Anda di halaman 1dari 13

Acute Respiratory Stress Syndrome (ARDS)

Sindroma Gagal Nafas Akut


Marco Confalonieri, Francesco Salton dan Francesco Fabiano

Abstrak
Sejak deskripsi pertama, acute respiratory distress syndrome (ARDS) telah
diakui sebagai masalah klinis utama pada kedokteran paru. Dari Juli 2015 sampai
Juli 2016 hampir 300 artikel terindeks diterbitkan mengenai ARDS. Tinjauan ini
merangkum hanya delapan dari mereka sebagai gambaran mengenai relevansi
klinis : definisi dan epidemiologi, faktor resiko, pencegahan dan pengobatan.
Penerapan kriteria definisi sangat penting, namun berbagai macam keadaan
skenario mendorong perkembangan variabilitas geografis dan membedakan data
hasilnya. Studi prospektif kohort multisenter internasional besar yang mencakup
50 negara di lima benua melaporkan bahwa ARDS kurang terdiagnosis
(underdiagnosed) dan terdapat potensi perbaikan dalam manajemennya.
Selanjutnya data epidemiologis dari negara berpendapatan rendah menunjukkan
bahwa revisi dari definisi terbaru ARDS diperlukan untuk memperbaiki
pengenalan ARDS dan hasil klinis globalnya. Sebagai tambahan dari faktor resiko
ARDS yang sudah dikenal, paparan terhadap kadar ozon yang tinggi dan vitamin
D yang rendah dalam plasma ditemukan menjadi faktor predisposisi keadaan.
Strategi pencegahan berbasis obat tetap menjadi tantangan besar, karena dua
percobaan baru-baru ini terhadap aspirin dan statin gagal untuk mengurangi
insidensi ARDS pada pasien beresiko. Terapi modifikasi penyakit paru sedang
ditunggu: beberapa penelitian terbaru memberikan harapan untuk memperbaiki
prognosis ARDS, namun mortalitas dan komplikasi yang melumpuhkan masih
tinggi pada survivor di unit perawatan intensif.

Definisi Dan Epidemiologi

Sejak deskripsi pertama oleh Ashbaugh et al1 pada tahun 1967, acute

repiratory distress syndrome (ARDS) telah dikenal luas sebagai masalah klinis

1
utama di seluruh dunia, membawa morbiditas tinggi dan beban kematian.2-4

Meksipun definisi Berlin baru-baru ini5 mungkin jauh lebih baik daripada

sebelumnya, masih terdapat variabilitas yang tinggi baik pada epidemiologi

ataupun hasil klinis dalam berbagai keadaan perawatan kesehatan.4 Faktanya,

kejadian ARDS berkisar 1,5 kasus per 100.0002 sampai mendekati 79 kasus per

100.0003, dengan negara-negara Eropa melaporkan insidensi yang lebih rendah

dibandingkan USA.6 Selain itu, penelitian dari Brazil melaporkan angka insidensi

berkisar 1,8 31 kasus per 100.000.7,8

Meskipun tingkat kelangsungan hidup secara keseluruhan mengalami

perbaikan9-10, terdapat perbedaan penting ketika mempertimbangkan angka

mortalitas di rumah sakit dalam beberapa studi observasional2-4,8-10. Hal ini dapat

dijelaskan dengan perbedaan faktor resiko, ketersediaan alat diagnostik,

kemampuan mengenai ARDS dan beberapa bias seleksi yang mempengaruhi

klinis percobaan12. Baru-baru ini, sebuah penelitian observasional internasional

yang besar (the Lung Safe Trial) mengevaluasi kejadian ARDS di 459 unit

perawatan intensif (ICU) di 50 negara13. Untuk menilai pengenalan klinis ARDS

berdasarkan definisi terakhir, setiap pasien yang diinklusi terhadap percobaan

dibuat melalui alogaritma komputer mengikuti kritera Berlin5, dan kemudian di

bandingkan dengan diagnosis yang dibuat oleh dokter yang memeriksa. Di antara

4.499 pasien yang mengalami gagal nafas hipoksemia akut, ARDS timbul pada

10,4% dari total admisi ICU dan 23,4% pasien membutuhkan ventilasi mekanis.

Tingkat insidensi yang lebih tinggi dilaporkan terjadi di Amerika Utara,

Oceania, dan Eropa, dibandingkan dengan Ameriksa Selatan, Asia dan Afrika.

Secara keseluruhan, 30% pasien memiliki ARDS ringan, 46,6% ARDS sedang

2
dan sisanya 23,4% memiliki ARDS berat berdasarkan kriteria Berlin. Pengenalan

klinis ARDS hanya sekitar 34% pada hari ke-1, dan 60,2% pada akhir masa

rawatan ICU, dan seringkali tertunda dan lebih rendah dalam kasus ringan

dibandingkan dengan kasus yang parah13. Titik akhir sekunder percobaan Lung

Safe meliputi manajemen ventilator dan penggunaan intervensi tambahan

(blokade neuromuskular, prone position, manuver rekruitmen, ektrakorpoeral

oksigenasi membran, vasodilator inhalasi dan kortikosteroid). Pasien ARDS

biasanya undertreated menurut bukti ilmiah dan praktis medis14-16 : penggunaan

veintilasi mekanik optimal adalah rendah (82,6% pasien mendapatkan <12

cmH2O positif end-expiratory pressure (PEEP) dan 35% di ventilasi dengan

volume tidal >8 ml.kg-1 berat badan ideal tanpa pengukuran tekanan plateau) dan

bahkan perawatan tambahan kurang dimanfaatkan (pronasi 16%, kortikosteroid

23%, rekrutmen manuver 33% dan blokade neuromuskular 38%)13. Tingkat

keparahan ARDS memburuk pada 19% pasien, angka kematian di rumah sakit

adalah 40%, dan angka mortalitas meningkat secara paralel dengan peningkatan

tekanan driving (Pdataran tinggi PEEPekstrinsik) dan keparahan ARDS (46% ARDS

berat)13. Selain beberapa kritik mengenai sumber bias yang mungkin timbul pada

percobaan Lung Safe16, kamu sepenuhnya setuju dengan kesimpulan penulis

bahwa terdapat potensi untuk perbaikan dalam pengelolaan pasien ARDS13.

Dalam sebuah artikel kedua terbaru dalam bidang epidemiologi dan

definisi ARDS, Rivielio et al17 menyelidiki insidensi ARDS di sebuah rumah sakit

Universitas Rwanda yang memegang sebagian besar ventilator mekanik yang ada

di negara dengan >12 juta penduduk18. Epidemiologi ARDS di negara-negara

berpenghasilan rendah tidak pernah dilaporkan sebelumnya. Akan tetapi,

3
penelitian ini dengan jelas menunjukkan bahwa definisi Berlin tidak sesuai

dengan kondisi sumber daya terbatas dengan akses yang sulit mengenai data

analisa gas darah arteri, radiografi dada dan ventilator mekanik. Penulis

mengembangkan modifikasi kriteria berlin untuk mendefinisikan ARDS (Kigali

ARDS)17. Tabel 1 membandingkan definisi Berlin5, Kigali17 dan definisi

konsensus Amerika-Eropa sebelumnya19. Definisi ARDS Kigali mempertahankan

kerangka waktu yang sama 1 minggu dan asal kriteria edema definisi Berlin.

Persyaratan PEEP minimum di hapuskan, sedangkan hipoksemia dievaluasi

dengan menggunakan rasio saturasi oksigen arteri diukur dengan pulse oksimetri

(SpO2) / fraksi oksigen inspirasi (FiO2) < 315 dengan SpO2 < 97%. Kriteria ini

didasarkan pada studi Rice et al.20 yang menunjukkan bahwa rasio SpO2/FiO2 235-

315, sesuai rasio tekanan oksigen arteri/FiO2 200 dan 300, masing-masing dengan

sensibilitas dan spesifisitas yang baik. Opasitas thorax bilateral diveluasi melalui

penggunaan rutin ultrasonografi thorax, dan foto rontgen thorax dipertimbangkan

jika tersedia. Penggunaan ultrasonografi didukung oleh bukti-bukti sebelumnya21,

B-lines dan atau konsolidasi paru tanpa efusi pleura di sedikitnya satu sisi dada

dianggap konsisten dengan opasitas paru bilateral. Studi Kigali dilakukan secara

prospektif selama 6 minggu. Pasien yang ditemukan hipoksemia dilakukan

ultrasonografi paru setiap hari. Kriteria eksklusi adalah gagal jantung berdasarkan

penelaah grafik dan ekokardiografi bila tersedia. Dengan jumlah pasien skrining

1.046 pasien, 88 dari 126 pasien hipoksia memiliki rasio SpO2 dan FiO2 <315, dan

42 pasien (4%) akhirnya ditemukan memiliki ARDS berdasarkan definsi Kigali17.

Pada populasi Afrika, penyebab paling umum ARDS adalah infeksi, pembedahan

dan trauma. Hanya 30,9% pasien yang dirawat di ICU dan semuanya dilakukan

4
ventilasi mekanis. Dalam percobaan Kigali, usia rata-rata relatif rendah (37 tahun)

dan tingkat kematian sebesar 50%17. Tak satupun dari pasien ini dapat

diidentifikasi ARDS jika yang digunakan adalah definisi Berlin. Secara

keseluruhan, data ini menunjukkan bahwa ARDS masih kurang terdiagnosis

(underdiagnosed) dan kurang diobati (undertreated) di seluruh dunia, dan definisi

ARDS saat ini tidak adekuat untuk kebanyakan skenario klinis.

Tabel 1 Kriteria American-European Concensus Conference (AECC), Berlin dan


Kigali terhadap acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Definisi AECC Kriteria Berlin Modifikasi Kigali
dari kriteria Berlin
Timing Onset akut Dalam 1 minggu Dalam 1 minggu
setelah cedera yang setelah cedera yang
diketahui atau timbul diketahui atau timbul
gejala pernafasan baru gejala pernafasan baru
atau perburukan atau perburukan
Oksigenasi PaO2/FiO2 < 200 Ringan : PaO2/FiO2 SpO2 / FiO2 < 315
mmHg (disebut >200 mmHg s/d <300
sebagai acute lung mmHg
injury jika <300 Sedang : PaO2/FiO2
mmHg) >100 mmHg s/d <200
mmHg
Berat : PaO2/FiO2 <100
mmHg
Kebutuhan PEEP Tidak ada Minimal 5 cmH2O Tidak dibutuhkan
PEEP dibutuhkan PEEP, sama dengan
dengan ventilasi definisi AECC
mekanik invasif
Foto rontgen thorax Infiltrat bilatera Opasitas bilateral Opasitas bilateral
terlihat di radiografi tidak sepenuhnya tidak sepenuhnya
thorax bagian depan dijelaskan efusi, dijelaskan efusi,
kolaps paru/lobar, kolaps paru/lobar,
nodul berdasarkan nodul berdasarkan
foto rontgen dada atau foto rontgen dada atau
CT scan ultrasound
Asal edema Tekanan arteri wedge Gagal nafas tidak Gagal nafas tidak
pulmonal <18 mmHg sepenuhnya dapat sepenuhnya dapat
saat diukur atau tidak dijelaskan oleh gagal dijelaskan oleh gagal
ada tanda dari jantung atau kelebihan jantung atau kelebihan
hipertensi atrium kiri cairan (perlu penilaian cairan (perlu penilaian
objektif seperti objektif seperti
ekokardiografi, untuk ekokardiografi, untuk
mengeksklusi edema mengeksklusi edema
hidrostatik jika tidak hidrostatik jika tidak
ada faktor resiko) ada faktor resiko)
PEEP : positive end-expiratory pressure; PaO2 : tekanan parsial oksigen ; FiO2 :
fraksi oksigen inspirasi; SpO2 : saturasi oksigen arteri diukur dengan pulse
oksimetri, CT : computed tomographt

5
Faktor Resiko

ARDS bukanlah penyakit, melainkan suatu kondisi yang didefinisikan

secara klinis dengan kegagalan pernafasan akut yang terjadi de novo sebagai hasil

dari gangguan pulmonal dan non-pulmonal yang jelas. Meskipun kebanyakan

faktor predisposisi ARDS telah diketahui,3,22,23 terdapat kesadaran yang kurang

cukup mengenai faktor resiko lingkungan dan individu. Penyalahgunaan alkohol

kronik dan perokok aktif atau pasif telah dikaitkan dengan peningkatan insidensi

ARDS,24 sedangkan dampak pencemaran lingkungan terhadap ARDS belum

ditetapkan. Ware et al25 meneliti efek dari paparan ozon jangka panjang pada

pasien yang dikenal memiliki faktor resiko ARDS dan tinggal dalam jarak 50 km

dari salah satu dari 163 stasiun pemantau kualitas udara di area luas yang

mencakup delapan negara bagian di Nashville (TN, USA). Data mengenai kadar

rata-rata harian dari ozon, nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida dan partikel

dengan cut-off 50%, diameter aerodinamik 10 m dan 2,5 m dicatat setiap hari

dan paparan jangka panjang diperkirakan. Paparan jangka panjang terhadap ozon

ditemukan sebagai faktor resiko independen untuk ARDS untuk setiap kelompok

(OR 1,58, 95% CI 1,27-1,96) dan kejadian ARDS meningkat sesuai dengan

peningkatan paparan ozon (p<0,001). Secara khusus, resiko ARDS lebih tinggi

pada sub-kelompok pasien yang pernah mengalami trauma dan saat ini perokok.

Sebaliknya peran paparan jangka panjang NO2 dan polutan lain terhadap ARDS

belum dikonfirmasi. Khususnya, tingkat ozon yang tercatat selalu ditemukan lebih

rendah daripada cut-off yang dibutuhkan oleh Badan Perlindungan Lingkungan

AS. Meskipun penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan metodologis (relatif

terbatas pada satu wilayah geografis dan tingkat polutan tidak diukur secara

6
langsung), hal ini jelas terlihat bahwa polusi udara dapat memainkan peran yang

penting dalam patogenesis ARDS.

Faktor resiko individual lainnya yang didapatkan adalah vitamin D, karena

terlibat dalam memodulasi sinyal terhadap fungsi imun bawaan dan adaptif26, dan

keadaan defisiensi vitamin D terkait dengan peningkatan resiko pneumonia27 dan

sepsis28. Sebuah penelitian klinis dan tranlasi terbaru29 menunjukkan bahwa

defisiensi vitamin D dapat meningkatkan resiko ARDS. Penelitian ini melibatkan

52 pasien ARDS (kebanyakan disebabkan oleh pneumonia dan sepsis ekstra-

pulmonal), 58 pasien menjalani oesophagectomy (beresiko ARDS), 8 pasien

menerima suplemen vitamin D sebelum oesophagectomy dan 18 kontrol yang

sehat. Kadar plasma 25(OH)D3, 1,25 (OH)2-D3 dan vitamin D binding protein

diukur ; kadar 25(OH)D3 < 50 nmol.L-1 diklasifikasikan sebagai defisiensi, dan

kadar <20 nmol.L-1 sebagai defisensi berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

semua pasien dengan ARDS dan 96% pasien oesophagectomy yang tidak

diberikan suplemen vitamin D memiliki keadaan defisiensi vitamin D,

dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Resiko post operatif terhadap ARDS

adalah 37,5% pada pasien dengan defisiensi berat, dimana resiko post operatif

terhadap ARDS dengan defisiensi ringan adalah lebih rendah yaitu 15%.

Khususnya pada kohort oesophagectomy, vitamin D adalah satu-satunya

perbedaan antara pasien yang mengalami cedera paru post-operatif dan mereka

yang tidak. Kadar plasma 1,25(OH)2D3 lebih rendah pada pasien ARDS yang

masuk ke ICU dan meninggal serta pada pasien oesophagectomy yang menderita

ARDS. Defiensi vitamin D berat dikaitkan dengan peningkatan penanda

kerusakan alveolar, seperti extravascular lung water index dan pulmonary

7
vascular permeability index pada post operatif hari pertama, namun perubahan ini

berkurang pada pasien yang diberikan suplemen vitamin D3 sebelum

oesophagectomy. Studi ini menunjukkan bahwa kekurangan vitamin D didapatkan

pada pasien ARDS dan berkaitan dengan hasil yang buruk karena berperan dalam

mekanisme patofisiologi yang melibatkan permeabilitas alveolar dan respon

inflamasi. Kesimpulannya, terdapat peran preventif dan peran terapeutik suplemen

vitamin D terhadap ARDS. Meskipun begitu, baik paparan ozon dan defisiensi

vitamin D memerlukan konfirmasi sebagai faktor resiko dan mekanisme

kontribusi mereka terhadap pengembangan ARS harus dipahami dengan lebih

baik.

Peventif

Rata-rata onset ARDS adalah 2 hari setelah masuk rumah sakit. Dengan
demikian, kesempatan untuk pencegahan ARDS pada waktu yang sempit.
Beberapa penelitian observasional dan data eksperimental menunjukkan peran
preventif terapi antiplatelet yang berpotensial pada pasien berisiko tinggi ARDS.
Karena patogenesis ARDS mencakup serangkaian mekanisme yang tidak teratur
(misal: aktivasi trombosit maladaptif), dapat disimpulkan bahwa obat yang
ditargetkan pada mekanisme ini akan efektif dalam pencegahan dan pengobatan
ARDS.
Peran preventif aspirin dan statin telah dievaluasi ulang dalam dua
penelitian. KOR dkk. mempelajari peran pemberian aspirin secara dini pada
pasien yang berisiko ARDS dalam penelitian acak multikenter, double blind,
terkontrol plasebo. 400 pasien dewasa yang berisiko ARDS menurut skor prediksi
cedera paru-paru 4 diacak untuk menerima aspirin pada dosis 325 mg dalam
waktu 24 jam setelah masuk ke gawat darurat diikuti oleh 81 mg setiap hari
selama 7 hari, atau plasebo. Sebagian besar pasien beresiko sepsis atau
pneumonia. Hasil primer adalah pengembangan ARDS sesuai dengan kriteria

8
Berlin. Secara keseluruhan, 37 (9,5%) pasien mengembangkan ARDS, di
antaranya 20 (10,3%) berada dalam kelompok aspirin dan 17 (8,7%) berada pada
kelompok plasebo. Hasil sekunder, termasuk hari bebas ventilator ke rumah sakit
hari ke 28, ICU dan masa tinggal di rumah sakit, mortalitas 28 hari dan 1 tahun
dan kejadian kejadian buruk tidak berbeda antara kedua kelompok.
Sedangkan untuk statin, sebuah meta-analisis baru-baru ini mengevaluasi 13
penelitian (empat uji klinis acak (RCT) dan sembilan studi kohort), yang
diterbitkan antara 2007 dan 2015 dan mencakup total 12145 pasien dengan risiko
tinggi ARDS atau didiagnosis dengan penyakit akut. cedera paru / ARDS
Simvastatin dan rosuvastatin paling sering digunakan. Penilaian kualitas menilai
RCT dan studi kohort masing-masing tinggi dan sedang. > 9835 pasien dengan
risiko tinggi ARDS terdaftar dalam satu RCT dan lima studi kohort, menunjukkan
bahwa kejadian ARDS tidak berbeda antara statin dan kelompok plasebo (p =
0,10), dan pada akhirnya penggunaan sebelumnya statin tidak menurunkan
morbiditas ARDS. Data dari 3159 pasien termasuk dalam tiga RCT dan enam
studi kohort menunjukkan bahwa statin tidak mempengaruhi kematian ARDS.
Hasil serupa dilaporkan untuk hari bebas ventilator, indeks oksigenasi, ICU dan
lama tinggal di rumah sakit. Hasil negatif meta analisis ini tidak dapat dipungkiri,
walaupun beberapa keterbatasan harus dipertimbangkan: heterogenitas yang tinggi
dalam analisis morbiditas dan lamanya tinggal dalam studi kohort, molekul dan
durasi terapi ketatalaksanaan yang berbeda dan tindak lanjut yang singkat. waktu.
Meskipun demikian, baik aspirin dan statin gagal mencegah ARDS dalam uji coba
secara acak dengan waktu intervensi yang berbeda. Waktu intervensi tetap
menjadi tantangan utama uji pencegahan ARDS. Namun, sampai saat ini,
tampaknya ARDS tidak dapat dicegah.

Terapi
Tabel 2
Manajemen hipoksemia
Pemberian Oksigen Intubasi/ventilasi mekanik
Ventilasi nonmekanik pada ARDS
ringan atau tingkat intubasi (helmet

9
Manajemen Inflamasi lebih baik dari pada face mask)
(kortikosteroid) Perpanjang terapi obat metilprednisolon
dosis rendah (1 mg/kg/hari) sehingga
Manajemen cairan mempercepat perbaikan ARDS
Tujuan: tekanan vena sentral <4mmHg
Posisi Tubuh atau PAOP <8mmHg edema
konsumsi oksigen paru
konsumsi oksigen
Antipiretik, sedatif, analgesic, dan agen
paralisis
Inotropik untuk pengisian kapiler (bila
Terapi Suportif tidak ada edema paru)
Batasi tranfusi untuk mengatur Hb 7-9
g/dL
Vasodilator inhalasi (NO, prostasiklin,
dan prostaglandin E1) untuk
kesesuaian V/Q
Sedasi dan analgetik
Blok neuromuscular (jika parah)
Menitoring hemodinamik / atur via CVC
Nutrisi (enteral)
Kontrol glukosa
Preventif dan terapi VAP
Profilaksis DVT
Profilaksis gastrointestinal (stress ulcer)
PAOP: pulmonary arterial occlusion pressure; V/Q: ventilation/perfusion;
CVC: central venous catheter; VAP: ventilator-associated pneumonia;
DVT: deep vein thrombosis.
Tujuan terapi ARDS ialah suportif, dan mencakup paparan terapi pada tabel
2. Secara khusus, ventilasi mekanis invasif dengan strategi perlindungan paru
adalah pengobatan utama ARDS, walaupun intubasi jangka panjang dapat
menigkatkan resiko komplikasi, seperti ventilator-associated pneumonia (VAP),

10
penyakit delirium dan penyakit kritis myopathy dan neuropati. Ventilasi
noninvasif dan penerapan tekanan udara positif kontiniu dipertimbangkan pada
ARDS ringan, walaupun penggunaannya pada kegagalan pernapasan akut
hipoksemia masih kontroversial dan pilihan alat interface masih diperdebatkan.
Untuk mengatasi beberapa masalah ini, PATEL dkk. mengevaluasi
penggunaan helm dibanding face mask dalam uji coba single-center secara acak
pada pasien dewasa yang membutuhkan face mask NIV selama 8 jam. Pasien
diacak baik untuk melanjutkan masker wajah NIV dengan ventilator sirkuit
anggota badan tunggal (kelompok kontrol) atau beralih ke ventilasi helm
(kelompok intervensi) melalui ventilator ICU dalam mode pressure support atau
CPAP. Dari 740 pasien skrining, 83 diacak ke kelompok face mask atau kelompok
helm. Kebanyakan pasien immunocompromised akibat kanker atau transplantasi
dan sepertiga memiliki pneumonia pada kedua kelompok
Dibandingkan dengan kelompok kontrol, nilai PEEP pada pasien dengan
ventilasi helm lebih tinggi dan menurunkan FiO2, yang menunjukkan
pengurangan laju pernafasan yang lebih jelas. Data primer (penurunan tingkat
intubasi) dicapai lebih signifikan pada kelompok intervensi (61,5% berbanding
18,2%, perbedaan absolut -43,3%; p <0,001). Kegigihan kegagalan pernapasan
meskipun dukungan ventilasi non-invasif adalah penyebab intubasi paling sering
pada kelompok kontrol, sedangkan kemerosotan status neurologis menentukan
sebagian besar intubasi pada kelompok intervensi. Hasil sekunder (yaitu hari
bebas ventilator, lama tinggal ICU, mortalitas 90 hari, tapi tidak tinggal di rumah
sakit), lebih rendah pada kelompok helm (selama 90 hari kematian 56,4%
berbanding 34,1%, perbedaan mutlak -22,3%; p = 0,02). Minat dalam penelitian
ini muncul dari demonstrasi bahwa NIV yang efektif dapat disampaikan oleh helm
bahkan di ARDS sedang - berat. Meskipun demikian, beberapa keterbatasan harus
dipertimbangkan karena berbagai perangkat ventilasi yang digunakan dalam
kedua kelompok, sifat penelitian yang tidak terbaca dan kesimpulan awal
berdasarkan kriteria kemanjuran yang telah ditentukan sebelumnya. Semua bias
yang mungkin terjadi serta bersama dengan kesulitan untuk memperluas
pengalaman satu pusat dapat menyebabkan overestimasi perbedaan hasil antara
kelompok.

11
Pengobatan tambahan lainnya untuk pasien ARDS yang mengalami
perdebatan dalam dua dekade terakhir adalah penggunaan glukokortikoid
sistemik. Peradangan paru dan sistemik yang terdefinisi memainkan peran penting
dalam patogenesis dan perkembangan ARDS. Telah terbukti dalam penelitian
eksperimental dan klinis bahwa penggunaan kortikosteroid berkepanjangan dapat
secara positif memodifikasi jalur inflamasi yang berubah dan membantu
perbaikan paru. Namun, hasil uji coba dan meta-analisis acak masih berbeda,
terutama karena skema terapeutik yang berbeda yang digunakan dalam penelitian
yang berbeda (berbagai obat, dosis, durasi dan waktu inisiasi pengobatan dan
peradangan). Namun, konsensus didapatkan bahwa jika penanganan
glukokortikoid dimulai, hal itu harus dimulai sebelum hari ke 14 ARDS.
Meduri et al. menampilkan sebuah metaanalisis dari dua rangkap hasil
analisis. Analisis pertama data individual pasien dari empat RCT dimana
menginvestigasi pemanjangan durasi terapi metilprednisolon (7 hari) 1-2
mg/kg/hari pada 322 pasien (awal diinisasi dengan 72 jam pada 118 pasien, dan
kemudian 5-7 hari pada 204 pasien) dengan metodologi intention-to-treat.
Analisis kedua terdiri dari percobaan meta-analisis dari analisis data individual
pasien dan data tambahan dari empat RCT yang telah menyelidiki penggunaan
hidrokortison 7 hari pada awal ARDS, secara keseluruhan mencakup 569 pasien.
Pada analisis data individual pasien hasil primer berhasil menghilangkan ventilasi
mekanik pada hari studi ke-28. Dibandingkan dengan kelompok plasebo,
kelompok metilprednisolon memiliki lebih sedikit pasien yang meninggal
sebelum mencapai pernafasan tanpa bantuan (12% berbanding 29%), lebih banyak
pasien yang mencapai pernafasan tanpa bantuan (80% berbanding 50%), lebih
sedikit pasien yang hidup pada hari ke 28 yang tetap pada ventilasi mekanis awal
(8% berbanding 21%) dan lebih banyak pasien yang dikeluarkan hidup dari ICU
(75% versus 49%) (semua nilai p <0,001). Pasien dalam kelompok
metilprednisolon mencapai pernapasan tanpa bantuan lebih awal dan memiliki
durasi ventilasi mekanis yang lebih pendek. Tidak ada perbedaan yang jelas antara
awal dan akhir pengobatan dimulai, sedangkan pasien yang mengalami perubahan
cepat pemberian obat setelah pasien mencapai pernafasan tanpa bantuan
menunjukkan risiko lebih besar untuk kembali ke ventilasi mekanis. Hasil

12
sekunder yakni hari bebas ventilasi mekanis, hari bebas ICU, kematian di rumah
sakit, waktu sampai meninggal dengan keluar dari rumah sakit atau pada hari ke
28 dan komplikasi infeksi. Data ini mendukung pengobatan steroid, dengan
tingkat bukti yang tinggi untuk durasi pernapasan awal dan khususnya hasil hari
bebas ventilator. Dalam percobaan meta-analisis, pengobatan glukokortikoid
dikaitkan dengan peningkatan bebas ventilator mekanik dan bebas ICU dan
dengan penurunan risiko kematian di rumah sakit (rasio risiko kematian total 0,52,
CI 95% 0,33-0,82). Risiko infeksi nosokomial tidak meningkat dengan
pengobatan glukokortikoid. Meskipun kurang besarnya uji klinis secara acak,
meta-analisis memperkuat peran dosis rendah berkepanjangan dan glukokortikoid
yang turun perlahan dalam pengelolaan ARDS.

Kesimpulan
Pada tahun lalu, beberapa makalah menarik diterbitkan mengenai
epidemiologi, faktor risiko baru, pencegahan dan pengobatan ARDS. Meskipun
kemajuan dalam terapi suportif, ARDS tetap seringkali salah diagnosa, sehingga
membawa beban tinggi dalam hal morbiditas dan mortalitas pasien serta biaya
kesehatan. Meskipun banyak literatur mengenai patofisiologi dan pengobatan
sindrom ini pada percobaan dengan manusia dan hewan, implikasi dalam praktik
klinis masih buruk. Arah penelitian di masa depan harus berfokus pada
identifikasi mekanisme kerentanan, pencegahan primer dan terapi awal, serta
terapi farmakologis yang ditujukan untuk mengatasi kondisi berbahaya ini.

13

Anda mungkin juga menyukai