Pembimbing:
dr. Evalina Asnawi, Sp.KJ (K)
Disusun Oleh:
Keyne Christa Monintja
(2013-061-111)
Puji dan syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmatnya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Referat dengan judul Program
Pengurangan
Dampak
Buruk
sebagai
Penanggulangan
Penyalahgunaan
Narkotika,
Psikotropika dan Zat Aditif Lain ini merupakan salah satu tugas kepaniteraan klinik penulis
dalam Ilmu Kedokteran Jiwa dan Perilaku, Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Evalina Asnawi, Sp.KJ (K)
sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk menuntun penulis dalam
penyusunan dan presentasi referat ini. Tidak lupa penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada pihak-pihak lain yang telah membantu dan mendukung penulis selama proses
pembuatan.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu,
penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan yang masih terdapat dalam referat
ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat berguna untuk memperbaiki
kekurangan dalam referat penulis di kemudian hari.
Akhir kata penulis berharap agar referat ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan
pengetahuan dunia kedokteran. Atas perhatian dan waktu yang diberikan, saya ucapkan
terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii
2
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah gangguan penggunaan NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain)
merupakan problema kompleks yang penatalaksanaannya memakan waktu relatif lama serta
perlu melibatkan pendekatan di banyak bidang keilmuan (medik dan non-medik). Gangguan
penggunaan NAPZA telah menjadi masalah bio-psiko-sosio-kultural yang sangat rumit, oleh
karena itu perlu ditanggulangi secara multidisipliner dan lintas sektoral dalam suatu program
yang menyeluruh (komprehensif) serta konsisten.
Gangguan penggunaan NAPZA jarang ditemukan berdiri sendiri, melainkan terdapat
bersama dengan gangguan lain (kormobiditas) seperti depresi atau ansiteas, yang dapat terjadi
karena kondisi predisposisi ataupun sebagai akibat penggunaan NAPZA dalam jangka waktu
tertentu. Sedangkan pola penggunaan NAPZA sendiri, khususnya dengan cara suntik, dapat
membuat seseorang menderita penyakit penyulit (komplikasi) seperti HIV/AIDS, Infeksi
Menular Seksual (IMS), Hepatitis B atau C, dan lain-lain.1
Sejak sepuluh tahun terakhir, data kasus HIV/AIDS yang dilaporkan kepada
Departemen Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa cara penularan melalui penggunaan
jarum suntik bersama semakin nyata sebagai faktor yang paling berpengaruh dalam
terjadinya epidemi HIV di Indonesia. Pada tahun 2009, diperkirakan terdapat sejumlah
105.784 penduduk pengguna jarum suntik berusia 15-64 tahun di Indonesia, dengan
prevalensi sebesar 0,06%. Prevalensi penderita HIV dari para pengguna jarum suntik tersebut
sebesar 36,4%. Angka ini menduduki peringkat tertinggi di antara negara-negara di Asia
lainnya.2,3
Selain masalah kesehatan, pengalaman empirik di banyak negara yang terlanda
HIV/AIDS secara luas memperlihatkan dampak sosial-ekonomi yang memprihatinkan.
Kerugian ekonomi timbul akibat beban ekonomi langsung yang harus ditanggung oleh
keluarga dan masyarakat untuk pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan HIV/AIDS yang
amat mahal. Sedangkan kerugian ekonomi tidak langsung timbul akibat menurunnya
produktifitas kerja dan meningkatnya angka kematian usia produktif akibat AIDS. Keluarga
dan masyarakat miskin menjadi lebih miskin akibat penderitaan karena HIV/AIDS. Anak-
anak menjadi yatim-piatu akibat ibu-bapaknya meninggal dunia karena AIDS. Mereka
kemudian mengalami penderitaan sosial yang berkepanjangan karena kehilangan dukungan
dari keluarga dan masyarakat. Akibat lain adalah timbulnya stigmatisasi, diskriminasi dan
pelanggaran hak azasi manusia (HAM) terhadap pengidap dan keluarganya yang terkena
HIV/AIDS. Diskriminasi masih ditemukan pada tempat-tempat pelayanan kesehatan,
sekolah-sekolah, tempat kerja dan bahkan pada kehidupan sehari-hari masyarakat.4
Menurut Permenkes Nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS
Pasal 15, Pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual yang ditujukan untuk
mencegah penularan HIV melalui darah, meliputi:
a) Uji saring darah pendonor.
b) Pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non medis yang melukai tubuh.
c) Pengurangan dampak buruk (harm reduction) pada pengguna NAPZA suntik. 5
Pengalaman berbagai negara di dunia menunjukkan bajwa pendekatan pengurangan
dampak buruk merupakan cara yang efektif sebagai pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS pada kalangan pengguna NAPZA suntik. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan
sendiri memasukkan pendekatan Harm Reduction sebagai salah satu cara dalam Strategi
Nasional Penanggulangan HIV/AIDS Departemen Kesehatan tahun 2003-2007.6
Pada referat ini, akan dibahas mengenai butir-butir pengurangan dampak buruk (harm
reduction) sebgai salah satu penanggulangan penyalahgunaan NAPZA di Indonesia.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
perilaku. Yang dimaskud dengan perilaku yaitu perilaku penggunaan NAPZA dengan
jarum suntik dan perlengkapannya (jarum suntik dan peralatan untuk mempersiapkan
NAPZA sebelum disuntikan). Komponen pengurangan dampak buruk NAPZA
merupakan intervensi yang holistik/komprehensif yang bertujuan untuk mencegah
penularan HIV dan infeksi lainnya yang terjadi melalui penggunaan perlengkapan
menyuntik untuk menyuntikan NAPZA yang tidak steril dan digunakan secara bersamasama.6
2.3 Sejarah Harm Reduction
Istilah pengurangan dampak buruk NAPZA (Harm Reduction) semakin banyak
digunakan ketika pola penularan HIV/AIDS bergeser dari faktor penularan melalui perilaku
seksual berpindah ke perilaku penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Sejarah
pengurangan dampak buruk NAPZA bermula dari pelayanan kontroversial yang
dikembangkan pertama kali pada tahun 1920 pada sebuah klinik layanan ketergantungan obat
di Merseyside, kota kecil di Inggris. Klinik ini memberikan resep heroin kepada para
pengguna yang menjalani perawatan. Beberapa tahun kemudian upaya penanggulangan
masalah adiksi berkembang terus sampai kemudian kembali menarik perhatian bersamaan
dengan munculnya epidemi HIV/AIDS.
Tingginya angka penularan HIV dan penyakit lain yang ditularkan melalui darah pada
kalangan Penasun (Pengguna Narkoba Suntik) meningkatkan pentingnya kebutuhan untuk
melakukan upaya khusus dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Beberapa
negara di Eropa Barat dan Amerika selama sekitar dua dekade terakhir telah mempunyai
pengalaman yang cukup panjang dalam menerapkan pendekatan ini. Dari pengalaman
berbagai negara di dunia tersebut terlihat bahwa pendekatan pengurangan dampak buruk
NAPZA dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan yang efektif dalam upaya menjawab
masalah HIV/AIDS di masyarakat, khususnya pada kelompok Penasun.
Pengurangan dampak buruk NAPZA mulai menjadi perhatian di Indonesia pada tahun
1999. Pada saat itu data epidemi HIV/AIDS bergeser dari penularan melalui hubungan
seksual ke penularan melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril secara
bergantian/bersama pada kelompok Penasun. Seiring dengan hal tersebut muncul pemikiran
bahwa telah saatnya Indonesia memerlukan suatu intervensi untuk mencegah penularan dan
penanggulangan HIV/AIDS pada kelompok Penasun. Pengurangan dampak buruk NAPZA
sebagai sebuah konsep intervensi pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS pada Penasun
mulai ditambahkan untuk diterapkan di Indonesia.6
2.4 Tujuan Harm Reduction
4
individu. Populasi ini sulit dijangkau dengan metode yang lebih formal karena stigma dan
diskriminasi yang sangat kuat di dalam masyarakat terhadap status penggunaan
NAPZAnya. Dalam proses penjangkauan dan pendampingan para pekerja lapangan
melakukan proses identifikasi lokasi yang biasa menjadi tempat Penasun berkumpul atau
tempat yang memungkinkan untuk melakukan interaksi langsung dengan Penasun. Proses
penjangkauan dan pendampingan memberi peluang bagi Penasun untuk dapat mengakses
berbagai layanan kesehatan yang dibutuhkannya, seperti: mendapatkan layanan informasi,
tes HIV dan konseling, layanan kesehatan dasar yang tersedia, layanan manajemen kasus
untuk penasun yang membutuhkan, akses terhadap jarum suntik steril dan layanan lainnya
yang memungkinkan.6
2.6.2 Program komunikasi, informasi, dan edukasi
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) merupakan kegiatan yang dikembangkan
secara khusus dalam penyediaan informasi mengenai HIV/AIDS, NAPZA, risiko
penularan HIV (berbagi peralatan jarum suntik dan hubungan seks),seksualitas, merawat
diri dengan lebih baik, dan isu lain yang berhubungan dengan permasalahan kesehatan
Penasun. Media KIE dapat berupa pamflet, poster, lembaran fakta, gambar, billboard,
graffiti, video, siaran radio dan bentuk lainnya yang mudah diakses oleh Penasun. Media
informasi dapat dibagikan pada Penasun di tempat-tempat Penasun berkumpul.
Penerimaan dari sasaran terhadap materi maupun bentuk media informasi, menjadi
indikator keberhasilan program KIE. Untuk hasil yang paling efektif jika media informasi
dibuat dan dikembangkan oleh sasaran (Penasun), menggunakan bahasa yang dimengerti
oleh lingkungan sasaran, sederhana dan gampang untuk dibaca maupun dimengerti,
menggunakan ilustrasi/ gambar, tersedia dan disebarkan secara luas. Program KIE
memberikan kontribusi sebagai bagian dari pengurangan dampak buruk NAPZA yang
lebih luas dari intervensi-intervensi guna mendorong pengurangan risiko HIV/AIDS.
Sehingga program KIE harus menyediakan dan memberikan informasi dan edukasi
mengenai penyebaran HIV dan pencegahannya, yang didasarkan pada sebuah
pemahaman mengenai perilaku berisiko.
Tujuan:
1. Meningkatkan pengetahuan dan sikap yang dapat mendorong perubahan perilaku
dalam mengurangi risiko terinfeksi HIV.
2. Menyediakan dan memberikan informasi yang benar dan tepat.6
2.6.3 Program penilaian pengurangan risiko
Penilaian pengurangan risiko diberikan sebagai upaya untuk memperkuat dan
membangun pelaksanaan pengurangan risiko infeksi HIV. Kegiatan ini dilakukan selama
6
penjangkauan dan pendampingan. Fokus dari program adalah risiko HIV/AIDS, HBV,
HCV, dan IMS lain yang berhubungan dengan penggunaan NAPZA dan perilaku seksual.
Penilaian ini dimaksudkan untuk mengenalkan pesan pengurangan risiko dan mendukung
upaya-upaya perubahan perilaku. Penilaian pengurangan risiko dapat dilakukan untuk
membantu Penasun baik secara individu maupun kelompok. 6
2.6.4
Konseling dan tes HIV sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and
Testing (VCT) (atau disebut juga sebagai Client-initiated HIV testing and counselling
merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat sebagai pintu masuk ke seluruh
layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan. Pada KTS ini biasanya menekankan
pengkajian dan penanganan faktor risiko dari klien oleh konselor, membahas masalah
keinginan untuk menjalani tes HIV dan implikasinya serta pengembangan strategi untuk
mengurangi faktor risiko. KTS dilaksanakan dalam berbagai macam tatanan layanan,
yang salah satunya adalah di sarana layanan kesehatan, klinik KTS mandiri di luar sarana
layanan kesehatan, layanan KTS yang diberikan secara bergerak atau mobile KTS, di
masyarakat atau bahkan di rumah. Sementara itu, Provider-initiated HIV testing and
counselling (PITC) adalah suatu tes HIV dan konseling yang diInisiasii oleh petugas
kesehatan kepada pengunjung sarana layanan kesehatan sebagai bagian dari standar
pelayanan medis. Tujuan utamanya adalah untuk membuat keputusan klinis dan/atau
menentukan pelayanan medis khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui
status HIV seseorang seperti misalnya ART (Antiretroviral Teraphy). PITC mutlak harus
disertai dengan jangkauan pada paket layanan pencegahan, pengobatan, perawatan dan
dukungan yang diterapkan sebagai suatu standar nasional untuk perawatan, dukungan dan
pengobatan serta menjadi dalam kerangka kerja rencana strategi nasional untuk
meningkatkan dan mendekatkan akses terhadap terapi antiretroviral bagi semua yang
membutuhkannya. PITC juga bertujuan untuk mengidentifikasi infeksi HIV pada stadium
awal yang tidak menunjukkan gejala penyakit yang jelas karena penurunan kekebalan.
Oleh karenannya kadang-kadang konseling dan tes HIV juga ditawarkan kepada pasien
dengan gejala yang mungkin tidak terkait dengan HIV sekalipun. Pasien tersebut dapat
mendapatkan manfaat dari pengetahuan tentang status HIV reaktif guna mendapatkan
layanan pencegahan dan terapi yang diperlukan secara lebih dini. Tes HIV
direkomendasikan sebagai berikut:
1. Ditawarkan kepada semua pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis yang
mungkin mengindikasikan infeksi HIV, tanpa memandang tingkat epidemi
daerahnya.
2. Sebagai bagian dari prosedur baku perawatan medis pada semua pasien yang
datang di sarana kesehatan di daerah dengan tingkat epidemi yang meluas.
3. Ditawarkan kepada pasien dengan risiko HIV lebih tinggi, seperti pasien dengan
IMS, pasien yang berasal dari kelompok risiko tinggi.
Seseorang yang mengetahui status HIV-nya diharapkan dapat:
1. Mendorong perubahan perilaku yang dapat mencegah penularan HIV.
2. Meningkatkan kesehatan umum, termasuk berupaya mencari perawatan untuk
infeksi oportunistik.
3. Merencanakan masa depan dalam hubungannya dengan keluarga serta komitmenkomitmen lainnya, serta memberi peluang mencegah terjadinya penularan vertical
HIV dari seorang ibu yang terinfeksi kepada anaknya.
Tes HIV dan konseling atas inisiasi petugas kesehatan terdiri dari 3 tahap:
1. Informasi pra-tes dan edukasi
Informasi dapat diberikan oleh dokter, perawat atau konselor dan dapat
disampaikan secara individu atau kelompok oleh tenaga kesehatan. Informasi prates sebaiknya terpusat pada memberikan informasi penting HIV, menjelaskan
prosedur untuk menjamin konfidensialitas, serta meyakinkan kesediaan pasien
untuk menjalani tes dan meminta pesetujuan pasien (informed consent). Terdapat
beberapa kelompok masyarakat yang lebih rentan terhadap dampak buruk seperti
diskriminasi, pengucilan, tindak kekerasan, atau penahanan.
2. Tes HIV
Diagnosis HIV dapat ditegakkan melalui 3 metode pemeriksaan antibodi yang
tersedia, yaitu: Rapid test, ELISA, dan Western Blot.
3. Konseling pasca-tes
Konseling pasca-tes merupakan bagian integral dari proses tes HIV. Semua pasien
yang menjalani tes HIV harus mendapatkan konseling pasca-tes pada saat hasil tes
disampaikan, tanpa memandang hasil tes HIVnya. Konseling pasca-tes harus
diberikan secara individual dan oleh petugas yang sama yang menginisiasi tes
HIV semula. Konseling tidak layak untuk diberikan secara kelompok. Setelah
dapat ditegakkan diagnosis dan terapi, tujuan lain dari konseling ini adalah
perubahan perilaku klien khususnya terkait perilaku berisiko yang dapat
memperburuk kondisi penyakitnya atau penularan HIV AIDS dan penyakit infeksi
lainnya kepada orang lain. Sementara perubahan perilaku sehubungan dengan
risiko penularan kepada orang lain dapat dilaksanakan melalui rujukan kepada
konselor terlatih.
Konseling hasil tes HIV non-reaktif:
a) Penjelasan tentang hasil tes, termasuk penjelasan tentang periode jendela,
yaitu belum terdeteksinya antibodi HIV dan anjuran untuk menjalani tes
kembali ketika terjadi pajanan HIV.
b) Informasi dasar tentang risiko serta cara mencegah terjadinya penularan HIV.
c) Bila status pasangan tidak diketahui, berikan konseling tentang manfaat
pemeriksaan pasangan.
Sumber: Pedoman penerapan konseling dan tes HIV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010.
10
Dalam pelaksanaan program penggunaan jarum suntik steril terdapat beberapa model
program diantaranya:
1. Needle Exchange Program (NEP) atau Needle Syringe Exchange Program (NSEP),
program pertukaran jarum suntik. Program ini menekankan pada pertukaran, bukan
distribusi.
2. Needle Distribution Program (NDP), program yang menekankan pada distribusi
jarum suntik steril.
2.6.7 Program pemusnahan peralatan suntik bekas pakai
Pemusnahan peralatan menyuntik bekas pakai dimaksudkan untuk mengumpulkan
kembali peralatan bekas pakai, memastikan bahwa peralatan bersih dan steril yang
dipakai, menghindari penjualan ulang peralatan bekas pakai, dan memastikan
pemusnahan peralatan bekas pakai dengan semestinya. Tujuannya adalah:
1. Melenyapkan kemungkinan digunakannya kembali peralatan bekas pakai yang
mungkin sudah terkontaminasi.
2. Melenyapkan sumber potensial bagi penularan HIV yang tidak disengaja kepada
mereka yang bukan Penasun, khususnya anak-anak.
2.6.8 Program layanan terapi ketergantungan NAPZA
Satu hal yang harus dipahami dalam terapi ketergantungan NAPZA adalah tidak
semua pengguna NAPZA memiliki kesamaan dalam hal kebiasaan serta kebutuhan
NAPZA yang dipakai. Selain itu banyak pengguna NAPZA melewati tahapan-tahapan
penggunaan NAPZA yang berbeda pada waktu yang berbeda-beda dalam hidupnya. Pada
sebagian orang di berbagai penjuru dunia, mengisap opium atau heroin atau menyuntik
heroin, tidak harus menjadi kecanduan terhadap zat-zat tersebut. Bagi sebagian besar
orang yang menggunakan jenis-jenis NAPZA di atas, terdapat sebuah periode waktu
dimana dapat menggunakan NAPZA tanpa menjadi kecanduan, sebab ketergantungan
dapat terbentuk apabila NAPZA digunakan secara teratur selama beberapa waktu tertentu.
Periode ini bervariasi dari beberapa minggu hingga beberapa tahun. Penggunaan yang
teratur saja tidak dapat langsung dikategorikan sebagai ketergantungan, sebab perlu
memenuhi kriteria ketergantungan sesuai Diagnostic Statistical Mannual of Mental
Disorders IV (DSM IV). Oleh karena itu, pendekatan terapi pun hendaknya bervariasi
pula. Kita perlu mengetahui lebih banyak tentang siapa si pengguna NAPZA itu,
bagaimana mereka menggunakan NAPZA, apa saja situasi dan kondisi sosial mereka,
serta alternatif apa saja yang dapat ditawarkan secara realistis di dalam situasi dan kondisi
sosial mereka.
Pemahaman yang komprehensif tentang penggunaan NAPZA dan pengguna NAPZA
sangat dibutuhkan agar pendekatan terapi ketergantungan NAPZA dapat berlangsung dan
11
bermanfaat. Identifikasi dini para pengguna NAPZA, perlu dilakukan secara tidak
menyolok di lingkungan masyarakat. Semakin berhasil upaya menggambarkan
ketergantungan NAPZA sebagai sebuah penyakit dan pengguna NAPZA memandang
layanan terapi sebagai layanan yang bersifat rahasia dan penuh perhatian, maka akan
semakin besar pula kemungkinan para pengguna NAPZA berupaya memperoleh layanan
tersebut atas inisiatif mereka sendiri.
Fokus terapi ketergantungan NAPZA adalah menyediakan berbagai jenis pilihan,
yang dapat mendukung proses pemulihan melalui berbagai ketrampilan yang diperlukan
dan mencegah kekambuhan (relapse). Tingkatan layanan bervariasi, tergantung dari
derajat keparahan dan seberapa intensif terapi diperlukan. Bentuk-bentuk terapi
ketergantungan NAPZA antara lain adalah:
1. Detoksifikasi dan Terapi Withdrawal
Detoksifikasi (sering disebut terapi detoks) adalah suatu bentuk terapi awal untuk
mengatasi gejala-gejala lepas NAPZA (withdrawal state), yang terjadi sebagai
akibat penghentian penggunaan NAPZA. Detoks bukan terapi tunggal, namun
hanya sebagai langkah pertama menuju program terapi jangka panjang
(rehabilitasi, program terapi rumatan substitusi). Bila hanya dilakukan detoks
kemungkinan relaps sangat besar. Variasi terapi detoks sangat luas, antara lain:
ultra rapid detoxification (hanya 6 jam), home based detoxification, detoks rawat
inap dan detoks rawat jalan.
2. Terapi terhadap Kondisi Emerjensi
Pasien-pasien ketergantungan NAPZA sering menunjukkan perilaku yang
mendatangkan kegawatan baik bagi dirinya maupun bagi orang sekitarnya.
Keadaan overdose opioida dapat menyebabkan depresi pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan kematian. Kondisi paranoid, halusinasi, agresif dan agitasi
akut memerlukan pertolongan professional dengan segera.
3. Terapi Gangguan Diagnosis Ganda
Banyak pasien-pasien ketergantungan NAPZA yang bersama-sama juga menderita
gangguan jiwa, seperti: skizofrenia, gangguan bipolar, gangguan kepribadian, anti
sosial, depresi berat sampai suicide. Gangguan diagnosis ganda tersebut
memerlukan terapi yang terintegrasi dengan terapi ketergantungan NAPZA.
4. Terapi Rawat Jalan (Ambulatory atau Out-Patient Treatment)
Terapi yang membebaskan pasien untuk tidak tinggal menginap di rumah sakit.
Modifikasi terapi rawat jalan untuk pasien-pasien ketergantungan NAPZA sangat
luas, seperti; terapi rawat jalan intensif, terapi rawat jalan seminggu sekali. Terapi
ini tidak restriktif dan sering memberikan hasil paling baik bagi orang yang telah
bekerja dan yang memiliki lingkungan sosial dan keluarga yang stabil. Bentuk
12
layanan ini dapat dilakukan dalam situasi dan kondisi layanan kesehatan formal
ataupun dalam masyarakat dengan layanan-layanan yang meliputi; pendidikan
kesehatan terkait penyalahgunaan NAPZA, pemberian terapi medis, konseling
individu, konseling kelompok, konseling keluarga, psikoterapi, evaluasi psikologi
dan evaluasi sosial serta program kelompok dukungan (support group) baik yang
berdasarkan pada program 12 langkah, maupun program-program lain sesuai
dengan kebutuhan pasien.
5. Terapi Residensi (residential treatment)
Bila detoks dan terapi rawat jalan berulang kali gagal, maka pasien perlu
dipertimbangkan untuk mengikuti terapi rawat residensi (yang juga disebut
dengan istilah rehabilitasi). Banyak metode yang digunakan dalam terapi residensi
antara lain: Therapeutic Community, dan the 12-Step Recovery Program.
Lamanya terapi umumnya 12-24 bulan yang terdiri dari beberapa tahap terapi.
Sasaran utama dari terapi residensi adalah abstinentia atau sama sekali tidak
menggunakan NAPZA (drug free). Dalam kedua program tersebut, umumnya
mantan pengguna NAPZA (yang benar-benar telah bersih, recovering addict)
diikutsertakan dalam kegiatan terapi disamping tenaga professional yang terlatih.
6. Terapi Pencegahan Relaps
Angka relaps (kekambuhan) pada pasien ketergantungan NAPZA, khususnya
pengguna opioida sangat tinggi. Guna mencegah berulangkalinya relaps, pasienpasien tersebut harus mendapatkan terapi pencegahan relaps. Beberapa bentuk
terapi tersebut antara lain: Relapse Prevention Training (Marlatt), Cognitive
Behavior Therapy (CBT) khususnya terhadap craving (Beck) dan the 12-Step
Recovery Program.
14
Penasun yang tidak dapat mengikuti program ini diantaranya: pasien yang mengalami
gangguan fisik berat sesuai dengan hasil pemeriksaan klinis, pasien dengan gangguan
jiwa berat atau retardasi mental karena ketidakmampuannya untuk menandatangani
informed consent dan pasien yang sedang mengalami overdosis atau intoksikasi (high)
opioida.
Program rumatan metadon menyediakan dan memberikan obat legal yang dikonsumsi
secara oral (dengan diminum) sebagai pengganti NAPZA yang dikonsumsi dengan cara
menyuntik. Keikutsertaan dalam program rumatan metadon telah dikaitkan dengan
manfaat ganda yang meliputi turunnya angka kematian, morbiditas, infeksi HIV dan
angka kriminalitas serta mengembalikan kemampuan sosial Penasun. Metadon bukanlah
satu-satunya obat yang digunakan dalam opioida agonist pharmacotherapy atau terapi
substitusi. Obatan-obatan substitusi opioida untuk ketergantungan opioida lainnya adalah
buprenorfin, levo-alphaacetylmethadol (LAAM), morfin, kodein, diamorfin (heroin),
pentazocine, ethylmorfin, dan larutan opium.
2.6.10 Program perawatan dan pengobatan HIV
Melihat sejarah epidemi HIV di kalangan Penasun, AIDS kini menjadi makin umum
pada banyak populasi Penasun dan keluarganya di banyak negara. Di kelompok Penasun
yang terinfeksi HIV terdapat angka kematian yang tinggi akibat sebab-sebab yang tidak
berhubungan dengan infeksi HIV. Sebab-sebab tersebut meliputi pneumonia, penyakit
hati (Hepatitis B dan C) dan overdosis. Khusus bagi Penasun perempuan, terdapat
masalah reproduksi, kehamilan, proses persalinan, serta pemberian air susu ibu. Turunnya
berat badan serta kelemahan fisik dapat menjadi lebih buruk bagi Penasun yang hidup
dengan HIV karena kemiskinan dan kekurangan gizi, dan efek dari NAPZA yang
digunakan. Penasun yang hidup dengan HIV memiliki risiko lebih besar terkena infeksi
yang berkaitan dengan penggunaan NAPZA suntik, termasuk abses, septikemia,
endokarditis dan TBC. Oleh karena itu program ini bertujuan untuk menyediakan dan
memberikan pengobatan serta perawatan yang berkualitas untuk Penasun yang hidup
dengan HIV/AIDS.
2.6.11 Program pendidikan sebaya
Keterlibatan baik mantan Penasun
maupun
Penasun
dalam
merancang,
16
DAFTAR PUSTAKA
Republik
Indonesia.
Tersedia
dari:
http://kpaprovsulut.or.id/wp-
18