DISUSUN OLEH :
FANGKY DIMAS SYAFEI
2019040017
D IV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN KESEHATAN PKU
MUHAMMADYAH SURAKARTA
2022/2023
A. PENGERTIAN
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di
Negara maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi
sebelum pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30%
dalam 2 dekade terakhir, sekita 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan
awal, meninggal dalam tahun pertama setelah IMA (Sudoyo, 2017).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan
bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak
stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika
aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2017).
B. ETIOLOGI
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan
akumulasi lipid.
C. PATOFISIOLOGI
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri
koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI
karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini
dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur,
rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis,
sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri
koroner. Penelitian histology menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture
jika mempunyai vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core). Pada
STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin
rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan respon
terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi
trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Setelah
mengalami konversi fungsinya, reseptor, mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen
asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fdibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat
mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet
dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang
kemudian menkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit)
kemudian akan mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang
disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner dan berbagai
penyakit inflamasi sistemik.
D. PATHWAY
E. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala infark miokard ( TRIAS ) adalah :
1. Nyeri :
a. Nyeri merupakan manifestasi yang paling umum ditemukan pada pasien dengan STEMI.
Karakteristik nyeri yang dirasakan yaitu dalam dan visceral, yang biasa dideskripsikan
dengan nyeri terasa berat dan seperti diremas, seperti ditusuk, atau seperti terbakar.
Karakteristik nyeri pada STEMI hampir sama dengan pada angina pectoris, namun
biasanya terjadi pada saat istirahat, lebih berat, dan berlangsung lebih lama. Nyeri biasa
dirasakan pada bagian tengah dada dan/atau epigastrium, dan menyebar ke daerah lengan.
Penyebaran nyeri juga dapat terjadi pada abdomen, punggung, rahang bawah, dan leher.
Nyeri sering disertai dengan kelemahan, berkeringat, nausea, muntah, dan ansietas (Fauci,
et al., 2018).
b. Keparahan nyeri dapat meningkat secaara menetap sampai nyeri tidak tertahankan lagi.
c. Nyeri mulai secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan atau gangguan emosional),
menetap selama beberapa jam atau hari, dan tidak hilang dengan bantuan istirahat atau
nitrogliserin (NTG).
d. Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaforesis berat, pening atau kepala
terasa melayang dan mual muntah.
e. Pasien dengan diabetes melitus tidak akan mengalami nyeri yang hebat karena neuropati
yang menyertai diabetes dapat mengganggu neuroreseptor (mengumpulkan pengalaman
nyeri.
c. LDH/HBDH Meningkat dalam 12-24 jam dam memakan waktu lama untuk
kembali normal
3. EKG
Menurut Sumiarty (2010), untuk menentukan lokasi iskemik atau infark digunakan
ketentuan sebagai berikut:
Arteri coronaria adalah pembuluh darah yang mensuplai oksigen dan darah ke otot
jantung manusia sehingga apabila pembuluh darah koroner ini menyempit akan
mengakibatkan aliran darah ke otot akan menurun dan mengakibatkan keluhan nyeri
dada (angina pektoris) dan perubahan pada gambaran EKG. Kondisi ini kita sebutfase
iskemik. Begitu juga bila pembuluh darah koroner mengalami oklusi total, otot
jantung tidak mendapat aliran darah, dan penderita akan mnegalami nyeri dada yang
lebih berat, yang selama ini kita kenal sebagau Akut Miokard Infark (fase injuri).
Setelah beberapa minggu penderita mengalami infark miokard kita menyebutnya
infark lama (old myocard infarct) (Sumiarty, 2019).
4. Iskemik
Pada fase iskemik miokard perubahan EKG yang terjadi pada umumnya adalah
adanya segment ST depresi dan atau gelombang T yang negative/inverted. Segmen
ST depresi dianggap bermakna bila > 1 mm dari titik J (J pont), dan tejadi di 2 lead
atau lebih pada lead yang berdekatan. segment ST depresi terdiri dari beberapa
bentuk, yaitu:
c. Down Sloping, bentuk segmen ST depresi yang paling terpercaya untuk iskemik
5. Injury
Pada fase awal terjadinya akut infark perubahan EKG yang disebut juga
Hyperacute T. Pada fase akut akan terlihat segmen ST elevasi dengan atau tanpa
gelombang Q patologis. Segmen ST elevasi dikatakan bermakna bila > 1 mm, baik di
limb lead maupun di precordial lead, yang dihitung dari titik J (J point), dan terjadi di
2 lead yang berdekatan.
6. Infark
Pada fase subakut atau recent infark akan terlihat perubahan EKG berupa
gelombang Q patologis dan gelombang T negative/inverted. Sedangkan pada fase
infark lama (old infark) akan terbentuk gelombang Q patologis, segmen ST dan
gelombang T sudah kembali normal. Adanya gelombang Q patologis pada EKG
menggambarkan adanya nekrosis di otot jantung. Disebut gelombang Q patologis
apabila dalamnya Q melebihi 1/3 tinggi gelombang R pada EKG. Dikatakan old
infark apabila kita melihat gelombang Q patologis di 2 lead atau lebih pada lead yang
berdekatan.
7. Temuan fisik
Sebagian besar pasien mengalami ansietas dan restless yang menunjukkan
ketidakmampuan untuk mengurangi rasa nyeri. Pallor yang berhubungan dengan
keluarnya keringat dan dingin pada ekstremitas juga sering ditemukan pada pasien
dengan STEMI. Nyeri dada substernal yang berlangsung selama >30 menit dan
diaphoresis menunjukkan terjadinya STEMI. Meskipun sebagian besar pasien
menunjukkan tekanan darah dan frekuensi nadi yang normal selama satu jam pertama
STEMI, sekitar 25% pasien dengan infark anterior memiliki manifestasi hiperaktivitas
sistem saraf simpatik (takikardia dan/atau hipertensi), dan 50% pasien dengan infark
inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardi dan/atau hipotensi).
Impuls apical pada pasien dengan STEMI mungkin sulit untuk dipalpasi. Tanda fisik
dari disfungsi ventrikel lain antara adanya S3 dan S4, penurunan intensitas bunyi
jantung pertama, dan paradoxical splitting dari S2. Selain itu juga sering terjadi
penurunan volume pulsasi carotis, yang menunjukkan adanya penurunan stroke
volume. Peningkatan temperature tubuh di atas 380C mungkin ditemukan selama satu
minggu post STEMI.
STEMI biasa terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba setelah
oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami atherosclerosis.
STEMI terjadi ketika thrombus pada arteri koroner berkembang secara cepat pada
tempat terjadinya kerusakan vascular. Kerusakan ini difasilitasi oleh beberapa faktor,
seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, STEMI
terjadi ketika permukaan plak atherosclerotic mengalami ruptur sehingga komponen
plak tersebut terekspos dalam darah dan kondisi yang mendukung trombogenesis
(terbentuknya thrombus). Mural thrombus (thrombus yang menempel pada pembuluh
darah) terbentuk pada tempat rupturnya plak, dan terjadi oklusi pada arteri koroner.
Setelah platelet monolayer terbentuk pada tempat terjadinya ruptur plak, beberapa
agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) menyebabkan aktivasi platelet. Setelah
stimulasi agonis platelet, thromboxane A2 (vasokonstriktor local yang kuat) dilepas
dan terjadi aktivasi platelet lebih lanjut.
Pada sebagian kecil kasus, STEMI dapat terjadi karena emboli arteri koroner,
abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit sistemik, terutama
inflamasi. Besarnya kerusakan myocardial yang disebabkan oklusi koroner tergantung
pada
4. kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral pada jaringan yang
terkena
5. kebutuhan oksigen pada miokardium yang suplai darahnya menurun secara tiba-
tiba
6. faktor lain yang dapat melisiskan thrombus secara dini dan spontan
7. keadekuatan perfusi miokard pada zona infark ketika aliran pada arteri koroner
epikardial yang mengalami oklusi telah dikembalikan
F. PENATALAKSANAAN
1. Pre Hospital
Tatalaksana pra-rumah sakit. Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2
kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi
mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar RS pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama
onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen
utama tatalaksana pra-RS pada pasien yang dicurigai STEMI :
Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI
mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang
merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang
tepat di RS dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI
2. Hospital
a) Aktivitas
Faktor-faktor yang meningkatkan kerja jantung selama masa-masa awal infark
dapat meningkatkan ukuran infark. Oleh karena itu, pasien dengan STEMI harus
tetap berada pada tempat tidur selama 12 jam pertama. Kemudian, jika tidak terdapat
komplikasi, pasien harus didukung untuk untuk melanjutkan postur tegak dengan
menggantung kaki mereka ke sisi tempat tidur dan duduk di kursi dalam 24 jam
pertama. Latihan ini bermanfaat secara psikologis dan biasanya menurunkan tekanan
kapiler paru. Jika tidak terdapat hipotensi dan komplikasi lain, pasien dapat berjalan-
jalan di ruangan dengan durasi dan frekuensi yang ditingkatkan secara bertahap pada
hari kedua atau ketiga. Pada hari ketiga, pasien harus sudah dapat berjalan 185 m
minimal tiga kali sehari
b) Diet
Karena adanya risiko emesis dan aspirasi segera setelah STEMI, pasien hanya
diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada 4-12 jam pertama. Asupan
nutrisi yang diberikan harus mengandung kolesterol ± 300 mg/hari. Kompleks
karbohidrat harus mencapai 50-55% dari kalori total. Diet yang diberikan harus
tinggi kalium, magnesium, dan serat tetapi rendah natrium.
c) Bowel
Bedrest dan efek narkotik yang digunakan untuk menghilangkan nyeri seringkali
menyebabkan konstipasi. Laksatif dapat diberikan jika pasien mengalami konstipasi
3. Farmakoterapi
a) Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan
dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri
dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen dengan menurunkan
preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh
darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada
terus berlangsung, dapat diberikan NTG intravena. NTG IV juga dapat diberikan
untuk mengendalikan hipertensi dan edema paru. Terapi nitrat harus dihindarkan
pada pasien dengan tensi sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita
infark ventrikel kanan
b) Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan
dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg
dan dapat diulangi dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek
samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan
arteriolar melalui penurunan, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi
curah jantung dan tekanan arteri. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik
yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien
dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine
0,5 mg IV.
c) Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal
dengan dosis 160-325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis
75-162 mg.
d) Beta-adrenoreceptor blocker
Pemberian beta blocker intravena secara akut dapat memperbaiki hubungan
supply-demand oksigen, menurunkan nyeri, menurunkan ukuran infark, dan
menurunkan insiden ventricular aritmia.
e) Terapi reperfusi
Terapi reperfusi yaitu menjamin aliran darah koroner kembali menjadi lancar.
Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan kateterisasi (PCI) yang berupa
tindakan invasive (semi-bedah) dan terapi dengan obat melalui jalur infuse (agen
fibrinolitik).
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Primer
1) Airways
Sumbatan atau penumpukan secret
Wheezing atau krekles
2) Breathing
Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat
RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal
Ronchi, krekles
Ekspansi dada tidak penuh
Penggunaan otot bantu nafas
3) Circulation
Nadi lemah, tidak teratur
Takikardi
TD meningkat / menurun
Edema
Gelisah
Akral dingin
Kulit pucat, sianosis
Output urine menurun
2. Pengkajian Sekunder.
1) Aktifitas
Gejala :
Kelemahan
Kelelahan
Tidak dapat tidur
Pola hidup menetap
Jadwal olah raga tidak teratur
Tanda :
Takikardi
Dispnea pada istirahat atau aktifitas
2) Sirkulasi
Gejala : riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri koroner, masalah tekanan
darah, diabetes mellitus.
Tanda :
Tekanan darah
Dapat normal / naik / turun, perubahan postural dicatat dari tidur
sampai duduk atau berdiri
Nadi
Dapat normal, penuh atau tidak kuat atau lemah / kuat kualitasnya
dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratus (disritmia)
Bunyi jantung
Bunyi jantung ekstra : S3 atau S4 mungkin menunjukkan gagal
jantung atau penurunan kontraktilits atau komplain ventrikel
Murmur
Bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot jantung
Friksi ; dicurigai Perikarditis
Irama jantung dapat teratur atau tidak teratur
Edema
Distensi vena juguler, edema dependent, perifer, edema umum,
krekles mungkin ada dengan gagal jantung atau ventrikel
Warna
Pucat atau sianosis, kuku datar, pada membran mukossa atau bibir
3) Integritas ego
Gejala : menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati,
perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan,
khawatir tentang keuangan , kerja, keluarga
Tanda : menoleh, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah,
perilaku menyerang, focus pada diri sendiri, koma nyeri
4) Eliminasi
Tanda : normal, bunyi usus menurun.
5) Makanan atau cairan
Gejala : mual, anoreksia, bersendawa, nyeri ulu hati atau terbakar
6) Hygiene
Gejala atau tanda : kesulitan melakukan tugas perawatan
7) Neurosensori
Gejala : pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau
istrahat)
Tanda : perubahan mental, kelemahan
8) Nyeri atau ketidaknyamanan
Gejala :
Nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak
berhubungan dengan aktifitas), tidak hilang dengan istirahat atau
nitrogliserin (meskipun kebanyakan nyeri dalam dan viseral)
Lokasi : Tipikal pada dada anterior, substernal, prekordial, dapat
menyebar ke tangan, rahang, wajah. Tidak tertentu lokasinya seperti
epigastrium, siku, rahang, abdomen, punggung, leher.
Kualitas : “Crushing ”, menyempit, berat, menetap, tertekan, seperti
dapat dilihat.
Intensitas : Biasanya 10 (pada skala 1 -10), mungkin pengalaman
nyeri paling buruk yang pernah dialami.
Catatan : nyeri mungkin tidak ada pada pasien pasca operasi,
diabetes mellitus, hipertensi, lansia
9) Pernafasan:
Gejala :
dispnea tanpa atau dengan kerja
dispnea nocturnal
batuk dengan atau tanpa produksi sputum
riwayat merokok, penyakit pernafasan kronis.
Tanda :
peningkatan frekuensi pernafasan
nafas sesak / kuat
pucat, sianosis
bunyi nafas (bersih, krekles, mengi), sputum
Tanda :
Kesulitan istirahat dengan tenang
Respon terlalu emosi (marah terus-menerus, takut)
Menarik diri
3. Pengkajian Fisik
Penting untuk mendeteksi komplikasi dan harus mencakup hal-hal berikut:
1) Tingkat kesadaran
10) Status volume cairan: Amati haluaran urine, periksa adanya edema,
adanya tanda dini syok kardiogenik merupakan hipotensi dengan oliguria
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
C. RENCANA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri
koroner
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nyeri
berkurang
Kriteria hasil:
1) Nyeri dada hilang/terkontrol
2) Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi
3) Klien tampak rileks, mudah bergerak
Intervensi:
1. Kaji keluhan pasien mengenai nyeri dada, meliputi : PQRST
Rasional : Data tersebut membantu menentukan penyebab dan efek nyeri
dada serta merupakan garis dasar untuk membandingkan gejala
pasca terapi
2. Berikan istirahat fisik dengan punggung ditinggikan atau dalam kursi
kardia
Rasional : Untuk mengurangi rasa tidak nyaman serta dispnea dan
istirahat fisik juga dapat mengurangi konsumsi oksigen jantung
3. Kaji ulang riwayat angina sebelumnya, nyeri menyerupai angina
Rasional : Untuk membandingkan nyeri yang ada dari pola sebelumnya,
sesuai dengan identifikasi komplikasi seperti meluasnya infark,
emboli paru, atau perikarditis
4. Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera
Rasional : Untuk memberi intervensi secara tepat sehingga mengurangi
kerusakan jaringan otot jantung yang lebih lanjut
5. Berikan lingkungan yang tenang, aktivitas perlahan, dan tindakan
nyaman
Rasional : Menurunkan rangsang eksternal
6. Bantu melakukan teknik relaksasi (napas dalam/perlahan, perilaku
distraksi, visualisasi, bimbingan imajinasi)
Rasional : Membantu dalam menurunkan persepsi/respon nyeri
7. Periksa tanda vital sebelum dan sesudah obat narkotik
Rasional : Hipotensi /depresi pernapasan dapat terjadi sebagai akibat
pemberian narkotik. Dimana keadaan ini dapat meningkatkan
kerusakan miokardia pada adanya kegagalan ventrikel
8. Kolaborasi dengan tim medis pemberian:
1) Antiangina (NTG)
Rasional : Untuk mengontrol nyeri dengan efek vasodilatasi koroner,
yang meningkatkan aliran darah koroner dan perfusi
miokardia
2) Penyekat β (atenolol)
Rasional : Untuk mengontrol nyeri melalui efek hambatan rangsang
simpatis, sehingga menurunkan fungsi jantung, TD sistolik
dan kebutuhan oksigen miokard
3) Preparat analgesik (Morfin Sulfat)
Rasional : Untuk menurunkan nyeri hebat, memberikan sedasi dan
mengurangi kerja miokard
4) Pemberian oksigen bersamaan dengan analgesik
Rasional : Untuk memulihkan otot jantung dan untuk memastikan
peredaan maksimum nyeri (inhalasi oksigen menurunkan
nyeri yang berkaitan dengan rendahnya tingkat oksigen
yang bersirkulasi).
Kriteria Hasil:
1) TD, curah jantung dalam batas normal
2) Haluaran urine adekuat
3) Tidak ada disritmia
4) Penurunan dispnea, angina
5) Peningkatan toleransi terhadap aktivitas
Intervensi:
1. Frekuensi jantung, TD, nadi
Rasional : Untuk mengetahui adanya perubahan TD, nadi secara dini
sehingga memudahkan dalam melakukan intervensi karena
TD dapat meningkatkan rangsangan simpatis, kemudian turun
bila curah jantung dipengaruhi
2. Evaluasi adanya bunyi jantung S3, S4
Rasional : Untuk megetahui adanya komplikasi pada GJK gagal mitral
untuk S3, sedangkan S4 karena iskemia miokardia, kekakuan
ventrikel, dan hipertensi pulmonal /sistemik
3. Auskultasi bunyi napas
Rasional : Untuk mengetahui adanya kongesti paru akibat penurunan
fungsi miokard
4. Berikan makanan porsi makan kecil dan mudah dikunyah, batasi asupan
kafein, kopi, coklat, cola
Rasional : Untuk menghindari kerja miokardia, bradikardi, peningkatan
frekuensi jantung
5. Berikan oksigen sesuai indikasi
Rasional : Untuk memenuhi kebutuhan miokard, menurunkan iskemia
dan disritmia lanjut
6. Pertahankan cairan IV
Rasional : Jalur yang paten untuk pemberian obat darurat pada
disritmia/nyeri dada
7. Kaji ulang seri EKG
Rasional : Memberikan informasi sehubungan dengan
kemajuan/perbaikan infark, fungsi ventrikel, keseimbangan
elektrolit, dan efek terapi obat
8. Pantau laboratorium (enzim jantung, GDA, elektrolit)
Rasional : Untuk mengetahui perbaikan/perluasan infark adanya
hipoksia, hipokalemia/hiperkalsemia
9. Berikan obat antidisritmia
Kirteria Hasil:
Intervensi:
Kriteria Hasil:
Intervensi:
Rasional : Palpitasi, nadi tidak teratur, adanya nyeri dada atau dispnea
dapat mengindikasikan kebutuhan perubahan program olahraga
atau diet
Kriteria Hasil:
Intervensi:
D. IMPLEMENTASI
E. EVALUASI
Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2017). Rencana asuhan keperawatan.
Jakarta: EGC.
Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. (2018). Harrison’s principles
of internal medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.
Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. (2017). Robbin’s basic pathology. Elsevier Inc.
Muttaqin, A. (2017). Buku ajar keperawatan klien dengan gangguan sistem kardiovaskular
dan hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2017). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.
Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2017). Keperawatan medikal bedah. Volume 3. Edisi 8.
Jakarta : EGC
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Volume 2. Jakarta
: EGC
Smeltzer, Suzanne C & Brenda G, Bare. 2001. Keperawatan Medical-Bedah Brunner &
Suddarth, Vol 2. Jakarta : EGC
Sustrani Lanny Dkk. 2004. Diabetes. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Wilkinson, Judith M. 2005. Nursing Diagnosis Handbook With NIC Interventions And NOC
Outcomes. New jersey : pearson prentice hall