Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering

di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih

dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit. Walaupun

laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1 diantara

25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama

setelah infark miokard akut.

Menurut laporan WHO, pada tahun 2004, penyakit infark miokard akut

merupakan penyebab kematian utama di dunia. Terhitung sebanyak 7,2juta

(12,2%) kematian terjadi akibat penyakit ini diseluruh dunia. IMA adalah

penyebab kematian nomor dua pada Negara berpenghasilan rendah, dengan angka

mortalitas 2,47 juta (9,4%). Di Indonesia pada tahun 2002, IMA merupakan

penyebab kematian pertama, dengan angka mortalitas 220.000 (14%)

Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung

yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti

setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari

pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak

mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat

mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark.

1
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial

Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang

terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan

elevasi ST.

B. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui pengertian, patofisiologi,

dan penatalaksanaan dari Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) adalah sindrom

klinis yang didefinisikan sebagai gejala iskemia miokard khas yang dikaitkan

dengan gambaran EKG berupa elevasi ST yang persisten dan diikuti pelepasan

biomarker nekrosis miokard. Mortalitas selama perawatan (5-6%) dan mortalitas 1

tahun (7-18%) cenderung menurun dikaitkan dengan peningkatan terapi medis

sesuai pedoman (guideline) dan intervensi.

2.2 Patofisiologi

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika

aliran darah coroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak

ateroskelotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri coroner berat yang

berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya

banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika thrombus arteri coroner

terjadi secara cepat pada lokasi injury vascular, dimana injury ini dicetuskan oleh

factor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis

mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu

trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang

mengakibatkan oklusi arteri coroner, penelitian histologis menunjukan plak

coroner cenderung mengalami rupture jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan
3
inti kaya lipid (lipid rich cor). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari

fibrin rich retrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan

repsons terhadao terapi trombolitik.

Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,

epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan

memproduksi dan melepaskan tromboxan a2 (vasokonstriktor local yang poten).

Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konvormasi reseptor glikoprotein

IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas

tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin)

seperti factor von wiellebrand (vWV) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah

molekul multivalent yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara

simultant, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.

4
Gambar 1. Pembentukan thrombus dan intervensi farmakologis dalam kaskade koagulasi

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel

yang rusak. Factor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin

menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin.

Pembentukan thrombus pada kaskade koagulasi dapat dilihat pada gambar 1.

Arteri coroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh

thrombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin.

Pada kondisi jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri yang

disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan

berbagai penyakit inflamasi sistemik.

2.3 Diagnosis

Diagnosis IMA dengan elevasi ST menurut European Society of

Cardiology/ACCF/AHA/World Heart Federation Task Force For the Universal

Definition of Myocardial Infaction ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada

yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST baru pada titik J 2mm pada

pria atau 1.5mm pada wanita, minimal pada dua sadapan V2-V3 dan atau 1mm

pada senapan dada yang lain atau sandapan ekstremitas. LBB baru atau diduga

baru dipertimbangkan sebagai STEMI equivalent. Adanya depresi ST pada

banyak sandapan precordial (V1-V4) mungkin menunjukan kerusakan posterior

transmural; depresi ST pada banyak sandapan dengan elevasi ST pada aVR,

ditemukan pada pasien dengan oklusi pada left main atau arteri desendens anterior

5
kiri proksimal. Perubahan gelombang T hiperakut jarang dijumpai pada fase

paling awal STEMI, sebelum berkembang menjadi elevasi ST

Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat,

memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak

perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat tatalaksana STEMI, prinsip

utama penatalaksanaan adalah lebih cepat dilakukan revaskularisasi lebih banyak

otot jantung yang diselamatkan (time is muscle)

ANAMNESIS

Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis

secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung.

Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah

nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu di anamnesis pula apakah ada

riwayat infark miokard sebelumnya serta factor-faktor risiko antara lain

hipertensi, diabetes mellitus, dislipdemia, merokok, stress serta riwayat sakit

jantung koroner pada keluarga.

Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi

STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah.

Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkardian

dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.

NYERI DADA

6
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat

dan tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau

salah, dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat.

Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA.

Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu

membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda

awal dalam pengelolaan pasien IMA.

Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:

1. Lokasi: substernal, retrosternal, dan precordial

2. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan rasa terbakar, ditindih benda berat,

seperti ditusuk, rasa diperas dan dipelintir

3. Penjalaran: biasanya dilengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,

punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan

4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat

5. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah

makan

6. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,

cemas, dan lemas

PEMERIKSAAN FISIS

Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Sering kali

ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal lebih

dari 30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar

sepermpat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf

7
simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark inferior

menunjukkan hiperaktivitas para simpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).

Tanda fisis lain pada disfungsi ventricular adalah s4 dan s3 gallop,

penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan spleed paradoksikal bunyi

jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apical yang

bersifat sementara karna disfungsi apparatus katup mitral dan takikardial friction

rup. Peningkatan suhu sampai 38C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca

STEMI.

2.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Elektrokardiogarfi (EKG)

Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan


nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan
segera dalam 10 menit sejak kedatangan ke Instalasi Gawat Darurat. Jika
pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap
simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10
menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan
STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan
infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST
mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis
infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard
gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total dan bersifat sementara atau
ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien
tersebut biasanya mengalami angina pektoris tak stabil atau Non STEMI. Pada
sebagian pasien tanpa elevasi segmen ST tidak menunjukkan gelombang Q

8
disebut infark non Q. Sebelumnya, istilah infark miokard transmural digunakan
jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark
miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara
segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran
patologis EKG dengan lokasi infark (mural/ transmural) sehingga terminologi
Infark Miokard Akut gelombang Q dan non Q menggantikan Infark Miokard Akut
mural/ nontransmural.

Gambaran spesifik pada rekaman EKG


Daerah infark Perubahan EKG
Anterior Elevasi segmen ST pada lead V3 -V4,
perubahan resiprokal (depresi ST) pada lead V7-
V9
Inferior Elevasi segmen T pada lead II, III, aVF,
perubahan resiprokal (depresi ST) V2 , V3, I,
aVL
Lateral Elevasi segmen ST pada I, aVL, V5 V6,
perubahan resiprokal (depresi ST) pada lead II,
III, aVF
Posterior Elevasi segmen ST V7,V8,V9, perubahan
resiprokal (depresi ST) pada V1,V2, V3
Ventrikel kanan Elevasi segmen ST V3R-V4R, perubahan
resiprokal (depresi ST) pada lead I, aVL
Septum Elevasi segmen ST pada lead V1,V2, perubahan
resiprokal (depresi ST) pada lead V7, V8, V9

b. Laboratorium

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CK)MB dan


cardiac specific troponin cTn T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus
digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan

9
otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB, pada
pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera
mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai
enzim di atas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung
(infark miokard).
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10- 24 jam dan kembali normal dalam 2- 4 hari. Operasi jantung,
miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
cTn: ada 2 jenis cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10- 24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5- 14 hari, sedangkan cTn I setelah 5- 10 hari.

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:


Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai
puncak dalam 4- 8 jam.
Creatinine kinase (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10- 36 jam dan kembali normal dalam 3- 4 hari.
Lactate dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24- 48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8- 14 hari.

c. Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding
ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup. Dapat pula digunakan untuk
melihat luasnya iskemia bila dilakukan waktu dada sedang berlangsung.

10
d. Angiografi Koroner
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan
menggunakan sinar x pada jantung dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama
serangan untuk menemukan letak sumbatan pada arteri koroner.

2.5 Penatalaksanaan

Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,


menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA
dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi
perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan
kemampuan ahli yang ada.

Pengontrolan nyeri dan rasa tidak nyaman


Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5
menit.
o Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan
merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin
dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan
interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
o Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis

11
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral
dengan dosis 75-162 mg.
o Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang
biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total
3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit,
tekanan darah sistolik

Stabilisasi keadaan hemodinamik


Istirahat
Kontrol tekanan darah dan denyut jantung
Stool softener

Tujuan penatalaksan dari STEMI adalah Reperfusi. Terapi reperfusi harus

dilakukan sesegera mungkin dalam waktu 12 jam setelah onset gejala dari

STEMI. Tujuan pengobatan pasien miokard infark akut dengan STEMI (termasuk

mereka yang diduga mengalami onset baru blok berkas cabang kiri (LBBB)

adalah untuk memulihkan oksigenasi dan suplai substrat metabolik akibat oklusi

trombotik persisten di arteri koroner. Reperfusi merupakan pilihan strategi utama

dalam tatalaksana STEMI di menit-menit awal kontak pasien pertamakali ke unit

pelayanan medis terdekat. Hingga saat ini laporan-laporan uji coba klinik

reperfusi awal jam-jam pertama serangan STEMI menunjukkan bahwa reperfusi

koroner secara intervensi koroner perkutan (selanjutnya disingkat IKP) mampu

mengurangi angka kejadian re-infark, stroke dan mortalitas lebih baik

dibandingkan reperfusi koroner dengan menggunakan fibrinolitik. Beberapa

strategi reperfusi koroner yang sudah lama kita kenal yaitu reperfusi farmakologik

(dengan obat-obatan fibrinolitik), intervensi koroner perkutan primer (selanjutnya

12
disingkat IKPP), intervensi koroner perkutan fasilitasi (fascilitated PCI),

intervensi koroner perkutan penyelamatan (rescue PCI), dan stretegi reperfusi

yang baru-baru ini mulai dijalankan di beberapa senter adalah strategi farmako-

invasif.

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalisir

derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien

STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang

maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi

fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI

dapat dicapai dalam 90 menit. Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik

merupakan prediktor penting terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas

obat fibrinolitik dalam menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi

fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama)

dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan angka kematian. Pemilihan

terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapi

reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko

perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk

memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus

mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi

merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan

Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan reperfusi

sesegera mungkin, dapat berupa terapi fibrinolitik maupun Percutaneous

Coronary Intervention (PCI), yang diberikan pada pasien STEMI dengan onset

13
gejala <12 jam. Pada pasien STEMI yang datang terlambat (>12 jam) dapat

dilakukan terapi reperfusi jika pasien masih mengeluh nyeri dada yang khas infark

(ongoing chest pain). PCI efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika

dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut. Percutaneous Coronary

Interventions (PCI) merupakan intervensi koroner perkutan (angioplasti atau

stenting).

1. PCI primer : yang tidak didahului terapi trombolitik sebelumnya

selama 12 jam setelah gejala awal disebut PCI primer (primary PCI).

PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik untuk membuka arteri

koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka

pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI primer lebih dipilih

jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun),

risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-

kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang

mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal

dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan

tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit. 3

American College of Cardiology/American Heart Association dan

European Society of Cardiology merekomendasikan dalam penatalaksanaan

pasien dengan STEMI selain diberikan terapi reperfusi, juga diberikan terapi lain

seperti anti-platelet (aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan

seperti Unfractionated Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin

14
(LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor

Blocker

Gambar 2. Target for antithrombics

1. Antiplatelet

Anti platelet yang digunakan selama fase awal STEMI berperan dalam

mempertahankan patensi arteri koroner yang terkena infark. Baik aspirin maupun

clopidogrel harus segera diberikan pada pasien STEMI ketika masuk ruangan

emergensi.

15
1.1.Aspirin

Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Aspirin terbukti

dapat menurunkan angka kematian, mencegah reoklusi coronary dan menurunkan

kejadian iskemik berulang pada pasien dengan Infark Miokard Akut. Aspirin

harus segera diberikan kepada pasien STEMI setelah sampai di departemen

emergensi. 1 Pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler sebesar 23% dan

infark non fatal sebesar 49%. Aspirin merupakan golongan anti platelet yang

merupakan rekomendasi dari ACC/AHA untuk terapi STEMI. Pada STEMI

Kelas I yaitu aspirin harus dikunyah oleh pasien dan perawat tidak boleh

memberikan aspirin sebelum menunjukkan adanya diagnosa STEMI. Dosis awal

yang harus diberikan adalah 162 mg (Level of Evidence : A) sampai 325 mg

(Level of Evidence : C). Walaupun begitu beberapa penelitian menggunakan

enteric-coated aspirin untuk dosis awal, namun dengan menggunakan aspirin

dalam bentuk non enteric coated lebih cepat asorbsinya melalui buccal. Dengan

pemberian dosis aspirin 162 mg atau lebih, aspirin akan menghasilkan efek klinis

antithrombotic dengan cepat hal ini disebabkan oleh produksi inhibitor total

thromboxan A2. Aspirin sekarang merupakan bagian dari manajemen awal untuk

seluruh pasien yang dicurigari STEMI dan harus segera diberikan dan diberikan

dalam 24 jam pertama dengan dosis antara 162 325 mg dan dilanjutkan dalam

jangka waktu tidak terbatas dengan dosis harian 75 162 mg. Walaupun dalam

beberapa penelitian menggunakan enteric coated aspirin untuk dosis awal, namun

dengan menggunakan aspirin dalam bentuk non enteric coated lebih cepat

asorbsinya melalui buccal.

16
Kontraindikasi dalam pemberian aspirin meliputi pasien yang mengalami

hipersensitivitas, perdarahan aktif pada saluran pencernaan atau penyakit hepatic


1
kronis. Analisis observasional dari studi CURE menunjukkan hasil serupa

tingkat kematian kardiovaskuler, Miokard Infark maupun stroke pada pasien

dengan sindrom koroner akut (ACS) yang menerima dosis tinggi (> 200 mg),

dosis sedang (110-199 mg) maupun dosis rendah (< 100 mg) aspirin per hari.

Dimana dari hasil studi tersebut menyebutkan bahwa tingkat perdarahan mayor

meningkat secara signifikan pada pasien ACS yang menerima aspirin dosis tinggi
1
Walaupun begitu, agen antiplatelet lain juga direkomendasikan untuk diberikan

pada pasien dengan STEMI jika pasien menunjukkan alergi atau intoleransi

terhadap aspirin, dapat digantikan dengan clopidogrel.

1.2.Clopidogrel

Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien

dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang

menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik. Clopidogrel (Plavix; sano

aventis/Bristol-Myers Squibb) merupakan thienopyridine yang dimetabolisme

melalui cytochrome P450 didalam hepar. Clopidogrel aktif dimetabolisme secara

irreversible oleh reseptor antagonis P2Y12.

Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators

mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI yang

mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan penurunan

kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian, reinfark non fatal,

dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian terbesar pada kelompok

17
pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang memiliki angka kematian 1 tahun

tertinggi (18%) (Firdaus, 2011). Sedangkan penelitian COMMIT-CCS-2 yang

dilakukan di Cina pada pasien dengan Miokard Infark dengan 93 % pasien

mengalami STEMI atau bundle branch block dan 54 % pasien dengan

thrombolysis. Penelitian tersebut dengan menggunakan clopidogrel yang

bertujuan untuk menurunkan angka kematian, reinfarksi atau mencegah terjadinya

stroke. CLARITY-TIMI melalui 28 penelitian, dimana clopidogrel mengurangi

efikasi titik akhir primer komposit dari sumbatan arteri infark pada angiografi,

menurunkan angka kematian atau mencegah terjadinya Miokard Infark berulang

pada pasien STEMI yang menerima terapi trombolitik. Pengobatan dengan

clopidogrel sebelum dan setelah PCI secara signifikan dapat mengurangi insiden/

kejadian kematian kardiovaskuler atau komplikasi iskemik.

Clopidogrel direkomendasikan pada seluruh pasien STEMI dengan

pemberian secara oral dengan dosis loading awal segera yaitu 300 mg yang

dilanjutkan dengan dosis harian sebesar 75 mg. Pada pasien dengan PCI,

disarankan untuk pemberian dosis loading sebesar 600 mg bertujuan untuk

mencapai lebih cepat penghambatan fungsi trombosit. Pemberian clopidogrel

secara maintenance selama 12 bulan kecuali jika didapatkan adanya resiko

perdarahan massif

2. Obat antiplatelet baru

Inhibitor P2Y2 terbaru, pasugrel dan ticagrelor, merupakan agregrasi

platelet inhibitor terbesar dan memiliki manfaat lebih besar dari pada clopidegrol

18
untuk terapi STEMI. Penelitian TRITON-TIMI 38 trial membandingkan pasugrel

dengan clopidegrol pada 3534 pasien STEMI yang menjalani PCI. Pasugrel

signifikan menurunkan primary endpoint, meliputi kematian kardiovaskuler, non

fatal MI, atau non fatal stroke selama 30 hari. Namun, pemberian pasugrel harus

dihindari pada pasien dengan riwayat stroke iskemia atau transient ischemic

attack, pasien dengan usia lebih dari 75 tahun dan pasien dengan berat badan

kurang dari 60 kg karena analisis pada subgroup 38 percobaan TRITON TIMI

tidak menemukan manfaat yang lebih besar dari pasugrel karena memiliki resiko

perdarahan lebih besar pada subgroup tersebut.

Saat ini, pasugrel dapat digunakan sebagai alternatif clopidogrel pada

pasien STEMI yang menjalani Primary PCI. Ticagrelor merupakan obat aktif dan

tidak memerlukan transformasi metabolik. Penelitian PLATO membandingkan

ticagrecol dengan clopidogrel pada 7544 pasien STEMI yang sedang menjalani

Primary PCI. Dari hasil penelitian menunjukkan kecenderungan dapat

menurunkan primary endpoint dari kematian kardiovaskuler, Miokard infark atau

stroke [hazard ratio (HR), 0.87; 95% confidence interval, 0.75 to 1.01; p = 0.07].

Tetapi, tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap perdarahan mayor diantara

dua kelompok .

3. Anti Koagulan

Terapi antikoagulan pada pasien STEMI diberikan salah satu tujuannya

adalah mendukung terapi Primary PCI. Pada pasien STEMI yang sedang

19
menjalani terapi trombolitik, antikoagulan biasanya diperlukan untuk

meningkatkan pantensi awal koroner dan mengurangi reoklusi.

3.1. Unfractionated Heparin (UFH)

Heparin merupakan mukopolisakarida heterogen yang berinteraksi dengan

antitrombin III dengan meningkatkan efek penghambatan terhadap thrombin.

Unfractionated Heparin (UFH) dianggap sebagai terapi anti koagulan standart

untuk pengobatan pasien ST Elevasi Miokard Infark (STEMI), termasuk pasien

yang diobati dengan menggunakan Percutaneous Coronary Intervention (PCI).

Menurut Guidelines from the American College of Cardiology and European

Society of Cardiology merekomendasikan penggunaan UFH dengan level

evidence C.

UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin

dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan

memantapkan serta mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang

direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infus

inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial thromboplastin

time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.

Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung

kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau

fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus

mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau LMWH) selama

dirawat dilanjutkan terapi warfarin minimal 3 bulan .

20
Pada pasien yang mendapatkan pengobatan agen spesifik fibrin (Alteplase,

t-PA), pemberian intravena UFH harus dilanjutkan selama 48 jam. Namun, peran

UFH menjadi kurang penting ketika sedikit agen trombolitik spesifik fibrin misal

streptokinase digunakan. Karena agen tersebut membentuk sistemik koagulopati

dan membuat agen tersebut membuat sendiri agen antikoagulan kuat. Pada pasien

yang menjalani pengobatan Primary PCI, tambahan bolus UFH harus diberikan

dimana UFH diperlukan selama prosedur PCI untuk menjaga ACT (activated

clotting time) sekitar 250-350 detik ( 200-250 detik jika GP IIb/IIIa inhibitor

digunakan).

Pemberian UFH dapat dilanjutkan selama 24 48 jam setelah tindakan

Primary PCI atau dipertimbangkan untuk menghentikan pemberian jika sirkulasi

koroner kembali dan tidak ada resiko tinggi seperti anterior miokard infark, atrial

fibrilasi, embolisme sebelumnya atau LV (left ventricle) thrombus. Untuk pasien

tanpa terapi reperfusi, pemberian UFH harus dengan durasi yang optimal dengan

pemberian UFH selama 48 jam jika tidak ada kontraindikasi dan penggunaan

UFH harus diberikan secara individual dan sesuai dengan kondisi klinis pasien

3.2. Enoxaparin (Low Molecular Weight Heparin/ LMWH)

Enoxaparin merupakan heparin dengan berat molekul rendah (Low

Molecular Weight Heparin/ LMWH) yang memiliki biovailabilitas yang bagus

dan preferential aktivitas anti Xa. Pada penelitian ExTRACT-TIMI 25 trial,

pasien STEMI mendapatkan terapi trombolisis dan aspirin secara random

diberikan enoxaparin IV 30 mg bolus di ikuti dengan pemberian 1 mg/kg 2 kali

21
perhari secara subkutan selama 8 hari atau intravena bolus UFH 60 IU/kg di ikuti

dengan infus 12 IU/kg/jam selama 48 jam. Hasil penelitian tersebut didapatkan

bahwa secara signifikan enoxaparin lebih efektif dibandingkan dengan UFH

dalam penurunan primary composite endpoint of death atau reinfark selama 30

hari.

Sedangkan untuk tingkat perdarahan mayor lebih sering dengan

enoxaparin selama 30 hari, namun terjadinya perdarahan intracranial hampir sama

penggunaan enoxaparin dengan UFH. Walaupun begitu, enoxaparin dapat

digunakan sebagai alternative pengganti UFH pada pasien STEMI yang

mendapatkan terapi trombolitik. Pada pasien STEMI yang tidak menerima terapi

reperfusi, efek dari enoxaparin dan UFH hampir sama. Penelitian lain yang

dilakukan TETAMI, membandingkan enoxaparin 30 mg IV bolus, di ikuti dengan

1 mg/kg subkutan 2 kali perhari selama 2-8 hari dengan intravena UFH pada

pasien STEMI yang tidak mendapatkan terapi reperfusi. Dari hasil penelitian

tersebut didapatkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara enoxaparin dan

UFH dalam menimbulkan combined end point of death, reinfarksi atau serangan

angina kembali selama 30 hari. Karena memiliki profil manfaat yang hampir sama

dengan UFH, enoxaparin dapat dijadikan sebagai alternatif pengobatan pada

pasien STEMI non reperfusi. Jika pasien awalnya diobati dengan enoxaparin

tetapi kemudian membutuhkan tindakan PCI, maka dosis 0,3 mg/kg enoxaparin

dapat diberikan secara IV untuk PCI jika dosis sub kutan terakhir adalah 8-12 jam

sebelumnya. Jika dosis subkatan yang lalu telah diberikan 8 jam sebelumnya,

maka tidak diperlukan enoxaparin tambahan untuk PCI .

22
Penelitian lain yang dilakukan oleh Murphy, Et al (2007) dengan

membandingkan enoxaparin dengan UFH pada pasien ACS baik STEMI maupun

NSTE-ACS yang berjumlah 49.088 pasien secara meta analisis. Dari hasil

pembahasan didapatkan bahwa enoxaparin dikaitkan dengan manfaat yang besar

sebagai terapi adjunctive antithrombin diantara lebih dari 49.000 pasien diseluruh

spectrum ACS. Walaupun perdarahan mayor meningkat dengan menggunakan

enoxaparin, tetapi peningkatan ini di imbangi dengan penurunan yang signifikan

dalam kematian non-fatal miokard infark.

3.3. New Anticoagulan Drug

a. Bivalirudin

Bivalirudin merupakan direk inhibitor thrombin yang di indikasikan untuk

digunakan selama Percutaneous Coronary Intervention (PCI) meliputi pasien

dengan STEMI maupun Unstable angina/ NSTEMI. Dari hasil penelitian

penggunaan bivalirudin menurunkan resiko perdarahan dan gejala klinis. Selain

itu, pemberian bivalirudin juga menurunkan resiko kematian, reinfraksi, serta

perdarahan mayor

Dosis awal yang diberikan IV melalui bolus 0,75 mg/kgBB/jam selama

durasi prosedur PCI serta dapat dilanjutkan sampai 4 jam post PCI dengan dosis

1,75 mg/kgBB . Kontraindikasi pemberian bivalirudin yaitu pada pasien dengan

perdarahan aktif atau meningkatnya resiko perdarahan akibat kelainan

haemostasis atau irreversible coagulation disorder, hipertensi berat yang tidak

terkontrol, endokarditis dan gagal ginjal kronik (GFR < 30 ml/mnt). Selain itu,

23
harus diperhatikan efek samping dari pemberian terapi bivalirudin yaitu

terjadinya perdarahan minor maupun mayor (Sani, 2010). Sehingga diperlukan

peran perawat selama pemberian obat tersebut dalam memonitor proses

pemberian obat serta efek samping yang ditimbulkan . Dalam penelitian yang

dilakukan oleh Pinto, Et al (2010) membandingkan hasil klinis dan ekonomis

pada pasien ST-Elevasi Miokard Infark (STEMI) yang menjalani tindakan klinis

rutin Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI), dengan memberikan

terapi bivalirudin dengan heparin dan glycoprotein IIb/IIIa receptor inhibition

(GPI) sepktrum luas. Pasien dikelompokkan menjadi 2 kelompok pengobatan,

yaitu bivalirudin dan heparin dengan GPI. Dari hasil studi tersebut disimpulkan

bahwa pemberian bivalirudin dibandingkan dengan heparin dan glycoprotein

IIb/IIIa receptor inhibition (GPI) pada pasien yang sedang menjalani PCI

menunjukkan hasil yaitu angka kematian yang lebih rendah (3,2 % vs 4,0 %),

rendahnya resiko perdarahan (16,9% vs 10,5%), perdarahan setelah transfusi ( 1,6

% vs 3,0 %) dan pemberian transfusi ( 5,9 % vs 7,6 %). Pasien yang mendapatkan

terapi bivalirudin memiliki rata-rata perawatan lebih pendek ( rata-rata 4,3 hari vs

4,5 hari) serta biaya perawatan yang lebih rendah (rata-rata $ 18.640 vs $19.967).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian bivalirudin selama tindakan PCI

menurunkan resiko kematian dan perdarahan, dan menurunkan biaya perawatan

rumah sakit. Percobaan HORIZON-AMI, bivalirudin dibandingan dengan UFH

plus GP IIb/IIIa inhibitor pada pasien STEMI yang sedang menjalani primary

PCI. Bivalirudin memiliki tingkat yang lebih rendah terhadap kejadian klinis,

meliputi perdarahan mayor, kematian, urgent target vessel revascularization,

24
Miokard Infark dan stroke selama 30 hari. Manfaat paling signifikan adalah

mengurangi komplikasi dari perdarahan mayor. Oleh karena itu, bivalirudin dapat

digunakan sebagai alternatif terapi pasien STEMI yang sedang menjalani tindakan

invasif .

b. Fondaparinux

Fondapariniux merupakan sintetik factor Xa inhibitor yang terikat pada

antitrombin III dan meningkatkan antitrombin III-mediated factor Xa inhibition.

OASIS melakukan 6 percobaan, Efek fondaparinux yang diujikan pada pasien

STEMI yang sedang menjalani terapi trombolisis, Primary PCI, atau tidak ada

terapi reperfusi dan dibagi menjadi dua kelompok yang tergantung pada

kebutuhan terhadap UFH selama 30 hari. Secara keseluruhan, fondaparinux

signifikan dalam menurunkan kejadian primary efficacy outcome (kematian atau

Miokard Infark berulang). Manfaat signifikan didapatkan pada pasien yang

menerima terapi trombolisis atau tidak ada terapi reperfusi tetapi tidak pada

pasien yang sedang menjalani primary PCI. Dengan demikian. Fondaparinux

dianjurkan sebagai alternatif antikoagulan pada pasien STEMI yang dirawat

secara konservatif, tetapi tidak pada pasien yang menjalani primary PCI

c. Penyekat Beta / Beta Blockers

Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu

manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan

dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah

25
infark. Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan

oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan

risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. Terapi penyekat beta pasca STEMI

bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapatkan terapi

inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal

jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi

ortostatik, atau riwayat asma). Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5

mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali

permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki

tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir

dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam,

dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.

26
27
2.6 Komplikasi

1) Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal jantung
secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Pembesaran ruang
jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi
infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal
jantung dan prognosis lebih buruk.

2) Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di
rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi dengan
tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya.

28
3) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90%
terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.

4) Infark ventrikel kanan


Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang
berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa
hipotensi.

5) Aritmia paska STEMI

Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem


saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona
iskemi miokard.

6) Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien
STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah
aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.2

7) Takikardia dan fibrilasi ventrikel


Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia
sebelumnya dalam 24 jam pertama. 2

8) Fibrilasi atrium
9) Aritmia supraventrikular
10) Asistol ventrikel
11) Bradiaritmia dan Blok
12) Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel.

29
2.7 Prognosis

Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA :


1) Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3
gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik

Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut


Kelas Definisi Mortalitas (%)

I Tak ada tanda gagal 6


jantung
II +S3 dan atau ronki basah 17

III Edema Paru 30-40

IV Syok kardiogenik 60-80

2) Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks


jantung dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)

Tabel 2. Klasifikasi Forrester pada Infark Miokard Akut


Kelas Indeks Kardiak PCWP (mmHg) Mortalitas (%)
(L/min/m2)
I >2,2 <18 3

II >2,2 >18 9

III <2,2 <18 23

IV <2,2 >18 51

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2007
2. Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing. 2014.
3. Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia
Kedokteran. 2005; 147: 6-9
4. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta:
EGC. 2007.
5. Fauci, Braunwald, dkk. 17thEdition Harrisons Principles of Internal
Medicine. New South Wales: McGraw Hill. 2010.
6. Satoto, H. (2014). Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner. Jurnal
Anestesiologi Indonesia. Vol 4. (209-224)
7. Antman EM, Hand M, Armstrong PW, et al. Focused update of the
ACC/AHA 2004 guidelines for the management of the patients with ST-
elevation myocardial infarction : a report of the American College of
Cardiology American Heart Association Task Force on Practice Guidelines.
2008;51:210247.
8.

31

Anda mungkin juga menyukai