Anda di halaman 1dari 20

MODUL PATOFISIOLOGI

Dengue Hemorrhagic Syndrome

Disusun oleh :

Pembimbing:
PATOFISIOLOGI
DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF)

I. PENDAHULUAN
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam bifasik, nyeri otot atau sendi, ruam, leukopenia, dam limfadenopati. Pada
Demam berdarah dengue (DBD) terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Abnormalitas hemostasis dan permeabilitas kapiler pada DBD dapat
mengakibatkan sindroma syok Dengue Shock Syndrome (DSS). 1
Demam berdarah dengue (BDB) masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya
mobilitas dan kepadatan pendudukn, jumlah penderita dan luas daerah penyebaran
semakin bertambah. Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali
diketahui di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang
terinfeksi dan 24 orang di antaranya meninggal dunia dengan angka kematian
mencapai 41.3 %. Sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh
Indoensia.2 Pada tahun 2015, tercatat sebanyak 126.675 penderita DBD di 34
provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang diantaranya meninggal dunia. Jumlah
tersebut lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan oleh
perubahan iklim dan rendahnya kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan.3
DBD dapat terjadi melalui infeksi primer dengue, lebih sering melalui
infeksi sekunder. Peningkatan infeksi sekunder ini disebabkan adanya antibody-
dependent enhancement, yaitu antibodi serotipe pertama meningkat dengan
adanya infeksi serotipe kedua. 4

II. .VIRUS DENGUE


Virus dengue termasuk dalam anggota genus Flavivirus, keluarga
Flaviviridae. Virus ini merupakan virus RNA rantai tunggal, berukuran 50 nm,
terdiri dari 3 gen protein struktural protein (nucleocapsid (N), membrane (M),

1
envelope (E)) dan 7 gen protein non struktural (NS). Diantara ketujuh protein non
struktural, NS1 memiliki nilai diagnostik dan patologis. Terdapat 4 serotipe virus,
yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, DENV-4, dan keempat serotipe tersebut ada
di Indonesia. DENV-2 dan DENV-3 biasanya dikaitkan dengan manifestasi klinis
yang lebih berat. 1
Imunitas yang muncul setelah terinfeksi salah satu serotipe tersebut bisa
bertahan seumur hidup, tetapi hanya terhadap serotipe yang sama. Perlindungan
silang terhadap serotipe yang lain hanya berlangsung sekitar 2-3 bulan. Infeksi
sekunder dengan serotipe yang lain atau infeksi multipel dengan serotipe yang
berbeda dapat mengakibatkan infeksi dengue yang berat (DBD atau syok
dengue).5

Gambar 1. Struktur virus dengue melalui Mikroskop Krioelektron 5

III. VEKTOR
Demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti yang
menjadi vektor utama serta Ae. albopictus yang menjadi vektor pendamping.
Kedua spesies nyamuk itu ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, hidup optimal
pada ketinggian di atas 1000 di atas permukaan laut. Kedua spesies nyamuk
tersebut termasuk ke dalam Genus Aedes dari Famili Culicidae.
Secara morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari
strip putih yang terdapat pada bagian skutumnya. Skutum Ae. aegypti berwarna
hitam dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua
garis lengkung berwarna putih. Sedangkan skutum Ae. albopictus yang juga
berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya.

2
Nyamuk Aedes aegypti memiliki 4 stadium:
1. Stadium Telur
Telur Ae.aegypti berukuran kecil (1 mikron), berwarna hitam, berbentuk
lonjong seperti torpedo dengan berat 0,0113 mg. Telur menetas dalam waktu 1-2
hari. Tempat yang disukai adalah yang berisi air jernih dan terlindung dari cahaya
matahari langsung. Telur dapat bertahan sampai 6 bulan.6

2. Stadium Larva
Larva Ae.aegypti terdiri dari kepala, toraks, dan abdomen, berukuran
kurang lebih 7x4 mm. Larva Ae.aegypti bergerak sangat lincah dan sangat sensitif
terhadap rangsangan getaran dan cahaya. Larva mengambil makanannya di dasar
sehingga disebut bottom feeder, dan mengambil oksigen dari udara. Larva
Ae.aegypti dapat hidup di wadah yang mengandung air dengan pH 5,8-8,6 dan
tahan terhadap air dengan kadar garam 10-59,5 mg klor/liter. Larva dalam waktu
kurang lebih 2 hari melakukan pengelupasan kulit untuk tumbuh menjadi pupa.6

3. Stadium Pupa
Pupa terdiri dari sefalotoraks, abdomen, dan kaki pengayuh. Sefalotoraks
memiliki sepasang corong pernapasan yang berbentuk segitiga.6

4. Stadium Dewasa
Setelah berumur 1-2 hari, pupa menjadi nyamuk dewasa jantan atau
betina. Nyamuk dewasa Ae.aegypti mempunyai warna dasar hitam dengan belang-
belang putih pada bagian badan dan kaki. Nyamuk betina setelah berumur 1 hari
siap melakukan kopulasi dengan nyamuk jantan, dan setelah kopulasi nyamuk
betina akan mencari makanan berupa darah manusia atau binatang yang
diperlukan untuk pembentukan telur. Seekor nyamuk betina Ae.aegypti setelah 4
hari menghisap darah mampu menghasilkan 80-125 butir telur dengan rata-rata
100 butir telur.6

3
Gambar 2. Siklus Hidup Nyamuk5
IV. PEJAMU
Faktor pada pejamu yang dapat mempengaruhi keparahan penyakit antara
lain infeksi sekunder heterotipik, usia, genetik.7,8,9
Pasien yang berisiko tinggi antara lain :
1. Pasien balita dan geriatrik
2. Pasien obesitas
3. Pasien hamil
4. Pasien dengan ulkus peptikum
5. Pasien dengan menstruasi atau perdarahan vagina yang abnormal
6. Pasien dengan penyakit hemolitik (defisiensi glucose-6 phosphatase
dehydrogenase, thalasemia, hemoglobinopati lainnya)
7. Pasien dengan penyakit jantung congenital
8. Pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes mellitus, penyakit jantung
iskemik, asma, gagal ginjal kronik, sirosis
9. Pasien yang mengkonsumsi non-steroidal anti inflammatory drug

V. FAKTOR RESIKO PENULARAN DBD


Musim hujan memiliki suhu dan kelembaban yang cocok untuk
perkembangbiakan populasi nyamuk vektor transmisi dengue.6
Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk
perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan
prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi
sehingga memungkin terjadinya KLB. Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan
yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan

4
rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang
benar. Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih
makmur terutama yang biasa bepergian. Faktor yang berpengaruh terhadap
kejadian DBD adalah pendidikan dan pekerjaan masyarakat, jarak antar rumah,
keberadaan tempat penampungan air, keberadaan tanaman hias dan pekarangan
serta mobilisai penduduk. Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi
IgM anti dengue yang merupakan reaksi infesksi primer adalah jenis kelamin laki-
laki, kemiskinan, dan migrasi. Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder
yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin laki-laki, riwayat pernah terkena
DBD pada periode sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan.5

VI. PATOFISIOLOGI
Fenomena patofisiologi utama menentukan berat penyakit dan
membedakan demam berdarah dengue dengan dengue klasik ialah tingginya
permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya
hipotensi, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Meningginya nilai hematokrit
pada penderita dengan renjatan menimbulkan dugaan bahwa renjatan terjadi
sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang
rusak dengan mengakibatkan menurunnya volume plasma dan meningginya nilai
hematokrit. 5
Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap infektif
sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat
menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus
de-ngue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh
darah, nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Sel monosit dan
makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan
masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan membentuk
komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen struktur
dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan reaksi immunitas
protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective terhadap
serotipe virus lainnya.10

5
Gambar 4. Respon primer dan sekunder infeksi dengue 10

Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam


berdarah dengue hingga kini belum diketahui secara pasti. Terdapat tujuh teori
patofisiologi DBD yang sudah diketahui yaitu :
1. Primary infection theory (teori virulensi)
Terdapat 4 serotipe virus, yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, DENV-4,
dan keempat serotipe tersebut ada di Indonesia. DENV-2 dan DENV-3
biasanya dikaitkan dengan manifestasi klinis yang lebih berat. 1 Imunitas yang
muncul setelah terinfeksi salah satu serotipe tersebut bisa bertahan seumur
hidup, tetapi hanya terhadap serotipe yang sama. Teori virulensi virus yang
mendasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3
dan DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi
berbeda antara daerah satu dengan lainnya. 1
Hipotesis virulensi virus berangkat dari data klinis, asosiasi epidemiologi
dan studi entomologi yang menjelaskan bahwa virulensi DENV berbeda-
beda. Hipotesis ini menduga bahwa DBD mungkin merupakan hasil dari
infeksi oleh serotipe virus DENV yang lebih virulen dibandingkan dengan
serotipe lainnya. Infeksi oleh DENV serotipe 2 memiliki risiko lebih tinggi
menjadi DBD dibandingkan dengan serotipe lainnya. Di Asia tenggara dan
Amerika DENV serotipe 2 memiliki asosiasi terhadap kejadian DBD
diwilayah tersebut. Sedangkan di India terjadi perubahan tingkat keparahan
penyakit yang merupakan akibat dari perubahan virulensi DENV serotipe 1
dan serotipe 2. Outbreak yang terjadi pada tahun 2006 dan 2008 diasosiasikan
terhadap DENV serotipe 1.11

6
2. Secondary infection theory/ Antibody Dependent Enhancement (ADE)
DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah infeksi dengue pertama
mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan dalam
jangka waktu yang tertentu yang diperkirakan antara 6 bulan sampai 5 tahun. 1
Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan hipotese infeksi sekunder adalah
sebagai berikut :

Gambar 3. Patogenesis Perdarahan pada DBD


Pada infeksi dengue terbentuk antibodi yang terdiri atas imunoglobulin G
yang berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu
enhancing antibody dan neutralising antibody. Dikenal 2 tipe antibodi
berdasarkan virion determinant specificity yaitu kelompok monoklonal reaktif
yang mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus dan
antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu
replikasi virus. Antibodi non-netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer
akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder
dengan akibat memacu replikasi virus. Dasar utama hipotesis ialah
meningkatnya reaksi immunologis. Limfosit T juga memegang peran penting
dalam patogenesis DBD. Oleh rangsang monosit yang telah terinfeksi virus
dengue atau antigen virus dengue, limfosit manusia dapat mengeluarkan

7
interferon (IFN) alfa dan gamma. Pada infeksi sekunder oleh virus dengue
serotipe berbeda dengan infeksi pertama, limfosit T CD4 berproliferasi dan
menghasilkan IFN alfa. IFN alfa itu merangsang sel yang terinfeksi virus
dengue dan mengakibatkan monosit memproduksi mediator yang
menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.1,4,5

3. Antigen antibody complex theory


Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons antibodi
anamnestik yang akan terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi
dan transformasi limfosit imun dengan menghasilkan antibodi IgG anti
dengue titer tinggi. Replikasi virus dengue terjadi dengan akibat terdapatnya
virus dalam jumlah yang banyak. Hal-hal ini semuanya akan mengakibatkan
terbentuknya kompleks antigen antibodi yang selanjutnya akan mengaktivasi
sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5
menyebabkan meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Pada
penderita renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari
pada 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan yang tidak
ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksia jaringan, asidosis
metabolik dan kematian.1

4. Mediator theory
Sel T memori yang bersifat cross-reactive akan secara cepat teraktivasi
dan berproliferasi. T helper berdiferensiasi menjadi TH1 yang akan
meningkatkan produksi IFN-γ, IL-2, TNF-α, dan TH2 yang akan
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10. Manifestasi trombositopenia berkaitan
dengan mediator IL-1β, IL-8, TNF-α, MIP-1. NS1 juga berperan dalam
aktivasi sistem komplemen. Viral load dengue juga berperan dalam
keparahan penyakit, dimana viral load lebih tinggi ditemukan pada pasien
DBD, pasien dengan efusi pleura.1,6,8,9,10

8
5. Theory on the role of endotoxin
Peran endotoksin pada kejadian DBD yaitu menyebabkan iskemia usus
serta iskemia jaringan. Translokasi bakteri dapat terjadi dari lumen usus ke
dalam sirkulasi. Endotoksin yang merupakan komponen kapsul luar bakteri
gram negatif akan memasuki sirkulasi melalui aktivasi kaskade sitokin. Hal
ini menyebabkan shock yang diikuti dengan iskemia berat. Peran limfosit
didasarkan pada limfosit yang diaktifkan pada makrofag yang terpapar virus.
Sel limfosit T akan melepaskan limfokin sehingga mengaktifkan sel B yang
jumlahnya lebih banyak pada DBD. 12
6. Theory of thrombosis
Kelainan sistem koagulasi mempunyai juga peranan sebagai sebab
perdarahan pada penderita DBD. Berapa faktor koagulasi menurun termasuk
faktor II, V, VII, IX, X dan fibrinogen. Faktor XII juga dilaporkan menurun.
Perubahan faktor koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hepar
yang fungsinya memang terbukti terganggu, juga oleh aktifasi sistem
koagulasi.4,5 Sebab lain dari kematian pada DBD ialah perdarahan saluran
pencernaran hebat yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama
dan tidak dapat diatasi. Trombositopenia merupakan kelainan hematologis
yang ditemukan pada sebagian besar penderita DBD. Nilai trombosit mulai
menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan.
Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen dan nilai
normal biasanya tercapai sampai hari ke 10 sejak permulaan penyakit. 4,5
7. Theory of apoptosis
Teori apoptosis yang didasarkan pada proses fisiologis kematian sel. Teori
ini menyatakan bahwa beratnya penyakit DBD disebabkan oleh matinya sel
secara fisiologis bukan karena virus yang hidup pada sel target ataupun
karena makrofag melainkan karena terprogramnya sel sel tersebut untuk mati
akibat rangsangan dari limfosit yang mengeluarkan granzim dan fragmentin
yang akan mengkode apoptosis. Proses itu terdiri dari dua fase, yaitu
kerusakan inti sel dan perubahan bentuk sel serta permeabilitas membran sel.
Pada DBD dengan kerusakan hati yang parah dapat ditemukan badan
apoptotic (Councilman bodies). 12

9
Gambar 5 . Bagan Kejadian Infeksi Virus Dengue 10
Setelah masa inkubasi 4-10 hari, secara garis besar terdapat 3 fase
perjalanan penyakit dengue, yaitu fase febris, kritis, dan recovery.13,14 Dikarenakan
sifatnya yang dinamis, keparahan penyakit biasanya hanya akan tampak di sekitar
fase defervescence, selama transisi dari fase febris ke afebris, yang sering
bersamaan dengan onset dari fase kritis.

Gambar 6. Perjalanan Penyakit Dengue

10
Fase Febris
Pasien biasanya mengalami demam tinggi tiba-tiba. Fase febris akut ini
biasanya berlangsung selama 2-7 hari dan sering disertai dengan facial flushing,
eritema kulit, nyeri di seluruh badan, myalgia, atralgia, nyeri di retro-orbita,
fotofobia, eksantema rubiliformis, dan sakit kepala. Beberapa pasien mengeluhkan
sakit tenggorokan, injeksi faringeal, dan injeksi konjungtiva. Sering juga muncul
anoreksia, mual, dan muntah.
Sulit untuk membedakan dengue secara klinis dari demam non-dengue di
fase awal febris. Tes torniquet positif mengindikasikan kemungkinan Dengue.
Namun, hal ini tidak dapat memprediksikan beratnya penyakit. Maka dari itu,
sangat krusial untuk mengontrol warning signs dan parameter klinis lainnya untuk
mengenali progresi ke fase kritis. Perdarahan ringan seperti petekia dan
perdarahan membran mukosa (dari hidung dan gusi) dapat muncul. Mudah lebam
dan berdarah pada lokasi tusukan muncul pada beberapa kasus. Perdarahan vagina
masif dan perdarahan saluran cerna dapat juga muncul walaupun jarang terjadi.
Liver dapat membesar dan nyeri bila ditekan setelah beberapa hari demam.
Abnormalitas paling awal yang muncul pada pemeriksaan darah adalah penurunan
progresif dari jumlah leukosit.
Fase Kritis
Selama transisi dari fase febris ke afebris, pasien tanpa peningkatan
permeabilitas kapiler akan mengalami perbaikan tanpa harus melalui fase kritis.
Sedangkan pasien yang mengalami peningkatan permeabilitas kapiler, walaupun
demamnya turun, namun akan mengalami manifestasi warning signs, sebagai
akibat kebocoran plasma. Warning signs menandai awal dari fase kritis. Pasien
akan mengalami perburukan di sekitar masa defervescence, di saat suhu tubuh
turun dari 38◦C menjadi 37,5◦C atau lebih rendah lagi, biasanya pada hari ke-3
hingga ke-8 penyakit. Leukopenia progresif disertai penurunan cepat jumlah
trombosit biasanya mengawali kebocoran plasma. Peningkatan hematokrit di atas
baseline dapat menjadi tanda tambahan paling awal dari kebocoran plasma.
Periode kebocoran plasma biasanya berlangsung selama 24-48 jam. Peningkatan
hematokrit mengawali gejala perubahan tekanan darah dan nadi.

11
Derajat hemokonsentrasi menunjukkan derajat beratnya kebocoran plasma
yang terjadi, namun hal ini dapat diatasi dengan terapi cairan intravena sedini
mungkin. Pemeriksaan hematokrit berkala perlu dilakukan untuk menentukan
kebutuhan terapi cairan intravena. Efusi pleura dan ascites biasanya hanya
terdeteksi secara klinis setelah dilakukan terapi cairan intravena, kecuali
kebocoran plasma yang terjadi sangat signifikan. Foto rontgent thorax lateral
decubitus dextra, deteksi cairan bebas di dada atau abdomen dengan USG,
maupun edema dinding kantung empedu dengan USG dapat mengarahkan ke arah
kebocoran plasma. Manifestasi perdarahan seperti mudah lebam dan perdarahan
di lokasi tusukan sangan sering terjadi.
Bila syok terjadi ketika sejumlah volume plasma hilang karena kebocoran
plasma, biasanya hal ini diawali oleh adanya warning signs. Suhu tubuh
subnormal ketika syok terjadi. Bila terjadi profound dan/atau syok
berkeoanjangan, hipoperfusi akan menyebabkan asidosis metabolik, gangguan
organ progresif, dan KID (DIC). Hal ini nantinya akan menyebabkan perdarahan
berat yang menyebabkan hematokrit menurun pada syok berat. Pada fase ini,
leukosit akan meningkat sebagai bentuk respon terhadap pasien dengan
perdarahan berat. Gangguan organ berat dapat terjadi seperti hepatitis berat,
ensefalitis, miokarditis, dan/ atau perdarahan berat,tanpa tanda nyata kebocoran
plasma atau syok.
Warning Signs
Muntah terus menerus dan nyeri abdomen parah adalah indikasi awal
kebocoran plasma dan akan bertambah berat ketika pasien progres ke fase syok.
Pasien akan letargis namun masih alert. Gejala-gejala ini dapat bertahan hingga
fase syok.
Lemah, pusing, atau hipotensi postural terjadi saat fase syok. Perdarahan
spontan mukosa atau dari lokasi tusukan adalah manifestasi perdarahan yang
penting. Pembesaran liver dan nyeri tekan liver sering ditemukan. Akumulasi
cairan bebas hanya dapat ditemukan bila kebocoran plasma signifikan atau setelah
terapi cairan intravena. Penurunan trombosit yang vepat dan progresif menjadi
100.000 sel/ mm3 dan peningkatan hematokrit di atas baseline menjadi tanda

12
paling awal kebocoran plasma. Hal ini biasanya diawali oleh adanya leukopenia
(≤ 5000 sel/mm3).
Fase Recovery
Setelah melewati fase kritis selama 24-48 jam, reabsorbsi bertahap cairan
ekstravaskular akan terjadi pada 48-72 jam selanjutnya. Keadaan umum pasien
akan membaik, nafsu makan membaik, gejala gastrointestinal berkurang, status
hemodinamik stabil, dan diureutik normal. Beberapa pasien akan mengalami ruam
eritematosa atau petekia yang diselingi oleh sedikit area kulit normal yang
konfluen, yang dikenal dengan “isle of white in the sea of red”. Beberapa pasien
akan mengeluhkan gatal. Bradikardia dan perubahan EKG sering terjadi pada fase
ini. Hematokrit stabil atau lebih rendah dari baseline karen efek dilusi cairan yang
tereabsorbsi. Leukosit mulai meningkat namun peningkatan trombosit akan terjadi
setelahnya. Distres pernapasan akibat efusi pleura masif dan ascites, edema paru,
atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama fase kritis dan/ atau fase recovery
apabila terapi cairan intravena diberikan berlebihan.

Mekanisme perdarahan pada DBD


Penyebab perdarahan pada pasien DBD adalah vaskulopati, trombositopeni
dan gangguan fungsi trombosit, serta koagulasi intravaskular yang
menyeluruh. Komplek virus antibodi mengakibatkan trombositopenia dan juga
gangguan fungsi trombosit. Selain itu komplek virus antibodi ini mengaktifkan
faktor Hageman (faktor XIIa) sehingga terjadi gangguan sistem koagulasi dan
fibrinolisis yang memperberat perdarahan, serta mengaktifkan sistem kinin
dan komplemen yang mengakibatkan peningkatan permiabilitas pembuluh
darah dan kebocoran plasma serta meningkatkan risiko terjadinya KID yang
juga memperberat perdarahan yang terjadi.15
1. Vaskulopati
Disfungsi endotel pada infeksi virus dengue tampak dalam manifestasi
klinis berupa peningkatan permiabilitas kapiler, yang bertanggung jawab
terhadap proses kebocoran plasma, hemokonsentrasi, hipoproteinemia atau
hipoalbuminemia, efusi pleura, asites dan gangguan sirkulasi. Kebocoran
plasma biasanya terjadi pada fase febris akut dan sangat menonjol terlihat

13
terutama pada pasien-pasien dengan kegagalan sirkulasi. Tes torniket atau uji
Rumple Leede yang positif menandakan adanya kebocoran plasma, dan
biasanya terjadi pada hari awal serangan15
Infeksi virus Dengue pada makrofag dan monosit selanjutnya akan
mengaktivasi limfosit T, baik CD4 maupun CD8. Aktivasi ini makrofag
dan monosit akan merangsang infeksi virus dengue untuk mengaktivasi
makrofag dan monosit yang lainnya, yang selanjutnya akan memproduksi
mediator inflamasi seperti TNF , IL-1, PAF, IL-6, histamin sedangkan
limfosit T menghasilkan mediator inflamasi berupa IL-2, TNF , IL-1, IL-6 dan
IFNγ. Peningkatan C3a dan C5a juga mengakibatkan terjadinya kebocoran
plasma melalui anafilaktoksin yang dihasilkannya.15
2. Koagulopati
Komplek virus antibodi yang terbentuk akan dapat mengaktifkan
sistem koagulasi yang dimulai dari aktivasi faktor Haegeman (faktor
XII) menjadi bentuk aktif (faktor XIIa). Selanjutnya faktor XIIa ini akan
mengaktifkan faktor koagulasi lainnya secara berurutan mengikuti suatu
kaskade sehingga akhirnya terbentuk fibrin.15
Di samping mengaktifkan sistem koagulasi, faktor XIIa juga akan
mengaktifkan sistem fibrinolisis, yaitu terjadi perubahan plasminogen menjadi
plasmin melalui proses enzimatik. Plasmin memiliki sifat proteolitik dengan
sasaran khusus yaitu fibrin. Fibrin polimer akan dipecah menjadi fragmen X
dan Y. Selanjutnya fragmen Y dipecah lagi menjadi fragmen D dan fragmen E
yang dikenal sebagai D-dimer. Degradasi fibrin ini (FDP) memiliki sifat
sebagai anti koagulan, sehingga jumlah yang cukup banyak akan menghambat
hemostasis. Aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis yang berkepanjangan
berakibat menurunnya berbagai faktor koagulasi seperti faktor II, V, VII, VIII,
IX, dan X serta plasminogen. Hal ini memperberat perdarahan yang terjadi
pada penderita DBD. Sistem kinin dan sistem komplemen juga turut diaktifkan
oleh faktor XIIa. Faktor XIIa mengaktifkan prekalikrein menjadi kalikrein
yang juga merupakan enzim proteolitik. Kalikrein akan mengubah kinin
menjadi bradikinin, suatu zat yang berperan dalam proses spesifik

14
diantaranya adalah proses inflamasi yang menyebabkan pelebaran dan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah15
Sistem komplemen merupakan salah satu mediator dasar pada proses
inflamasi dan memegang peranan penting dalam sistem pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Komplemen merupakan sejumlah protein inaktif yang
dapat diaktifkan oleh faktor XIIa. Sebagai hasil akhir aktivasi ini ialah terjadi
lisis dari sel. Disamping itu terbentuk juga anaÞ latoksin yang juga
meningkatkan permiabilitas pembuluh darah.
3. Trombositopenia
Trombositopenia merupakan salah satu kriteria sederhana yang diajukan
oleh WHO sebagai diagnosis klinis penyakit DBD. Jumlah trombosit biasanya
masih normal selama 3 hari pertama. Trombositopenia mulai tampak beberapa
hari setelah panas dan mencapai titik terendah pada fase syok. Penyebab
trombositopenia pada DBD masih kontroversial, disebutkan terjadi karena
adanya supresi sumsum tulang serta akibat destruksi dan pemendekan masa
hidup trombosit. Mekanisme peningkatan destruksi ini belum diketahui
dengan jelas. Ditemukannya kompleks imun pada permukaan trombosit yang
mengeluarkan ADP (adenosin di posphat) diduga sebagai penyebab agregasi
trombosit yang kemudian akan dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial
khususnya limpa dan hati. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan
pengeluaran platelet faktor III yang mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif. 15
Beberapa laporan dari literatur menjelaskan bahwa trombosit yang normal
tidak menempel pada endotel vaskular, kecuali ketika ada aktivasi kerusakan
seperti robeknya struktur lapisan intima vaskuler. Secara umum ada empat
jenis respon terhadap aktivasi trombosit : (1) perubahan bentuk trombosit dari
potongan pipih menjadi bulat berduri, (2) adhesi, perlekatan trombosit ke
dinding subendotelium atau pada jaringan kolagen, (3) agregasi, perlekatan
platelet satu sama lain, (4) sekresi, seperti ADP, tromboxane A2 (TXA),
erotonin, kalsium dan lainnya. ADP dari platelet yang telah menempel pada
dinding pembuluh darah yang rusak akan menginduksi terjadinya agregasi
platelet sedangkan PGI2 adalah inhibitor agregasi platelet. Efek PGI2 selain

15
bertentangan dengan ADP, juga berlawanan dengan tromboxane A2 yang juga
disekresikan oleh granul dalam trombosit. Inaktivasi trombosit oleh PGI2
dalam endotel diduga sebagai penyebab tidak adanya agregasi platelet. Tapi
hipotesis ini tidak didukung oleh penelitian dan mekanisme PGI2 untuk
mencegah agregasi platelet masih belum jelas. 15
4. Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID/DIC)
KID adalah sindrom klinis yang ditandai dengan aktivasi luas sistem
koagulasi yang mengakibatkan pembentukan fibrin intravaskular dan trombosis
pembuluh darah yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke organ dan
menyebabkan kegagalan organ. Perdarahan yang berat dapat terjadi karena
defisiensi sistem koagulasi yaitu trombosit dan faktor koagulasi. Peranan KID
pada pasien DBD telah banyak diteliti. Mekanisme terjadinya KID pada pasien
dengan DBD masih belum jelas. Mekanisme tersebut didasarkan pada
kemungkinan pengaktifan antibodi antigen faktor XII, reaksi pelepasan
trombosit, robekan pada endotelium sehingga mengekspos kolagen dan
membran basal subendotelial. 15
Satu studi menunjukkan bahwa pada pasien dengan DBD ditemukan
terjadi pengingkatan kadar minimum FDP, dan tidak terkait dengan tingkat
keparahan penyakit. Pada pasien dengan peningkatan FDP, ditemukan waktu
tromboplastin parsial dan waktu protrombin sedikit memanjang. Peningkatan
FDP dengan trombositopenia menunjukkan proses koagulasi intravaskular
yang mengakibatkan perdarahan tetapi tidak membuktikan KID. Namun DBD
dengan syok dan asidosis yang berkepanjangan dapat memicu KID. Sementara
peneliti lain mengatakan bahwa dalam semua kasus DBD ditemukan
manifestasi KID tipe akut. Jadi sudah jelas bahwa perjalanan alami dari
penyakit DBD akan menyebabkan patofisiologi yang kompleks dari berbagai
sistem dalam tubuh pasien.15
Hasil penelitian terbaru tentang mekanisme perdarahan pada DBD,
menyatakan bahwa perdarahan akibat koagulopati konsumtif yang terjadi pada
sebagian besar kasus. Hampir semua kasus dengan syok koagulopati terjadi,
bermanifestasi sebagai waktu tromboplastine parsial yang berkepanjangan.
Perubahan fungsi hati dan waktu protrombin yang normal / sedikit memanjang,

16
mendukung terjadinya koagulopati konsumtif. Dapat disimpulkan bahwa
gangguan hemostasis pada demam berdarah dapat disebabkan oleh
multifaktorial termasuk pembuluh darah kapiler dan venula), trombositopenia,
disfungsi trombosit dan koagulopati. 15

Gambar 7. Patofisiologi Perdarahan pada DBD15

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue.


Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam
AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Jakarta: Interna
Publishing. 2014. p.539-48.
2. Kementrian Kesehatan RI. 2010. Demam Berdarah Dengue di Indonesia
Tahun 1968-2009. Kemetrian Kesehatan RI-Jakarta.
3. Pusat Data Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2016. Situasi DBD di
Indonesia. Kemetrian Kesehatan RI-Jakarta.
4. Soewandojo E. Perkembangan terkini dalam pengelolaan beberapa
penyakit tropik infeksi. Surabaya: Airlangga University Press; 2002. p.
113-29.
5. Rizal, Kebocoran Plasma Pada Demam Berdarah Dengue. CDK Maret –
April. 2011. 183/Vol.38 no.2. P. 92 – 96
6. Lestari K. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Indonesia. Farmaka. Desember 2007; Vol. 5 No.3: p. 12-29.
7. World Health Organization, Regional Office for South-East Asia.
Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and
dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. 2011.p.3-28.
8. Sellahewa KH. Pathogenesis of dengue hemorrhagic fever and its impact
on case management, ISRN Infectious Disease. 2013:1-6.
9. Martina BEE, Koraka P, Osterhaus ADME. Dengue virus pathogenesis:
An integrated view. Clin. Microbiol. Rev.2009.22(4);564-74.
10. Aryu Chandra, Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan. 2010; Vol. 2 No. 2 : p. 110 - 119
11. Prommalikit O, Thisyakorn U. Dengue Virus Virulence and Diseases
Severity. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2015. Vol 46:35-42.
12. Zulkarnain I, Tambunan KL, Nelwan RHH, et al. Penatalaksanaan demam
berdarah dengue pada dewasa di RSPUN Cipto Mangunkusumo.
Jakarta.In: Hadinegoro SR, Satari HI, editors. Naskah lengkap pelatihan

18
pelatih dokter spesialis dalam tatalaksana DBD. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2002. p. 150-61.
13. World Health Organization. Dengue guidelines for diagnosis, treatment,
prevention, and control. New edition. 2009.p.3-54.
14. World Health Organization: Handbook for Clinical Management of
Dengue. World Health Organization, 2012.
15. Arief Suseno, Nasronudin. Pathogenesis of hemorrhagic due to dengue
virus. Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease, Vol. 5. No. 4
January–April 2015: 107–111

19

Anda mungkin juga menyukai