Anda di halaman 1dari 23

Cedera Kepala Sedang

Susi Sugiarti

10.2014.267

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat

Pendahuluan

Cedera kepala adalah trauma yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak, dan

cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik,

dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya.

Cedera Kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada

kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.

Cedera kepala adalah gangguan traumatik pada daerah kepala yang menggangu fungsi

otak dengan atau menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan kepala yang biasanya

disebabkan oleh trauma keras.

Dari pengertian-pengertian diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa cedera

kepala adalah traumatik pada daerah kepala yang dapat mengganggu fungsi otak yang biasanya

disebabkan oleh trauma keras sebagai hasil kecelakaan jalan raya.

1
Anatomi Fisiologi Otak

Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya. Tanpa

perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan.

Selain itu, begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan

malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera dan

banyak lainnya terjadi sekunder akibat cedera.

Meninges melindungi otak dan memberikan perlindungan tambahan. Ketiga lapisan

meninges adalah dura meter, araknoid, dan pia meter. Masing-masing mempunyai fungsi

tersendiri dan strukturnya berbeda dari struktur lain. Dura meter adalah membran luar yang liat,

semitranslusen, dan tidak elastis. Fungsinya untuk (1) melindungi otak, (2) menutupi sinus-sinus

vena (yang terdiri atas dura meter dan lapisan endotelial saja tanpa jaringan vascular), dan (3)

membentuk periosteum tabula interna. Dura meter erat dengan permukaan bagian dalam

tengkorak. Bila dura robek dan tidak diperbaiki dengan sempurna dan dibuat kedap udara, akan

menimbulkan berbagai masalah, fungsi terpenting dura kemungkinan adalah sebagai pelindung.

Di dekat dura (tetapi tidak melekat pada dura) terdapat membrane fibrosa halus dan elastis yang

dikenal sebagai araknoid. Membran ini tidak melekat pada dura meter. Perdarahan antara dura

dan araknoid (ruang subdural) dapat menyebar dengan bebas, dan hanya terbatas oleh sawar

falks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit

jaringan penyokong dan oleh karena itu mudah sekali terkena cedera dan robek pada trauma.

Diantara araknoid dan pia meter terdapat ruang subaraknoid. Ruangan ini melebar dan mendalam

pada tempat tertentu, dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal (CSS). Pada sinus

sagitalis superior dan tranversal, araknoid membentuk tonjolan villus yang bertindak sebagai

2
lintasan untuk mengosongkan cairan serebrospinal kedalam sistem vena. Sedangkan lapisan

terakhir atau pia meter adalah membrane halus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah

halus dan merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk kedalam sulkus dan

membungkus semua girus; kedua lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus.

Anamnesis
Dari anamnesis di tanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan jejas dikepala atau tidak,
jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran atau pingsan. Jika ada pernah
atau tidak penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah tetap sadar
seperti semula atau turun lagi kesadarannya, dan di perhatikan lamanya periode sadar atau lucid
interval. Untuk tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah
terjadinya trauma kepala. Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari
penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau sumbatan nafas atas, atau
karena proses intra kranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada
tidaknya sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah-muntah
yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita, obat-obatan yang
sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam pengaruh alkohol.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup jalan
nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau nadi (circulation) yang
dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau
obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan
pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan
tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2. Secara
bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan memantau apakah terjadi hipotensi, syok atau
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera
dilakukan pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan darah,
bradikardia dan bradipnea.

Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan menggunakan


Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil , dan tandatanda defisit neurologis
fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala Koma Glasgow menilai kemampuan membuka
mata, respon verbal dan respon motorik pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan
diamter kedua pupil dan adanya defisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di
dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex menuju medula spinalis.

3
Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi GCS, lateralisasi
dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini adanya gangguan neurologis. Tanda
awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil
terhadap cahaya. Adanya trauma langsung pada mata membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.

Gambar 9. Glasgow Coma Scale


Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin, elektrolit, profil
hemostasis/koagulasi.
b. Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya SDH. Fraktur
tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi
tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering
didapatkan kontralateral terhadap SDH.

c. CT-Scan

Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka terdapat suatu lesi pasca-
trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat
membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-aksial.

4
Klasifikasi Cedera Kepala

Cidera kepala ringan Cidera kepala sedang Cidera kepala berat


GCS lebih dari 13 GCS 9-13 GCS 3-8
Pingsan kurang dari 30 Pingsan 30 menit – 24 Pingsan lebih dari 24 jam
menit jam
Amnesia posttraumatik Amnesia post- traumatik Amnesia post traumatik >
<24 jam > 24 jam – 7 hari 7 hari

Adapun pembagian / pengklasifikasian cedera kepala (Arief Mansjoer, 2000 : hal 3) adalah :

a) Berdasarkan mekanisme cedera

Berdasarkan adanya penetrasi durameter, cedera kepala dibagi menjadi :

1. Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), dan kecepaan rendah

(terjatuh, dipukul).

2. Trauma tembus : luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)

b) Berdasarkan Keparahan cedera

1. Cedera Kepala Ringan (CKR) : GCS 13-15

2. Cedera Kepala Sedang (CKS) : GCS 9-12

3. Cedera Kepala Berat (CKB) : GCS 3-8

c) Berdasarkan Morfologi

a. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi intrakranial.
- Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk
garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture dasar tengkorak
biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar
tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih

5
rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign),
ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis
nervus fasialis (Bernath, 2009)
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara
laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater.
Keadaanini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak
merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga
mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi,
lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih
banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada
pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma
intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang
tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk
dirawat dirumah sakit untuk pengamatan (Davidh, 2009)

- Fraktur basis cranii

Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar

tulang tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada

duramater. Fraktur basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu
yaitu regio temporal dan regio occipital condylar. Fraktur basis cranii dapat dibagi

berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa

media, dan fraktur fossa posterior.

Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis

cranii. Biasanya disertai dengan robekan pada duramater dan terjadi pada pada

daerah-daerah tertentu dari basis cranii. Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari

seluruh kasus fraktur basis cranii. Tiga subtipe dari fraktur temporal yaitu : tipe

longitudinal, transversal, dan tipe campuran (mixed).

6
- Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars

skuamosa os temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan tegmen

timpani. Fraktur-fraktur ini dapat berjalan ke anterior dan ke posterior hingga

cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir di fossa media dekat foramen

spinosum atau pada tulang mastoid secara berurut.

- Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan

labyrinth, berakhir di fossa media.

- Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur

transversal. Masih ada sistem pengelompokan lain untuk fraktur os temporal

yang sedang diusulkan. Fraktur temporal dibagi menjadi fraktur petrous dan

nonpetrous; dimana fraktur nonpetrous termasuk didalamnya fraktur yang

melibatkan tulang mastoid. Fraktur-fraktur ini tidak dikaitkan dengan defisit

dari nervus cranialis.

i. Lesi Intrakranial :

 Fokal : epidural, subdural, intraserebral

 Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonall difus

Sedangkan menurut Brunner & Suddarth (2002), pengklasifikasian cedera kepala

berdasarkan cedera spesifik pada otak kepala dibagi :

A. Komosio

Komosio serebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologik sementara

tanpa kerusakan struktur. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam

7
waktu yang berakhir selama beberapa menit. Getaran otak sedikit saja hanya akan menimbulkan

pusing atau berkunang-kunang, atau dapat juga kehilangan kesadaran komplet sewaktu.

B. Kontusio

Kontusio serebral merupakan cedera kepala berat, dimana otak mengalami memar,

dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri.

Gejala akan muncul dan lebih khas. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah,

pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat. Sering terjadi defekasi dan berkemih tanpa disadari.

Pasien dapat diusahakan bangun tetapi segera masuk dalam keadaan tidak sadar.

C. Hematome intracranial

i. Hematom Epidural

Setelah cedera kepala, darah berkumpul didalam ruang epidural (ekstradural) diantara
tengkorak dan dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang
menyebabkan arteri meningeal tengah putus atau rusak, dimana arteri ini berada di antara dura
dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini
menyebabkan penekanan pada otak. Tanda dan gejala klasik terdiri dari penurunan kesadaran
ringan pada waktu terjadi benturan diikuti oleh periode lucid (pikiran jernih) dari beberapa menit
sampai beberapa jam. Pasien dengan hematoma epidural membentuk suatu kelompok yang dapat
dikategorikan sebagai “talk” and “die”.

ii. Hematom Subdural

Hematom subdural adalah pengumpulan darah di antara dura dan dasar otak, suatu ruang

ini pada keadaan normal diisi oleh cairan. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi juga

terjadi kecenderungan perdarahan yang serius dan aneurisma. Hemoragi subdural lebih sering

8
terjadi pada vena dan merupakan akibat terputusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani

ruang subdural

iii. Hematoma Subdural Akut

Trauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga darah dan CSS masuk ke dalam
ruang subdural. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan
herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan berhentinya pernafasan dan hilangnya kontrol
denyut nadi dan tekanan darah. Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 – 48 jam setelah
trauma. Diagnosis dibuat dengan arteriogram karotis dan echoensefalogram / CT Scan.
Pengobatan terutama tindakan bedah.

iv. Hematoma Subdural Subakut

Perdarahan ini menyebabkan defisit neurologik yang bermakna dalam waktu lebih dari
48 jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan
herniasi ulkus / sentral dan melengkapi tanda – tanda neurologik dari kompresi batang otak.
Pengobatan ini dengan pengangkatan bekuan darah.

v. Hematoma subdural Kronik

Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan, dan tahun setelah
cedera pertama. Perluasan ini massa terjadi pada kebocoran kapiler lambat. Gejala umum
meliputi sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, dan kadang -kadang disfasia. Diagnosis
dibuat dengan arteriografi. Pada klien dengan hematoma kecil tanpa tanda–tanda neurologik,
maka tindakan pengobatan yang terbaik adalah melakukan pemantauan ketat. Sedangkan klien
dengan gangguan neurologik yang progresif dan gejala kelemahan, cara pengobatan yang terbaik
adalah pembedahan.

vi. Hemoragi intraserebral

Hemoragi intraserebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi biasanya

terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak ke kepala sampai daerah kecil. Hemoragi

9
ini di dalam otak mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik, yang menyebabkan

degenerasi dan ruptur pembuluh darah; rupture kantung aneurisma; anomali vaskuler; tumor

intracranial; penyebab sistemik, termasuk gangguan perdarahan seperti leukemia, hemofilia,

anemia aplastik, dan trombositopenia.

Etiologi

Etiologi / penyebab dan terjadinya Cedera Kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan

di rumah, kecelakaan kerja, peluru yang menembus tulang tengkorak, kejatuhan atau jatuh dari

pohon, akibat kekerasan.

Patofisiologi

Derajat kerusakan yang terjadi pada penderita cedera kepala bergantung pada kekuatan

yang menimpa, makin besar kekuatan, makin parah kerusakan. Kekuatan tersebut terbagi

menjadi 2, yaitu pertama cedera setempat yang disebabkan oleh benda tajam berkecepatan

rendah yang dapat merusak fungsi neurologik pada tempat tertentu karena benda atau fragmen

tulang menembus dura. Kedua, cedera menyeluruh, yang menyebabkan kerusakan terjadi waktu

energi atau kekuatan diteruskan ke otak.

Karena neurofisiologis pernafasan sangant kompleks, kerusakan neurologist dapat

menimbulkan masalah pada beberapa tingkat. Beberapa lokasi pada hemisfer serebral mengatur

control volunter terhadap otot yang digunakan pada pernafasan, pada sinkronisasi dan koordinasi

10
serebelum pada upaya otot. Serebrum juga mempunyai beberapa kontrol terhadap frekuensi dan

irama pernafasan. Nucleus pada pons dan area otak tengah dari batang otak mengatur otomatisasi

pernafasan. Sel-sel pada area ini bertanggunga jawab pada perubahan kecil dari pH dan

kandungan oksigen sekitar darah dan jaringan. Pusat ini dapat dicederai oleh peningkatan TIK

dan hipoksia serta oleh trauma langsung. Trauma serebral yang mengubah tingkat kesadaran

biasanya menimbulkan hipoventilasi alveolar karena nafas dangkal. Faktor ini akhirnya

menimbulkan gagal nafas, yang mengakibatkan laju mortalitas tinggi pasien dengan cedera

kepala, sedangkan pola pernafasan berbeda dapat diidentifikasi bila terdapat disfungsi

intracranial.

Akibat utama dari cedera otak dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer atau

hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu, pasien

dapat mempunyai control volunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri

dn kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan postur, spastisitas, atau kontraktur.

Gangguan area motorik dan sensorik dari hemisfer serebral akan merusak kemampuan

untuk mendeteksi adanya makanan pada sisi mulut yang dipengaruhi dan untuk

memanipulasinya dengan gerakan pipi dan lidah. Selain itu, refleks menelan dari batang otak

mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali.

Pasien dengan trauma serebral disertai gangguan kemampuan komunikasi bukan terjadi

secara tersendiri. Disfungsi ini paling sering menyebabkan kecacatan pada seseorang yang

mengalami cedera kepala. Pasien yang telah mengalami trauma pada area hemisfer serebral

dominan

11
Tanda dan Gejala

Gejala-gejala yang muncul pada cedera lokal tergantung pada jumlah dan distribusi

cedera otak. Nyeri yang menetap atau setempat, bisanya menunjukkan adanya fraktur.

1. Fraktur Kubah Kranial

menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur, dan atas alasan ini diagnosis yang

akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar-x.

2. Fraktur dasar tengkorak

Cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga

di tulang temporal, dimana dapat menimbulkan tnda seperti :

 Hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat di bawah

konjungtiva

 Ekimosis atau memar, mungkin terlihat diatas mastoid (battle sign)

3. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah.

4. Penurunan kesadaran

5. Nyeri kepala

6. Mual, muntah

7. Brill Hematom

8. Pingsan

Pemeriksaan Diagnostik

a. Foto polos kepala


Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan
untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin
dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam),

12
Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang
menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala
meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat,
Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan
oblique.

b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)


Indikasi CT Scan adalah :
- Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.
- Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial
dicebandingkan dengan kejang general.
- Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah disingkirkan
(karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).
- Adanya lateralisasi.
- Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
- Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
- Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
- Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada
24 - 72 jam setelah injuri.

c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

Penatalaksanaan

a) Pedoman Resusitasi dan Penilaian awal

 Menilai jalan nafas

13
Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu,

pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar

servikal, pasang gudel bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu

jalan nafas, maka pasien harus diintubasi.

 Menilai Pernafasan

Tentukan apakah pasien bernafas spontas atau tidak. Jika tidak, beri oksigen

melalui masker oksigen. Jika pasien bernafas spontan, selidiki dan atasi cedera

dada berat seperti penumotorak, pneumotoraks tensif.

 Menilai sirkulasi

Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan

dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intra

abdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan

darah, pasang alat pemantau atau EKG. Pasang jalur intravena yang besar,

ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap ureum, elektrolit,

glukosa dan AGD, serta berikan cairan koloid.

 Obati Kejang

Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-

mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi

sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan penitoin

15 mg/kg BB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak

melebihi 50 mg/menit.

 Menilai tingkat keparahan

 Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)

14
GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, dan orientif); tidak ada kehilangan

kesadaran; tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang; pasien

tidak mengeluh nyeri kepala dan pusing; pasien tidak menderita abrasi,

laserasi, atau hematoma kulit kepala.

 Cedara kepala sedang (kelompok resiko sedang)

GCS 9-12 (konfusi, letargi, stupor); konkusi amnesia pasca trauma;

muntah; tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun,

hemotimpanum, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal).

 Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)

GCS 3-8 (koma), penurunan derajat kesadaran secara progresif; tanda

neurologist fokal; cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi

kranium.

b) Pedoman penatalaksanaan

 Pada semua pasien dengan cedera kepala dan / atau leher, lakukan foto tulang

belakang servikal (proyeksi antero – posteriol, lateral, dan adontoid), kolar

servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7

normal.

 Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur

berikut :

 Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau

larutan Ringer Laktat : cairan isotonis lebih efektif mengganti volume

intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan cairan ini tidak menanbah

edema serebri.

15
 Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap,

trombosit, kimia darah, glukosa, ureum, dan kreatinin, masa

protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan

kadar alcohol bila perlu.

 Lakukan CT Scan dengan jendela tulang : foto rontgen kepala tidak

diperlukan jika CT Scan dilakukan, karena CT scan ini lebih sensitif

untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera ringan , sedang atau

berat, harus dievaluasi adanya :

Hematoma Epidural,

Darah dalam subarachnoid dan intraventrikal

Kontusio dan perdarahan jaringan

Obliterasi sisterna perimesensefalik

Fraktur kranium, cairan dalam sinus dan pneumosefalus.

 Pada pasien yang koma (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda

herniasi, lakukan tindakan berikut ini :

 Elevasi kepala 300

 Hiperventilasi

 Berikan manitol 20% 1 gram / kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis

ulangan dapat diberikan 4-6 jam kamudian yaitu sebesar ¼ dosis

semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama

 Pasang kateter foley

16
 Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematom epidural

besar, hematom subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi >

1 diploe)

 Penatalaksanaan khusus

 Cedera kepala ringan : Pasien dengan cedera kepala ringan ini

umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan

pemeriksaan CT scan bila memenuhi kriteria berikut :

Hasil pemeriksaan neurologist (terutama status mini mental

dan gaya berjalan) dalam batas normal

Foto servikal jelas normal

Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati

pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera

kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan.

Sedangkan kriteria perawatan di rumah sakit adalah :

1. Adanya darah intrakrnial atau fraktur atau fraktur yang tampak

pada CT Scan

2. Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun

3. Adanya tanda atau gejala neurologist fokal

4. Intoksikasi obat atau alcohol

5. Adanya penyakit medis komorbid yang nyata

6. Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien

di rumah

17
 Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak),

dengan skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti

perintah) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat

dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual,

muntah, pusing, atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intracranial lanjut yang

bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.

 Cedera kepala berat : penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya

dilakukan di unit rawat intensif. Hal yang harus diperhatikan pada pasien

dengan cedera kepala berat adalah :

Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi

Monitor tekanan darah : karena autoregulasi sering terganggu pada

cedera kepala akut, maka tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan

untuk menghindari hipotensi (<70 mmHg) dan hipertensi (>130

mmHg). Hipertensi dapat menyebabkan iskemia otak sedangkan

hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.

Pemasangan alat monitor tekanan intracranial pada pasien dengan skor

GCS <8, bila memungkinkan

Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin normal atau

ringer laktat) yang diberikan kekpada pasien dengan cedera kepala

karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrose 5% harus

diberikan sesegera mungkin.

Nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respon hipermetabolik dan

katabolic, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.

18
Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogatrik harus diberikan

sesegera mungkin

Temperatur badan : demam dapat mengakserbasi cedera otak.

Anti kejang : fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudia 300

mg/hari intravena.

Steroid : tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan

cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemi dan

komplikasi lain.

Antibiotik : penggunaan antibiotic rutin untuk profilaksis pada pasien

dengan cedera kepala terbuka masih controversial. Golongan penisilin

dapat mengurangi resiko meningitis

PROGNOSA
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang
agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita
yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan
dari cedera kepala (American college of surgeon,1997).
Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat
mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

Komplikasi

Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematom intracranial,

edema serebral progresif, dan herniasi otak. (Brunner & Suddarth, 2002 : hal. 2215)

19
a) Edema serebral dimana terjadi peningkatan tekanan intrakranial karena

ketidaknmampuan tengkorak utuh untuk membesar meskipun peningkatan volume oleh

pembengkakan otak diakibatkan dari trauma.

b) Herniasi otak adalah perubahan posisi ke bawah atau lateral otak melalui atau terhadap

struktur kaku yang terjadi menimbulkan iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel, dan

kematian.

c) Defisit neurologik dn psikologik

d) Infeksi sistemik (pneumoni, infeksi saluran kemih, septicemia)

e) Infeksi bedah neuron (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses otak)

f) Osifikasi heterotopik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang penunjang berat badan)

Menurut Arief Mansjoer (2000), komplikasi dari cedera kepala berat, yaitu:

1. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen

dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala tertutup.

2. Fistel karotis kavernosus ditandai dengan trias gejala: eksolftalmus, kemosis, dan

bruit orbita, dapat segera timbul atau beberapa hari setelah cedera.

3. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai

hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik.

4. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dini(minggu pertama)

atau lanjut (setelah satu minggu).

20
KESIMPULAN

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya
kerusakan otak yang terjadi.
Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer
yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan cedera sekunder yang terjadi
akibat berbagai prosese patologis yang timbul sebagai tahapmlanjutan dari kerusakan otak
primer.
Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa klasifikasi yaitu
berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Tetapi dari
beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedeera kepala, yang
walaupun bukan merupakan penyebab kematian namun merupakan penyebab kecacatan yang
akan menetap seumur hidup yang perlu dipertimbangkan.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi
tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar
(difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara,
penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan
pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak
mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan.
Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu
sama lainnya, semakin berkurang.

21
Daftar Pustaka

1. Rudolph,Abraham M. Rudolph’s pediatrics vol. 2 20th edition (edisi bahasa


indonesia, ahli bahasa : a. samik wahab, sugiarto). EGC: Jakarta; 2007. h. 1290
2. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, dkk. Penuntun patologi klinik Hematologi. Biro
Publikasi Fakultas Kedokteran Ukrida: Jakarta;103-20
3. Nelson, Waldo E., Behman,Richard E., Kliegman,Robert., Arvin,Ann M. Nelson
textbook of pediactrics vol. 2 15th : syndromes of herediter persistence of fetak
hemoglobin (edisi bahasa indonesia, ahli bahasa : a. samik wahab). EGC: Jakarta;
2000. h. 1708-12
4. Atmakusuma,Djumhana., Setyaningsih,Iswari. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II
edisi V : dasar-dasar talasemia. Internapublishing: Jakarta; 2009. h. 1379-86
5. Williams,William J., Lichtman,Marshall A., Beutler,Ernest., Kipps,Thomas J.
Williams manual of hematology 6th edition : the thalassemias. Mcgrawhill: USA;
2003. p. 91-8
6. Mansjoer,Arif., Suprohaita., Wardhani,Wahyu Ika., Setiowulan,Wiwiek. Kapita
selekta kedokteran jilid II edisi ke-3: hematologi anak. Media aesculapius: Jakarta;
2000. h. 497-8
7. Schrier,Stanley L. Pathophysiology of thalassemia. Current Opinion in Hematology
2002; 9(february). p. 123-6
8. Atmakusuma,Djumhana. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II edisi V : manifestasi
klinis, pendekatan diagnosis dan thalassemia intermedia. Internapublishing: Jakarta;
2009. h. 1387-93
9. Laosombat,Vichai., Viprakasit,Vip., Chotsampancharoen,Thirachit,etc. Clinical
features and molecular analysis in Thai patients with HbH disease. Ann Hematol
2009; 88(may). p. 1185–92
10. American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of
America: Firs Impression
11. Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia Press of Yogyakarta
12. Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com
13. Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.

22
14. Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC
15. Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
16. Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra
Utara: USU Press.
17. Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia: Lippicott
Williams and Wilkins

23

Anda mungkin juga menyukai