Anda di halaman 1dari 16

Manuskrip Studi Kasus Osteoarthritis dan low back pain pada wanita geriatri mantan penjahit dengan pajanan

posisi tidak lazim serta statis dan gerakan repetitif Fransisca Dewi Kumala Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Case Study Manuscript Osteoarthritis and low back pain in geriatric female used to work as a tailor with awkward static posture and repetitive movement risk factor Fransisca Dewi Kumala Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan Osteoartritis (OA) merupakan sindrom klinis nyeri persendian yang seringkali menyebabkan gangguan fungsional dan penurunan kualitas hidup.1-3 Penyakit ini ialah gangguan sendi tersering dan merupakan penyebab utama nyeri muskuloskeletal kronik serta gangguan mobilitas pada populasi lanjut usia di seluruh dunia,2 yang akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup pasien OA. Meskipun OA memiliki kecenderungan prevalensi meningkat seiring dengan pertambahan usia, penyakit ini juga dapat dierita pasien usia kerja dengan beberapa faktor risiko seperti obesitas dan kurangnya kondisi kebugaran fisik.3 Diagnosis kerja OA meurut Guideline Development Group ditegakkan terutama dengan anamnesis nyeri sendi perifer yang memberat dengan gerakan, pasien berusia lebih dari 45 tahun, dan kaku pagi hari tidak lebih dari setengah jam. Pasien dengan keluhan di atas tidak memerlukan pemeriksaan radiologis maupun laboratorium lanjutan. Meskipun begitu, penemuan radiologis dapat menunjang diagnosis OA dengan adanya penyempitan celah sendi, formasi osteofit, penebalan tulang subkondral, serta kista. Selain itu, diagnosis kerja OA ditegakkan dengan menyingkirkan kelainan sendi inflamatorik serta kelainan jaringan penunjang seperti tidak adanya tanda inflamasi pada sendi.3 Pengobatan OA sekarang ini mencakup modalitas nonfarmakologis, seperti penurunan berat badan, latihan fisik, terapi fisik, akupuntur, dan modalitas farmakologis menggunakan analgetik, supelementasi cairan sendi, dan nutraseutikal. 1-3 Analgesik yang terutama digunakan pada pasien OA adalah pengobatan menggunakan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS). Namun penggunaan jangka panjang OAINS dapat menimbulkan efek samping saluran cerna, terutama pada pasien usia lanjut. 2 Nutraseutikal adalah terminologi yang digunakan untuk suplemen makanan yang diduga dapat memberikan kebaikan bagi kesehatan.3 Nutraseutikal tersering yang digunakan untuk OA adalah glukosamin, yang dijual dalam berbagai bentuk secara bebas.3 Glukosamin merupakan suatu gula amino dan merupakan prekursor penting dalam biosintesis protein terglikosilasi, salah satunya glikosaminoglikan yang merupakan bagian dari proteoglikan tulang rawan,4 sehingga dihipotesiskan dapat memperbaiki derajat nyeri bahkan memperlambat progresivitas OA dengan efek samping yang lebih

rendah daripada OAINS. Di banyak negara di Eropa, Asia, dan Amerika Latin, preparat kristalin glukosamin sulfat telah disetujui sebagai produk medis untuk pengobatan OA dan direkomendasikan oleh 6 dari 10 guideline untuk tata laksana OA.3 Meskipun begitu, masih terdapat kontroversi terhadap pengaruh glukosamin karena banyak penelitian yang tidak dapat membuktikan efektivitas suplementasi glukosamin, baik dibandingkan dengan plasebo atau dengan obat lain terutama dalam mengurangi derajat nyeri.5-8 Penatalaksanaan pasien OA menggunakan kombinasi modalitas nonfarmakologis dan farmakologis dinilai sebagai cara yang paling efektif dalam memperbaiki gejala dan progresivitas OA.OARSI Penentuan pemilihan obat pada pasien OA tergantung pada derajat nyeri dan fungsional pada pasien. Terapi farmakologis yang disarankan adalah pemberian analgetik dan nutraseutikal, dalam hal ini yang telah direkomendasikan adalah glukosamin. Penurunan derajat nyeri tentunya akan berdampak terhadap aspek fungsional dan kualitas hidup pasien. Selain itu, diperlukan pula partisipasi keluarga karena pasien untuk memotivasi pengobatan pasien dan juga karena OA biasanya menyebabkan penurunan derajat fungsional pasien, terutama dalam melakukan aktivitas berat. Oleh karena itu dilakukan penatalaksanaan dengan pendekatan kedokteran keluarga dan berdasarkan bukti sehingga penatalaksanaan pasien dapat tepat dan sesuai. Ilustrasi Kasus Pasien ialah seorang wanita berusia 83 tahun yang sebelumnya bekerja sebagai penjahit. Pasien beragama Kristen, bertempat tinggal di Jalan Pendidikan I no. 39, RT 10/RW 06, Bintaro, Jakarta Selatan. Bersama dengan suami, pasien datang ke poliklinik dengan keluhan batuk sejak 7 hari sebelumnya. Sejak 7 hari yang lalu pasien mengeluhkan batuk berdahak, awalnya bening dan encer namun berubah menjadi kental dan putih seperti susu. Batuk dirasakan sepanjang hari disertai nyeri saat menelan tanpa disertai sesak napas dan demam. Pasien telah minum obat warung namun keluhan tidak membaik. Pasien juga mengeluhkan nyeri di kedua lutut terutama setelah banyak berjalan atau bekerja (VAS 7) dan berkurang jika duduk atau beristirahat (VAS 3). Lutut juga dirasakan kaku terutama saat pagi hari kurang lebih selama sepuluh menit. Sejak mengalami nyeri di lutut aktivitas pasien menjadi lebih terbatas, pasien pernah jatuh 2 kali dalam 1 tahun terakhir namun tidak menyebabkan trauma pada lutut. Selain itu

pasien juga mengeluhkan pegal pada leher dan bahu, serta nyeri punggung bawah sejak sepuluh tahun yang lalu dan memberat sejak enam bulan lalu (VAS 6). Pasien telah ke dokter ortopedi, diberikan obat piroxicam dan obat gel. Keluhan dirasakan berkurang namun tidak dapat hilang. Pasien juga mengonsumsi susu dengan suplemen untuk tulang dan sendi setiap harinya atas saran anak-anaknya. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang diketahui 5 tahun lalu dan diobati teratur. Selain itu pasien juga didiagnosis katarak dan telah menjalani operasi mata kanannya 5 tahun lalu. Pasien sebelumnya bekerja sebagai penjahit di rumah selama kurang lebih 30 tahun. Dalam sehari pasien dapat bekerja menjahit 6-8 jam atau lebih tergantung pesanan yang datang. Pasien menjahit menggunakan mesin jahit yang digerakkan dengan pedal kaki. Sejak sepuluh tahun terakhir pasien tidak lagi menjahit untuk pesanan karena keluhan nyeri lutut dan pinggang yang dideritanya. Sekarang ini ia hanya menjahit untuk keperluan keluarga atau bila yang memesan memiliki hubungan dekat saja hingga sehari pasien hanya menjahit 2-4 jam sehari sambil mengisi waktu. Saat sedang menjahit pasien mengalami pajanan ergonomi yaitu posisi tidak lazim serta statis dan gerakan repetitif sendi lutut. Pasien tinggal bersama suami (85 tahun, menderita DM tipe 2, hipertensi grade 2, dan riwayat stroke) dan anak perempuannya yang ketujuh (50 tahun) di rumah milik pasien berukuran 15 m x 15 m. Pasien masih aktif membantu kegiatan rumah tangga yang dikerjakan oleh anak ketujuh meskipun sejak 6 bulan belakangan ini agak berkurang karena keluhan nyeri lututnya yang semakin memberat jika berdiri atau berjalan lama sehingga pasien sekarang ini lebih banyak duduk menonton televisi dan membaca, kegiatan menjahit dan berkebun masih dilakukan namun tidak dapat terlalu lama. Hubungan dengan keluarga di rumah terjalin baik, biasanya anggota keluarga mengobrol saat setelah makan dan menonton televisi. Pasien ialah seorang ibu dengan 8 orang anak, namun 1 anaknya telah meniggal 33 tahun yang lalu karena tetanus. Enam anak pasien lainnya telah menikah, tinggal terpisah dengan pasien, dan memberikan pasien 12 orang cucu. Meskipun begitu anakanak yang tinggal sekota sering mengunjungi pasien di akhir minggu bersama keluarganya.

Dari body discomfort map didapatkan keluhan pegal di bahu dan leher bagian belakang (area 0, 2, dan 6) serta nyeri di bagian pinggang bawah (area 11 dan 12). Selain itu terdapat keluhan nyeri di kedua lutut pasien (area 14-15 dan 16-17). Sedangkan dari BRIEF survey didapatkan risiko tinggi pada tangan dan pergelangan tangan, bahu, leher, punggung, dan tungkai kedua sisi untuk mengalami gangguan muskuloskeletal. Pada pemeriksaan fisis didapatkan pasien tampak sakit ringan dan kesan gizi lebih. Tanda vital yang didapatkan nadi, pernapasan, dan suhu dalam batas normal sedangkan tekanan darah dalam keadaan duduk 140/90 mmHg. Dari pemeriksaan status gizi pasien didapatkan bentuk badan piknikus dengan tinggi badan 150 cm dan berat badan 65 kg sehingga didapatkan nilai indeks massa tubuh 28,9 kg/m 2. Pengukuran lingkar perut pasien menunjukkan nilai 92 cm. Saat berjalan pasien terlihat kurang stabil dan sesekali harus berpegangan pada benda di sekitarnya. Pemeriksaan mata didapatkan lensa mata kanan keruh, sedangkan lensa mata kiri sudah diganti dengan lensa buatan. Pemeriksaan faring didapatkan dinding faring posterior hiperemis, tidak ada granulasi. Pada kurvatura vertebrae didapatkan kifosis. Pemeriksaan sendi lutut tidak didapatkan adanya deformitas, terdapat nyeri tekan kedua lutut, pusasi arteri tungkai baik, saat digerakkan tidak ada pembatasan range of motion namun terdengar krepitasi minimal. Pemeriksaan keseimbangan menunjukkan gangguan pada keseimbangan berdiri, tes Romberg, berputar, dorongan sternum, balans satu kaki, bending down, serta sitting down. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis ditegakkan diagnosis holistik pada pasien: Aspek personal : batuk sejak 7 hari sebelum datang, berharap agar batuknya sembuh, dan khawatir batuknya ini tidak seperti biasa, dapat menetap atau bertambah berat Aspek klinis : faringitis akut suspek infeksi bakteria, osteoarthritis genu bilateral dengan instabilitas postural, low back pain, hipertensi esensial grade 1, TD terkontrol, myalgia, serta katarak senilis imatur OD dengan pseudofakia dan miopi OS Aspek risiko internal : pengetahuan mengenai penyakit masih kurang, kebiasaan olah raga kurang, pengaturan pola diet belum tepat, obesitas, usia, faktor genetik hipertensi pada saudara pasien, dan posisi kerja tidak ergonomis

Aspek psikososial keluarga : mengkhawatirkan kesehatan suaminya, memikirkan menantunya yang pertama dua bulan lalu meninggal dan mengkhawatirkan anak pertamanya karena tinggal sendirian (cucunya sedang sekolah di luar kota), dan anak ketujuh pasien belum menikah Derajat fungsional : 3 Berdasarkan diagnostik holistik di atas direncanakan tata laksana farmakologi amoxicillin 3x500 mg, bromhexine 3x8 mg, captopril 3x12,5 mg, piroxicam 1x20 mg, dan diklofenak topikal. Sedangkan terapi nonfarmakologi yang diberikan berupa konseling mengenai penyakit, faktor risiko, pengobatan, komplikasi, dan prognosisnya, minum air hangat, menurunkan berat badan, diet hipertensi rendah garam dan rendah lemak sebesar 1.400 kkal per hari, aktivitas fisik low impact 30 menit minimal 3 kali seminggu, penggunaan alat bantu berjalan, kompres punggung bawah dengan air hangat, penggunaan korset lumbal, modifikasi posisi kerja yang ergonomis, relaksasi dan peregangan otot berkala saat dalam posisi tidak lazim serta statis, manajemen stres, saran pemeriksaan kadar lipid, fungsi ginjal, EKG, foto genu dan lumbosacral, serta konsultasi ke dokter spesialis mata. Setelah dilakukan pembinaan dengan pendekatan kedokteran keluarga pada pasien dan keluarganya didapatkan hasil, yaitu: Keluarga sudah lebih mengerti benar mengenai penyakit pasien dan suaminya Risiko hipertensi dan DM pada anak-anak pasien Risiko keganasan (kolorektal dan serviks) pada pasien dan keluarga Pengaturan pola diet lebih teratur dengan katering dapat mengurangi kadar garam dan gula Kebiasaan olah raga mulai diterapkan di keluarga namun kurang adekuat Pasien berperan dalam menjaga kesehatan suami dengan kontrol diet dan olah raga Pasien mengkhawatirkan anak pertama yang tinggal sendiri Pasien mengkhawatirkan anak ketujuh yang belum menikah Pembahasan - Laporan Kasus Berdasarkan Bukti

Pasien seorang wanita obes berusia 83 tahun telah didiagnosis menderita OA yang mengeluhkan nyeri di kedua lututnya sejak 10 tahun lalu dan semakin lama semakin memberat terutama saat sedang beraktivitas (VAS 7). Sebelumnya tidak terdapat trauma pada lutut. Pasien telah mengonsumsi analgetik oral maupun topikal namun nyeri hanya berkurang sedikit. Pasien bekerja sebagai penjahit selama lebih dari 30 tahun dengan pajanan gerakan repetitif pada sendi lutut. Sejak 10 tahun terakhir, pasien telah membatasi aktivitas menjahit dari sebelumnya 6-8 jam sehari menjadi hanya 2-4 jam sehari karena nyeri yang dirasakannya. Dari pemeriksaan fisis pasien terlihat berjalan kurang seimbang, berat badan 65 kg dengan tinggi 150 cm sehingga didapatkan IMT 28,9 kg/m 2. Pada pemeriksaan sendi lutut tidak didapatkan tanda inflamasi, namun terdapat nyeri tekan tulang dan krepitasi saat digerakkan. Pada pengisian kuesioner WOMAC Osteoarthritis Index didapatkan hasil untuk bagian nyeri 9 dan secara total 42. Pasien juga mengonsumsi segelas susu sehari dan anak-anaknya menyarankan untuk meminum susu dengan suplementasi glukosamin yang dikatakan dapat mengurangi nyeri sendi. Pertanyaan Klinis Pada pasien dengan osteoarthritis lutut, apakah suplementasi glukosamin dapat menurunkan derajat nyeri? P (Patient or Problem) I (Intervention) C (Comparison) O (Outcome) : pasien dengan osteoarthritis lutut : suplementasi glukosamin : plasebo : derajat nyeri

Metode Strategi Pencarian Pencarian bukti ilmiah dilakukan dengan menggunakan situs Medline, Proquest, dan Cochrane pada 23 Mei 2012 menggunakan kata kunci "glucosamine", "knee osteoarthritis", dan "pain" dipaparkan pada Tabel 1. Strategi pencarian, kriteria inklusi, dan eksklusi ditunjukkan pada alur (Gambar 1).
Tabel 1. Strategi Pencarian (23 Mei 2012) Database Medline Terminologi Pencarian ("glucosamine"[MeSH Terms] OR "glucosamine"[All Fields]) AND ("osteoarthritis, knee"[MeSH Terms] OR ("osteoarthritis"[All Fields] AND "knee"[All Fields]) OR "knee osteoarthritis"[All Fields] OR ("knee"[All Fields] AND "osteoarthritis"[All Fields])) AND Proquest ("pain"[MeSH Terms] OR "pain"[All Fields]) ab(glucosamine AND "knee osteoarthritis" AND pain) 23 1 Hasil 107

Cochrane glucosamine AND knee osteoarthritis AND pain

Seleksi Setelah mendapat hasil, seleksi pertama dilakukan dengan menggunakan kriteria eksklusi. Kriteria eksklusi adalah artikel yang diterbitkan sebelum tahun 2007, penelitian pada hewan, dan artikel tidak dalam bahasa Inggris. Didapatkan satu artikel dengan judul yang sama pada dua lokasi pencarian. Seleksi kedua dilakukan pada 38 artikel yang didapatkan dengan menggunakan kriteria inklusi. Dua artikel tersedia sebagai full-text, namun satu artikel dieksklusi karena me-review penelitian-penelitian yang hampir sama dengan artikel lainnya. Alur seleksi artikel dipaparkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Alur Strategi Pencarian Telaah Kritis Artikel ditelaah secara kritis meliputih kesahihan (validity), kepentingan (importance), dan aplikabilitas (applicability) pada pasien (Tabel 2) berdasarkan pedoman dari Centre for Evidence-Based Medicine, University of Oxford.9 Tabel 2. Telaah Kritis
Towheed et al10 Criteria Clearly defined research question +

Validity

Comphrehensive search for all relevant studies

+ Clearly defined inclusion or exclusion criteria of studies priori Assessment the quality of each study using predetermined quality + criteria Appropriate synthesis of the result + Similiarity from study to study Standard Mean Difference of pain scale -0,16 [(-0,36) - 0,04] + + + + 1a Consistency of result from study to study Outcome Standard Mean Difference Similarity patient Treatment feasibility Similarity outcome Patient's values and preferences Patient's satisfaction regarding regimen and consequences Level of Evidence*

Applicability

Importance

+ : adequate; - : inadequate; : not completely adequate * Level of evidence from Centre for Evidence-Based Medicine, University of Oxford (downloaded http://www.cebm.net/index.aspx?o=1025; OCEBM Levels of Evidence Working Group = Jeremy Howick, Iain Chalmers (James Lind Library), Paul Glasziou, Trish Greenhalgh, Carl Heneghan, Alessandro Liberati, Ivan Moschetti, Bob Phillips, Hazel Thornton, Olive Goddard and Mary Hodgkinson

Hasil Dari hasil pencarian, didapatkan sebuah artikel systematic review dari randomized controlled trial (RCT) dengan level of evidence 1a yang dilakukan oleh Towheed et al yang merupakan update dari review sebelumnya pada tahun 2001 dan 2005.10 Systematic review ini bertujuan menilai efektivitas, baik secara simtomatik maupun secara struktural, dan toksisitas glukosamin sebagai terapi farmakologis dalam tata laksana OA. Pada studi dengan dua orang reviewer ini, Towheed et al melakukan pencarian literatur dari Cochrane Center Register of Controlled Trials dan Cochrane Database of Systematic Reviews (The Cochrane Library), Medline, Premedline, Embase, Allied and Complementary Medicine (AMED), American College of Physician (ACP) Journal Club, dan Database of Abstracts of Reviews of Effectiveness (DARE) sampai tahun 2008.

Dalam melakukan skrining, digunakan dua kriteria seleksi, yang pertama yaitu semua yang menggunakan glukosamin dalam tata laksana OA. Sedangkan seleksi kedua harus memenuhi beberapa kriteria tambahan, antara lain RCT yang mengevaluasi efikasi dan toksisitas glukosamin, baik dibandingkan dengan plasebo maupun dengan obat lain, penelitian tersamar baik tungga maupun ganda, terdapat data kuantitatif untuk perhitungan meta-analisis, partisipan dengan OA di sendi manapun kecuali sendi temporomandibula, intervensi yang dilakukan dengan pemberian sediaan glukosamin saja tanpa produk kombinasi, misalnya dengan kondroitin, dan pemberiannya dapat diberikan dengan cara apapun. Dari hasil pencarian didapatkan 25 RCT yang memenuhi kriteria dengan total 4 963 subjek penelitian yang memiliki usia rata-rata 60,7 tahun dan sebagian besar berjenis kelamin perempuan (69%). Tahun terbit penelitian bervariasi sejak tahun 1980 sampai tahun 2008. Seluruhnya merupakan penelitian ganda tersamar (double-blind) dan kelompok terandomisasi. Lokasi penelitian bervariasi dari berbagai negara dengan lima di antaranya dari Asia, satu di antaranya menggunakan bahasa China. Dari 25 RCT, 20 di antaranya melakukan perbandingan glukosamin dengan plasebo, sedangkan lima lainnya dengan OAINS. Cara pemberian glukosamin bervariasi dari setiap penelitian dengan 21 di antaranya menggunakan rute oral sedangkan yang lainnya dengan intraartikular, intramuskular, intravena, atau gabungan. Dosis glukosamin yang digunakan berbeda-beda, yang diberikan secara oral menggunakan dosis 1x1 500 mg, 3x500 mg, atau 2x750 mg. Sedangkan pemberian parenteral menggunakan dosis 400 mg per hari atau dua kali seminggu. Empat belas dari total penelitian memiliki hubungan dengan produsen glukosamin sulfat (Rotta). Mayoritas (20) RCT mengevaluasi OA pada lutut, sedangkan sisanya pada panggul, tempat lain, atau gabungan. Dari 25 studi, didapatkan 18 studi yang membandingkan glukosamin dan plasebo dengan outcome derajat nyeri. Hasilnya didapatkan perbedaan statistik yang bermakna dari standard mean difference (SMD) kedua grup, yaitu sebesar -0,47 [95% Interval Kepercayaan (IK) (-0,72) - (-0,23)]. Namun, jika studi yang dimasukkan hanya 11 studi berkualitas tinggi yang memiliki adequate allocation concealment, hasilnya menjadi tidak berbeda, yaitu SMD -0,16 [95% IK (-0,36) - 0,04] seperti dipaparkan pada forest plot pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan Glukosamin dengan Plasebo terhadap Derajat Nyeri

Selain itu, pada systematic review ini dilakukan analisis subgrup membagi antara studi yang menggunakan preparat glukosamin dari Rotta dan bukan. Hasil untuk derajat nyeri yang menggunakan preparat Rotta menunjukkan perbedaan statistik dengan SMD sebesar -1,11 [95% IK (-1,66) - (-0.57)]. Sedangkan untuk grup non-Rotta didapatkan hasil yang tidak bermakna dengan SMD sebesar -0,05 [95% IK (-0,15) - 0,05].

Diskusi Terdapat inkonsistensi hasil analisis dari systematic review yang ditelaah mengenai pemberian suplementasi glukosamin terhadap penurunan derajat nyeri pasien. Hal ini menunjukkan belum ada cukup bukti bahwa glukosamin lebih baik dari plasebo dalam menurunkan derajat nyeri pada pasien. Hasil pada systematic review yang digunakan adalah dalam bentuk SMD karena effect size yang diukur yaitu derajat nyeri yang digunakan di studi-studi tersebut menggunakan skala yang berbeda. Perbedaan ratarata yang didapatkan dibagi dengan perkiraan dalam variansi grup untuk memproduksi nilai yang terstandar. Menurut Cohen, effect size sebesar 0,20 dinilai kecil, 0,50 sedang, dan 0,80 besar.11 Hasil negatif (-0,47) pada outcome yang ditelaah menggambarkan pengurangan derajat nyeri dengan efek sedang pada grup kontrol dan intervensi. Bahkan pada subgrup dengan studi yang menggunakan glukosamin dari perusahaan Rotta didapatkan SMD sebesar (-1,11) yang menunjukkan efek penurunan nyeri yang besar. Namun apabila analisis yang dilakukan dibatasi pada studi kualitas tingi dan preparat glukosamin non-Rotta, perbedaan tersebut menjadi tidak bermakna. Hasil tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan preparat glukosamin yang digunakan. Seperti telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, bahwa selain di Eropa, glukosamin yang dipasarkan tanpa resep yang artinya tidak ada peraturan pasti dalam produksinya sehingga isinya dapat saja sama atau berbeda dengan yang tercantum di label. Russel et al melakukan penelitian mengenai hal ini dan mendapatkan bahwa jumlah glukosamin dalam kandungan preparat bervariasi dari 59% hingga 138% dari yang dicantumkan di label. Pada artikel ini kebanyakan studi yang dianalisis mengunakan glukosamin yang berasal dari Rotta sehingga isinya dapat dipastikan sesuai dengan yang tercantum pada label.10 Selain itu perlu diperhatikan pula adanya studi-studi yang tidak cukup baik dalam melakukan allocation concealment yang menyebabkan bias pada hasil selain adanya juga bias industri karena beberapa studi mendapatkan dana dari perusahaan obat.10 Dua penelitian oleh masing-masing Biggee et al dan Laverty et al mepaparkan bahwa konsentrasi maksimum setelah konsumsi oral glukosamin mungkin tidak cukup signifikan untuk sintesis kondroitin yang diperlukan oleh tulang rawan dibandingkan

dengan rute intravena. Dari penelitian tersebut konsentrasi glukosamin pada cairan sendi hampir 30 kali lipat dibandingkan pemberian secara oral.10 Namun, kontras dengan hasil outcome derajat nyeri, pemberian glukosamin ternyata bermakna dalam meningkatkan indeks fungsional pasien (Lequesne Index) serta melindungi tulang rawan dari kerusakan lebih lanjut dengan pelebaran sendi secara radiografik. Selain itu didapatkan bukti pelaporan efek samping dengan nilai relative risk ratio sebesar 0,99 [0,91 - 1,07] dibandingkan dengan plasebo yang menegaskan bahwa glukosamin aman untuk diberikan kepada pasien.10 Dalam hal penerapan terhadap pasien, studi yang dilakukan Towheed et al ini cukup aplikatif mengingat mayoritas studi yang digunakan ialah pasien dengan OA lutut, 69% perempuan, dan rata-rata usia lanjut yaitu 60,7 tahun. Intervensi yang diberikan berupa suplementasi glukosamin juga dapat diterapkan kepada pasien dengan banyaknya produk-produk suplemen glukosamin yang beredar di pasaran, serta tidak bertentangan dengan nilai yang dianut oleh pasien. Simpulan Berdasarkan dari hasil di atas belum didapatkan cukup bukti bahwa pemberian suplementasi glukosamin efektif untuk menurunkan derajat nyeri pada pasien dengan OA lutut. Diperlukan bukti dari penelitian dengan kualitas baik dan preparat glukosamin yang benar-benar sesuai untuk menunjukkan efek positif glukosamin terhadap OA lutut. Namun dari hasil studi yang ditelaah, meskipun tidak berdampak terhadap nyeri pasien, didapatkan bukti bahwa pemberian glukosamin dapat menghambat progresivitas kerusakan sendi secara radiografik akibat OA dan tidak menimbulkan efek samping yang berarti. Rekomendasi Untuk Pasien Jika ingin melakukan pemberian glukosamin terhadap pasien, perlu dilakukan edukasi terlebih dahulu mengenai informasi di bahwa konsumsi suplementasi glukosamin tidak terbukti mengurangi nyeri pada OA, namun dapat menghambat progresivitas kerusakan sendi akibat OA dan tidak memiliki efek samping. Namun, tata laksana OA

yang dilakukan sebaiknya lebih ditekankan pada pasien adalah pada penurunan berat badan, melakukan aktivitas fisik teratur, mengurangi waktu menjahit, melakukan peregangan sebelum dan saat bekerja, pengobatan menggunakan analgesik, dan menggunakan alat bantu berjalan. Untuk Keluarga Keluarga dimotivasi untuk ikut berperan serta dalam menangani penyakit pasien. Motivasi pasien untuk menurunkan berat badan, dapat melakukan aktivitas fisik bersama, motivasi penggunaan alat bantu berjalan atau menemani pasien bila sedang beraktivitas berat, mengingatkan jangan terlalu lama menjahit, dan untuk minum obat. Pemberian suplementasi glukosamin dapat dilakukan, meskipun belum terdapat cukup bukti untuk mengurangi gejala nyeri namun dapat mengurangi progresivisitas kerusakan sendi akibat OA dan aman dikonsumsi. Untuk Petugas Kesehatan Petugas kesehatan melakukan konseling kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit, faktor risiko, pengobatan, dan komplikasinya. Selain itu juga mengingatkan pasien untuk kontrol, teratur minum obat, mengurangi berat badan, melakukan aktivitas fisik teratur, saran penggunaan alat bantu berjalan, mengurangi waktu bekerja, melakukan kegiatan peregangan sebelum dan saat bekerja, serta motivasi keluarga untuk ikut berperan dalam tata laksana pasien. Jika ingin melakukan pemberian glukosamin, perlu dilakukan edukasi terlebih dahulu mengenai informasi di bahwa konsumsi suplementasi glukosamin tidak terbukti mengurangi nyeri pada OA, namun dapat menghambat progresivitas kerusakan sendi akibat OA dan tidak memiliki efek samping Untuk Praktik Klinis Pemberian glukosamin dapat direkomendasikan untuk mengurangi progresivisitas kerusakan sendi akibat OA dan tidak memberikan efek samping yang serius meskipun tidak terbukti dapat mengurangi derajat nyeri. Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai