Anda di halaman 1dari 8

Evidance-Based Case Report

Penilaian Skor APRI sebagai Penanda Fibrosis


Hati pada Hepatitis B Kronik

Oleh:
David Santosa

DIVISI HEPATOLOGI
PROGRAM PENDIDIKAN DO KTER SPESIALIS
DEPARTEMEN ILMU PENYAKI T DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
2012
Ilustrasi Kasus

Tn E.T. seorang laki-laki berusia 50 tahun menderita Hepatitis B kronik. Untuk memonitor
derajat fibrosis yang dideritanya pasien melakukan pemeriksaan fibroscan secara berkala. Hal
ini dapat dilakukan bila sarana dan prasarana untuk pemeriksaan fibroscan tersedia. Namun
fasilitas fibroscan tidak terdapat di semua daerah di Indonesia, terutama di daerah-daerah
terpencil. Ap akah skor APRI dapat digunakan untuk menilai derajat fibrosis pasien dengan
Hepatitis B kronik apabila fasilitas fibroscan ataupun biopsi hati tidak tersedia?

Pendahuluan

Hepatitis B kronik menginfeksi lebih dari 400 juta orang di seluruh dunia dan menyebabkan
masalah kesehatan yang serius. An gka prevalensi hepatitis B yang tinggi tersebut terutama di
Asia Tenggara dan Afrika, di mana 5-15% populasi merupakan karier hepatitis B kronik, dan
hampir 25% di antaranya mengalami penyakit hati kronik seperti fibrosis hati hingga sirosis
dan karsinoma hepatosellular.1,2 Fibrosis dapat menyebabkan penurunan fungsi normal dari
hati. Staging fibrosis hati yang tepat sangatlah penting dalam penentuan terapi dan prognosis
pasien hepatitis B kronik. Apabila telah terdiagnosis, fibrosis harus segera diintervensi
dengan terapi yang adekuat, karena apabila tidak diterapi, fibrosis akan berkembang menjadi
1,3,4
sirosis hati.

Biopsi hati yang merupakan baku emas untuk mendiagnosis fibrosis hati memiliki beberapa
keterbatasan, misalnya seperti pemeriksaannya yang invasif dan mahal, adanya komplikasi
setelah tindakan, kesalahan dalam pengambilan sampel, variabilitas dalam interpretasi
patologi, serta kecenderungan penolakan pasien dibiopsi berkali-kali untuk mengetahui
5,6
perkembangan penyakit. Komplikasi yang paling sering dari biopsi hati adalah rasa nyeri
dan perdarahan. Selain itu, dapat pula terjadi risiko kematian dengan insidensi sebesar
1/10.000 hingga 1/20.000 akibat prosedur.6 Karena keterbatasan itulah, saat ini pemeriksaan
noninvasif terus dikembangkan untuk menentukan derajat fibrosis hati. Beberapa
pemeriksaan noninvasif yang saat ini terus dikembangkan untuk mengurangi angka biopsi
hati adalah pemeriksaan dengan ultrasound (elastografi transien/FibroScan, elastografi real-
time, acoustic radiation force impulse elastography/ARFI) dan pemeriksaan serum (skor
4,7
APRI, skor Forns, skor FIB-4, Hepascore, Fibrometer).
Salah satu pemeriksaan noninvasif dalam menegakkan diagnosis fibrosis hati adalah skor
APRI. Penilaian dengan APRI (aspartate aminotransferase-to-platelet ratio index) pertama
kali dilakukan pada pasien fibrosis hati akibat hepatitis C kronik oleh Wai dkk pada tahun
2003. Pemeriksaan ini mudah dilakukan karena hanya menggunakan 2 indikator pemeriksaan
laboratorium yang terjangkau dan rutin diperiksa pada seluruh pasien, serta tidak
1
membutuhkan perhitungan yang sulit. APRI menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam
memprediksikan fibrosis hati akibat hepatitis C kronik.6,8 Penggunaan APRI dalam
mendiagnosis fibrosis hati pada pasien hepatitis B kronik belum sepopuler penggunaannya
pada pasien hepatitis C kronik, dan masih terdapat beberapa pandangan yang kontroversial
dalam penggunaannya tersebut.1

Pertanyaan Klinis

Pada pasien dengan hepatitis B kronik, seberapa akuratkah penilaian dengan skor APRI untuk
mendiagnosis fibrosis hati apabila dibandingkan dengan biopsi hati?

Metode

Strategi Pencarian

Penelusuran jurnal dilakukan dengan database Pubmed pada 20 Oktober 2012 menggunakan
kata kunci utama, yakni yang mewakili populasi (pasien dengan hepatitis B kronik),
determinan (skor APRI), dan keluaran (fibrosis hati yang ditentukan dengan biopsi hati).

Pemilihan

Jurnal yang ditemukan dari kata kunci yang dimasukkan di database adalah sebanyak 102
artikel. Pemilihan dilakukan dengan membaca judul/abstrak, menggunakan kriteria inklusi
dan eksklusi, serta mengeliminasi artikel yang sama. Kriteria inklusi yang dipilih adalah
penelitian pada manusia, jurnal dengan bahasa inggris, studi diagnostik, relevan dengan
pertanyaan klinis, dan artikel dengan publikasi dalam 5 tahun terakhir. Kriteria eksklusi
adalah penyakit hati kronik yang disebabkan selain oleh hepatitis B kronik. Sisa jurnal yang
relevan dan dapat digunakan setelah menerapkan hal di atas adalah sebanyak 2 jurnal.

Kajian Ilmiah
Telaah dilakukan terhadap dua jurnal hasil akhir pencarian. Telaah dilakukan berdasarkan
kriteria validity, importance, dan applicability yang terstandardisasi dari British Medical
Journal (BM J). Terdapat sejumlah pertanyaan mengenai validitas studi, yakni apakah uji
diagnostik yang diteliti dibandingkan secara blinding dan independent terhadap tes standar
(gold standard) penyakit yang bersangkutan, apakah tes standar dilakukan pada setiap pasien,
dan apakah studi dilakukan pada sp ektrum pasien yang sesuai untuk penyakit yang
bersangkutan.

Hasil

Kedua jurnal yang ditelaah menggunakan desain cross-sectional retrospektif. Kedua jurnal
juga memiliki domain, determinant, dan outcome yang sesuai dengan pertanyaan klinis.

Penelitian Wu dkk pada tahun 2010 yang berjudul Staging of liver fibrosis in chronic
hepatitis B patients with a composite predictive model: A comparative study, mengevaluasi 6
metode noninvasif dalam mendiagnosis fibrosis hati dengan biopsi hati sebagai tes standar.
Penelitian ini mengikutsertakan 78 suby ek penelitian dengan hepatitis B kronik yang
menjalani tindakan biopsi hati di Rumah Sakit Zhongsan, Shanghai, China. Hepatitis B
kronik didiagnosis dengan ditemukannya antigen permukaan dari HBV (HbsAg) dan kadar
alanin aminotransferase yang fluktuatif. Kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah penyakit
hati kronik yang disebabkan selain oleh hepatitis B, koinfeksi dengan hepatitis D, sirosis
yang tampak jelas dengan gejala klinis, pernah mendapat terapi anti-HBV, dan konsumsi
alkohol (pria > 20g/hari dan wanita > 10g/hari). Pada suby ek penelitian tersebut dilakukan
biopsi hati dan pengambilan sampel darah pada hari yang sama.

Area under receiver operator curve (AUROC) digunakan pada penelitian Wu dkk untuk
mengevaluasi keseluruhan nilai performa diagnostik dari skor APRI, dan didapatkan hasil
0,71 untuk fibrosis signifikan (F2-F4) dan 0,80 untuk fibrosis berat (F3-F4). Keakuratan
diagnostik didapat dari perhitungan sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value (PPV),
dan negative predictive value (NPV). Pada penelitian ini digunakan cut-off berdasarkan
penelitian sebelumnya. Penilaian tersebut dilakukan terhadap suby ek dengan fibrosis
signifikan (F2-4). Untuk cut-off < 0,5, didapatkan sensitivitas APRI sebesar 84%, spesifisitas
35%, PPV 47% dan NPV 76%. Sedangkan sensitivitas APRI sebesar 47%, spesifisitas 80%,
PPV 62% dan NPV 69% untuk cut-off >1,5.
Penelitian Liu dkk yang dipublikasikan pada Juni 2012 berjudul Globulin-platelet model
predicts minimal fibrosis and cirrhosis in chronic hepatitis B virus infected patients.
Penelitian ini membandingkan 7 metode noninvasif dan biopsi hati sebagai penanda fibrosis
hati pada hepatitis B kronik. Partisipan dalam penelitian berjumlah 114 orang, yaitu penderita
hepatitis B kronik di dua rumah sakit di wilayah Nanning, China, yang didiagnosis
berdasarkan hasil positif pada antigen permukaan (>0,5n g/mL) dan/atau e antigen (>0,05
NCU/mL) yang bertahan selama lebih dari 6 bulan. Beberapa kriteria eksklusinya adalah
adanya penyebab penyakit hati kronik selain hepatitis B, karsinoma hepatosellular, pernah
mendapat terapi interferon atau nukleosida, perlemakan pada hati, sirosis secara klinis atau
USG, dan konsumsi alkohol (pria > 60g/minggu dan wanita > 30g/minggu). Biopsi hati dan
pengambilan sampel darah dilakukan pada saat y ang sama.

Hasil penilaian skor APRI pada penelitian ini dibagi berdasarkan fibrosis minimal (F0-F1),
fibrosis lanjut (F2-F3), dan sirosis (F4), akan tetapi data yang ditampilkan pada jurnal hanya
data fibrosis minimal dan sirosis. Pada suby ek penelitian dengan fibrosis minimal didapatkan
nilai AUROC sebesar 0,635, sp esifisitas 87,5%, sensitivitas 41,4%, PPV 77,4% dan NPV
59%. Sedangkan pada suby ek penelitian dengan sirosis, didapatkan hasil nilai AUROC
0,703, sp esifisitas 72,8%, sensitivitas 72,7%, PPV 22,2% dan NPV 96,1%.

Tingkat fibrosis pada kedua jurnal dikelompokkan berdasarkan sistem M ETAVIR, yaitu F0
bila tidak terdapat fibrosis, F1 bila fibrosis portal tanpa septa, F2 jika fibrosis periportal
dengan sedikit septa, F3 jika fibrosis septal dengan banyak septa, dan F4 apabila sudah terjadi
sirosis.

Diskusi

Semua jurnal menggunakan desain cross-sectional retrospektif yang merupakan desain yang
ideal untuk studi diagnostik. Kedua jurnal ini juga memiliki domain, determinan dan keluaran
yang relevan dengan pertanyaan klinis. Subyek penelitian telah disaring dengan kriteria
eksklusi yang hampir sama pada kedua penelitian, yakni eksklusi terhadap penyebab penyakit
hati kronik lain selain hepatitis B kronik, sirosis yang tampak secara klinis, pernah mendapat
terapi antivirus sebelumnya, dan konsumsi alkohol dalam jumlah tertentu. Walaupun tidak
dicantumkan lebih lanjut mengenai ras dari setiap suby ek penelitian, kedua penelitian ini
diadakan di China yang tentuny a sebagian besar suby ek penelitiannya merupakan populasi
Asia, sehingga lebih representatif untuk masyarakat Indonesia.

Kedua uji diagnostik tersebut dilakukan secara independen, yaitu biopsi hati sebagai rujukan
standar dilakukan pada setiap suby ek penelitian tanpa melihat hasil skor APRI. Pada kedua
penelitian ini juga sudah dilakukan blinding. Karena itu, secara keseluruhan kedua jurnal ini
validitasnya sudah teruji.

APRI merupakan metode noninvasif dalam penanda fibrosis hati yang mudah dilakukan dan
sangat terjangkau. Dalam penilaian APRI digunakan 2 indikator dari pemeriksaan
laboratorium, yaitu AST (aspartate aminotransferase) dan trombosit. Kedua indikator ini
merupakan indikator indirek karena tidak berhubungan langsung dengan fibrosis hati, namun
merefleksikan disfungsi hati ataupun fenomena lain akibat fibrosis. Seiring dengan progresi
fibrosis hati, AST akan meningkat dan jumlah trombosit akan cenderung menurun.
Peningkatan AST berhubungan dengan kelainan pada hati yang meningkatkan pelepasannya
dari mitokondria dan penurunan klirens akibat fibrosis. M enurunnya jumlah trombosit
diakibatkan oleh penurunan produksi trombopoeitin oleh hepatosit. Selain itu, trombosit juga
mengalami sekuestrasi dan destruksi di limfe bila fibrosis hati berkembang dan terjadi
hipertensi portal. Skor APRI dihitung dengan rumus: [(AST/ambang atas nilai normal AST) x
9
100]/jumlah trombosit (10 /L).

Penelitian Wu dkk dengan cut-off < 0,5 menunjukkan sensitivitas APRI yang cukup tinggi
(84%), sp esifisitas yang rendah (35%), nilai PPV yang rendah (47%) dan NPV yang cukup
(76%). Sebaliknya pada cut-off > 1,5, didapatkan sp esifisitas APRI yang cukup tinggi (80%)
dan sensitivitas yang rendah (47%), nilai PPV (62%) dan NPV yang cukup (69%).
Keakuratan diagnosis dengan menggunakan APRI p ada penelitian ini hanya sebesar 67%.

Berdasarkan hasil penelitian Liu dkk, pada suby ek penelitian yang biopsi hatinya
menunjukkan fibrosis (F0-F1) minimal, didapatkan spesifisitas yang cukup tinggi (87,5%),
sensitivitas yang rendah (41,4%), PPV yang cukup (77,4%) dan NPV yang rendah (59%).
Sensitivitas yang rendah menunjukkan bahwa sekitar 59% penderita hepatitis B kronik yang
sebenarnya telah mengalami fibrosis minimal, tidak akan menunjukkan adanya fibrosis bila
diperiksa dengan skor APRI. NPV yang rendah menunjukkan bahwa berdasarkan penelitian
ini, hanya 59% subyek yang benar-benar tidak mengalami fibrosis minimal bila perhitungan
dengan skor APRI negatif. Untuk suby ek penelitian dengan sirosis (F4) pada penelitian Liu
dkk, didapatkan sp esifisitas yang cukup (72,8%), sensitivitas yang cukup (72,7%), PPV yang
rendah (22,2%) dan NPV yang tinggi (96,1%).

Hasil dari penelitian Wu dkk menunjukkan nilai AUROC pada APRI dalam mendiagnosis
fibrosis signifikan (F2-F3) adalah 0,71 dan fibrosis berat (F3-F4) sebesar 0,80. Sedangkan
berdasarkan penelitian Liu dkk, nilai AUROC untuk fibrosis minimal (F0-F1) sebesar 0,635
dan sirosis (F4) sebesar 0,703. Sebuah alat diagnostik dianggap baik apabila nilai AUROC
lebih besar dari 0,80, sangat baik bila nilai AUROC lebih besar dari 0,90, dan sempurna bila
nilai AUROC sebesar 1.

Kedua penelitian ini memiliki jumlah suby ek penelitian yang masih dinilai kurang, yaitu 78
orang pada penelitian Wu dkk dan 114 orang pada penelitian Liu dkk. Kurang banyaknya
jumlah suby ek penelitian dapat mempengaruhi reabilitas penelitian tersebut. Berdasarkan
data hasil sensitivitas, spesifisitas, PPV, NPV dan nilai AUROC dari kedua penelitian
tersebut, APRI mungkin bukanlah alat diagnostik yang baik dalam memprediksi fibrosis pada
hepatitis B kronik.

Nilai diagnostik APRI jauh lebih rendah pada hepatitis B kronik, jika dibandingkan dengan
nilai diagnostiknya pada hepatitis C kronik. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa penilaian skor APRI cukup memuaskan dalam mendiagnosis fibrosis hati pada pasien
6,8
dengan hepatitis C kronik. Perbedaan nilai AST dan trombosit pada hepatitis B kronik dan
hepatitis C kronik mungkin dapat disebabkan oleh perbedaan patogenesis fibrosis pada
hepatitis C kronik dan hepatitis B kronik, namun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut
untuk membuktikannya. Hal ini menunjukkan bahwa kegunaan diagnostik skor APRI tidak
dapat digeneralisasi pada seluruh penyakit hati kronik, melainkan harus divalidasi
berdasarkan etiologi spesifik.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Penilaian skor APRI menunjukkan keterbatasan dalam mendeteksi fibrosis hati pada pasien
dengan hepatitis B kronik, dan memang tidak dapat menggantikan peran biopsi hati dalam hal
tersebut. Penilaian dengan skor APRI bukanlah merupakan pilihan utama dalam mendeteksi
fibrosis hati pada pasien hepatitis B kronik, akan tetapi penggunaannya dapat
dipertimbangkan, terutama bila tidak terdapat sarana penunjang yang memadai di fasilitas
kesehatan, mengingat pemeriksaan APRI yang sederhana dan terjangkau. Penilaian skor
APRI sebagai salah satu modalitas noninvasif dalam mendeteksi fibrosis hati pada pasien
hepatitis B kronik perlu diteliti lebih lanjut, terutama bila dikombinasikan dengan
pemeriksaan non-invasif lainnya.

Referensi

1. Jin W, Lin Z, Xin Y, Jiang X, Dong Q, Xuan S. Diagnostic accuracy of the aspartate
aminotransferase-to-p latelet ratio index for the prediction of hepatitis B-related
fibrosis: a leading meta-analysis. BM C Gastroenterology 2012;12(14):1-8.
2. Wu SD, Wang JY, Li L. Staging of liver fibrosis in chronic hepatitis B patients with a
composite predictive model: A comparative study. World J Gastroenterol
2010;16(4):501-507.
3. Liu XD, Wu JL, Liang J, Zhang T, Sheng Q S. Globulin-platelet model predicts
minimal fibrosis and cirrhosis in chronic hepatitis B virus infected patients. World J
Gastroenterol 2012;18(22):2784-2792.
4. Degos F, Perez P, Roche B, M ahmoudi A, Asselineau J, Voitot H, et al. Diagnostic
accuracy of FibroScan and comparison to liver fibrosis biomarkers in chronic viral
hepatitis: A multicenter prospective study (the FIBROSTIC study). Journal of
Hepatology 2010;53:1013-1021.
5. Crisan D, Radu C, Lupsor M , Sparchez Z, Grigorescu MD,Grigorescu M . Two or
more sy nchronous combination of noninvasive tests to increase accuracy of liver
fibrosis assessment in chronic hepatitis C: Results from a cohort of 446 patients.
Hepat Mon 2012;12(3):177-184.
6. Laoeza-del-Castillo A, Paz-Pineda F, Oviedo-Cardenas E, Sanchez-Avila F, Vargas-
Vorackova F. AST to platelet ratio index (APRI) for the noninvasive evaluation of
liver fibrosis. Annals of Hepatology 2008;7(4):350-357.
7. Bota S, Sirli R, Sporea I, Focsa M , Popescu A, Danila M, et al. A new scoring sy stem
for prediction of fibrosis in chronic hepatitis C. Hepat Mon. 2011;11(7):548-555.
8. Abdo AA, Swat KA, Azzam N, Ahmed S, Faleh FA. Validation of three noninvasive
laboratory variables to predict significant fibrosis and cirrhosis in patients with
chronic hepatitis C in Saudi Arabia. Ann Saudi M ed 2007;27(2):89-93.

Anda mungkin juga menyukai