Abstrak
Sejak deskripsi pertama, acute respiratory distress syndrome (ARDS) telah
diakui sebagai masalah klinis utama pada kedokteran paru. Dari Juli 2015 sampai
Juli 2016 hampir 300 artikel terindeks diterbitkan mengenai ARDS. Tinjauan ini
merangkum hanya delapan dari mereka sebagai gambaran mengenai relevansi
klinis : definisi dan epidemiologi, faktor resiko, pencegahan dan pengobatan.
Penerapan kriteria definisi sangat penting, namun berbagai macam keadaan
skenario mendorong perkembangan variabilitas geografis dan membedakan data
hasilnya. Studi prospektif kohort multisenter internasional besar yang mencakup
50 negara di lima benua melaporkan bahwa ARDS kurang terdiagnosis
(underdiagnosed) dan terdapat potensi perbaikan dalam manajemennya.
Selanjutnya data epidemiologis dari negara berpendapatan rendah menunjukkan
bahwa revisi dari definisi terbaru ARDS diperlukan untuk memperbaiki
pengenalan ARDS dan hasil klinis globalnya. Sebagai tambahan dari faktor resiko
ARDS yang sudah dikenal, paparan terhadap kadar ozon yang tinggi dan vitamin
D yang rendah dalam plasma ditemukan menjadi faktor predisposisi keadaan.
Strategi pencegahan berbasis obat tetap menjadi tantangan besar, karena dua
percobaan baru-baru ini terhadap aspirin dan statin gagal untuk mengurangi
insidensi ARDS pada pasien beresiko. Terapi modifikasi penyakit paru sedang
ditunggu: beberapa penelitian terbaru memberikan harapan untuk memperbaiki
prognosis ARDS, namun mortalitas dan komplikasi yang melumpuhkan masih
tinggi pada survivor di unit perawatan intensif.
Sejak deskripsi pertama oleh Ashbaugh et al1 pada tahun 1967, acute
repiratory distress syndrome (ARDS) telah dikenal luas sebagai masalah klinis
1
utama di seluruh dunia, membawa morbiditas tinggi dan beban kematian.2-4
Meksipun definisi Berlin baru-baru ini5 mungkin jauh lebih baik daripada
kejadian ARDS berkisar 1,5 kasus per 100.0002 sampai mendekati 79 kasus per
dibandingkan USA.6 Selain itu, penelitian dari Brazil melaporkan angka insidensi
mortalitas di rumah sakit dalam beberapa studi observasional2-4,8-10. Hal ini dapat
yang besar (the Lung Safe Trial) mengevaluasi kejadian ARDS di 459 unit
bandingkan dengan diagnosis yang dibuat oleh dokter yang memeriksa. Di antara
4.499 pasien yang mengalami gagal nafas hipoksemia akut, ARDS timbul pada
10,4% dari total admisi ICU dan 23,4% pasien membutuhkan ventilasi mekanis.
Oceania, dan Eropa, dibandingkan dengan Ameriksa Selatan, Asia dan Afrika.
Secara keseluruhan, 30% pasien memiliki ARDS ringan, 46,6% ARDS sedang
2
dan sisanya 23,4% memiliki ARDS berat berdasarkan kriteria Berlin. Pengenalan
klinis ARDS hanya sekitar 34% pada hari ke-1, dan 60,2% pada akhir masa
rawatan ICU, dan seringkali tertunda dan lebih rendah dalam kasus ringan
dibandingkan dengan kasus yang parah13. Titik akhir sekunder percobaan Lung
volume tidal >8 ml.kg-1 berat badan ideal tanpa pengukuran tekanan plateau) dan
keparahan ARDS memburuk pada 19% pasien, angka kematian di rumah sakit
adalah 40%, dan angka mortalitas meningkat secara paralel dengan peningkatan
tekanan driving (Pdataran tinggi PEEPekstrinsik) dan keparahan ARDS (46% ARDS
berat)13. Selain beberapa kritik mengenai sumber bias yang mungkin timbul pada
definisi ARDS, Rivielio et al17 menyelidiki insidensi ARDS di sebuah rumah sakit
Universitas Rwanda yang memegang sebagian besar ventilator mekanik yang ada
3
penelitian ini dengan jelas menunjukkan bahwa definisi Berlin tidak sesuai
dengan kondisi sumber daya terbatas dengan akses yang sulit mengenai data
analisa gas darah arteri, radiografi dada dan ventilator mekanik. Penulis
kerangka waktu yang sama 1 minggu dan asal kriteria edema definisi Berlin.
dengan menggunakan rasio saturasi oksigen arteri diukur dengan pulse oksimetri
(SpO2) / fraksi oksigen inspirasi (FiO2) < 315 dengan SpO2 < 97%. Kriteria ini
didasarkan pada studi Rice et al.20 yang menunjukkan bahwa rasio SpO2/FiO2 235-
315, sesuai rasio tekanan oksigen arteri/FiO2 200 dan 300, masing-masing dengan
sensibilitas dan spesifisitas yang baik. Opasitas thorax bilateral diveluasi melalui
B-lines dan atau konsolidasi paru tanpa efusi pleura di sedikitnya satu sisi dada
dianggap konsisten dengan opasitas paru bilateral. Studi Kigali dilakukan secara
ultrasonografi paru setiap hari. Kriteria eksklusi adalah gagal jantung berdasarkan
penelaah grafik dan ekokardiografi bila tersedia. Dengan jumlah pasien skrining
1.046 pasien, 88 dari 126 pasien hipoksia memiliki rasio SpO2 dan FiO2 <315, dan
Pada populasi Afrika, penyebab paling umum ARDS adalah infeksi, pembedahan
dan trauma. Hanya 30,9% pasien yang dirawat di ICU dan semuanya dilakukan
4
ventilasi mekanis. Dalam percobaan Kigali, usia rata-rata relatif rendah (37 tahun)
dan tingkat kematian sebesar 50%17. Tak satupun dari pasien ini dapat
5
Faktor Resiko
secara klinis dengan kegagalan pernafasan akut yang terjadi de novo sebagai hasil
kronik dan perokok aktif atau pasif telah dikaitkan dengan peningkatan insidensi
ditetapkan. Ware et al25 meneliti efek dari paparan ozon jangka panjang pada
pasien yang dikenal memiliki faktor resiko ARDS dan tinggal dalam jarak 50 km
dari salah satu dari 163 stasiun pemantau kualitas udara di area luas yang
mencakup delapan negara bagian di Nashville (TN, USA). Data mengenai kadar
rata-rata harian dari ozon, nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida dan partikel
dengan cut-off 50%, diameter aerodinamik 10 m dan 2,5 m dicatat setiap hari
dan paparan jangka panjang diperkirakan. Paparan jangka panjang terhadap ozon
ditemukan sebagai faktor resiko independen untuk ARDS untuk setiap kelompok
(OR 1,58, 95% CI 1,27-1,96) dan kejadian ARDS meningkat sesuai dengan
peningkatan paparan ozon (p<0,001). Secara khusus, resiko ARDS lebih tinggi
pada sub-kelompok pasien yang pernah mengalami trauma dan saat ini perokok.
Sebaliknya peran paparan jangka panjang NO2 dan polutan lain terhadap ARDS
belum dikonfirmasi. Khususnya, tingkat ozon yang tercatat selalu ditemukan lebih
terbatas pada satu wilayah geografis dan tingkat polutan tidak diukur secara
6
langsung), hal ini jelas terlihat bahwa polusi udara dapat memainkan peran yang
terlibat dalam memodulasi sinyal terhadap fungsi imun bawaan dan adaptif26, dan
sehat. Kadar plasma 25(OH)D3, 1,25 (OH)2-D3 dan vitamin D binding protein
kadar <20 nmol.L-1 sebagai defisensi berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
semua pasien dengan ARDS dan 96% pasien oesophagectomy yang tidak
dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Resiko post operatif terhadap ARDS
adalah 37,5% pada pasien dengan defisiensi berat, dimana resiko post operatif
terhadap ARDS dengan defisiensi ringan adalah lebih rendah yaitu 15%.
perbedaan antara pasien yang mengalami cedera paru post-operatif dan mereka
yang tidak. Kadar plasma 1,25(OH)2D3 lebih rendah pada pasien ARDS yang
masuk ke ICU dan meninggal serta pada pasien oesophagectomy yang menderita
7
vascular permeability index pada post operatif hari pertama, namun perubahan ini
pada pasien ARDS dan berkaitan dengan hasil yang buruk karena berperan dalam
vitamin D terhadap ARDS. Meskipun begitu, baik paparan ozon dan defisiensi
baik.
Peventif
Rata-rata onset ARDS adalah 2 hari setelah masuk rumah sakit. Dengan
demikian, kesempatan untuk pencegahan ARDS pada waktu yang sempit.
Beberapa penelitian observasional dan data eksperimental menunjukkan peran
preventif terapi antiplatelet yang berpotensial pada pasien berisiko tinggi ARDS.
Karena patogenesis ARDS mencakup serangkaian mekanisme yang tidak teratur
(misal: aktivasi trombosit maladaptif), dapat disimpulkan bahwa obat yang
ditargetkan pada mekanisme ini akan efektif dalam pencegahan dan pengobatan
ARDS.
Peran preventif aspirin dan statin telah dievaluasi ulang dalam dua
penelitian. KOR dkk. mempelajari peran pemberian aspirin secara dini pada
pasien yang berisiko ARDS dalam penelitian acak multikenter, double blind,
terkontrol plasebo. 400 pasien dewasa yang berisiko ARDS menurut skor prediksi
cedera paru-paru 4 diacak untuk menerima aspirin pada dosis 325 mg dalam
waktu 24 jam setelah masuk ke gawat darurat diikuti oleh 81 mg setiap hari
selama 7 hari, atau plasebo. Sebagian besar pasien beresiko sepsis atau
pneumonia. Hasil primer adalah pengembangan ARDS sesuai dengan kriteria
8
Berlin. Secara keseluruhan, 37 (9,5%) pasien mengembangkan ARDS, di
antaranya 20 (10,3%) berada dalam kelompok aspirin dan 17 (8,7%) berada pada
kelompok plasebo. Hasil sekunder, termasuk hari bebas ventilator ke rumah sakit
hari ke 28, ICU dan masa tinggal di rumah sakit, mortalitas 28 hari dan 1 tahun
dan kejadian kejadian buruk tidak berbeda antara kedua kelompok.
Sedangkan untuk statin, sebuah meta-analisis baru-baru ini mengevaluasi 13
penelitian (empat uji klinis acak (RCT) dan sembilan studi kohort), yang
diterbitkan antara 2007 dan 2015 dan mencakup total 12145 pasien dengan risiko
tinggi ARDS atau didiagnosis dengan penyakit akut. cedera paru / ARDS
Simvastatin dan rosuvastatin paling sering digunakan. Penilaian kualitas menilai
RCT dan studi kohort masing-masing tinggi dan sedang. > 9835 pasien dengan
risiko tinggi ARDS terdaftar dalam satu RCT dan lima studi kohort, menunjukkan
bahwa kejadian ARDS tidak berbeda antara statin dan kelompok plasebo (p =
0,10), dan pada akhirnya penggunaan sebelumnya statin tidak menurunkan
morbiditas ARDS. Data dari 3159 pasien termasuk dalam tiga RCT dan enam
studi kohort menunjukkan bahwa statin tidak mempengaruhi kematian ARDS.
Hasil serupa dilaporkan untuk hari bebas ventilator, indeks oksigenasi, ICU dan
lama tinggal di rumah sakit. Hasil negatif meta analisis ini tidak dapat dipungkiri,
walaupun beberapa keterbatasan harus dipertimbangkan: heterogenitas yang tinggi
dalam analisis morbiditas dan lamanya tinggal dalam studi kohort, molekul dan
durasi terapi ketatalaksanaan yang berbeda dan tindak lanjut yang singkat. waktu.
Meskipun demikian, baik aspirin dan statin gagal mencegah ARDS dalam uji coba
secara acak dengan waktu intervensi yang berbeda. Waktu intervensi tetap
menjadi tantangan utama uji pencegahan ARDS. Namun, sampai saat ini,
tampaknya ARDS tidak dapat dicegah.
Terapi
Tabel 2
Manajemen hipoksemia
Pemberian Oksigen Intubasi/ventilasi mekanik
Ventilasi nonmekanik pada ARDS
ringan atau tingkat intubasi (helmet
9
Manajemen Inflamasi lebih baik dari pada face mask)
(kortikosteroid) Perpanjang terapi obat metilprednisolon
dosis rendah (1 mg/kg/hari) sehingga
Manajemen cairan mempercepat perbaikan ARDS
Tujuan: tekanan vena sentral <4mmHg
Posisi Tubuh atau PAOP <8mmHg edema
konsumsi oksigen paru
konsumsi oksigen
Antipiretik, sedatif, analgesic, dan agen
paralisis
Inotropik untuk pengisian kapiler (bila
Terapi Suportif tidak ada edema paru)
Batasi tranfusi untuk mengatur Hb 7-9
g/dL
Vasodilator inhalasi (NO, prostasiklin,
dan prostaglandin E1) untuk
kesesuaian V/Q
Sedasi dan analgetik
Blok neuromuscular (jika parah)
Menitoring hemodinamik / atur via CVC
Nutrisi (enteral)
Kontrol glukosa
Preventif dan terapi VAP
Profilaksis DVT
Profilaksis gastrointestinal (stress ulcer)
PAOP: pulmonary arterial occlusion pressure; V/Q: ventilation/perfusion;
CVC: central venous catheter; VAP: ventilator-associated pneumonia;
DVT: deep vein thrombosis.
Tujuan terapi ARDS ialah suportif, dan mencakup paparan terapi pada tabel
2. Secara khusus, ventilasi mekanis invasif dengan strategi perlindungan paru
adalah pengobatan utama ARDS, walaupun intubasi jangka panjang dapat
menigkatkan resiko komplikasi, seperti ventilator-associated pneumonia (VAP),
10
penyakit delirium dan penyakit kritis myopathy dan neuropati. Ventilasi
noninvasif dan penerapan tekanan udara positif kontiniu dipertimbangkan pada
ARDS ringan, walaupun penggunaannya pada kegagalan pernapasan akut
hipoksemia masih kontroversial dan pilihan alat interface masih diperdebatkan.
Untuk mengatasi beberapa masalah ini, PATEL dkk. mengevaluasi
penggunaan helm dibanding face mask dalam uji coba single-center secara acak
pada pasien dewasa yang membutuhkan face mask NIV selama 8 jam. Pasien
diacak baik untuk melanjutkan masker wajah NIV dengan ventilator sirkuit
anggota badan tunggal (kelompok kontrol) atau beralih ke ventilasi helm
(kelompok intervensi) melalui ventilator ICU dalam mode pressure support atau
CPAP. Dari 740 pasien skrining, 83 diacak ke kelompok face mask atau kelompok
helm. Kebanyakan pasien immunocompromised akibat kanker atau transplantasi
dan sepertiga memiliki pneumonia pada kedua kelompok
Dibandingkan dengan kelompok kontrol, nilai PEEP pada pasien dengan
ventilasi helm lebih tinggi dan menurunkan FiO2, yang menunjukkan
pengurangan laju pernafasan yang lebih jelas. Data primer (penurunan tingkat
intubasi) dicapai lebih signifikan pada kelompok intervensi (61,5% berbanding
18,2%, perbedaan absolut -43,3%; p <0,001). Kegigihan kegagalan pernapasan
meskipun dukungan ventilasi non-invasif adalah penyebab intubasi paling sering
pada kelompok kontrol, sedangkan kemerosotan status neurologis menentukan
sebagian besar intubasi pada kelompok intervensi. Hasil sekunder (yaitu hari
bebas ventilator, lama tinggal ICU, mortalitas 90 hari, tapi tidak tinggal di rumah
sakit), lebih rendah pada kelompok helm (selama 90 hari kematian 56,4%
berbanding 34,1%, perbedaan mutlak -22,3%; p = 0,02). Minat dalam penelitian
ini muncul dari demonstrasi bahwa NIV yang efektif dapat disampaikan oleh helm
bahkan di ARDS sedang - berat. Meskipun demikian, beberapa keterbatasan harus
dipertimbangkan karena berbagai perangkat ventilasi yang digunakan dalam
kedua kelompok, sifat penelitian yang tidak terbaca dan kesimpulan awal
berdasarkan kriteria kemanjuran yang telah ditentukan sebelumnya. Semua bias
yang mungkin terjadi serta bersama dengan kesulitan untuk memperluas
pengalaman satu pusat dapat menyebabkan overestimasi perbedaan hasil antara
kelompok.
11
Pengobatan tambahan lainnya untuk pasien ARDS yang mengalami
perdebatan dalam dua dekade terakhir adalah penggunaan glukokortikoid
sistemik. Peradangan paru dan sistemik yang terdefinisi memainkan peran penting
dalam patogenesis dan perkembangan ARDS. Telah terbukti dalam penelitian
eksperimental dan klinis bahwa penggunaan kortikosteroid berkepanjangan dapat
secara positif memodifikasi jalur inflamasi yang berubah dan membantu
perbaikan paru. Namun, hasil uji coba dan meta-analisis acak masih berbeda,
terutama karena skema terapeutik yang berbeda yang digunakan dalam penelitian
yang berbeda (berbagai obat, dosis, durasi dan waktu inisiasi pengobatan dan
peradangan). Namun, konsensus didapatkan bahwa jika penanganan
glukokortikoid dimulai, hal itu harus dimulai sebelum hari ke 14 ARDS.
Meduri et al. menampilkan sebuah metaanalisis dari dua rangkap hasil
analisis. Analisis pertama data individual pasien dari empat RCT dimana
menginvestigasi pemanjangan durasi terapi metilprednisolon (7 hari) 1-2
mg/kg/hari pada 322 pasien (awal diinisasi dengan 72 jam pada 118 pasien, dan
kemudian 5-7 hari pada 204 pasien) dengan metodologi intention-to-treat.
Analisis kedua terdiri dari percobaan meta-analisis dari analisis data individual
pasien dan data tambahan dari empat RCT yang telah menyelidiki penggunaan
hidrokortison 7 hari pada awal ARDS, secara keseluruhan mencakup 569 pasien.
Pada analisis data individual pasien hasil primer berhasil menghilangkan ventilasi
mekanik pada hari studi ke-28. Dibandingkan dengan kelompok plasebo,
kelompok metilprednisolon memiliki lebih sedikit pasien yang meninggal
sebelum mencapai pernafasan tanpa bantuan (12% berbanding 29%), lebih banyak
pasien yang mencapai pernafasan tanpa bantuan (80% berbanding 50%), lebih
sedikit pasien yang hidup pada hari ke 28 yang tetap pada ventilasi mekanis awal
(8% berbanding 21%) dan lebih banyak pasien yang dikeluarkan hidup dari ICU
(75% versus 49%) (semua nilai p <0,001). Pasien dalam kelompok
metilprednisolon mencapai pernapasan tanpa bantuan lebih awal dan memiliki
durasi ventilasi mekanis yang lebih pendek. Tidak ada perbedaan yang jelas antara
awal dan akhir pengobatan dimulai, sedangkan pasien yang mengalami perubahan
cepat pemberian obat setelah pasien mencapai pernafasan tanpa bantuan
menunjukkan risiko lebih besar untuk kembali ke ventilasi mekanis. Hasil
12
sekunder yakni hari bebas ventilasi mekanis, hari bebas ICU, kematian di rumah
sakit, waktu sampai meninggal dengan keluar dari rumah sakit atau pada hari ke
28 dan komplikasi infeksi. Data ini mendukung pengobatan steroid, dengan
tingkat bukti yang tinggi untuk durasi pernapasan awal dan khususnya hasil hari
bebas ventilator. Dalam percobaan meta-analisis, pengobatan glukokortikoid
dikaitkan dengan peningkatan bebas ventilator mekanik dan bebas ICU dan
dengan penurunan risiko kematian di rumah sakit (rasio risiko kematian total 0,52,
CI 95% 0,33-0,82). Risiko infeksi nosokomial tidak meningkat dengan
pengobatan glukokortikoid. Meskipun kurang besarnya uji klinis secara acak,
meta-analisis memperkuat peran dosis rendah berkepanjangan dan glukokortikoid
yang turun perlahan dalam pengelolaan ARDS.
Kesimpulan
Pada tahun lalu, beberapa makalah menarik diterbitkan mengenai
epidemiologi, faktor risiko baru, pencegahan dan pengobatan ARDS. Meskipun
kemajuan dalam terapi suportif, ARDS tetap seringkali salah diagnosa, sehingga
membawa beban tinggi dalam hal morbiditas dan mortalitas pasien serta biaya
kesehatan. Meskipun banyak literatur mengenai patofisiologi dan pengobatan
sindrom ini pada percobaan dengan manusia dan hewan, implikasi dalam praktik
klinis masih buruk. Arah penelitian di masa depan harus berfokus pada
identifikasi mekanisme kerentanan, pencegahan primer dan terapi awal, serta
terapi farmakologis yang ditujukan untuk mengatasi kondisi berbahaya ini.
13