Anda di halaman 1dari 22

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Asfixia

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Keperawatan Gawat Darurat


Dosen Pengampu Ira Suarilah,S.Kp.,M.Sc

Disusun Oleh :
1. R. HESEA ROCHMATILLAH 131611123047
2. TRI RETNO WIDIANINGRUM 131611123048
3. GALIH ADHI WICAKSONO 131611123049
4. GALUH RACHMAWATI GINARTA PUTRI 131611123050
5. SILVIA LUSIANA SUWANDI 131611123051
6. GETRUDIS FRANSISKA DIAZ 131611123052
7. ANIQ DINI KARIMAH 131611123053
8. DESSY WULANDARI SURYANINDRA 131611123054

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2017
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asfiksia merupakan kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi
gangguan dalam pertukaran udaran pernafasan yang normal. Gangguan tersebut
dapat disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan
yang diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Gangguan ini akan menimbulkan
suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan
peningkatan kadar karbondioksida. Keadaan ini jika terus dibiarkan dapat
menyebabkan terjadinya kematian.
Menurut data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2007 angka Asfiksia banyak terjadi pada bayi yakni sebesar 27% yang merupakan
penyebab kedua kematian bayi baru lahir setelah Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR) (Depkes RI, 2008). Sedangkan untuk asfiksia dewasa sendiri datanya
masih belum ditemukan akumulasinya.
Faktor yang menyebabkan terjadinya asfiksia dewasa pada umumnya
karena asfiksia mekanik yaitu karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan.
Asfiksia jenis ini paling banyak dijumpai dalam kasus tindak pidana yang
menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Asfiksia dapat terjadi akibat trauma yang
menybabkan emboli maupun sumbatan atau halangan pada saluran napas dan
sebagainya.
Asfiksia pada dewasa mempunyai probabilitas yang cukup besar terhadap
kematian apabila penanganan gawat darurat yang dilakukan tidak sesuai dengan
prosedur yang telah ada. Selain itu juga asfiksi sangat rentan menjadi kondisi lebih
kritis bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Untuk itu kami disini akan
membahas mengenai Asfiksia pada dewasa.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan asfiksia?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi asfiksia
2. Mengetahui etiologi asfiksia
3. Mengetahui klasifikasi asfiksia
4. Mengetahui patofisiologi asfiksia
5. Mengetahui penanganan asfiksia
6. Mengetahui asuhan keperawatan asfiksia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Istilah asfiksia dapat didefinisikan sebagai kondisi gangguan pertukaran gas di
suatu daerah, yang menyebabkan hipoksia progresif, hiperkarbia, dan asidosis
tergantung pada tingkat dan durasi gangguan ini (Rainaldi & Perlman, 2016).
Asfiksia perinatal (kelahiran) adalah istilah umum yang mengacu pada
ensefalopati neonatal terkait dengan kejadian saat kelahiran. Hal ini sering digunakan
secara bergantian dengan istilah yang menjelaskan tahap neonatal seperti ensefalopati
hipoksia-iskemik dan cerebral palsy (CP). Asfiksia mengacu pada kekurangan
oksigen yang cukup lama sehingga menyebabkan cidera neurologis (Herrera &
Silver, 2016).
Kematian akibat asfiksia mekanis yang tidak disengaja pada orang dewasa
jarang terjadi dan biasanya diakibatkan oleh chocking / aspirasi, jebakan, kematian
akibat kerja dan asfiksia saat berhubungan seksual (Ciprandi et al., 2017).
Asfixia berasal dari bahasa yunani, a yang berarti “tanpa”, dan sphygmos yang
berarti “denyut”. Istilah ini digunakan untuk kondisi kurangnya suplai oksigen yang
berat sebagai akibat dari kegagalan pernapasan secara normal. Asfixia menyebabkan
oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbondioksida
(hiperkapneu). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen dan
terjadi kematian (Iis, 2008). Istilah asfiksia dapat didefinisikan sebagai kondisi
gangguan pertukaran gas di suatu daerah, yang menyebabkan hipoksia progresif,
hiperkarbia, dan asidosis tergantung pada tingkat dan durasi gangguan ini (Rainaldi &
Perlman, 2016).
Asfiksia perinatal (kelahiran) adalah istilah umum yang mengacu pada
ensefalopati neonatal terkait dengan kejadian saat kelahiran. Hal ini sering digunakan
secara bergantian dengan istilah yang menjelaskan tahap neonatal seperti ensefalopati
hipoksia-iskemik dan cerebral palsy (CP). Asfiksia mengacu pada kekurangan
oksigen yang cukup lama sehingga menyebabkan cidera neurologis (Herrera &
Silver, 2016). Kematian akibat asfiksia mekanis yang tidak disengaja pada orang
dewasa jarang terjadi dan biasanya diakibatkan oleh chocking / aspirasi, jebakan,
kematian akibat kerja dan asfiksia saat berhubungan seksual (Ciprandi et al., 2017).
Asfiksia terjadi ketika jumlah oksigen yang tidak memadai dipasok ke
jaringan dan organ untuk mempertahankan proses metabolisme normal. Pengiriman
oksigen ke sel bisa terhambat pada berbagai tahap yang melibatkan asupan,
transportasi, dan serapannya. Pengambilan oksigen mungkin disebabkan oleh tingkat
oksigen lingkungan yang rendah, penurunan transfer dari udara, berkurangnya
transportasi dari paru-paru, dan transfer yang tidak adekuat melintasi membran sel
(Byard 2016).

2.2 Etiologi
Faktor yang menyebabkan gangguan aliran darah terjadi dalam berbagai
bentuk. Menurut Rainaldi & Perlman (2016) penyakit maternal seperti diabetes,
hipertensi, atau preeklampsia dapat mengubah pembuluh darah plasenta dan
mengurangi aliran darah. Hipotensi pada ibu dapat diterjemahkan ke sirkulasi janin
(misalnya efek medikasi, penyakit ibu, anestesi spinal, dll). Faktor plasenta seperti
abrasi, perdarahan fetomaternal, atau pembengkakan dapat membahayakan aliran
darah. Chorioamnionitis dan funisitis sangat terkait dengan kompromi plasenta dan
asfiksia.9 Tali pusar dapat dikompres secara ekstrinsik, seperti yang terlihat pada
prolaps kabel atau nuchal cord. Faktor-faktor yang terkait dengan neonatus juga dapat
menyebabkan asfiksia. Sebagai contoh, anomali jalan napas bawaan mungkin tidak
memungkinkan pertukaran gas paru yang cukup setelah sirkulasi plasenta berhenti.
Neuro- logis abnormal neonatus mungkin tidak memiliki dorongan pernafasan yang
sesuai untuk ventilasi efektif. Ini mungkin intrinsik pada neonatus (yaitu anomali
sistem saraf pusat, cedera tulang belakang) atau karena efek ekstrinsik obat.
Faktor yang menyebabkan gangguan aliran darah terjadi dalam berbagai bentuk.
Menurut Rainaldi & Perlman (2016) penyakit maternal seperti diabetes, hipertensi,
atau preeklampsia dapat mengubah pembuluh darah plasenta dan mengurangi aliran
darah. Hipotensi pada ibu dapat diterjemahkan ke sirkulasi janin (misalnya efek
medikasi, penyakit ibu, anestesi spinal, dll). Faktor plasenta seperti abrasi,
perdarahan fetomaternal, atau pembengkakan dapat membahayakan aliran darah.
Chorioamnionitis dan funisitis sangat terkait dengan kompromi plasenta dan asfiksia.
Tali pusar dapat dikompres secara ekstrinsik, seperti yang terlihat pada prolaps kabel
atau nuchal cord. Faktor-faktor yang terkait dengan neonatus juga dapat
menyebabkan asfiksia. Sebagai contoh, anomali jalan napas bawaan mungkin tidak
memungkinkan pertukaran gas paru yang cukup setelah sirkulasi plasenta berhenti.
Neuro- logis abnormal neonatus mungkin tidak memiliki dorongan pernafasan yang
sesuai untuk ventilasi efektif. Ini mungkin intrinsik pada neonatus (yaitu anomali
sistem saraf pusat, cedera tulang belakang) atau karena efek ekstrinsik obat.
Penyebab asfiksia lainnya secara umum diantaranya:
1. Periode hipoksia yang panjang dapat menyebabkan kematian otak.
2. Tercekik.
3. Cidera inhalasi akibat gas beracun (carbon monoxide, hidrogen sianida,
Hidrogen sulfida).
4. Ruang tertutup/ minim oksigen.
5. Gantung diri.
6. Posisi tubuh itu sendiri (Asfiksia posisional) menyebabkan gangguan
pertukaran oksigen jika berat badan sebagian besar bergantung pada
diafragma, seperti berada dalam posisi terbalik dapat menyebabkan pertukaran
oksigen terganggu.
7. Tenggelam.
8. Kecelakaan lalu lintas.
9. Kompresi asfiksia terjadi ketika terjadi tekanan pada dada atau perut,
menghambat gerakan diafragma dan kurangnya pertukaran gas oksigen-
karbon dioksida (Bucholtz 2015)
10. Intosikasi alkohol/ efek sedasi, epilepsi, parkinson atau penyakit degeneratif
neurologi, dan spinal injuri yang menyebabkan obstruksi jalan nafas (Byard et
al. 2008)
11. Kecelakaan pada anak- anak seperti terjepit perabotan atau tergantuk
12. Overdosis narkoba
13. Oklusi saluran udara bagian atas karena makanan (Aquila et al. 2017)
2.3 Klasifikasi
Kematian akibat asfixia pada umunya menurut Mun’im (1997) dibagi menjadi :
1. Sufokasi
1) Sufokasi lingkungan/ terperangkap
Asfixia disebabkan oleh oksigen lingkungan yang berkurang. Kejadian yang
sering adalah terperangkap (entrapment), korban terjebak dalam ruangan yang
kedap udara. Awalnya udara tercukupi tetapi ketika pernapasan berlanjut korban
kehabisan oksigen dan menjadi asfixia. Demikian juga kejadian pada sufokasi
lingkungan (environmental suffocation) akibat seseorang secara tidak sadar
memasuki daerah yang memang kurang oksigennya.
2) Bekapan (smothering)
Asfixia oleh bekapan atau sumbatan dari hidung dan mulut. Kejadian seperti ini
biasanya ileh karena pembunuhan atau bunuh diri, jaring karena kecelakaan.
3) Tersedak (choking)
Asfixia disebabkan oleh sumbatan sepanjang saluran napas. Kematian dapat
terjadi secara alami, pembunuhan atau kecelakaan. Kematian alamiah ini dapat
terjadi pada seseorang dengan infeksi daerah epiglottis yang hebat dengan akibat
dari obstruksi jalan napas akibat epiglotis yang meradang dan pembengkakan
jaringan sekitarnya. Kejadian ini juga sering akibat kecelakaan. Pada anak – anak
sering terjadi aspirasi dari benda mainan, koin uang logam. Sementara pada orang
dewasa biasanya karena gigi palsu atau makanan.
4) Asfixia mekanis
Pada asfixia mekanis tekanan dari luar tubuh yang dapat menghambat gerak
aspirasi. Kejadiannya hampir sebagian besar dikarenakan kecelakaan. Asfixia
mekanis dapat dibagi menjadi tiga tipe :
a. Asfixia traumatis
Terjadi saat sesuatu yang berat menahan pergerakan dada atau perut atas,
menyebabkan tidak bisa bernapas.

b. Asfixia posisional
Biasanya kecelakaan akibat intiksikasi obat atau alcohol menyebabkan
seseorang berada pada posisi yang menghambat jalan napas dan sulit untuk
melepaskan diri contohnya lehernya tertekuk.
c. Asfixia tertindih orang lain (riot-crusb/ “human pile” death)
Sesuai dengan namanya asfixia ini terjadi sering dalam suatu keramaian atau
kerusuhan yang melibatkan orang banyak yang menimpa korban sehingga sulit
untuk bernapas.
2. Strangulasi
Terdapat 3 bentuk umum dari strangulasi. Pada ketiga bentuk strangulation,
penyebab kematian adalah asfixia karena sumbatan jalan napas dan hipoksia otak
akibat kompresi pembuluh darah ke otak. Ketiga bentuk tersebut adalah:
1) Hanging
Asfixia terjadi sekunder akibat adanya tekanan atau kompresi struktur leher oleh
tali atau benda pengikat lainnya yang dikencangkan oleh berat badan. Kejadiannya
lebih banyak akibat bunuh diri.
2) Ligature strangulation
Pada ligature strangulation tekanan leher diakibatkan oleh ikatan yang
dilakukan oleh kekuatan selain dari berat badan. Sebagian besar kasus dari ligature
strangulation adalah pembunuhan.
3) Manual strangulation
Manual strangulation diakibatkan oleh tekanan lengan atau tungkai terhadap
leher menekan struktur dari leher. Kebanyakan kejadian ini merupakan kasus
pembunuhan.
3. Asfixia Khemis
Pada asfixia khemis, inhalasi dari sejumlah gas yang mencegah pengikatan
oksigen pada tingkat sel. Bahan kimia paling sering sebagai penyebab adalah
karbonmonoksida. Selain itu, hidorgen sianida dan hydrogen sulfide juga sering
menjadi penyebab.

Asfixia yang terjadi pada bayi baru lahir dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
Tanda 0 1 2 Jumlah Nilai
Frekuensi Tidak Ada Kurang dari 100 Lebih dari 100
Jantung X/menit X/menit
Usaha Tidak Ada Lambat, Tidak Menangis
Bernafas Teratur Kuat
Tonus Otot Lumpuh Ekstremitas Gerakan Aktif
Fleksi Sedikit
Refleks Tidak Ada Gerakan Sedikit Menangis
Warna Kulit Biru/Pucat Tubuh Tubuh dan
Kemerahan, Ekstremitas
Ekstremitas Biru Kemerahan

a. Nilai 0-3 : Asfiksia berat


b. Nilai 4-6 : Asfiksia sedang
c. Nilai 7-10 : Normal
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai
apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor
mencapai 7. Nilai apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir
dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai
30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor
apgar)
Asfiksia neonatorum di klasifikasikan :
1. Asfiksia Ringan (vigorus baby)
Skor APGAR 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan
istimewa.
2. Asfiksia sedang (mild moderate asphyksia)
Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung
lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas
tidak ada.

3. Asfiksia Berat
Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang
dari 100 x permenit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, reflek
iritabilitas tidak ada. Pada asphyksia dengan henti jantung yaitu bunyi jantung fetus
menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung
menghilang post partum, pemeriksaan fisik sama pada asphyksia berat.

2.4 Patofisiologi
2.5 Woc

2.6 Penanganan Pada Asfiksia


Dilaporkan di Australia, kejadian asfiksia pada orang dewasa sidebabkan oleh
intosikasi alkohol/ efek sedasi, epilepsi, parkinson atau penyakit degeneratif
neurologi, dan spinal injuri yang menyebabkan obstruksi jalan nafas (Byard, Wick
and Gilbert, 2008).
Asphyxia occurs when inadequate amounts of oxygen are supplied to the
tissues and organs to maintain normal metabolic processes. Oxygen delivery to the
cells may be blocked at a variety of stages involving its intake, transport, and uptake.
Oxygen deprivation may be caused by low environmental oxygen levels, decreased
transfer from the air, reduced transport from the lungs, and inadequate transfer
across cell membranes (Byard, 2016)
Penanganan pada asfiksia
Penanganan pada asfiksia memerlukan diagnosis serta tindakan yang cepat
dan tepat, sehingga disimpulkan bahwa kasus asfiksia merupakan kasus gawat
darurat. Seperti pada kasus-kasus kegawatdaruratan lainnya, penanganan difokuskan
pada airway breathing dan circulation hingga kondisi pasien stabil, setelah itu
dilanjutkan pada pemonitoran berkala dan perawatan kritis yang biasanya dilakukan
di ruang rawat intensif.
1. Airway + c-spine control
 Stabilisasikan servikal apabila dicurigai terdapat fraktur
 Priksa jalan nafas, dengan atau tanpa menggunakan alat (jaw thrust, finger
swap, atau menggunakan alat mouth gag)

 Apabila terjadi sumbatan jalan nafas, bebaskan terlebih dahulu, dapat


dengan suction, pemberian orofaringal tube, ataupun intubasi tracheal.
Edema jalan napas yang berkembang secara progresif yang disebabkan
oleh trauma inhalasi merupakan salah satu indikasi utama intubasi
endotrakeal.
Laryngoscope berbentuk anatomis yang disertai dengan saluran pemandu
intubasi, memungkinkan intubasi dicapai di bawah kontrol visual.
Perangkat ini memiliki sumber cahaya dan gambaran visual (Black, 2007)

 Kaji suara nafas, munculnya suara nafas tambahan menandakan adanya


obstruksi, Berikan nebulisasi bronkodilator dan kortikosteroid apabila
diperlukan.
 Nebulasi heparin dan antitrombin manusia rekombinan (rhAT) secara
signifikan meningkatkan fungsi paru dengan mengurangi sumbatan jalan
nafas. Namun, heparin yang mengikat antitrombin menghambat efek anti-
inflamasi antitrombin. Kortikosteroid intravena dapat diberikan untuk
mengurangi peradangan atau edema pada jalan nafas (Rehberg et al.,
2009),
2. Breathing (oxygenation & ventilation)
 Kaji dan pastikan keadekuatan oksigenasi dan ventilasi. Perhatikan
frekuensi nafas, gerakan dada atau pola pernafasan, saturasi oksigen, dan
jika diperlukan cek Analisa Gas Darah.
 Pada asfiksia berikan oksigen dalam konsentrasi tinggi, namun perlu
perhatikan apabila asfiksia disebabkan oleh ARDS dan PPOK, pemberian
oksigen konsentrasi tinggi justru berbahaya.
 Pada kondisi pasien dengan hasil Analisa Gas darah yang buruk atau tanda
klinis buruk, sangat dibutuhkan alat ventilator mekanik.
3. Circulation
 Monitor ketat hemodinamik pasien, pada kasus-kasus hipoksemia akibat
asfiksi dapat menyebabkan arrest.
Obat-obatan emergency sangat penting untuk disiapkan dekat dengan
pasien.
4. Penanganan lain
Pada asfiksia yang disebabkan oleh keracunan CO Rekomendasi pengobatan
terkini meliputi penghentian paparan, pemberian oksigen 100% dan perawatan
suportif. Hyperbaric oxygenation therapy (HBO) kadang-kadang digunakan
untuk mendorong perpindahan CO yang cepat dari hemoglobin dan untuk
mengurangi durasi keadaan hipoksia (Rehberg et al., 2009).
Penanganan pada asfiksia memerlukan diagnosis serta tindakan yang cepat dan
tepat, sehingga disimpulkan bahwa kasus asfiksia merupakan kasus gawat darurat.
Seperti pada kasus-kasus kegawatdaruratan lainnya, penanganan difokuskan pada
airway breathing dan circulation hingga kondisi pasien stabil, setelah itu dilanjutkan
pada pemonitoran berkala dan perawatan kritis yang biasanya dilakukan di ruang
rawat intensif.
1. Airway + c-spine control
 Stabilisasikan servikal apabila dicurigai terdapat fraktur
 Periksa jalan nafas, dengan atau tanpa menggunakan alat (jaw thrust, finger
swap, atau menggunakan alat mouth gag)
 Apabila terjadi sumbatan jalan nafas, bebaskan terlebih dahulu, dapat dengan
suction, pemberian orofaringal tube, ataupun intubasi tracheal.
 Edema jalan napas yang berkembang secara progresif yang disebabkan oleh
trauma inhalasi merupakan salah satu indikasi utama intubasi endotrakeal.
 Laryngoscope berbentuk anatomis yang disertai dengan saluran pemandu
intubasi, memungkinkan intubasi dicapai di bawah kontrol visual. Perangkat ini
memiliki sumber cahaya dan gambaran visual (Black, 2007)
 Kaji suara nafas, munculnya suara nafas tambahan menandakan adanya
obstruksi, Berikan nebulisasi bronkodilator dan kortikosteroid apabila
diperlukan.
 Nebulasi heparin dan antitrombin manusia rekombinan (rhAT) secara signifikan
meningkatkan fungsi paru dengan mengurangi sumbatan jalan nafas. Namun,
heparin yang mengikat antitrombin menghambat efek anti-inflamasi antitrombin.
Kortikosteroid intravena dapat diberikan untuk mengurangi peradangan atau
edema pada jalan nafas (Rehberg et al., 2009).
2. Breathing (oxygenation & ventilation)
 Kaji dan pastikan keadekuatan oksigenasi dan ventilasi. Perhatikan frekuensi
nafas, gerakan dada atau pola pernafasan, saturasi oksigen, dan jika diperlukan
cek Analisa Gas Darah.
 Pada asfiksia berikan oksigen dalam konsentrasi tinggi, namun perlu perhatikan
apabila asfiksia disebabkan oleh ARDS dan PPOK, pemberian oksigen
konsentrasi tinggi justru berbahaya.
 Pada kondisi pasien dengan hasil Analisa Gas darah yang buruk atau tanda klinis
buruk, sangat dibutuhkan alat ventilator mekanik.
3. Circulation
 Monitor ketat hemodinamik pasien, pada kasus-kasus hipoksemia akibat asfiksi
dapat menyebabkan arrest.
 Obat-obatan emergency sangat penting untuk disiapkan dekat dengan pasien.
4. Penanganan lain
Pada asfiksia yang disebabkan oleh keracunan CO Rekomendasi pengobatan
terkini meliputi penghentian paparan, pemberian oksigen 100% dan perawatan
suportif. Hyperbaric oxygenation therapy (HBO) kadang-kadang digunakan untuk
mendorong perpindahan CO yang cepat dari hemoglobin dan untuk mengurangi
durasi keadaan hipoksia (Rehberg et al., 2009).
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Tanggal MRS : Jam Masuk :
Tanggal Pengkajian : No. RM :
Jam Pengkajian : Diagnosa :
IDENTITAS
1. Nama Pasien :
2. Umur :
3. Suku/Bangsa :
4. Pendidikan :
5. Pekerjaan :
6. Alamat :
7. Biaya :

KELUHAN UTAMA
Keluhan Utama : sesak napas, sianosis, cuping hidung, retraksi dada,

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Riwayat Penyakit Sekarang :

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


1. Pernah Dirawat : Ya Tidak Kapan :
Diagnosa : ……
2. Riwayat Penyakit Kronik Dan Menular : Ya Tidak
Jenis : ………………
Riwayat Kontrol : ………
Riwayat Penggunaan Obat : ………
3. Riwayat Alergi : ………………………
Obat Ya Tidak Jenis : ………
Makanan Ya Tidak Jenis : ………
Lain-Lain Ya Tidak Jenis : ………
4. Riwayat Operasi : Ya Tidak
- Kapan :
- Jenis Operasi :
5. Lain-Lain :

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Ya Tidak
Jenis:
Genogram:

PERILAKU YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN Masalah Keperawatan :


Perilaku Sebelum Sakit Yang Mempengaruhi Kesehatan :
Alkohol Ya Tidak
Keterangan
Merokok Ya Tidak
Keterangan
Obat Ya Tidak
Keterangan
Olah Raga Ya Tidak
Keterangan

OBSERVASI DAN PEMERIKASAAN FISIK


1.
PEMERIKSAAN PENUNJANG (Laboratorium, Radiologi, EKG, USG, dll)
TERAPI

DATA TAMBAHAN LAIN

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
2. Gangguan pertukaran gas
3.

III. INTERVENSI
Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
1. Ketidakefektifan Status pernapasan ; patensi Manajemen nyeri
bersihan jalan jalan napas Independen
napas yang - Mengidentifikasi - Dorong klien untuk
berhubungan dan melaporkan nyeri.
dengan eksudat di mendemonstrasika - Catat laporan nyeri,
dalam alveoli n perilaku untuk termasuk lokasi, durasi
mencapai bersihan dan intensitas (skala 0 –
jalan napas. 10 atau skala yang mirip)
- menun - Tinjau factor yang
memperparah atau
mengurangi nyeri.
- Catat isyarat nyeri
nonverbal, seperti
gelisah, enggan bergerak,
menahan abdomen,
takikardia dan
diaphoresis. Periksa
ketidakcocokan antara
isyarat verbal dan
nonverbal.
- Pantau warna kulit dan
suhu tubuh serta tanda
vital.
- Beri tindakan
kenyamanan seperti
mengusap punggung dan
reposisi.
- Dorong penggunaan
teknik relaksasi seperti
imajinasi terbimbing dan
visualisasi. Berikan
aktivitas pengalihan.
Kolaboratif
- Beri medikasi sesuai
indikasi, sebagai contoh:
analgesic, antikoligernik
dan supositoria anodin.
1. Ketidakefektifan Status pernapasan : Pemantauan pernapasan
pola nafas - Mempertahankan pola Independen
berhubungan dengan napas efektif - Auskultasi bunyi napas
distensi abdomen - Tidak mengalami dipsnea dengan memperhatikan
atau sianosis, dengan bunyi daerah penurunan atau
napas dan sinar – X dada tidak ada ventilasi dan
jelas atau perbaikan gas adanya bunyi
darah arteri tambahan
- Catat frekuensi dan
kedalaman napas,
pemakaian otot
tambahan, peningkatan
upaya pernapasan dan
adanya dispneu ansieas
dan sianosis
- Kaji perubahan tingkst
kesadaran
- Selidiki laporan nyeri
dada
Kolabiratif
- Pantau dan buat grafik
GDA
- Isap jalan napas sesuai
indikasi
- Beri oksigen tambahan
humidifikasi lewat alat
yang tepat
- Beri obat – obatan
sesuai indikasi
2. Resiko Perfusi jaringan : perifer Kewaspadaan sirulasi
ketidakefektifan Mempertahankan perfusi Independen
perfusi jaringan jaringan adekuat yang ditandai - Pantau TTV. Palpasi
perifer dengan denyut nadi perifer denyt nadi perifer
teraba, kulit hangat dan kering dengan mencatat
dan penyembuhan luka tepat kekuatan dan
Factor resiko : edema waktu kesamaannya
jaringan
- Lakukan pengkajian
neurovascular berkala
- Inspeksi alat drainase
- Investigasi laporan
nyeri persisten
- Anjurkan dan bantu
ambulasi dini
Kolaboratif
- Beri cairan IV
- Beri antikoagulan dosis
rendah
3. Ketidakseimbangan Status nutrisi : Manajemen nutrisi
nutrisi : kurang dari - Melaporkan mual dan Independen
kebutuhan muntah mereda - Kaji badan, usia,
- Menunjukan kemajuan massa tubuh,
ke kenaikan berat kekuatan dan
badan yang diinginkan tingkat aktivitas
atau mempertahankan serta istirahat.
berat badan yang - Kaji distensi
sesuai individu abdomen, sendawa
yang sering,
menahan, dan
keengganan untuk
bergerak.
- Auskultasi bising
usus dengan
memperlihatkan
ketiadaan bising
usus dan bising usus
hiperaktif.
- Timbang berat
badan yang sering
- Beri hygiene oral

Kolaboratif
- Pantau BUN,
protein, albumin,
glukosa,
keseimbangan
nitrogen sesuai
indikasi
- Berikan enteral atau
parenteral sesuai
indikasi
- Tingkatkan diet
sesuai indikasi.
BAB 4
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
1.

4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Aquila, I. et al., 2017. Could the Screening for Correct Oral Health Reduce the Impact of
Death Due to Bolus Asphyxia in Adult Patients? A Forensic Case Report. Medical
Hypotheses. Available at: https://doi.org/10.1016/j.mehy.2017.10.018.
Bucholtz, A., 2015. Death Investigation: An Introduction to Forensic Pathology for the
Nonscientist.
Byard, R.W., 2016. Asphyxia: Pathological Features. Encyclopedia of Forensic and Legal
Medicine, 1, pp.252–260. Available at:
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/B9780128000342000318.
Byard, R.W., Wick, R. & Gilbert, J.D., 2008. Conditions and circumstances predisposing to
death from positional asphyxia in adults. Journal of Forensic and Legal Medicine,
15(7), pp.415–419.
Black, J. J. M. (2007) ‘Emergency use of the Airtraq laryngoscope in traumatic asphyxia:
case report’, Emergency Medicine Journal, 24(7), pp. 509–510. doi: 10.1136/emj
Ciprandi, B. et al., 2017. Mechanical asphyxia by accidental compression of the neck during
a theft: A case report. Forensic Science International, 278, pp.e24–e26. Available at:
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0379073817302712.
Herrera, C.A. & Silver, R.M., 2016. Perinatal Asphyxia from the Obstetric Standpoint:
Diagnosis and Interventions. Clinics in Perinatology, 43(3), pp.423–438.
Rainaldi, M.A. & Perlman, J.M., 2016. Pathophysiology of Birth Asphyxia. Clinics in
Perinatology, 43(3), pp.409–422. Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/j.clp.2016.04.002.
Rehberg, S. et al. (2009) ‘Pathophysiology, management and treatment of smoke inhalation
injury’, Expert Rev Respir Med., 3(3), pp. 1–27. doi: 10.1586/ERS.09.21.
Black, J. J. M. (2007) ‘Emergency use of the Airtraq laryngoscope in traumatic asphyxia:
case report’, Emergency Medicine Journal, 24(7), pp. 509–510. doi:
10.1136/emj.2006.040469.
Byard, R. W. (2016) ‘Asphyxia : Pathological Features’, 1, pp. 252–260. doi: 10.1016/B978-
0-12-800034-2.00031-8.
Byard, R. W., Wick, R. and Gilbert, J. D. (2008) ‘Conditions and circumstances predisposing
to death from positional asphyxia in adults’, Journal of Forensic and Legal Medicine,
15(7), pp. 415–419. doi: 10.1016/j.jflm.2008.01.001.
Rehberg, S. et al. (2009) ‘Pathophysiology, management and treatment of smoke inhalation
injury’, Expert Rev Respir Med., 3(3), pp. 1–27. doi: 10.1586/ERS.09.21.
Ciprandi, B. et al., 2017. Mechanical asphyxia by accidental compression of the neck during
a theft: A case report. Forensic Science International, 278, pp.e24–e26. Available at:
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0379073817302712.
Herrera, C.A. & Silver, R.M., 2016. Perinatal Asphyxia from the Obstetric Standpoint:
Diagnosis and Interventions. Clinics in Perinatology, 43(3), pp.423–438.
Rainaldi, M.A. & Perlman, J.M., 2016. Pathophysiology of Birth Asphyxia. Clinics in
Perinatology, 43(3), pp.409–422. Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/j.clp.2016.04.002.

Anda mungkin juga menyukai