Anda di halaman 1dari 29

TUGAS KONVERSI BATUBARA

“TEKNOLOGI UPGRADING BATUBARA PADA KONDISI B”

Disusun Oleh:

Arkan Fadillah (03021281621056)


M. Titan Alfahrizi (03021381621077)
Eva Dwi Anggraini (03021381621087)
Debi Hidayat Ramadhan (03021381621098)
Zinedine Zidane Akbar (03021381621105)

UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan karunia-NYA sehingga makalah kami yang berjudul “Teknologi
Upgrading Batubara pada Kondisi B” akhirnya dapat diselesaikan dengan
baik. Makalah ini merupakan tugas dari ibu RR. Yunita Banyuningsih, ST.,
MT. selaku dosen pada mata kuliah Konversi Batubara.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang


telah membantu menyelesaikannya makalah kami ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.


Oleh karena itu, kami sangat terbuka atas kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan dari makalah ini. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palembang , Maret 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar……………………………………………………………. i

Daftar Isi………………………………………………………………….. ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang……………………………………………………….. 4

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………. 5

1.3 Tujuan………………………………………………………………... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Batubara………….…………………………………….. 7

2.2 Proses Pembentukan Batubara…….………………………………... 7

2.3 Karakteristik Batubara ………………………………..………......... 8

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Upgrading Batubara………………….…...………………………… 14

3.2 Jenis-Jenis Teknologi Upgrading Batubara………………………….. 15

3.2.1 Evaporasi (Area B)…………………………..………………….. 17

3.2.1.1 Upgrading Brown Coal (UCB)…………………………….. 21

3.2.1.2 Peralatan Utama…………………………...……………….. 23

3.2.1.3 Peralatan Pendukung………………………...……………... 26

3.2.1.4 Kelebihan dan Kekurangan Upgrading Brown Coal ……… 26

BAB IV KESIMPULAN

2
4.1 Kesimpulan…………………………………………………………… 29

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

3
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Batubara merupakan energi yang cukup andal untuk menambah pasokan
bahan bakar minyak mengingat cadangannya yang cukup besar. Dalam
perkembangannya, batubara diharapkan dapat menjadi jembatan dari energi
konvensional (terutama minyak) ke energi non-konvensional yang lebih bersih
dan dapat diperbarui. Namun kualitas batubara Indonesia yang pada umumnya
didominasi oleh batubara peringkat rendah (lignit), yaitu sekitar 70% dari total
sumber daya, belum banyak dieksploitasi karena masih mengalami kendala dalam
transportasi dan pemanfaatan. Batubara peringkat rendah ini mempunyai
kandungan air total cukup tinggi sehingga nilai kalor menjadi rendah. Dengan
demikian diperlukan teknologi khusus untuk memanfaatkan batubara peringkat
rendah tersebut agar dapat bersaing dengan batubara peringkat tinggi yang
cadangannya sudah mulai menipis.
Cadangan batubara Indonesia diperkirakan mencapai 104,8 milyar ton
(Sumber Daya Geologi, 2007), hanya sedikit batubara tersebut yang memiliki
peringkat antrasit dan bituminus yaitu masing-masing 0,3% dan 14,3%. Sebagian
besar batubara tersebut termasuk kedalam peringkat sub-bituminus dan lignit
masing-masing 26,7% dan 58,7%. Batubara antrasit dan bituminus
dikelompokkan sebagai batubara peringkat tinggi, sedangkan sub-bituminus dan
lignit termasuk kedalam batubara peringkat rendah.
Cadangan batubara peringkat rendah saat ini belum diminati karena sulit
dipasarkan, khususnya untuk ekspor hanya diperuntukkan bagi batubara peringkat
tinggi (bituminus). Salah satu sifat yang tidak menguntungkan dari batubara
peringkat rendah adalah tingginya kadar air total (air bawaan dan air bebas) yang
mencapai 40%. Tingginya kadar air akan menimbulkan masalah dalam proses
pemanfaatannya, terutama jika digunakan sebagai bahan bakar langsung. Pada
proses pembakaran, air bawaan akan mengurangi nilai kalor batubara sehingga
jumlah batubara yang diperlukan akan lebih besar. Kemudian gas CO2 yang
ditimbulkannya akan lebih besar pula. Gas CO2 yang tinggi akan mempunyai

4
dampak negatif terhadap lingkungan dengan timbulnya efek rumah kaca yang
dapat menyebabkan pemanasan global. Selain itu, batubara peringkat rendah
mempunyai kecenderungan untuk terjadinya pembakaran spontan (spontaneous
combustion).

Beberapa teknologi pengeringan batubara untuk menurunkan kadar air


batubara telah diperkenalkan sejak tahun 1920-an (Suwono, 2000). Alasan utama
proses ini adalah untuk mengurangi ongkos yang berkaitan dengan pengangkutan,
menanggulangi masalah penanganan dan meningkatkan efisiensi pembakaran
batubara. Secara garis besar, proses pengeringan dibagi dalam 3 bagian, yaitu
evaporasi, pengeringan dengan air panas atau dengan uap (tanpa penguapan,
dengan tekanan) dan non termal atau pirolisis (Baker et al, 1986). Dalam proses
evaporasi, batubara dipanaskan baik secara langsung maupun tidak langsung
(dengan menggunakan uap panas) sebelum atau selama proses penggilingan.
Dengan cara ini, air bawaan mempunyai kecenderungan untuk kembali terserap
oleh batubara. Metode ini dapat diterapkan jika batubara tersebut akan segera
digunakan. Proses evaporasi dengan perlakuan minyak (residu) paska proses, akan
membantu kestabilan kadar air bawaan karena residu akan melapisi permukaan
batubara sehingga menutup pori-pori batubara tersebut (Syamsudin, 1996).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah proses pembentukan batubara?
2. Apakah teknologi yang digunakan untuk peningkatan kualitas batubara?
3. Apakah kelebihan dan kekurangan Upgrading Brown Coal?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui proses pembentukan batubara.
2. Mengetahui yang digunakan untuk peningkatan kualitas batubara.
3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan Upgrading Brown Coal.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Batubara


Batubara adalah substansi heterogen yang dapat terbakar dan terbentuk dari
banyak komponen yang mempunyai sifat saling berbeda. Batubara dapat
didefinisikan sebagai batuan sedimen yang terbentuk dari dekomposisi tumpukan
tanaman selama kira-kira 300 juta tahun. Dekomposisi tanaman ini terjadi karena
proses biologi dengan mikroba dimana banyak oksigen dalam selulosa diubah
menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Perubahan yang terjadi dalam
kandungan bahan tersebut disebabkan oleh adanya tekanan, pemanasan yang
kemudian membentuk lapisan tebal sebagai akibat pengaruh panas bumi dalam
jangka waktu berjuta-juta tahun, sehingga lapisan tersebut akhirnya memadat dan
mengeras. (Mutasim, 2010)

2.2 Proses Pembentukan Batubara


Pembentukan batubara dimulai sejak carboniferous period (periode
pembentukan karbon atau batubara) dikenal sebagai zaman batubara pertama yang
berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap
endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu
pembentukan. Proses awalnya gambut berubah menjadi lignite (batubara muda)
atau brown coal (batubara coklat). Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang
terus menerus selama jutaan tahun, batubara muda mengalami perubahan yang
secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda
menjadi batubara sub-bitumen. Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung
hingga batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam dan membentuk
bitumen atau antrasit. Tingkat perubahan yang dialami batubara, dari gambut
sampai menjadi antrasit memiliki hubungan yang penting dan hubungan tersebut
disebut sebagai tingkat mutu batubara. Berikut ini karakteristik dari setiap jenis
batubara :

6
1) Gambut, bersifat : warna coklat, material belum terkompaksi,
kandungan air sangat tinggi, kandungan karbon padat sangat rendah,
kandunga zat terbang sangat tinggi, sangat mudah teroksidasi, dan nilai
panas yang dihasilkan sangat rendah;
2) Lignit, bersifat : warna kecoklatan, material terkompaksi namun sangat
rapuh, kandungan air tinggi, kandungan karbon padat rendah,
kandungan zat terbang tinggi, mudah teroksidasi, dan nilai panas yang
dihasilkan rendah;
3) Bituminus–Subbituminus, bersifat : warna hitam, material sudah
terkompaksi, kandungan air sedang, kandungan karbon padat sedang,
kandungan zat terbang sedang, sifat oksidasi menengah, dan nilai
panas yang dihasilkan sedang;
4) Antrasit, bersifat : warna hitam mengkilat, material terkompaksi
dengan kuat, kandungan air rendah, nilai panas yang dihasilkan tinggi,
kandungan karbon padat tinggi, kandungan zat terbang rendah, dan
relatif sulit teroksidasi.

Tahapan dan Proses Pembentukan Batubara dapat digolongkan menjadi


dua kejadian, yaitu
1. Tahap diegenetik / biokimia, dimulai pada saat material tanaman terdeposisi
hingga lignit terbentuk. Agen utama yang berperan dalam proses perubahan
ini adalah kadar air.

2. Tahap malihan / geokimia, meliputi proses perubahan dari lignit menjadi


bituminous hingga antrasit.

2.3 Karakteristik Batubara


Batubara berdasarkan kualitasnya dibagi dalam beberapa kelas (grade)
yang secara umum diklasifikasikan menjadi dalam empat kelas utama menurut
standar ASMTM (Kirk-Othmer 1979 dalam Aladin, 2011:16) atau lima kelas jika
dimasukkan peat atau gambut sebagai jenis batubara yang paling muda (Larsen
1978 dalam Aladin, 2011:16). Pada Tabel 1 disajikan kelas batubara disertai
dengan kriteria kualitas batuara berdasarkan analisis prioximate dan nilai kalornya

7
serta analisis ultimate, kandungan sulfur total dan density. Peat (gambut) atau
biasa disebut brown coal (batubara muda) merupakan jenis batubara yang
kualitasnya paling rendah diantara yang lain, bersifat lunak, dapat dilihat dari
warna dan struktur (kayu), serta mudah pecah pada saat pemanasan. Lignite ialah
jenis batubara diatas peat namun kualitasnya masih tergolong rendah. Batubara
jenis ini berwarna coklat mengkilap dengan struktur kayu yang masih namoak,
kandungan air dan oksigen yang masih sangat tinggi, sedangkan kandungan kalor
relatif rendah. Sub-bituminous sering juga disebut black lignite. Black lignite
merupakan jenis batubara yang transisi antara lignite dn bituminous dengan
kualitas sedang.

Bituminous ialah jenis batubara yang termasuk kategori kualitas baik dan
memiliki sifat lebih keras dari sub-bituminous dengan kandungan oksigen rendah
sedangkan kandungan karbon dan kalor relatif tinggi. Anthracite ialah jenis
batubara dengan karbon cukup tinggi, zat mudah menguap (volatile matter) dan
kandungan oksigennya relatif rendah pada saat pembakaran tidak atau kurang
menghasilkan asap. Anthracite memiliki kandungan kalor tertinggi dengan
kualitas terbaik daripada jenis batubara lainnya. Anthracite merupakan jenis
batubara yang paling keras dengan struktur kompak dan padat dikenal dengan
nama graphite. Graphite merupakan jenis batubara yang kualitasnya tertinggi.
Kualitas batubara Indonesia yaitu sebagian kecil termasuk dalam kategori kualitas
sedang sampai tinggi berupa sub-bituminous dengan jumlah 26,60% dan
bituninous dengan 14,40%, serta kualitas tertinggi berupa Anthracite dengan
0,40%, sisanya yang sebagian besar adalah tergolong batubara yang masih muda
dengan kualitas rendah berupa lignite sejumlah 58,60% (Adiarso, dkk, 2010
dalam Yustanti 2012). Hal ini dapat dilihat sebagaimana pada Gambar 1.

8
Jumlah batubara di Indonesia 58,60% adalah batubara dengan kualitas
rendah. Dengan nilai kalori kurang dari 5250 kcal/kg (seperti terlihat pada tabel
1), sedangkan permintaan pasar kadar kalori adalah sekitar 6000 – 7000 kcal/kg.
Hal ini menunjukkan bahwa upgrading batubara low rank perlu dilakukan untuk
meningkatkan kualitas batubara tersebut.

Dari Tabel 1 terlihat bahwa jumlah total sulfur 0,3 – 2,5 % dan memiliki
density 1,40 – 1,45% pada jenis batubara lignite. Hal ini menandakan kadar sulfur
dan air pada batubara tersebut cukup tinggi. Ikatan sulfur organik terjadi antara
atom S dan atom C. Sulfur merupakan salah satu senyawa yangmemperpendek

9
umur alat pembakaran. Selain itu, pada pemanfatan kokas, jumlah sulfur sangatlah
menentukan. Pada aplikasi pemanfaatan seperti pembuatan kokas, jika jumlah
sulfur melebihi kadarnya maka akan mempengaruhi hasil dari kokasnya. Oleh
karena itu dilakukan desulfurisasi yaitu penghilangan sulfur, baik pada sulfur
organik dan sulfur anorganik. Desulfurisasi batubara dapat dilakukan dengan
metode fisika kimia dan biologi serta berbagai metode lainnya. Secara umum,
metode fisika hanya efektif memisahkan jenis sulfur anorganik dalam batubara
kecuali jika dilakukan pada suhu yang sangat tinggi (450oC) maka sulfur organik
dapat dimungkinkan direduksi, sedangkan metode kimia dan biologi dapat
memisahkan (mereduksi) baik sulfur organik maupun sulfur anorganik dalam
batubara, namun metode biologi menggunakan bantuan mikroba yang bekerja
pada suhu rendah sehingga waktu yang dibutuhkan relatif lama. Metode lainnya
seperti Teknologi FBC, Teknologi FGD dan Teknologi MBE. Teknologi FBC
atau fluidised bed combination yang merupakan suatu teknologi yang mampu
meredam secar drastis gas-gas emisi polutan bisa menekan sulfur lebih rendah
karena suhu yang digunakan pada pembakaran batubaranya sekitar 750oC-950oC,
sehingga batubara terbakar secara efisien, tidak meleburkan abu dan sisa
pembakaran lainnya. Teknologi FGD (flue-gas desulfurization) merupakan
metode yang mengolah polutan menjadi gipsum. Metode ini dialkuaka untuk
mencegah keberlanjutan krisis ekologi akibat sistem peralatan berteknologi tinggi
yang mampu memisahkan gas-gas polutan dalam gas buang dari pembakaran
batubara. Sedangkan teknologi MBE (mesin berkas elektron) memiliki prinsip
kerja menghasilkan berkas elektron filamen logam tungsten yang dipanskan.
Teknologi ini dapat mengubah polutan menjadi pupuk. Disisi lain, pada batubara
terdapat mineral-mineral ikutan yang berasal dari batu lempung, batu pasir dan
sebagainya. Mineral-mineral tersebut sebagai pengotor dapat pula mempengaruhi
kualitas batubara dalam segi pemanfaatannya. Oleh sebab itu, perlu adanya
dilakukan proses demineralisasi. Demineralisasi merupakan penghilangan ataupun
pengurangan kadar mineral-mineral dalam batubara yang bereaksi dengan air.

Air yang terkandung dalam batubara terdiri dari air bebas (free moisture)
dan air bawaan (inherent moisture). Air bebas adalah air yang terikat secara
mekanik dengan batubara pada permukaan dalam rekahan atau kapiler yang

10
mempunyai tekanan uap normal. Sedangkan air bawaan adalah air yang terikat
secara fisik pada struktur pori-pori bagian dalam batubara dan mempunyai
tekanan uap yang lebih rendah daripada tekanan uap normal. Kandungan air
dalam batubara baik air bebas maupun air bawaan merupakan faktor yang
merugikan karena memberikan pengaruh yang negatif terhadap biaya transportasi
dan proses pembakarannya.

Penurunan kadar air dalam batubara dapat dilakukan dengan cara mekanik
atau perlakuan panas. Kadar air bebas dapat dikurangi secara efektif dengan cara
mekanik, sedangkan penurunan kadar air bawaan harus dilakukan dengan cara
pemanasan. Proses pemanasan batubara sampai tempertur tertentu menyebabkan
terjadinya perubahan komposisi struktur batubara. Dengan memanaskan batubara,
terjadi perubahan kimia karena menguapnya air bawaan, dekomposisi gugus
karboksil, penyusutan gas-gas hidrogen dan oksigen kompleks serta aromatisasi.
Komposisi dan sifat produk akhir akan bervariasi tergantung pada temperatur
pemanasan. Selama proses pemanasan akan terjadi reaksi kimia yang
menghasilkan produk gas atau cairan yang banyak berhubungan dengan sistem
pori-pori batubara (Samsudin, 1996).

Kehilangan sejumlah massa bahan-bahan penyusun batubara melalui pori-


pori, menyebabkan terjadi kekosongan pori-pori tersebut. Oleh sebab itu sifat fisik
yang memegang peranan penting pada proses pemanasan adalah porositas.
Porositas batubara tersebut menyangkut sistem pori-pori yang dimiliki. Porositas
batubara dapat menyebabkan terjadinya difusi keluar uap air, metana dan zat lain
yang mudah menguap dari batubara selama terjadi pemanasan.

Beberapa penelitian untuk mengurangi kadar air telah dilakukan sejak


tahun 1920-an di Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan lain-lain (Suwono,
2000). Salah satu di antaranya adalah teknologi Upgraded Brown Coal (UBC)
yang merupakan teknologi peningkatan kualitas (upgrading) batubara peringkat
rendah melalui penurunan kadar air total yang dikembangkan oleh Kobe Steel
Ltd., Jepang. Keuntungan teknologi ini antara lain karena proses berlangsung
pada temperatur dan tekanan rendah. Untuk mencegah masuknya kembali air ke

11
dalam batubara, maka dalam proses ditambahkan minyak residu untuk melapisi
pori-pori pada partikel batubara.

Berdasarkan penelitian proses UBC skala labratorium di Puslitbang


tekMIRA (Datin, 2002) dan skala bench di Kobe Steel Ltd., Kakogawa, Jepang,
(Shigehisa, 2000), beberapa batubara peringkat rendah yang berasal dari Indonesia
dapat ditingkatkan kualitasnya.

Dalam proses UBC, batubara dibuat slurry dengan menggunakan minyak


tanah yang dicampur dengan minyak residu, kemudian dipanaskan pada
temperatur 150˚C dan tekanan sekitar 3,5 atm (Deguchi,1999). Batubara hasil
proses dipisahkan, dikeringkan, dan dibuat briket. Campuran minyak tanah dan
residu dapat digunakan kembali untuk proses selanjutnya. Penambahan minyak
residu diperlukan untuk menutup pori-pori batubara yang terbuka sehingga air
yang telah keluar tidak akan terserap kembali.

12
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Upgrading Batubara

Berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy, Juni 2009,


cadangan batubara yang dapat terambil (mineable reserve) di Indonesia berjumlah
4.33 milyar ton, dengan persentase  antara batubara kualitas tinggi dengan
batubara muda (batubara kualitas rendah) masing – masing adalah 39.72% dan
60.28%. Secara umum, batubara kualitas tinggi yang dimaksud disini adalah
bituminus dan antrasit, sedangkan batubara muda terdiri dari sub-bituminus dan
terutama lignit.

Dengan karakteristikya yang memenuhi aspek teknis secara pemanfaatan


dan ekonomis dari segi pengusahaannya, maka batubara bituminus menjadi obyek
utama industri pertambangan batubara sampai sejauh ini. Pemanfaatan batubara
bituminus ini diantaranya adalah untuk bahan bakar pembangkit listik, keperluan
industri semen, serta industri kertas.

Sedangkan untuk batubara muda, karakteristiknya yang khas adalah kadar


air yang tinggi, yang menyebabkan kalorinya bernilai rendah. Selain
menyebabkan efisiensi pembakaran yang rendah, keadaan ini akan mengakibatkan
biaya angkut per kalorinya menjadi tinggi. Disamping itu, batubara jenis ini dalam
kondisi kering juga mudah mengalami swabakar (spontaneous combustion). Oleh
karena itu dari segi handling, misalnya pengangkutan jarak jauh maupun
penumpukan dalam jangka waktu lama di stock yard, batubara kualitas muda
kurang memiliki nilai ekonomis, sehingga mayoritas pemanfaatannya selama ini
adalah untuk bahan bakar PLTU mulut tambang (mine-mouth power plant).

Meskipun demikian, bukan berarti batubara muda ini tidak prospektif sama
sekali. Tidak sedikit batubara muda yang memiliki keunggulan performa dari segi
konsideran lingkungan, seperti kadar abu dan sulfur yang rendah. Selain itu, posisi
cadangannya yang secara umum dekat dengan permukaan tanah akan

13
menyebabkannya memiliki nisbah pengupasan (stripping ratio) yang rendah
sehingga dari segi penambangan akan ekonomis.Dengan semakin berkurangnya
cadangan batubara bituminus yang layak tambang ditambah dengan cadangan
batubara muda yang melimpah, maka upaya pemanfaatan batubara muda perlu
mendapat perhatian yang lebih serius di Indonesia.

Sebenarnya, upaya pemanfaatan batubara muda secara efektif melalui


berbagai teknik dewatering atau reformasi sudah banyak dilakukan sejak lama.
Meskipun demikian, sedikit saja yang akhirnya sampai pada tahap komersial
dalam skala besar, yang diakibatkan oleh kondisi pemrosesan yang tidak
ekonomis, misalnya aplikasi suhu dan atau tekanan yang tinggi.

Berdasarkan prosesnya, beberapa metode upgrading batubara diantaranya


adalah teknik evaporasi, teknik non evaporasi, serta mechanical dewatering.
Tulisan ini hanya akan membahas teknologi Upgraded Brown Coal (UBC) yang
merupakan bagian dari teknik evaporasi. Di Indonesia, proyek UBC sudah
memasuki tahap demonstration plant.

3.2 Jenis – jenis Teknologi Upgrading Batubara


Berdasarkan metode dan kondisi pemrosesan, teknologi Upgrading
Batubara seperti pengeringan / drying atau upgrading dapat dibagi menjadi 4 jenis
seperti terlihat pada gambar 2 di bawah.

Tabel 1. Jenis serta contoh teknik pengeringan & upgrading

14
Gambar 2. Kondisi Proses Upgrading

Batubara seperti lignit dan lainnya akan mengalami reaksi kimia, misalnya
dekomposisi, ketika suhunya mencapai 200°C atau lebih. Karena itu, jenis
teknologi Upgrading Batubara dapat dibagi berdasarkan suhu, dimana kondisi
dengan suhu proses lebih dari 200°C disebut dengan tipe reaksi, sedangkan yang
dibawah suhu tersebut disebut dengan tipe non reaksi.

Dari gambar 2 juga terlihat garis tekanan uap jenuh (saturated vapor
pressure)  untuk mengetahui karakteristik penguapan kadar air. Air akan menguap
bila kondisinya berada di bawah garis itu, dan sebaliknya, tidak akan menguap
bila berada pada kondisi di atas garis tersebut. Dengan demikian, teknologi
Upgrading Batubara dapat diklasifikasi lagi sehingga menjadi 4 area, yaitu A~D.

Karakteristik Upgrading Batubara serta proses yang mewakilinya untuk


tiap area akan dijelaskan di bawah ini. Tetapi karena tugas ini dibagi menjadi
beberapa kelompok maka kami hanya membahas teknologi pengeringan dan
upgrading batubara terbatas pada kondisi area B.

15
3.2.1 Evaporasi (area B)

Adalah metode dewatering yang paling umum, yaitu dengan menguapkan


kadar air lignit  melalui pemanasan. Berdasarkan cara kontak antara lignit dengan
media pemanas, maka metode ini terbagi 2 yaitu pemanasan tidak langsung dan
pemanasan langsung.

1. Pemanasan tidak langsung

1. Tube Dryer

Tube dryer digunakan secara komersial di seluruh dunia untuk


mengeringkan batubara, biomassa, dan material lain. Di Jepang terdapat
beberapa perusahaan yang memproduksi alat ini. Ada 2 jenis tube dryer
yaitu pertama, dryer dimana batubara mengalir di dalam tabung
sedangkan uap air (steam) mengalir di body. Tipe ini disebut Coal in
Tube Dryer. Tipe kedua disebut Steam Tube Dryer, yaitu uap air
mengalir di dalam tube sedangkan batubara mengalir di body, seperti
yang ditunjukkan oleh gambar 3. Tube dryer juga digunakan untuk
mengeringkan lignit Victoria, Australia, dimana produknya dibentuk
menjadi briket setelah proses dewatering. Perusahaan GTL Energy dari
Australia juga telah selesai melakukan uji coba lignit dewatering
dengan menggunakan 1 modul berskala komersial pada tahun 2010 di
salah satu PLTU di Amerika yang menggunakan batubara North
Dakota.

Gambar 3. Steam Tube Dryer (Tsukishima Machinery)

16
2. Pemanasan langsung

1. Fluidized Bed

Berdasarkan kontak antara lignit dengan media pemanas, maka


pemanasan langsung terbagi menjadi fluidized bed, flash heating, up-
grading in oil, dan lain-lain. Untuk tipe fluidized bed, terdapat metode
WTA, Tokyo University/MHI, DryFine, dan lain-lain.

 WTA (gambar 4): Pertama kali dikembangkan oleh Potter dari


Universitas Monash  (Australia) berupa Steam Fluidized Bed
Drying (SFBD), metode ini selanjutnya diwujudkan dalam produk
peralatan oleh perusahaan Lurgi (Jerman). Plant dengan kapasitas
proses batubara mentah sebesar 210 ton/jam telah dibangun di
PLTU Niederraussem oleh perusahaan listrik RWE untuk uji coba
alat ini. Upaya peningkatan efisiensi energi proses dilakukan
dengan mengkompresi uap air yang dikeluarkan dari lignit, untuk
dimanfaatkan sebagai sumber pemanas. Pemanfaatan lignit sebagai
bahan bakar pada PLTU di Jerman mencapai sekitar 30%, sehingga
upaya peningkatan efisiensi pembangkitan listrik pun dilakukan
secara intensif. Dan melalui aplikasi pengeringan ini, efisiensi
pembangkitan yang saat ini sebesar 45% ditargetkan dapat
meningkat  hingga mencapai lebih dari 50% (LHV).

Gambar 4. Metode WTA

17
 Tokyo University/MHI (gambar 5): Pengembangan teknologi
pengeringan lignit yang merupakan riset Prof. Kaneko (Tokyo
University) mulai dilakukan pada tahun 2010, sebagai bagian dari
proyek bantuan kementrian ekonomi & industry (METI). Disini,
MHI (Mitsubishi Heavy Industry) yang bertanggung jawab dalam
pembuatan BSU (Bench Scale Unit) berkapasitas beberapa ton/hari.
Melalui pengembangan sistem efisiensi tinggi berdasarkan self
heating regeneration, efisiensi pembangkitan sekitar 30% yang ada
sekarang ini ditargetkan untuk dapat ditingkatkan hingga mencapai
35~40%. Bagian pengering & dewatering belum dapat diketahui
dengan jelas karena masih dalam proses pengajuan hak paten dan
hal-hal lainnya. Target nilai untuk produk air setelah pengeringan
juga masih belum jelas.

Gambar 5. Metode Tokyo Univ/MHI

 DryFine: Teknologi ini diadopsi oleh CCPI (Clean Coal Power


Initiative) Departemen Energi AS.  Uji coba proto tipe dilakukan

18
pada tahun 2006 di PLTU lignit Coal Creek, North Dakota. Setelah
itu, pengujian dilakukan dengan alat berskala komersial
berkapasitas 135 ton/jam yang dibangun pada tahun 2009.
Memanfaatkan panas buangan dari PLTU, rasio dewatering tidak
terlalu tinggi, yaitu sekitar 25% saja. Disamping itu, karena
pengeringan juga dilakukan pada PLTU ini, maka proses DryFine
membatasi tingkat dewatering pada nilai minimal, untuk
mengontrol konsumsi energi yang dibutuhkan saat pengeringan.

Gambar 6. Metode DryFine

2. Flash heating

Bila proses pada fluidized bed berupa dewatering dengan


memanaskan lignit pada jangka waktu tertentu, maka flash heating
adalah dewatering dengan melewatkan serbuk lignit bersama dengan
media pemanas bersuhu ratusan derajat ke dalam tabung. Karena
tujuannya adalah untuk menimbulkan kontak antara lignit dengan
media pemanas bersuhu tinggi, maka proses ini berjalan secara singkat
agar tidak terjadi perubahan kualitas ataupun dekomposisi pada
batubara tersebut. Suhu batubara sendiri dijaga pada besaran 100°C
sampai kadar air menguap secara sempurna. Umumnya, waktu untuk
pemanasan dan dewatering di dalam tabung berlangsung selama

19
beberapa detik saja. Metode up-grading yang menggunakan flash
heating diantaranya adalah BCB, serta IDGCC yang dikembangkan di
Australia.

 IDGCC / Intergrated Drying Gasification Combined Cycle


(gambar 7): Proses pengeringan lignit yang diaplikasikan oleh
perusahaan HRL (Austrlia) pada IGCC yang saat ini sedang
dikembangkan dan didemonstrasikan. Memanfaatkan gas hasil
gasifikasi sebagai media pemanas, lignit dicampur dengan gas itu
di dalam pipa, kemudian lignit yang sudah di-dewatering dialirkan
ke pengegas (gasifier). Setelah uji coba pilot plant berkapasitas
10MW, saat ini sedang direncanakan plant berkapasitas 400MW
(200MW x 2). Proyek ini rencananya akan dimulai pada tahun
2013 melalui joint venture dengan grup Harbin (Cina), meskipun
ada informasi bahwa Harbin sudah keluar dari rencana ini.

Gambar 7. Metode IDGCC

 Binderless Coal Briquetting (BCB) : BCB merupakan teknologi


yang memanfaatkan sifat kerekatan batubara dalam proses
pembriketan. Proses kerjanya berdasarkan teknik pengeringan
batubara secara evaporasi (Gambar 8). Batubara digerus menjadi
ukuran kecil untuk membentuk luas permukaan maksimum yang
digunakan untuk transfer panas dan mempermudah pencampuran
batubara serta pengeringannya di udara. Batubara dimasukkan ke
dalam flash dryer system dan dicampurkan pada temperatur tinggi.
Teknologi ini ramah lingkungan karena tidak menggunakan agen

20
pengikat dan menghasilkan sedikit limbah. BCB Dikembangkan
oleh Keith Clarke dan Ross Meakins, Peneliti dari CSIRO, Dan
dipatenkan oleh White Energy Co. Yang saat ini sedang
membangun demo plant  di Hunter Region, New South Wales.
Teknologi ini mampu meningkatkan batubara hingga 49% dari
kalori inputnya dan mengurangi kadar air hingga 84%. BCB dapat
menjaga kadar sulfur tetap 0,2% dan kadar abu 3%. 

3.2.1.1 Upgrading Brown Coal (UBC)


Upgrading merupakan proses peningkatan nilai kalori batubara kalori
rendah melalui penurunan kadar air lembab dalam batubara. Air yang terkandung
dalam batubara terdiri dari air bebas (free moisture) dan air lembab (inherent
moisture). Air bebas adalah air yang terikat secara mekanik dengan batubara pada
permukaan dalam rekahan atau kapiler yang mempunyai tekanan uap normal.
Adapun air lembab adalah air terikat secara fisik pada struktur pori-pori bagian
dalam batubara dan mempunyai tekanan uap yang lebih rendah dari pada tekanan
normal.

UBC adalah teknik memanaskan dan membuang air (dewatering) pada


batubara di dalam media minyak yang bahan utamanya adalah minyak ringan
(light oil), dan bersamaan dengan itu mengabsorpsikan minyak berat (heavy oil)
seperti aspal secara selektif ke dalam pori – pori batubara. Minyak berat tadi
sebelumnya ditambahkan dalam jumlah sedikit ke dalam media minyak, kurang
lebih 0.5wt% (air dried base). Melalui pemrosesan di dalam media minyak ini,
tidak hanya kalorinya yang naik, tapi muncul pula sifat anti air (water-repellent
characteristic) dan penurunan kecenderungan swabakar (lower spontaneous
combustion propensity) pada produk yang dihasilkannya.

Air yang terkandung dalam batubara terdiri atas air bebas (free moisture)
dan air bawaan (inherent moisture). Air bebas adalah air yang terikat secara
mekanik dengan batubara pada permukaan dalam rekahan atau kapiler yang
mempunyai tekanan uap normal. Sedangkan air bawaan adalah air yang terikat
secara fisik pada struktur pori-pori bagian dalam batubara dan mempunyai

21
tekanan uap yang lebih rendah daripada tekanan normal. Kandungan air dalam
batubara, baik air bebas maupun air bawaan, merupakan faktor yang merugikan
karena memberikan pengaruh yang negatip terhadap proses pembakarannya.

Penurunannya kadar air dalam batubara dapat dilakukan dengan cara


mekanik atau perlakuan panas. Pengeringan cara mekanik efektif untuk untuk
mengurangi kadar air bebas dalam batubara basah, sedangkan penurunan kadar air
bawaan harus dilakukan dengan cara pemanasan. Salah satu proses dengan cara
ini adalah UBC (Upgraded brown coal) yang diperkenalkan oleh Kobe Steel Ltd.,
Jepang. Bagan air proses UBC (Kobelco, Ltd., 2000) dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Bagan Air Proses UBC

Proses UBC dilakukan pada temperatur sekitar 150˚C sehingga


pengeluaran tar dari batubara belum sempurna. Untuk itu perlu ditambahkan zat
aditif sebagai penutup permukaan batubara, seperti kanji, tetes tebu (mollase),
slope pekat (fuse oil), dan minyak residu. Untuk proses UBC, sebagai aditif
digunakan minyak residu yang merupakan senyawa organik yang beberapa sifat
kimianya mempunyai kesamaan dengan batubara. Dengan kesamaan sifat kimia
tersebut, minyak residu yang masuk ke dalam pori-pori batubara akan kering,
kemudian bersatu dengan batubara.

Lapisan minyak ini cukup kuat dan dapat menempel pada waktu yang
cukup lama sehingga batubara dapat disimpan di tempat yang terbuka untuk
jangka waktu yang cukup lama (Couch, 1990). Gambar 2 menunjukan sifat
permukaan batubara sebelum dan sesudah proses pengeringan.

22
Gambar 9. Permukaan Batubara Sebelum dan Sesudah Proses Pengeringan

Proses UBC dilakukan pada temperatur sekitar 150˚C sehingga


pengeluaran tar dari batubara belum sempurna. Untuk itu perlu ditambahkan zat
aditif sebagai penutup permukaan batubara, sperti kanji, tetes tebu (mollase),
slope pekat (fuse oil), dan minyak residu.

Untuk proses UBC, sebagai aditif digunakan minyak residu yang


merupakan senyawa organik yang beberapa sifat kimianya mempunyai kesamaan
dengan batubara. Dengan kesamaan sifat kimia tersebut, minyak residu yang
masuk ke dalam pori-pori batubara akan kering, kemudian bersatu dengan
batubara. Lapisan minyak ini cukup kuat dan dapat menempel pada waktu yang
cukup lama sehingga batubara dapat disimpan di tempat terbuka untuk jangka
waktu yang cukup lama (Couch, 1990). Gambar 9 menunjukkan sifat permukaan
batubara sebelum dan sesudah proses pengeringan.

3.2.1.2 Peralatan Utama

1. Seksi 100; penyiapan batubara (coal preparation)


Seksi 100 mempunyai fungsi menggerus batubara ke dalam ukuran yang
diinginkan, penyimpanan batubara halus, dan penyediaan batubara halus
untuk seksi 200. Batubara curah sebagai raw material digerus dengan
menggunakan hammer mill melalui belt conveyor. Batubara halus hasil
penggerusan berukuran lebih kecil dari 3 mm ditransfer ke coal bunker
(Y101) dengan menggunakan sistem pneumatik conveyor. Coal bunker
berfungsi sebagai penyimpanan sementara dan siap untuk mensuplai
batubara ke seksi 200. Selanjutnya batubara halus dari coal bunker

23
ditransfer ke seksi 200 (V202) dengan menggunakan sistem pneumatik
conveyor melalui weight hopper (Y102) untuk diketahui beratnya
terlebih dahulu.

2. Seksi 200; penghilangan air (slurry dewatering)


Seksi 200 mempunyai fungsi membuat slurry, penghilangan kandungan
air dalam batubara, dan penyediaan slurry batubara yang hilang sebagian
airnya untuk seksi 300. Batubaa halus didalam V202 dicampur dengan
campuran minyak tanah dan residu yang disuplai dari V201 untuk
menghasilkan slurry batubara. Kemudian over flow slurry di dalam V202
ditransfer ke V203 melalui evaporator (E201) untuk dihilangkan
kandungan airnya. Selanjutnya over flow slurry yang telah dihilangkan
airnya di dalam V203 ditransferkan ke V204, yang berfungsi sebagai
penyimpanan sementara dan siap untuk mensuplai seksi 300. Air dan
sebagian minyak tanah yang teruapkan dari V203 dan sebagian kecil dari
V204 akan dikondensasikan dan ditampung dalam V205 untuk
dipisahkan antara minyak tanah dam air berdasarkan perbedaan berat
jenisnya.

3. Seksi 300; pemisahan batubara – minyak (coal – oil separation)


Seksi 300 mempunyai fungsi memisahkan minyak dari slurry batubara
dengan menggunakan alat screw decanter. Alat ini akan memproses
minyak hasil pemisahan apabila diperlukan dan penyediaan cake
batubara untuk seksi 400. Slurry yang telah hilang airnya dari V204
ditransfer ke decanter (Z301) untuk memisahkan minyak tanah dari
slurry dengan metode sentrifugal. Slurry yang telah dipisahkan minyak
tanahnya akan berbentuk cake dan ditransfer ke seksi 400. Minyak tanah
hasil proses pemisahan Z301 akan ditransfer ke V301, sebagai
penyimpanan sementara. Minyak tanah di dalam V301, apabila
kandungan batubaranya tinggi, sebelum ditransfer ke V201 akan diproses
terlebih dahulu di dalam V302 untuk dipisahkan batubaranya. Namun
jika kandungan batubaranya rendah, maka dapat langsung ditransfer ke
V201.

24
4. Seksi 400; rekoveri minyak (oil recovery)
Seksi 400 mempunyai fungsi mendapatkan batubara halus yang telah
meningkat kualitasnya melalui proses recovery minyak di dalam cake
batubara yang disediakan dari seksi 300 dengan menggunakan alat
rotating steam tube dryer (D401). Cake dari seksi 300 disimpan didalam
Y401, sebagai penyimpanan sementara. Prinsip kerja alat rotating steam
tube dryer adalah batubara yang lewat dipanaskan dengan menggunakan
steam yang dibantu dengan sirkulasi gas untuk membawa uap minyak
yang dihasilkan. Cake dari dari Y401 ditransferkan ke rotating steam
tube dryer (D401) melalui screw conveyor untuk menghilangkan minyak
tanah yang masih terkandung di dalam cake. Cake yang keluar dari D401
akan berubah menjadi serbuk UBC dan ditransferkan ke dalam seksi 500
(Y501) melalui screw dan bucket conveyor.

5. Seksi 500; pembuatan briket (briquetting)


Seksi 500 mempunyai fungsi membuat briket dengan menggunakan
double roll briquetting machine (Z501). Serbuk UBC yang disimpan di
dalam Y501 ditransfer ke dalam mesin briket (Z501) untuk dibriket
melalui screw dan bucket conveyor . Briket yang dihasilkan dari Z501
disortir terlebih dahulu dengan menggunakan Z502. Briket yang disortir
oleh Z502 dikirim kembali ke dalam Z501 untuk dibuat briket melalui
return screw dan bucket conveyor .

3.2.1.3 Peralatan Pendukung

1. Utility
Utility berfungsi untuk mendukung proes UBC, terdiri atas bioler
(steam), nitrogen generator (N2), cooling water supply (CWS),
instrument air (IA), dan generator set.

2. Sistem kontrol pusat

25
Sistem kontrol mempunyai fungsi untuk mengontrol kegiatan pada pilot
plant, baik dalam proses maupun utulity. Sistem control ini mencakup
distribusi arus listrik, instrumentasi, dan sistem data.

3.2.1.4 Kelebihan dan Kekurangan Upgrading Brown Coal (UBC)


Kelebihan :
1. Dilakukan pada temperatur dan tekanan yang rendah. (T = 150-160 oC dan
P = 350 KPA).

2. Memanfaatkan batubara peringkat rendah.

3. Menghasilkan batubara yang bersih.

4. Hemat biaya instalasi listrik.

5. Dapat mencegah polusi pada PLTU.

Kekurangan :
1. Pengeluaran TAR belum sempurna.

2. Hanya dapat dilakukan pada batubara lignite.

26
BAB IV

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Dengan adanya Teknologi Upgrading Brown Coal dapat menghasilkan


batubara yang bersih dan dapat menstabilkan pasokan batubara di dalam
negeri.
2. Batubara yang dihasilkan dari proses UBC memiliki nilai kalor yang tingi,
kadar air rendah dan polusi yang rendah.
3.

27
DAFTAR PUSTAKA

Ariko, Ahmad Zulkarnain dkk. Upgrading Batubara. 2014. Kalimantan Timur.


(diunduh tanggal 20 Oktober 2017).

Pratiwi, Aproza. Teknologi Hidrotermal Terhadap Proses Upgrading Batubara


Peringkat Rendah (Lignit). 2016. Universitas Sriwijaya, Palembang.
(diunduh tanggal 20 Oktober 2017).

Putra, Firmansyah Faniatama. Upaya Peningkatan Kualitas Batubara Peringkat


Rendah Melalui Proses Upgrading. 2013. Universitas Mulawarman, Samarinda.
(diunduh tanggal 20 Oktober 2017).

28

Anda mungkin juga menyukai