
suhu inti menggunakan kateter
arteri pulmonal, kateter urin,
esophageal probe, atau monitor
Suhu 36,5-37,5
tekanan intracranial dengan
pengukur suhu. Suhu dipengaruhi
oleh aktivitas, pengaruh
lingkungan, kondisi penyakit,
infeksi dan injury.
Dalam pemeriksaan nadi
Nadi 60-100x/menit perlu dievaluais irama jantung,
frekuensi, kualitas dan kesamaan.
Evaluasi dari repirasi
meliputi frekuensi, auskultasi suara
nafas, dan inspeksi dari usaha
bernafas. Tada dari peningkatan
Respirasi 12-20x/menit
usah abernafas adalah adanya
pernafasan cuping hidung, retraksi
interkostal, tidak mampu
mengucapkan 1 kalimat penuh.
Saturasi oksigen di monitor
melalui oksimetri nadi, dan hal ini
penting bagi pasien dengan
Saturasi gangguan respirasi, penurunan
>95%
oksigen kesadaran, penyakit serius dan
tanda vital yang abnormal.
Pengukurna dapat dilakukan di jari
tangan atau kaki.
17
Tekanan darah mewakili
dari gambaran kontraktilitas
jantung, frekuensi jantung, volume
sirkulasi, dan tahanan vaskuler
Tekanan perifer. Tekanan sistolik
120/80 mmHg
darah menunjukkan cardiac output,
seberapa besar dan seberapa kuat
darah itu dipompakan. Tekanan
diastolic menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler perifer.
Berat badan penting
diketahui di UGD karena
berhubungan dengan keakuratan
dosis atau ukuran. Misalnya dalam
Berat badan
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi lain
yang tergantung dengan berat
badan.
2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita
yang datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di
lantai yang berasal dari bagian belakang kepala penderita.
Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah
untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur
dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta
adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).
b. Wajah
18
mata jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di
mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya
menjadi sulit. Reevaluasi tingkat kesadaran dengan skor
GCS.
1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak,
ukuran pupil apakahisokor atau anisokor serta
bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami
miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata
(macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya
anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal,
ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta
diplopia
2) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan
nyeri, penyumbatan penciuman, apabila ada deformitas
(pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
3) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus,
pembengkakan, perdarahan, penurunan atau hilangnya
pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan
membrane timpani atau adanya hemotimpanum
4) Rahang atas :periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa
terhadap tekstur, warna, kelembaban, dan adanya lesi; amati
lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah tosil
meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan
apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri,
inspeksi amati adanya tonsil meradang atau tidak
(tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri.
19
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi,
edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan)
dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan
pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap
jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal.Jaga airway, pernafasan, dan
oksigenasi.Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosis, bekas luka,
frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada,
penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah
terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (Lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)
e. Neurologis
20
kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan
ventilasi (ABC).Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau
fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
3. Pemeriksaan Penunjang
21
3. Diagnosa Keperawatan Diagnosa Keperawatan Sesuaikan dengan
keadaan px di IGD hanya 8 jam
2.2.3 Intervensi
VVV
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang,S.2007.Trauma Kepala.Artikel.eprints.undip.ac.id/29403/3/Bab_2.pdf
MakalahCederaKepala.pdf.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21501/4/
Chapter%20II.pdf
24