Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I
LAPORAN KASUS

1. Identifikasi
Nama : Irdian Farishan
Umur : 8 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama Ayah : Irhanudin
Nama Ibu : Isnawati
Agama : Islam
Alamat : Dusun Bandar Agung, kecamatan Lebak Batang
MRS : 3 Januari 2015

2. Anamnesis
Tanggal : 5 Januari 2015
Diberikan oleh : Ibu Pasien
Keluhan Utama : Deman
Keluhan Tambahan : tidak nafsu makan

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak 4 hari SMRS pasien mengeluh demam tinggi, demam dirasakan tinggi
pada sore dan malam hari dan menurun pada pagi hari dan siang hari. Sakit
Kepala (+). Mual (+), Muntah (+) ±4 kali, isi makanan yang dimakan,
banyaknya ±1/4 gelas belimbing, tidak menyemprot, darah (-). Nafsu makan
menurun (+), batuk (-), pilek (-), sakit tenggorokan (-). Pasien lalu dibawa
berobat ke Mantri dan tiga macam obat, yaitu paracetamol sirup, antibiotic
sirup, dan pil yang pasien tidak tahu namanya. Namun menurut ibu pasien,
keluhan pasien tidak berkurang.
±3 hari SMRS pasien tetap demam tinggi, mual (+), muntah (+), sakit kepala
(+), dan tetap tidak nafsu makan, pasien lalu berobat ke dr. Abdullah, diberi
obat paracetamol dan antibiotic sirup. Setelah berrobat, menurut ibu pasien
demam tidak turun, mual (+), muntah (+), dan nafsu makan tetap menurun.
2

±6 jam SMRS, pasien mengeluh demam semakin tinggi, nyeri ulu hati (+),
mual (-), muntah (-), lemas, pasien tidak mau makan, BAK normal, pasien
tidak bisa BAB sejak 4 hari SMRS. menggigil (-), mimisan (-), gusi berdarah
(-), nyeri menelan (-), keluar cairan dari telinga (-), pegal-pegal (+), pilek (-),
batuk (-). Pasien lalu dibawa ke RSUD Baturaja dan dirawa inap.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit dengan keluhan yang sama (+) pada usia 2,5 tahun, pasien
dikatakan menderita gejala tifus.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat penyaakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal

Riwayat Keluarga

Irhanudin, 40 thn Isnawati, 38 thn

Anggi, Intan, Iridan,


18 thn 14 thn 8 thn

Pasien adalah anak ketiga dari tiga bersaudara.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Masa kehamilan : Aterm
Partus : Spontan pervaginam
Tempat : Rumah sakit
Ditolong oleh : Dokter
Tanggal : 29 Januari 2007
BB : 2800 gram
3

PB : lupa
KPSW : tidak ada
Riwayat demam saat persalinan : tidak ada
Riwayat ketuban kental, hijau, bau : tidak ada

Kebiasaan ibu sebelum/selama kehamilan


Minum alcohol : tidak pernah
Merokok : tidak pernah
Makan obat-obatan tertentu : tidak pernah

Riwayat Makanan
ASI : 0-2 tahun. Frekuensi lebih dari 8 kali dalam sehari
atau setiap anak menangis. Ibu terbangun menyusui
malam hari (+)
Susu Formula : diberikan sejak usia 2 tahun hingga sekarang,
frekuensi 1 kali dalam sehari, banyaknya 1 gelas.
Bubur Nasi : 6 bulan – 1,2 tahun. Frekuensi 2-3 kali dalam sehari.
Diberikan bubur nasi sebanyak ± 8 sendok makan,
dengan lauk sayuran seperti bayam, katuk, tahu,
tempe, ayam sesekali.
Nasi Tim/Lembek : tidak diberikan.
Nasi Biasa : 1,2 tahun – sekarang. Makan nasi 2-3 kali sehari,
sebanyak 1 centong nasi, dengan lauk tahu sebanyak
1 potong, tempe sebanyak 1 potong, sayur bayam
dan katuk sehari 1x, daging ayam 1x seminggu.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Tengkurap : 3 bulan
Duduk : 6 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 1 tahun
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan fisik sesuai
4

Riwayat Imunisasi
BCG : 1x
Hepatitis B : 4x
Polio : 4x
DPT : 3x
Campak : 2x
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah anak ketiga dari pasangan Tn. Irhanudin, usia 40 tahun, yang
bekerja sebagai karyawan PT. Sindo, dan Ny. Isnawati seorang ibu rumah
tangga. Panghasilan rata-rata satu bulan sekitar Rp 2.500.000,-
Kesan : social ekonomi menengah kebawah

Riwayat Higienitas
Pasien tinggal di rumah dengan ayah, ibu, kakek, nenek, dan dua orang
kakak. Dinding rumah dan lantai rumah terbuat dari semen. Terdapat tiga
kamar tidur, dan satu kamar mandi. Kamar mandi berada di dalam rumah.
Sumber air yang digunakan untuk memasak, minum, mandi, dan mencuci
adalah air sumur. Ketika makan, pasien tidak dibiasakan untuk mencuci
tangan sebelum makan.
Kesan : status higienitas kurang

Riwayat Jajan
Pasien saat ini duduk di kelas 2 SD. Di sekolah pasien hampir setiap hari
jajan berupa chiki-chiki, teh gelas, sosis, pempek, gorengan, dll. Sebelum
makan pasien tidak mencuci tangan terlebih dahulu. Sumber air dan bahan
makanan yang digunakan untuk memasak jajajan tersebut tidak diketahui.
Kesan : kebiasaan jajan sembarangan.
5

3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Berat badan : 20 kg
Tinggi badan : 119 cm
Tekanan darah : 90/50 mmHg
Nadi : 60 x/menit
Frekuensi nafas : 22 x/menit
Suhu : 37,2oC

Status Gizi
BB/U : 20/26 x 100% = 76,92%
TB/U : 119/128 x 100% = 92,96%
BB/TB : 20/22 x 100% = 90,90%
Kesan : Gizi Baik

Keadaan Spesifik
Kepala : lingkar kepala, normocephali
Rambut : Warna hitam, lurus, halus, tebal, tidak mudah dicabut,
distribusi normal, alopecia (-), lesi di kulit (-).
Mata : Konjungtiva palpebral anemis (-), sclera ikterik (-), skelera
hiperemis (-), pupil bulat, isokor, diameter 3mm, refleks
cahaya (+), secret (-), mata cekung (-)
Hidung : Deformitas (-), nafas cuping hidung (-), krepitasi (-),
mukosa hiperemis (-), konka hipertrofi (-), secret (-),
epistaksis (-)
Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), rhagaden (-), celitis (-),
stomatitis (-), atrofi papil (-), couthage tangue (+), typhoid
tangue (+)
Faring : Uvula di tengah, faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Telinga : Deformitas (-), nyeri tekan tragus (-),nyeri tarik aurikula(-)
6

nyeri tekan mastoid (-), secret (-), serumen (+) pada kedua
telinga.
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax : statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
Cor : I : Ictrus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis tidak teraba
P : batas jantung atas ICS II linea midclavicularis sinistra,
batas jantung kanan ICS IV line sternalis sinistra, batas
jantung kiri ICS IV linea midclavicularis sinistra.
A : HR : 70x/menit, regular, pulsus deficit (-), Bunyi
jantung I dan II (+) normal, Murmur (-), Gallop (-).
Pulmo : I : Pergerakan dinding dada ka=ki, lesi dikulit (-)
P : nyeri tekan (-), stem fremitus kanan = kiri normal
P : sonor di kedua lapangan paru, batas paru hepar ICS IV
linea mid clavicularis dextra, pernajakan hepar 1 sela iga.
A : suara nafas pokok vesikuler (+) normal, rhonki (-),
wheezing (-).
Abdomen : I : datar, lesi di kulit (-), venektasi (-).
P : lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium (+).
P : timpani
A : bising usus (+) normal (3 kali/menit)
Ekstremitas : deformitas (-), akral pucat (-), akral hangat (+), sianosis (-),
edema pretibial (-), kuku tabu (-), CRT <2”.

4. Diagnosis Banding
 Demam tifoid
 DBD
 Malaria
 Gastritis akut
 TB (Milier)
 Demam Rematik
7

5. Diagnosis Kerja
Demam Tifoid + Gastritis Akut

6. Pemeriksaan Penunjang
Widal Test, darah rutin

7. Penatalaksanaan
 Istirahat
 Diet :
makanan yang diberikan lunak, rendah serat, mudah dicerna, tidak
dalam jumlah banyak dan bersih. Bubur saring sampai tujuh hari
bebas panas. Bubur biasa 3 hari, kemudian makanan biasa. Biasakan
cuci tangan sebelum dan sesudah makan.
 IVFD KAEN IB gtt XX/menit
 Kloramfenikol 2000mg//hari  500mg/6 jam
 Paracetamol 3 x 250 mg
 Antasida syr 200mg/kali  4x 1 cth
 Domperidone 3x8 mg
8

8. Follow UP
Selasa S: sakit kepala (+), demam (-), nyeri ulu hati (+)
6/1/2015 O: Keadaan spesifik
Kepala: conjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-), thypoid
tongue (-)
Thoraks: simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, rhonki (-), wheezing (-)
Cor : bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri
tekan epigastrium (+)
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”
A : Demam Tifoid + Gastritis akut
Hasil Lab :
Hb : 11,9 g//dl
Leukosit : 13.400/ul
Trombosit : 174.000/ul
Hematokrit : 35%
Neutrofil Segmen : 80%
Limfosit : 20%
Widal Test
Salmonella typhi O : 1/640
Salmonella typhi H : 1/320
Rabu S: sakit kepala (+), demam (-), nyeri ulu hati (+)
7/1/2014 O: Keadaan spesifik
Kepala: conjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-), thypoid
tongue (-)
Thoraks: simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, rhonki (-), wheezing (-)
Cor : bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri
tekan epigastrium (+)
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”
A : Demam Tifoid + Gastritis akut
9

Kamis S: sakit kepala (-), demam (-), nyeri ulu hati (+)
8/1/2015 O: Keadaan spesifik
Kepala: conjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-), thypoid
tongue (-)
Thoraks: simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, rhonki (-), wheezing (-)
Cor : bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri
tekan epigastrium (+)
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”
A : Demam Tifoid + Gastritis akut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Demam Tifoid


3.1.1 Definisi
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang
disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di
berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan
subtropis. Penyakit ini hanya didapatkan pada manusia. Penyakit ini juga
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk,
kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar
higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. 1,2
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit
ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum
klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun
2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. 4 Di
negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit
endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi
yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
10

rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh


propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun
dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar
600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus. 3

3.1.2 Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu S.


typhi, s. paratyphi A, dan S. paratyphi B dan kadang-kadang jenis
salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh S. typhi cenderung
untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain.5
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil,
tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain
meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan
gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella
tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif.
Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh
dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140
º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan
suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama
berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering, dan bahan
tinja.5

Gambar 2.1. Strukur Salmonella typhi5

Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella H.


Antigen O adalah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil
terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas.5
1. Antigen O
11

Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh


kuman. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini
tahan terhadap pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam
yang encer.6
2. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau
fili S. typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen
H phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain.
Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada
pemberian alkohol atau asam.6
3. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. Typhi (kapsul) yang
melindungi kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid,
akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan
pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui
adanya karier.6
4. Outer Membrane Protein (OMP)
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di
luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi
sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu
protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen
utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan
merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan
BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada
suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein
a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya
masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan
antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50
kDa/52 kDa.6

3.1.3 Patofisiologi
12

HCL (asam lambung) dalam lambung berperan sebagai


penghambat masuknya Salmonella spp dan lain-lain bakteri usus. Jika
Salmonella spp masuk bersama-sama cairan, maka terjadi pengenceran
HCL yang mengurangi daya hambat terhadap mikroorganisme penyebab
penyakit yang masuk. Daya hambat HCL ini akan menurun pada waktu
terjadi pengosongan lambung, sehingga Salmonella spp lebih mudah
masuk ke dalam usus penderita. Salmonella spp kemudian memasuki
folikel-folikel limfe yang terdapat di dalam lapisan mukosa atau
submukosa usus, bereplikasi dengan cepat untuk menghasilkan lebih
banyak Salmonella spp.5
Setelah itu, Salmonella spp memasuki saluran limfe dan akhirnya
mencapai aliran darah. Dengan demikian terjadilah bakteremia pada
penderita. Dengan melewati kapiler-kapiler yang terdapat dalam dinding
empedu atau secara tidak langsung melalui kapiler-kapiler hati dan
kanalikuli empedu, maka bakteria dapat mencapai empedu yang larut
disana. Melalui empedu yang infektif terjadilah invasi ke dalam usus untuk
kedua kalinya yang lebih berat daripada invasi tahap pertama. Invasi tahap
kedua ini menimbulkan lesi yang luas pada jaringan limfe usus kecil
sehingga gejala-gejala klinik menjadi jelas. Demam tifoid merupakan
salah satu bekteremia yang disertai oleh infeksi menyeluruh dan toksemia
yang dalam. Berbagai macam organ mengalami kelainan, contohnya
sistem hematopoietik yang membentuk darah, terutama jaringan limfoid
usus kecil, kelenjar limfe abdomen, limpa dan sumsum tulang.5
Pada awal minggu kedua dari penyakit demam tifoid terjadi
nekrosis superfisial yang disebabkan oleh toksin bakteri atau yang lebih
utama disebabkan oleh sumbatan pembuluh-pembuluh darah kecil oleh
hiperplasia sel limfoid (disebut sel tifoid). Mukosa yang nekrotik
kemudian membentuk kerak, yang dalam minggu ketiga akan lepas
sehingga terbentuk ulkus yang berbentuk bulat atau lonjong tak teratur
dengan sumbu panjang ulkus sejajar dengan sumbu usus. Pada umumnya
ulkus tidak dalam meskipun tidak jarang jika submukosa terkena, dasar
13

ulkus dapat mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai
membran serosa.5
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk
ulkus, maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga perforasi dari
usus. Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan hebat dan perforasi
merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan kematian pada
penderita demam tifoid. Meskipun demikian, beratnya penyakit demam
tifoid tidak selalu sesuai dengan beratnya ulserasi. Toksemia yang hebat
akan menimbulkan demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya
perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi
yang berat. Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa
telah terjadi ulserasi yang berat. Pada serangan demam tifoid yang ringan
dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi.5
Pada stadium akhir dari demam tifoid, ginjal kadang-kadang masih
tetap mengandung kuman Salmonella spp sehingga terjadi bakteriuria.
Maka penderita merupakan urinary karier penyakit tersebut.5 Akibatnya
terjadi miokarditis toksik, otot jantung membesar dan melunak. Anak-anak
dapat mengalami perikarditis tetapi jarang terjadi endokaritis.
Tromboflebitis, periostitis dan nekrosis tulang dan juga bronkhitis serta
meningitis kadang-kadang dapat terjadi pada demam tifoid.5
14
Kuman masuk bersama
makanan & minuman yang terkontaminasi

Dimusnahkan dilambung oleh


Lolos dan masuk ke usus
HCL
Bila respon imunitas humukral mucosa (IgA)

Berkembang Biak

Nembus sel, epitel terutama sel M

Menembus sampai lamina propira

Berkembang biak & difagosit oleh sel’fagosit


terutama makrofag

Kuman hidup dan berkembang biak

Dibawah ke plaque peyeri ileum distal

Masuk ke sirkulasi darah

Tejadi bakterima I (asymptomatik)

Menyebar keseluruh organ Relikuloendotelial tubuh hati & splen

Diogran RE S.Typhi Masuk kekantung empedu


akan meninggalkan sel” fagosit

Berkembang biak di luar sel


Berkembang biak

Diorgan RE S.Typhi akan


meninggalkan sel” fagosit
Ekskresi B’sama cairannya empedu secara
intermitten kedalam lumen usus
Masuk lagi ke sirkulasi darah

Sirkulasi darah Sebagian dikeluarkan


Bakterima kedua tanda” dan gejala lewat feces
penyakit infeksi sistem karena

Proses berulang Sebagian menembus


lumrn usus
Makrofag yang telah teraktivasi & hiperaktif saat
fagosit, terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi

Gejala reaksi inflamasi sistemik deman, malaise,


mialgya, sakit kepala, sakit perut, instabilita, vascular,
ganggua mental & gangguan koagulasi

Perforasi peritonitis nyeri tekan


15

3.1.4 Gejala Klinis

Perbedaan antara demam tifoid pada anak dan dewasa adalah


mortalitas (kematian) demam tifoid pada anak lebih rendah bila
dibandingkan dengan dewasa. Risiko terjadinya komplikasi fatal terutama
dijumpai pada anak besar dengan gejala klinis berat, yang menyerupai
kasus dewasa. Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada umur 5
tahun atau lebih dan mempunyai gejala klinis ringan ataupun tanpa gejala
(asimptomatik) (7).
Masa inkubasi rata-rata bervariasi 7-20 hari. Inkubasi terpendek 3
hari dan terlama 60 hari. Lamanya masa inkubasi berkorelasi dengan
jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum atau status gizi serta status
imunologis pasien. Walaupun gejala demam tifoid ini bervariasi namun
secara garis besar dapat dikelompokan, antara lain :
- Demam satu minggu atau lebih;
- Gangguan pencernaan; dan
- Gangguan kesadaran.
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai infeksi
akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual,
muntah, diare, dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan
suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua maka gejala dan tanda
klinis makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati
dan limpa, perut kembung, mungkin disertai gangguan kesadaran dari
yang ringan sampai dengan yang berat 7,8.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti
orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa
stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39-41◦C) serta
dapat juga bersifat ireguler terutama pada bayi dan tifoid kongenital.7
Lidah tifoid terjadi beberapa hari setelah panas meninggi dengan
tanda-tanda antara lain lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di
bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih
kemerahan. Bila penyakit makin progresif akan terjadi deskuamasi epitel
sehingga papila lebih prominem.7
16

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal
minggu kedua. Merupakan nodul kecil menonjol dengan diameter 2-4cm,
berwarna merah pucat, serta hilang pada penekanan. Rosola ini merupakan
emboli kuman dimana di dalamnya mengandug kuman salmonella dan
terutama didapatkan di daerah perut, dada, dan kadang-kadang daerah
pantat maupun bagian flexor lengan atas.8
Limpa pada umumnya sering membesar dan sering ditemukan pada
akhir minggu pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran oleh
karena malaria. Pembesaran limpa pada tifoid tidak progresif dengan
kosistensi lebih lunak.8
Tofoid kongenital didapatkan dari ibu hamil yang menderita
demam tifoid dan menularkan pada janin melalui darah. Pada umumnya
besifat fatal namun pernah dilaporkan tifoid kongenital dapat hidup
dengan gejala tidak khas dan menyerupai sepsis neonatorum. Pada tipe
kongenital kuman dapat ditemukan dalam darah, hati, limpa, serta kelainan
patologis pada usus tidak didapatkan. Hal ini menjelaskan bahwa pada
tifoid kongenital penularannya lewat darah dan secara cepat menimbulkan
gejala-gejala tifoid sepsis pada janin. Demam tifoid pada anak usia < 2
tahun jarang dilaporkan, bila terjadi biasanya gambaran klinisnya berbeda
dengan anak yang lebih besar. Kejadiannya sering mendadak disertai
panas yang tinggi, muntah-muntah, kejang, dan tanda-tanda perangsangan
meningeal. Pada pemeriksaan darah ditemukan leukositosis (20.000-
25.000/mm3), limpa sering teraba pada pemeriksaan fisik. Perjalanan
fisiknya lebih pendek, lebih variasi, sering tidak melebihi minggu, angka
kematian yang tinggi ( 12,5%).7

3.1.5 Penegakan Diagnosis


Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi
klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang.
Pemeriksaan ini ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis,
menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan hasil
pengobatan serta timbulnya penyulit.8
17

1. Hematologi
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit
perdarahan usus atau perforasi. Hitung leukosit sering rendah
(leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi. Hitung jenis leukosit:
sering neutropenia dengan limfositosis relatif. LED (Laju Endap Darah)
: meningkat. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).
2. Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran
peradangan sampai hepatitis Akut.
3. Imunologi
Tes Widal
Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi
(didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi atau paratyphi
(reagen). Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan
paling sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis
seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera
diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu
antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin.
Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat
memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu
dapat disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan
vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp),
reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF).
Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain penderita
sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang
dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya
penyakit imunologik lain.
Diagnosis Demam Tifoid atau Paratifoid dinyatakan bila titer O =
1/160, bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi
mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O
meningkat setelah akhir minggu 1. Melihat hal-hal di atas maka
permintaan tes widal ini pada penderita yang baru menderita demam
18

beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka


kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari
kontak sebelumnya.
4. Mikrobiologi
Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan
Demam Typhoid atau paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif
maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid atau Paratifoid. Sebalikanya
jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid atau Paratifoid,
karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL),
darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan
membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan),
saat pengambilan darah masih dalam minggu pertama sakit, sudah
mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi.5,6
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena
perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2 - 7
hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari).
Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah,
kemudian untuk stadium lanjut atau carrier digunakan urin dan tinja.

3.1.6 Komplikasi

Pada minggu ke-2 atau lebih, sering timbul komplikasi demam


tifoid mulai dari yang ringan sampai berat bahkan kematian. Komplikasi
yang sering terjadi pada demam tifoid adalah perdarahan usus dan
perforasi merupakan komplikasi serius dan perlu diwaspadai dari demam
tifoid yang muncul pada minggu ke-3. Sekitar 5 persen penderita demam
tifoid mengalami komplikasi ini.8
Perdarahan usus umumnya ditandai keluhan nyeri perut, perut
membesar, nyeri pada perabaan, seringkali disertai dengan penurunan
tekanan darah dan terjadinya syok, diikuti dengan perdarahan saluran
cerna sehingga tampak darah kehitaman yang keluar bersama tinja.
19

Perdarahan usus muncul ketika ada luka di usus halus, sehingga membuat
gejala seperti sakit perut, mual, muntah, dan terjadi infeksi pada selaput
perut (peritonitis). Jika hal ini terjadi, diperlukan perawatan medis yang
segera.8
Komplikasi lain yang lebih jarang, antara lain :
1. Anak dengan panas tinggi umumnya tidak mau makan karena ada
diare. Sehingga dapat terjadi kekurangan cairan (dehidrasi) dan
elektrolit.
2. Kejang Demam
3. Gangguan Kesadaran
4. Pembengkakan dan peradangan pada otot jantung (miokarditis).
5. Pneumonia.
6. Peradangan pankreas (pankreatitis).
7. Infeksi ginjal atau kandung kemih.
8. Infeksi dan pembengkakan selaput otak (meningitis).
9. Masalah psikiatri seperti mengigau, halusinasi, dan paranoid psikosis.

3.1.7 Tatalaksana

1. Pengobatan kausal
a. Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgBB/hari oral atau iv
dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari.
b. kotrimoksasol dengan dasar trimetropin 8-10 mg/kgBB/ hari atau
sulfameoksasol 40-50 mg/kgBB/hari selama 7 hari
c. amoksisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 3 dosis selama 10
hari
d. sefriakson 80 mg/kgBB/hari selama 7 hari
e. sefiksim 15-20 mg/kgBB/hari iv atau im selama 5 hari
2. Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan
kesadaran. Deksametason 1-3 mg/kgBB/hari iv dibagi 3 dosis hingga
kesadaran membaik.
3. Memperbaiki keadaan umum : koreksi elektrolit atasi dehidrasi,
hipoglikemi
20

4. Pengobatan suportif : roboransia


5. Pengobatan dietetik tergantung kondisi penderita bila perlu makanan
lunak/ cair mudah dicerna tinggi kalori dan protein
6. Tirah baring bila perlu isolasi penderita
7. Transfusi darah sesuai keperluan
8. Tindakan diperlukan pada penyulit perforasi usus
9. Diet : makanan tidak berserat dan mudah dicerna, setelah demam reda
dapat diberikan makanan yang lebih padat dengan kalori cukup.4

3.2 Gastritis
3.2.1 Definisi
Gastritis adalah inflamasi pada dinding gaster terutama pada
lapisan mukosa gaster yang dibuktikan dengan endoskopi. Jika belum
dibuktikan dengan endoskopi didiagnosis sebagai dyspepsia. Dyspepsia
dapat diakibatkan oleh esophagitis gastritis dan duodenitis.
Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa
lambung, secara histopatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi
sel-sel radang pada daerah tersebut (Suyono, 2001). Gastritis adalah suatu
keadaan peradangan atau peradangan mukosa lambung yang bersifat akut,
kronis, difus dan local. Ada dua jenis gastritis yang terjadi yaitu gastritis
akut dan kronik.

3.2.2 Klasifikasi
a. Gastritis Akut
Gastritis akut adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung
yang akut dengan kerusakan erosi pada bagian superficial.
b. Gastritus Kronik
Gastritis kronik adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung
yang bersifat menahun. Gastritis kronik diklasifikasikan dengan tiga
perbedaan yaitu gastritis superficial, gastritis atrofik dan gastritis
hipertrofik.
21

1) Gastritis superficial, dengan manifestasi kemerahan, edema, serta


perdarahan dan erosi mukosa.
2) Gastritis atrofik, dimana peradangan terjadi pada seluruh lapisan
mukosa. Pada perkembangannya dihubingkan dengan ulkus dan
kanker lambung, serta anemia pernisiosa. Hal ini merupakan
karakteristik dari penurunan jumlah sel parietal dal sel chief.
3) Gastritis hipertrofik, suatu kondisi dengan terbentuknya nodul-nodul
pada mukosa lambung yang bersifat irregular, tipis dan hemoragik.

3.2.3 Etiologi
a. Gastritis Akut
Banyak faktor yang menyebabkan gastritis akut, seperti merokok, jenis
obat, alkohol, bakteri, virus, jamur, stres akut, radiasi, alergi atau
intoksitasi dari bahan makanan dan minuman, garam empedu, iskemia
dan trauma langsung. Makanan dan minuman yang bersifat iritan.
Makanan berbumbu dan minuman dengan kandungan kafein dan
alcohol merupakan agen-agen penyebab iritasi mukosa lambung.

b. Gastritis Kronis
Penyebab pasti dari penyakit gastritsi kronik belum diketahui, tetapi ada
dua predisposisi penting yang bisa meningkatkan kejadian gastritis
kronik, yaitu: infeksi dan non infeksi.
1) Gastritis infeksi
- H. pylori. Beberapa peneliti menyebutkan bakteri ini merupakan
penyebab utama dari gastritis kronik (Anderson, 2007)
- Helycobacter heilmannii, Mycobacteriosis, dan Syphilis (Wehbi,
2008)
- Infeksi parasit.
- Infeksi virus.

2) Gastritis non-infeksi
22

- Kondisi imunologi (autoimun) didasarkan pada kenyataan,


terdapat kira-kira 60% serum pasien gastritis kronik mempunyai
antibodi terhadap sel parietalnya.
- Gastropati akibat kimia, dihubungkan dengan kondisi refluk
garam empedu kronis dan kontak dengan OAINS atau Aspirin.
- Gastropati uremik, terjadi pada gagal ginjal kronis yang
menyebabkan ureum terlalu banyak beredar pada mukosa
lambung dan gastritis sekunder dari terapi obat-obatan.
- Gastritis granuloma non-infeksi kronis yang berhubungan dengan
berbagai penyakit, meliputi penyakit Crohn, Sarkoidosis,
Wegener granulomatus, penggunaan kokain, Isolated
granulomatous gastritis, penyakit granulomatus kronik pada masa
anak-anak, Eosinophilic granuloma, Allergic granulomatosis dan
vasculitis, Plasma cell granulomas, Rheumatoid nodules, Tumor
amyloidosis, dan granulomas yang berhubungan dengan kanker
lambung.
- Gastritis limfositik, sering disebut dengan collagenous gastritis
dan injuri radiasi pada lambung.

3.2.4 Patofisiologi
Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan,
biasanya bersifat jinak dan swasirna; merupakan respons mukosa lambung
terhadap berbagai iritan lokal. Endotoksin bakteri (setelah menelan
makanan terkontaminasi), kafein, alkohol, dan aspirin merupakan agen
pencetus yang lazim. Infeksi H. pylori lebih sering dianggap sebagai
penyebab gastritis akut. Organisme tersebut melekat pada epitel lambung
dan menghancurkan lapisan mukosa pelindung, meninggalkan daerah
epitel yang gundul. Obat lain juga terlibat, misalnya anti inflamasi
nonsteroid (NSAID: misalnya indomestasin, ibuprofen, naproksen),
sulfonamida, steroid, dan digitalis. Asam empedu, enzim pankreas, dan
etanol juga diketahui mengganggu sawar mukosa lambung. Apabila
alkohol diminum bersama dengan aspirin, efeknya akan lebih merusak
23

dibandingkan dengan efek masing-masing agen tersebut bila diminum


secara terpisah.
Mukosa barier lambung umumnya melindungi lambung dari
pencernaan terhadap lambung itu sendiri, yang disebut proses autodigesti
acid, prostaglandin yang memberikan perlindungan ini. Ketika mukosa
barrier ini rusak maka timbul gastritis. Setelah barier ini rusak terjadilah
perlukaan mukosa dan diperburuk oleh histamin dan stimulasi saraf
colinergic. Kemudian HCL dapat berdifusi balik kedalam mucus dan
menyebabkan luka pada pembuluh yang kecil, yang mengakibatkan
terjadinya bengkak, perdarahan, dan erosi pada lambung. Alkohol, aspirin
dan refluk isi duodenal diketahui sebagai penghambat difusi barier.

3.2.5 Penegakan Diagnosis


Diagnosis gastritis dibuat berdasarkan gejala klinis adanya
dyspepsia: mual, muntah, dan nyeri epigastrik dan dibuktikan dengan
adanya endoskopi.

3.2.6 Penatalaksanaan
1. Terapi diet disesuaikan dengan toleransi penderita sebaikanya lunak,
mudah dicerna dan tidak merangsang
2. Terapi obat, diberikan berdasarkan gejala yang predominan. Obat-
obatan yang dapat diberikan:
 untuk mengurangi factor agresi asam Untuk mengurangi faktor
agresi asam lambung diberikan antasida 3 ka1i sehari atau
cimetidine 5-10 mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali sehari
 Untuk menekan muntah yang berlebihan diberikan
metoklopramide 0,15-0,3 mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali sehari.
 Antibakterial diberikan untuk eradikasi Campylobacter pylori,
diberikan Amoksigilin 50 mg/kgBB/hari 4 kali sehari,
Clarithromycin 7,5-15 mg/kg/hari dalam dosis terbagi 2 ka1i
sehari, ditambah PPI (Omeprazole) dengan dosis 0,4-0,8
mg/kg/dosis 1 kali sehari.
24

BAB III
ANALISA KASUS

Pada anamnesis, didapatkan bahwa pasien mengeluh adanya demam, sejak 4


hari SMRS. Panas dirasakan tinggi pada sore dan malam hari, namun pada pagi
hari dan siang hari panas dirasakan turun tetapi tidak mencapai suhu normal.
Demam yang terjadi sejak 4 hari SMRS perlu dicurigai sebagai malaria, infeksi
saluran kemih, infeksi saluran nafas atas, demam rematik, atau tuberculosis. Tiga
hari SMRS pasien masih mengeluh demam tinggi, yang terus meningkat hinggal 6
jam SMRS, pasien mengeluh demam yang semakin tinggi. Tipe panas yang
dijumpai pada pasien ini berupa panas yang naik secara bertahap lalu menetap
selama beberapa hari dan panas dirasakan tinggi terutama pada sore dan malam
hari. Tipe demam yang terjadi pada pasien ini mengarah pada demam remiten
yaitu suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan
normal. Demam tipe seperti ini terjadi pada demam tifoid.
Penderita juga mengeluh mual, muntah, lemas, nafsu makan menurun, sakit
kepala, BAK normal, namun pasien tidak dapat BAB sejak 4 hari SMRS.
Menggigil (-), mimisan (-), perdarahan gusi (-), nyeri menelan (-), keluar cairan
dari telinga (-), pegal-pegal (+), batuk (-), pilek (-).
Pasien tinggal di daerah endemik malaria, namun demam pada pasien terjadi
setiap hari, tidak berselang-seling sepert pola demam intermitten pada malaria.
Demam pada pasien tidak disertai menggigil dan berkeringat setelah demam.
Selain itu tidak dijumpai gejala lain yang mengarah ke diagnosis malaria, seperti
BAK berwarna kehitaman atau seperti teh tua, myalgia, atralgia, sehingga
kemungkinan diagnosis malaria dapat disingkirkan.
Pasien tidak mengeluh batuk terutama pada malam hari serta penurunan
berat badan, sehingga kemungkinan diagnosis tuberculosis dapat disingkirkan.
Pasien juga tidak mengeluh adanya batu atau pilek yang merupakan gejala ISPA
sehingga kemungkinan diagnosis ISPA dapat disingkirkan. Pasien tidak mengeluh
adanya nyeri maupun darah pada saat BAK, sehingga kemungkinan diagnosis ISK
dapat disingkirkan. Pasien tidak mengeluh adanya nyeri dada, nyeri sendi yang
25

berpindah-pindah, bengkak, atau tanda-tanda infeksi pada kulit, sehingga


kemungkinan diagnosis demam rematik dapat disingkirkan.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya lidah kotor, dengan tepi dan
ujung merah, namun tidak dijumpai adanya tremor.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan,
menunjukkan diagnosis ke arah demam tifoid yaitu demam yang dialami pasien
sudah hari ke-4 dengan demam yang terjadi meningkat terutama pada sore dan
malam hari dan menurun pada pagi hari namun tidak sampai batas normal,
didapatkan mukosa mulut kering; typhoid tongue; dan pegal-pegal pada
ekstremitas, Pasien mengaku sulit untuk BAB dan penurunan nafsu makan, serta
pasien mengeluh mual-muntah. Pada pasien juga dilakukan pemeriksaan
penunjnag uji serologi Widal, yang menunjukkan hasil Salmonella typhi O :
1/640; Salmonella typhi H : 1/320. Selain itu pula, pasien mengeluh nyeri ulu hati
yang terus menerus, disertai mual dan muntah, pada pemeriksaan fisik ditemukan
adanya nyeri tekan epigastrium, hal ini menunjukkan diagnosis ke arah gastritis
akut.
Penatalaksaan demam tifoid dan gastritis pada dasarnya meliputi istirahat,
diet, pemberian antimikiroba dan terapi penunjang. Perawatan dan pengobatan
demam tifoid bertujuan menghentikan invasi kuman, memperpendek perjalanan
penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, serta mencegah agar tidak kambuh
kembali. Penatalaksanaan pada kasus ini adalah IVFD KAEN IB gtt XX/menit,
Kloramfenikol 2000mg//hari, dibagi 4 dosis sehingga diberikan 4x500mg,
Paracetamol 3 x 250 mg, Antasida syr 200mg/kali diberikan 4 kali satu sendok teh
(50mg), Domperidone 3x8 mg, diet lunak, rendah serat, dan bed rest.
Pemberian IVFD KAEN IB yang terdiri dari glukosa 55 gram, NaCl 2,25
gram pada kasus ini digunakan untuk menambah kalori dan mengembalikan
keseimbangan elektrolit (maintenance). Pemberian paracetamol diberikan untuk
mengurangi gejala yang timbul seperti demam dan rasa pusing. Antibiotik yang
diberikan pada pasien ini merupakan antibiotic lini pertama pada kasus demam
tifoid.
Tatalaksana non medikamentosa pada pasien ini antara lain istirahat dan
dietetic. Tirah baring terutama pada fase akut. Pasien harus berbaring di tempat
26

tidur selama tiga hari hingga panas turun, kemudian baru boleh duduk, berdiri,
dan berjalan. Makanan yang diberikan dianjurkan adalah makanan yang lunak,
mudah dicerna, mengandung cukup cairan, kalori, serat, tinggi protein dan
vitamin, tidak merangsang dan tidak menimbulkan gas. Pencegahan penyakit
demam tifoid dapat dilakukan dengan cara perbaikan hygiene dan sanitasi
lingkungan serta penyuluhan kesehatan.
27

DAFTAR PUSTAKA

1. Cleary TG. Salmonella. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
Eds. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 16. Philadelphia : WB Saunders,
2000:842-8.
2. Rampengan T.H., Laurent I. R. Demam Tifoid. Dalam : Penyakit Infeksi
Tropik pada Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1993 : 53; 59.
3. Risky V. P., Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam Tifoid pada Anak.
Available at http://www.pediatrik.com/buletin/06224114418-f53zji.pdf.
Accessed at 07 Januari 2015.
4. Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus A., Marcellus S., Siti S. Demam Tifoid.
Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid II. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2006 : 1774.
5. Tirta Swarga. Demam Tifoid. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Muslim Indonesia. 2008
6. Puspa Wardani, Prihartini, Probohusodo. Kemampuan Uji Tabung Widal
Menggunakan Antigen Import dan Antigen Lokal. Indonesian Journal of
Clinical and Medical Labolatory. 12. 1. 2005 : 31-7
7. Rampengan, T.H., Laurentz, I.R : Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. EGC.
1997: 53-72.
8. Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H,
Hadinegoro SR, Eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit
Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI, 2002:367-75.

Anda mungkin juga menyukai