Anda di halaman 1dari 27

TUGAS MAKALAH

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Dosen Pembimbing: Ns.Lisavina Juwita, S.Kep, M. Kep

Disusun oleh :

Kelompok 5

Alviola

Boby M

Indah Dianatus Sholeha

Resma Masda Syahri

Shan Febri Joalia

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


STIKES FORT DE KOCK BUKITTINGGI
2018/2019

1
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya
makalah ini dapat diselesaikan. Maka dari pada itu, makalah ini akan menjelaskan semua
yang berhubungan dengan “Makalah Trauma Urinaria ”. Hal itu bertujuan untuk
memudahkan dan memahami “Makalah Trauma Urinaria”
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan baik dalam bentuk penyajian , kelengkapan isi, dan lain-lainnya. Untuk itu
dengan senang hati kami akan menerima segala saran, kritik dari para pembaca guna
memperbaikan makalah ini di kemudian hari. Kami mengharapkan partisipasi dari para
pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat dan berguna bagi setiap orang yang membacanya.

Bukittinggi, 23 Maret 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ..............................................................................................................1
B. Rumusan masalah .........................................................................................................2
C. Tujuan ...........................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Trauma Urinaria..............................................................................................10
B. Klasifikasi Trauma Urinaria.........................................................................................18
C. Komplikasi Trauma Urinaria .....................................................................................25

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan..................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Trauma saluran kemih sering tak terdiagnosa atau terlambat terdiagnosa karena
perhatian penolong sering tersita oleh jejas-jejas ada di tubuh dan anggota gerak saja,
kelambatan ini dapat menimbulkan komplikasi yang berat seperti perdarahan hebat dan
peritonitis, oleh karena itu pada setiap kecelakaan trauma saluran kemih harus dicurigai
sampai dibuktikan tidak ada.Trauma saluran kemih sering tidak hanya mengenai satu organ
saja, sehingga sebaiknya seluruh sistem saluran kemih selalu ditangani sebagai satu kesatuan.
Juga harus diingat bahwa keadaan umum dan tanda-tanda vital harus selalu
diperbaiki/dipertahankan, sebelum melangkah ke pengobatan yang lebih spesifik. Trauma
sistem perkemihan bisa terjadi karena trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma tumpul
sistem perkemihan lebih besar tingkat kejadiannya 80 – 90% dibandingkan dengan trauma
tajam yang mencapai 10 – 20%. Biasanya cedera saluran kemih disertai dengan trauma pada
struktur organ lain, kecuali cedera atrogenik yang umumnya merupakan cedera tunggal.
Melihat akibat yang ditimbulkan dari trauma urinaria, maka kami dari kelompok akan
menjelaskan makalah laporan pendahuluan dan konsep asuhan keperawatan gawat darurat
pada sistem perkemihan sebagai penunjang kegiatan perkuliahan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


a. Apa yang dimaksud dengan trauma urinaria?
b. Bagaimana tanda dan gejalanya?
c. Apa saja klasifikasi dari trauma urinaria?
d. Bagaimana komplikasinya?
e. Bagaimana asuhan keperawtan pada trauma urinaria?

1.3 TUJUAN MASALAH


a. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan trauma urinaria
b. Untuk mengetahui Bagaimana tanda dan gejalanya
c. Untuk mengetahui Apa saja klasifikasi dari trauma urinaria
d. Untuk mengetahui Bagaimana komplikasinya
e. Untuk mengetahui Bagaimana asuhan keperawtan pada trauma urinaria

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Trauma Urinaria


Trauma urinaria atau trauma pada saluran perkemihan merupakan adanya benturan
pada saluran perkemihan (ginjal, ureter, vesika urinaria, uretra). Pada laki-laki dapat pula
mengenai scrotum, testis dan prostat.Trauma pada system perkemihan adalah kejadian
dimana saluran kemih mengalami gangguan bukan karena pengaruh dari dalam tubuh tetapi
adanya gangguan dari luar. Saluran kemih (termasuk ginjal, ureter, kandung kemih dan
uretra) dapat mengalami trauma karena luka tembus (tusuk), trauma tumpul, terapi
penyinaran maupun pembedahan. Gejala yang paling banyak ditemukan adalah terdapatnya
darah di urin (hematuria), berkurangnya proses berkemih dan nyeri. Beberapa trauma dapat
menyebabkan nyeri tumpul, pembengkakan, memar, dan jika cukup berat, dapat menurunkan
tekanan darah (syok).Limbah metabolik harus disaring dari darah oleh ginjal dan dibuang
melalui saluran kemih, karena itu setiap cedera yang mempengaruhi proses tersebut bisa
berakibat fatal.Mencegah kerusakan menetap pada saluran kemih dan mencegah kematian
tergantung kepada diagnosis dan pengobatan yang tepat
.
2.2 Klasifikasi Trauma Urinaria

1. Trauma Ginjal

A. Definisi
Trauma ginjal adalah suatu cedera yang mengenai ginjal. Ginjal terletak di rongga
retroperitoneum dan terlindung oleh otot punggung disebelah posterior dan oleh organ
intraperitoneal disebelah anteriornya; karena itu cedera ginjal tidak jarang diikuti oleh cedera
organ yang mengitarinya. Trauma ginjal merupakan trauma terbanyak pada system traktus
urinarius. Kurang lebih 10% dari trauma pada abdomen mencederai ginjal.

5
B. Epidemiologi
1. Kejadian trauma pada sistem urogenital yang tersering

2. 1-5% dari seluruh kejadian trauma

3. 85% karena cedera minor

4. 15% karena cedera mayor

5. 1% karena cedera pedikel ginjal

C. Etiologi
1. Berdasarkan cara terjadinya
Langsung : akibat benturan yang mengenai daerah pinggang

Tidak langsung : cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam
rongga peritoneum

2. Berdasarkan mekanisme terjadinya


Trauma tumpul (80-90%) : kecelakaan lalu lintas, jatuh, cedera olahraga

Trauma tajam (10%) : luka tembak, luka tusuk

C. Patogenesis
Goncangan ginjal di dalam rongga peritoneum menyebabkan regangan pedikel ginjal
sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan memacu
terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat menimbulkan thrombosis arteri
renalis beserta cabang-cabangnya. Cedera ginjal dapat dipermudah jika sebelumnya sudah
ada kelainan pada ginjal, antara lain hidronefrosis, kista ginjal, atau tumor ginjal.

6
D. Klasifikasi
Menurut derajat berat ringannya kerusakan ginjal :
1. Cedera Minor (Derajat I dan Derajat II)

2. Cedera Mayor (Derajat III dan Derajat IV)

3. Cedera pada pedikel/ pembuluh darah ginjal (Derajat v)

Berdasarkan skala cedera organ, cedera ginjal dibagi dalam 5 derajat:


1. Derajat I  Kontusio ginjal/hematom perirenal
2. Derajat II  Laserasi ginjal terbatas pada kortes
3. Derajat III  Laserasi ginjal sampai medula ginjal, mungkin terdapat thrombosis
arteri segmentalis
4. Derajat IV  Laserasi mengenai sistem kalises ginjal
5. Derajat V  Avulsi pedikel ginjal, mungkin terjadi thrombosis arteria renalis,
ginjal terbelah

7
E. Diagnosis
Patut dicurigai adanya cedera pada ginjal jika terdapat :
1. Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, dan perut bagian atas
dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah itu.
2. Hematuria
3. Fraktur kosta sebelah bawah (T8-12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra
4. Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang
5. Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas.

Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal sangat bervariasi
tergantung pada derajat trauma dan ada atau tidaknya trauma pada organ lain yang
menyertainya. Pada trauma derajat ringan mungkin hanya didapatkan nyeri di daerah
pinggang, terlihat jejas berupa ekimosis, dan terdapat hematuria makroskopik ataupun
mikroskopik. Pada trauma major atau rupture pedikel seringkali pasien datang dalam keadaan
syok berat dan terdapat hematoma di daerah pinggang yang makin lama makin membesar.
Dalam keadaan ini pasien mungkin tidak sempat menjalani pemeriksaan IVU karena usaha

8
untuk memperbaiki hemodinamik seringkali tidak membuahkan hasil akibat perdarahan yang
keluar dari ginjal cukup deras. Untuk itu harus segera dilakukan ekslorasi laparatomi untuk
menghentikan perdarahan.

Pencitraan
Jenis pencitraan yang diperiksa tergantung pada keadaan klinis danfasilitas yang
dimiliki oleh klinik yang bersangkutan. Pemeriksaan pencitraan dimulai dari IVU (dengan
menyuntikkan bahan kontras dosis tinggi ± 2ml/kg berat badan) guna menilai tingkat
kerusakan ginjal dan melihat keadaan ginjal kontralateral. Pembuatan IVU dikerjakan jika
diduga ada (1) luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal, (2) cedera tumpul ginjal
yang memberikan tanda-tanda hematuria makroskopik, dan (3) cedera tumpul ginjal yang
memberikan tanda-tanda hematuria mikroskopik dengan disertai syok.
Pada beberapa klinik, dugaan cedera tumpul pada ginjal yang menunjukkan tanda
hematuria mikroskopik tanpa disertai syok melakukan pemeriksaan USG sebagai
pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan USG ini diharapkan dapat menemukan adanya kontusio
parenkim ginjal atau hematoma subkapsuler. Dengan pemeriksaan ini dapat pula
diperlihatkan adanya robekan kapsul ginjal.
Jika IVU belum dapat menerangkan keadaan ginjal (misalkan pada ginjal non
visualized) perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan atau arteriografi. Pemeriksaan IVU pada
kontusio renis sering menunjukkan gambaran system pevikalises normal. Dalam keadaan ini
pemeriksaan USG abdomen dapat menunjukkan adanya hematoma parenkim ginjal yang
terbatas pada subkapsuler dan dengan kapsul ginjal yang masih utuh. Kadang kala kontusio
renis yang cukup luas menyebabkan hematoma dan edema parenkim yang hebat sehingga
memberikan gambaran istem pelvikalises yang spastik atau bahkan tak tampak (non
visualized). System pelvikalises yang tak tampak pada IVU dapat pula terjadi pada rupture
pedikel atau pasien yang berada dalam keadaan syok berat pada saat menjalani pemeriksaan
IVU.
Pada derajat IV tampak adanya ekstravasasi kontras, hal ini karena terobeknya system
pelvikalises ginjal. Ekstravasasi ini akan tampak semakin luas pada ginjal yang mengalami
fragmentasi (terbelah) pada cedera derajat V. di klinik-klinik yang telah maju, peranan IVU
sebagai alat diagnosis dan penentuan derajat trauma ginjal mulai digantikan oleh CT Scan.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya robekan jaringan ginjal, ekstravasasi kontras
yang luas, dan adanya nekrosis jaringan ginjal.

9
F. Penatalaksanaan
Pada setiap trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus difikirkan untuk
melakukan tindakan eksplorasi, tetapi pada trauma tumpul, sebagian besar tidak memerlukan
operasi. Terapi yang dikerjakan pada trauma ginjal :
1. Konservatif

2. Operasi

Operasi ditujukan pada trauma ginjal major dengan tujuan untuk segera menghentikan
perdarahan. Selanjutnya mungkin perlu dilakukan debridement, reparasi ginjal
(berupa renorafi atau penyambungan vaskuler) atau tidak jarang harus dilakukan
nefrektomi parsial bahkan nefrektomi total karena kerusakan ginjal yang sangat berat.

Penyulit

Jika tidak mendapatkan perawatan yang cepat dan tepat, trauma major dan trauma
pedikel sering menimbulkan perdarahan yang hebat dan berakhir dengan kematian. Selain itu
kebocoran sistem kaliks dapat menimbulkan ekstravasasi urine hingga menimbulkan
urinoma, abses perirenal, urosepsis, dan kadang menimbulkan fistula reno-kutan.
Dikemudian hari pasca cedera ginjal dapat menimbulkan penyulit berupa hipertensi,
hidronefrosis, urolitiasis, atau pielonefritis kronis.

10
2.Trauma Ureter

A. Definisi
Trauma ureter adalah trauma yang terjadi pada saluran yang menghubungkan ginjal
dengan kandung kemih.

B. Epidemiologi
Trauma ureter jarang di jumpai dan merupakan 1% dari seluruh cedera traktus
urogenital.

C. Etiologi

Cedera ini dapat terjadi karena trauma luar, yaitu trauma tumpul maupun tajam, atau
trauma iatrogenic. Operasi endourologi transureter (ureteroskopi atau ureterorenoskopi) dan
operasi di daerah pelvis (operasi ginekologi, bedah digestif, atau vaskuker) dapat
menyebabkan terjadinya cedera ureter iatrogenic.

Cedera yang terjadi pada ureter akibat tindakan operasi terbuka dapat berupa: ureter
terikat, crushing karena terjepit oleh klem, putus (robek), atau devaskularisasi karena terlalu
banyak jaringan vaskuler yang dibersihkan.

D. Diagnosis

Kecurigaan adanya cedera ureter pada trauma dari luar adalah adanya hematuria pasca
trauma, sedangkan kecurigaan adanya cedera ureter iatrogenic bias diketemukan pada saat
operasi atau setelah pembedahan. Jika diduga terdapat kebocoran urin melalui pipa drainase
pasca bedah, pemberian zat warna yang diekskresikan lewat urin, memberikan warna pada
cairan didalam pipa drainase atau pada luka operasi. Selain itu pemeriksaan kadar kreatinin
dan kadar ureum cairan pipa kadarnya sama dengan yang berada di dalam urin.

Pada pemeriksaan IVU tampak ekstravasasi kontras atau kontras berhenti di daerah
lesi atau terdapat deviasi ureter ke lateral karena hematoma atau urinoma. Pada cedera yang
lama mungkin didapatkan hidro-ureteronefrosis sampai pada daerah sumbatan. Cedera ureter
dari luar sering kali ditemukan pada saat melakukan eksplorasi laparotomy dari suatu cedera
organ intraabdominal sehingga sering kali tidak mungkin melakukan pemeriksaan pencitraan
terlebih dahulu.

11
Kecurigaan Cedera Ureter Iatrogenik

Saat Operasi  Lapangan operasi banyak cairan

 Hematuria

 Anuria/Oliguri jika cedera bilateral

Pasca Bedah  Demam

 Nyeri pinggang akibat obstruksi

 Luka operasi sealu basah

 Sampai beberapa hari cairan drainase jernih dan banyak

 Hematuria persisten dan hematoma/urinoma di


abdomen

 Fistula ureterokutan/fistula ureterovagina

E. Tindakan

Tindakan yang dilakukan terhadap cedera ureter tergantung pada saat cedera ureter
terdiagnosis, keadaan umum pasien, dan letak serta derajat lesi ureter. Tindakan yang
dikerjakan mungkin

1. Ureter saling disambung (anastomosis end to end). Teknik ini dipilih jika kedua ujung
distal dan proksimal dapat didekatkan tanpa tegangan (tension).

12
2. Inplantasi ureter ke buli-buli (neoimplantasi uereter pada buli-buli, flap Boari, atau
Psoas hitch). Cedera ureter distal yang tidak memungkinkan untuk dilakukan
anastomosis end to end, atau implantasi ureter ke buli-buli disebabkan tidak cukup
bagian ureter distal, bagian ureter distal dapat diganti dengan bagian buli-buli yang
dibentuk suatu tabung mirip ureter.

3. Transuretero-ureterotomi (menyambung ureter dengan ureter pada sisi yang lain). Jika
terlalu banyak segmen ureter distal yang rusak teknik ini dapat dipilih.

13
4. Nefrostomi sebagai tindakan diversi atau nefroktomi.

F. Prognosis
1. Pada kasus iatrogenik, prognosis nya baik bila diketahui pada saat operasi.

2. Bila repairnya terlambat, menyebabkan periureteal fibrosis yang hebat, sehingga


prognosisnya kurang baik.

3.Trauma Vesika Urinaria


A. Definisi
Trauma yang terjadi kerusakan pada vesika urinaria saat keadaan penuh maupun tidak dan
disebut juga bladder trauma atau trauma buli-buli.

B. Epidemiologi
1. Frekuensi kejadian dibagi berdasarkan mekanisme terjadinya trauma, :
a) Trauma eksternal (82%)

b) Iatrogenik (14%)

c) Intoksikasi (2,9%)
2. Trauma eksternal: 15-40% akibat trauma penetrasi, 60-85% akibat trauma tumpul

14
3. Trauma penetrasi disebabkan paling sering oleh peristiwa kejahatan yang
menyebabkan tembakan senjata (85%), dan sisanya akibat luka tusuk

4. Trauma tumpul, paling sering disebabkan kecelakaan lalu lintas, diikuti kejadian
terjatuh dan dipukul.

5. Pada kasus trauma penetrasi, biasanya diikuti adanya trauma organ lain, seperti
trauma/cedera usus.

6. Kejadian trauma penetrasi, 63% diantaranya berakhir pada kematian

7. Jenis trauma sistem genitourinaria paling sering selain trauma ginjal dan uretra

C. Etiologi

Kurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli adalah akibat fraktur pelvis. Tindakan
endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli iatrogenic antara lain pada reseksi buli-buli
transurethral (TUR buli-buli) atau pada litotripsi. Demikian pula partus kasep atau tindakan
operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenic pada buli-buli. Rupture buli-
buli dapat pula terjadi secara spontan; hal ini biasanya terjadi jika sebelumnya terdapat
kelainan pada dinding buli-buli. Tuberculosis, tumor buli-buli, atau obstruksi infravesikal
kronis menyebabkan perubahan struktur otot buli-buli yang menyebabkan kelemahan dinding
buli-buli. Pada keadaan itu bias terjadi rupture buli-buli spontanea.

D. Gejala Klinis
1. Tidak ada gejala spesifik

2. Namun, biasanya muncul trias gejala:


a) Gross hematuria

b) Suprapubic pain

c) Difficulty to urinating or void


3. Pada pemeriksaan fisik, kadang ditemukan distensi abdomen dan rebound tenderness

15
E. Klasifikasi
1. Kontusio buli-buli : hanya terdapat memar pada dindingnya, mungkin didapatkan
hematoma perivesikal, tetapi tidak didapatkan ekstravasasi urin ke luar buli-buli.

2. Cedera buli-buli intraperitoneal : 25-45% dari seluruh trauma buli-buli.


3. Cedera buli-buli ekstraperitoneal : kurang lebih 45-60% dari seluruh trauma buli-buli.
4. Cedera buli-buli intraperitoneal bersamaan dengan cedera buli-buli ekstraperitoneal
(2-12%).
F. Diagnosis
1. Diagnosis utama didapat dari hasil pemeriksaan cystography

2. Cystography dilakukan dengan memasukan (50% kontras + 50% saline) ke dalam


vesika urinaria melalui kateter uretra.

3. Lalu, dilihat hasil ada/tidaknya gambaran ekstravasasi

Extraperitoneal rupture

16
Combination rupture

Intraperitoneal rupture

a. Pada pemeriksaan lab, ditemukan peningkatan serum kreatinin.

b. Peningkatan kreatinin pertanda adanya kebocoran traktus urinaria.

G. Tata Laksana
1. Preoperative: lakukan ATLS dengan benar

2. Intraoperative:
a) Drainage atau suprapubic catheter

b) Biasanya sembuh dalam 7-10 hari. Dan secara keseluruhan, sembul total dalam
waktu 3 minggu
3. Postoperative:
a) Berikan antibiotik intravena, preventif bakteri nosokomial

17
b) Periksa cystogram sebelum lepas kateter untuk melihat proses penyembuhan
4. Edukasi untuk kontrol kembali 7-10 hari pasca operasi

5. Edukasi untuk kembali aktivitas normal 4-6 minggu pasca operasi

H. Prognosis
a. Tergantung jenis trauma dan rupture yang terjadi. Jika tidak mendapat perawatan
dengan segera 10-20% cedera buli-buli akan berakibat kematian karena peritonitis
atau sepsis.

b. Kebanyakan kasus sukses ditangani dengan surgery dan bahkan hanya dengan kateter
suprapubis .
4 .Trauma Uretra Anterior
Merupakan kasus yang jarang terjadi. Lebih sering terjadi pada pria. Sering
berhubungan dengan trauma multi organ lainnya (seperti buli-buli, limpa, hati dan usus),
mortalitas 30 %. Uretra pria dewasa memiliki panjang + 18 cm. Secara garis besar dibagi
menjadi 2 oleh diafragma urogenital, yang selanjutnya dibagi menjadi 5 segmen :
1. Uretra posterior
a) Uretra pars prostatika
b) Uretra pars membranosa
2. Uretra anterior
a) Uretra pars bulosa
b) Uretra pars pendulosa
c) Uretra pars navikulare

18
A. Etiologi
1. Penyebab tersering: Straddle injury ( cedera selangkangan )
2. Trauma tumpul
a. Penyebab tersering kecelakaan industri, kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian, hubungan seksual
3. Trauma tajam
a. Luka tembak, luka tusuk, kecelakaan industri, mutilasi, gigitan
4. Iatrogenik
a. Instrumentasi uretra yang traumatik atau yang berkepanjangan.
B. Epidemiologi
1. Uretra pars bulbosa merupakan daerah tersering terjadinya trauma uretra anterior
mencapai (85%).

2. Berhubungan dengan fraktur penis : 10 – 20 %

3. Trauma uretra terjadi pada 25 – 40% kasus trauma tembus penis, sehingga perlu
dilakukan uretrografi retrograde pada setiap kasus .
C. Klasifikasi
Klasifikasi trauma uretra anterior menurut McAninch dan Armenakas :
a. Kontusio : klinis menunjukkan trauma uretra, tetapi uretrografi retrograde normal

b. Disrupsi parsial : uretrografi menunjukkan ekstravasasi kontras, tetapi uretra masih


tetap utuh sebagian,. Kontras dapat mengisi uretra bagian proksimal atau buli-buli.

c. Disrupsi total : uretrografi menunjukkan ekstravasasi kontras tanpa pengisian uretra


bagian proksimal atau buli-buli
D. Gejala Klinis :
a. Perdarahan peruretra/hematuri

b. Hematom / butterfly hematom

c. Kadang retensi urine


Kontusio : ekstravasasi –
Ruptur : ekstravasasi + bulbosa

19
Butterfly Hematom
E. Diagnosis
Trias klasik diagnostik trauma uretra:
 Darah pada meatus uretra
o Sensitivitasnya 75 - 98 %

o Hasil spasme otot bulbospongiosus


 Fraktur pelvis

 Tidak dapat berkemih (atau buli distensi).


 Gejala lain: gross hematuria, hematoma pada skrotum, perineal atau penis, kesulitan
pemasangan kateter, ”non palpable” prostat
 Pemeriksaan uretrografi retrogad : pemeriksaan standar
o Posisi supine + pelvis oblik 30º - 40º oblik

o Paha yang terdekat meja difleksi 90O

o Paha yang di atasnya tetap lurus.

o Kateter 14 Hr dengan balon 2 cc di fossa navikulare

o Kontras + 30 cc dengan foto tunggal atau guiding fluoroskopi.

20
Tujuan posisi oblik : memberikan visualisasi keseluruhan uretra dan mencegah tulang pelvis
menutupi ekstravasasi.

F. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan awal derajat dan lokasi trauma, dan keadaan hemodinamik pasien dan
trauma daerah lainnya.

b. Langkah awal adalah resusitasi dan stabilisasi kondisi pasien

c. Langkah berikutnya adalah diversi urin dari buli-buli.

d. Ekstravasasi urin dari uretra dapat menimbulkan reaksi peradangan yang dapat
berkembang menjadi abses  debridement

Kontusio : Observasi 4-6 bulan, kemudian uretrografi ulang


Ruptur :
1. Sistostomi 1 bulan

2. 3 bulan uroflowmetri (pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran urin.


Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya proses miksi.
Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik dan pada wanita 25
ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal menandakan ada obstruksi)
3. Striktura lakukan sachse ( memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse)

21
Indikasi Operasi
1. Operasi segera disarankan pada keadaan :
2. Tujuan debridement

3. Luka terbuka

4. Fraktur penis-trauma korpus cavernosa

5. Terjadi trauma lain yang berhubungan

6. Fraktur dan penanganannya (perdarahan, trauma saluran kemih

5 .Trauma Uretra Posterior

A. Etiologi
Trauma tumpul merupakan penyebab dari sebagian besar cedera pada uretra pars
posterior. Menurut sejarahnya, banyak cedera semacam ini yang berhubungan dengan
kecelakaan di pabrik atau pertambangan. Akan tetapi, karena perbaikan dalam hal
keselamatan pekerja pabrik telah menggeser penyebab cedera ini dan menyebabkan
peningkatan pada cedera yang berhubungan kecelakaan lalu lintas. Gangguan pada uretra
terjadi sekitar 10% dari fraktur pelvis tetapi hampir semua gangguan pada uretra
membranasea yang berhubungan dengan trauma tumpul terjadi bersamaan fraktur pelvis.
Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin
pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostato-membranasea.
Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di dalam kavum pelvis
menyebabkan hematoma yang luas di kavum retzius sehingga jika ligamentum pubo-
prostatikum ikut terobek, prostat berada buli-buli akan terangkat ke kranial. Fraktur pelvis
yang menyebabkan gangguan uretra biasanya penyebab sekunder karena kecelakaan
kendaraan bermotor (68%-84%) atau jauh dari ketinggian dan tulang pelvis hancur (6%-
25%). Pejalan kaki lebih beresiko, mengalami cedera uretra karena fraktur pelvis pada
kecelakaan bermotor dari pada pengendara.

B. Mekanisme Trauma
Cedera uretra terjadi sebagai akibat dari adanya gaya geser pada prostatomembranosa
junction sehingga prostat terlepas dari fiksasi pada diafragma urogenitalia. Dengan adanya
pergeseran prostat, maka uretra pars membranasea teregang dengan cepat dan kuat. Uretra
posterior difiksasi pada dua tempat yaitu fiksasi uretra pars membranasea pada ramus

22
ischiopubis oleh diafragma urogenitalia dan uretra pars prostatika ke simphisis oleh
ligamentum puboprostatikum.

C. Klasifikasi
Melalui gambaran uretrogram, Colapinto dan McCollum (1976) membagi derajat
cedera uretra dalam 3 jenis :
1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (perengangan). Foto
uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan uretra hanya tampak
2. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, sedangkan
diafragma urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasai kontras
yang masih terbatas di atas diafragma
3. Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah proksimal
ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstvasasi kontras meluas hingga di bawah
diafragma sampai ke perineum.
D. Diagnosis

Pasien yang menderita cedera uretra posterior seringkali datang dalam keadaan syok
karena terdapat fraktur pelvis/ cedera organ lain yang menimbulkan banyak perdarahan.
Ruptura uretra posterior seringkali memberikan gambaran yang khas berupa perdarahan per-
uretra, retensi urine, dan pada pemeriksaan colok dubur didapatkan adanya floating prostate
di dalam suatu hematom. Pada pemeriksaan uretrografi retrograde mungkin terdapat elongasi
uretra atau ekstravasasi kontras pada pars prostatomembranasea.2

E. Gambaran Radiologi
Uretrografi retrograde telah menjadi pilihan pemeriksaan untuk mendiagnosis cedera
uretra karena akurat, sederhana dan cepat dilakukan pada keadaan trauma. Sementara CT
Scan merupakan pemeriksaan yang ideal untuk saluran kemih bagian atas dan cedera vesika
urinaria dan terbatas dalam mendiagnosis cedera uretra. Sementara MRI berguna untuk
pemeriksaan pelvis setelah trauma sebelum dilakukan rekonstuksi, pemeriksaan ini tidak
berperan dalam pemeriksaan cadera uretra. Sama halnya dengan USG uretra yang memiliki
keterbatasan dalam pelvis dan vesika urinaria untuk menempatkan kateter suprapubik.

23
F. Penatalaksanaan
a. Emergency
Syok dan pendarahan harus diatasi, serta pemberian antibiotik dan obat-obat
analgesik. Pasien dengan kontusio atau laserasi dan masih dapat kencing, tidak perlu
menggunakan alat-alat atau manipulasi tapi jika tidak bisa kencing dan tidak ada ekstravasasi
pada uretrosistogram, pemasangan kateter harus dilakukan dengan lubrikan yang adekuat.
Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera intraabdomen dan organ lain, cukup
dilakukan sistotomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan
anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu.

b. Pembedahan
Ekstravasasi pada uretrosistogram mengindikasikan pembedahan. Kateter uretra harus
dihindari.
1. Immediate management
Penanganan awal terdiri dari sistostomi suprapubik untuk drainase urin. Insisi midline
pada abdomen bagian bawah dibuat untuk menghindari pendarahan yang banyak pada pelvis.
Buli-buli dan prostat biasanya elevasi kearah superior oleh pendarahan yang luas pada
periprostatik dan perivesikal. Buli-buli sering distensi oleh akumulasi volume urin yang
banyak selama periode resusitasi dan persiapan operasi. Urin sering bersih dan bebas dari
darah, tetapi mungkin terdapat gross hematuria. Buli-buli harus dibuka pada garis midline
dan diinspeksi untuk laserasi dan jika ada, laserasi harus ditutup dengan benang yang dapat
diabsorpsi dan pemasangan tube sistotomi untuk drainase urin. Sistotomi suprapubik
dipertahankan selama 3 bulan. Pemasangan ini membolehkan resolusi dari hematoma pada
pelvis, dan prostat & buli-buli akan kembali secara perlahan ke posisi anatominya.
Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2- 3 hari
kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir (railroading).

2. Delayed urethral reconstruction


Rekonstruksi uretra setelah disposisi prostat dapat dikerjakan dalam 3 bulan, diduga
pada saat ini tidak ada abses pelvis atau bukti lain dari infeksi pelvis. Sebelum rekonstuksi,
dilakukan kombinasi sistogram dan uretrogram untuk menentukan panjang sebenarnya dari
striktur uretra. Panjang striktur biasanya 1-2 cm dan lokasinya dibelakang dari tulang pubis.
Metode yang dipilih adalah “single-stage reconstruction” pada ruptur uretra dengan eksisi
langsung pada daerah striktur dan anastomosis uretra pars bulbosa ke apeks prostat lalu
dipasang kateter uretra ukuran 16 F melalui sistotomi suprapubik. Kira-kira 1 bulan setelah

24
rekonstuksi, kateter uretra dapat dilepas. Sebelumnya dilakukan sistogram, jika sistogram
memperlihatkan uretra utuh dan tidak ada ekstravasasi, kateter suprapubik dapat dilepas. Jika
masih ada ekstravasasi atau striktur, kateter suprapubik harus dipertahankan. Uretrogram
dilakukan kembali dalam 2 bulan untuk melihat perkembangan striktur.

3. Immediate urethral realignment


Beberapa ahli bedah lebih suka untuk langsung memperbaiki uretra. Perdarahan dan
hematoma sekitar ruptur merupakan masalah teknis. Timbulnya striktur, impotensi, dan
inkotinensia lebih tinggi dari immediate cystotomydan delayed reconstruction. Walaupun
demikian beberapa penulis melaporkan keberhasilan dengan immediate urethral realignment.

G. Komplikasi
Striktur, impotensi, dan inkotinensia urin merupakan komplikasi rupture
prostatomembranosa paling berat yang disebabkan trauma pada sistem urinaria. Striktur yang
mengikuti perbaikan primer dan anastomosis terjadi sekitar 50% dari kasus. Jika dilakukan
sistotomi suprapubik, dengan pendekatan “delayed repair” maka insidens striktur dapat
dikurangi sampai sekitar 5%. Insidens impotensi setelah “primary repair”, sekitar 30-80%
(rata-rata sekitar 50%). Hal ini dapat dikurangi hingga 30-35% dengan drainase suprapubik
pada rekontruksi uretra tertunda. Jumlah pasien yang mengalami inkotinensia urin <2 %
biasanya bersamaan dengan fraktur tulang sakrum yang berat dan cedera nervus S2-4.

H. Prognosis
Jika komplikasinya dapat dihindari, prognosisnya sangat baik. Infeksi saluran kemih
akan teratasi dengan penatalaksaan yang sesuai.

25
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Trauma traktus urinaris terdiri dari trauma ginjal,trauma ureter, trauma vesica urinaria
dan trauma uretra. Secara anatomis sebagian besar organ traktus urinarius terletak di rongga
ekstraperitoneal, dan terlindung oleh otot-otot dan organ-organ lain. Oleh karena itu jika
didapatkan cedera traktus urinarius, harus diperhitungkan pula kemungkinan adanya
kerusakan organ lain yang mengelilinginya. Sebagian besar cedera traktus urinarius bukan
cedera yang mengancam jiwa, kecuali cedera berat pada ginjal yang menyebabkan kerusakan
parenkim ginjal yang cukup luas dan kerusakan atau terputusnya pembuluh darah ginjal.

Cedera yang mengenai traktus urinarius merupakan cedera dari luar berupa trauma
tumpul maupun trauma tajam, dan cedera iatrogenic akibat tindakan dokter pada saat operasi
atau petugas medic yang lain. Pada trauma tajam, baik berupa trauma tusuk maupun trauma
tembus oleh peluru, harus dipikirkan untuk kemungkinan melakukan eksplorasi; sedangkan
trauma tumpul sebagian besar hampir tidak diperlukan tindakan operasi. Trauma ginjal
merupakan trauma terbanyak pada system traktus urinarius.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Umbas R, Manuputty D, Sukasah CL, Swantari NM, Achmad IA, Bowolaksono, et al.
Saluran kemih dan alat kelamin laki-laki. In: Sjamsuhidajat R, Kamadiharja W,
Prasetyono TOH, Rudiman R, Editors. Buku ajar ilmu bedah.3rd ed. Jakarta : penerbit
Buku Kedokteran EGC:2012
2. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi.3rd ed. Jakarta : Sagungseto:2012
3. Santucci RA. Ureteral Trauma. Medscape 2014. Available from
www.emedicine.medscape.com
4. Miller S. Traumatic injury of the bladder and urethra. Medline Plus 2014. Available
from www.nlm.nih.gov
5. Harper K, Shah KH. Renal trauma after blunt abdominal injury. The journal of
emergency medicine 2013. Available from www. Jem-journal.com
6. Tait CD, Somani BK. Renal trauma : case reports and overview. Hindawi Publishing
Corporation 2012. Available from www.hindawi.com
7. Siram SM, Gerald SZ, Greene WR, Hughes K, Oyetunji TA, Chroser K. ureteral
trauma : patterns and mechanisms of injury of an uncommon condition. Am J Surg
2010. Available from www.ncbi.nim.mih.gov
8. Santucci RA, Mcanich JW. Bladder injuries;evaluation and management. Brazilian
journal of urology 2000
Pineiro LM, Djakovic N, Plas E, Mor Y, Santucci RA, Serafetinidis E, et al. EAU Guideline
on urethral trauma. European urology 2010

27

Anda mungkin juga menyukai