Anda di halaman 1dari 14

Perdarahan karena Defisiensi Vitamin K pada Masa Bayi

Abstrak: Vitamin K penting untuk proses sintesis beberapa faktor koagulasi.


Bayi dapat dengan mudah mengalami defisiensi vitamin K karena transfer
plasenta yang buruk, kandungan vitamin K yang rendah pada ASI, dan absorbsi
intestinal yang buruk yang disebabkan oleh flora usus yang imatur serta
malabsorbsi. Perdarahan karena defisiensi vitamin K (VKDB) pada masa bayi
dikategorikan berdasarkan waktu munculnya manifestasi: dini (dalam 24 jam),
klasik (dalam 1 minggu setelah kelahiran), dan lanjut (antara 2 minggu hingga
usia 6 bulan). VKDB pada masa bayi, terutama VKDB awitan-lanjut, dapat
bersifat mengancam nyawa. ASI eksklusif dan kolestasis sangat dikaitkan dengan
defisiensi ini dan menyebabkan VKDB awitan-lanjut. Injeksi profilaksis
intramuskuler mengurangi insidensi VKDB awitan-dini, klasik, dan awitan-lanjut.
Namun, strategi profilaksis saat ini cenderung diberikan secara oral karena lebih
mudah, lebih aman, dan lebih murah untuk diberikan dibandingkan dengan injeksi
intramuskuler. Beberapa penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa pemberian
vitamin K oral efektif dalam mencegah terjadinya VKDB pada masa bayi; namun
keberhasilan profilaksis oral bergantung pada rejimen protokol dan komplians
orang tua. Surveilans nasional dan beberapa penelitian lebih lanjut dibutuhkan
untuk menunjukkan rejimen profilaksis yang optimal pada bayi cukup bulan dan
bayi pra-term.

1. Pendahuluan
Vitamin K merupakan vitamin yang larut dalam lemak dan kofaktor
penting dalam proses sintesis dan aktivasi faktor koagulasi II (protrombin), VII,
IX, dan X (faktor koagulasi yang bergantung pada vitamin K), serta protein C dan
S di hepar. Vitamin K memainkan peranan penting sebagai kofaktor gamma-
glutamyl carboxylase dalam pengubahan asam glutamat menjadi residu asam
gama-karboksiglutamat pada N-terminus dari protein C dan S, serta faktor-faktor
prokoagulan yang bergantung padavitamin K. Tiga bentuk vitamin K yang
diketahui: vitamin K1 (filokuinon), vitamin K2 (menakuinon, dan vitamin K3

1
(menadion). Vitamin K1 (filokuinon) merupakan bentuk sirkulasi utama dan
terutama didapat dari sumber makanan, seperti sayur-sayuran hijau. Vitamin K2
(menakuinon) ditemukan pada makanan, terutama kuning telur, ayam, daging,
sayuran, dan produk-produk fermentasi, seperti natto. Selain itu, vitamin K2
disintesis dari flora usus (bakteri intestinal) dan reseptor scavenger kelas B tipe I,
serta Niemann-Pick C1-Like-1 baru-baru ini telah dilaporkan sebagai regulator inti
dari penyerapan vitamin K di usus. Vitamin K3, sebuah bentuk sintetis, tidak
digunakan saat ini untuk profilaksis vitamin K intramuskuler (IM) pada manusia
karena anemia hemolitik yang dapat terjadi pada bayi dengan defisiensi glucose-
6-phosphate-dehydrogenase.
Karena vitamin K tersedia dari berbagai sumber yang berbeda, defisiensi
vitamin K merupakan kondisi yang jarang ditemukan pada dewasa. Namun,
situasi ini berbeda pada bayi baru lahir karena kadar vitamin K yang ditransfer
dari ibu ke anak melalui plasenta sedikit rendah. Kadar vitamin K dalam darah tali
pusat sering di bawah batas deteksi 0,02 ng/mL pada bayi baru lahir sehat. Kami
sebelumnya telah melaporkan bahwa kadar vitamin K dalam tali pusar sangat
rendah, dan bayi baru lahir tersebut memiliki sedikit vitamin K yang terpelihara
pada jaringan hepar pada saat kelahiran tanpa memperhatikan usia gestasional
mereka, dari 5 neonatus yang meninggal dalam 24 jam tidak mendapatkan
suplemen vitamin K (Gambar 1A). Meskipun ASI merupakan makanan yang
dipilih untuk seluruh neonatus, kadar vitamin K pada ASI secara signifikan lebih
rendah dibandingkan yang ada di dalam susu formula (median 2,5 mg/L vs. 24-
175 mg/L), dan terdapat perbedaan yang substansial dalam kadar ini di antara
masing-masing individu (Tabel 1).
Selain itu, flora usus pada neonatus masih imatur dan jumlah vitamin K
yang disintesis dari flora mereka tidak mencukupi. Laporan kami sebelumnya
menunjukkan bahwa kandungan vitamin K pada sampel feses bayi secara
signifikan lebih sedikit dibandingkan dengan sampel feses dewasa (Tabel 2), dan
hal ini mendukung gagasan bahwa flora usus yang imatur pada neonatus dikaitkan
dengan defisiensi vitamin K.

2
Bentuk tereduksi dari vitamin K (vitamin K hidrokuinon) yang dioksidasi
menjadi vitamin K epoksida-2,3, yang selanjutnya akan direduksi oleh vitamin K
epoksida-2,3 reduktase menjadi vitamin K. Vitamin K kemudian direduksi oleh
vitamin K reduktase menjadi vitamin K hidrokuinon dan digunakan kembali.
Reduksi dalam kerja vitamin K epoksida-2,3 reduktase menghasilkan akumulasi
vitamin K epoksida-2,3 di dalam jaringan hati setelah pengisian vitamin K.
Nishimura dkk. melaporkan korelasi yang sangat signifikan antara kadar vitamin
K epoksida-2,3 di dalam darah dan jaringan hepar (Nishimura N, Usui Y,
Kobayashi N; Menaquinone-4, vitamin K1 and epoxide levels in blood after
intravenous administration of menaquinone-4 and vitamin K1. Proceedings of 5th
seminar of vitamin K function. Eisai, Tokyo, pp155-162,1989). Dengan demikian,
kami memperkirakan aktivitas vitamin K epoksida-2,3 reduktase dengan
mengukur rasio menakuinon-4 epoksida-2,3 menjadi kadar serum menakuinon-4,
30 menit setelah pemberian vitamin K intravena (IV). Rasio menakuinon-4
epoksida-2,3/menakuinon-4 lebih tinggi pada bayi dibandingkan pada dewasa
(Gambar 1B), mengindikasikan bahwa tingkat aktivitas vitamin K epoksida-2,3
reduktase pada bayi lebih rendah dibandingkan pada dewasa, dan penggunaan
kembali vitamin K di hepar menurun.
Karier vitamin K epoxide reductase complex 1 (VKORC1) dan/atau alel
varian sitokrom P450 2C9 (CYP2C9) memiliki risiko berkembangnya defisiensi
vitamin K. Single nucleotide polymorphism (SNP) yang paling banyak dijumpai—
G-1639A—dalam promoter VKORC1 telah diidentifikasikan sebagai penentu
utama dalam sensitivitas coumarin, penurunan aktivitas enzim vitamin K epoksida
reduktase menjadi 50% pada tipe wild GG. Polimorfisme pada VKORC1 (G-
1639A) dan koagulasi factor7 (F7-323 Ins10) dilaporkan berkaitan dengan
perdarahan intraventrikuler atau kadar faktor VII yang rendah. Baru-baru ini,
kehadiran alel varian pada VKORC1 (SNP: rs9923231) dilaporkan berkaitan
dengan perdarahan karena defisiensi vitamin K (VKDB). Meskipun beberapa
laporan meyakini bahwa adanya hubungan antara varian genetik VKORC1 dan
VKDB di Jepang masing kurang, aktivitas enzim vitamin K epoksida reduktase

3
yang rendah dapat dikaitkan dengan VKDB pada masa bayi karena perbedaan
etnis pada insidensi VKDB bayi.
Kami merangkum beberapa faktor yang mungkin dapat menginduksi
defisiensi vitamin K pada neonatus (Tabel 3). Kandungan vitamin K yang buruk
pada ASI tidak tampak menyebabkan VKDB karena kami telah mengamati bahwa
kadar MK-4 dalam ASI dari ibu dengan anak-anak yang mengalami VKDB
idiopatik meningkat setelah mendapatkan MK-4 oral bergantung-dosis.
Dengan demikian, defisiensi vitamin K mungkin terjadi ketika asupan
vitamin K selama periode neonatus dini tidak mencukupi. Waktu paruh beberapa
faktor koagulasi yang bergantung vitamin K ini pendek, dan defisiensi vitamin K
selanjutnya dapat menyebabkan VKDB neonatus. Terutama, VKDB merupakan
kelainan hemostatik yang mana parameter koagulasi dapat ditatalaksana dengan
cepat dengan pemberian suplementasi vitamin K.

2. Epidemiologi dan Klasifikasi VKDB


Bayi baru lahir dengan VKDB pertama kali dilaporkan oleh Charles
Townsend pada tahun 1984. Ia melaporkan 50 neonatus dengan kelainan
perdarahan yang terjadi selama 2-3 hari setelah kelahiran; kelainan ini dikenal
dengan istilah penyakit hemoragik pada bayi baru lahir (HDN) dan saat ini
dikelompokkan sebagai VKDB klasik. Istilah VKDB diganti dengan istilah HDN
karena VKDB juga dapat terjadi selama periode pascanatal. Selanjutnya, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa defisiensi vitamin K dapat menjadi faktor
patofisiologis utama HDN.
Beberapa kasus yang saat ini dikelompokkan sebagai VKDB awitan-
lambat pertama kali dilaporkan di Thailand pada tahun 1966. Bhancet dkk.
merangkum beberapa kasus mengenai 93 bayi Thailand yang mendapatkan ASI
yang secara khas menampilkan episode perdarahan antara 1-2 bulan setelah
kelahiran. Di Thailand, data surveilans yang didapatkan dari tahun 1981 hingga
1995 menunjukkan bahwa insidensi VKDB awitan-lambat lebih tinggi (71 per
100.000 kelahiran) dibandingkan di negara-negara Eropa, dan insidensi
perdarahan intrakranial adalah 82%. Sebaliknya, pada survei nasional Jepang

4
pertama mengenai defisiensi vitamin K pada bayi yang dilakukan antara tahun
1978-1980, insidensi VKDB awitan-lambat adalah 8,8 per 100.000 kelahiran.
Dengan demikian, meskipun di daerah Asia yang sama, terdapat kesenjangan
yang signifikan mengenai insidensi kondisi ini.
Pada tahun 1985, Lane dan Hathaway merangkum 3 jenis VKDB sebagai
berikut: onset-dini (terjadi dalam 24 jam pertama setelah kelahiran, klasik (terjadi
dalam 2-7 hari setelah kelahiran), dan awitan-lanjut (terjadi antara 2-12 minggu
hingga usia 6 bulan) (Tabel 4).
VKDB awitan-dini seringkali dikaitkan dengan kelainan malabsorpsi
maternal dan obat-obatan yang menghambat aktivitas vitamin K, seperti
antiepilepsi (karbamazepin, fenitoin, dan barbiturat), obat-obatan antituberkulosis
(isoniazid dan rifampisin), antibiotik tertentu (sefalosporin), dan antagonis
vitamin K (warfarin); selain itu, sering ditemukan pada wanita hamil yang tidak
mendapat profilaksis vitamin K sebelum persalinan. Beberapa penelitian terbaru
menunjukkan bahwa fungsi plasenta mungkin terganggu pada kasus preeklampsia
dan pertumbuhan intrauterin terhambat. Kondisi-kondisi ini mungkin akan
berdampak pada transfer vitamin K plasenta. Insidensi VKDB awitan-dini pada
neonatus yang memiliki risiko, yaitu yang tidak mendapatkan suplementasi
vitamin K dilaporkan bervariasi dari 6-12%. Pada beberapa kasus yang tidak
mendapatkan pemberian vitamin K sebelum persalinan, kejadian VKDB awitan-
dini sering terjadi, dan prognosis bayi tersebut buruk karena VKDB memiliki
insidensi perdarahan intrakranial yang tinggi. Pada tahun 2017, Japanese Society
of Obstetrical, Gynecological, dan Neonatal Hematology mengadakan sebuah
survei kuesioner nasional untuk menentukan epidemiologi dari VKDB awitan-dini
antara tahun 2007-2016. Terdapat 20 kasus yang dilaporkan (2 pasang bayi
kembar), termasuk 18 kasus fetus. Antara 18 ibu dengan bayi VKDB fetus dan
awitan-dini, 11 ibu mengalami malnutrisi, dan sisanya mengalami Crohn’s
disease (n=3) atau sedang menjalani terapi warfarin (n=4). Perdarahan intrakranial
merupakan manifestasi klinis yang paling sering ditemukan (n=12) dan
menyebabkan sekuele neurologis berat (n=9) dan kematian fetus intrauterin (n=2).

5
Tidak ada kasus yang melibatkan pemberian vitamin K profilaksis terhadap ibu
(data tidak dipublikasikan).
Sebaliknya, VKDB klasik, yang dikaitkan dengan kandungan vitamin K
yang rendah pada ASI, pemberian susu yang buruk, dan/atau profilaksis vitamin
K yang tidak adekuat, memiliki prognosis baik karena lokasi perdarahannya
biasanya berlokasi pada traktus intestinal. Selain itu, penurunan alami pada
aktivitas protrombin selama periode ini sebelumnya telah dilaporkan. Dengan
profilaksis vitamin K, VKDB klasik dilaporkan terjadi pada 0,25% hingga 1,7%
neonatus tanpa penyakit yang mendasarinya.
VKDB awitan-lambat terjadi pada 2 minggu hingga 6 bulan setelah
kelahiran, dengan peningkatan kejadian yang dilaporkan antara 3 hingga 8 bulan
setelah kelahiran. VKDB jenis ini memiliki insidensi yaitu 4,4 hingga 72,0 per
100.000 kelahiran hidup di Asia dan Eropa (Tabel 5).
VKDB awitan-lambat dikelompokkan sebagai idiopati tanpa adanya faktor
risiko defisiensi vitamin K kecuali ASI, atau sebagai VKDB sekunder dengan
faktor risiko defisiensi vitamin K, seperti malabsorbsi atau kolestasis karena
absorbsi vitamin K sangat bergantung pada ketersediaan bilirubin intestinal. Pada
survei nasional Jepang pertama dan kedua, sebanyak 427 kasus idiopatik dan 57
kasus sekunder dilaporkan, hal ini mengindikasikan bahwa kasus idiopatik 7,5
kali lebih sering ditemukan dibandingkan kasus sekunder di Jepang. Dari seluruh
kasus yang dilaporkan, sebanyak 476 kasus (87,7%) melibatkan ASI eksklusif
sebagai faktor risikonya. Rasio ini sangat tinggi dibandingkan dengan tingkat rata-
rata pemberian ASI di Jepang.
Manifetasi perdarahan VKDB awitan-lambat, terutama, melibatkan traktus
gastrointestinal, kulit, dan sistem saraf pusat, dan muncul sebagai perdarahan
intrakranial. Kebanyakan kasus VKDB awitan-lambat yang dilaporkan muncul
dengan perdarahan intrakranial. Menurut survei Jepang yang disebutkan di atas
untuk lokasi perdarahan, perdarahan intrakranial dilaporkan pada 82,7% bayi
dengan VKDB idiopatik. Lebih lanjut lagi, perdarahan intrakranial juga signifikan
pada bayi dengan VKDB sekunder. VKDB awitan-lambat mungkin berdampak
pada morbiditas dan mortalitas, dengan mortalitasnya sebanyak 20%-50%. Dalam

6
survei di Jepang yang memasukkan 427 pasien dengan VKDB idiopati, sebanyak
62 pasien (14,5%) meninggal dan sebanyak 171 pasien (40,0%) bertahan dengan
sekuele neurologis berat. Menariknya, jumlan laporan VKDB awitan-lambat yang
tinggi ini, terutama VKDB idiopati, berasal dari Asia Tenggara dan Australia.
VKDB awitan-lambat lebih sering ditemukan pada populasi Asia dibandingkan
populasi Kaukasia. Temuan ini mungkin sebagian besar dapat dijelaskan karena
kebiasaan makan atau insidensi atresia bilier yang 6 kali lipat lebih tinggi di Asia
dibandingkan Eropa Barat. Beberapa penelitian terakhir telah mengonfirmasikan
bahwa varian genetik 10q24 sangat dikaitkan dengan epidemiologi atresia bilier.

3. Diagnosis VKDB pada Masa Bayi


Diagnosis VKDB biasanya diindikasikan dengan adanya pemanjangan
activated partial thromboplastin time (APTT) dan prothrombin time (PT). VKDB
ditandai dengan PT international normalized ratio (INR) > 4 atau nilainya > 4
kali nilai normal pada saat adanya penghitungan jumlah trombosit normal dan
kadar fibrinogen. Diagnosis dikonfirmasikan berdasarkan adanya peningkatan
kadar proteins induced by vitamin K absence or antagonists (PIVKAs) dan
normalisasi parameter koagulasi cepat, seperti APTT dan PT, setelah pemberian
vitamin K, atau keduanya.
PIVKA merupakan protein prekursor undercarboxylated dari faktor
koagulasi yang bergantung pada vitamin K yang diinduksi oleh defisiensi vitamin
K. PIVKA dilepaskan dari hati ke ke darah tapi kurangnya aktivitas pengikatan
kalsium, dan dengan demikian menjadi inaktif. PIVKA sering diukur untuk
menentukan adanya defisiensi vitamin K subklinis dan dapat dideteksi sebelum
adanya perkembangan komplikasi, meliputi koagulopati, karena defisiensi vitamin
K. Kadar PIVKA dikaitkan dengan keparahan defisiensi, dan peningkatan
kadarnya sangat sering ditemukan pada bayi yang mendapatkan ASI. Kadar
vitamin K pada darah tali pusar baik itu bayi cukup bulan atau kurang bulan tidak
dapat dideteksi; namun, PIVKA-II hanya meningkat pada 10%-50% sampel darah
tali pusar. Sebuah penelitian sebelumnya yang mengikutsertakan bayi cukup bulan

7
dan kurang bulan menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan signifikan antara
usia gestasional dan kadar PIVKA-II dalam darah tali pusar.
Meskipun kadar vitamin K serum (filokuinon dan menakuinon)
merupakan indikator status yang berguna, kegunaannya tidak praktis karena
adanya kesulitan teknis. Nilai rujukan pada dewasa sehat berkisar dari 0,2 hingga
1,0 µg/L (median, ~0,5 µg/L).
Sebelumnya, kami telah berhasil melakukan program pemeriksaan
penyaringan untuk mendeteksi defisiensi vitamin K pada populasi bayi yang
mendapatkan ASI menggunakan Normotest, yang dapat menentukan aktivitas
faktor II, VII, dan X menggunakan spesimen pungsi darah 10 µL yang
dikumpulkan di tabung mikro. Program pemeriksaan penyaringan ini hanya
dilakukan di Jepang. Namun, program pemeriksaan penyaringan menggantikan
pemberian profilaksis vitamin K karena pungsi pada tumit lebih invasif, sulit, dan
mahal dibandingkan pemberian vitamin K.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa faktor genetik dapat memengaruhi
sistem koagulasi bergantung vitamin K dan perdarahan intraventrikuler. Penelitian
lebih lanjut mengenai kegunaan pemeriksaan varian genetik untuk mencegah dan
mendiagnosis VKDB diperlukan.

4. Tatalaksana VKDB pada Bayi


Terdapat sedikit bukti mengenai tatalaksana pada bayi dengan VKDB.
Bayi dengan perdarahan yang mengancam nyawa harus ditatalaksana dengan
filokuinon (vitamin K1; fitomenadion; fitonadion) melalui injeksi IV lambat.
Dosis tunggal IV 250-300 µg/KgBB biasanya direkomendasikan, dan dosis 1-2
mg diperkirakan cukup untuk menatalaksana penuh defisiensi vitamin K pada
bayi yang berusia hingga 6 bulan. Panduan mengenai pemberian vitamin K untuk
defisiensi vitamin K pada bayi, yang diajukan oleh Japan Pediatric Society pada
tahun 2011, merekomendasikan pemberian vitamin K2 IV (menakuinon-4, MK-4),
dengan dosis yang berkisar dari 0,3-1,0 mg berdasarkan berat kelahiran. Pada
kasus kelainan koagulasi berat yang disebabkan oleh antagonis vitamin K, seperti
warfarin, dosis suplemen vitamin K yang lebih tinggi mungkin efektif. Sutor

8
melaporkan waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan dari koagulopati karena
pemberian vitamin K pada 4 bayi dengan VKDB berat. Dari seluruh bayi, PT
dikembalikan ke 30-50% ke nilai normal dalam 1 jam pemberian vitamin K IV (1-
3 mg filokuinon), dengan penurunan bukti pendarahan yang diamati dalam 20
menit. Peningkatan signifikan pada kadar seluruh 4 faktor yang bergantung pada
vitamin K dapat diamati dalam 30 menit setelah pemberian vitamin K IV, dan
dalam 2 jam kadar biasanya berada di dalam atau mendekati batas bawah rentang
normal neonatus.
Untuk episode perdarahan berat, penting untuk memberikan produk darah,
seperti fresh frozen plasma (FFP) atau prothrombin complex concentrate (PCC);
vitamin K tidak boleh diberikan. PCC yang mengandung seluruh 4 faktor yang
bergantung pada vitamin K dapat mengembalikan dengan cepat koagulopati
bergantung pada vitamin K dengan pemuatan volumetrik yang sangat rendah.
Meskipun tidak ada data mengenai dosis penggunaan PCC pada VKDB, sebuah
penelitian yang diadakan pada dewasa menyarankan dosis yang dapat diberikan
adalah 50 unit/kg. Seperti yang disebutkan di dalam Japanese guidelines di atas,
infus FFP (10-15 mL/kgBB) atau PCC (50-100 unit/kg) harus dipertimbangkan
pada kasus berat dan untuk bayi dengan berat lahir sangat rendah yang tidak dapat
memanfaatkan vitamin K dengan adekuat karena fungsi liver yang imatur. Selain
itu, penggunaan faktor rekombinan VIIa telah dilaporkan untuk tatalaksana
perdarahan intrakranial berat pada 3 bayi dengan VKDB yang membutuhkan
intervensi pembedahan segera.
Dengan demikian, jika terdapat perdarahan apapun yang diduga
disebabkan oleh VKDB pada bayi, vitamin K harus diberikan selama menunggu
persiapan produk darah dan konfirmasi diagnosis berdasarkan hasil laboratorium.
Jika akses vena tidak dapat ditemukan, vitamin K dapat dimasukkan secara
subkutan; namun demikian, tidak boleh diberikan secara intramuskuler saat
ditemukan adanya koagulopati.

5. Pencegahan VKDB pada Masa Bayi dan Panduan Profilaksis

9
Untuk mencegah VKDB awitan-dini, ibu yang menerima pengobatan yang
mengganggu metabolisme vitamin K (kecuali warfarin) harus diberikan vitamin K
sebelum persalinan. Sesuai Japanese guidelines, wanita hamil yang menggunakan
obat-obatan yang dapat mengganggu absorbsi vitamin K (kecuali warfarin) harus
diberikan vitamin K harian 15-30 mg selama 2-4 minggu sebelum persalinan atau
bayinya harus mendapatkan vitamin K2 0,5-1,0 mg IV. Namun, sebuah tinjauan
sistematik literatur mengenai penggunaan obat antiepilepsi pada kehamilan
menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk menunjang suplementasi
vitamin K pada beberapa pekan terakhir kehamilan untuk menurunkan risiko
VKDB. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menetapkan strategi profilaksis
untuk mencegah VKDB awitan-dini.
VKDB klasik jarang terjadi pada bayi baru lahir yang mendapatkan
vitamin K parenteral pada saat kelahiran. Dua uji klinis yang diadakan di tahun
1960 membandingkan beberapa dosis suplementasi vitamin K IM tanpa
profilaksis pada insidensi VKDB klasik. Hasilnya secara jelas menggambarkan
bahwa profilaksis vitamin K efektif dalam menurunkan insidensi VKDB klasik
tanpa adanya kejadian berat apapun yang tidak diinginkan.
Profilaksis vitamin K (vitamin K1 1 mg) melalui injeksi IM telah
digunakan secara luas. Sebaliknya, pemberian vitamin K per oral (PO) menjadi
lebih luas digunakan setelah Golding dkk. melaporkan adanya peningkatan risiko
kanker pada masa kanak-kanak dengan pemberian vitamin K IM. Dua penelitian
membandingkan risiko relatif VKDB awitan-lambat antara pemberian vitamin K
PO dan IM. Pemberian vitamin K PO tampaknya kurang efektif dengan tingkat
kegagalan yang lebih tinggi dibandingkan pemberian vitamin K IM. Canadian
Pediatric Society merekomendasikan kepada seluruh penyedia layanan kesehatan
untuk memberikan konseling pada orang tua mengenai risiko VKDB yang serius
jika orang tua menolak untuk mendapatkan pemberian secara IM. Namun, jika
beberapa orang tua menolak profilaksis vitamin K IM, pemberian vitamin K PO
juga dapat diberikan. Cochrane reviews dan tinjauan sistematik menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan signifikan mengenai status koagulasi antara pemberian
vitamin K PO dan IM. Namun, keberhasilan profilaksis oral bergantung pada

10
rejimen protokol dan komplians. Dalam sebuah penelitian observasional
prospektif nasional yang diadakan antara tahun 1998-2001 di Jepang, 6 kasus
dengan VKDB klasik yang dilaporkan adalah yang tidak mendapatkan vitamin K
pada saat kelahiran.
Tidak ada uji klinis yang dilakukan untuk mengevaluasi efek dari
profilaksis vitamin K pada VKDB awitan-lambat. Namun, beberapa penelitian
epidemiologis dari bermacam-macam negara telah meyakini bahwa insidensi
VKDB awitan-lambat secara signifikan menurun karena penerapan program
profilaksis vitamin K (Tabel 4). Pemberian vitamin K PO merupakan metode
utama profilaksis di beberapa negara, dan insidensi VKDB awitan-lambat juga
bervariasi: 1,6 per 100.000 bayi di UK, 1,9 di Jepang, 5,1 di Swedia, dan 6,4 di
Swiss (Tabel 6). Selain itu, beberapa bayi ini mungkin memiliki kelainan lain
yang mendasari yang berdampak pada malabsorbsi dan metabolisme vitamin K.
Sayangnya, penyakit ini, terutama penyakit hati kolestasis, seringnya muncul
setelah kejadian VKDB. Dengan demikian, rejimen profilaksis dapat menjadi
strategi preventif untuk seluruh bayi, termasuk mereka dengan penyakit yang
tidak dikenali, hingga diagnosis ditegakkan.
Sutor melaporkan insidensi VKDB awitan-lambat untuk beberapa strategi
profilaksis. Ia melaporkan bahwa rejimen 3 dosis vitamin K oral melindung
beberapa bayi (insidensi 0,44 per 100.000 bayi), dan tidak ada kasus VKDB
awitan-lambat yang diamati dengan rejimen profilaksis vitamin K 25 µg harian
atau 1 mg per minggu. Namun, rejimen PO berulang mungkin tidak praktis karena
komplians pasien yang lebih rendah. Satu penelitian epidemiologis yang
dilakukan di Australia, Jerman, Belanda, dan Swiss mengonfirmasikan bahwa 3
dosis suplemen vitamin K 1 mg PO kurang efektif dibandingkan pemberian
vitamin K IM pada neonatus, meskipun dosis harian 25 µg PO (dari minggu ke-1
hingga ke-13) setelah dosis awal 1 mg PO dapat menunjukkan efektivitas yang
serupa. Baru-baru ini, 6 kali peningkatan profilaksis vitamin K oral harian (Dari
25 menjadi 150 µg) dilaporkan dikaitkan dengan penurunan signifikan insidensi
VKDB intrakranial (dari 3,1 menjadi 1,2 per 100.000 kelahiran hidup) di Belanda.
Temuan ini mengindikasikan bahwa peningkatan volum profilaksis suplemen

11
vitamin K (Dari jumlah 0,175 menjadi 1,05 mg/minggu) menurunkan perdarahan
intrakranial yang disebabkan oleh VKDB tapi sepenuhnya tidak cukup untuk
mencegah VKDB awitan-lambat. Dengan demikian, faktor lain selain dosis, harus
dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas protokol profilaksis.
Sebuah penelitian dari Denmark melaporkan bahwa suplementasi vitamin
K PO mingguan untuk bayi hingga mereka mencapai usia 3 bulan menurunkan
insidensi VKDB awitan-lambat dibandingkan dengan dosis tunggal PO. Selain
itu, laporan ini menunjukkan bahwa profilaksis dianggap komplet jika bayi
menerima setidaknya 9 dosis. Dengan demikian, ketaatan dan kejadian rejimen
yang tidak lengkap (mis. muntah setelah pemberian oral dan lupa untuk meminum
produk vitamin K) dipertimbangkan tidak penting dalam rejimen protokol
mingguan.
Sejumlah lima survei nasional mengenai VKDB diadakan di Jepang
selama periode 20 tahun, dari tahun 1981 bingga 2005. Pengenalan mengenai
profilaksis PO di Jepang dengan 1-3 dosis formulasi sirup MK-4 (2 mg) PO
secara substansial menurunkan VKDB awitan-lambat. Hampir 4 kali penurunan
insidensi VKDB yang diamati dari 10,5 per 100.000 kelahiran hidup pada survei
pertama, menjadi 2,8 per 100.000 (95% CI 2,0 menjadi 3,8) pada tahun 1988
(survei ketiga), dan selanjutnya 1,9 per 100.000 kelahiran hidup (1,2 menjadi 3,0)
pada survei kelima. Selain itu, tidak ada kasus VKDB awitan-lambat yang
dilaporkan pada sepertiga bayi yang mendapatkan 3 dosis PO. Temuan ini
memberikan kesan bahwa rejimen 3 dosis PO dengan MK-4 ini serupa dalam hal
efektivitas dengan profilaksis parenteral, meskipun beberapa kasus gagal telah
dilaporkan. Namun, dalam surveilans nasional kelima yang diadakan di Jepang
antara tahun 1999 hingga 2004, sebanyak71 kasus VKDB awitan-lambat, meliputi
21 kasus idiopati, dilaporkan. Dengan demikian, panduan terbaru diajukan pada
tahun 2011, dan baru-baru ini, rejimen dengan suplementasi vitamin K PO
mingguan untuk bayi hingga mereka mencapai usia 3 bulan telah digunakan luas
di Jepang. Sebelumnya, tidak ada kasus VKDB awitan-lambat di mana rejimen
profilaksis vitamin K PO minggu komplet diberikan yang telah dilaporkan tanpa

12
adanya efek samping yang tidak diharapkan, meskipun survei nasional belum
diadakan di Jepang.
Bayi kurang bulan memiliki risiko VKDB yang lebih tinggi dibandingkan
bayi cukup bulan disebabkan oleh imaturitas hepatik, kolonisasi usus dengan
mikroflora yang terlambat, dan faktor-faktor lain. Beberapa penelitian
menunjukkan perbedaan kadar faktor koagulasi bergantung pada vitamin K pada
baik itu bayi kurang bulan, maupun bayi cukup bulan, dan kadar faktor II, VII, IX,
dan X serum pada bayi cukup bulan pada saat kelahiran mencapai 50% dari kadar
pada orang dewasa. Sebaliknya, bayi kurang bulan memiliki kadar yang lebih
rendah dibandingkan bayi cukup bulan. Perbedaan ini mungkin juga disebabkan
oleh penundaan makan, selanjutnya keterlambatan kolonisasi mikroflora pada
traktus gastrointestinal, dan paparan terhadap antibiotik berulang yang mencegah
terjadinya kolonisasi ini.
Rekomendasi profilaksis vitamin K pada saat kelahiran untuk bayi kurang
bulan sangat bervariasi dalam hal dosis dan rute administrasi; namun, tidak ada
bukti yang adekuat untuk menunjang salah satunya dalam praktik klinis. Beberapa
senter kesehatan memberikan suplemen vitamin K IV untuk bayi kurang bulan
yang menjalani perawatan intensif untuk menghindari kerusakan kulit dan nyeri
yang diinduksi dari pemberian IM. Namun, efektivitas pemberian vitamin K IV
berbeda dari pemberian secara IM. Berdasarkan sebuah penelitian pada bayi
kurang bulan, dosis tunggal suplemen vitamin K 0,3 mg/KgBB IV mencapai
kadar plasma pada 24-120 jam serupa dengan yang dicapai oleh dosis 1,5 mg PO
atau IM. Sebuah uji klinis acak dengan pemberian vitamin K tunggal 0,5 mg IM,
0,2 mg IM, atau 0,2 mg IV saat kelahiran pada 38 bayi kurang bulan
menunjukkan bahwa kadar vitamin K serum seluruh bayi kurang bulan meningkat
di atas rentang normal pada hari ke-5, tapi kemudian menurun pada hari ke-25,
terutama pada mereka yang mendapatkan suplementasi vitamin K pada saat
kelahiran. Secara kolektif, kadar vitamin K sirkulasi setelah pemberian vitamin K
IV meningkat dengan lebih cepat tapi secara sementara dibandingkan dengan
mereka yang mendapatkan pemberian secara IM; dengan demikian, injeksi IV
harus diulangi.

13
Kami merekomendasikan suplementasi vitamin K PO dengan dosis 2 mg
hingga usia 3 bulan berdasarkan pengalaman di Jepang dan Denmark. Surveilans
nasional dan beberapa penelitian lebih lanjut dinantikan untuk menunjukkan
rejimen profilaksis optimal untuk bayi cukup bulan dan kurang bulan untuk
seluruh bentuk VKDB.

14

Anda mungkin juga menyukai