(STEMI)
1. Patofisiologi
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi
secara cepat pada lokasi injuri vaskular, di mana injuri ini dicetuskan olrh faktor-faktor
seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Tedjasekmana P dkk, 2010).
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami
fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis,
sehingga terjadi trombosis mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri
koroner. Penelitian histo-patologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami
rupture jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada
STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich thrombus, yang dipercaya
menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
(Harrisons Principles of Internal Medicine, 2008).
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan-A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu, aktivasi
trombosit memicu peru-bahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah
mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen
asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat
mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet
dan agregasi (Harrisons Principles of Internal Medicine, 2008).
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endothel yang
russk. Factor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin,
yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat
kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan
fibrin (Harrisons Principles of Internal Medicine, 2008).
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme
koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Harrisons Principles of Internal Medicine, 2008).
2. Diagnosis
Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas
(typical chest pain) dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada 2
sandapan prekordial yang berdampingan atau 1mm pada 2 sandapan ekstremitas.
Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat
diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tidak perlu menunggu
hasil pemeriksaan enzim (Sudoyo AW dkk, 2006).
2.1 Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis
secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau luar jantung. Jika
dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung, perlu dibedakan apakah nyerinya
berasal dari koroner atau bukan. Perlu faktor- faktor risiko antara lain hipertensi,
diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stres serta riwayat sakit jantung koroner pada
keluarga (Sudoyo AW dkk, 2006).
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI,
seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun
STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi
hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur (Sudoyo AW dkk, 2006).
2.1.1 Nyeri dada
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan
tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang
salah, dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat.
Nyeri dada tipikal (typical angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA.
Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan
dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam
pengelolaan pien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:
lokasi
sifat nyeri
nitrat;
faktor pencetus
makan;
gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas
dan lemas.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru,
diseksi aorta akut dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan
pada STEMI; seperti pada diabetes mellitus dan usia lanjut dimana STEMI tanpa nyeri
lebih sering dijumpai (Sudoyo AW dkk, 2006).
2.2 Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal 30 menit
dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark
anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau
hipotensi) dan hamper setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas
parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).
Tanda fisik lain pada disfungsi ventricular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena
disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai
38 oC dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI (Sudoyo AW dkk, 2006).
2.3 Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan
nyeri dada atau keluhan dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera
dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan
landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan
gambaran elevasi segment ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk
dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI
tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial
dengan interval 510 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus
dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien
dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan
infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami
evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard
gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q
(Sudoyo AW dkk, 2006).
2.4 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan
laboratorium
harus
dilakukan
sebagai
bagian
dalam
mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4
8 jam
creatinine kinase (CK): meningkat setelah 38 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 1036 jam dan kembali normal dalam 34 hari
lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 2448jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 36 hari dan kembali normal dalam 814 hari
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang
dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari.
3. Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri
dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan,
pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet dan tatalaksana komplikasi IMA.
Terdapat beberapa pedoman dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari
ACC/AHA tahun 2004 dan ESC tahun 2003.
3.1 Tatalaksana Awal
3.1.1 Tatalaksana pra-rumah sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi
umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure).
Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi
ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala.
Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama
tatalaksana prahospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain:
pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis;
segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi;
transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta
staf medis dokter dan perawat yang terlatih;
melakukan terapi perfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya
bukan selama transportasi ke rumah sakit, namun karena lama waktu mulai onset nyeri
dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa di tanggulangi
dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga professional kesehatan
mengenai pentingnya tatalaksana dini.Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa
dikerjakan jika ada paramedic di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi
EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali komando medis online yang bertanggung
jawab pada pemberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian trombolitik pra hospital
ini belum bisa dilakukan (Sudoyo AW dkk, 2006).
3.1.2 Tatalaksana di ruang gawat darurat
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/ menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan
kandidat terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di
rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
3.2 Tatalaksana Umum
3.2.1 Oksigen
dengan
aktivasi
simpatis
yang
menyebabkan
vasokonstriksi
dan
yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal
dengan dosis 160325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral
dengan dosis 75162 mg.
3.2.6 Penyekat beta (-blocker)
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV,
selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg
setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit,
tekanan darah sistolik >100 mmHg,interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari
10 cm dari diafragma. Lima belas menitsetelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan
metoprolol oral dengan dosis IV terakhir dilanjutkandengan metoprolol oral dengan
dosis 50 mg tiap 6 jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
3.3 Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfung-si
dan
dilatasi
ventrikel
dan
mengurangi
kemungkinan
pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical
contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit
atau door-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit. Beberapa hal harus
dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi, antara lain sebagai berikut.
3.3.1 Waktu onset gejala
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predictor penting luas
infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan thrombus
sangat tergantung dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam
pertama (terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan
secara dramatis menurunkan angka kematian.
Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi
paten, kurang banyak tergantung pada lama gejala pasien yang mengalami PCI.
Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju
mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2 sampai 3 jam setelah gejala.
3.3.2 Risiko STEMI
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai
risiko mortalitas pada pasien STEMI. JIka estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat
tinggi, seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI
lebih baik.
Laboratorium PCI yang mampu tersedia dengan backup surgical medical contact to
bal-loon atau door to ballon time <90 menit. (door to ballon)-(door to needle) time
<1 jam.
didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi
pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI
primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam melakukan arteri koroner yang teroklusi dan
dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik.
Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik
(terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada
sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan lebih matur dan kurang mudah hancur
dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dalam hal personil dan
fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa
Rumah Sakit (Sudoyo AW dkk, 2006).
3.3.7 Reperfusi farmakologis
.3.3.7.1 Fibinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30
menit sejak masuk (door-to-needle time <30 menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah
restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara
lain: tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan
reteplase (rPA). Semua obat ini bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen
menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan thrombus fibrin. Terdapat 2 kelompok
yaitu golongan spesifik fibrin seperti tPA dan non fibrin seperti streptokinase. Jika dinilai
secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit) digambarkan
dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI)
grading system:
Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena
infark.
Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi
tetapi
mengembalikan
perfusi
penuh,
aliran
koroner
TIMI
grade
dan
10
Kelas IIa
Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik
pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan EKG 12 sadapan
konsisten dengan infark miokard posterior. Jika tidak terdapat kontraindikasi,
dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik pada pasien dengan gejala STEMI
mulai dari <12 jam sampai 24 jam yang mengalami gejala iskemik yang terus
berlanjaut dan elevasi ST 0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2 sadapan
prekordial
yang
berdampingan
atau
sekurang-kurangnya
sandapan
ekstremitas. Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan
penurunan elevasi ST >50% dalam 90 menit pemberian trombolitik. Trombolitik
tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga jika pasien pasca CABG
datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah percutaneous
coronary intervention (PCI) (Sudoyo AW dkk, 2006).
11
4. Algoritma STEMI
Jika klien merasakan nyeri dada akibat iskemia.
Lakukan penanganan:
monitor ABCs klien, persiapkan untuk melakukan CPR dan defibrilasi
beri oksigen, aspirin, nitrogliserin, dan morfin jika diperlukan
jika tersedia lakukan perekaman EKG lead 12. Jika ada elevasi ST:
o segera hubungi rumah sakit terdekat
o mulai untuk memeriksa fibrilasi
Rujuk klien ke rumah sakit
Lakukan pemeriksaan kegawatdaruratan (<10menit)
periksa tanda-tanda vital
evaluasi saturasi oksigen
pasang akses intravena
lakukan pemeriksaan EKG 12 sadapan
evaluasi
5. Komplikasi STEMI
5.1 Disfungsi Ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran
dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
remodeling ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung
secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark
ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut,hasil ini berasala dari ekspansi infark al:
slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal danhilangnya jaringan dalam zona
nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmennoninfark, mengakibatkan
penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaranruang jantung
secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan
dilatasiterbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan
hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk
Progresivitas dilatasi danknsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhi bitot
ACE dan vasodilator lain. PAdapasien dengan fraksi ejeksi <40%, tanpa melihat ada
tidaknya gagal jantung, inhibitore ACE harus diberikan (Harrisons Principles of Internal
Medicine, 2008).
5.2 Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di
rumah sakit padaSTEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik
dengan tingkat gagal pompadan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya. Tanda klinis yang terseringdijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi
jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaanrontgen sering dijumpai kongesti paru
(Harrisons Principles of Internal Medicine, 2008).
5.3 Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, rupture septum ventrikel, rupture dinding vebtrikel. Jika
terjada hal-hal yang seperti ini, maka penatalaksanaannya tidak lain dengan jalan
operasi.
6. Prognosis
Kelangsungan hidup kedua pasien STEMI dan NSTEMI selama enam bulan
setelah serangan jantung hampir tidak berbeda. Hasil jangka panjang yang
ditingkatkan dengan kepatuhan hati-hati terhadap terapi medis lanjutan, dan ini penting
bahwa semua pasien yang menderita serangan jantung secara teratur dan terus
malakukan terapi jangka panjang dengan obat-obatan seperti aspirin, clopidogrel, obat
golongan statin, beta blockers, ACE inhibitor (Sudoyo AW dkk, 2006).
Tabel: Risk Score untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)
Faktor Risiko (Bobot)
0 (0,8)
1 (1,6)
2 (2,2)
3 (4,4)
4 (7,3)
5 (12,4)
6 (16,1)
7 (23,4)
8 (26,8)
>8 (35,9)
DAFTAR PUSTAKA
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; 2006, Sudoyo AW dkk, Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Miokard Infark
dengan ST Elevasi
Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition; 2008, The McGraw-Hill
Companies, Inc. Disorders of the Cardiovascular System
Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut; Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskuler Indonesia(PERKI) 2010, Tedjasekmana P, dkk.
The 2004 ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients with ST Elevation
Myocardial Infarction.