Anda di halaman 1dari 10

Penelitian Kuasi Eksperimental dan Eksperimental

Deskripsi sesi:
Dalam melakukan penelitian, peneliti dapat berperan observasional, yaitu mengamati
berbagai fenomena (sehingga peneliti tidak mempunyai kendali atas fenomena yang
diamati) atau melakukan berbagai perubahan/intervensi pada fenomena yang
diamati. (sehingga mempunyai kendali). Materi pembelajaran ini membahas
penelitian eksperimental, yang secara garis besar terdiri dari penelitian eksperimental
murni dan kuasi-eksperimental.

Tujuan sesi:
Setelah mempelajari materi ini, diharapkan mahasiswa mampu:
1. Membedakan penelitian eksperimental murni dan kuasi-eksperimental
2. Memahami berbagai rancangan dalam penelitian kuasi-eksperimental
3. Mengidentifikasi bias-bias dalam penelitian kuasi-eksperimental

Materi pembelajaran:
1. Hand-out jenis penelitian eksperimental murni dan kuasi-eksperimental
2. Artikel untuk critical appraisal (1): Wong C, Visram F, Cook D, Griffith L, Randall J,
OBrien B, Higgins D. Development, dissemination, implementation and evaluation
of a clinical pathway for oxygen therapy. CMAJ 2000; 162(1): 29-33 ; (2) Haynes
AB, Weiser TG, Berry WR, Lipsitz SR, Breizat AHS, Dellinger EP, Herbosa T, Joseph
S, Kibatala PL, Lapitan MCM, Merry AF, Moorthy K, Rezwick RK, Taylor B, Gawande
AA, for the Safe Surgery Safve Lives Study Group. A surgical safety checklist to
reduce morbidity and mortality in a global population. NEJM 2009; 360(5): 491-
499.
3. Bahan bacaan:
a. Harris AD, Lautenbach E, Perencevich E. A systematic review of quasi-
experimental study designs in the fields of infection control and antibiotic
resistance. Clinical Infect Disease 2005; 41: 77-82.
b. Grinshaw J, Campbell M, Eccles M, Steen N. Experimental and quasi-
experimental designs for evaluating guideline implementation strategies.
Family practice 2000; 17(Suppl 1): S11-S18.
c. Kendall JM. Designing a research project: randomized controlled trials and
their principles. Emerg Med J 2003; 20: 164-168.
d. Cook TD and Campbell DT. Quasi-experimental: design and analysis issues
for field setting. Chicago: Rand McNally College Publishing Company.
e. Rossi PH and Freeman HE. 1993. Evaluation: a systematic approach.
London: Sage Publications; page 297-332.

Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM 1

RANCANGAN PENELITIAN EKSPERIMENTAL


MURNI DAN KUASI-EKSPERIMENTAL
Iwan Dwi Prahasto dan Ari Probandari

Penelitian Eksperimental
Penelitian eksperimental adalah penelitian dengan kontrol (perlakukan) terhadap
eksposure. Dengan kata lain, pada penelitian eksperimental, status eksposur
ditetapkan oleh peneliti sendiri. Kelebihan utama rancangan penelitian ini adalah
apabila intervensi (eksposur) dialokasikan secara acak terhadap sampel yang cukup
besar, penelitian ini mempunyai derajat validitas yang tinggi yang tidak mungkin
dicapai oleh penelitian observasional lainnya (yaitu deskriptif, kasus kontrol, ataupun
kohort).

Dari aspek alokasi intervensi pada subjek penelitian, penelitian eksperimental dibagi
menjadi 2 yakni penelitian eksperimental murni dan kuasi eksperimental. Pada
penelitian eksperimental murni, intervensi dibagi secara acak pada subjek penelitian.
Sebaliknya, pembagian subjek dalam kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak
dilakukan secara random.

Penelitian eksperimental murni dalam konteks klinik dibedakan menjadi penelitian


eksperimental dengan intervensi pencegahan dan intervensi terapetik. Penelitian
eksperimental dengan intervensi terapetik disebut juga uji klinik. Berikut ini

Komponen-komponen uji klinik

1. Seleksi atau pemilihan subjek

Dalam uji klinik, harus ditentukan secara jelas kriteria-kriteria pemilihan pasien, yaitu:

a) Kriteria inklusi, yakni syarat-syarat yang secara mutlak harus dipenuhi subjek
untuk dapat berpartisipasi dalam penelitian. Kriterianya antara lain kriteria
diagnosis baik klinik maupun laboratoris, tingkat keparahan penyakit, asal pasien
(rumah sakit atau populasi), umur, dan jenis kelamin.
b) Kriteria eksklusi (pengecualian), yaitu kriteria yang membatasi partisipasi subjek
dalam penelitian. Sebagai contoh hampir sebagian besar uji klinik obat tidak
memasukkan wanita hamil sebagai subjek mengingat pertimbangan risiko yang
mungkin lebih besar dibanding manfaat yang didapat. Subjek yang mempunyai
risiko tinggi terhadap pengobatan/perlakuan uji juga secara ketat tidak dilibatkan
dalam penelitian.

Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM 2

2. Rancangan uji klinik

Untuk memperoleh hasil yang optimal perlu disusun rancangan penelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan etis, dengan tetap mengutamakan segi
keselamatan dan kepentingan pasien. Dua rancangan yang sering digunakan, yaitu
Randomized Clinical Trial (RCT) parallel design dan RCT cross-over design.

(a) Rancangan RCT parallel design

Prinsip dasar rancangan ini adalah secara acak subjek dibagi ke dalam 2 atau
lebih kelompok pengobatan. Jumlah subjek pada setiap kelompok harus
seimbang atau sama. Masing-masing kelompok akan memperoleh
pengobatan/perlakuan yang berbeda, sesuai dengan jenis perlakuannya. Secara
skematis adalah sebagai berikut: (R adalah simbol pengacakan atau random)

Pengobatan A

Pasien Memenuhi kriteria R

Pengobatan B

(b) Rancangan RCT cross-over design

Pada rancangan ini setiap subjek akan memperoleh semua bentuk


pengobatan/perlakuan secara selang-seling, yang ditentukan secara acak. Untuk
menghindari kemungkinan pengaruh obat/perlakuan yang satu dengan yang
lainnya, setiap subjek akan memperoleh periode bebas pengobatan (washed-out
period atau WOP). Rnacangan ini hanya dapat dilakukan untuk penyakit yang
bersifat kronik dan stabil, seperti misalnya rematoid artritis dan hipertensi. Secara
skematis:

Obat A W Obat B

Pasien Memenuhi kriteria R O

Obat B P Obat A

3. Jenis intervensi dan pembandingnya

Dalam uji klinik, jenis intervensi dan pembandingnya harus didefinisikan secara jelas.
Informasi yang perlu dicantumkan meliputi jenis obat dan formulasinya, dosis dan
frekuensi pengobatan, waktu dan cara pemberian serta lamanya pengobatan
dilakukan. Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan uji klinik dan keberhasilan
pengobatan, hendaknya dipertimbangkan segi-segi teknis yang berkaitan dengan
ketaatan pasien serta ketentuan lain yang diberlakukan selama uji klinik. Sebagai
contoh adalah apabila frekuensi pemberian terlalu sering (misalnya lebih dari 4 kali

Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM 3

sehari), maka kemungkinan ketaatan pasien juga semakin berkurang. Penjelasan lain
meliputi obat-obat apa yang boleh dan tidak boleh diminum selama uji berlangsung.
Perlakuan pembandung juga harus dijelaskan, apakah pembanding positif (obat
standard yang telah terbukti secara ilmiah kemanfaatannya) atau negatif (plasebo).
Mengingat bahwa plasebo bukanlah obat, maka pemberian plasebo tidak dianjurkan
untuk penyakit-penyakit yang berakibat fatal dan serius. Yang digarisbawahi disini
adalah bahwa pembanding positif hendaknya merupakan obat pilihan pertama (drug
of choice) suatu penyakit.

4. Pengacakan atau randomisasi intervensi

Randomisasi atau pengacakan intervensi mutlak diperlukan dalam uji klinik


terkendali (RCT), dengan tujuan utama menghindari bias. Dengan pengacakan maka:

a) setiap subjek akan memperoleh peluang yang sama dalam mendapatkan obat
uji atau pembandingnya (sebagai kelompok intervensi atau kontrol)
b) subjek yang memenuhi kriteria inklusi akan terbagi sama rata dalam setiap
kelompok intervensi, dimana ciri-ciri subjek dalam satu kelompok praktis
seimbang.

5. Besar sampel

Beberapa faktor yang mempengaruhi penetapan besar sampel adalah:

a) Derajat kepekaan uji klinik: jika diketahui bahwa perbedaan kemaknaan klinis
antara 2 obat yang diuji tidak begitu besar, berarti diperlukan jumlah sampel
yang besar
b) Keragaman hasil: makin kecil keragaman hasil uji antar individu dalam
kelompok yang sama, semakin sedikit jumlah subyek yang diperlukan.
c) Derajat kebermaknaan statistik: semakin besar kebermaknaan statistik yang
diharapkan dari uji klinik, semakin besar pula jumlah subyek yang diperlukan.

Salah satu contoh cara penghitungan besar sampel antara lain, apabila kita ingin
membandingkan 2 jenis obat, A dan B, dimana diperkirakan bahwa prosentase
kesembuhan setelah pemberian obat A adalah 95%, sementara prosentase
kesembuhan pada pemberian obat B 90%. Dengan menentukan kesalahan tipe I dan
kesalahan tipe II maka digunakan cara penghitungan sebagai berikut:

p1 x (100 - p1) + p2 x (100 - p2)

n (per kelompok) = x f (alpha, beta)

(p1 - p2)2

Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM 4

dimana:

n = jumlah sampel per perlakuan

p1 = prosentase kesembuhan yang diharapkan dari perlakuan1, yakni 95%

p2 = prosentase kesembuhan yang diharapkan dari perlakuan 2, yakni 90%

alpha = kesalahan tipe I, misalnya 0,05

beta = kesalahan tipe II, misalnya 0,1

f (alpha, beta) adalah 10,5 (dari tabel).

Maka jumlah sampel per perlakuan yang diperlukan adalah:

95 x (100 - 95) + 90 x (100 - 90)

n (per kelompok) = x 10,5 = 578 pasien

(95-90) 2

6. Pembutaan (blinding)

Yang dimaksud dengan pembutaan adalah merahasiakan bentuk terapi yang


diberikan. Dengan pembutaan, maka pasien dan/atau pemeriksa tidak mengetahui
yang mana obat yang diuji dan yang mana pembandingnya. Biasanya bentuk obat
yang diuji dan pembandingnya dibuat sama. Tujuan utama pembutaan ini adalah
untuk menghindari bias pada penilaian respons terhadap obat yang diujikan.
Pembutaan dapat dilakukan secara:

single blind (jika identitas obat tidak diberitahukan kepada pasien), double-blind (jika
baik pasien maupun dokter pemeriksa tidak diberitahu obat yang diuji maupun
pembandingnya), atau triple blind (jika pasien, dokter pemeriksa ataupun individu
yang melakukan analisis tidak mengetahui identitas obat yang diuji dan
pembandingnya).

7. Penilaian respons

Penilaian respons pasien terhadap proses terapetik yang diberikan harus bersifat
objektif, akurat, dan konsisten. Empat kategori utama yang sering digunakan adalah:

a) Penilaian awal sebelum perlakuan: sesaat sebelum uji dilakukan, keadaan klinis
hendaknya dicatat secara seksama berdasarkan parameter yang telah disepakati.
Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM 5

Sebagai contoh tekanan darah, hendaknya diukur sesaat sebelum uji klinik
dimulai.
b) Kriteria utama respons pasien: indikasi utama pengobatan merupakan kriteria
utama yang harus dinilai. Jika yang diuji obat analgetik-antipiretika, maka kriteria
utama penilaian adalah penurunan panas, ada tidaknya kejang atau gejala lain
sebagai manifestasi demam dan yang lainnya.
c) Kriteria tambahan: dari segi keamanan pemakaiannya. Misalnya efek samping
baik yang berbahaya maupun yang tidak.
d) Pemantauan pasien: faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan pasien untuk
berpartisipasi dalam penelitian hendaknya dapat dikontrol sebaik mungkin.

8. Analisis dan interpretasi data

Analisis dan interpretasi hasil bergantung pada metode statistik yang dipakai.
Sebagai contoh, untuk menguji perbedaan rerata antara 2 kelompok uji, maka
digunakan uji t (student-t test). Pertimbangan lain adalah konsep kemaknaan statistik
dan kemaknaan klinis.

9. Protokol uji klinik

Protokol uji klinik memuat petunjuk pelaksanaan uji klinik dan rancangan ilmiah yang
digunakan. Kerangka protokol uji klinik idealnya mencakup hal berikut ini: latar
belakang dan tujuan umum, tujuan khusus, kriteria pemilihan pasien, prosedur dan
tata laksana intervensi, kriteria penilaian respons, rancangan uji, pencatatan dan
randomisasi subjek, persetujuan tertulis dari pasien, besar sampel, pemantauan,
pencatatan dan manajemen data, penyimpangan protokol, rencana analisis statistik,
dan administrasi.

10. Etika

Etika uji klinik mencakup:

a) Protokol uji klinik yang telah mendapat persetujuan dari komisi etik (ethical
clearance)
b) Menjamin kebebasan pasien untuk ikut serta secara sukarela atau menolak atau
berhenti sewaktu-waktu dari penelitian
c) Menjamin kesehatan dan keselamatan pasien sejak awal, selama dan sesudah
penelitian
d) Keikutsertaan pasien harus dinyatakan dalam written informed-consent.
e) Menjamin kerahasiaan identitas dan segala informasi yang diperoleh dari pasien.

Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM 6

RCT parallel design

Kelebihan:

a) Kelompok cenderung hampir sama ciri-cirinya


b) Pasien, staf, dan penilai dapat diblinding
c) Sebagian besar uji statistik didasarkan atas asumsi alokasi secara acak.
Kelemahan:

a) Relatif mahal dan memakan waktu


b) Sukarelawan mungkin tidak mewakili seluruh pasien
c) Pengobatan efektif yang potensial mungkin tidak diperoleh subjek, atau subjek
mungkin terekspos ke paparan yang mungkin berbahaya

RCT cross-over design

Kelebihan:

a) Subjek berlaku sebagai kontrolnya sendiri, sehingga mengurangi variasi. Oleh


karenanya jumlah subjek yang dibutuhkan lebih sedikit daripada RCT parallel
design.
b) Seluruh subjek menerima kedua intervensi
c) Uji statistik yang berdasarkan prinsip randomisasi dapat dipakai
d) Dapat dilakukan blinding pasien, staf, dan penilai

Kelemahan:

a) Subjek yang merespons terhadap intervensi harus beralih ke plasebo


b) Washed-out period untuk obat tertentu memerlukan waktu yang lama
c) Tidak dapat digunakan apabila pengobatan mempunyai efek yang permanen
(misalnya program pendidikan, fisioterapi, terapi perilaku)

Penelitian Kuasi Eksperimental


Kuasi eksperimental adalah sebuah studi eksperimental yang dalam mengontrol
situasi penelitian menggunakan cara non random. Desain ini berasal dari riset ilmu
sosial yang kemudian diadopsi oleh epidemiologi untuk mengevaluasi dampak
intervensi kesehatan masyarakat. Untuk memperoleh taksiran dampak perlakuan
yang sebenarnya maka peneliti harus memilih kelompok kontrol yang memiliki
karakteristik variable perancu yang sebanding dengan kelompok perlakuan.

Kuasi eksperimental ini dilakukan sebagai alternatif eksperimen randomisasi, tatkala


pengalokasian faktor penelitian pada subjek penelitian tidak mungkin, tidak etis atau
Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM 7

tidak praktis dilaksanakan dengan randomisasi, misalnya ketika ukuran sampel


terlalu kecil.

Jenis Desain Eksperimen Kuasi


Kuasi eksperimental dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:

1. One group pre and post test design


Merupakan kuasi eksperimental dimana masing-masing subjek menjadi kontrol bagi
dirinya sendiri dan pengamatan variabel hasil dilakukan sebelum dan sesudah
perlakuan. Kelompok kontrol untuk dirinya sendiri disebut dengan kontrol internal.

E=C O1 Tx O2

(X) (Y)

E:KelompokPerlakuan

Desain One Group pre and post test design

2. After only with control design


Mengamati variable hasil pada saat yang sama terhadap kelompok perlakuan dan
kelompok control, setelah perlakuan diberikan kepada kelompok perlakuan (subjek).
Dengan cara non random peneliti memilih kelompok control yang memiliki
karakteristik atau variable variable perancu potensial yang sebanding dengan
kelompok perlakuan.

ETx O1

(Y)

C O1

(Z)

After only with control design

Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM 8

3. After and Before with control design


Desain ini mirip dengan RCT kecuali penunjukan kelompok subjek tidak dilakukan
dengan random. Pengaruh perlakuan ditentukan dengan membandingkan perubahan
nilai-nilai variable hasil pada kelompok perlakukan dengan perubahan nilai-nilai pada
kelompok control. Desain ini lebih baik dari dua desain eksperimen kuasi yang
terdahulu, karena mengatasi kemungkinan variasi eksternal yang diakibatkan
perubahan waktu serta menggunakan kelompok pembanding eksternal

EO1 Tx O1

(X) (Y)

C O1 O1

(A) (Z)

After and Before with control design

4. Desain campuran
Desain campuran mengkombinasikan elemen-elemen pembanding internal dan
eksternal. Kombinasi tersebut meningkatkan kemampuan mengatasi ancaman
validitas selanjutnya meningkatkan kemampuan untuk manrik inferensi kausal.

Kelemahan dan Kekuatan Kuasi Eksperimental


Kuasi eksperimental mempunyai kekuatan lebih mungkin diterapkan dan lebih murah
dibandingkan eksperimen randomisasi, terutama pada penelitian yang ukuran
sampel sangat besar atau sangat kecil. Sedangkan kelemahan dari kuasi
eksperimental antara lain; karena pada desain ini tidak dilakukan randomisasi maka
peneliti kurang mampu mengendalikan factor-faktor penganggu. Alokasi non random
ini bahkan dapat mengakibatkan bias yang sulit dikontrol pada analisis data.

Referensi
Feinstein AR. 1979. Methodologic Problems and Standards in Case Control Research. J
Chron Dis, 32:35-41.

Ibrahim MA & Spitzer WO. 1979. The Case control study: the problem and the prospect. J
Chron Dis, 32:139-144.

Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM 9

Kelsey JL, Whittemore AS, Evans A, Thompson WD. 1996. Methods in observational
epidemiology. 2nd edition. New York, Oxford University Press, p. 244-267.

Meinert CL. 1986. Clinical trials, design, conduct, and analysis. New York: Oxford
University Press.

Murti B, 2003, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, GMU Press

Schlesselman JJ. 1982. Case-Control Studies. Design, Conduct, Analysis. New York:
Oxford University Press.

Streiner DL, Norman GR, and Blum HM. 1989. PDQ Epidemiology. Toronto, BC Decker
Inc.

Strom BL. 1994. Other Approaches to Pharmacoepidemiology Studies. Dalam BL Strom.


Pharmacoepidemiology. Second Edition. New York: John Wiley & Sons.

Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM 10

Anda mungkin juga menyukai