pingsan
Raka tiba di UGD Rumah Sakit Umum diantar oleh keluarganya dengan keluhan tidak sadarkan
diri setelah mengalami kecelakaan jatuh dari motor dengan kepala dan punggung yang terbentur
keras pada aspal sejak 4 jam yang lalu, ia juga mengeluarkan darah dari telinga dan hidungnya
serta kedua kelopak mata tampak hematom. Kemudian segera dilakukan tindakan rumah sakit
tersebut dan 3 hari kemudian pasien baru sadar. Namun kedua tungkainya mengalami
kelumpuhan. Raka juga tidak mampu menahan BAK sehingga sering mengompol. Saat ini Raka
berobat jalan dan menjalani fisioterapi.
STEP 1
Fisioterapi : - Pemulihan dengan memberikan pelatihan kekuatan otot.
- Pemulihan pada penderita lumpuh yaitu kekuatan ototnya sehingga dapat berfungsi
normal
Hematom : penggumpalan darah
STEP 2
1.
2.
3.
4.
5.
STEP 3
1.
2.
3.
4.
- Fungsi lumbal
5. Dengan melakukan dengan rutin sesuai dengan cederanya.
STEP 4
1. Trauma kapitis merupakan penyebab utama kematian di berbagai negara di
dunia,terutama pada kelompok usia di bawah 40 tahun. Di USA diperkirakan 1,6
% dari seluruhkunjungan di unit gawat darurat adalah kasus trauma kapitis. Dijumpai 444
kasus baru setiaptahunnya per 100.000 penduduk. Secara keseluruhan setiap
tahunnya diperkirakan sekitar 60.000 kematian diakibatkan trauma kapitis serta 70.000
90.000 penderita akan mengalamigangguan neurologik permanen. Di negara
berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan,
frekuensi trauma kapitis cenderung makin meningkat.Trauma kapitis berperan pada kematian akibat
trauma, mengingat kepala merupakan bagian yang rentan dan sering terlibat dalam
kecelakaan. Laki-laki 2 3 kali lebih seringdibandingkan wanita, terutama pada kelompok
usia resiko tinggi (usia 15 24 tahun dan >75tahun). Berdasarkan studi epidemiologi, kecelakaan
sepeda motor dan violence-related injuries merupakan penyebab trauma kapitis yang paling sering.
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma
kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya
salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan
sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas .
Etiologi
Penyebab utama trauma kapitis adalah benturan di kepala, jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam, maka akan menyebabkan trauma regangan dan robekan
padasubstansi alba dan batang otak.
Adapun faktor presipitasi trauma kapitis yaitu:
a. Kecelakaan lalu lintas (kecelakaan bermotor).
b. Terjatuh dari ketinggian, benturan dan pukulan.
c. Tumpukan benda tajam.
d. Kecelakaan kerja industri.
e. Kecelakaan saat olah raga, misalnya tinju.
2
f. Benturan dari objek yang bergerak dan menimbulkan gerakan (cedera akselarasi)
sertadapat terjadi bila kepala membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan
deselerasicepat dari tulang tengkorak (cedera deselerasi).
gale
aponeurotika loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.
2 . T u l a n g Ten g k o r a k
Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua bagian
yaitukranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah yang terdiri atas
empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas yang dikenal
sebagai kubahtengkorak, licin pada permukaan luar dan pada permukaan dalam
ditandai dengan gili-gili danlekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah.
Permukaan bawah dari ronggadikenal sebagai dasar tengkorak atau basis kranii.
Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak lubang supaya dapat dilalui oleh saraf dan
pembuluh darah.
Meningia
Lapisan Meningea
Meningia merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang.Fungsi meningia yaitu melindungi struktur saraf halus yang membawa
pembuluh darah dancairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil
benturan atau getaran terdiri atas 3lapisan, yaitu :a. Duramater (Lapisan sebelah luar)
Duramater adalah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikatt e b a l
dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak
d a n duramater propia di bagian dalam. Di dalam kanalis vertebralis kedua lapisan
initerpisah.
Duramater
pada
tempat
tertentu
mengandung
rongga
yang
mengalirkandarah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior yang
terletak diantara kedua hemisfer otak. b. Arachnoid (Lapisan tengah)Arachnoid adalah
membran impermeabel halus yang meliputi otak dan terletak d i a n t a r a
p i a m a t e r d i s e b e l a h d a l a m d a n d u r a m a t e r d i s e b e l a h l u a r. S e l a p u t
i n i dipisahkan dari duramater oleh potensial, disebut spatium subdural d a n
d a r i piamater oleh spatium subarachnoideum, yang terisi oleh cairan serebrospinal.c.
Piamater (Lapisan sebelah dalam)Piamater adalah membran vaskular yang dengan erat
membungkus otak, meliputigyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam.
Membran ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri arteri yang masuk ke dalamsubstansi otak juga diliputi oleh piamater.
3. Jaringan Otak
Otak merupakan suatu alat tubuh yang sangat penting karena
m e r u p a k a n p u s a t komputer dari semua alat tubuh, bagian dari saraf
sentral yang terletak di dalam rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh
selaput otak yang kuat. Otak terdiri dari otak besar ( cerebrum ) , o t a k k e c i l
( cerebellum ) , d a n b a t a n g o t a k ( Trunkus serebri). Besar otak orangdewasa
kira-kira 1300 gram, 7/8 bagian berat terdiri dari otak besar.
4
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia
lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma
intracranial.
Skala Koma Glasgow
No
RESPON
Membuka Mata :
NILAI
-Spontan
-Terhadap nyeri
-Tidak ada
Verbal :
-Orientasi baik
-Orientasi terganggu
Motorik :
- Mampu bergerak
-Melokalisasi nyeri
-Fleksi menarik
-Fleksi abnormal
-Ekstensi
Total
3-15
Morfologi Cedera
Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :
a.Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis
atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tandatanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci.
Tanda-tanda tersebut antara lain :
-Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)
-Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
-Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
-Parese nervus facialis ( N VII )
7
Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam, lebih tebal
dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.
b.Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi
sering terjadi bersamaan.
Termasuk lesi lesi local ;
-Perdarahan Epidural
-Perdarahan Subdural
-Kontusio (perdarahan intra cerebral)
Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang normal, namun keadaan
klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan
pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka cedera otak difus dikelompokkan menurut
kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksona Difus ( CAD).
1) Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada
regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media
( Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan
dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh
gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral. Kemudian
gejala neurology timbul secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil
edema dan gejala herniasi transcentorial.
Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral,
jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah
ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri perdarahan epidural berbentuk
bikonveks atau menyerupai lensa cembung
2) Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural( kira-kira 30 %
dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena
jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi
bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan
otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk daripada
perdarahan epidural.
3) Kontusio dan perdarahan intracerebral
Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walau terjadi
juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio cerebri
dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi
membentuk perdarahan intracerebral. Apabila lesi meluas dan terjadi penyimpangan
neurologist lebih lanjut
4) Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera kepala.
Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu, namun
terjadi disfungsi neurologist yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan sering kali tidak diperhatikan, bentuk yang paling
ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia retrograd,
amnesia integrad ( keadaan amnesia pada peristiwa sebelum dan sesudah cedera)
Komusio cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunya atau hilangnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya
9
11
otorea, fossa posterior dapatterjadi hematom sehingga terjadi herniasi batang otak dan
mengakibatkan kematian(Syamsuhidayat, 2004).
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis bergantung pada :
1. Besar dan kekuatan benturan
2. Arah dan tempat benturan
3. Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan
Sehubungan dengan pelbagai aspek benturan tersebut maka dapat mengakibatkan lesi otak
berupa :
Lesi bentur (Coup)
Lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak,
peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain = lesi media)
Lesi kontra (counter coup)
Lesi benturan otak menimbulkan beberapa kejadian berupa :
1. Gangguan neurotransmitter sehingga terjadi blok depolarisasi pada sistem ARAS
(Ascending Reticular Activating System yang bermula dari brain stem)
2. Retensi cairan dan elektrolit pada hari pertama kejadian
3. Peninggian tekanan intra kranial ( + edema serebri)
4. Perdarahan petechiae parenchym ataupun perdarahan besar
5. Kerusakan otak primer berupa cedera pada akson yang bisa merupakan peregangan
ataupun sampai robeknya akson di substansia alba yang bisa meluas secara difus ke hemisfer
sampai ke batang otak
6. Kerusakan otak sekunder akibat proses desak ruang yang meninggi dan komplikasi
sistemik hipotensi, hipoksemia dan asidosis
Akibat adanya cedera otak maka pembuluh darah otak akan melepaskan serotonin bebas
yang berperan akan melonggarkan hubungan antara endotel dinding pembuluh darah
sehingga lebih perniabel, maka Blood Brain Barrier pun akan terganggu, dan terjadilah
oedema
otak
regional
atau
diffus
(vasogenik
oedem
serebri)
Oedema serebri lokal akan terbentuk 30 menit sesudah mendapat trauma dan kemudian
12
oedema akan menyebar membesar. Oedema otak lebih banyak melibatkan sel-sel glia,
terutama pada sel astrosit (intraseluler) dan ekstraseluler di substansia alba. Dan ternyata
oedema serebri itu meluas berturut-turut akan mengakibatkan tekanan intra kranial
meninggi, kemudian terjadi kompresi dan hypoxic iskhemik hemisfer dan batang otak dan
akibat selanjutnya bisa menimbulkan herniasi transtetorial ataupun serebellar yang berakibat
fatal.
Ada sekitar 60-80 % pasien yang meninggal dikarenakan menderita trantetorial herniasi dan
kelainan batang otak tanpa adanya lesi primer akibat trauma langsung pada batang otak.
Kerusakan yang hebat yang disertai dengan kerusakan batang otak akibata proses diatas
mengakibatkan kelainan patologis nekroskortikal, demyelinisasi diffus, banyak neuron yang
rusak dan proses gliosis, sehingga jika penderita tidal meninggal maka bisa terjadi suatu
keadaan vegetatif dimana penderita hanya dapat membuka matanya tanpa ada daya apapun
(akinetic-mutism/coma
vigil,
apallic
state,
locked
in
syndrome).
Akinetic mutism coma vigil lesi terutama terjadi pada daerah basal frontal yang bilateral
dan/atau daerah mesensefalon posterior. Locked in syndrome kerusakan terutama pada
eferen motor pathway dan daerah depan pons. Apallic states kerusakan luas pada daerah
korteks
serebri.
hipoksia
diffus
mengakibatkan
kesadaran
akan
menurun.
Peninggian TIK mengakibatkan CBF dan TPO menurun, maka akan terjadi kompensasi
(Cushing respons), penekanan pada daerah medulla oblongata, hipoksia pusat vasomotor,
sehingga mengakibatkan kompensasi vasokonstriksi perifer (peninggian tekanan darah
sistemik)
bradikardi,,
pernafasan
yang
melambat
dan
muntah-muntah.
TIK yang meninggi mengakibatkan hypoxemia dan respiratori alkalosis (PO2 menurun dan
PCO2 meninggi) akibatnya terjadi vasodilatasi kapiler serebral. Selama pembuluh darah
tersebut masih sensitif terhadap tekanan CO2), maka CBF dan TPO akan tercukupi.
Jika kenaikan TIK terlalu cepat maka Cushing respons tidaklah bisa selalu terjadi. Demikian
pula jika penurunan tekanan darah sistemik terlalu cepat dan terlalu rendah maka sistem
13
autoregulasi tidak dapat berfungsi dan CBF pun akan menurun sehingga fungsi serebral
terganggu.
Selain yang tersebut diatas peninggian TIK juga dapat menyebabkan gangguan konduksi
pada pusat respirasi dan pusat kardiovaskuler di batang otak. Akibatnya pols berubah cepat
dan lemah serta tekanan darah sistemik akan drops menurun secara drastis. Respirasi akan
berubah
irreguler,
melambat
dan
steatorous.
Pada cedera otak berat terjadi gangguan koordinasi di antara pusat pernafasan volunter di
korteks dengan pusat pernafasan automatik di batang otak. Ternyata bahwa herniasi
serebellar tonsil ke bawah yang melewati foramen magnum hanya mempunyai efek yang
minimal terhadap sistem kecepatan dan ritme pernafasan, kecuali jika herniasinya memang
sudah terlalu besar maka tiba-tiba saja bisa terjadi respiratory arrest.
Patofisiologi dan Gejala : Pasien tidak sadar > 20 menit
Fase I = fase shock
Keadaan ini terjadi pada awal 2 x 24 jam disebabkan :
- kolaps vasomotorik dan kekacauan regulasi sentral vegetatif
- temperatur tubuh menurun, kulit dingin, ekstremitas dan muka sianotik
- respirasi dangkal dan cepat
- nadi lambatsebentar kemudian berubah jadi cepat, lemah dan iregular
- tekanan darah menurun
- refleks tendon dan kulit menghilang
- babinsky refleks positif
- pupil dilatasi dan refleks cahaya lemah
Fase II = fase hiperaktif central vegetatif
- temperatur tubuh meninggi
- pernafasan dalam dan cepat
- takikardi
- sekret bronkhial meningkat berlebihan
- tekanan darah menaik lagi dan bisa lebih dari normal
- refleks-refleks serebral muncul kembali
14
15
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya cedera kepala.
a. Mual dan muntahDengan peningkatan TIK merangsang kelenjar pituitari dan steroid
sehingga sekresi asamlambung meningkat (Latief, Bahtiar,2008).
b. Sakit kepalaVasakontriksi arteri pada kulit kepala dan pembuluh-pembuluh darah serebri
sedangkanpembuluh-pembuluh darah ekstrakranium dan intrakranium mengalami dilatasi
(Smeltzer,2001).
16
Gerakan mata dan motorik abnormal.Terjadi akibat kerusakan pada jaringan otak
sehingga mengakibatkan fungsi pusat-pusat otaktepatnya di korteks serebri pada lobus
oksipital (Corwin, 2001).
m. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive yang dapat dilihat
dengan penggunaan GCS ( Glascow Coma Scale)
n. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti : nyeri kepala karena regangan
dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan
diskus optikus; muntah seringkali proyektil.
17
2.
Epistaksis
Rhinorrhoe
3.
oleh
Suddarth,2001).Cedera
yangmengakibatkan
benturan
pada
daerah
medulla
medulla
spinalis
adalah
kerusakan
gangguan
sistem
persyarafan
spinalis
tulang
didalam
(Brunner
dan
tubuh
&
sumsum
manusia
yangdiklasifikasikan sebagai:- komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)- tidak
komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)Cedera medulla spinalis adalah
18
suatu kerusakan fungsi neurologis yangdisebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas.
Apabila cedera itu mengenaidaerah servikal pada lengan, badan dan tungkai mata penderita
itu tidak tertolong.
Patofisiologi cedera medulla spinalis
Trauma pada permukaan medula spinalis dapat memperlihatkan gejala dan tanda yang
segera ataupun dapat timbul kemudian. Trauma mekanik yang terjadi untuk pertama kalinya
sama pentingnya dengan traksi dan kompresi yang terjadi selanjutnya.
Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian syaraf oleh fragmen-fragmen
tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat dan perifer. Pembuluh
darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan sel membran neuron bisa
juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit di substansia grisea dan meluas
beberapa jam kemudian sehingga perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa menit
kemudian.
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa fraktur-dislokasi, fraktur, dan
dislokasi. Frekuensi relatif ketiga jenis tersebut adalah 3:1:1
Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi pada tempattempat antara bagian yang sangat mobil dan bagian yang terfiksasi, seperti vertebra C1-2,
C5-6 dan T11-12.
Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap. Tanpa kerusakan yang
nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan lesi yang nyata di
medula spinalis.
Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi, tetapi
dapat menimbulkan lesi pada medula spinalis dikenal sebagai trauma tak langsung.
Tergolong dalam trauma tak langsung ini ialah whiplash (lecutan), jatuh terduduk atau
dengan badan berdiri, atau terlempar oleh gaya eksplosi bom.
19
jarang
terkena.Cedera
medulla
spinalis
dapat
diklasifikasikan
sesuai
Level
Level neurologist adalah segmen paling kaudal dari medulla spinalisyang masih dapat
ditemukan keadaan sensoris dan motoris yang normal dikedua sisi tubuh. Apabila level
sensoris digunakan, ini menunjukan kearahbagian segmen kaudal medulla spinalis dengan
fungsi sensoris yang normalpada ke dua bagian tubuh. Level motoris dinyatakan seperti sensoris,
yaitudaerah paling kaudal dimana masih dapat ditemukan motoris dengan tenaga3/5 pada lesi
komplit, mungkin masih dapat ditemukan fungsi sensorismaupun motoris di bawah level
sensoris/motoris. Ini disebut sebagai daerah dengan preservasi parsial. Penentuan dari
level cedera pada dua sisi adalah penting.Terdapat perbedaan yang jelas antara lesi di bawah
dan
di
atas
T1.Cedera
pada
segmen
servikal
diatas
T1
medulla
spinalis
Leveltulang vertebra yang mengalami kerusakan, menyebabkan cedera padamedulla spinalis. Level
kelainan neurologist dari cedera ini ditentukan hanyadengan pemeriksaan klinis. Kadangkadang terdapat ketidakcocokan antaralevel tulang dan neurologis disebabkan nervus
spinalis memasuki kanalis spinalis melalui foramina dan naik atau turun didalam kanalis
spinalissebelum benar-benar masuk kedalam medulla spinalis. Ketidakcocokan akanlebih
jelas kearah kaudal dari cedera. Pada saat pengelolaan awal levelkerusakan menunjuk pada
kelainan tulang, cedera yang dimaksudkan levelneurologist.
Beratnya Defisit Neurologis
Cedera medulla spinalis dapat dikategorikan sebagai paraplegia tidak komplit, paraplegia
komplit, kuadriplegia tidak komplit, dan kuadraplegiakomplit. Sangat penting untuk menilai
setiap gejala dari fungsi medullaspinalis yang masih tersisa. Setiap fungsi sensoris atau
motoris dibawah levelcedera merupakan cedera yang tidak komplit. Yang termasuk dalam
cederatidak komplit adalah :1.
Sensasi (termasuk sensasi posisi) atau gerakan volunteer padaekstremitas bawah.2.
Sakra l sparing, sebagai contoh: sensasi perianal, kontraksi sphincterani secara volunter atau
fleksi jari kaki volunter.Suatu cedera tidak dikualifikasikan sebagai tidak komplit
hanyadengan dasar adanya reservasi refleks sacral saja, misalnyabulbocavernosus, atau anal
wink. Refleks tendo dalam juga mungkindipreservasi pada cedera tidak komplit.
Spinal Cord Syndrome
Beberapa tanda yang khas untuk cedera neurologist kadang-kadangdapat dilihat pada
penderita dengan cedera medulla spinalis. Pada sentral cordsyndrome yang khas adalah
bahwa kehilangan tenaga pada ekstremitas atas,lebih besar dibanding ekstremitas bawah,
dengan tambahan adanyakehilangan adanya sensasi yang bervariasi. Biasanya hal ini terjadi
cederahiperekstensi pada penderita dengan riwayat adanya stenosis kanalis sevikalis(sering
disebabkan oleh osteoarthritis degeneratif). Dari anamnesis umumnyaditemukan riwayat
terjatuh ke depan yang menyebabkan tumbukan padawajah yang dengan atau tanpa fraktur
atau dislokasi tulang servikal.
21
Penyembuhannya biasanya mengikuti tanda yang khas denganpenyembuhan pertama pada kekuatan
ekstremitas bawah. Kemudian fungsikandung kemih lalu kearah proksimal yaitu ekstremitas
atas dan berikutnyaadalah tangan. Prognosis penyembuhannya sentral cord syndrome lebih
baik dibandingkan cedera lain yang tidak komplit. Sentral cord syndrome didugadisebabkan
karena gangguan vaskuler pada daerah medulla spinalis padadaerah distribusi arteri spinalis
anterior. Arteri ini mensuplai bagian tengahmedulla spinalis. Karena serabut saraf motoris ke
segmen servikal secaratopografis mengarah ke senter medulla spinalis, inilah bagian yang
palingterkena.Anterior cord syndrome ditandai dengan adanya paraplegia dankehilangan
dissosiasi sensoris terhadap nyeri dan sensasi suhu. Fungsikolumna posterior (kesadaran
posisi, vibrasi, tekanan dalam) masihditemukan. Biasanya anterior cord syndrome
disebabkan oleh infark medullaspinalis pada daerah yang diperdarahi oleh arteri spinalis
anterior. Sindromini mempunyai prognosis yang terburuk diantara cidera inkomplik.Brown
Sequard Sydrome timbul karena hemiksesi dari medullaspinalis dan akan jarang dijumpai.
Akan tetapi variasi dari gambaran klasik cukup sering ditemukan. Dalam bentuk yang asli
syndrome ini terdiri darikehilangan motoris opsilateral (traktus kortikospinalis) dan
kehilangankesadaran
posisi
(kolumna
posterior)
yang
berhubungan
dengan
kehilangandisosiasi sensori kontralateral dimulai dari satu atau dua level dibawah
levelcedera (traktus spinotalamikus). Kecuali kalau syndrome ini disebabkan olehcedera
penetrans pada medulla spinalis, penyembuhan (walaupun sedikit)biasanya akan terjadi.
Morfologi
Cedera tulang belakang dapat dibagi atas fraktur, fraktur dislokasi,cedera medulla spinalis
tanpa abnormalitas radiografik (SCIWORA), ataucedera penetrans. Setiap pembagian diatas
dapat lebih lanjut diuraikansebagai stabil dan tidak stabil. Walaupun demikian penentuan
stabilitas tipecedera tidak selalu sederhana dan ahlipun kadang-kadang berbeda pendapat.
Karena itu terutama pada penatalaksanaan awal penderita, semua penderitadengan deficit
neurologist,harus dianggap mempunyai cedera tulang belakangyang tidak stabil. Karena itu
penderita ini harus tetap diimobolisasi sampaiada konsultasi dengan ahli bedah saraf/
ortofedi.Cedera servikal dapat disebabkan oleh satu atau kombinasi darimekanisme cedera:(1)
pembebanan aksial (axial loading),(2) fleksi,(3) ekstensi,(4) rotasi,(5) lateral bending, dan(6)
22
distraksi.Cedera yang mengenai kolumna spinalis akan diuraikan dalam urutananatomis, dari
cranial mengarah keujung kaudal tulang belakang.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis bergantung pada lokasi yang mengalami trauma danapakah trauma terjadi
secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasiberdasarkan lokasi trauma :
meninggal
Antara C5 dan C6Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku
kaki
Antara T11 dan T12Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut
T12 sampai L1Paralisis di bawah lutut Cauda equinaHiporeflex atau paresis extremitas
bawah, biasanya nyeri dan usually pain andhyperesthesia, kehilangan control bowel
dan bladder.
S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara
total
23
Kerusakan reversibel yang medasari komosio medula spinalis berupa edema, perdarahan
perivaskuler kecil-kecil dan infark disekitar pembuluh darah. Pada inspeksi makroskopik
medula spinalis tetap utuh. Bila paralisis total dan hilangnya sensibilitas menetap lebih dari
48 jam maka kemungkinan sembuh sempurna menipis dan perubahan pada medula spinalis
lebih mengarah ke perubahan anatomik daripada fisiologik.
Kontusio Medula Spinalis
Berbeda dengan komosio medula spinalis yang diduga hanya merupakan gangguan
fisiologik saja tanpa kerusakan anatomik makroskopik, maka pada kontusio medula spinalis
didapati kerusakan makroskopik dan mikroskopik medula spinalis yaitu perdarahan,
pembengkakan (edema), perubahan neuron, reaksi peradangan.
Perdarahan didalam substansia alba memperlihatkan adanya bercak-bercak degenerasi
Waller dan pada kornu anterior terjadi hilangnya neuron yang diikuti proliferasi mikroglia
dan astrosit.
Laserasio Medula Spinalis
Pada laserasio medula spinalis terjadi kerusakan yang berat akibat diskontinuitas medula
spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka tembak atau bacok/tusukan, fraktur
dislokasi vertebra.
Perdarahan
Akibat trauma, medula spinalis dapat mengalami perdarahan epidural, subdural maupun
hematomiella. Hematom epidural dan subdural dapat terjadi akibat trauma maupun akibat
anestesia epidural dan sepsis. Gambaran klinisnya adalah adanya trauma yang relatif ringan
tetapi segera diikuti paralisis flaksid berat akibat penekanan medula spinalis. Kedua keadaan
diatas memerlukan tindakan darurat bedah. Hematomiella adalah perdarahan di dalam
substansia grisea medula spinalis. Perdarahan ini dapat terjadi akibat fraktur-dislokasi,
trauma Whisplash atau trauma tidak langsung misalnya akibat gaya eksplosi atau jatuh
dalam posisi berdiri/duduk. Gambaran klinisnya adalah hilangnya fungsi medula spinalis di
24
bawah lesi, yang sering menyerupai lesi transversal. Tetapi setelah edema berkurang dan
bekuan darah diserap maka terdapat perbaikan-perbaikan fungsi funikulus lateralis dan
posterior medula spinalis. Hal ini menimbulkan gambaran klinis yang khas hematomiella
sebagai berikut : terdapat paralisis flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan dibawah lesi
terdapat paresis spastik, dengan utuhnya sensibilitas nyeri dan suhu serta fungsi funikulus
posterior.
Kompresi Medula Spinalis
Kompresi medula spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun perdarahan epi dan
subdural. Gambaran klinisnya sebanding dengan sindrom kompresi medula spinalis akibat
tumor, kista dan abses di dalam kanalis vertebralis. Akan didapati nyeri radikuler, dan
paralisis flaksid setinggi lesi akibat kompresi pada radiks saraf tepi.
Akibat hiperekstensi, hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan gerak lecutan (Whiplash) radiks
saraf tepi dapat tertarik dan mengalami jejas (reksis).
Pada trauma lecutan radiks C5-7 dapat mengalami hal demikian, dan menimbulkan nyeri
radikuler spontan. Dulu gambaran penyakit ini dikenal sebagai hematorakhis, yang
sebenarnya lebih tepat dinamakan neuralgia radikularis traumatik yang reversibel. Di bawah
lesi kompresi medula spinalis akan didapati paralisis spastik dan gangguan sensorik serta
otonom sesuai dengan derajat beratnya kompresi. Kompresi konus medularis terjadi akibat
fraktu-dislokasi vertbra L1, yang menyebabkan rusaknya segmen sakralis medula spinalis.
Biasanya tidak dijumpai gangguan motorik yang menetap, tetapi terdapat gangguan sensorik
pada segmen sakralis yang terutama mengenai daerah sadel, perineum dan bokong.
Di samping itu djumpai juga gangguan otonom yang berupa retensio urine serta pada pria
terdapat impotensi. Kompresi kauda ekuina akan menimbulkan gejala, yang bergantug pada
serabut saraf spinalis mana yang terlibat. Akan dijumpai paralisis flaksid dan atrofi otot.
Gangguan sensorik sesuai dengan dermatom yang terlibat.
Kompresi pada saraf spinalis S2, S3 dan S4 akan menyebabkan retensio urin dan hilangnya
kontrol volunter vesika urinaria, inkontinensia alvi dan impotensi.
25
26
3. semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan hilang. Efek terakhir ini
akan disebut renjatan spinal (spinal shock), yang melibatkan baik refleks tendon maupun
refleks otonom. Kadang kala pada fase renjatan ini masih dapat dijumpai refleks
bulbokavernosus dan atau refleks anal. Fase renjatan spinal ini berlangsung beberapa
minggu sampai beberapa bulan (3-6 mingu)
Pada anak-anak, fase shock spinal berlangsung lebih singkat daripada orang dewasa yaitu
kurang dari 1 minggu. Bila terdapat dekubitus, infeksi traktus urinarius atau keadaan
metabolik yang terganggu, malnutrisi, sepsis, maka fase syok ini akan berlangsung lebh
lama.
McCough mengemukakan 3 faktor yang mungkin berperan dalam mekanisme syok spinal.
1. Hilangnya fasilitas traktus desendens
2. Inhibisi dari bawah yang menetap, yang bekerja pada refleks ekstensor, dan
3. Degenerasi aksonal interneuron
Karena fase renjatan spinal ini amat dramatis, Ridoch menggunakannya sebagai dasar
pembagian gambaran klinisnya atas 2 bagian, ialah renjatan spinal atau arefleksia dan
aktivitas refleks yang meningkat.
Syok spinal atau arefleksia
Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot flaksid, refleks
hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia. Juga di bawah
tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi serta fungsi
seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat
penekanan tulang. Sfingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi ( disebabkan
oleh hilangnya inhibisi dari pusat sistem saraf pusat yang lebi tinggi ) tetapi otot detrusor
dan otot polos dalam keadaan atonik. Urin akan terkumpul, setelah tekanan intravesikuler
lebih tinggi dari sfingter uretra maka urin akan mengalir keluar (overflow incontinence)
27
4.
Pemeriksaan Radiologis
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
2.
Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam dari
saat terjadinya trauma
3.
EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi
4.
5.
X-Ray spinal
menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur ataudislokasi)
6. MRI
untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, edema dan kompresi4.
7. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktorpatologisnya tidak
jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang subarakhnoid medulla spinalis (biasanya
tidak akan dilakukan setelahmengalami luka penetrasi).5.
28
jaringan otak dibawahnya. Fraktur impressi terlihat sebagai garis atau daerah yang
radiopaque dari tulang sekitarnya disebabkan bertumpuknya tulang.
3. Fraktur diastasis sutura : tampak sebagai pelebaran sutura (dalam keadaan normal
sutura tidak melebihi 2 mm)
11. Angiografi
Sistem rapid serial film 10 film/detik
Memakai kontras : angiografin 65 %, conray 60, hypaque sodium dan lain-lain
Jenis angiografi :
- karotis (paling sering)
- vertebralis (jarang)
Cara melakukan dengan ;
1. Fungsi langsung (pada a. karotis komunis, sedikit dibawah bifurcatio)
2. Fungsi tak langsung (dengan kateter dari daerah a. femoralis) angiografi pada trauma
kapitis penting untuk memperlihatkan epidural atau subdural hematomanya.
Penatalakasanaan :
1.Tindakan terhadap peningkatan TIK
a.Pemantauan TIK dengan ketat.
b.Oksigenasi adekuat
c.Pemberian manitol
d.Penggunaan steroid
e.Peninggatan tempat tidur pada bagian kepala
f.Bedah neuro
1.Tindakan pendukung lain
a.Dukung ventilasi
30
b.Pencegahan kejang
c.Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
d.Terapi antikonvulsan
e.CPZ untuk menenangkan pasien
f.NGT
Farmakoterapi: Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawanedema medulla.
Penatalaksaan kepada orang yang baru mengalami trauma kepala
1. AirwayJika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besardalam
keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderitayang tidak sadar,
yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya
pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas
harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitutidak boleh
melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher.Dalam hal ini, dapat
dilakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakanhembusan napas yang keluar melalui
hidung. Bila ada sumbatan maka dapatdihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari
atau suction jika tersedia.Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan
pemasangan pipaorofaring.
2. BreathingBila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuannapas dari
mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila tersedia, O2 dapatdiberikan dalam
jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepalaberat atau jika penguasaan
jalan napas belum dapat memberikan oksigenasiyang adekuat, bila memungkinkan
sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
3. SirkulasiStatus sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkatkesadaran
dan denyut nadi. Tindakan lain yang dapat dilakukan adalahmencari ada tidaknya
perdarahan eksternal, menilai warna serta temperaturkulit, dan mengukur tekanan
darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh,dan lambat biasanya menunjukkan
status sirkulasi yang relatif normovolemik.Pada penderita dengan cedera kepala,
tekanan
darah
sistolik
sebaiknyadipertahankan
di
atas
100
mmHg
untuk
31
32
1. Pada sernua pasien dengan cedera kepala dan atau leher, lakukan foto tulang belakang
servikal (proyeksi antero-posterior. lateral, dan odontoid), kolar servikal baru dilepas
setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal Cl -C7 normal.
2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut:
- Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCI 0,9%) atau larutan Ringer
laktat: cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan
hipotonis, dan larutan ini tidak menambah edema serebri.
- Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia
darah: glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial,
skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu
3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepala tidak diperlukan jika CTScan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien
dengan cedera kepala ringan, sedang, atau berat, harus dievaluasi adanya:
- Hematoma epidural
- Darah dalarn subaraknoid dan intraventrikel
- Kontusio dan perdarahan jaringan otak
- Edema serebri
- Obliterasi sisterna perimesensefalik
- Pergeseran garis tengah
- Fraktur kranium, cairan dalarn sinus, dan pneumosefalus.
4. Pada pasien yang korna (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda hemiasi, lakukan
tindakan berikut ini :
- Elevasi kepala 30o
- Hiperventilasi
- Berikan manitol 20 % 1g/kgbb intravena dalarn 20-30 menit. Dosis ulangan dapat
diberikan 4-6 jam kemudian 1/4 dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam
pertama
- Pasang kateter Foley
- Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi
33
Penatalaksanaan Khusus
1. Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke
rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut:
- Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam
batas normal
- Foto servika1jelas normal
- Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama,
dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala
perburukan
Kriteria perawatan di rumah sakit:
- Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
- Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
- Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
- Intoksikasi obat atau alkohol
- Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
- Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.
2. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala
korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan
untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau
amnesia. Risiko timbuInya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan
cedera kepala sedang adalah minimal.
3. Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera
pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma
intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk
tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit
rawat intensif.
- Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
- Monitor tekanan darah
34
- Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila
memungkinkan.
- Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat)
yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam
salin 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema
serebri.
- Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan
keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
- Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif
dengan asetaminofen atau kompres dingin.
- Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena.
Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7- 10 hari. Steroid:
steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat
meningkatkan risiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya
dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg
intravena sebap 4-6 jam selama 48-72 jam).
- Profflaksis trombosis vena dalam
- Profilaksis ulkus peptik
- Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi risiko meningitis
pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara
intrakranial tetapi dapat meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang lebih
virulen.
- CT Scan lanjutan
Operasi
Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali pada kasus-kasus tertentu.
Indikasi untuk dilakukan operasi :
1.
reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah servikal,
bilamana traksi dan manipulasi gagal.
35
2.
adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis dengan fragmen tulang tetap
menekan permukaan anterior medula spinalis meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat.
3.
trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak adanya fragmen
tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh herniasi diskus intervertebralis.
Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan mielografi dan scan tomografi untuk
membuktikannya.
4.
5.
6.
Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah pada mulanya
dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan, harus dicurigai hematoma.
5.
Fisioterapi
CKR :
Mobilisasi bertahap
Terapi simptomatik
CKS :
Anti perdarahan
36
Simptomatik
Neurotropik
CKB :
STEP 5 LO
1. Cedera medulla spinal menyebabkan gangguan apa saja?
2. Tingkat Kesadaran ?
3. Komplikasi trauma kepala?
STEP 6
STEP 7
1. Cedera yang mengenai kolumna spinalis akan diuraikan dalam urutananatomis, dari cranial
mengarah keujung kaudal tulang belakang.
1. Dislokasi atlanto oksipita (atlanto occipital dislokatiaon)
Cedera ini jarang terjadi dan timbul sebagai akibat daritrauma fleksi dan distraksi yang
hebat. Kebanyakan penderitameninggal karena kerusakan batang otak. Kerusakan
neurologistyang berat ditemukan pada level saraf karanial bawah.kadang kadang
penderita selamat bila resusitasi segera dilakukan ditempatkejadian.
2. Fraktur atlas (C-1)
37
Atlas mempunyai korpus yang tipis dengan permukaansendi yang lebar. Fraktur C-1 yang
paling umum terdiri dari burstfraktur (fraktur Jefferson). Mekanisme terjadinya cedera
adalahaxial loading, seperti kepala tertimpa secara vertikal oleh bendaberat atau penderita
terjatu dengan puncak kepala terlebih dahulu.Fraktur jefferson berupa kerusakan pada
cincin anterior maupunposterior dari C-1, dengan pergeseran masa lateral. Fraktur
akanterlihat jelas dengan proyeksi open mouth dari daerah C-1 dan C-2dan dapat
dikomfirmasikan dengan CT Scan. Fraktur ini harusditangani secara awal dengan koral
sevikal
3. Rotary subluxation dari C-1
Cedera ini banyak ditemukan pada anak anak. Dapatterjadi spontan setelah terjadi
cedera berat/ ringan, infeksi salurannapas atas atau penderita dengan rematoid arthritis.
Penderitaterlihat dengan rotasi kepala yang menetap. .pada cedera ini jarak odontoid
kedua lateral mass C-1 tidak sama, jangan dilakukanrotasi dengan paksa untuk
menaggulangi rotasi ini, sebaiknyadilakukan imobilisasi. Dan segera rujuk.
4. Fraktur aksis(C-2)
Aksis merupakan tulang vertebra terbesar dan mempunyaibentuk yang istimewah karena
itu mudah mengalami cedera.
1.fraktur odontoid
Kurang 60% dari fraktur C-2 mengenai odontoid suatutonjolan tulang berbentuk pasak.
Fraktur ini daoatdiidentifikasi dengan foto ronsen servikal lateral atau bukamulut.
2.Fraktur dari elemen posterior dari C-2Fraktur hangman mengenai elemen posterior C-2,
parsinterartikularis 20 % dari seluruh fraktur aksis frakturdisebabkan oleh fraktur ini.
Disebabkan
oleh
trauma
tipeekstensi,
dan
harus
dipertahankan
dalam
imobilisasieksternal.
5. Fraktur dislocation ( C-3 sampai C-7)Fraktur C-3 sangat jarang terjadi, hal ini
mungkindisebabkan letaknya berada diantara aksis yang mudah mengalamicedera dengan titik
penunjang tulang servikal yang mobile, sepertiC-5 dan C-6, dimana terjadi fleksi dan
ekstensi tulang servikalterbesar.
38
yang
jelasbila
tidak
dikenali
atau
terlambat
mengidentifikasinya.
Penderitayang jatuh dari ketinggian dan pengemudi mobil memakai sabuk pengaman
tetapi dalam kecepatan tinggi mempunyai resikomengalami cedera tipe ini. Karena
medulla spinalis berakhir padalevel ini , radiks saraf yang membentuk kauda ekuina
bermula padadaerah torakolumbal
Berikut ini adalah manifestasiberdasarkan lokasi trauma :
1. Antara C1 sampai C5Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien
meninggal
2. Antara C5 dan C6Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku
yang lemah;kehilangan refleks brachioradialis
3. Antara C6 dan C7Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu
dan fleksi sikumasih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep
4. Antara C7 dan C8Paralisis kaki dan tangan
5. C8 sampai T1Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis
kaki
6. Antara T11 dan T12Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut
7. T12 sampai L1Paralisis di bawah lutut
39
8. Cauda equinaHiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan usually
pain andhyperesthesia, kehilangan control bowel dan bladder
9. S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1Kehilangan kontrol bowel dan bladder
secara total.
2. Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap
rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab
semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriakteriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang
lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap
nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan
apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon
pupil terhadap cahaya).
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk perubahan
dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena berkurangnya
aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala.
40
Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral atau sistem
aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas (kematian).
Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis pasien. Tingkat
kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.
Penyebab Penurunan Kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan difisit fungsi otak. Tingkat kesadaran dapat
menurun ketika otak mengalami kekurangan oksigen (hipoksia); kekurangan aliran darah
(seperti pada keadaan syok); penyakit metabolic seperti diabetes mellitus (koma
ketoasidosis) ; pada keadaan hipo atau hipernatremia ; dehidrasi; asidosis, alkalosis;
pengaruh obat-obatan, alkohol, keracunan: hipertermia, hipotermia; peningkatan tekanan
intrakranial (karena perdarahan, stroke, tomor otak); infeksi (encephalitis); epilepsi.
Mengukur Tingkat Kesadaran
Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesadaran dengan hasil seobjektif mungkin adalah
menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). GCS dipakai untuk menentukan derajat cidera
kepala. Reflek membuka mata, respon verbal, dan motorik diukur dan hasil pengukuran
dijumlahkan jika kurang dari 13, makan dikatakan seseorang mengalami cidera kepala, yang
menunjukan adanya penurunan kesadaran.
Metoda lain adalah menggunakan sistem AVPU, dimana pasien diperiksa apakah sadar baik
(alert), berespon dengan kata-kata (verbal), hanya berespon jika dirangsang nyeri (pain),
atau pasien tidak sadar sehingga tidak berespon baik verbal maupun diberi rangsang nyeri
(unresponsive).
Ada metoda lain yang lebih sederhana dan lebih mudah dari GCS dengan hasil yang kurang
lebih sama akuratnya, yaitu skala ACDU, pasien diperiksa kesadarannya apakah baik
(alertness), bingung / kacau (confusion), mudah tertidur (drowsiness), dan tidak ada respon
(unresponsiveness).
41
DAFTAR PUSTAKA
www.emedicine.traumamedulaspinalis.htm
Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta, 2004
Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2005
Nuartha B.N., Joesoef A.A., Aliah A., dkk, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1993
42
Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, dian Rakyat, Jakarta, 2004
Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi
Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000
Robert L. Martuza, Telmo M. Aquino, Trauma dalam Manual of Neurologic Therapeutics
With Essentials of Diagnosis, 3th ed, Litle Brown & Co, 2000
Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2000
43