Rudy Setiady
10.2012.323, Kelompok F-7
Mahasiswa Kedokteran
Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat : Fakultas Kedokteran - Universitas Kristen Krida Wacana, Jalan Arjuna Utara
Nomor 6, Kebon Jeruk Jakarta Barat 11510
email : setiadyrudy@hotmail.com
Pendahuluan
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara
maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian
terjadi sebelum pasien mencapai Rumah Sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30%
dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1 di antara 24 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal,
meninggal dalam tahun pertama setelah IMA.1
Infark miokard akut dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI)
merupakan bagian dari sindrom coroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris tidak stabil,
IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST.1
Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat
apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang
berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu
dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara
lain hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, merokok, stress serta sakit jantung koroner pada
keluarga.1
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti
aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi
sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam
setelah bangun tidur.1
Pemeriksaan Fisik
Setiap pemeriksaan selalu dimulai dengan penilaian pasien secara umum (general
appearance), dengan melihat umur, postur tubuh, sikap tubuh, dan data kesehatan pasien secara
umum. Apakah pasien sedang beristirahat dengan diam/nyaman, dispnea, atau diaforetik?
Apakah pasien cenderung menghindari beberapa posisi tubuh untuk mengurangi atau
menghilangkan rasa sakit, seperti yang diperkirakan pada kasus tersangka perikarditis akut?
Apakah terdapat petunjuk adanya dispnea yang disebabkan penyakit pulmonal, seperti adanya
barrel chest yang merupakan peningkatan diameter anterior-posterior dada, takipnea, dan
pernafasan dengan mulut? Kulit pucat, sianosis, dan jaundice dapat terlihat mudah dan
menunjukkan petunjuk-petunjuk berikutnya. Nyeri yang kronis pada pasien yang kurus dapat
merujuk kepada adanya gagal jantung berkepanjangan atau adanya kelainan sistemik lain seperti
keganasan. Beberapa kelainan genetik yang sering berhubungan dengan kardiovaskular dapat
diketahui dengan lebih mudah, seperti trisomy 21, Marfan syndrome, dan Holt-Oram syndrome.
Tinggi dan berat badan harus diukur secara rutin, dan BMI (body mass index) serta BSA (body
surface area) juga harus dihitung rutin. Pemeriksaan lingkar pinggang dan penghitungan rasio
lingkar pinggang-panggul dapat digunakan untuk memprediksi adanya penyakit kardiovaskular
jangka panjang. Status mental, kesiagaan pasien (level of alertness), serta mood pasien harus
selalu dinilai selama anamnesis dan pemeriksaan fisik.5
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah
pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah, dalam jangka
panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat.1
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Seorang dokter harus
mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena
gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.1
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :
Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial.
Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa
pada pasien dengan infark transmural, tekanan sistolik menurun sekitar 10-15 mmHg dari saat
sebelum infark.5,6
Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau
keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak
kedatangan IGD. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap
simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi segmen ST. pada pasien dengan STEMI inferior. EKG sisi kanan harus
diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.1
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q.
sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak
total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil atau Non
STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q
disebut infark non Q. sbelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG
menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural jika
EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata
tidak selalu ada korelasi gambaran patologisi EKG dengan lokasi infark (mural/ transmural)
sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA mural/ nontransmural.1
Laboratorium
Beberapa protein, yang akhirnya disebut sebagai serum cardiac biomarkers, dilepas
ketika sel otot jantung mengalami nekrosis setelah terjadinya STEMI. Tingkat pembebasan
protein-protein ini berbeda-beda, tergantung dari lokasi pada intraselulernya, berat molekul, dan
aliran darah dan limfatik lokal. Biomarker jantung ini menjadi terdeteksi pada pembuluh darah
perifer ketika pembuluh limfe jantung sudah terlalu penuh dalam membersihkan interstitial pada
daerah yang mengalami infark, sehingga masuk ke dalam pembuluh darah vena.
Perhitungan/penentuan penglepasan protein yang termporer tersebut memang penting, tapi
selama menunggu hasil lab, strategi reperfusi harus langsung ditentukan berdasarkan gejala
klinis dan hasil EKG. Pemeriksaan rapid whole-blood bedside assays untuk serum marker
jantung sudah tersedia dan dapat membantu dalam menentukan penanganan, terutama pada
pasien dengan hasil EKG yang nondiagnostik.5
Cardiac-specific troponin T (cTnT) dan cardiac-specific troponin I (cTnI) memiliki
sekuens asam amino yang berbeda dari pada yang dihasilkan oleh otot rangka pada umumnya.
Perbedaan ini memperbolehkan pemeriksaan kuantitatif untuk cTnT dan cTnI dengan antibodi
monoklonal yang sangat spesifik. Selama cTnT dan cTnI dalam keadaan normal tidak terdeteksi
dan dapat meningkat >20 kali setelah STEMI, pengukuran cTnT dan cTnI sangatlah diagnostik,
dan keduanya lebih dipilih sebagai pemeriksaan marker biokimia dalam miokard infark.
Pemeriksaan troponin jantung sangatlah bermanfaat jika ada kecurigaan adanya cedera otot
rangka atau miokard infark kecil (small MI) yang dimana kedua kondisi tersebut justru
mengurangi efektivitas pemeriksaan CK dan CKMB, sedangkan CK dan CKMB diperlukan
untuk membedakan antara UA (unstable angina) dengan NSTEMI. Kadar cTnT dan cTnI akan
tetap tinggi selama 7-10 hari setelah terjadinya STEMI.5
CK meningkat dalam waktu 4-8 jam setelah serangan dan akan kembali normal dalam
48-72 jam. Kelemahan CK yang paling utama adalah tingkat spesifitasnya yang rendah dalam
deteksi STEMI, dan CK juga dapat meningkat pada penyakit otot rangka ataupun adanya trauma
otot rangka, termasuk injeksi intramuskular. Isoenzim dari CK, yaitu CKMB, cukup lebih
spesifik dibandingkan dengan CK, karena tidak terdapat banyak pada organ ekstrakardial.5
Kebanyakan rumah sakit memilih melakukan pemeriksaan cTnT dan cTnI dibandingkan
dengan CKMB dalam mendiagnosis STEMI, meskipun sebenarnya melakukan keduanya
sebenarnya secara klinis asih dapat diterima, namun dapat menguras kantong pasien lebih
banyak lagi dikarenakan kedua pemeriksaan ini cukup mahal.5
Sementara itu, telah lama diketahui bahwa jumlah/banyaknya protein yang terlepas
berkorelasi dengan seberapa besar lokasi infark yang terjadi, konsentrasi puncak (peak) hanya
berkorelasi lemah dengan besarnya infark. Proses rekanalisasi arteri koroner yang mengalami
oklusi (baik secara spontan maupun farmakologik) pada jam-jam pertama terjadinya STEMI
dapat menyebabkan peningkatan jumlah protein yang terlepas dalam pemeriksaan marker
biokimia. Hal ini disebabkan karena pembersihan yang terlalu cepat dari interstitium daerah yang
mengalami infark, dengan cepat melebihi klirens protein oleh pembuluh limfe.5
Reaksi nonspesifik lain yang dapat muncul sebagai akibat dari cedera miokardial adalah
leukositosis, yang terjadi beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap 3-7 hari, berkisar antara
12.000-15.000/uL. ESR/LED meningkat lebih lambat dari pada peningkatan leukosit, mulai
meningkat hingga puncak dalam minggu pertama, dan menetap hingga 1-2 minggu.5
Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding ventrikuler dan
konfigurasi atau fungsi katup. Dapat pula digunakan untuk melihat luasnya iskemia bila
dilakukan waktu dada sedang berlangsung.6
Angiografi Koroner
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x pada jantung dan
pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak sumbatan pada
arteri koroner.6
Differntial Diagnosis
1. Angina Pectoris Stabil
Sindroma klinis yang episodik ini disebabkan oleh iskemia miokard yang sementara. 7 Biasanya
mempunyai karakteristik tertentu:
Lokasinya biasanya di dada, substernal atau sedikitdi kirinya, dengan penjalaran ke leher,
rahang, bahu kiri sampai dengan lengan dan jari-jari bagian ulnar, punggung/pundak kiri.1
Nyeri berhubungan dengan aktivitas, hilang dengan istirahat; tapi tak berhubungan dengan
gerakan pernapasan atau gerakan dada ke kiri dan kekanan. Nyeri juga dapat dipresipitasi oleh
berangsur-angsur turun kuantitas dan intensitasnya dengan atau tanpa pengobatan, kemudian
menetap (misalnya beberapa hari sekali, atau baru timbul pada beban/stres yang tertentu atau
lebih berat dari sehari-harinya).7,8
Pada sebagian pasien lagi nyeri dadanya bahkan berkurang terus sampai akhirnya
menghilang, yaitu menjadi asimtomatik, walaupun sebetulnya adanya iskemia tetap dapat terlihat
misalnya pada EKG istirahatnya, keadaan yang disebut sebagai "silent iskhemia" sedangkan
pasien-pasien lainnya lagi yang telah menjadi asimtomatik, EKG istirahatnya normal pula, dan
iskemia baru terlihat pada stres tes pengobatan, kemudian menetap (misalnya beberapa hari
sekali, atau baru timbul pada beban/stres yang tertentu atau lebih berat dari sehari-harinya).8
2. Angina Pectoris Tak Stabil
Yang dimasukkan ke dalam angina tak stabil yaitu: (1) pasien dengan angina yang masih
baru dalam 2 bulan, di mana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per
hari. (2) pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu
serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasi
makin ringan. (3) pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.6,7
Menurut pedoman American College of ( (ACC) dan America Heart Association (AHA)
angina tak stabil dan infark tanpa elevasi (NSTEMI = non ST elevation myocardial infarktion)
ialah apakah iskemia yang timbul cukup berat sehingga menimbulkan kerusakan pada
miokardium, sehingga petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak
stabil bila pasien mempunyai keluhan sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun dengan
ataupun tanpa perubahan EKG untuk seperti adanya depresi segmen ST ataupun elavasi sebentar
atau adanya gelombang T yang negatif kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam tahap awal
serangan, angina tak stabil seringkali tak bias dibedakan dari NSTEMI.6
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab angina pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba
terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai
penyempitan yang minimal. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi
platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah
100% terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%,
dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.6,7
3. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST
Angina pektoris tak stabil (unstable angina = UA) dan infark miokard akut tanpa elevasi
ST (non ST elevation miocardial infarction = NSTEMI) diketahui merupakan suatu
kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis sehingga pada prinsipnya
penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan
manifestasi klinis UA menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan
biomarker jantung. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri pda, yang menjadi salah
sata gejala yang paling sering didapatkan pada pasien yang datang ke IGD.9
Non ST elevation myocardial Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh penurunan
suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi
koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Nyeri dada
dengan lokasi khas substernal atau kadangkala di epigastrium dengan ciri seperti diperas,
perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan,
menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Walaupun gejala khas rasa
tidak enak di dada iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti
dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga
terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.9
infeksi viral dengan demam, nyeri otot, nyeri sendi, dan malaise. Sebagian besar pasien tidak
mempunyai keluhan kardiovaskular yang spesifik namun mungkin memiliki kelainan segmen ST
dan gelombang T pada elektrokardiogram (EKG). Nyeri dada ditemukan sampai dengan 35
persen pasien dan mungkin berupa iskemia yang khas, atau pada umumnya perikardial. Nyeri
dada biasanya menunjukkan perikarditis yang terkait, namun terkadang dikarenakan adanya
iskemia miokard.11
Kadang-kadang pasien mengalami sindrom klinik serupa dengan infark miokard akut,
dengan nyeri dada iskemia dan elevasi segmen ST pada EKG. Disfungsi pada ventrikel kiri
mungkin muncul pada kurang dari setengah pasien dan cenderung bersifat difus. Vasopasme
koroner juga dihubungkan dengan miokarditis akut.11
Working Diagnosis
Berdasarkan anamanesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang telah disebutkan dalam
data skenario. Pria tersebut dapat didiagnosis menderita sindroma koroner akut. Sindroma
koroner akut adalah suatu keadaan klinis tingkat miokard iskemik akut tergantung derajat oklusi
yang terjadi, dapat berupa angina pectoris tidak stabil, infark miokad akut elevasi ST dan infark
miokard akut tanpa elevasi ST.12 Namun dalam scenario kasus diatas, pria tersebut dapat
digolongkan dalam infark miokard dengan elevasi ST.
Penyakit jantung iskemik tersebut adalah sekelompok sindrom yang berkaitan erat yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah.
Penyebab tersering penyakit jantung iskemik adalah menyempitnya lumen arteria koronaria oleh
aterosklerosis. Bila terjadi penyempitan aterosklerotik lumen sebesar 75% atau lebih pada satu
atau lebih arteria koronaria besar, setiap peningkatan aliran darah koroner yang mungkin terjadi
akibat vasodilatasi koroner kompensatorik akan kurang memadai untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan jantung.13
Etiologi
STEMI, pada kebanyakan kasus, disebabkan oleh oklusi akut arteri koroner akibat
thrombosis intrakoroner yang berkepanjangan akibat rupturnya plak aterosklerotik pada dinding
koroner epikardial. Namun penyebab lain yang lebih jarang, yaitu karena vasospasme yang lama,
aliran darah ke jantung yang inadekuat (hipotensi), atau kebutuhan akan metabolisme yang
berlebihan. Penyebab yang jauh lebih jarang adalah oklusi emboli, vaskulitis, diseksi pada aortic
root atau arteri koronaria, hingga aortitis. Kokain juga merupakan penyebab terjadinya infark,
yang harus dipertimbangkan pada pasien yang masih muda tanpa adanya faktor resiko.7,8
Epidemiologi
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara
maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian
terjadi sebelum pasien mencapai Rumah Sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30%
dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1 di antara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal,
meninggal dalam tahun pertama setelah IMA.1
Di Amerika Serikat, sekitar 650.000 pasien mengalami IMA pertama kali dan 450.000
pasien mengalami IMA yang rekuren setiap tahunnya. Mortalitas pun meningkat empat kali lipat
pada pasien dengan usia di atas 75 tahun jika dibandingkan dengan pasien usia muda.5
Patofisiologi
STEMI biasanya terjadi ketika aliran darah koroner menurun tiba-tiba setelah terjadinya
oklusi trombotik pada arteri koronaria yang sebelumnya terdapat aterosklerosis. STEMI tidak
terjadi jika adanya stenosis arteri koronaria berat yang berkembang lambat, karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner
terjadi secara cepat pada lokasi terjadinya jejas pada pembuluh darah. Jejas ini terjadi/terbentuk
karena beberapa faktor seperti merokok, hipertensi, dan penumpukan lemak. Pada kebanyakan
kasus, STEMI terjadi ketika permukaan dari plak aterosklerotik mengalami gangguan, sehingga
menyebabkan isi dari plak tersebut masuk ke dalam peredaran darah dan mendukung untuk
terjadinya trombogenesis baik lokal maupun sistemik, sehingga terbentuklah trombus mural pada
bagian plak yang mengalami ruptur, sehingga arteri koroner yang terlibat mengalami
penyumbatan. Pemeriksaan histologi menemukan bahwa plak koroner yang mudah ruptur adalah
plak yang dindingnya mengandung banyak lemak dan fibrous cap yang tipis. Setelah fase awal di
mana trombosit membentuk lapisan trombosit monolayer pada bagian plak yang ruptur, berbagai
agonis seperti kolagen, ADP, epinefrin, serotonin, menambah aktivasi trombosit. Setelah
stimulasi trombosit oleh agonis tadi, terjadilah pelepasan tromboksan A2, yang merupakan
vasokonstriktor lokal poten, terjadi juga aktivasi trombosit lebih lanjut, hingga perkembangan
yang berpotensi melawan terjadinya fibrinolisis.5
Selain terjadinya pembentukan tromboksan A2, aktivasi trombosit karena agonis tadi juga
mencetuskan terjadinya perubahan komformasi dari reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Sekali terubah
menjadi bentuk aktifnya, maka reseptor ini memiliki afinitas tinggi terhadap sekuens asam amino
pada protein adesif yang larut air (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWB) dan fibrinogen.
Karena keduanya merupakan molekul yang multivalent, keduanya dapat mengikat dua trombosit
secara langsung, sehingga terjadilah cross-linking pada trombosit dan agregrasi trombosit.5
Kaskade koagulasi terus teraktivasi atas pajanan tissue factor dalam sel endotelial yang
mengalami kerusakan pada tempat terjadinya ruptur plak tadi. Faktor VII dan X juga diaktivasi,
sehingga menyebabkan terjadinya konversi protrombin menjadi trombin, yang akan
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Selanjutkan kaskade pembekuan darah terus terjadi
sehingga arteri koronaria sendiri mengalami penyumbatan akibat trombus yang mengandung
agregasi trombosit dan benang-benang fibrin.5
Pada beberapa kasus, STEMI dapat terjadi karena oklusi koronaria yang disebabkan oleh
emboli koroner, kelainan kongenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit sistemik lainnya
yang kebanyakan adalah penyakit inflamasi. Besarnya gangguan yang terjadi pada jantung
karena oklusi pembuluh darah koroner tergantung kepada: (1) daerah yang diperdarahi oleh arteri
koroner tersebut, (2) apakah sumbatan tersebut menyumbat total aliran darah atau tidak, (3)
durasi terjadinya oklusi koroner, (4) jumlah darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral
kepada jaringan yang terkena, (5) kebutuhan miokardium akan oksigen karena terjadi kehilangan
suplai oksigen tiba-tiba, (6) faktor endogen yang dapat memproduksi zat untuk melisis secara
cepat dan spontan terhadap trombus tersebut, (7) apakah perfusi miokard yang mengalami infark
cukup adekuat atau tidak ketika aliran darah sudah kembali normal pada arteri koroner yang
mengalami sumbatan tadi.5
Pasien yang beresiko tinggi mengalami STEMI adalah mereka yang memiliki banyak
faktor resiko terjadinya aterosklerosis dan mereka dengan angina tidak stabil. Kondisi lain yang
cukup jarang terjadi adalah hiperkoagulabilitas, penyakit kolagen vaskular, penyalahgunaan
kokain, dan trombi intrakardial atau massa yang dapat menyebabkan emboli koroner.5
Tatalaksana Awal
1. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika pada pramedis di ambulans
yang sudah terlatih untuk mengintepretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali komando
medis online yang bertanggung jawab pasa pemberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian
trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.1,16
2. Tatalaksanan di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup : mengurangi /
menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi
segera, triase pasien risiko rendah ke ruang yang tepat di rumah sakit dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI.1
Tatalaksana Umum
1. Oksigen
Suplemen Oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada
semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.1
2. Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan smapai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga
dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan
suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau
pembuluh kolateral.1
3. Mengurangi dan menghilangkan nyeri dada
a. Morfin
Morfin sangan efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.1
b. Aspirin
Inhibisi cepat sikooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2
dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi.
Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.1,13
c. Penyekat beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain nitrat
mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit
sampai total 3 dosis. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan
metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap
12 jam.1,3
4. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas
bertambah dengan penambahanaspirin dan penyekat beta. Pemberian inhibitor ACE harus
dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung.1
Terapi Reperfusi Farmakologis
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan disfungsi dan
dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI menjadi pump failure atau
takiaritmia ventrikular yang maligna.
Sasaran terapi hiperfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contactto-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-toballoon (atau medical contact-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
Obat fibrinolitik yang dapat diberikan untuk terapi reperfusi adalah streptokinase (SK),
Tissue plasminogen activator (tPA, alteplase), reteplase (retavase), Tenekteplase (TNKase).
Komplikasi
Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan ketebalan pada
segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling ventricular yang
sering mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun
pasca infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran
dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan
prognosis lebih buruk.5
Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit
pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi dengan tingkat gagal pompa dan
mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.5
Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi selama
perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai penyakit
arteri koroner multivesel.5
Infark Ventrikel Kanan
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi
vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi.
Aritmia Pasca STEMI
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom,
gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona iskemi miokard.5
Ekstrasistol Ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien STEMI dan
tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah aktivitas ektopik ventrikel
pada pasien STEMI.5
Takikardia dan Fibrilasi Ventrikel
Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia sebelumnya dalam 24
jam pertama.5
Prognosis
Kesimpulan
STEMI terjadi karena adanya ruptur plak aterosklerosis pada arteri koronaria yang
menyebabkan agregasi trombosit, sehingga menyumbat aliran darah dan menyebabkan jaringan
jantung yang diperdarahi mengalami kekurangan oksigen hingga infark. Gejala khasnya
merupakan nyeri dada kiri yang menjalar hingga lengan dan leher, namun ketikda beristirahat
tidak menunjukkan adanya perbaikan, dan nyeri bertahan lebih dari 30 menit. Gejala demikian
sesuai dengan skenario, sehingga pasien tersebut dinyatakan menderita STEMI.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo Aru W, et all. Infark Miokard dengan Elevasi ST. Idrus Alwi(eds). Buku ajar IPD.
Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2009.h.1741-54.
2. Gleadle Jonathan. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga;
2007.h.166;170-71;112-3
3. Hudak, Gallo, Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, EGC : Jakarta; 1995
4. Dharma Surya. Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG. EGC: Jakarta; 2009
5. Kee JL. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostic. Edisi 6. Jakarta. EGC: 2007.
h.149-5;295-7
6. Sudoyo Aru W, et all. Angina Pektoris Tak Stabil. Hanafi B. Trisnohadi(eds). Buku ajar IPD.
Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2009.h.1728-32.
7. Isselbacher, et all. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam (eds 13). Volume 3. Jakarta:
EGC;2008.h.1201-44.
8. Sudoyo Aru W, et all. Angina Pektoris Stabil. A. Muin Rahman(eds). Buku ajar IPD. Jilid 2.
Jakarta:
Departemen
Ilmu
Penyakit
Dalam
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia;2009.h.1735-9.
9. Sudoyo Aru W, et all. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST. A. Muin Rahman(eds). Buku
ajar IPD. Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2009.h.1757-65.
10. Sudoyo Aru W, et all. Perikarditis. Marulam M. Panggabean(eds). Buku ajar IPD. Jilid 2.
Jakarta:
Departemen
Ilmu
Penyakit
Dalam
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia;2009.h.1725-26.
11. Sudoyo Aru W, et all. Miokarditis. Idrus Alwi, Lukman H. Makmun(eds). Buku ajar IPD.
Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2009.h.1711-3.
12. Corry Catharina Silaen. Perbandingan Kadar Adiponektin Antara Angina Pektoris Stabil
Dengan Sindroma Koroner Akut. Makalah. Medan: