Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit jantung merupakan salah satu penyebab kematian yang utama. Banyak
pasien yang mangalami kematian akibat penyakit jantung. Penanganan yang salah dan
kurang cepat serta cermat adalah salah satu penyebab kematian. Infark miokard
akut merupakan penyebab kematian utama bagi laki-laki dan perempuan di USA.
Diperkirakan lebih dari 1 juta orang menderita infark miokard setiap tahunnya dan lebih dari
600 orang meninggal akibat penyakit ini.
Masyarakat dengan tingkat pengetahuan yang rendah membuat mereka salah untuk
pengambilan keputusan penangan utama. Sehingga menyebabkan keterlambatan untuk
ditangani. Hal ini yang sering menyebabkan kematian. Berbagai penelitian standar terapi
trombolitik secara besar-besaran telah dipublikasikan untuk infark miokard akut (IMA)
dengan harapan memperoleh hasil optimal dalam reperfusi koroner maupun stabilisasi
koroner setelah iskemia.

B. Rumusan masalah
1. Apa definisi dari STEMI.
2. Apa etiologi dari STEMI.
3. Bagaimana patofisiologi dari STEMI.
4. Apa manifestasi klinis dari STEMI.
5. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari STEMI.
6. Bagaimana penataksanaan dari STEMI.
7. Prognosis dari STEMI.

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari STEMI.
2. Untuk mengetahui etiologi dari STEMI.
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari STEMI.
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari STEMI.
5. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik dari STEMI.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan STEMI.
7. Untuk mengetahui prognosis dari STEMI.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di
Negara maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi
sebelum pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30%
dalam 2 dekade terakhir, sekita 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan
awal, meninggal dalam tahun pertama setelah IMA (Sudoyo, 2006).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI)
merupakan bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina
pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya
terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada
plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2006).

B. Etiologi
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan
akumulasi lipid.

C. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini
dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.Pada sebagian
besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi
dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus
mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histology
menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture jika mempunyai vibrous cap
yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik
terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI
memberikan respon terhadap terapi trombolitik.Selanjutnya pada lokasi rupture plak,
berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang
selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor local
yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor
glikoprotein IIB/IIIA. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor, mempunyai
afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin)
seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fdibrinogen, dimana keduanya adalah molekul
multivalent yang dapat mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.Kaskade koagulasi diaktivasi oleh
pajanan tissue faktor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi
mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang kemudian menkonversi
fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan
mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin.Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga
disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas
congenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.

D. Manifestasi Klinis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesa secara
cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai
nyeri dada yang berasal dari jantung dibedakan apakah nyerinnya berasal dari koroner
atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta
faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, diabetes militus, dislipidemia, merokok, stress
serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada
akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak.
Diagnosis yang terlambat atau yang salah dalam jangka panjang dapat menyebabkan
konsekuensi yang berat.Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien
IMA. Gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru,
diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal, Nyeri dada tidak selalu
ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes militus
dan usia lanjut.Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit
dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark
anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan atau
hipotensi). Tanda fisis lain pada disfungsi fentrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistlik apical yang bersifat sementara karena
disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai
38°C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI. Diagnosis IMA dengan
elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG
adanya elevasi ST ≥2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan
atau ≥1mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin
T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi
revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam
tatalaksana IMA, prinsip utama Penatalaksanaan adalah time is muscle. Pemeriksaan
EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan
yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak
kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan senter dalam menentukan
keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi perfusi. JIka pemeriksan
EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG
12 sandapan secara continue harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan
elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil
untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.Sebagian besar pasien
dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evlolusi menjadi gelombang Q
pada EKG yang akhirnya infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi
infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak total, obstruksi bersifat
sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen
ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil atau non STEMI. Pada
bagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut
infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG
menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard miokard
non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan
gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan
lokasi infark (mural/transmural) sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q
menggantikan IMA mural/nontransmural.

E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana
pasien STEMI namun tidak boleh menghambat implementasi terapi repefusi.
1. Petanda (Biomarker) Kerusakan Jantung
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB dan cardiac
specific troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan
sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal,
karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan
elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak
tergantung pada pemeriksaan biomarker. Pengingkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai
batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).
2. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 4-8 jam.
Creatinin Kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard
dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Garis horizontal menunjukkan upper reference limit (URL) biomarker jantung
pada laboratorium kimia klinis. URL adalah nilai mempresentasikan 99th percentile
kelompok control tanpa STEMI. Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah
leikositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset
nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/u1.
F. Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-data dari
evidence based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembnag
ataupun konsesus dari para ahli sesuai pedoman (guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri
dada, penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan, pemberian
antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana
komplikasi IMA. Terdapat beberapa pedoman (guidelie) dalam tatalaksana IMA dengan
elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2004 dan ESC tahun 2003. Walaupun demikian
perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan
kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang kardiologi Intervensi).
a). Tatalaksana Awal
1. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi
umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure).
Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya
fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset
gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama
tatalaksana prahospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain:
b). Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
a) Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi.
b) Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
c) Melakukan terapi perfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan
selama transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onset nyeri dada
sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa di tanggulangi dengan
cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga professional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini. Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada
paramedic di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana
STEMI dan kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian
terapi. Di Indonesia saat ini pemberian trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.
2. Tatalaksana di Ruang Emergency
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan
kandidat terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah
sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
3. Tatalaksana Umum
a). Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6
jam pertama.
b). Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan
dapat diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada,
NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload
dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang
terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan
NGT intravena. NGT intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau
edema paru.
c). Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri
dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan
beban jantung.
d). Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan
dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan
dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang
perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung
dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada
kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat
menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat
tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan
pemberian atropine 0,5 mgIV.
e). Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit
yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal
dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan
dosis 75-162 mg.
f). Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV,
selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang bias adiberikan adalah metoprolol 5 mg
setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan
darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral
dengan dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6
jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
g).Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memeperpendek lamaoklusi koroner, meminimlakan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.Sasaran
terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-to-needle)
time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-ballon)
time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.

G. Prognosis
Kelangsungan hidup kedua pasien STEMI dan NSTEMI selama enam bulan
setelah serangan jantung hampir tidak berbeda. Hasil jangka panjang yang ditingkatkan
dengan kepatuhan hati-hati terhadap terapi medis lanjutan, dan ini penting bahwa semua
pasien yang menderita serangan jantung secara teratur dan terus malakukan terapi jangka
panjang dengan obat-obatan seperti:
1. ASPIRIN
2. clopidrogel
3. statin (cholesterol lowering) drugs
4. beta blockers (obat-obat yang memperlambat denyut jantung dan melindungi otot
jantung)
5. ACE inhibitors (obat yang meningkatkan fungsi miokard dan aliran darah)
Kerusakan pada otot jantung tidak selalu bermanifestasi sebagai rasa sakit dada
yang khas, biasanya berhubungan dengan serangan jantung. Bahkan jika penampilan
karakteristik EKG ST elevasi tidak dilihat, serangan jantung mengakibatkan kerusakan
otot jantung, sehingga cara terbaik untuk menangani serangan jantung adalah untuk
mencegah mereka.

Anda mungkin juga menyukai