Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus Telaah Kritis Jurnal Prognosis

PSORIASIS VULGARIS

Oleh:
Reza Delvita
Mala Hayati

Pembimbing:
Fitria

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul “Psoriasis Vulgaris”. Laporan Kasus ini merupakan salah satu tugas
dalam menjalan kan Kepaniteraan Klinik Senior Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUD Dr.
Zainoel Abidin BandaAceh.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada dr. Fitria, M.Sc.,
Sp.KK.,FINSDV serta para dokter di bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin yang telah memberikan arahan serta bimbingan hingga terselesaikannya
laporan kasus ini.
Tidak ada kata sempurna dalam pembuatan sebuah laporan kasus.
Keterbatasan dalam penulisan maupun kajian yang dibahas merupakan beberapa
penyebabnya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan terhadap
laporan kasus ini demi perbaikan di masa yang akan datang.

Banda Aceh, 22 September 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................. v
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
LAPORAN KASUS ............................................................................................... 3
I. Identitas Pasien ......................................................................................... 3
II. Anamnesis ................................................................................................. 3
III. Pemeriksaan Fisik ..................................................................................... 4
IV. Resume ...................................................................................................... 7
V. Diagnosis Banding .................................................................................... 7
VI. Diagnosis Klinis ........................................................................................ 7
VII. Tatalaksana ............................................................................................... 8
VIII. Edukasi ...................................................................................................... 8
IX. Prognosis ................................................................................................... 8
ANALISA KASUS ................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13
RESUME JURNAL PROGNOSIS .................................................................... 15
TELAAH KRITIS JURNAL PROGNOSIS ..................................................... 19

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Manifestasi klinis pada pasien.......................................................... 5


DAFTAR TABEL

Tabel 1. Diagnosis Banding ................................................................................11


PENDAHULUAN

Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis dengan dasar genetik yang
ditandai dengan gangguan perkembangan dan diferensiasi epidermis, abnormalitas
pembuluh darah, faktor imunologis dan biokimiawi serta fungsi neurologis.
Penyebabnya masih belum diketahui secara pasti. Psoriasis secara luas dianggap
sebagai penyakit dengan gangguan keratinosit.(1)
Psoriasis terjadi di seluruh dunia dengan prevalensi 0,09% - 11,4%. Pada
Negara berkembang prevalensi psoriasis yaitu 1,5-5%(2,3). Kejadian psoriasis di
Asia termasuk rendah sebesar 0,4%. Prevalensi psoriasis di China pada tahun
1984 adalah 0,17%, penelitian lain 25 tahun kemudian sebanyak 0,59%.(4,5)
Prevalensi psoriasis di Spanyol sebanyak 1,43% pada tahun 1998, dan 15 tahun
kemudian dilaporkan sebanyak 2,31%.(4,6) Data prevalensi di United States dari
National Health and Nutrition Examination Survey menunjukkan adanya
peningkatan dari prevalensi pasien dengan psoriasis dari 1,62% ke 3,1 % dari
tahun 2004 ke 2010. (4,7)
Penyebab pasti dari psoriasis ini masih belum diketahui, beberapa penelitian
telah membuktikan bahwa penurunan dari sistem kekebalan tubuh berpengaruh
terhadap berkembangnya lesi psoriasis vulgaris. Faktor genetik dan lingkungan
juga memegang peran cukup besar dalam memicu terjadinya psoriasis.(8)
Penelitian membuktikan bahwa pasien yang mempunyai riwayat keluarga
menderita psoriasis mengalami gejala pertama psoriasis 9,5 tahun lebih cepat dari
pada yang tidak memiliki riwayat keluarga. Penelitian juga menunjukkan bahwa
faktor obesitas, konsumsi alkohol, merokok dan faktor psikologis dapat memicu
dan memperberat gejala dari psoriasis.(9)
Psoriasis vulgaris merupakan penyakit kronis sehingga dalam tatalaksanya
membutuhkan waktu yang lama. Penyakit ini dapat mengganggu penderita dari
segi penampilan fisik secara psikologis yang berdampak pada penurunan kualitas
hidup penderita. Penyakit ini tidak menular dan tidak menyebabkan kematian tapi
dapat menyebabkan gangguan kosmetik karena mempengaruhi penderita secara
psikologis akibat perubahan kulit berupa sisik yang tebal.(10) Pada beberapa
penelitian ditemukan bahwa psoriasis dapat meningkatkan risiko depresi,
kecemasan dan bunuh diri pada penderitanya. Penelitian lain menyatakan bahwa

1
psoriasis berdampak negatif terhadap kualitas hidup penderita dikarenakan
terdapat perubahan aktivitas sehari-hari.(11)
Lamanya terapi dan dampak yang ditimbulkan dari penyakit psoriasis
kepada penderita merupakan suatu alasan yang dianggap penting agar banyak
penelitian dan pembahasan yang lebih mendalam yang dapat dilakukan untuk
membahas penyakit ini.
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Mr.EM
Usia : 63 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Batoh
Suku : Aceh
Pekerjaan : Pensiunan
Status Pernikahan : Sudah menikah
No. CM : 1-18-44-52
Tanggal Periksa : 21 September 2018

II. Anamnesis

a. Keluhan Utama
Bercak kemerahan bersisik tebal di kepala, badan, dan kaki.
b. Keluhan Tambahan
Gatal pada bercak kemerahan
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan bercak kemerahan di badan, kaki
dan tangan. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 4 tahun yang lalu.
Awalnya bercak kemerahan bersisik hanya muncul di kepala, kemudian
semakin lama bercak menyebar ke seluruh tubuh. Bercak kemerahan
disertai dengan rasa gatal. Gatal memberat saat istirahat dan berkurang
saat pasien beraktivitas. Pasien mengaku apabila bercak digaruk maka
bercak akan berdarah. Sekitar 2 tahun yang lalu pasien mengaku bahwa
bercak berkurang banyak setelah pengobatan namun setelah satu bulan
bercaknya muncul kembali.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami stroke 15 tahun yang lalu. Riwayat
hipertensi disangkal.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Anak pasien ada yang mengalami keluhan yang sama seperti
pasien.
f. Riwayat Penggunaan Obat
- Carbonil Diamida
- Asam Salisilat 3% + Desoximetason 0,25% oint + Liquor Carbonis
Detergent 5%
- Asam Salisilat + Clobetasol Propionate 0,05% cream
g. Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien merupakan seorang pensiunan, saat ini tidak ada pekerjaan
harian khusus yang dijalani. Pasien tinggal bersama istrinya jauh dari
anaknya.

III. Pemeriksaan Fisik

- Keadaan Umum : Baik


- TD : 120/80 mmHg - Nadi : 75 x/menit
- Pernafasan : 18 x/menit - Suhu : 36,6 oC

Status Dermatologis
Regio : Kapitis dan trunk.
Deskripsi lesi : Plak eritematous tepi irreguler, ukuran numular sampai
dengan plakat, jumlah multipel, dengan permukaan ditutupi skuama tebal,
susunan diskret, distribusi generalisata.

Regio : Cruris dextra et sinistra


Deskripsi lesi : Plak hiperpigmentasi tepi irreguler, ukuran gutata sampai
dengan plakat, juga terdapat papul, jumlah multipel, disertai dengan erosi
dan krusta serta skuama tebal pada permukaannya, susunan diskret,
distribusi bilateral.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan kaarsvlek phenomen yaitu
dilakukan penggoresan dengan menggunakan kaca objek pada lesi didapatkan
hasil tampak gambaran seperti tetesan lilin pada lesi. Pemeriksaan selanjutnya
dilakukan pemeriksaan auspitz sign yaitu penggoresan yang merupakan lanjutan
dari tes karsvlek dari hasil tersebut tampak bintik-bintik perdarahan pada lesi.

Gambar 1. Manifestasi klinis

Regio Thorakal Posterior

Regio Kapitis

Regio Cruris
Gambar 1. Manifestasi Klinis pada pasien
IV. Resume
Telah diperiksa seorang pasien laki-laki 63 tahun dengan keluhan bercak
kemerahan di badan, kaki dan tangan. Keluhan ini sudah dirasakan selama 4
tahun. Awalnya bercak hanya muncul di kepala, kemudian semakin lama bercak
menyebar ke seluruh tubuh. Bercak kemerahan disertai dengan rasa gatal. Gatal
memberat saat istirahat dan berkurang jika pasien beraktivitas. Pasien mengaku
apabila bercak di garuk maka bercak akan berdarah. Sekitar 2 tahun yang lalu
bercak sudah pernah hilang setelah pengobatan namun setelah satu bulan
bercaknya muncul kembali.
Pemeriksaan fisik didapatkan pada regio kapitis dan trunk tampak plak
eritematous tepi irreguler, ukuran numular sampai dengan plakat, jumlah multipel,
dengan permukaan ditutupi skuama tebal, susunan diskret, distribusi generalisata.
Regio cruris dextra et sinistra tampak plak hiperpigmentasi tepi irreguler, ukuran
gutata sampai dengan plakat, juga terdapat papul, jumlah multipel, disertai dengan
erosi dan krusta serta skuama tebal pada permukaannya, susunan diskret,
distribusi bilateral.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan kaarsvlek phenomen yaitu dilakukan
penggoresan dengan menggunakan kaca objek pada lesi didapatkan hasil tampak
gambaran seperti tetesan lilin pada lesi. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan
pemeriksaan auspitz sign yaitu penggoresan yang merupakan lanjutan dari tes
karsvlek dari hasil tersebut tampak bintik-bintik perdarahan pada lesi.

V. Diagnosis Banding

1. Psoriasis vulgaris
2. Dermatitis numular
3. Tinea corporis
4. Dermatitis Seboroik

VI. Diagnosis Klinis


Psoriasis vulgaris
VII. Tatalaksana
- Cetirizin tablet 10 mg 2 x1
- Carbonil Diamida cream (sore)
- Asam Salisilat 3% + liquor carbonis detergent 5% + Desoximetason
0,25% oint dioleskan pada lesi (malam)
- Asam salisilat + clobetasol propionate 0,05% cream dioleskan pada lesi
(pagi)
- Fototerapi NB-UVB dengan dosis awal 400 mJ/cm2, 2 kali seminggu
VIII. Edukasi
- Penderita harus diberikan penjelasan bahwa psoriasis merupakan penyakit
kronis dengan dasar genetik yang dapat dicetus oleh banyak hal salah
satunya adalah faktor stress.
- Terapi hanya akan mengontrol psoriasis namun tidak menyembuhkannya
- Hindari menggaruk pada lesi karna dapat menimbulkan infeksi sekunder.
- Hindari trauma pada bagian tubuh yang lain karna besar kemungkinan
dapat membentuk lesi baru.

IX. Prognosis

Quo ad Vitam : Dubia ad bonam


Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam
ANALISA KASUS

Telah diperiksa seorang pasien laki-laki berusia 63 tahun pada tanggal 21


September 2018. Berdasarkan kepustakaan yang ada disebutkan bahwa psoriasis
dapat terjadi pada pada seluruh rentang usia. Beberapa studi menyatakan bahwa
rata-rata usia onset terjadinya psoriasis adalah 33 tahun dengan 75% dari kasus
terjadi sebelum usia 46 tahun. Studi yang lainnya menyatakan bahwa psoriasis
mempunyai 2 usia puncak, yaitu dari usia 16 hingga 22 tahun dan kisaran usia
57-60 tahun.(4) Prevalensi psoriasis berdasarkan jenis kelamin umumnya
seimbang.(1)
Diagnosis pada kasus ini ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Dari anamnesis pasien mengeluhkan bercak merah di kepala, badan,
punggung serta kaki yang disertai rasa gatal. Pada status dermatologis didapat
pada pada regio kapitis dan trunk tampak plak eritematous tepi irreguler, ukuran
numular sampai dengan plakat, jumlah multipel, dengan permukaan ditutupi
skuama tebal, susunan diskret, distribusi generalisata. Regio cruris dextra et
sinistra tampak plak hiperpigmentasi tepi irreguler, ukuran gutata sampai dengan
plakat, juga terdapat papul, jumlah multipel, disertai dengan erosi dan krusta serta
skuama tebal pada permukaannya, susunan diskret, distribusi bilateral. Hal ini
sesuai dengan kepustakaan bahwa pada pemeriksaan klinis psoriasis terdapat plak
eritematous dengan permukaannya sedikit meninggi ditutup oleh skuama putih.
Lesi dapat bervariasi dari papul hingga plak yang dapat menutup permukaan
tubuh. Lesi biasanya muncul pertama kali di kepala atau siku, namun bisa juga
muncul di lutut, sakrum dan seluruh tubuh. Psoriasis cenderung berdistribusi
simetris walaupun unilateral dapat terjadi dalam beberapa kasus.(1,12)
Diagnosis banding dari psoriaris vulgaris dapat ditentukan dari jenis lesi dan
predileksinya. Pada dermatitis numular predileksinya di ekstensor ekstremitas.
Lebih sering di ekstremitas atas. Pada pemeriksaan fisik terdapat plak eritematus,
berskuama dan terkadang terdapat likenifikasi. Lesi berbentuk discoid.(13) Pada
pasien ini predileksinya hampir diseluruh tubuh sedangkan dermatitis numular
dominan hanya pada ekstremitas.
Tinea corporis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur.
Predileksinya dapat mengenai seluruh tubuh bagian yang tidak berambut kecuali
telapak tangan dan telapak kaki. Lesi khas yaitu patch eritematus dengan tepi aktif
central healing konfigurasi polisiklik dengan skuama.(14) Pada pasien ini tidak
ditemukan lesi khas seperti pada tinea corporis.
Kemungkinan diagnosis dermatitis seboroik dapat disingkirkan berdasarkan
predileksi lokasi lesi. Predileksi dermatitis seboroik cenderung pada lokasi kulit
yang mengandung kelenjar sebasea seperti kulit kepala, alis, lipatan nasolabial,
belakang telinga, axilla, dada dan antara skapula. Skuama pada dermatitis
seboroik umumnya merupakan skuama basah yang berminyak.(15) Pada kasus ini
lokasi lesi cenderung menyeluruh dan tidak terpaku pada tempat yang kaya akan
kelenjar sebasea saja. Skuama pada pasien ini merupakan skuama tebal dan tidak
berminyak.
Lini pertama pengobatan topikal pada psoriasis vulgaris menggunakan
emollient, glucocorticoid dan vitamin D3 analog dengan lini kedua asam salisilat,
dithtranol, tazarotene, dan preparat tar. Pasien ini diberikan Carbonil Diamida
yang merupakan emollient yang mempunyai efek sebagai pelembab dan
mencegah kulit menjadi kering. Emollient dapat mengurangi skuama pada lesi
psoriasis dan mencegah terbentuknya fisura, serta dapat mengurangi rasa gatal.
Pasien ini juga diberikan kortikosteroid topikal poten tinggi yaitu desoximethason
0,25% ointment. Kortikosteroid topikal merupakan terapi lini pertama pada
psoriasis ringan sampai dengan sedang. Namun penggunaan kortikosteroid jangka
panjang dapat menyebabkan atrofi kulit, telangiektasis dan striae. Liquor
carbonis detergent 5% merupakan salah satu dari preparat tar yang mempunyai
efek sebagai antiinflamasi dan mengurangi terjadinya aktivitas mitosis pada
lapisan basal dari epidermis. Preparat tar ini sering dikombinasikan dengan asam
salisilat 2-5% yang dapat menyebabkan keratolitik dan membuat penyerapan tar
ini menjadi lebih baik. Penggunaan cetirizin dan clobetasol propionate merupakan
antihistamin yang berfungsi untuk mengurangi gejala gatal yang dialami pasien.(1)
Pasien telah melakukan fototerapi NB-UVB sebanyak 2 kali dalam 1
minggu terakhir. Berdasarkan kepustakaan yang ada menyatakan bahwa
penggunaan fototerapi pada pasien dengan psoriasis dilakukan saat plak kronis
psosiaris mengenai >10% BSA (moderate-severe psoriasis) dengan lini pertama
NB-UVB.(1) Saat pemeriksaan pasien telah melakukan fototerapi sebanyak 2 kali
lalu dihitung PASI score (Psoriasis Area and Severity Index) dengan
mempertimbangkan Body Surface Area (BSA) didapatkan PASI score 16,4
(PASI >10 = moderate) sehingga merupakan pilihan yang tepat untuk melakukan
fototerapi. Setelah dilakukan fototerapi yang ke-4 lalu diulang kembali
perhitungan nilai PASI didapatkan PASI 12,8. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat pengurangan nilai PASI setelah dilakukan fototerapi.
Psoriasis Vulgaris pada banyak kasus merupakan penyakit yang akan
diderita seumur hidup. Remisi spontan biasanya hanya bertahan dalam beberapa
waktu tertentu dan sekiranya terjadi pada 50% pasien. Durasi remisi bervariasi
dari satu tahun sampai beberapa tahun. Pada 2 studi berbeda dijelaskan bahwa
remisi terjadi 17-55% pasien. Pada studi cohort pasien diikuti selama 21 tahun,
didapatkan 71% mempunyai lesi yang persisten, 13% bebas dari lesi, dan 16%
memiliki lesi intermitten.(1)

Tabel 2. Diagnosa Banding

Diagnosis Definisi Deskripsi Lesi Gambar


Psoriasis Psoriasis adalah Plak eritematous tepi
Vulgaris penyakit kulit irreguler, ukuran numular
inflamasi kronis sampai dengan plakat,
dengan dasar
jumlah multipel, dengan
genetik
permukaan ditutupi
skuama tebal, susunan
diskret, distribusi
generalisata
Dermatitis Dermatitis Plak eritematus berbatas
Numularis nummular tegas repi regular, ukuran
merupakan numular, terdapat krusta
penyakit kondisi coklat kehitaman diatasnya,
kulit kronis yang lesi multipel, konfigurasi
menyebabkan diskoid, distribusi regional.
bercak
berbentuk koin
pada kulit.
Tinea Tinea corporis Patch eritematus dengan
Corporis merupakan tepi aktif, polisiklik,
penyakit kulit terdapat central healing,
yang disebabka dengan permukaan skuama
oleh jamur kasar, ukuran plakat,
superfisial jumlah soliter, distribusi
golongan regional
dermatofita
yang terdapat
pada kulit tubuh
yang tidak
berambut
Dermatitis Dermatitis Plak eritematous ukuran
Seboroik seboroik gutata sampai plakat,
merupakan disertai dengan papul,
peyakit kulit jumlah multipel susunan
dengan bentuk diskret distribusi regional.
papuloskuamosa
dimana
predileksinya
berada di daerah
yang kaya akan
kelenjar sebasea.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gudjonsson, Johann Em James T.Elder. Psoriasis. Fitzpatricks: Dermatology


in General Medicine. Edisi ke-8.Volume 1. New York: McGrawHill; 2012.
197-231.
2. Danielsen K, Olsen AO, Wilsgaard T, Furberg AS. Is the prevalence of
psoriasis increasing? A 30–year follow-up of a population–based cohort. Br J
Dermatol. 2013;168:1303–10.
3. Parisi R, Symmons DPM, Griffiths CEM, Ashcroft DM, and the Identification
and Management of Psoriasis and Associated ComorbidiTy (IMPACT)
project team. Global epidemiology of psoriasis: a systematic review of
incidence and prevalence. J Invest Dermatol. 2013;133(2):377–85.
4. Irmina Maria Michalek, Belinda Lorin. Global Report on Psoriasis, World
Health Organization.2016.
5. Ding X, Wang T, Shen Y, Wang X, Zhou C, Tian S et al. Prevalence of
psoriasis in China: a population-based study in six cities. Eur J Dermatol.
2012;22(5):663–7.
6. Ferrándiz C, Carrascosa JM, Toro M. Prevalence of psoriasis in Spain in the
age of biologics. Actas DermoSifiliográficas. 2014;105(5):504–9.
7. Rachakonda TD, Schupp CW, Armstrong AW. Psoriasis prevalence among
adults in the United States. J Am Acad Dermatol. 2014;70(3):512–6.
8. Belanger A, Oliveira CP De, Maheux M, Pouliot R. Plaque Psoriasis :
Understanding Risk Factors of This Inflammatory Skin Pathology. J Cosmet
Dermatological Sci Appl. 2016;6:67–80.
9. Guideline CP. Management of psoriasis vulgaris. Malaysia Health
Technology Assessment Section (MaHTAS) Medical Development Division,
Ministry of Health Malaysia Level; 2013. 5 p.
10. Sinaga D. Pengaruh stress psikologis terhadap. J Ilm WIDYA. 2013;1(1).
11. Krisnarto E, Novitasari A, Aulirahma DM. Faktor Prediktor Kualitas Hidup
Pasien Psoriasis : Studi Cross Sectional Quality of Life Sectional Study
Predictor Factors of Psoriasis Patients. J Unimus. 2016;49.
12. James, William T, Timothy G. Berger. Dirk M Elston. Psoriasis: Andrews’
Diseases of the Skin Clinical Dermatology. Chapter 35. Edisi ke-11.2011.
190-8.p
13. Burgin, Susan. Nummular eczema, Lichen Simplex Chronicus, and Prurigo
Nodularis: Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8.Volume
1. New York: McGrawHill; 2012.182 p.
14. Schieke, Stefan M. Amit Garg. Superficial Fungal Infection: Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8.Volume 1. New York:
McGrawHill; 2012. 2277 p.
15. Chris D. Collins & Chad Hivnor. Seborrhoic Dermatitis: Fitzpatricks:
Dermatology in General Medicine. Section 30. Edisi ke-8.Volume 1. New
York: McGrawHill; 2012. 259-60
RESUME JURNAL DIAGNOSIS

Kegunaan dari Penanda Inflamasi untuk Prediksi Postherpetic Neuralgia pada


Pasien dengan Akut Herpes Zoster
Latar belakang: Semakin banyak bukti menunjukkan peran penting untuk
peradangan neuron dalam menanggapi replikasi virus varicella zoster dalam
pengembangan postherpetic neuralgia.
Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk menyelidiki nilai kadar serum berbagai penanda
inflamasi pada herpes zoster akut sebagai prediktor untuk pengembangan
postherpetic neuralgia.
Metode: Seratus enam belas pasien yang telah didiagnosa dengan herper zoster akut
kemudian dinilai pada awal didiagnosa, 1, 3, dan 6 bulan setelah didiagnosa herpes
zoster dengan menggunakan skala visual analog scale (VAS) dan pemeriksaan
sampel serum untuk uji laboratorium yang kemudian diuji dengan analisis regresi
logistik multivariat untuk mengidentifikasi penanda inflamasi independen berkorelasi
dengan perkembangan postherpetic neuralgia
Hasil: Pada analisis univariat, nyeri awal VAS skor, tingkat erythrocyte
sedimentation rate (ESR), C-reactive protein (CRP), jumlah limfosit, dan albumin
menunjukkan korelasi yang signifikan dengan pengembangan postherpetic neuralgia
pada 6 bulan. Akan tetapi penanda inflamasi lainnya, termasuk white blood cell
(WBC), red blood cell distribution width (RDW), platelet (PLT), Neutrophil
lymphocyte ratio (NLR) tidak menunjukkan korelasi yang signifikan dengan
pengembangan postherpetic neuralgia. Pada analisis multivariate, Tingkat ESR, CRP,
dan jumlah NLR menunjukkan korelasi yang signifikan dengan pengembangan
postherpetic neuralgia.
Kesimpulan: Kami mendapatkan bahwa kadar ESR yang tinggi pada herpes zoster
akut dapat dikaitkan dengan pengembangan postherpetic neuralgia yang bertahan
lama. Tanda inflamasi ini dapat dikombinasikan dengan faktor klinis seperti usia dan
nyeri awal. Skor VAS akan membantu untuk memprediksi perkembangan
postherpetic neuralgia lebih lanjut dan tepat.
RESUME JURNAL
Neuralgia postherpetic (PHN) ditandai dengan nyeri spontan, nyeri yang
dipicu oleh rangsangan minimal , dan perubahan sensasi yang menyertai herpes
zoster (HZ) dan yang dapat berlanjut lama setelah ruam khas HZ sembuh. PHN
bersifat neuropatik dan merupakan hasil dari cedera saraf perifer dan perubahan
sinyal pemrosesan sistem saraf pusat. Perubahan-perubahan ini mungkin begitu
kompleks sehingga tidak ada pendekatan terapi tunggal yang akan memperbaiki
semua kelainan. Sebagai hasilnya, agen antivirus dan manajemen nyeri intervensi
aktif selama periode awal HZ akut direkomendasikan untuk mencegah perkembangan
PHN. Berbagai faktor risiko untuk pengembangan PHN seperti usia tua, jenis
kelamin perempuan, adanya prodrom, ruam yang lebih parah, dan nyeri akut yang
lebih parah mencerminkan mekanisme yang berbeda yang mengarah ke
pengembangan PHN. Penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat
memprediksi perkembangan PHN. Namun, prediksi pengembangan PHN saat ini
terbatas pada faktor klinis. Beberapa laporan menunjukkan bahwa alat penilaian
obyektif seperti tes kulit varicella zoster virus (VZV) dan termografi inframerah
berguna sebagai prediktor pengembangan PHN pada pasien dengan HZ akut, tetapi
kita memerlukan penanda yang lebih objektif yang dapat dengan mudah tersedia
untuk prediksi awal pengembangan PHN.
Penelitian ini dilakukan di Departemen Dermatologi di Rumah Sakit
Universitas Nasional Kyungpook. Dari Juni 2013 sampai Maret 2015, total 116
pasien dengan HZ akut yang terdaftar didiagnosis berdasarkan presentasi klinis.
Kriteria inklusi adalah pasien dengan hasil laboratorium diperoleh dalam waktu
beberapa jam setelah diagnosis HZ dan dengan tindak lanjut nyeri skala analog visual
(VAS) skor minimal 1, sebulan kemudian. Kriteria eksklusi meliputi dikonfirmasi
atau dicurigai riwayat gangguan kekebalan bawaan; setiap penyakit ginjal kronis,
hati, dan rematologi, infeksi akut dalam bulan sebelumnya, trauma dan / atau
fraktur dalam 6 bulan sebelumnya, dan penggunaan steroid, termasuk inhaler atau
obat anti-inflamasi nonsteroid.
Peneliti mengukur skor nyeri VAS pada awal dan pada 1, 3, dan 6 bulan
setelah diagnosis HZ. sampel serum juga diambil untuk dilakukan tes laboratorium,
termasuk hitung darah lengkap (CBC), tingkat sedimentasi eritrosit (ESR), C-reactive
protein (CRP) tingkat, dan tingkat albumin diperoleh pada kunjungan awal.
Kemudian pasien dibagi menjadi dua kelompok, berdasarkan ada atau tidak adanya
rasa sakit pada setiap bulan dan data di masing-masing kelompok secara statistik
dibandingkan. Peneliti mendefinisikan PHN sebagai nilai lebih besar dari 1 pada
skala nyeri VAS yang berlangsung selama lebih dari 6 bulan setelah onset dari HZ
akut.
Pada mulanya peneliti mengevaluasi korelasi antara level setiap penanda
inflamasi serum dan pengembangan PHN dalam analisis univariat. Faktor prediktif
yang sudah diketahui seperti usia, jenis kelamin, dan skor nyeri VAS awal juga
dimasukkan sebagai variabel dalam analisis. Kemudian, dilakukan analisis regresi
logistik multivariat untuk mengidentifikasi penanda inflamasi mana yang secara
independen berkorelasi dengan pengembangan PHN. Untuk menilai pengaruh aktual
dari setiap penanda inflamasi serum, faktor klinis seperti usia, jenis kelamin, dan
nyeri awal dikeluarkan dalam analisis multivariat. Selanjutnya, nilai yang memotong
dari penanda inflamasi berkorelasi ditetapkan. Model yang terdiri dari masing-masing
nilai batas penanda inflamasi serta usia dan skor nyeri awal VAS dibuat untuk
konfirmasi pengaruh masing-masing penanda terhadap prediksi pengembangan PHN.
Kemampuan model dibandingkan satu sama lain menggunakan area di bawah kurva
karakteristik operasi penerima (ROC). Perbedaan dalam area di bawah kurva (AUC)
antara model referensi yang berasal dari hanya usia dan skor nyeri VAS awal dan
model faktor tunggal ditambahkan diperkirakan. Nilai p < 0,05 didefinisikan sebagai
signifikan secara statistik.

Pada analisis univariat, nyeri awal VAS skor, tingkat erythrocyte


sedimentation rate (ESR), C-reactive protein (CRP), jumlah limfosit, dan albumin
menunjukkan korelasi yang signifikan dengan pengembangan postherpetic neuralgia
pada 6 bulan. Akan tetapi penanda inflamasi lainnya, termasuk white blood cell
(WBC), red blood cell distribution width (RDW), platelet (PLT), Neutrophil
lymphocyte ratio (NLR) tidak menunjukkan korelasi yang signifikan dengan
pengembangan postherpetic neuralgia. Pada analisis multivariate, Tingkat ESR, CRP,
dan jumlah NLR menunjukkan korelasi yang signifikan dengan pengembangan
postherpetic neuralgia.

Meskipun PHN adalah komplikasi neuropatik HZ akut yang umum yang


dapat menurunkan kualitas hidup, patofisiologi pasti dari PHN belum dipahami
dengan jelas. Diketahui bahwa interaksi patologis antara serat beta aferen dengan
gangguan fungsi, refleks akson dengan respons gangguan, serat C yang rusak, dan
sumsum tulang belakang hiperrefleksif mungkin berperan dalam nyeri yang terkait
dengan HZ dan PHN. Selain itu, telah dilaporkan bahwa sistem kekebalan tubuh
memainkan peran penting dalam nyeri neuropatik, yang meliputi interaksi antara
kekebalan inflamasi dan sel glial yang menyerupai kekebalan, serta sitokin dan
kemokin inflamasi. Mekanisme ini menyebabkan munculnya gagasan nyeri
neuropatik dan menyarankan bahwa keseimbangan antara sitokin pro dan anti
inflamasi menentukan apakah nyeri neuropatik berkembang atau tidak. Namun, tidak
mudah untuk memprediksi terjadinya nyeri neuropatik seperti PHN. Beberapa
penelitian telah menunjukkan kontribusi signifikan sel inflamasi dan mediatornya,
seperti interleukin (IL) -6, terhadap nyeri neuropatik. Meskipun penelitian
sebelumnya melaporkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam konsentrasi
sitokin serum antara pasien HZ dengan dan tanpa PHN, sebuah studi baru-baru ini
menunjukkan bahwa kadar IL-6 pada pasien dengan PHN lebih tinggi daripada
pasien tanpa PHN. Oleh karena itu, disarankan bahwa pasien dengan cedera saraf
atau respons inflamasi yang berlebihan terhadap VZV mungkin memiliki risiko
pengembangan PHN yang lebih tinggi. Namun, penilaian sitokin proinflamasi seperti
IL-6 sulit diperoleh dalam praktik umum. Oleh karena itu, ada kebutuhan klinis untuk
mengidentifikasi penanda inflamasi yang lebih mudah tersedia yang dapat
memprediksi perkembangan PHN pada pasien dengan HZ akut. Selama reaksi
inflamasi, beberapa sitokin proinflamasi seperti IL-1β, IL-6, IL-8, dan tumor necrosis
factor-α diproduksi, dan sitokin ini memainkan peran penting dalam produksi protein
fase akut. Yaitu, reaktan fase akut mencerminkan keberadaan dan tingkat keparahan
peradangan. Yang penting, CBC dan tingkat ESR, CRP tersedia secara luas, murah,
dan secara rutin dilakukan dalam praktik umum. Selain itu, mereka akurat dan
terstandarisasi dalam banyak pengaturan dan dapat memberikan informasi obyektif
untuk memperkirakan prognosis pasien. Oleh karena itu, kami fokus pada penanda
inflamasi dalam penelitian ini.

Ada beberapa laporan tentang ESR dan CRP sebagai faktor prediktif untuk
pengembangan PHN. Sebuah studi sebelumnya menunjukkan bahwa jumlah ESR,
CRP, dan WBC bukanlah faktor prediktif yang bermakna untuk pengembangan PHN,
tetapi menemukan bahwa ESR secara signifikan lebih tinggi pada kelompok PHN 1
bulan dalam analisis univariat. Namun, penelitian kami menunjukkan bahwa kadar
ESR, CRP, jumlah limfosit, dan albumin secara signifikan berkorelasi dengan
pengembangan PHN pada 6 bulan, dan kemungkinan tingkat ESR, CRP, dan jumlah
limfosit yang tinggi sebagai prediktor dikonfirmasi dalam penelitian ini. Seperti yang
diharapkan, CBC, termasuk WBC, RDW, jumlah PLT, jumlah neutrofil, dan NLR
bukan merupakan prediktor PHN. Namun, hasil kami berbeda dari penelitian
sebelumnya dalam jenis kelamin perempuan, salah satu faktor prediktif yang sudah
diketahui, bukan merupakan prediktor PHN dalam penelitian ini. Ketika kami
menguji pengaruh sebenarnya dari masing-masing penanda inflamasi dalam
kombinasi dengan faktor-faktor klinis yang sudah diketahui seperti usia dan skor
nyeri awal VAS, sebuah model termasuk ESR menunjukkan kekuatan prediksi yang
lebih baik untuk pengembangan PHN daripada model-model termasuk CRP atau
jumlah limfosit. Tingkat CRP dan jumlah limfosit tidak menunjukkan pengaruh yang
cukup besar karena faktor klinis seperti usia dan nyeri awal skor VAS saja memiliki
kekuatan prediksi yang cukup baik.

PHN telah didefinisikan secara bervariasi sebagai rasa sakit setelah infeksi
akut atau rasa sakit pada 1 bulan, 3 bulan, 4 bulan, atau 6 bulan setelah timbulnya
ruam. Dalam penelitian ini, kami mendefinisikan PHN sebagai skor lebih besar dari 1
pada skala nyeri VAS, yang berlangsung selama lebih dari 6 bulan setelah timbulnya
HZ akut. Pemutusan ini dipilih karena kami beralasan bahwa jika ada rasa sakit yang
berkelanjutan untuk jangka waktu yang lama 6 bulan, akan cukup untuk memenuhi
definisi PHN.

Sebagai kesimpulan, kami menyarankan bahwa kadar ESR yang tinggi pada
HZ akut dapat dikaitkan dengan perkembangan PHN yang berlangsung lama dan
bahwa penanda inflamasi ini dikombinasikan dengan faktor klinis seperti usia dan
nyeri awal. Skor VAS akan membantu untuk memprediksi perkembangan PHN lebih
tepat. Oleh karena itu, kita perlu lebih tertarik pada hasil tes laboratorium rutin awal
termasuk penanda inflamasi ini serta faktor klinis yang sudah diketahui pada pasien
HZ akut. Selain itu, kami menyarankan bahwa pengobatan anti inflamasi selama fase
awal HZ akut diperlukan untuk mempersiapkan pengembangan PHN, terutama jika
hasil laboratorium menunjukkan ESR tinggi. Dalam kasus tersebut, pasien akan
memerlukan tindak lanjut jangka panjang secara teratur untuk pencegahan dan
pengelolaan PHN.

Penelitian ini memberikan wawasan tentang peran peradangan dalam


pengembangan PHN. Pengetahuan tentang faktor-faktor prediktif dapat membantu
peneliti memahami patogenesis PHN dan membantu dalam pengembangan dan
evaluasi intervensi pencegahan. Ukuran sampel yang relatif kecil dan data dari satu
pusat adalah keterbatasan penelitian ini. Investigasi lebih lanjut menggunakan uji
klinis acak dengan jumlah pasien yang lebih besar diperlukan untuk penelitian se.
TELAAH KRITIS JURNAL DIAGNOSIS

Judul : Kegunaan dari Penanda Inflamasi untuk Prediksi Postherpetic Neuralgia


pada Pasien dengan Akut Herpes Zoster
Penulis : Jun Young Kim, Gyeong-Hun Taman , Min Ji Kim, Hyun Bo
Sim, Weon Ju Lee, Seok-Jong Lee, Shin-Woo Kim , Muda
Hoon Jeon , Yong Hyun Jang, Do Won Kim

No. PETUNJUK KOMENTAR


1. Apakah benar dibuat dalam  Penderita diidentifikasi dalam waktu yang
bentuk “inception cohort”? bersamaan pada November 2016-Mei 2017
di Pusat Studi dan Perawatan Psoriasis
- Ya
Rumah Sakit San Gallicano (Roma, Italia).
Secara spesifik juga dijelaskan bahwa subjek
penelitian pada rentang usia 18-60 tahun,
didiagnosis Psoriasis Vulgaris dengan nilai
PASI>3
2. Apakah sistem rujukan  Setiap pasien berada di pusat perawatan
digambarkan dengan baik? yang sama yaitu di Pusat Studi dan
Perawatan Psoriasis Rumah Sakit San
- Ya
Gallicano (Roma, Italia).

3. Apakah tujuan dapat diikuti  Semua subjek dihitung secara lengkap yaitu
dengan lengkap? 50 pasien dengan psoriasis dan 50 pasien
control. Keadaan klinisnya dikenali dengan
- Ya
baik.
4. Apakah hasil yang diukur dapat  Penelitian ini dapat dikembangkan dengan
dikembangkan dan digunakan? menilai durasi dan derajat psoriasis dengan
gangguuan kongnitif.
- Ya

5. Apakah penilaiannya dilakukan  Penelitian ini dilakukan pengukuran yang


secara buta (blind)? diinterpretaskan oleh ahli berdasarkan
pertanyaan yang diajukan pada penderita,
- Tidak
sehingga hasil lebih bersifat subjektif.
6. Apakah faktor-faktor luar yang  Penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap
menyertai dapat dilakukan gangguan kognitif salah satu faktor lain yang
justifikasi? mempengaruhi hal tersebut adalah anomali
otak.
- Tidak

Berdasarkan hasil kritisi jurnal, didapatkan 4 jawaban “Ya” dari total 6


pertanyaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa jurnal dengan judul “Gangguan
Kognitif pada Pasien dengan Psoriasis: Studi Case Control Berpasangan” ini layak
dibaca namun tidak dapat diadaptasikan sebagai penelitian lanjutan di RSUDZA.

Anda mungkin juga menyukai