sebesar 16,2%. Trauma kapitis adalah faktor penyumbang ketiga (30,5%) dari
semua kematian terkait trauma di Amerika Serikat.
Menurut Dawodu (2004), IR trauma kapitis ringan di Amerika Serikat yaitu 131
kasus per 100.000 penduduk, IR trauma kapitis sedang 15 kasus per 100.000
penduduk, dan IR trauma kapitis berat 14 kasus per 100.000 penduduk.11 Di
Indonesia, menurut Depkes RI tahun 2007 cedera menempati urutan ke-7 pada 10
penyakit utama penyebab kematian terbanyak pada pasien rawat inap di rumah
sakit dengan CFR 2,94% dan pada tahun 2008 menempati urutan ke-6 dengan
CFR 2,99%.1 Menurut penelitian Lusiyawati di Rumah Sakit Pandan Arang
Boyolali (2009), dari sepuluh kasus penyakit yang terbanyak terdapat 32,28%
trauma kapitis, yang terbagi menjadi 20,05% trauma kapitis ringan, 9,12% trauma
kapitis sedang, 2,11% trauma kapitis berat.37 2.5.2.
LI.1.3. Etiologi (faktor predisposisi) Cedera Kepala
Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan
atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.
Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun
maupun sesudah sampai ke tanah
Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan)
LI.1.4. Klasifikasi Trauma Kepala
Cedera Kepala Berdasarkan Mekanismenya
Cedera kepala berdasarkan mekanismenya dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1) Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi
yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan kontak
pada protuberas tulang tengkorak.
2) Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
Cedera Kepala Berdasarkan Keparahan Cedera
1) Ringan : GCS 1415
(tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada kelainan anatomi)
Dengan Skala Koma Glasgow >12, tidak ada kelainan dalam CT-scan, tiada lesi
operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit. Trauma kepala ringan atau
cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi atau menurunnya
kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2001). Cedera kepala
ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak kehilangan
kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan abrasi
(Mansjoer, 2000). Cedera kepala ringan adalah cedara otak karena tekanan atau
terkena benda tumpul (Bedong, 2001). Cedera kepala ringan adalah cedera kepala
tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran sementara (Corwin, 2000).
Pada penelitian ini didapat kadar laktat rata-rata pada penderita cedera kepala
ringan 1,59 mmol/L.
2)
3)
Berat : GCS 38
(penurunan kesadaran berat, mata tidak sama, pemeriksaan motor tidak sama,
bocornya cairan otak, perburukan saraf, fraktur tengkorak depressed)
Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit
(Torner C, Choi S, Barnes Y, 1999). Hampir 100% cedera kepala berat dan 66%
cedera kepala sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala
berat terjadinya cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder
apabila proses patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan
dihentikan (Parenrengi, 2004). Penelitian pada penderita cedera kepala secara
klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat
disertai dengan peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan
serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis otak.
belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi
pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
c. Fraktur kominutif Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang
meiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
d. Fraktur impresi Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan
dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area
yang kecal. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan
atau laserasi pada duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap
bermakna terjadi, jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah
tabula interna segmen tulang yang sehat.
e. Fraktur basis kranii Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang
terjadi pada dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan
robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis
kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur
fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur
di daerah basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih
tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih
erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur
daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat
menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko
terjadinya infeksi selaput otak (meningitis). Pada pemeriksaan klinis dapat
ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior),
atau ottorhea dan batles sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini
juga dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi adalah
gangguan saraf penciuman (N,olfactorius). Saraf wajah (N.facialis) dan saraf
pendengaran (N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis kranii
meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak
misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang tidak
menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan telinga,
jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/
otorrhea/otoliquorrhea.
Pada
penderita
dengan
tanda-tanda
bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan
kepala miring ke posisi yang sehat.
LI.1.5. Patofisiologi Cedera Kepala
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan O2 dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan O 2, Jadi kekurangan aliran darah ke
otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan glukosa. Sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari
20 mg% karena akan menimbulkan koma.Kebutuhan glukosa 25% dariseluruh
kebutuhan glukosa tubuh sehingga bila kadar glukosa plasmaturun sampai 75% akan
terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia,
tubuh berusaha memenuhi kebutuhan melalui proses metabolic anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada komosio berat, hipoksia atau kerusakan
otak akan terjadi penimbunan asam. Lalu hal ini akan menyebaban asidosis metabolic.
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis
tergantung pada besar dan kekuatan benturan, arah dan tempat benturan, serta sifat
dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan. Sehubungan dengan berbagai aspek
benturan tersebut maka dapat mengakibatkan lesi otak berupa : lesi bentur (Coup),
lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak
peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain=lesi media), dan lesi kontra
(counter coup).21 Berdasarkan hal tersebut cedera otak dapat dibedakan atas
kerusakan primer dan sekunder
a. Kerusakan Primer
Kerusakan primer adalah kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai
akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan
ini dapat bersifat fokal ataupun difus. Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang
melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung kepada mekanisme
trauma yang terjadi sedangkan kerusakan difus adalah suatu keadaan patologis
penderita koma(penderita yang tidak sadar sejak benturan kepala dan tidak
mengalami suatu interval lucid) tanpa gambaran Space Occupying Lesion (SOL)
pada CT-Scan atau MRI.
b. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, pembengkakan
otak, Tekanan Tinggi Intrakranial (TTIK), hidrosefalus dan infeksi.
Membuka
perintah
Respo
n
motori
k
6
mata
0-1 tahun
1 tahun
Mengikuti perintah
Melokalisasi nyeri
Melokalisasi nyeri
Menghindari nyeri
Menghindari nyeri
Ekstensi
(deserebrasi)
Respo
n
verbal
5 tahun
0 - 2 tahun
Menangis kuat
Mengeluarkan
suara
Mengeluarkan
lemah
Kadang kadang
menangus/menjerit
lemah
Nilai tertinggi dari pemerikasan Skala Koma Glasgow (SKG) adalah 15 dan terendah
adalah 3. Berdasarkan nilai SKG trauma kapitis dapat dibagi atas :
kategori
SKG
Gambaran klinik
Skening Otak
Trauma kapitis
ringan
13 15
Pingsan 10 menit,
defisit neurologis (-)
Normal
Trauma Kapitis
Sedang
9 12
Abnormal
3-8
Abnormal
Pemeriksaan Skala Koma Glasgow tidak dapat dilakukan bila kedua mata tertutup,
misalnya bila kelopak mata membengkak. Rangsangan nyeri untuk menimbulkan
respon motorik dilakukan dengan menekan pertengahan sternum dengan kapitulum
metakarpal (telapak tangan) pertama jari tengah. Bila ada tetraplegi tentu tes ini tidak
akan berguna.
3) Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah
abnormal.Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap
saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan
akibat dari cedera kepala. Penilaian ukuran pupil dan responnya terhadap rangsangan
cahaya adalah pemeriksaan awal terpenting dalam menangani cedera kepala.
Salah satu gejala dini dari herniasi dari lobus temporal adalah dilatasi dan
perlambatan respon cahaya pupil. Dalam hal ini adanya kompresi maupun distorsi
saraf okulomotorius sewaktu kejadian herniasi tentorial unkal akan mengganggu funsi
akson parasimpatis yang menghantarkan sinyal eferen untuk konstrksi
pupil.Perubahan pupil pada hematom epidural dapat dilihat dari tabel
Gerakan bola mata merupakan indeks penting untuk penilaian aktiffitas fungsional
batang otak (formasio rektikularis). Penderita yang sadar penuh (alert) dan
mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan intaknya sistem motorikokuler
di batang otak. Pada keadaan kesadaran yang menurun, gerakan bola mata volunter
menghilang, sehingga untuk menilai gerakannya ditentukan dari refleks okulosefalik
dan okulovestibuler.
4) Pemeriksaan Neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap
seperti biasanya. Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat
dilakukan pemeriksaan obyektif. Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf
kranial dan saraf perifer. Tonus,kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus
diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.
Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan meningens,
yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis
servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur
atau dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik
dan sarah sensorik (nervus kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf
12, yaitu :
a. nervus I (nervus olfaktoris)
b. nervus II (nervus optikus)
c. nervus III (nervus okulomotoris)
d. nervus IV (troklearis)
e. nervus V (trigeminus)
f. nervus VI (Abdusens)
g. nervus VII (fasialis)
h. nervus VIII (oktavus)
i. nervus IX (glosofaringeus)
j. nervus X (vagus)
k. nervus XI (spinalis)
l. nervus XII (hipoglosus)
nervus spinalis (pada otot lidah) dan nervus hipoglosus (pada otot belikat)
berfungsi sebagai saraf sensorik dan saraf motorik
5) Analisa gas darah untuk mengetahui masalah ventilasi dan oksigenasi akibat
peningkatan tekanan intracranial.
6) Pemeriksaan radiologis, yang berupa :
a. Foto Rontgen polos
Pada trauma kapitis perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna vertebralis
servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di
daerah oksipital, buatkan foto anterior-posterior dan bila lesi pada kulit terdapat di
daerah frontal buatkan foto posterior-anterior. Bila lesi terdapat pada daerah
temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan
dibuat foto lateral dari kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka
dibuatkan foto basis kranii dengan kepalamenggantung dan sinar rontgen terarah
tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang bawah). Foto
kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk melihat
adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat
ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan intrakranial yang tinggi
mungkin menimbulkan impressions digitae.
d) Adanya kejang
e) Adanya tanda neurologis fokal
f) Sakit kepala yang menetap.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging) MRI dapat memberikan foto berbagai
kelainan parenkim otak dengan lebih jelas. Beberapa keuntungan MRI
dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : lebih baik dalam menilai cedera subakut, termasuk kontusio, shearing injury, dan sub dural hematoma, lebih baik
dalam menilai dan melokalisir luasnya kontusio dan hematoma secara lebih
akurat karena mampu melakukan pencitraan dari beberapa posisi, dan lebih
baik dalam pencitraan cedera batang otak. Sedangkan kerugian MRI
dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : membutuhkan waktu pemeriksaan lama
sehingga membutuhkan alat monitoring khusus pada pasien trauma kapitis
berat, kurang sensitif dalam menilai perdarahan akut, kurang baik dalam
penilaian fraktur, perdarahan subarachnoid dan pneumosefalus minimal dapat
terlewatkan.
d. Angiografi
Angiografi untuk menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
LI.1.8. Tatalaksana Cedera Kepala
Pedoman penatalaksanaan cedera kepala
a. Pada semua pasien dengan cedera kepala dilakukan foto tulang belakang, servical,
pastikan tulang servical C1-C7 normal.
b. Pada pasien dengan cedera kepala sedang dan berat.
Pasang infus dengan larutan NaCl 0,9% atau RL untuk menghindari adanya
oedema cerebri.
Lakukan pemeriksaan laboratorium : hematokrit, trombosit, darah
periferlengkap, glukosa protombin.
c. Lakukan CT. scan, foto rontgen kepala, tidak diberikan jika susah, dilakukanCT.
scan karena lebih sensitive untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan CKR/CKB
harus dievaluasi adanya :
Hematoma epidural
Darah dalam subarachnoid dan interventrikel
Kontusio dan perdarahan jaringan otak
Oedema cerrebri
Pergeseran garis tengah
Fraktur cranium
Cedera kepala ringan
Umumnya dapat dipulangkan tanpaCT. scan dengan criteria :
a) Hasil pemerksaan neurolgis normal
b) Foto servical jelas normal
c) Adanya orang yang bertanggung jawab megamati pasien 24 jam
C. Pemeriksaan Neurologis
Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan
terdiri dari :
GCS
Reflek cahaya pupil
Gerakan bola mata
Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita
dilakukan sedasi atau
paralisis
Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 6 mg ) IV
Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon
motorik, bila timbul
respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik
yang terbaik
Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan
pasien.
D. Prosedur Diagnosis
TERAPY MEDIKAMENTOSA :
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengaalami cedera
A.
Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih.
Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan hyperglikemia
yang berakibat buruk pada otak yangn cedera.
Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl.
Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia
menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresig.
B.
Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan
PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak.
HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun.
PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah.
Pertahankan level PCo2 pada 25 30 mmHg bila TIK tinggi.
C.
Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV.
Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian
terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis.
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia.
D.
Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis. Dosis 0,3 0,5 mg/kg BB IV
E.
Steroid
Steroid tidak bermanfaat. Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan
F.
Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK.
Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena
barbiturat dapat menurunkan tekanan darah.
G.
Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah
terjadinya epilepsi pasca trauma. Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam
fase akut hingga minggu ke I. Obat lain diazepam dan lorazepam.
LI.1.9. Komplikasi Cedera Kepala
A. Jangka pendek :
1. Hematom Epidural
Letaknya antara tulang tengkorak dan duramater. Terjadi akibat pecahnya arteri
meningea media atau cabangnya. Gejalanya : setelah kecelakaan pasien
pingsa/nyeri kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi
beberapa jam kemudian timbul gejala yang bersifat progresif seperti nyeri kepala,
pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meningkat, pupil pada
sisi perdarahan mula-mula miosis lalu menjadi lebar dan akhirnya tidak bereaksi
terhadap cahaya. Ini adalah tanda-tanda terjadi herniasi tentorial.
Keadaan akut (minimal 24 jam sampai 3X24 jam), adanya lucid interval,
peningkatan TIK dan gejala lateralisasi berupa hemiparesis.
Pemeriksaan CT scan menunjukan ada bagian hiperdens yang bikonveks dan LCS
biasanya jernih. Tatalaksana berupa tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan
pengikatan pembuluh darah.
2. Hematom Subdural
Letak dibawah duramater. Akibat pecahnya bridging vein, gabungan robekan
bridging veins dan laserasi piamater serta arackhinoid dari korteks serebri. Gejala
subakut mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama dan gejala cronis
timbul 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma.
Pada pemeriksaan CT Scan setelah hari ke 3 kemudian diulang 2 xkemudia
terdapat bagian hipodens berbentuk creesent.)
Operasi : segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak (dekompresi)
dengan melakukan evakuasi hematom.
Penanganan subdural hematom aku t terdiri dari tranplasntasi dekompresi.
3. Perdarahan intracerebral
Perdarahan dalam koretek serebri yang berasal dari arteri kortikal, banyak terdapat
pada lobus temporal.
4. Perdarahan subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachinoid akibat robek pembuluh darah dan
permukaan otak, selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
5. Udem cerebri
Otak membengkak, penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga berjamjam. Tekanan darah naik, nadi melambat, gejala kerusakan jaringan otak juga tidak
ada, cairan otak normal,
hanya tekanan meninggi dan kesadaran menurun.
B. Jangka panjang :
1. Kerusakan saraf kranial
Anosmia
2.
3.
4.
5.
pada GCS 3 dibandingkan dengan GCS 4 mungkin disebabkan skor pasien yang di
sedasi dianggap sebagai 3.
Perdarahan epidural
Gejala klinis yang khas adalah : Lucid Interval (adanya fase sadar diantara 2 fase
tidak sadar karena bertambahnya volume darah). Gelaja paling menonjol yaitu
penurunan kesadaran secara progresif. Pasien dengan epidural hematom yang
mengenai fossa posterior akan menyebabkan keterlambatan atau kemunduran
aktivitas yang drastis. Penderita akan merasa kebingungan dan berbicara kacau, lalu
beberapa saat kemudian menjadi apneu, koma, kemudian meninggal.
Respon chusing yang menetap dapat timbul sejalan dengan adanya peningkatan
tekanan intara kranial, dimana gejalanya dapat berupa :
Hipertensi
Bradikardi
Bradipneu
Kontusio, laserasi atau tulang yang retak dapat diobservasi di area trauma. Dilatasi
pupil, lebam, pupil yang terfixasi, bilateral atau ipsilateral kearah lesi, adanya gejala
gejala peningkatan tekanan intrakranial, atau herniasi. Adanya hemiplegi kontralateral
lesi dengan gejala herniasi harus dicurigai adanya epidural hematom.
Adanya tiga gejala klasik sebagai indikasi dari adanya herniasi yang menetap,
yaitu:
Coma
Fixasi dan dilatasi pupil
Deserebrasi
Gejala lain yang sering tampak :
Bingung
Penglihatan kabur
Susah bicara
Nyeri kepala yang hebat
Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala
Mual
Pusing
Berkeringat
Pucat
Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar
Pemeriksaan penunjang
-Foto polos : sulit untuk menentukan
-CT Scan akan tampak area hiperdens biconvex.
-MRI
Penatalaksanaan
Penatalaksaan epidural hematoma dapat dilakukan segera dengan cara trepanasi
dengan tujuan melakukan evakuasi hematoma dan menghentikan perdarahan
Prognosis
Prognosis tergantung pada :
Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
Besarnya
Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena
kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk pada
pasien yang mengalami koma sebelum operasi.
SUBDURAL HEMATOMA
DEFINISI
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang
biasanya meliputi perdarahan vena.
ETIOLOGY
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Hemoragi subdura biasanya disebabkan oleh sobeknya vena di tempat
vena itu melalui rongga subdura. Gerak otak depan relatif terhadap dura dengan
mendadak, dapat terjadi setelah mendapat pukulan yang tidak mengakibatkan
fraktur tengkorak.
Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis
walaupun traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua) sehingga
tidak terungkap oleh anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging veins,
karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik otak.
Subdural merupakan lapisan sebelum dura ( duramater adalah membran
pembungkus terluar dari otak ). Subdural hematom terjadi ketika darah vena yang
berlokasi antara lapisan pembungkus otak ( meningen ) ditemukan darah setelah
head injury pada kepala. Subdural hematom timbul ketika vena-vena yang
berjalan antara dura dan permukaan otsk pecah dan mengeluarkan darah.
Pengumpulan darah kemudian terbentuk diatas permukaan otak. Pada
pengumpulan subdural kronik, darah yang berasal dari vena-vena berjalan lambat.
Ini dapat terjadi karena head injury atau frekuensi kurang, itu dapat terjadi spontan
jika pasien agak tua.
Hematom subdural kronik biasanya dihubungkan dengan atropi serebral. Vena
batang kortek diperkirakan tekanannya menjadi lebih rendah sebagaimana
penyusunan otak yang berangsur-angsur dari tulang tengkorak, bahkan trauma
minor bisa menyebabkan satu dari vena menjadi bocor. Perdarahan yang lambat
dari sistem vena yang bertekanan rendah sering bisa memperbesar bentuk
hematom sebelum nampak tanda-tanda klinis. Hematom subdural yang kecil
sering diabsorbsi secara spontan. Kumpulan yang besar dari darah subdural sering
mengatur dan membentuk membran vaskuler yang menyelubungi hematom
subdural. Perdarahan kecil yang berulang , vena bersama dengan membran ini
bertanggung jawab terhadap perluasan dari beberapa hematom subdural
Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
- Trauma kapitis
- Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh
terduduk.
- Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak anak.
- Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdura.
- Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
- Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
PATOFISIOLOGI
Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid,
kedalam rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan
tengkorak (hemoragi ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri. Putusnya
vena-vena penghubung ( bridging veins ) antara permukaan otak dan sinus dural
adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini
seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin
terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anakanak memiliki vena-vena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak
( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko
yang
lebih
besar.
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging
veins . Karena perdarahan subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena,
maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya
berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai
mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang
diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi
perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan
dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan
kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma).
Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga
mekanisme. Perdarahan yang terjadi akibat rusaknya arteri kortikal (termasuk
epidural hematom), perdarahan dari rusaknya dasar parenkim, dan kebocoran
pembuluh darah dari korteks terhadap satu dari aliran sinus venosus.
Pada semua kasus , pergerakan sagital dari kepala bisa dihasilkan dengan suatu
akselerasi angular (kaku ) yang menyebabkan ruptur batang vena parasagital dan
suatu hematom subdural yang berat. Gennereli dan Thibault menggambarkan
bahwa rata-rata akselerasi dan deselerasi dari kepala merupakan factor utama
kegagalan vena
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi
akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di
permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya
araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak,
sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang
terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana
mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejalagejala akut menyerupai hematoma epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan
tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun
mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala
seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena
jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil
sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan
pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem
vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar
sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan
terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang
peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural
kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh
efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada
fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena
komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan
melampaui mekanisme kompensasi tersebut.
Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral
berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi
transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat
terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial
oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik,
didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.
kelebihan hormon kortisol dalam darah. Patologi penyakit ini dijelaskan oleh Harvey
Cushing pada 1932.
ETIOLOGI & PATOGENESIS
Secara umum penyebab dari sindrom Cushing adalah kelebihan sekresi hormon
kortisol dalam darah. Namun penyebab dari berlebihnya sekresi hormon kortisol
tersebut dapat berbeda-beda.
Segala kondisi yang menyebabkan peningkatan sekresi dari hormon kortisol adalah
penyebab terjadinya sindrom Cushing. Sindrom Cushing ini dapat diklasifikasikan
menjadi 2 berdasarkan penyebabnya yaitu eksogen dan endogen. Pada umumnya
sindrom Cushing disebabkan oleh penyebab eksogen yaitu administrasi
glukokortikoid jangka lama (disebut juga Sindrom Cushing iatrogenik). Biasanya
terapi steroid ini diberikan untuk penyakit asma atau reumatoid artritis dan terapi
imunosurpresi setelah transplantasi organ. Penyebab eksogen lainnya adalah
administrasi ACTH namun lebih jarang ditemukan.
Sindrom Cushing juga dapat disebabkan oleh penyebab endogen dimana terjadi
kelainan pada sekresi kortisol dalam tubuh kita sendiri. Penyebab endogen sindrom
Cushing ini bisa dibagi menjadi 2 macam yaitu ACTH-dependent (kelainan
terdapat pada kelenjar pituitari) dan ACTH-independent (kelainan terdapat pada
kelenjar adrenal) seperti dapat dilihat pada tabel di atas.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ACTH-secreting pituitary adenoma adalah
penyebab tersering sindrom Cushing yang disebabkan penyebab endogen. Pada
kebanyakan kasus adenoma yang terjadi adalah mikroadenoma (<10mm). ACTHsecreting pituitary adenoma bertanggung jawab atas 70% kasus sindrom Cushing
endogen dan sering juga disebut Cushing disease.
Sekresi dari ACTH ektopik oleh sel tumor nonpituitari terjadi pada sekitaar 10%
kasus sindrom Cushing endogen. Pada sebagian besar kasus, tumor yang
menyebabkan hal ini adalah small cell carcinoma pada paru-paru. Varian ini biasa
terjadi pada usia antara 40 sampai 50 tahun.
Neoplasma adrenal primer seperti adenoma adrenal dan karsinoma adrenal
merupakan penyebab tersering pada sindrom Cushing ACTH-independent. Secara
biokimia tanda yang bisa dilihat adalah peningkatan kortisol serum namun ACTH
rendah. Hiperkortisolisme pada karsinoma biasanya lebih parah daripada adenoma
atau hiperplasia.
MANIFESTASI KLINIS
Hiperkortisolisme mendorong penumpukan lemak ke jaringan-jaringan tertentu
khususnya pada wajah bagian atas (menyebabkan moon face), diantara tulang
belikat (buffalo hump) dan mesenterik (obesitas sentral). Alasan untuk distribusi
jaringan adiposa yang aneh ini belum diketahui namun diperkirakan berhubungan
dengan resistensi insulin atau peningkatan kadar insulin.
Selain itu hiperkortisolisme juga menyebabkan atrofi selektif pada otot fasttwitch (tipe 2) yang berakibat pada penurunan massa otot dan kelemahan pada
ekstremitas
bagian
proksimal.
Glukokortikoid
dapat
menginduksi
glukoneogenesis dan menghambat pengambilan glukosa oleh sel yang
antara lain frontoparietal (75%), temporal (10%), occipital (5%), dan pada daerahdaerah lain (10%). Sebagian besar fraktur depresi merupakan fraktur terbuka (7590%). Insiden fraktur tulang tengkorak rata-rata 1 dari 6.413 penduduk (0.02%), atau
42.409 orang setiap tahunnya. Sejauh ini fraktur linear adalah jenis yang banyak,
terutama pada anak usia dibawah 5 tahun di Amerika Serikat.
LI.3.3. Etiologi (faktor predisposisi) Fraktur Basis Cranii
Trauma
LI.3.4. Klasifikasi Fraktur Basis Cranii
1) Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran, dan
umumnya tidak diperlukan intervensi
2) Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau
tanpakerusakan pada scalp. Fraktur depresi mungkin memerlukan tindakan
operasi untuk mengoreksi deformitas yang terjadi.
3) Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada neonatus
dan bayi yang suturanya belum menyatu. Pada fraktur jenis ini, garis sutura
normal jadimelebar
4) Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang
dasar tengkorak dengan komplikasi rhinorrhea dan otorrhea cairan
serebrospinal(Cerebrospinal Fluid)
Fraktur Temporal
Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe dari fraktur
temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Fraktur longitudinal terjadi pada
regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os temporal, dinding
superior dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat
berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine
capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid
air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (7090%). Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui
cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed
memiliki unsur unsur dari kedua frakturlongitudinal dan transversal.
fraktur condylar occipital,
Adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral
bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi
menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative
membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera
ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan
kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur
yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas,
fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan
membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai
akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.
Fraktur clivus
Digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan kendaraann
bermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah dideskripsikan dalam
literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis terburuk, terutama bila melibatkan
sistem vertebrobasilar. Defisit pada nervus cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada
fraktur tipe ini.
Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit , conjunctiva berwarna
merah. Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan
terdengar suara seperti air mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit
( dibaca BRUI ).
Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus
Cavernosus , yang terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva
yang terbendung (berwarna merah) serta terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus
Syndrome,
Fraktur Fossa Posterior.
Fraktur melintas os petrosum
Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os
mastoid, menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada
diatas mastoid sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga ,
disebut Battles Sign.
Fraktur melintas Foramen Magnum
di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan
merusak Medula Oblongata , menyebabkan kematian seketika.
LI.3.5. Patofisiologi Fraktur Basis Cranii
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah
daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang
berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek remote dari benturan
pada kepala (gelombang tekanan yang dipropagasi dari titik benturan atau
perubahan bentuk tengkorak).
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk
benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban
inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia,
misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat
mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara
tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata
mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian
meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada
benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya
kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput
atau mandibula.
Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa ruda
paksa pada mandibula saja biasanya hanya menyebabkan fraktur mandibula.
Selanjutnya, complete dan partial ring type BSF membutuhkan ruda paksa temporomandibular yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan pada daerah
sekitar foramen magnum
Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan durameter.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria
meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di
daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma
akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar. Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan
tekanan pada lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini
menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium.
Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh
tim medis.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formation
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini
terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respon
motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong ke arah
yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda
lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan
gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa
jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian
kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama
penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid
interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada
subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma
dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak
sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
Sumber perdarahan :
Sinus duramatis
Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan
vena diploica
c.
pada pasien fraktur basis cranii. (odds ratio (OR) = 1.15; 95% confidence interval
(CI) = 0.68-1.94 P = .678)14.
Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak
dengan open fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli
bedah lebih suka untuk mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih
dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera
adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear dengan pneumocephalus, dan
hematom yang mendasarinya. Kadang kadang, craniectomy dekompressi
dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema.
Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk
interaksi bedah dini adalah fraktur
LI.3.9. Komplikasi Fraktur Basis Cranii
1) Gangguan pendengaran
2) Parese N.VII perifer
3) Meningitis purulenta akibat robeknya duramater
LI.3.10. Prognosis Fraktur Basis Cranii
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera
nervus cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar jenis
fraktur adalah jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan hematom
epidural. Sebagian besar fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium tidak
memerlukan tindakan operasi
LI.3.11. Pencegahan Fraktur Basis Cranii
Pencegahan sama seperti trauma kepala, ada pencegahan primer, sekunder, tersier.