PENDAHULUAN
Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering
di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih
dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit. Walaupun
laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1 diantara
25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama
Menurut laporan WHO, pada tahun 2004, penyakit infark miokard akut
(12,2%) kematian terjadi akibat penyakit ini diseluruh dunia. IMA adalah
penyebab kematian nomor dua pada Negara berpenghasilan rendah, dengan angka
mortalitas 2,47 juta (9,4%). Di Indonesia pada tahun 2002, IMA merupakan
yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti
setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari
pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak
mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat
1
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial
Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang
terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan
elevasi ST.
B. TUJUAN PENULISAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
klinis yang didefinisikan sebagai gejala iskemia miokard khas yang dikaitkan
dengan gambaran EKG berupa elevasi ST yang persisten dan diikuti pelepasan
2.2 Patofisiologi
aliran darah coroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak
ateroskelotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri coroner berat yang
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika thrombus arteri coroner
terjadi secara cepat pada lokasi injury vascular, dimana injury ini dicetuskan oleh
mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu
coroner cenderung mengalami rupture jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan
3
inti kaya lipid (lipid rich cor). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari
fibrin rich retrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan
tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin)
seperti factor von wiellebrand (vWV) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah
4
Gambar 1. Pembentukan thrombus dan intervensi farmakologis dalam kaskade koagulasi
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
Arteri coroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh
Pada kondisi jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri yang
2.3 Diagnosis
yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST baru pada titik J 2mm pada
pria atau 1.5mm pada wanita, minimal pada dua sadapan V2-V3 dan atau 1mm
pada senapan dada yang lain atau sandapan ekstremitas. LBB baru atau diduga
ditemukan pada pasien dengan oklusi pada left main atau arteri desendens anterior
5
kiri proksimal. Perubahan gelombang T hiperakut jarang dijumpai pada fase
ANAMNESIS
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis
secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung.
Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah
nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu di anamnesis pula apakah ada
STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah.
Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkardian
dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
NYERI DADA
6
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat
dan tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau
Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu
membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda
2. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan rasa terbakar, ditindih benda berat,
3. Penjalaran: biasanya dilengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
5. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan
PEMERIKSAAN FISIS
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Sering kali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal lebih
dari 30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar
7
simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark inferior
jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apical yang
bersifat sementara karna disfungsi apparatus katup mitral dan takikardial friction
rup. Peningkatan suhu sampai 38C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca
STEMI.
8
disebut infark non Q. Sebelumnya, istilah infark miokard transmural digunakan
jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark
miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara
segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran
patologis EKG dengan lokasi infark (mural/ transmural) sehingga terminologi
Infark Miokard Akut gelombang Q dan non Q menggantikan Infark Miokard Akut
mural/ nontransmural.
b. Laboratorium
9
otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB, pada
pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera
mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai
enzim di atas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung
(infark miokard).
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10- 24 jam dan kembali normal dalam 2- 4 hari. Operasi jantung,
miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
cTn: ada 2 jenis cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10- 24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5- 14 hari, sedangkan cTn I setelah 5- 10 hari.
c. Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding
ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup. Dapat pula digunakan untuk
melihat luasnya iskemia bila dilakukan waktu dada sedang berlangsung.
10
d. Angiografi Koroner
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan
menggunakan sinar x pada jantung dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama
serangan untuk menemukan letak sumbatan pada arteri koroner.
2.5 Penatalaksanaan
11
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral
dengan dosis 75-162 mg.
o Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang
biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total
3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit,
tekanan darah sistolik
dilakukan sesegera mungkin dalam waktu 12 jam setelah onset gejala dari
STEMI. Tujuan pengobatan pasien miokard infark akut dengan STEMI (termasuk
mereka yang diduga mengalami onset baru blok berkas cabang kiri (LBBB)
adalah untuk memulihkan oksigenasi dan suplai substrat metabolik akibat oklusi
pelayanan medis terdekat. Hingga saat ini laporan-laporan uji coba klinik
strategi reperfusi koroner yang sudah lama kita kenal yaitu reperfusi farmakologik
12
disingkat IKPP), intervensi koroner perkutan fasilitasi (fascilitated PCI),
yang baru-baru ini mulai dijalankan di beberapa senter adalah strategi farmako-
invasif.
maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI
dapat dicapai dalam 90 menit. Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik
merupakan prediktor penting terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas
fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama)
terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapi
memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus
Coronary Intervention (PCI), yang diberikan pada pasien STEMI dengan onset
13
gejala <12 jam. Pada pasien STEMI yang datang terlambat (>12 jam) dapat
dilakukan terapi reperfusi jika pasien masih mengeluh nyeri dada yang khas infark
(ongoing chest pain). PCI efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika
stenting).
selama 12 jam setelah gejala awal disebut PCI primer (primary PCI).
pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI primer lebih dipilih
kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang
pasien dengan STEMI selain diberikan terapi reperfusi, juga diberikan terapi lain
14
(LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor
Blocker
1. Antiplatelet
Anti platelet yang digunakan selama fase awal STEMI berperan dalam
mempertahankan patensi arteri koroner yang terkena infark. Baik aspirin maupun
clopidogrel harus segera diberikan pada pasien STEMI ketika masuk ruangan
emergensi.
15
1.1.Aspirin
kejadian iskemik berulang pada pasien dengan Infark Miokard Akut. Aspirin
infark non fatal sebesar 49%. Aspirin merupakan golongan anti platelet yang
Kelas I yaitu aspirin harus dikunyah oleh pasien dan perawat tidak boleh
dalam bentuk non enteric coated lebih cepat asorbsinya melalui buccal. Dengan
pemberian dosis aspirin 162 mg atau lebih, aspirin akan menghasilkan efek klinis
antithrombotic dengan cepat hal ini disebabkan oleh produksi inhibitor total
thromboxan A2. Aspirin sekarang merupakan bagian dari manajemen awal untuk
seluruh pasien yang dicurigari STEMI dan harus segera diberikan dan diberikan
dalam 24 jam pertama dengan dosis antara 162 325 mg dan dilanjutkan dalam
jangka waktu tidak terbatas dengan dosis harian 75 162 mg. Walaupun dalam
beberapa penelitian menggunakan enteric coated aspirin untuk dosis awal, namun
dengan menggunakan aspirin dalam bentuk non enteric coated lebih cepat
16
Kontraindikasi dalam pemberian aspirin meliputi pasien yang mengalami
dengan sindrom koroner akut (ACS) yang menerima dosis tinggi (> 200 mg),
dosis sedang (110-199 mg) maupun dosis rendah (< 100 mg) aspirin per hari.
Dimana dari hasil studi tersebut menyebutkan bahwa tingkat perdarahan mayor
meningkat secara signifikan pada pasien ACS yang menerima aspirin dosis tinggi
1
Walaupun begitu, agen antiplatelet lain juga direkomendasikan untuk diberikan
pada pasien dengan STEMI jika pasien menunjukkan alergi atau intoleransi
1.2.Clopidogrel
dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang
kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian, reinfark non fatal,
dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian terbesar pada kelompok
17
pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang memiliki angka kematian 1 tahun
efikasi titik akhir primer komposit dari sumbatan arteri infark pada angiografi,
clopidogrel sebelum dan setelah PCI secara signifikan dapat mengurangi insiden/
pemberian secara oral dengan dosis loading awal segera yaitu 300 mg yang
dilanjutkan dengan dosis harian sebesar 75 mg. Pada pasien dengan PCI,
perdarahan massif
platelet inhibitor terbesar dan memiliki manfaat lebih besar dari pada clopidegrol
18
untuk terapi STEMI. Penelitian TRITON-TIMI 38 trial membandingkan pasugrel
dengan clopidegrol pada 3534 pasien STEMI yang menjalani PCI. Pasugrel
fatal MI, atau non fatal stroke selama 30 hari. Namun, pemberian pasugrel harus
dihindari pada pasien dengan riwayat stroke iskemia atau transient ischemic
attack, pasien dengan usia lebih dari 75 tahun dan pasien dengan berat badan
tidak menemukan manfaat yang lebih besar dari pasugrel karena memiliki resiko
pasien STEMI yang menjalani Primary PCI. Ticagrelor merupakan obat aktif dan
ticagrecol dengan clopidogrel pada 7544 pasien STEMI yang sedang menjalani
stroke [hazard ratio (HR), 0.87; 95% confidence interval, 0.75 to 1.01; p = 0.07].
Tetapi, tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap perdarahan mayor diantara
dua kelompok .
3. Anti Koagulan
adalah mendukung terapi Primary PCI. Pada pasien STEMI yang sedang
19
menjalani terapi trombolitik, antikoagulan biasanya diperlukan untuk
evidence C.
memantapkan serta mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung
fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus
mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau LMWH) selama
20
Pada pasien yang mendapatkan pengobatan agen spesifik fibrin (Alteplase,
t-PA), pemberian intravena UFH harus dilanjutkan selama 48 jam. Namun, peran
UFH menjadi kurang penting ketika sedikit agen trombolitik spesifik fibrin misal
dan membuat agen tersebut membuat sendiri agen antikoagulan kuat. Pada pasien
yang menjalani pengobatan Primary PCI, tambahan bolus UFH harus diberikan
dimana UFH diperlukan selama prosedur PCI untuk menjaga ACT (activated
clotting time) sekitar 250-350 detik ( 200-250 detik jika GP IIb/IIIa inhibitor
digunakan).
koroner kembali dan tidak ada resiko tinggi seperti anterior miokard infark, atrial
tanpa terapi reperfusi, pemberian UFH harus dengan durasi yang optimal dengan
pemberian UFH selama 48 jam jika tidak ada kontraindikasi dan penggunaan
UFH harus diberikan secara individual dan sesuai dengan kondisi klinis pasien
21
perhari secara subkutan selama 8 hari atau intravena bolus UFH 60 IU/kg di ikuti
hari.
mendapatkan terapi trombolitik. Pada pasien STEMI yang tidak menerima terapi
reperfusi, efek dari enoxaparin dan UFH hampir sama. Penelitian lain yang
1 mg/kg subkutan 2 kali perhari selama 2-8 hari dengan intravena UFH pada
pasien STEMI yang tidak mendapatkan terapi reperfusi. Dari hasil penelitian
tersebut didapatkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara enoxaparin dan
UFH dalam menimbulkan combined end point of death, reinfarksi atau serangan
angina kembali selama 30 hari. Karena memiliki profil manfaat yang hampir sama
pasien STEMI non reperfusi. Jika pasien awalnya diobati dengan enoxaparin
tetapi kemudian membutuhkan tindakan PCI, maka dosis 0,3 mg/kg enoxaparin
dapat diberikan secara IV untuk PCI jika dosis sub kutan terakhir adalah 8-12 jam
sebelumnya. Jika dosis subkatan yang lalu telah diberikan 8 jam sebelumnya,
22
Penelitian lain yang dilakukan oleh Murphy, Et al (2007) dengan
membandingkan enoxaparin dengan UFH pada pasien ACS baik STEMI maupun
NSTE-ACS yang berjumlah 49.088 pasien secara meta analisis. Dari hasil
sebagai terapi adjunctive antithrombin diantara lebih dari 49.000 pasien diseluruh
a. Bivalirudin
perdarahan mayor
durasi prosedur PCI serta dapat dilanjutkan sampai 4 jam post PCI dengan dosis
terkontrol, endokarditis dan gagal ginjal kronik (GFR < 30 ml/mnt). Selain itu,
23
harus diperhatikan efek samping dari pemberian terapi bivalirudin yaitu
pemberian obat serta efek samping yang ditimbulkan . Dalam penelitian yang
pada pasien ST-Elevasi Miokard Infark (STEMI) yang menjalani tindakan klinis
yaitu bivalirudin dan heparin dengan GPI. Dari hasil studi tersebut disimpulkan
IIb/IIIa receptor inhibition (GPI) pada pasien yang sedang menjalani PCI
menunjukkan hasil yaitu angka kematian yang lebih rendah (3,2 % vs 4,0 %),
% vs 3,0 %) dan pemberian transfusi ( 5,9 % vs 7,6 %). Pasien yang mendapatkan
terapi bivalirudin memiliki rata-rata perawatan lebih pendek ( rata-rata 4,3 hari vs
4,5 hari) serta biaya perawatan yang lebih rendah (rata-rata $ 18.640 vs $19.967).
plus GP IIb/IIIa inhibitor pada pasien STEMI yang sedang menjalani primary
PCI. Bivalirudin memiliki tingkat yang lebih rendah terhadap kejadian klinis,
24
Miokard Infark dan stroke selama 30 hari. Manfaat paling signifikan adalah
mengurangi komplikasi dari perdarahan mayor. Oleh karena itu, bivalirudin dapat
digunakan sebagai alternatif terapi pasien STEMI yang sedang menjalani tindakan
invasif .
b. Fondaparinux
STEMI yang sedang menjalani terapi trombolisis, Primary PCI, atau tidak ada
terapi reperfusi dan dibagi menjadi dua kelompok yang tergantung pada
menerima terapi trombolisis atau tidak ada terapi reperfusi tetapi tidak pada
secara konservatif, tetapi tidak pada pasien yang menjalani primary PCI
manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan
dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah
25
infark. Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan
risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. Terapi penyekat beta pasca STEMI
inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal
jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi
ortostatik, atau riwayat asma). Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5
mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali
permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki
tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam,
26
27
2.6 Komplikasi
1) Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal jantung
secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Pembesaran ruang
jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi
infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal
jantung dan prognosis lebih buruk.
2) Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di
rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi dengan
tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya.
28
3) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90%
terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.
6) Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien
STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah
aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.2
8) Fibrilasi atrium
9) Aritmia supraventrikular
10) Asistol ventrikel
11) Bradiaritmia dan Blok
12) Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel.
29
2.7 Prognosis
II >2,2 >18 9
IV <2,2 >18 51
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2007
2. Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing. 2014.
3. Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia
Kedokteran. 2005; 147: 6-9
4. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta:
EGC. 2007.
5. Fauci, Braunwald, dkk. 17thEdition Harrisons Principles of Internal
Medicine. New South Wales: McGraw Hill. 2010.
6. Satoto, H. (2014). Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner. Jurnal
Anestesiologi Indonesia. Vol 4. (209-224)
7. Antman EM, Hand M, Armstrong PW, et al. Focused update of the
ACC/AHA 2004 guidelines for the management of the patients with ST-
elevation myocardial infarction : a report of the American College of
Cardiology American Heart Association Task Force on Practice Guidelines.
2008;51:210247.
8.
31